Jumat, 20 Mei 2022

Hal-Hal Menjengkelkan Terkait Gofood

Dari tadi lapar, pesan Gofood gak juga dapat driver,
sementara di luar hujan. Mau keluar juga males banget.
Iseng buka Twitter, dan sekarang aku jadi ingin ngoceh.
@noffret


Tempo hari, sebagian orang ribut soal Gofood di Twitter, dipicu oleh Warpopski yang memilih hengkang dari Gofood karena tidak nyaman dengan sistem Gofood. Pro kontra pun mengiringi. Sebagian orang memaklumi tindakan Gofood yang kini menampakkan taring kapitalisnya, sementara sebagian lain mengeluhkan harga/tarif di Gofood yang kini tak masuk akal.

Sebagai pengguna Gofood, saya ikut mengalami keresahan terkait hal itu.

Saya memakai layanan Gofood karena sering mengalami kondisi ketika saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan, tapi perut kelaparan. Ada masa-masa ketika saya harus tetap duduk dan konsentrasi pada pekerjaan yang saya hadapi, sementara perut keroncongan karena belum makan apa pun. Jika saya keluar rumah untuk cari makan, pekerjaan akan terbengkalai. Sementara jika saya meneruskan konsentrasi pada pekerjaan, saya bisa semaput.

Gofood hadir menawarkan solusi untuk masalah itu. Dengan layanan Gofood, saya tinggal membuka ponsel, memesan makanan, dan bisa tetap duduk serta khuysuk menekuri pekerjaan. Maka saya pun lalu berlangganan Gofood. Dengan biaya yang masuk akal, saya pikir Gofood adalah layanan ideal. 

Tetapi, bahkan sejak pertama kali, sebenarnya saya sudah tidak nyaman memakai Gofood, karena hal-hal tertentu. 

Pertama, pilihan yang terbatas.

Ada banyak sekali resto atau kafe di Gofood, dengan aneka makanan, minuman, dan jajan. Kelihatannya sangat banyak. Tetapi, bagi saya, pilihan yang ada di Gofood sangat terbatas. Dari banyak sekali resto yang menyediakan nasi, misalnya, yang cocok bagi saya—sejauh ini—hanya ada tiga!

Dulu, waktu awal-awal menggunakan Gofood, saya menjajal hampir semua resto yang [tampaknya] menyediakan makanan enak. Dari ayam geprek sampai ayam bakar, dan lain-lain. Dari masa-masa penjajakan itu, saya mendapati aneka masalah yang sebelumnya tak terpikirkan, khususnya bagi saya. Dari foto makanan yang ternyata tidak sesuai aslinya, sampai cita rasa yang membuat saya kapok.

Ada masakan-masakan yang cocok bagi lidah saya, misalnya, tapi nasinya lembek. Saya tidak doyan nasi lembek, jadi resto yang menyediakan nasi lembek otomatis akan tercoret dari daftar saya, dan saya tidak akan pernah memesan ke resto itu lagi. Bagi saya, nasi lembek adalah “kesalahan tak termaafkan”. Tak peduli seenak apa pun masakannya, saya tetap tidak doyan.

Ada pula resto yang menyediakan masakan enak, dan nasinya keras (akas), tapi “tidak match”. Misalnya begini. Ada resto yang menyediakan ayam bakar dan ikan bakar, plus nasi. Cuma itu. Layaknya ikan bakar atau ayam bakar, kita biasanya dapat lalapan dan sambal, kan? Nah, resto ini melengkapi ikan bakar atau ayam bakarnya dengan sambal ayam geprek yang pedasnya ngujubilah setan!

Saya benar-benar tidak habis pikir. Kenapa ayam bakar atau ikan bakar pakai sambal ayam geprek yang sangat pedas? Ikan bakarnya enak, ayam bakarnya enak, tapi sambalnya bikin misuh-misuh. Kenapa resto ini tidak membuat sambal yang tepat untuk ayam bakar atau ikan bakar yang mereka buat? Toh mereka juga tidak jualan ayam geprek!

Omong-omong soal ayam geprek, itu merupakan menu terbanyak di Gofood, dan saya merasa berputar-putar di situ. Karena rata-rata menu lain tidak cocok bagi lidah saya, dan ayam geprek sering kali jadi pilihan yang saya ambil dengan terpaksa. 

