Sabtu, 26 September 2015

Tumbal

“Hidupku penuh luka,” kata seseorang.
Sejak itu, kami berteman.
@noffret


—Terima kasih untuk Sam,
yang telah mengizinkan kisahnya diposting di sini.


“Aku ini tumbal,” dia berkata. “Tumbal kebodohan sepasang manusia yang menjadi orangtuaku. Dosa apa aku, hingga dilahirkan ke dunia hanya untuk menanggung penderitaan dan luka yang tak juga sembuh?”

Asap rokok mengepul dan bergulung-gulung di ruangan tempat kami bercakap—empat tahun yang lalu. Malam itu, saya duduk di hadapan Sam, bersama bungkus rokok, asbak, dan sepoci teh panas. Sam pribadi yang tertutup. Tapi dia bilang merasa nyaman juga percaya bercakap-cakap dengan saya, hingga merasa bebas untuk menyatakan apa pun yang ada dalam pikirannya. Seperti malam itu, saat dia menyatakan bahwa dirinya adalah tumbal.

“Aku sering merasa, aku hanya segumpal kebencian,” ujar Sam dengan ekspresi pahit. “Aku membenci orangtuaku, membenci keluargaku, membenci takdirku, membenci kehidupan, bahkan membenci diriku sendiri. Tidak ada apa pun yang tersisa dariku selain kebencian. Kebencian akibat luka yang tak pernah berakhir...”

Saya diam. Menunggu dia meneruskan.

Sam mengisap rokoknya, terdiam sesaat, kemudian menatap saya. “Bagaimana menurutmu?”

Saya menyahut, “Menurutku, kau tentu berhak berpikir seperti itu.”

Di luar dugaan, dia tersenyum. “Aku tidak menyangka kau akan berkata begitu.”

Saya membalas senyumnya. “Aku bukan gurumu, juga bukan orangtuamu. Aku temanmu.”

Senyumnya makin lebar. “Itulah yang kusuka darimu. Kau tidak menghakimi, tidak menceramahiku seperti bangsat-bangsat sok pintar yang pernah berbicara denganku. Selama ini, aku tidak pernah bicara lebih dari sepuluh kalimat dengan orang lain, gara-gara keburu muak melihat tingkah mereka yang mudah menghakimi dan suka menceramahi. Tapi sekarang aku ingin bicara panjang lebar denganmu.”

“Aku mendengarkan.”

....
....

Sam lahir di sebuah keluarga miskin. Dia anak pertama dari lima bersaudara. Ayahnya seorang buruh pabrik, sementara ibunya bekerja apa saja agar bisa menambah penghasilan keluarga yang pas-pasan.

Di film-film, atau dalam kisah-kisah klise, keluarga miskin sering digambarkan sebagai keluarga harmonis bahkan indah, dengan rumah sederhana namun asri, dan orang-orang di dalamnya sangat rukun serta saling menyayangi. Tetapi, dalam realitas—setidaknya dalam realitas Sam—keluarga miskin adalah miniatur neraka.

Sejak SD, Sam harus mencari uang sendiri, dan dia mengamen di jalan-jalan. Hasilnya tidak banyak. Tetapi bahkan hasil yang tidak banyak itu pun sering diminta ibunya. Setiap hari di masa kecilnya, Sam sering merasa tertekan. Tertekan oleh kehidupan yang miskin, tertekan oleh pergaulannya, tertekan oleh nasibnya, juga tertekan menyaksikan orangtuanya yang tampak selalu susah.

Mungkin akibat tekanan pikiran yang dirasakannya, Sam sering bermimpi buruk, dan juga mengompol saat tidur. Itu terjadi hingga dia SMP. Setiap kali Sam mengompol, ayahnya akan menghajarnya habis-habisan, seolah Sam baru saja melakukan kejahatan. Tidak cukup menghajar, ayah Sam bahkan mempermalukan Sam dengan menganiaya di depan para tetangga. Hal itu biasa terjadi pagi hari, menjelang Sam sekolah.

Jadi, para tetangga pun tahu Sam sering mengompol. Anak-anak tetangga, yang menjadi teman sepermainan Sam, juga tahu hal itu. Setiap kali Sam dihajar ayahnya di depan rumah, mereka tahu kalau Sam mengompol tadi malam. Kenyataan itu menjadikan Sam sering menjadi bahan olok-olok atau bully teman-temannya. Karena sebagian anak tetangga juga bersekolah dengannya, Sam pun sering menjadi korban bully di sekolah.

Penganiayaan ayah Sam tidak hanya terjadi ketika Sam mengompol. Karena berbagai sebab, Sam sering harus menerima penganiayaan ayahnya. Jadi, sepulang sekolah, Sam harus mengadu nyawa di jalanan menjadi pengamen. Di rumah, dia juga harus sering menangis karena penganiayaan ayahnya. Waktu itu Sam baru memiliki dua adik. Adik-adiknya masih sangat kecil, dan Sam—si sulung atau yang paling besar—sering menjadi sasaran kemarahan.

Tetapi yang kejam bukan hanya ayahnya. Ibu Sam juga sangat ringan tangan. Jika ayahnya sering menampar atau menghantamkan sesuatu kepadanya, ibunya sering menjambak dan menyabet-nyabetkan apa saja. Dan selalu ada alasan untuk penganiayaan demi penganiayaan itu. Satu hari tanpa tangisan adalah hari istimewa bagi Sam kecil. Satu hari tanpa kemarahan orangtuanya jauh lebih indah dibanding hari raya.

Malam itu, saat dia menceritaan masa kecilnya yang sangat pahit, Sam menyatakan, “Kini, setelah dewasa, aku menyadari bahwa kemarahan orangtuaku kepadaku sebenarnya refleksi kemarahan serta kekecewaan mereka terhadap diri sendiri.”

Dia mengisap rokoknya sesaat, kemudian melanjutkan, “Orangtuaku menjalani kehidupan yang sangat susah. Ayahku bekerja keras dan hasilnya pas-pasan. Sore hari, sepulang kerja, dia masih harus menimba air, mengerjakan banyak hal, hingga tak sempat istirahat, dan dia terus melakukan hal itu setiap hari. Ibuku juga menjalani hari-hari yang terus menekan, dan serba kekurangan. Kondisi itu menjadikan mereka marah dan kecewa terhadap diri sendiri. Karena mereka tak bisa melukai diri sendiri, mereka pun melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya kepadaku.”

Ketika mengenal Sam di masa dewasanya, saya mengetahui Sam sosok yang sangat cerdas. Sebagian orang bahkan menyebutnya genius. Dia bisa mengingat banyak hal dengan detail-detail yang nyaris sempurna, hingga bisa menghafal apa saja tanpa bantuan catatan. Di sekolahnya dulu, meski dia jarang belajar karena kondisi hidupnya yang sangat susah, Sam terus menjadi juara. Dia murid berprestasi yang dipuji guru-gurunya di sekolah, tapi dianiaya orangtuanya di rumah.

Lulus SMA, Sam tidak bisa melanjutkan pendidikan karena tidak ada biaya. Dia sempat menganggur tiga tahun setelah lulus SMA, sampai kemudian sebuah lembaga menemukannya. Lembaga itu membutuhkan orang-orang yang memiliki IQ di atas rata-rata. Ketika mereka menelusuri riwayat Sam di sekolah—SD hingga SMA—mereka yakin Sam memenuhi kualifikasi. Jadi, mereka pun menemui Sam.

Kepada Sam, lembaga itu menawari kuliah—di mana pun yang diinginkan Sam, di dalam atau di luar negeri—dan mereka akan membiayai hidup serta kuliahnya sampai selesai. Tetapi dengan syarat, Sam harus kuliah sesuai jurusan yang mereka inginkan, dan bekerja untuk lembaga mereka setelah lulus kuliah. Mereka menawari insentif yang menggiurkan, dan Sam tidak punya alasan menolak.

Jadi, Sam kemudian kuliah. Dia tidak peduli harus kuliah jurusan apa pun—otaknya yang sangat cerdas dapat mencerna dan memahami apa pun dengan mudah. Karena dia ingin menjauh dari keluarga dan orangtuanya, Sam memilih kuliah di luar negeri. Selama enam tahun kuliah (dia kuliah hingga S2), Sam hanya pulang ke rumah orangtuanya tidak lebih dari sepuluh kali. Setelah lulus, seperti perjanjian sebelumnya, Sam bekerja untuk lembaga yang telah menguliahkannya.

Di masa dewasanya kini, Sam telah hidup mandiri, dengan pekerjaan yang memungkinkannya hidup berkecukupan. Meski begitu, Sam sangat tertutup, introver, dan kurang bisa bergaul. Saat bertemu orang yang baru kenal, Sam bahkan sering gagap atau tidak lancar berbicara. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana mendekati perempuan,” ujarnya kepada saya.

Kondisi itu, menurut Sam, tidak bisa dilepaskan dari masa kecilnya yang sangat pahit. Penganiayaan demi penganiayaan yang dilakukan orangtuanya, serta seringnya mereka mempermalukan dirinya di depan para tetangga, menjadikan Sam seperti kehilangan harga diri. Dia sering malu bertemu siapa pun, karena merasa semua orang telah menyaksikannya menangis dan menderita saat dianiaya dan dipermalukan ayah-ibunya.

Bahkan tidak cukup menganiaya dan mempermalukan, orangtua Sam juga sangat mudah mencaci Sam dengan makian mengerikan, dari “anak bangsat” (karena tanpa sengaja membuat adiknya menangis), “anak durhaka” (karena suatu hari tidak dapat uang dari mengamen), sampai “tukang maling” (karena Sam nekat mengambil tambahan lauk di rumah saat makan).

