Jumat, 01 Mei 2015

Jokowi, Pajak, dan Demokrasi

Yang aku tahu sejak Jokowi jadi presiden: Pemerintah makin kreatif menciptakan aneka pajak, hingga ragam dan jenisnya makin macam-macam.
—Twitter, 5 Maret 2015

Belanja di atas 250 ribu, struk harus dibubuhi materai 3000. Belanja di atas 1 juta, materainya 6000. Kabar buruk buat penggila shopping.
—Twitter, 5 Maret 2015

Ironi demokrasi adalah, kau memilih sekelompok orang untuk mengisapmu. Kau membiayai mereka untuk membuat hidupmu makin sulit dan merana.
—Twitter, 5 Maret 2015

Socrates dihukum mati karena menentang demokrasi, dan dunia tetap memilih demokrasi. Entah Socrates sedang melucu, atau dunia yang keliru.
—Twitter, 5 Maret 2015

Dalam demokrasi, pemimpin dipilih berdasar suara terbanyak. Yang jadi masalah, pilihan suara terbanyak bukan jaminan pilihan yang terbaik.
—Twitter, 5 Maret 2015

Saat kapal karam di tengah lautan, kita akan menunjuk orang terbaik untuk memimpin kapal, bukan orang yang dipilih suara terbanyak.
—Twitter, 5 Maret 2015

Saat akan naik pesawat, mana yang akan kita pilih: Pilot terbaik, atau pilot yang didukung orang banyak? Jangan bertanya pada demokrasi!
—Twitter, 4 Maret 2015

Suara rakyat adalah suara Tuhan, katanya. Memang benar, jika suara rakyat memang benar. Sayangnya, tidak pernah ada jaminan pasti benar.
—Twitter, 5 Maret 2015

Kelemahan utama sistem demokrasi adalah... ia rentan dimanipulasi. Dan ketika dulu Socrates menyatakan kemungkinan itu, dia dihukum mati.
—Twitter, 5 Maret 2015

Majalah Forbes merilis daftar 22 miliarder Indonesia. Pemerintah kita tidak kagum, tapi langsung sibuk menghitung perkiraan pajak mereka.
—Twitter, 5 Maret 2015

Para pelaku UKM akan segera kena pajak. Bahkan para tukang jahit juga akan dikenai pajak. Ini serius... dan tragis.
—Twitter, 5 Maret 2015

Pajak reksadana akan dinaikkan, simpanan kita di bank tidak akan lagi memberikan bunga karena pajak, dan hasil deposito akan jadi nostalgia.
—Twitter, 5 Maret 2015

Buruh-buruh pabrik akan segera kena pajak. Setelah itu terjadi, tinggal menunggu waktu saja hal yang sama terjadi pada para tukang becak.
—Twitter, 5 Maret 2015

Demokrasi mungkin sistem yang baik, tapi biayanya sangat mahal. Dan yang membayar adalah para pemilihnya, melalui aneka pajak dan pungutan.
—Twitter, 5 Maret 2015

Aku tidak menentang demokrasi, atau pajak. Aku hanya sedang menyayangkan betapa kesadaran dan penyesalan sering kali jalan beriringan.
—Twitter, 5 Maret 2015

Di suatu hari kelak, orang-orang miskin akan makin terpuruk, dan orang-orang kaya akan terus sakit kepala. Karena pajak.
—Twitter, 5 Maret 2015

Setiap kali menerima lampiran pajak, entah kenapa aku merasa sedang menerima surat cinta... dari seseorang yang tak pernah kucinta.
—Twitter, 5 Maret 2015

Semakin maju peradaban, semakin banyak peraturan, semakin beragam pajak dan pungutan. Ironisnya, dunia tidak pernah menjadi lebih baik.
—Twitter, 5 Maret 2015

Pemerintahan Jokowi tampaknya sedang kemaruk memungut pajak. Hingga orang-orang yang sudah mati pun ikut dipajaki.
—Twitter, 16 April 2015

Sementara ibu-ibu di Rembang sedang memperjuangkan kelestarian bumi, pemerintah sedang sibuk menyiapkan pungutan pajak orang mati. #Ironi
—Twitter, 16 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

 
;