Sebenarnya saya tidak punya masalah dengan ayam geprek, tapi sambalnya itu yang bikin masalah—pedasnya bikin orang mau ngamuk. Dan tiap kali makan ayam geprek dengan sambalnya yang penuh angkara murka itu, saya harus menanggung sakit perut!

Apa tidak ada pilihan menu-menu lain yang lebih baik dan lebih sehat di Gofood? Sebenarnya ada, tapi saya tidak cocok. Kebanyakan menu masakan itu memiliki nama-nama yang sulit diucapkan lidah kita, dengan tampilan masakan yang, menurut tatapan saya, terlihat aneh—tipe-tipe masakan luar negeri, gitu, lah. Saya kurang cocok—untuk tidak menyebut tidak doyan—masakan semacam itu. Saya hanya cocok dengan masakan Indonesia.

Jadi, inilah masalah pertama yang saya hadapi di Gofood, yang membuat saya tidak nyaman, bahkan sejak pertama kali menggunakannya. Yaitu pilihan yang terbatas. Tiga resto yang jadi favorit saya di Gofood, kebetulan adalah resto yang biasa saya datangi—sudah sejak lama saya berlangganan di resto-resto itu, jauh sebelum saya mengenal Gofood.

Tiga resto itu mestinya bisa menjadi penyelamat ketika saya butuh makan tapi tidak bisa keluar rumah. Tetapi, sialnya, tiga resto itu sering tidak menerima pesanan lewat Gofood, akibat ramainya pengunjung di resto bersangkutan! Padahal, jika saya langsung datang ke resto-resto tersebut, saya selalu disambut hangat—pelayan-pelayan di sana sudah mengenal saya sebagai pelanggan setia. 

And know, inilah nasib saya terkait Gofood: Terjepit dalam pilihan yang sangat terbatas, lalu terpaksa memilih masakan yang akan membuat saya sakit perut!

Bahkan sejak awal menggunakannya, saya sudah tidak nyaman. Persis seperti pedekate, dan mendapati lawan bicara kita tidak nyambung.

Tapi saya tetap menggunakan Gofood selama waktu-waktu itu, karena keterpaksaan. Daripada pekerjaan terbengkalai, saya lebih memilih tetap di rumah dan membiarkan Gofood menangani kebutuhan makan saya. Meski, tiap kali membuka aplikasi itu, sejujurnya saya tidak pernah nyaman. Wong terpaksa, kok! Tidak ada orang nyaman karena terpaksa, kan?

Lalu, tibalah “bom” itu—faktor kedua yang bikin saya makin tidak nyaman menggunakan Gofood. Harga-harga melambung secara tak masuk akal, dan saya merasa “dikibuli” terang-terangan.

Di Gofood, ada semacam kasta. Kalau kita baru menggunakan Gofood, kasta kita disebut “Warga”. Semakin sering menggunakan Gofood—hingga habis banyak uang—kasta kita akan naik, dan disebut “Bos”. Naik lagi, kasta kita disebut “Juragan”. Naik lagi, kasta kita jadi “Anak Sultan”.

Dulu, waktu masih berkasta “Warga”, saya mendapati semua hal terasa murah di Gofood. Harga-harga makanan murah, biaya aplikasi murah, dan ongkos driver juga murah. Yang saya maksud “murah” adalah “masuk akal”. Dan semakin tinggi kasta yang saya tempati, saya mendapati harga-harga yang makin naik, dan terus naik.

Mula-mula saya tidak paham dengan hal itu. Pada setiap pergantian kasta, Gofood meminta saya melakukan update aplikasi. Dengan lugu, saya pun meng-update aplikasi Gofood, dan ternyata begitulah cara Gofood mengidentifikasi penggunanya. 

Semakin tinggi kasta seseorang, artinya semakin sering ia menggunakan Gofood, dan harga-harga semakin mahal. Mungkin, pikir Gofood, “Orang ini kayaknya banyak duit, tapi gak punya waktu.”

Dan kini, saya mendapati harga-harga di Gofood yang sudah sampai taraf tak masuk akal. Dari harga makanan, biaya aplikasi, sampai ongkos driver. 