Sam pernah diguyur air kotor oleh ibunya di depan rumah, lalu diminta mengganti pakaian di depan orang-orang, termasuk di depan adik-adiknya. Di lain waktu, wajah Sam juga pernah diludahi ayahnya, di depan para tetangga yang menyaksikan. Berbagai perlakuan memalukan pernah dialami Sam di depan orang banyak, dan dia tidak pernah bisa melupakan. Bahkan, karena terbiasa melihat Sam dianiaya orangtua, adik-adik Sam pun menjadikan Sam sebagai kambing hitam untuk apa pun. Bukannya menghormati Sam sebagai kakak tertua, mereka menatap Sam sebagai tumpuan segala masalah.

Yang menjadikan Sam sangat membenci orangtuanya, semua penganiayaan yang ia terima bukan karena dia memang bersalah. Sam hanyalah lampiasan kekecewaan dan kemarahan orangtuanya, akibat beban hidup yang menekan. Seperti yang dibilang di atas, ayah ibunya menghadapi kehidupan yang serba kekurangan, dan mereka kecewa terhadap diri sendiri. Jadi, kalau terjadi suatu masalah sedikit saja di rumah, mereka menjadikan Sam sebagai lampiasan. Sam adalah korban dari sepasang orangtua yang kecewa kepada hidup.

Untuk hal itu, Sam menyatakan, “Aku menyadari, orangtuaku tidak berpendidikan. Dan seperti umumnya orang tidak berpendidikan, mereka pun mungkin menikah tanpa persiapan matang, kemudian punya banyak anak karena mungkin percaya setiap anak telah dijamin rezekinya. Tapi kenyataannya mereka keliru. Kehidupan kami sangat pas-pasan bahkan sangat kekurangan, dan mereka kecewa. Sialnya, bukannya menyadari kenyataan itu, mereka menjadikanku lampiasan kekecewaan.”

Ketika saya bertanya apakah adik-adiknya juga menghadapi penganiayaan orangtua mereka, Sam menyahut, “Itulah yang mengherankan. Adik-adikku sangat jarang mendapat kemarahan orangtua kami. Mungkin karena aku dianggap paling besar, dan kebetulan lelaki, aku yang sering menjadi korban.”

Penganiayaan demi penganiayaan yang memalukan di masa kecil itu terus terbawa dalam ingatan Sam sampai dewasa kini. Dia mengakui, hal itu sering menjadikannya sangat rendah diri. Karenanya, dia pun sangat tertutup, bahkan sering gagap saat harus berbicara dengan orang asing.

Sekarang, setelah dia dewasa dan bisa hidup mandiri, apakah penderitaannya telah selesai? Tidak—belum. Dan itulah yang menjadikan Sam sangat marah kepada kehidupan, kepada orangtuanya, kepada keluarganya, bahkan kepada diri sendiri.

Empat bulan sebelum meninggal, ayah Sam harus dirawat di rumah sakit karena penyakit komplikasi. Untuk hal tersebut, Sam yang harus membiayai perawatan dan pengobatannya, dan itu menguras tabungan Sam hingga benar-benar habis.

Setelah ayahnya meninggal, masalah belum selesai. Rumah yang ditinggali keluarga Sam adalah rumah warisan—milik kakek dari pihak ayah Sam. Ketika ayah Sam meninggal, saudara-saudara ayah Sam pun menuntut rumah tersebut. Hasilnya, ibu dan adik-adik Sam harus keluar dari sana. Menghadapi hal itu, Sam terpaksa berutang pada lembaga tempatnya bekerja, demi bisa membeli rumah untuk ibu dan adik-adiknya. Sampai dia menceritakan kisah ini, gaji bulanan Sam masih terus terpotong untuk melunasi utang itu.

Kemudian, tiga adik Sam sudah menikah, namun kehidupan mereka sama-sama menyedihkan. Kondisi keluarga mereka, menurut Sam, “sama persis dengan kondisi keluarga kami dulu, ketika ayah dan ibuku sering tertekan akibat hidup serba kekurangan.”

Menyaksikan kondisi hidup adik-adiknya, Sam tidak tega lepas tangan. Maka dia pun membantu mereka dengan menyisihkan gajinya. Satu lagi adiknya—yang paling kecil—masih sekolah, dan Sam yang harus membiayai.

Begitu pula dengan ibunya yang kini tua dan menjanda, Sam juga harus menghidupinya, karena adik-adiknya tidak mampu melakukannya. Jadi, kehidupan Sam sejak kecil sampai dewasa bagaikan rollercoaster—naik turun tanpa ketenangan, tanpa ketenteraman, tanpa kedamaian. Sam tidak tahu kapan beban hidupnya akan selesai... entah kapan penderitaannya akan berakhir.

“Aku sering terpikir untuk membeli revolver di pasar gelap, dan meledakkan kepalaku sendiri,” ujar Sam dengan nada frustrasi. “Tapi kemudian aku berpikir—kalau aku mati, bagaimana nasib ibu dan adik-adikku? Siapa yang akan membantu menghidupi mereka? Sejujurnya, aku membenci mereka. Tapi aku juga tidak tega meninggalkan mereka begitu saja.”

Saya terdiam mendengar pengakuan itu.

Sam juga terdiam cukup lama, mengisap rokoknya beberapa saat, kemudian berkata perlahan, “Karena itulah, aku sering berpikir telah menjadi tumbal,” ujar Sam mengakhiri ceritanya. “Tumbal kebodohan orangtuaku, tumbal kemiskinan dan kemelaratan. Aku tidak pernah minta dilahirkan. Tetapi aku dilahirkan hanya untuk menghadapi kepahitan, dan penderitaan, dan luka, dan trauma...”


PostScript:

Ketika saya minta izin Sam untuk menerbitkan kisah ini di blog, Sam mengizinkan, namun dia minta membaca naskahnya terlebih dulu. Jadi, catatan ini sebenarnya jauh lebih panjang, dengan detail-detail yang lebih mengerikan dan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam, tapi terpaksa saya hapus atas permintaan Sam.

Bagaimana pun, saya berterima kasih kepada Sam atas izin yang telah diberikan, dan semoga sekelumit catatan ini bisa memberikan kesadaran kepada kita semua... untuk berhenti melahirkan tumbal.

Noffret’s Note: Luka (2)

Kita tak pernah tahu beban dan masalah yang ditanggung
orang per orang. Yang kita lihat hanyalah sebatas permukaan.
—Twitter, 15 Maret 2015

Yang paling sakit bukan luka yang tampak.
Sering kali, yang paling pedih adalah luka yang tak terlihat.
—Twitter, 1 Agustus 2015

“Hidupku penuh luka,” kata seseorang. Sejak itu, kami berteman.
—Twitter, 2 Agustus 2015

“Aku tak tahu dosa apa yang kulakukan
hingga terlahir dan hidup di tempat penuh amarah, luka,
dan kemurkaan ini.” —Seseorang, bukan di Gaza
—Twitter, 2 Agustus 2015

Setiap orang, mungkin, menanggung duka dan kepedihannya
masing-masing. Yang riang tertawa bukan berarti tak pernah luka.
—Twitter, 2 Agustus 2015

Sering kali aku ngeri membayangkan anak-anak tak berdosa
dilahirkan hanya untuk mewarisi kebodohan, menanggung luka,
meratapi kelahirannya.
—Twitter, 2 Agustus 2015

Yang remaja meributkan hal-hal sepele, yang muda sibuk mengurusi
kesia-siaan, yang tua tak berhenti melahirkan bayi. Bumi yang malang...
—Twitter, 2 Agustus 2015

Lahir, tumbuh besar, dewasa, sibuk kerja, kawin,
punya anak-anak. Lalu anak-anaknya meneruskan hal sama,
dan begitu seterusnya. Manusia...
—Twitter, 2 Agustus 2015

Dunia adalah panggung sandiwara. Kebodohan adalah tragedi.
Dan manusia adalah ironi.
—Twitter, 2 Agustus 2015

“Aku dilahirkan hanya untuk menanggung luka dan kutukan,” kata temanku.
Lalu kami terdiam. Lama. Membiarkan luka-luka kami yang bicara.
—Twitter, 15 Maret 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Suatu Hari

Suatu hari aku memahami...

...yang paling perlu dicintai di dunia ini adalah diriku sendiri.
 
Jumat, 18 September 2015

Makhluk Tuhan Paling Sunyi

Manusia mungkin perlu belajar pada ikan sapu-sapu.
Diam, tenang, bekerja dengan baik dalam keheningan...
dan tak pernah membuat keributan.
@noffret


Ikan sapu-sapu adalah guru, setidaknya bagi saya. Sebagai sesama makhluk Tuhan, saya tidak keberatan belajar pada ikan sapu-sapu. Dia memiliki kebaikan, kelebihan, juga keistimewaan, yang layak diteladani. Bahkan, meski mungkin berlebihan, saya kadang berpikir ikan sapu-sapu tak jauh beda dengan sosok mursyid—guru yang mengajar dalam kesunyian.

Di dunia internasional, makhluk itu disebut “plecostomus”. Di Malaysia, disebut “ikan bandaraya”. Sedang orang Indonesia menyebutnya “ikan sapu-sapu”. Penyebutan itu tidak bisa dilepaskan dari “pekerjaan” ikan tersebut dalam hidupnya, yakni sebagai pembersih. Disebut “ikan bandaraya” di Malaysia, karena ikan itu tak jauh beda dengan petugas pembersih kota (bandar). Sedangkan orang Indonesia menyebutnya “ikan sapu-sapu”, karena pekerjaan ikan itu mirip pembersih atau tukang sapu.

Orang-orang yang memelihara ikan hias di akuarium sering kali juga memelihara ikan sapu-sapu, yang ditujukan untuk membersihkan kaca akuarium. Di dalam akuarium, ikan sapu-sapu biasanya menempel pada dinding kaca, berdiam diri, tenang, hening—tidak suka keluyuran atau pecicilan seperti ikan-ikan lain.