Kondisi “tak masuk akal” itu terjadi karena Gofood menarik komisi dari tiap makanan yang terjual di aplikasi, menarik komisi dari biaya driver, plus menambah tetek bengek lain. Hasilnya, harga makanan bisa dua kali lipat dari harga aslinya, bahkan lebih.

Saya memahami bahwa bagaimana pun Gofood butuh mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, menutup kerugian dari uang yang telah mereka bakar, dan mulai menangguk keuntungan. Tetapi, menurut saya, cara mereka sangat kasar atau terlalu agresif, hingga membuat pengguna—bahkan juga mitra—merasa tertekan, untuk tidak menyebut “merasa dieksploitasi”. 

Di Gofood, ada resto yang menyediakan ikan bakar, dan saya cocok dengan masakan mereka. Ikan bakarnya enak, sambalnya cocok, dan nasinya juga akas. Jadi, saya pun sering beli ikan bakar itu di Gofood. Belakangan, saya tidak lagi mendapati resto ikan bakar itu, sampai sangat lama. Karena kangen, saya pun mendatangi langsung resto tersebut, untuk kembali menikmati ikan bakar yang saya sukai.

Di sana, saya tanya mengapa resto miliknya tidak lagi muncul di Gofood. Di luar dugaan, pemilik resto menyatakan, “Saya kasihan sama pembeli, Mas. Harga ikan bakar kami di Gofood jadi sangat mahal, dan saya tidak nyaman menjual semahal itu.” Jadi, mirip Warpopski, resto ikan bakar ini akhirnya memilih keluar dari Gofood, dan hanya menjual masakan secara langsung [untuk orang-orang yang datang ke resto mereka].

Sekali lagi, saya memahami bahwa Gojek—yang mengoperasikan Gofood—adalah perusahaan, dan mereka tentu harus menghasilkan keuntungan. Tapi caranya mbok yang cantik, hingga semua pihak merasa menang, dan bukan malah merasa dieksploitasi. Mosok startup Decacorn tidak bisa melakukan yang lebih baik daripada sekadar “cekik sana, cekik sini”? 

Noffret’s Note: Gofood

Kecurigaanku selama ini akhirnya terbukti.

*Nyulut udud*

Dulu, situs tirto pernah mengulas bisnis Gojek, dan tirto memprediksi bahwa yang sebenarnya diincar Gojek adalah Gopay. Dalam prediksi tirto—yang tertulis dalam artikel itu—uang yang terkumpul dari pengguna Gopay bisa dikapitalisasi untuk menghasilkan keuntungan [lebih] besar.

Tapi aku meragukan prediksi itu. Dalam pikiranku, Gojek tidak akan membiarkan Goride/Gofood dan lainnya begitu saja hanya untuk mengumpulkan uang [dan menghasilkan keuntungan] lewat Gopay. Karena itu seperti melempar umpan yang terlalu besar hanya untuk menangkap ikan kecil.

Sekarang kenyataan yang kupikirkan benar-benar terjadi. Masa bakar-bakar uang telah selesai, dan Gojek mulai mencari cara menghasilkan keuntungan. Sayangnya, cara Gojek terlalu kasar/agresif, dan terkesan mau menang sendiri, sehingga para mitra—juga pengguna/pelanggan—menjerit.

Tarif yang dikenakan Gojek pada Gofood, misalnya, sudah sampai taraf tak masuk akal—itu bukan sekadar mahal. 

Sesuatu disebut "mahal" jika yang kita terima setara dengan biaya yang kita keluarkan, dan biaya itu relatif besar. Itulah yang disebut mahal, dan itu tidak masalah.

Tapi "tarif tak masuk akal" adalah biaya yang kita keluarkan jauh lebih besar dibanding sesuatu yang kita dapat, sehingga “tidak rasional”. 

Gojek melanggar garis ini. Mereka menetapkan tarif ini dan itu, memotong komisi merchant, resto dan driver, dan hasilnya harga membengkak.

Rata-rata harga makanan di Gofood nyaris dua kali lipat dari harga aslinya, karena resto terpaksa menaikkan harga, demi bisa membayar komisi pada Gojek. Itu saja sudah mahal, dan harga mahal itu masih ditambah biaya kirim yang terus membengkak, dan biaya aplikasi yang terus naik.