Meski begitu, ikan sapu-sapu bukan bengong karena kurang kerjaan. Sebaliknya, di dalam sikap diam, dia membersihkan akuarium dari lumut-lumut yang tumbuh. Jadi, sementara ikan-ikan lain dalam akuarium tampak keluyuran ke sana kemari tanpa tujuan, ikan sapu-sapu diam tapi sibuk bekerja.

Jika ingin membuktikan kenyataan ini, cobalah siapkan dua akuarium di rumah. Isikan air dan ikan-ikan hias ke dalam dua akuarium itu. Kemudian, masukkan ikan sapu-sapu ke dalam salah satu akuarium, lalu lihat yang terjadi. Seiring berjalannya waktu, akuarium yang di dalamnya terdapat ikan sapu-sapu tampak bening dan bersih. Sementara akuarium yang di dalamnya tidak terdapat ikan sapu-sapu mulai tampak keruh, kotor, dengan lumut-lumut halus menempel di mana-mana.

Jadi, meski mungkin kita tidak melihat ikan sapu-sapu sibuk bekerja, tetapi sebenarnya dia bekerja. Dalam hening. Dalam sunyi. Tanpa ribut-ribut. Sebagai makhluk, dia mungkin menyadari bahwa tujuan penciptaannya adalah untuk membersihkan kotoran di sekitar, dan dia menjalankan misi itu dengan baik, dan tak pernah tergoda mengkhianati misi yang telah dipilihnya. Ikan sapu-sapu adalah potret makhluk yang mencintai pekerjaannya, dan benar-benar mengabdikan hidup untuk pekerjaan yang dipilihnya.

Di mana pun ikan sapu-sapu hidup atau ditempatkan, tetap itulah yang dia lakukan—sebagai pembersih lingkungan. Di akuarium, dia membersihkan kaca dan isi akuarium. Di kolam, dia membersihkan dasar dan dinding-dinding kolam. Di alam liar, dia juga bekerja membersihkan lingkungan.

Selain memiliki fungsi positif dalam lingkungan, ikan sapu-sapu juga memiliki daya tahan hidup yang sangat tinggi. Dia bukan makhluk manja yang hanya mau tinggal di akuarium mewah nan gemerlap, tapi juga bisa bertahan hidup di kolam gelap, di sungai kotor, di danau keruh, di selokan berlumpur, bahkan di genangan air yang telah tercemar limbah.

Karenanya, ikan sapu-sapu memiliki dua alat pernapasan—insang dan labirin. Insang digunakan untuk bernapas saat tinggal dalam air yang jernih atau bersih, sementara labirin digunakan untuk bernapas saat hidup dalam lumpur atau dalam air yang memiliki tingkat kekeruhan tinggi. Di dunia ikan, mujair (atau mujahir) dikenal sebagai ikan yang sangat tangguh. Tapi kemampuan bertahan hidup ikan mujair masih kalah dibandingkan ikan sapu-sapu.

Yang menakjubkan, meski memiliki kemampuan fisik luar biasa, ikan sapu-sapu tidak suka mengusik apalagi menyerang ikan lain. Dia cinta hidup damai. Di dalam akuarium, saat dikumpulkan bersama ikan-ikan hias yang cantik, ikan sapu-sapu tidak menyerang mereka. Bandingkan itu dengan ikan oscar atau arwana, misalnya, yang sama-sama agresif karena memiliki kekuatan. Padahal, kalau mau sombong-sombongan, kekuatan ikan oscar atau arwana jauh di bawah ikan sapu-sapu. Wong ikan mujair saja kalah!

Tetapi ikan sapu-sapu memang istimewa—memiliki kekuatan, namun tidak suka menyerang apalagi mengalahkan. Jangankan sampai mengusik atau menyerang ikan lain, ikan sapu-sapu bahkan tidak suka mencari perhatian seperti umumnya ikan lain. Pernahkah kita melihat ikan sapu-sapu keluyuran ke sana kemari dalam akuarium, atau cengengesan dan pecicilan dalam air? Tidak pernah! Dia hanya diam, tenang, menempel dinding kaca, sangat jarang bergerak, tidak pernah ribut, tapi terus melakukan tugasnya—membersihkan akuarium dari kotoran.

Ikan sapu-sapu adalah guru, setidaknya bagi saya. Dia sosok yang hidup untuk melakukan sesuatu yang ia yakini sebagai kebaikan. Dan dia melakukannya dalam sunyi. Dalam hening. Tanpa ribut-ribut, tanpa pamer, tanpa ingin terkenal, tanpa usaha mencari perhatian agar masuk teve atau diliput koran. Di dunia ikan, mungkin ikan sapu-sapu dianggap sebagai mursyid. Atau filsuf. Atau bocah. Entahlah.

Di dunia hewan, memang banyak hewan lain yang sama-sama tidak banyak cocot dan hidup dalam sunyi. Misalnya ular. Ular tidak pernah berkotek, tidak pernah mengeong apalagi menggonggong atau melolong. Paling-paling hanya mendesis, itu pun jarang terdengar. Dia juga lebih senang hidup dalam kesunyian, sehingga kadang dianggap sosok bijaksana. Tetapi ular adalah makhluk berbahaya. Dia jenis hewan yang tidak terlihat, tapi tiba-tiba mematukmu, hingga kau menjerit kesakitan akibat luka dan gigitan berbisa. Di dalam diamnya, ular bisa menjadi sosok yang jahat, sehingga banyak orang menjauhi, bahkan berusaha membunuhnya.

Selain ular, kecoak juga tidak banyak cocot. Tapi kecoak suka keluyuran ke tempat-tempat kotor dan jorok, kemudian—tanpa adab dan sopan santun—mendatangi makanan kita. Memang benar kecoak termasuk makhluk sunyi yang tidak banyak ribut. Tapi dia tidak punya adab, tidak punya sopan santun. Oh, well, kecoak juga sangat tidak akademis! Dia bisa seenaknya dugem di comberan, kemudian masuk ke selimut di kamar kita... tanpa mandi atau cuci kaki!

Semut juga termasuk makhluk sunyi. Bahkan sering dipuji-puji para motivator sebagai teladan, karena semut yang kecil bisa melakukan hal-hal besar dengan cara bekerjasama. Sejauh yang kita tahu, semut juga tidak pernah selfie, tidak pernah nge-tweet, tidak pernah update status di Facebook, pendeknya tidak suka unjuk diri. Tapi semut kadang mengganggu dan menjengkelkan. Dia bisa tiba-tiba menggigit kita tanpa sebab. Atau menggerogoti makanan kita. Atau melakukan hal-hal lain yang meresahkan, sehingga kita pun menggunakan kapur ajaib untuk mengusir mereka.

Itu hanya sekadar contoh hewan lain yang sama-sama hidup dalam sunyi, sebagaimana ikan sapu-sapu. Bedanya, hewan-hewan tersebut bisa berbahaya, atau setidaknya mengganggu makhluk lain. Hal itu jelas berbeda dengan ikan sapu-sapu. Dia menjalani hidup dalam sunyi, tapi tidak mengganggu atau mengusik makhluk lain. Bahkan, dalam kesunyian yang dipeluknya, dia setia pada pekerjaan yang dipilih, menjalankan misi hidup yang diembankan Tuhan kepadanya, yakni sebagai pembersih lingkungan sekitar. Dan dalam menjalankan tugas itu, dia tidak mengganggu, mengusik, apalagi menyerang makhluk lain.

Sebagai makhluk, ikan sapu-sapu bahkan contoh sempurna untuk sosok yang tak pernah kehilangan jati diri. Saat hidup di alam liar—di sungai, di empang, di laut, atau di air berlumpur—ikan sapu-sapu tidak terpengaruh lingkungan yang liar dan kemudian menjadi liar. Dia tetap menjadi diri sendiri—sosok yang tenang, diam, hening, tidak suka ribut, tapi bekerja sepenuh hati menjalankan tugasnya sebagai pembersih.

Saat dipindahkan ke akuarium, ikan sapu-sapu juga tidak terpengaruh lingkungan. Meski di dalam akuarium banyak ikan lain yang suka mencari perhatian dan suka keluyuran dan pecicilan, ikan sapu-sapu tetap menjadi diri sendiri—diam, tenang, hening, tidak suka ribut, tapi tetap bekerja sepenuh hati menjalankan tugasnya sebagai pembersih.

Ketika melihat akuarium, kebanyakan orang hanya melihat ikan-ikan hias yang berenang ke sana kemari—jarang yang mau memperhatikan ikan sapu-sapu yang diam menempel pada kaca akuarium. Tapi di antara ikan mana pun dalam akuarium, hanya ikan sapu-sapu yang sibuk bekerja—sementara ikan yang lain sibuk hura-hura. Atau sibuk mencari makan. Atau mencari perhatian. Atau mencari pasangan.

Ikan sapu-sapu adalah guru—sosok yang diam tak pernah menasihati siapa pun, tapi mengajarkan sesuatu yang berharga bahkan mulia.

Ikan sapu-sapu adalah guru—sosok yang memiliki kekuatan tapi tak pernah menyerang, yang dapat hidup di lingkungan mana pun tanpa kehilangan jati diri, yang tidak pernah dilihat apalagi dipuji tapi terus melakukan tugas hidupnya dengan baik.

Dan saat mati, ikan sapu-sapu juga bisa dimakan, bahkan dagingnya memiliki gizi yang lebih tinggi dibanding ikan nila, lele dumbo, kerapu, atau bahkan kakap merah. Database nilai gizi ikan yang terdapat dalam riset pengolahan produk dan bioteknologi, menyebutkan bahwa dalam setiap 100 gram ikan sapu-sapu terdapat 19,71 protein, dengan kadar lemak hanya 1,73. Angka itu mengalahkan ikan nila yang kadar proteinnya 18,8, lele dumbo (18,2), kerapu (16,97), kakap merah (17,82), dan cumi-cumi (16,31).