Mirip Warpopski, aku punya resto langganan di Gofood. Tapi belakangan hilang, tak ada lagi di Gofood. Karena kangen masakannya, aku datangi langsung restonya, dan tanya kenapa menghilang dari Gofood. Dia bilang, “Saya kasihan sama pembeli, Mas. Harganya jadi mahal banget.”

Ocehan ini bisa panjang sekali kalau kuteruskan, tapi buat apa? Kita toh punya pilihan untuk terus menggunakan layanan Gojek/Gofood atau tidak. Dan, terus terang, aku benar-benar ingin tahu; dengan sistem semacam ini, kira-kira akan sampai kapan Gojek bakal mampu bertahan?

Kalau-kalau ada yang mau menyinyiri ocehan ini, aku perlu mengingatkan bahwa di Gofood ada semacam “kasta” (kalian yang pakai Gofood pasti tahu), dan aku telah menempati kasta tertinggi. Jadi aku tahu apa yang kukatakan sekarang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Mei 2022.

Kerikil dan Batu Besar

Apakah kerikil pernah melihat batu besar, dan apakah batu besar pernah melihat kerikil? Kalau ya, kira-kira bagaimana perasaan mereka?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Zalim Pada Laptop

Kadang aku merasa zalim pada laptopku. Seperti sekarang. Dari jam 6 pagi tadi sampai sekarang, benda ini belum mati. Semoga ia sehat selalu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2012.

Tak Pernah Terlambat

Satu-satunya hal yang tidak pernah terlambat di Twitter hanyalah pembaruan Tren. Buktikan saja kalau tak percaya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Rabu, 11 Mei 2022

Lebaran Makin Sepi

Baru kemarin lebaran, sudah mau lebaran lagi. Cepet banget.
Entah orang lain juga merasakan, atau cuma aku yang merasa gini.
@noffret


Makin tahun, kata orang-orang, lebaran makin sepi. Ungkapan semacam itu makin sering saya dengar ketika saya menemani (atau ditemani?) ibu dan adik berkunjung ke rumah para tetangga dan famili. Itu tradisi tahunan yang mau tak mau harus saya laksanakan, demi dianggap normal.

Kebetulan, leluhur saya dari pihak ayah kebanyakan ulama, dan anak-anak mereka juga rata-rata “meneruskan” jadi ulama. Sampai sekarang. Kenyataan itu menimbulkan konsekuensi tersendiri, khususnya bagi saya, karena “memerangkap” saya dalam ikatan kekerabatan yang erat.

Saat lebaran datang, kita tahu, masyarakat berdatangan untuk bersilaturahmi pada ulama di tempat masing-masing. Mereka belum tentu punya ikatan darah atau kekerabatan. Tapi mendatangi para ulama, bagi masyarakat kita, adalah hal yang penting dilakukan saat lebaran datang. Itulah yang saya sebut konsekuensi. Dalam hal itu, mau tak mau, saya harus mendatangi para famili saya—wong orang lain saja berdatangan ke rumahnya, mosok saya yang jelas punya ikatan darah malah tidak datang?

Jadi, itulah yang harus saya lakukan setiap tahun, setiap kali lebaran datang. Ada semacam perasaan bersalah jika saya nekat tidak datang ke rumah mereka. Lagi pula, mereka juga selalu datang ke rumah orang tua saya setiap lebaran tiba.

Dulu, waktu ayah saya masih ada, acara silaturahmi di hari lebaran benar-benar padat. Ayah punya banyak famili, dan dia benar-benar menjaga tali silaturahmi dengan mereka semua, tanpa kecuali. Itu pun masih ditambah dengan para famili dari pihak ibu. Karenanya, dulu, acara silaturahmi di hari lebaran bisa membutuhkan waktu sebulan, saking banyaknya orang yang kami datangi. Kebiasaan itu diam-diam “mendoktrinasi” saya tiap lebaran tiba.

Seiring tahun demi tahun, para famili yang sepuh meninggal satu per satu. Mereka punya anak-anak, tapi anak-anak itu tersebar di banyak tempat, dan “seleksi alam” terjadi. Perlahan-lahan, seiring lebaran demi lebaran, jumlah famili yang kami (keluarga saya) datangi makin berkurang, karena kami memprioritaskan para famili yang tempatnya masih terjangkau (dalam kota). Hal itu terus berlangsung, tahun demi tahun, sampai sekarang.

Sekarang, tidak terlalu banyak famili yang harus saya kunjungi saat lebaran. Mereka memang tersebar di banyak tempat, tapi masih terjangkau. Dan seperti yang disebut tadi, mereka ulama di tempat masing-masing. Dan mau tak mau, saya harus mengunjungi mereka.

Ketika mengunjungi mereka, hampir selalu saya mendengar ungkapan tadi, khususnya dari para orang tua, “Lebaran makin sepi.”

Biasanya, sebagai sopan santun, saya pun merespons dengan sopan, dan mengatakan hal serupa. Bahwa lebaran makin sepi. Bahwa Idul Fitri saat ini berbeda dengan Idul Fitri bertahun lalu. Apalagi ditambah [efek] pandemi. Dan kesibukan orang-orang makin banyak. Dan sebagainya, dan sebagainya. Toh nyatanya memang lebaran makin sepi, dan saya merasakannya sendiri.

Pada lebaran hari keempat, saya mengunjungi salah satu famili yang juga menjadi ulama. Saya sengaja datang agak larut malam, biar tidak berbarengan dengan para tamu lain yang berdatangan untuk sowan. 

Dia masih muda, jadi saya mendatanginya sendiri, karena ngobrolnya bisa lebih santai—beda dengan saat mendatangi famili yang sudah sepuh. Ayah saya dan ayah dia dulu punya hubungan yang sangat erat. Kini ayah kami telah sama-sama tiada, dan kami—anak-anaknya—meneruskan ikatan kekerabatan itu.

Saya biasa memanggilnya “Mas Kaji”, karena dia sudah menunaikan ibadah haji. Dia juga telah menjadi hafiz (penghafal Alquran) sejak masih belia, dan kini—setelah benar-benar menjadi ulama—dia fasih membicarakan isinya. 

Malam itu, saat saya duduk di rumahnya, Mas Kaji juga mengatakan, “Lebaran sekarang makin sepi.” Lalu dia menanyakan, “Piye menurutmu?”

Saya menjawab, “Menurutku, ya memang begitulah seharusnya.”

“Piye, piye? (Gimana, gimana?)”

Saya menjelaskan, “Maksudku begini, Mas Kaji. Lebaran itu kan memang bukan untuk ramai-ramai. Esensi Idul Fitri itu kan untuk menikmati makanan dan minuman, setelah sebulan berpuasa. Menikmati makanan dan minuman di rumah masing-masing. Jadi ya mestinya lebaran sepi-sepi saja, karena orang seharusnya berdiam di rumah masing-masing, bukan malah keluyuran seperti yang kita lakukan.”

Dia tertawa renyah. “Kowe ki awit biyen ora mari-mari. (Kamu dari dulu tidak sembuh-sembuh.)”

Saya ikut tertawa, lalu melanjutkan, “Bukannya yang kukatakan memang benar? Cuma kita di Indonesia yang menganggap lebaran sebagai waktu untuk bertemu sanak famili. Cuma kita di Indonesia yang mengartikan Idul Fitri sebagai ‘kembali suci’—padahal itu keliru.” 

Sebagai ulama, dia pasti paham bahwa makna “Idul Fitri” adalah “hari raya makanan”, bukan “kembali suci” seperti yang selama ini dipahami orang-orang awam. Idul Fitri juga sebenarnya dimaksudkan sebagai hari raya untuk menikmati makanan setelah sebulan berpuasa, bukan untuk maaf-maafan. Jadi, saya pun bertanya, “Kenapa sampeyan tidak pernah menjelaskan itu ke masyarakat?”

Dia tampak mendesah dengan berat. Ketika akhirnya berbicara, dia hanya mengatakan satu kata, “Sulit.”

Saya menunggu lanjutannya.

Mas Kaji seperti memikirkan kalimat yang tepat untuk merespons pertanyaan saya, dan akhirnya dia berkata perlahan-lahan, “Kadang-kadang, ada hal-hal yang sebaiknya kita biarkan saja, meski kita anggap tidak tepat. Membenahi sesuatu sering kali jauh lebih sulit daripada memulai sesuatu. Sejujurnya aku tidak tahu apa alasan ulama terdahulu memberi tahu masyarakat bahwa Idul Fitri artinya ‘kembali suci’ hingga kita perlu maaf-maafan. Mungkin pengaruh akulturasi, mungkin keliru memahami kosakata bahasa Arab—entahlah. Yang jelas, pengetahuan atau bahkan keyakinan itu lalu diturunkan dari generasi ke generasi, sampai ke zaman kita. Kalau kamu memintaku untuk memberi tahu masyarakat bahwa ‘sebenarnya tidak begitu’, terus terang aku tidak mampu.”