Jadi, sejak lahir sampai mati, ikan sapu-sapu memiliki manfaat. Setelah dilahirkan, mereka tumbuh dalam sunyi. Selama hidup, mereka menjalani kehidupan dengan baik—menjadi diri sendiri tak peduli tinggal di mana pun, melakukan hal-hal baik bagi lingkungan sekitar, memiliki kekuatan tapi tidak suka menyerang makhluk lain, menjalankan tugas dan misi hidupnya dengan tenang dan hening—dan saat mati, kematiannya masih meninggalkan manfaat.

Oh, well, terpujilah Tuhan yang telah menciptakan ikan sapu-sapu.

Notes from Heart

Kehidupan adalah kesadaran bahwa kita hidup, benar-benar hidup. Meski bernapas dan bergerak sebagaimana umumnya makhluk hidup, namun tidak semua manusia menyadari bahwa mereka hidup. Ada banyak orang yang hidup hanya “sekadar hidup”. Mereka lahir, tumbuh besar, dewasa, menua, kemudian mati.

Hidup bukan hanya bernapas, tapi menyadari bahwa kita benar-benar hidup. Kehidupan tidak sekadar bangun tidur, beraktivitas, sampai kemudian tidur lagi, tapi juga menyadari arti diri kita dalam kehidupan yang luas ini. Dalam tujuan itu, hidup setiap orang adalah pelajaran, dan kita tumbuh bersama pelajaran-pelajaran yang kita petik dari hari-hari yang kita jalani.

Buku ini menyampaikan hal-hal penting tentang arti hidup, cinta, dan pelajaran-pelajaran di dalamnya. Notes from Heart akan menjadi teman belajar menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih berharga.


Notes from Heart
Penerbit: Elex Media Komputindo
(Kompas Gramedia Group)
Penulis: Hoeda Manis
Editor: Rayendra L. Toruan
Dimensi: 150 x 230 mm, 456 halaman
ISBN: 978-602-02-6989-4


Buku ini bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka
di seluruh Indonesia, atau melalui toko-toko buku di internet.

Cinta dan Kepercayaan

Segala hal di bawah langit memiliki ukuran.
Dan ukuran cinta adalah kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Hilangnya cinta dan perasaan sayang tidak disebabkan apa pun,
selain karena hilangnya kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Rusaknya hubungan antarmanusia tidak disebabkan apa pun,
melainkan karena rusaknya kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Toko kehilangan pelanggan, pekerja kehilangan klien,
cinta putus hubungan, kita kehilangan teman,
sering kali diawali hilangnya kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Adakah orang di dunia yang mau menjalin hubungan
dengan seseorang yang tidak dia percaya?
Jawabannya sangat jelas dan gamblang: Tidak ada!
—Twitter, 8 September 2015

Secara statistik, lebih dari separuh toko yang bangkrut
bukan disebabkan persaingan,
tetapi karena hilangnya kepercayaan pelanggan.
—Twitter, 8 September 2015

Berdasarkan studi, lebih dari separuh hubungan cinta
yang bubar bukan karena hilangnya getar dan debar,
tetapi karena hilangnya kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Penelitian mengungkapkan, lebih dari separuh perceraian
terjadi bukan karena faktor ekonomi atau lainnya,
tapi karena hilangnya kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Seorang wanita bersedia menyerahkan hidup
kepada seorang lelaki, bukan karena apa pun,
bahkan bukan karena cinta. Tapi karena kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Seorang lelaki bersedia bekerja keras demi membahagiakan
wanita yang hidup bersamanya, bukan karena apa pun,
tapi karena kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Pada akhirnya, kita akan menyadari,
yang kita cari bukan seseorang yang kita cinta,
melainkan orang yang kita percaya.
—Twitter, 8 September 2015

Jangankan untuk menjalani hidup bersama, bahkan untuk
mengobrol semalam dengan seseorang pun kita butuh kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Jangankan untuk menjalin hubungan,
bahkan sekadar untuk bertemu pun kita butuh kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Orang mendambakan hubungan, karena membutuhkan ketenteraman.
Dan ketenteraman hanya bisa dibangun di atas landasan kepercayaan.
—Twitter, 8 September 2015

Sebenarnya, kita tidak butuh pasangan yang hebat,
pintar, terkenal, atau mengagumkan.
Kita hanya butuh pasangan yang baik dan menenteramkan.
—Twitter, 8 September 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Jumat, 11 September 2015

Menjadi Bajingan dengan Hukum Pareto

Kita selalu punya alasan untuk melakukan kebaikan,
pun kita sekali punya alasan untuk melakukan kejahatan.
Hidup adalah soal pilihan.
@noffret


Hukum Pareto menjelaskan konsep 80/20—kemungkinan besar dan kemungkinan kecil. Bagi yang percaya Hukum Pareto, maka seperti itulah konsep yang terjadi dalam banyak hal, bahkan dalam berbagai hal.

Jika kita berlatih menembak—atau masih awam dalam aktivitas menembak—peluru kita akan mengenai sasaran dengan ketepatan 20/80. Untuk setiap seratus peluru yang kita muntahkan, kemungkinan besar yang mengenai sasaran hanya 20, sementara 80 lainnya meleset. Angka kemungkinan itu akan berbalik seiring kebiasaan dan kemahiran kita berlatih.

Di awal-awal berlatih menembak, peluru yang tepat sasaran hanya 20 persen, sementara yang meleset 80 persen. Lama-lama, angka itu akan berbanding lurus—50/50. Seiring ketekunan dan kemahiran berlatih, angkanya akan berbalik menjadi 80/20, dengan 80 persen tepat sasaran, dan 20 persen meleset. Bahkan seorang sniper atau penembak jitu pun mempercayai konsep itu.

Ketika seorang sniper bersiap membidikkan peluru ke jantung sasaran, dia akan memperhitungkan berbagai kemungkinan—kecepatan peluru melesat, probabilitas gerak sasaran, embusan angin, hingga hal-hal tak terduga seperti halangan yang bisa muncul tiba-tiba. Dia menyadari bahwa kemungkinannya adalah 80 banding 20, yaitu 80 persen berhasil, dan 20 persen gagal.

Seorang sniper tidak hanya berlatih puluhan kali, tapi ribuan kali. Ketika berlatih di arena menembak, ketepatan bidikannya bahkan bisa mencapai 99 persen—jauh melampaui konsep Hukum Pareto. Karena itulah mereka disebut “penembak jitu”, karena kemampuan tembakannya hampir bisa dipastikan tepat mengenai sasaran. Dengan kata lain, seorang sniper profesional memiliki kemampuan berhasil hampir 100 persen. Tetapi....

Tetapi, di dunia ini tidak hanya ada Hukum Pareto, namun juga Hukum Murphy. Hukum Pareto menyatakan konsep 80/20. Sementara Hukum Murphy menyatakan, “Apa pun bisa yang salah akan salah!”

Tak peduli sehebat apa pun seseorang—dalam apa pun keahliannya—dia akan berhadapan dengan Hukum Murphy. Apa pun yang bisa salah, akan salah!

Karena itulah, ketika seorang sniper telah bersiap membidikkan pelurunya, dia akan memperhitungkan segala hal dari semua sudut, mempertimbangkan segala sisi, memikirkan segala kemungkinan, karena menyadari... apa pun yang bisa salah akan salah. Menembakkan sebutir peluru hanya butuh waktu satu detik. Tapi proses perencanaannya membutuhkan waktu berbulan-bulan. Karena apa pun yang bisa salah, akan salah!

Sniper paling hebat pasti pernah menghadapi kegagalan—pelurunya meleset dari sasaran. Pembalap paling hebat pasti pernah mengalami kekalahan—ban kendaraannya bocor, atau mesinnya ngadat, atau masalah lain muncul tiba-tiba. Investor paling hebat pasti pernah mengalami kerugian—saham yang dipilihnya jeblok di pasar, dan nilai investasinya menurun drastis. Seorang penulis paling hebat pasti pernah mengalami kesalahan—dari salah ketik, keliru meletakkan huruf kapital, menggunakan logika yang salah, dan lain-lain. Meski mereka mungkin bisa melampaui konsep Hukum Pareto, tapi mereka harus menghadapi Hukum Murphy. Apa pun yang bisa salah, akan salah.

Kenyataan-kenyataan semacam itulah yang menjadikan orang-orang bijaksana di zaman dulu selalu menasihati dan mengingatkan, “Hati-hati... hati-hati...”

Hati-hati, karena bahkan jika kau benar sekali pun, selalu ada kemungkinan kau akan salah. Apalagi jika kau jelas-jelas salah!

Kadang-kadang, ada orang tolol yang merasa dirinya pintar, kemudian memutuskan menjadi bajingan. Karena mengenal Hukum Pareto, misalnya, dia mungkin berpikir kemungkinannya berhasil 80 banding 20. Karena merasa pintar, dia pun mungkin berpikir tidak akan gagal, atau tidak akan ketahuan. Tetapi bahkan kejahatan yang dilakukan sangat licin sekali pun selalu ketahuan!

Kalau percaya Hukum Pareto, percayailah pula bagian 20 persennya, bukan hanya memelototi bagian 80 persennya! Lebih dari itu, pikirkan dan nilailah secara objektif, apakah kita memang benar-benar pintar, ataukah hanya merasa pintar? Karena orang yang benar-benar pintar pun tetap memiliki kemungkinan gagal 20 persen—jika menggunakan Hukum Pareto—apalagi orang yang sekadar merasa pintar?

Setelah memahami Hukum Pareto, pahami pula Hukum Murphy. Apa pun yang bisa salah, akan salah! Jika tidak percaya konsep ini, pergilah ke penjara, dan temuilah bajingan-bajingan paling pintar di sana. Bajingan-bajingan yang sekarang meringkuk di penjara itu akan ngoceh bahwa mereka telah memikirkan kejahatannya dengan sangat matang dan hati-hati, sangat licin dan rapi, tapi entah bagaimana tetap ketahuan.

Tetap ketahuan—karena ada Hukum Murphy.