Saya menghargai keterusterangannya. Tapi saya juga gatal ingin bertanya, “Kalau sampeyan yang ulama saja merasa tidak mampu memberi tahu masyarakat mengenai kebenaran atau esensi Idul Fitri, lalu siapa kira-kira yang mampu melakukan hal itu?”

Mas Kaji nyengir. “Kamu, mungkin?”

Saya tertawa. “Sebenarnya, aku sudah mencoba memberi tahu orang-orang mengenai kebenaran Idul Fitri. Bahwa Idul Fitri artinya bukan ‘kembali suci’. Bahwa Idul Fitri adalah hari raya untuk menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa. Bahwa Idul Fitri tidak dimaksudkan untuk maaf-maafan. Dan sampeyan tahu bagaimana reaksi mereka?”

Mas Kaji menatap saya, penasaran.

Saya melanjutkan, “Mereka menganggapku gila.”

Mas Kaji tertawa. “Ya tidak apa-apa, lanjutkan saja.”

“Lanjutkan bagaimana?”

Kali ini Mas Kaji berkata lebih serius, “Ya lanjutkan saja apa yang kamu anggap benar. Setiap zaman membutuhkan ‘orang gila’ untuk mengatakan hal-hal yang tidak bisa dikatakan orang-orang waras. Seperti yang tadi kuakui, aku tidak mampu mengatakan kebenaran yang seharusnya kukatakan. Mungkin itu tugasmu.”

“Tapi, Mas Kaji, aku bukan siapa-siapa...”

“Justru karena kamu ‘bukan siapa-siapa’ itulah, kamu bisa bebas mengatakannya.”

Percakapan kami masih panjang.

Rezeki Punya Jalan Sendiri

Ada banyak orang yang suka mengatakan, “Rezeki punya jalan sendiri,” atau, “Rezeki sudah ada yang mengatur.” Kalimat-kalimat itu sebenarnya benar—sebentuk upaya tawakal manusia—tapi sering disalahgunakan, hingga tidak lagi memiliki arti benar sesuai asal usulnya.

Aku percaya bahwa “rezeki sudah ada yang mengatur”, atau “rezeki punya jalan sendiri”, jika diucapkan orang yang TELAH bekerja keras. Kalau kerja saja belum, malas-malasan, lalu ngemeng “rezeki sudah ada yang mengatur”, atau “rezeki punya jalan sendiri”, itu konyol.

Kalau kita sudah bekerja keras, lalu mengatakan “rezeki punya jalan sendiri”, itu sebentuk tawakal—kebesaran hati untuk menerima apa pun hasilnya. Tapi kalau kita belum bekerja lalu mengatakan “rezeki sudah ada yang mengatur”, kedengarannya seperti dalih orang malas.

“Tapi aku benar-benar mendapat rezeki meski tidak bekerja keras!” Bagus sekali. Pertanyaannya, berapa persen atau berapa kali orang bisa mendapat “keberuntungan” semacam itu? Jawabannya jelas tidak akan terus menerus, dan itu kenyataan yang tak bisa diandalkan.

Secara pribadi, aku lebih suka—dan lebih nyaman—menjalani kehidupan dengan berpikir bahwa hidup butuh persiapan, dan bukan sekadar mengandalkan nasib baik atau keberuntungan. Salah satu persiapan penting adalah uang. Dan karena itulah aku sangat suka kerja keras.

Ada orang-orang sok bijak yang kadang mengatakan, “Uang tidak menjamin hidup bahagia, dan bla-bla-bla.” Tentu saja hak dia untuk mengatakan atau meyakini hal semacam itu. Tapi aku punya pikiran sendiri, “Kalau uangmu banyak, setengah masalah hidupmu telah selesai.”

Aku bersyukur senang bekerja. Karena dengan bekerja, aku bisa mendapat uang. Dan kalau uangmu banyak, setengah masalah hidupmu selesai. Aku telah membuktikan itu berkali-kali, ketika menghadapi gempuran masalah yang datang bertubi-tubi. Dan aku bisa terus survive.