Tak peduli serapi dan sehati-hati apa pun merencanakan sesuatu, selalu ada kemungkinan salah! Meski kemungkinan salahnya mungkin cuma 1 persen. Tapi persetan, kemungkinan tetap kemungkinan, dan kemungkinan itu bisa membawamu berakhir di penjara.

Karenanya, ingat wasiat orang-orang bijak zaman dulu. Hati-hati, hati-hati. Bahkan kalau kau melakukan hal yang benar sekali pun, lakukanlah hati-hati.

Jika melakukan hal-hal benar saja kita dituntut hati-hati, seharusnya setiap orang tidak perlu repot-repot memikirkan hal-hal salah untuk menjadi bajingan!

Pertanyaan Saya Kepada Anda Adalah...

Ciyeee...

Selasa, 08 September 2015

Mereka Pergi ke Mekkah

Carlyle! Carlyle!
Semua pekerjaan mulia pada mulanya mustahil.
@noffret


Seorang buruh serabutan, seorang penjual bubur, seorang tukang becak, seorang tukang sayur, dan seorang penjual nasi. Lima orang berbeda, tinggal di tempat berbeda, dengan latar belakang berbeda, namun memiliki impian yang sama—pergi haji ke Mekkah—meski impian itu bisa dibilang mustahil, mengingat kondisi dan kehidupan mereka.

Meski beribadah haji ke Mekkah mungkin tidak terlalu sulit bagi sebagian orang kaya atau berkecukupan, tetapi keinginan itu bisa menjadi “mustahil” untuk sebagian yang lain. Jangankan untuk beribadah haji ke Mekkah yang membutuhkan biaya sampai puluhan juta, untuk makan sehari-hari pun sebagian orang masih kesulitan. Tetapi, inilah mereka—orang-orang yang memegang teguh impian, dan berani membangun impian meski harus berhadapan dengan kemustahilan.

Seorang buruh serabutan, seorang penjual bubur, seorang tukang becak, seorang tukang sayur, dan seorang penjual nasi. Mereka memiliki kesamaan—miskin dan tidak berpendidikan. Tapi mereka juga memiliki kesamaan lain—memiliki impian, dan berani mengejarnya meski harus menempuh perjuangan dan pengorbanan bertahun-tahun.

Sang buruh serabutan bernama Ansori. Dia tinggal di Dusun Lojok, Kelurahan Kepel, Kecamatan Bugulkidul, Kota Pasuruan, Jawa Timur. Sedari kecil, Ansori telah hidup sebatangkara. “Bapak saya hilang entah ke mana pada waktu pendudukan Jepang, sementara ibu meninggal,” dia menceritakan.

Yatim piatu sejak kecil menjadikan Ansori hidup tidak jelas, karena tidak tahu harus kepada siapa menggantungkan diri. Tanpa orangtua, tanpa keluarga, Ansori kecil pernah menjalani hidup di pinggir sawah sampai dua tahun, karena tidak tahu harus tinggal di mana. Selama hidup di pinggir sawah, dia makan apa saja yang bisa ditemukan. Kadang dia menemukan buah, atau kebetulan ada orang yang kasihan dan memberinya makan seadanya.

Jika nasib sedang baik, dia bisa mengumpulkan rumput, yang kemudian ia tawarkan pada orang yang mungkin membutuhkan. Hasilnya kemudian bisa digunakan untuk makan. Tapi rumput tidak tumbuh setiap saat, dan tidak setiap hari ada orang yang mau membayar rumput.

Pernah, suatu hari Ansori tidak menemukan buah atau apa pun yang bisa dimakan, dan tidak ada orang yang kebetulan memberinya makan. Juga tidak ada rumput yang bisa ia kumpulkan. Sementara perutnya sudah sangat kelaparan. Didorong kelaparan yang tak tertahan, Ansori pun nekat memakan pecahan batu bata. Dia mengambil pecahan-pecahan batu bata yang kebetulan ditemukan, kemudian terpaksa memakannya.

Tapi batu bata bukan makanan manusia. Setelah perutnya “kenyang” karena terisi batu bata, tubuh Ansori “berontak”. Dia merasa sangat letih sampai tidak bisa bergerak, sementara haus tiba-tiba mencekik kerongkongan. Dia tidak sempat memikirkan kemungkinan itu. Jadi, setelah terbebas dari kelaparan, sekarang dia menghadapi kehausan luar biasa. Dengan tubuh lemas, Ansori pun merangkak ke sungai, demi bisa minum air, untuk meredakan haus di kerongkongan.

Pengalaman itulah yang kemudian melecut pikiran Ansori. Dia tidak bisa terus hidup di sawah—dia harus bergerak, jika ingin nasibnya berubah. Maka Ansori pun memutuskan menggelandang. Dia masih awal remaja waktu itu—sendirian, tak punya apa-apa, tak memiliki siapa-siapa, dan menggelandang di jalanan. Dia tidur di sembarang tempat, memakan apa saja yang bisa ditemukan, dan kadang-kadang mengemis jika tidak bisa menemukan apa pun sementara dia butuh makan.

“Saya baru berhenti menggelandang setelah menikah,” ujar Ansori. Dia menikah dengan seorang wanita bernama Arliyah. Pernikahan mereka hanya diresmikan di KUA. Setelah menikah, Ansori bekerja serabutan, termasuk menjadi buruh tani dan kerja apa pun yang dapat menghasilkan uang. Jika tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan, Ansori akan mengemis. Memiliki istri menjadikan Ansori lebih termotivasi menjalani hidup, karena mempunyai seseorang yang bisa dipercaya, seorang pasangan yang bisa diajak menjalani hidup bersama.

Tetapi kemudian Arliyah meninggal dunia, dan Ansori kembali hidup sebatangkara. Menyadari telah kehilangan seseorang yang memotivasi hidupnya, Ansori pun mencari hal lain yang dapat kembali menyalakan semangat, agar dia terus bertahan menjalani kehidupan. Lalu dia menemukan motivasi baru. Dia ingin pergi haji ke Mekkah. Keinginan itu tidak hanya membuatnya mampu terus bertahan hidup, tapi juga membangkitkan semangat di dalam jiwanya.

Kalau saja impian pergi haji ke Mekkah didengar teman-temannya, Ansori pasti akan ditertawakan, dan dia mungkin akan diberitahu bahwa impiannya terlalu muluk-muluk, bahwa keinginannya mustahil, dan sebaiknya kubur saja impian itu. Tapi Ansori memendam impian itu sendirian, di lubuk hatinya yang terdalam, dan hanya tahu satu hal—dia akan mewujudkan impiannya. Karena hanya dengan impian itulah dia memiliki semangat untuk meneruskan hidup.

Dalam sehari, rata-rata uang yang diperoleh Ansori hanya sekitar Rp. 20.000. Bagaimana bisa seorang berpenghasilan Rp. 20.000 per hari punya impian naik haji?

Caranya sangat mudah, setidaknya bagi Ansori. Dari penghasilannya yang kecil, Ansori menggunakan Rp. 15.000 untuk makan, sementara Rp. 5.000 sisanya ditabung. Karena tidak berpendidikan, Ansori tidak tahu cara menabung di bank. Jadi, dia memutuskan untuk menitipkan uangnya pada seorang teman yang ia percaya, bernama Hanafi.  

Jadi begitulah. Setiap hari, Ansori menyisihkan Rp. 5.000 dari penghasilannya, yang lalu ia titipkan pada Hanafi. Kadang-kadang, jika rezeki berlebih, dan dia mendapat uang lebih banyak, dia pun menabung lebih banyak. Ansori melakukan hal itu bertahun-tahun, sampai lebih dari 20 tahun. Sebuah cara yang mudah, sederhana, tanpa teori macam-macam, tapi terbukti mampu mengalahkan kemustahilan. Akhirnya, setelah bertahun-tahun berjuang, Ansori berhasil mengumpulkan sejumlah uang yang cukup untuk membayar biaya haji ke Mekkah!

Dia dijadwalkan berangkat ke Mekkah pada 8 September 2015, dan tergabung dalam kloter 44 dari Pasuruan. Saat sampai di Mekkah, mungkin Ansori menyadari, bahwa kemiskinan dan keterbelakangan tidak mampu mengalahkan siapa pun yang punya impian... dan berani mengejar impiannya meski harus berjuang dan berkorban bertahun-tahun. Saat berangkat haji, usia Ansori telah 78 tahun. Tapi dia pasti termasuk manusia yang dapat tersenyum puas menatap kehidupan, karena menyadari usianya tak sia-sia.

Tidak jauh beda dengan Ansori di Pasuruan, di Banyumas juga ada wanita yang berhasil mengejar impian sama—berangkat haji ke Mekkah. Namanya Sariyah, warga Desa Karanglewas Kidul, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas.

Setelah suaminya meninggal, Sariyah harus berjuang sendirian menghidupi keluarga. Untuk menyambung hidup, ia berjualan bubur candil keliling, keluar masuk kampung di daerahnya. “Setiap hari, dari hasil keliling jualan bubur candil, biasanya saya dapat Rp 20.000 sampai Rp 30.000,” dia menceritakan. “Kadang-kadang malah kurang dari itu.”

Meski penghasilannya bisa dibilang pas-pasan, bahkan untuk makan saja kadang kurang, tapi Sariyah punya impian “mustahil”—dia ingin berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dan dia menempuh cara yang sama seperti yang dilakukan Ansori—menyisihkan penghasilan yang tak seberapa, dan ditabung. Dia menuturkan, “Saya tidak bisa setiap hari menabung. Kadang dua atau tiga hari sekali. Malah kalau tidak ada sisa uang, saya baru menabung setelah seminggu.”

Tetapi dia akhirnya berhasil mewujudkan impian mustahil itu. Setelah puluhan tahun menabung, Sariyah akhirnya bisa mengumpulkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membiayai impiannya. Dia mendaftar pemberangkatan haji ke Kantor Kementerian Agama Banyumas, menunggu antrean hingga empat tahun, dan akhirnya berhasil pergi ke Mekkah, ketika usianya menginjak 52 tahun.

Sementara itu, di Jember, ada orang lain lagi yang punya “impian mustahil”. Namanya Abdullah, warga Dusun Klanceng, Desa Ajung, Kecamatan Ajung, Jember, Jawa Timur. Sehari-hari, dia bekerja sebagai tukang becak. Penghasilannya tidak menentu. “Setiap hari, biasanya saya dapat Rp 15.000 sampai 20.000,” ujar Abdullah. Tetapi tidak jarang dia tidak mendapat uang sama sekali, karena tidak ada yang menggunakan jasanya.

Jadi, kehidupan Abdullah juga bisa dibilang pas-pasan. Meski begitu, orang ini punya impian yang tidak main-main—dia ingin berangkat haji ke Mekkah. Teman-temannya sesama tukang becak mungkin akan tertawa kalau saja mendengar impian itu, dan bisa jadi mereka akan meminta Abdullah berkaca. Tapi Abdullah percaya pada impiannya, dan bertekad untuk mengejarnya.

Abdullah tahu, satu-satunya cara untuk mewujudkan impiannya ke Mekkah hanyalah dengan mengumpulkan uang. Jadi, itulah yang dia lakukan. Jika ada rezeki berlebih, dia menyisihkan sebagian untuk ditabung. “Saya tidak nabung setiap hari,” tuturnya. “Kadang tiga hari sekali. Malah kalau tidak ada sisa dari menarik becak, saya baru menabung setelah satu minggu. Itu pun sekali menabung hanya Rp 25.000.”

Tetapi yang sedikit demi sedikit itu lama-lama menjadi bukit. Setelah 26 tahun menabung dengan tekun, akhirnya Abdullah berhasil mewujudkan impiannya. Dia berangkat haji ke Mekkah, ketika usianya 65 tahun.

Masih di Jawa Timur, kali ini di Probolinggo, ada orang “nekat” lain yang sama punya impian “mustahil”. Namanya Asizah, dan setiap hari biasa jualan sayur. Orang-orang biasa memanggilnya Nenek Asizah. Dia tinggal di Jalan Supriadi, Kanigaran, Kota Probolinggo.

Ketika pertama kali mencetuskan niat untuk berangkat haji, usia Asizah sudah 65 tahun—usia yang tidak bisa dibilang muda untuk mengejar impian. Tetapi nenek satu ini rupanya bukan nenek sembarangan. Meski usianya sudah tua, dia bertekad untuk mewujudkan impiannya. Mungkin dia tahu, tidak ada kata terlambat untuk mengejar impian.

Jadi, sejak menetapkan niat, Asizah pun mulai menabung dengan menyisihkan penghasilannya. Setiap hari, kadang dia menabung Rp. 2.000. Jika rezeki berlebih, dia pun menabung lebih banyak, bahkan kadang bisa Rp. 50.000. Bersama usia yang terus menanjak, bersama fisiknya yang makin renta, Asizah terus percaya pada impiannya. Dan impian itu akhirnya terwujud. Setelah 20 tahun berusaha dan berupaya, Asizah benar-benar berangkat haji ke Mekkah, ketika usianya 85 tahun.

Selain Asizah, ada wanita lain yang tidak mau dikalahkan usia. Namanya Halimah, warga Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Poliwali Mandar, Sulawesi Selatan. Sehari-hari, Halimah berjualan nasi kuning yang ia jajakan dengan gerobak. Halimah ingin berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji. Tapi dia tahu, impian itu sulit tercapai. Pertama, penghasilannya dari berjualan nasi selalu habis untuk menghidupi keluarga. Kedua, dia juga merasakan fisiknya makin lemah karena usia yang kian renta. Saat berjualan, kadang dia harus istirahat lama di tengah jalan, melemaskan kaki, dan menunggu tenaganya pulih.

Usianya sudah 60 tahun. Di usia yang senja itu, dia tidak hanya terus bertahan hidup dan berjuang menghidupi anak-anaknya, tapi juga bertekad mewujudkan impiannya—berangkat haji ke Mekkah. Kisah ini tidak perlu dilanjutkan, karena kalian tentu sudah tahu kelanjutannya. Halimah, nenek renta sang penjual nasi, akhirnya berhasil berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Ansori di Pasuruan, Sariyah di Banyumas, Abdullah di Jember, Asizah di Probolinggo, dan Halimah di Sulawesi, bisa dibilang bukan orang-orang luar biasa. Mereka orang biasa seperti yang biasa kita lihat di sekitar—orang-orang yang mungkin miskin, tidak berpendidikan, berpenampilan sederhana, tapi mereka memiliki satu hal yang tidak dimiliki kebanyakan orang lain.

Mereka memiliki impian, dan percaya, dan bertekad, dan berjuang, dan berkorban, dan bekerja, dan berdoa, demi mewujudkan impian. Mereka orang-orang biasa yang memiliki jiwa luar biasa.

Mereka mungkin tidak kenal David J. Schwartz, Norman Vincent Peale, Napoleon Hill, Anthony Robbins, atau bahkan Paulo Coelho. Tapi mereka telah membuktikan satu kebenaran penting di bawah langit, “Jika seorang manusia bertekad mengejar impian sampai titik darah penghabisan, maka alam semesta akan berkonspirasi untuk mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan.”

Setelah Cinta

Memeluk bulan bugil bulat
Anganku melayang menjemput kasihmu
Tebarkan sutera di kaki para malaikat
Dan kau pun melangkah menjenguk hatiku

Katakan apa yang ingin dikatakan...
Ucapkan apa yang ingin diucapkan...

Kaubawakan aku sepasang kupu-kupu yang kita terbangkan bersama di taman kala musim semi. Dan kupu-kupu itu beterbangan di antara harum bunga-bunga. Kau tertawa, dan aku tersenyum. Kau ulurkan tanganmu, dan kugenggam jemarimu.

Lalu kita berlarian mengejar sepasang kupu-kupu. Dan matahari perlahan sembunyi di balik awan. Dan langit menampakkan mendung yang sayu. Dan mega-mega hadir di angkasa menyaksikan kita. Dan angin pun cemburu.

Kau lihatkah itu? Sepasang kupu-kupu yang kita kejar kini hinggap di ranting bunga-bunga.

Kau dengarkah itu? Sepasang kupu-kupu berbisik mesra di antara harum bunga-bunga.

Kau rasakah itu? Sepasang kupu-kupu bergetaran ketika bibir mereka bersentuhan.

Kau cemburu? Tak perlu kaukatakan, karena aku juga cemburu.

O, Huruf

O, huruf.

Jumat, 04 September 2015

Kita Tak Pernah Tahu Apa yang Tidak Kita Tahu

Cieee, yang dari tadi ngeriset. Udah dapet belum?
Google nggak bisa ngasih apa-apa, ya? Ciyan...
@noffret 


Kami duduk berhadapan, dipisahkan meja dengan asbak dan gelas-gelas setengah kosong. Setelah bercakap-cakap sesaat, dia membuka netbook miliknya, dan menghadapkan layarnya ke arah saya. Sebuah foto terlihat memenuhi layar netbook.

“Kenal orang ini?” tanyanya.

Saya mengangguk. Di foto, tampak seseorang sedang melangkah keluar dari sebuah gedung bank—wajahnya hanya sekilas menatap kamera. Tampak sekali foto itu diambil tanpa sepengetahuan subjek yang dibidik. Meski hanya melihat profil sampingnya, tapi saya tahu siapa orang dalam foto itu.

“Gilas,” saya menjawab. “Gilas Simangunsong.”

Dia mengangguk. “Bagaimana kau mengenalnya?”

Saya mengisap rokok sesaat. Kemudian, di antara asap yang mengepul, saya menjelaskan, “Pada awal 2000-an, aku memimpin sebuah penerbitan majalah. Kau juga tahu soal itu. Karena ketatnya persaingan pasar, dan beberapa hal tak terduga yang terjadi, majalahku nyaris kolaps. Gilas kemudian mengakuisisi majalahku. Dia sudah lama bermain di bisnis media. Sejak itu, dia mengambil alih semua urusan penerbitan milikku, bahkan mengganti nama majalah itu. Well, itu awal perkenalanku dengannya.”

“Dan kalian berteman, setelah itu?”

“Tentu saja. Tetapi, karena kami punya kesibukan masing-masing, bisa dibilang kami sangat jarang ketemu.”

Dia mengangguk lagi. “Kau tahu siapa dia—maksudku si Gilas ini?”

“Tentu saja aku tahu siapa dia. Well, siapa yang tidak?”

Sesaat terdiam. Lalu dia berujar perlahan-lahan, “Jadi, kita sama-sama tahu siapa orang ini—Gilas Simangunsong. Orang yang menguasai dan mengendalikan tujuh belas media, salah satu bocah yang memiliki kemampuan mempengaruhi jutaan orang melalui media-media miliknya, yang rutin terbit setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Apakah pernyataanku benar?”

“Ya.” Saya mengangguk.

Dia lalu mengarah ke netbook, dan membuka laman Google. Setelah itu, dia mengetikkan nama “Gilas Simangunsong” di search engine. Google pun menampakkan hasil pencarian yang semuanya berkaitan dengan nama Gilas Simangunsong.

“Lihat,” dia berkata sambil menunjuk layar netbook.

Saya menatap layar netbook, dan menggumam, “Anything?”

Dia menjelaskan, “Nama Gilas Simangunsong hanya menghasilkan 500-an hasil di Google. Itu pun tidak ada yang berkaitan dengannya—hanya nama-nama orang lain yang kebetulan sama. Jika kita menggunakan tanda kutip, hasil yang muncul di Google cuma beberapa biji. Itu pun bukan nama Gilas yang kita kenal.”

“So?”

“So?” Dia menatap saya. “Tidakkah itu sangat tak masuk akal?”

Saya tersenyum. “Kenapa itu harus tak masuk akal? Well, maksudku, Google hanya mengindeks apa pun yang bisa dijangkau robotnya di internet. Kalau nama Gilas tidak muncul di Google, artinya memang tidak ada web yang memuat nama Gilas, sehingga Google tidak mengindeks. Jadi, di mana tidak masuk akalnya?”

“Sekarang, lihat ini.” Setelah itu, dia mengetikkan namanya sendiri ke search engine, dan menekan Enter. Seketika, Google memunculkan laman hasil indeks yang berkaitan dengan namanya. Jumlahnya lebih dari sejuta.

“See?” dia menatap saya dengan pandangan berharap. “Aku bukan siapa-siapa—khususnya jika dibandingkan Gilas temanmu itu. Tetapi, meski begitu, Google mengindeks sejuta link yang semuanya berhubungan dengan namaku.”

Kembali saya tersenyum. “Kenapa itu harus aneh? Kau muncul di mana-mana, diwawancarai banyak media, mengomentari berbagai hal, dan ocehanmu masuk koran. Oh, well, mereka bahkan menelan ocehan-ocehanmu seperti kawanan burung nasar. Tentu wajar kalau namamu berkaitan dengan banyak hal di internet—web, blog, portal, feed, sebut apa pun.”

“Dan kenapa Gilas tidak?”

“Dan kenapa Gilas tidak?” saya balik bertanya. “Karena dia memang tidak memunculkan diri. Dia punya banyak media. Kalau dia memang ingin muncul di media mana pun, itu semudah membalikkan telapak tangan.”

“Dan kenapa dia tidak melakukan itu?”

Saya mengisap rokok sesaat, kemudian berujar perlahan, “Well, my friend, hidup adalah soal pilihan.”

Sekarang dia tersenyum. “Itu filosofimu. Yang ingin aku tahu, apakah Gilas juga berpikir seperti itu?”

“Kau mau aku menanyakannya?”

Dia mengangguk. “Aku akan sangat menghargai.”

Saya mengeluarkan ponsel, dan menghubungi nomor Gilas. Saya juga membuka loudspeaker, agar orang di hadapan saya bisa mendengar suara Gilas. Setelah itu, saya letakkan ponsel di meja, dan terdengar nada sambung.

“Halo,” suara Gilas di ponsel.

“Hei, Gilas,” saya menyapa. “Ini aku.”

“Yeah, senang menerima teleponmu. Apa kabar?”

Saya tersenyum. “Sebaik dan seburuk biasa. Well, aku sedang bersama seseorang saat ini, yang ingin tahu kenapa kau tidak pernah muncul di media mana pun, hingga namamu tidak terindeks di Google.”

Terdengar suara Gilas tertawa. “Kenapa tidak kau saja yang menjelaskan?”

“Aku sudah menjelaskan, tapi dia ingin kau yang menjelaskan.”

“Kalau begitu,” ujar Gilas, “katakan pada temanmu, kita tak pernah tahu apa yang tidak kita tahu.”

Setelah mematikan sambungan di ponsel, saya menatap orang di depan saya, dan berkata, “Kau telah mendengarnya. Kita tak pernah tahu apa yang tidak kita tahu.”

Dia menatap saya beberapa lama, kemudian berujar, “So, apa artinya itu?”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, mengambil gelas, menghabiskan isinya, kemudian berkata perlahan-lahan, “Kita hidup di zaman absurd, ketika orang-orang tolol tiba-tiba merasa pintar hanya karena ada Google. Mereka pikir Google itu apa? Tuhan? Orang-orang itu menganggap semua hal ada di internet, dan dapat dicari lewat Google. Jika sesuatu terdapat di Google, artinya sesuatu itu memang ada. Jika tidak ada, mereka pun berpikir sesuatu itu tidak ada. Tolol sekaligus absurd!”

Saya menyulut rokok baru, dan melanjutkan, “Berapa kali kita mendengar orang-orang mengatakan dengan sok percaya diri, ‘googling saja!’ seolah-olah Google akan tahu segalanya, dan bisa menjelaskan apa saja. Sebenarnya tidak masalah, karena toh nyatanya Google bisa memberikan milyaran informasi yang kita cari. Yang sering jadi masalah adalah, orang-orang itu cenderung menganggap sesuatu tidak ada hanya karena mereka tidak bisa menemukannya di Google. Jadi, kepercayaan mereka terhadap Google sudah menyerupai iman—sejenis kepercayaan yang tak bisa dibantah. Mereka percaya jika sesuatu dapat dicari di Google, dan mereka tidak percaya jika sesuatu tidak bisa ditemukan di Google.”

Dia menggumam, “Seperti Gilas Simangunsong.”

Saya mengangguk. “Seperti Gilas Simangunsong. Kita tahu siapa dia, dan kita sama-sama mengagumi kehebatan serta besarnya pengaruh yang dimilikinya. Tapi tidak ada satu pun berkas yang bisa kita temukan di Google—tidak ada artikel, tidak ada berita, tidak ada foto, apalagi biografi dan kehidupannya. Sebenarnya, hal semacam itu tidak hanya terjadi pada Gilas. Aku bisa menyebutkan selusin nama lain yang sama hebat, tapi tidak bisa dilacak melalui Google—termasuk ilmuwan, pemikir, penulis, pemilik media, dan lainnya. Alexey Mordashov, misalnya. Atau Charles Butt. Atau German Larrea Mota Velasco. Kenal nama-nama itu? Mereka masuk dalam daftar seratus orang paling kaya Forbes tahun ini. Tapi Google tidak tahu apa-apa tentang mereka. Memang ada beberapa link yang diindeks Google berkaitan dengan nama mereka. Tapi link-link itu tidak memberitahu apa-apa, selain informasi yang semua orang sudah tahu. Coba lihat, mereka orang-orang hebat, berpengaruh, bahkan masuk daftar seratus orang paling kaya di dunia. Tapi Google tidak tahu apa-apa tentang mereka!”

Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, dengan nada ragu, dia berkata, “Kalau mendengar penjelasanmu barusan, aku jadi berpikir jangan-jangan masih banyak hal yang juga tidak diketahui Google.”

“Memang seperti itulah kenyataannya!” Saya mengisap rokok sesaat, dan melanjutkan, “Karena itulah, aku sering kasihan campur jengkel pada orang-orang yang menganggap Google seolah Tuhan, kemudian mendasarkan kepercayaan atau ketidakpercayaan mereka semata pada Google. Memang benar Google adalah search engine hebat yang dapat memberikan informasi apa pun yang kita inginkan. Tetapi, bagaimana pun, Google bukan Tuhan. Pengetahuan Google, sehebat apa pun, tetap terbatas, karena memang Google tidak mahatahu. Dengan kata lain, sungguh riskan jika kita menyandarkan kepercayaan atau ketidakpercayaan semata pada Google.”

Dia mengangguk-angguk. “Tetapi, sayangnya, tidak banyak orang menyadari kenyataan itu, eh? Sebenarnya, aku pun semula sangat mempercayai Google, dan berpikir apa pun atau siapa pun bisa dilacak serta ditemukan di Google.”

“Karena itulah, seperti yang kukatakan tadi, kita hidup di zaman absurd, ketika kepercayaan atau ketidakpercayaan disandarkan pada mesin bernama Google. Oh, aku bahkan pernah menjumpai keparat idiot yang dengan jumawa menuduh seseorang berbohong, hanya karena keterangan orang tersebut tidak bisa ditemukan di Google. Apa yang lebih absurd dan lebih idiot dari itu? Dia lebih mempercayai mesin daripada kejujuran manusia. Oh, well, dia pikir Google itu apa?”

Sejenak, keheningan hadir di antara kami. Dia menyesap sisa minumannya, sementara saya mengisap rokok.

“Sekarang, yang ingin aku tahu,” dia berujar perlahan, “kenapa ada orang-orang hebat di dunia ini, yang justru tidak bisa dilacak dan ditemukan di Google? Seperti Gilas temanmu, misalnya. Jujur sajalah, orang-orang seperti dia seharusnya mudah ditemukan atau dicari datanya di internet, mengingat ada banyak orang tidak jelas yang bisa dilacak lewat Google. Kenapa orang seperti Gilas justru sulit dilacak identitas dan kehidupannya, bahkan sama sekali tidak dikenali oleh Google?”

Saya tersenyum. “Karena... hidup adalah soal pilihan. Dan kita tak pernah tahu apa yang tidak kita tahu.”

Cara Mudah Hidup Tenang, Tenteram, dan Bahagia

“Apa pun yang kaucintai, akan mencintaimu.”
Hukum itu benar, asal yang “kaucintai” bukan makhluk hidup.
Lebih spesifik, bukan manusia.
@noffret 


Seorang lelaki menemui filsuf bijaksana, dan bertanya, “Bagaimana cara agar saya selalu hidup tenang, tenteram, dan bahagia?”

“Mudah sekali, Nak,” jawab sang filsuf. “Yang perlu kaulakukan hanya satu—jangan pernah jatuh cinta pada manusia.”

“Jika saya tidak boleh jatuh cinta pada manusia, Tuan Filsuf, lalu saya harus jatuh cinta pada siapa?”

“Banyak sekali yang bisa kaucintai, Nak. Tuhan, alam semesta, tumbuh-tumbuhan di sekitarmu, pepohonan yang rindang, air yang jernih mengalir, bebatuan—apa pun. Selama kau tidak jatuh cinta kepada manusia, kau tidak akan pernah kecewa.”

Si lelaki terdiam sejenak, kemudian berujar, “Tapi sepertinya saya kurang mampu melakukannya, Tuan Filsuf. Bagaimana pun, saya tetap ingin jatuh cinta pada manusia.”

“Kalau memang begitu,” sahut sang filsuf, “cintailah siapa saja tanpa harapan ingin memiliki, atau harapan lain apa pun. Cinta kepada sesama manusia memang akan membuatmu bahagia, tetapi hanya cinta yang tanpa tendensi. Hanya dalam cinta semacam itu, kau tidak akan pernah kecewa.”

Ingin Menjadi Teko

“Kita semua adalah huruf,” kataku kepada teko di meja.

Teko diam saja, karena dia teko.

Lalu, tiba-tiba, aku ingin menjadi teko.

O, Hutan

O, hutan.

Selasa, 01 September 2015

Kangen Ayu


Kamu kemana aja Yu, sampe lama gak keliatan?
Sumpah, aku kangen!
@noffret

aku lg mengerjakan pesanan bejibun. Dikangenin?masak siiih....
@itikbali

Iya Yu, kangen banget! Kalo aja tempatmu dekat udah tak datengi
sekarang juga, sayangnya harus nyeberang laut. Heuheuheu...
@noffret


Saya sedang kangen sama Ayu. Ralat. Saya sedang kangeeeeeeeeen banget sama Ayu. Jadi, saya menulis catatan ini sebagai semacam pelampiasan atas rasa kangen yang saya rasakan.

Sebagian blogger mungkin kenal Ayu, yang populer dengan nama Itik Bali, dan punya blog dengan alamat www.itikbali.com. Nama lengkapnya Dyah Ayu Purnama Sari. Dia blogger asal Bali yang lucu dan pintar. Saya mengenalnya bertahun-tahun lalu, ketika masih awal ngeblog. Kalau tak salah ingat, waktu itu Ayu masih SMP.

Perkenalan saya dengan Ayu dimulai suatu malam, melalui kejadian kebetulan. Jadi, malam itu saya sedang suntuk mencari referensi untuk sesuatu yang sedang saya kerjakan. Lalu saya searching ke Google untuk menemukan beberapa informasi yang saya cari. Entah bagaimana asal usulnya, Google kemudian merujuk ke blognya Vicky Laurentina.

Patuh pada Google, saya pun membuka blog Vicky. Rupanya, Google telah “menyasarkan” saya dengan semena-mena. Post yang dirujuk Google pada blog Vicky sama sekali bukan informasi yang saya cari. Tetapi, entah kenapa, saya asyik saja membaca post tersebut di blog Vicky, bahkan sempat membuka-buka post lain di sana. Omong-omong, di masa itu Vicky sedang lucu-lucunya—maksud saya, belum seserius sekarang.

Di blog Vicky itulah saya pertama kali melihat Ayu. Pada suatu post yang saya baca, terdapat banyak blogger yang berkomentar, dan Ayu salah satunya. Saya sudah lupa post apa yang saya baca waktu itu, yang jelas komentar Ayu menggelitik, hingga saya tergelitik untuk meng-klik profilnya, dan sampailah saya pada blog milik Ayu.

Di blog Ayu, saya pun membaca post terbaru. Saya sudah lupa judulnya. Yang masih saya ingat, di post tersebut Ayu bercerita pada keponakannya (atau adik temannya?) mengenai suatu legenda. Semula, dia menuturkan legenda itu sebagaimana adanya. Tetapi, di tengah-tengah cerita, dia “menyelewengkan” kisah legenda itu dengan seenaknya, dan... saya tertawa ngakak tanpa bisa ditahan.

Gara-gara membaca post tersebut, saya pun tergelitik membaca post lainnya, dan berpikir, “Cewek ini lucu.”

Itulah pertama kali saya mengenal Ayu, bertahun lalu. Sejak itu pula, saya rutin membaca update blog Ayu dan blog Vicky, serta cukup rutin berkomentar di blog mereka. Dua blog wanita itu bisa dibilang blog-blog pertama yang saya kenal ketika saya mulai blogwalking—gara-gara “disasarkan” Google. Karenanya, sebagai blogger, saya punya semacam “ikatan batin” dengan blog mereka.

Seperti yang dibilang di atas, Ayu masih SMP ketika saya pertama kali mengenalnya. Lalu tahun-tahun berganti, dan Ayu masuk SMA. Selama itu pula, dia masih lucu, dan selalu mampu membuat saya cekikikan saat membaca catatan-catatannya. Oh, dia bahkan punya cita-cita yang tidak lazim—menjadi Miss Universe. Dan cita-cita yang aneh itu masih mampu membuat saya cekikikan, sampai sekarang.

Tentu saya tahu, cita-cita menjadi Miss Universe hanyalah olok-olok Ayu pada diri sendiri. Kalau tidak keliru, Ayu sebenarnya ingin menjadi penulis. Dan saya pun diam-diam ikut mendoakan semoga cita-citanya tercapai. Kenyataannya, tulisan-tulisannya di blog juga makin bagus, seiring makin banyak ia menulis. Di kalangan blogger, Ayu bahkan menjadi selebblog atau selebritas di dunia blog. (Kenyataan itu baru saya tahu belakangan, setelah cukup lama mengenalnya.)

Yang membuat saya—dan banyak orang lain—menyukai Ayu dan tulisan-tulisannya, karena dia begitu bersahaja, jujur, dan lucu. Kadang-kadang dia memang sok jaim, tapi entah kenapa gaya sok jaimnya malah lucu, dan membuat orang tertawa.

Karena rutin membaca catatannya di blog, saya pun tahu cukup banyak kehidupan Ayu sebagai cewek remaja—kesehariannya, siapa pacarnya, teman-temannya, aktivitas sekolah, dan lain-lain. Tak jauh beda dengan keseharian adik saya. Saya juga punya adik cewek, mungkin sebaya dengan Ayu. Bedanya, adik saya tidak punya blog. Karenanya, saat membaca blog Ayu, saya merasa—atau membayangkan—sedang membaca blog adik saya.

Kenyataannya, setelah bertahun-tahun mengenalnya, perasaan itu pula yang saya rasakan terhadap Ayu. Bagi saya, Ayu adalah adik cewek yang pintar dan lucu, yang ingin kita banggakan atau pamerkan ke teman-teman. Saya sangat menyayanginya. Karenanya, ketika melihat dia diwawancarai media, dan profilnya muncul di koran atau majalah, saya ikut senang dan bangga. Kesenangan dan kebanggaan itu pun makin besar saat dia akhirnya berhasil mewujudkan cita-cita—menulis dan menerbitkan buku.


Sumber foto: FB Ayu

Lalu Ayu lulus SMA, dan kemudian kuliah—sastra Jepang di Universitas Udayana, Bali. Bayangkan, saya telah mengenal cewek ini, dan mengikuti kehidupannya, sejak SMP, SMA, hingga dia kuliah—perjalanan waktu yang tak bisa dibilang singkat.

Sejak kuliah, Ayu mulai jarang menulis di blog. Semakin hari semakin jarang, hingga akhirnya saya tidak lagi mendapati catatan barunya, sampai saat ini. Posting terakhirnya tercatat bulan Maret 2014—lebih setahun yang lalu. Setiap hari, setiap waktu, saya selalu menunggu, dan berharap dia kembali menulis di blog. Tapi harapan saya tinggal harapan. Setiap kali membuka blognya, tidak ada tulisan baru di sana.

Karena itulah, saya sangat kangen kepadanya. Kangen membaca catatan-catatannya yang biasa membuat tersenyum dan cekikikan, kangen gayanya yang centil dan lucu, kangen caranya membuat orang tertawa.

Mungkin Ayu sekarang makin sibuk dengan aktivitas dan kegiatan barunya, hingga tidak sempat lagi menulis di blog. Apa pun, saya berharap dia selalu dalam keadaan baik, menjalani hari-hari yang menyenangkan, dan—kalau ada waktu—dia ingat untuk kembali menulis di blognya. Karena, di sini, ada seseorang yang sangat... sangat merindukannya.

Dunia Memang Tidak Adil

Kejadian sehari-hari di Twitter...

Cewek A mengganti foto profilnya di Twitter.

Cewek B mengomentari, “Iiiih, cantiknyaaaa.”

Cewek A menyahut, “Kamu juga cantik, Sayang.”

Dunia adem ayem, seolah tak ada apa-apa.

....
....

Sekarang, coba kita ganti kasusnya...

Cowok A mengganti foto profilnya di Twitter.

Cowok B mengomentari, “Iiiih, gantengnyaaaa.”

Cowok A menyahut, “Kamu juga ganteng, Sayang.”

Dunia tiba-tiba geger, dan bisik-bisik berbau busuk.

....
....

Dunia memang tidak adil.

Noffret’s Note: Nasi Uduk

Sarapan nasi uduk. Dengan heran, temanku berkata, “Ini nasi uduk,
tapi kok nggak ada uduknya, ya?” | Mungkin “uduk” termasuk barang gaib.
—Twitter, 10 Juni 2015

Tuhan memang Maha Penyayang. Buktinya ada nasi uduk.
—Twitter, 6 Juni 2014

Nasi uduk, nasi tomat, dan nasi kebuli, adalah bukti empiris
bahwa manusia (memang) bisa berpikir.
—Twitter, 15 November 2014

Sering kali aku merasa, mencari nasi uduk jauh lebih sulit
daripada mencari pasangan hidup.
—Twitter, 8 Desember 2014

Terpujilah perempuan-perempuan yang bisa membuat nasi uduk.
Keberkahan Semesta menyertai hidup kalian.
—Twitter, 8 Desember 2014

Aku membayangkan, bidadari di surga adalah sosok-sosok indah yang
mampu membuat nasi uduk dengan butiran-butiran nasi yang terpisah.
—Twitter, 8 Desember 2014

Selama aku masih bisa menikmati nasi uduk, batagor, rokok,
teh hangat, dan buku bagus, aku tidak punya alasan untuk mengeluh.
—Twitter, 17 September 2014

#DoaSyukur Aku bersyukur ada nasi uduk di dunia ini.
Apa jadinya hidup kalau tak bisa makan nasi uduk?
—Twitter, 13 Januari 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
 
;