Tanpa uang, datangnya masalah akan membuatmu panik. Tapi kalau kau punya uang, datangnya masalah tidak akan terlalu membuat panik, karena uang membantu menyelesaikan setengah masalahmu. Setengahnya lagi tinggal hal-hal kecil yang mudah ditangani.

Sebagian orang mengatakan, “Kerja tidak usah ngoyo, rezeki sudah ada yang mengatur.” Ya silakan, kalau mau begitu. Tapi aku lebih suka bekerja, sekeras yang aku bisa, karena bekerja adalah hal terbaik yang bisa kulakukan untuk menghadapi aneka masalah yang datang.

Menunggu Hari Tenang

Sekitar seminggu sebelum lebaran, saya mendengar dua orang bercakap-cakap.

Orang pertama bertanya pada temannya, “Lebaran tinggal berapa hari lagi, sih?”

“Mungkin enam hari lagi,” jawab temannya. “Kamu udah nggak sabar pengin lebaran apa gimana?”

“Bukan. Aku cuma ingin segera kembali ke hari biasa, yang tenang seperti biasa.”

Sistem Nilai

Sistem nilai itu berbeda, sesuatu yang seharusnya telah kusadari sejak dahulu kala.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Diawali Luka

Bahkan hubungan yang diawali tawa bahagia pun bisa berakhir luka. Aku tak bisa membayangkan bagaimana akhir kisah yang diawali luka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Maret 2014.

Minggu, 01 Mei 2022

Agama yang Saya Percaya

Agama berdiri di atas dasar keyakinan.
Setiap pemeluknya punya kewajiban untuk
mempelajari keyakinannya, agar benar-benar
memahami yang diyakini.

Hanya dengan cara itu kita bisa benar-benar memahami
konteks, dan benar-benar beragama dengan ilmu,
pengetahuan, dan kesadaran.
@noffret


Di antara banyak pertanyaan, salah satu yang sering saya terima adalah, “Apakah kamu percaya agama?” 

Saya percaya agama yang berbasis pembelajaran, bukan agama yang berbasis doktrin. Agama yang berbasis pembelajaran “sibuk ke dalam”, sementara agama yang berbasis doktrin “sibuk keluar”.

Uraian soal ini bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9538, padahal urusan saya tidak hanya menulis untuk blog ini. Jadi, agar lebih singkat, kita gunakan contoh saja. Dan karena agama yang saya kenal sejak kecil adalah Islam, ocehan ini akan menggunakan perspektif muslim.

Well.

Sahih Bukhari-Muslim, sebagai contoh, hanyalah dua kitab. Yang satu ditulis Imam Bukhari, satunya lagi ditulis Imam Muslim. Tetapi dua kitab itu melahirkan lebih dari seribu kitab lain yang ditulis oleh para pemikir/pembelajar—atau yang biasa disebut ulama—dari masa ke masa.

Padahal, dua kitab yang ditulis Bukhari dan Muslim “cuma” hadist, yang posisinya di bawah kitab suci. 

Bertolak dari kenyataan itu, kita melihat betapa luasnya ilmu agama, kalau memang mau “benar-benar beragama”, atau “hijrah”, atau “kaffah”, atau apa pun sebutannya.

Ada lebih dari seribu pembelajar—di zaman kuno—yang masing-masingnya membedah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dan dari mereka lahir lebih dari seribu kitab yang semuanya membahas inti sama, dengan beragam perspektif, dengan aneka cara berpikir.

Sekarang umpamakan saja, setiap orang Islam mau mempelajari seribuan kitab itu untuk mendalami agamanya, seumur hidup belum tentu selesai. Bahkan umpama kita melajang dan terus mempelajarinya, belum tentu akan selesai—apalagi ditambah kawin dan beranak pinak.

Itulah agama yang saya percaya, yakni agama yang berbasis pembelajaran; agama yang berproses untuk menyempurnakan sesuatu di dalam diri. Agama semacam ini tidak peduli dengan hal-hal di luar, karena menyadari setiap manusia memang berproses, dan prosesnya bisa jadi berbeda.

Agama berbasis pembelajaran membuat pelakunya sibuk belajar, dan menujukan pandangannya ke dalam, karena tujuannya memperbaiki diri. Ini bertolak belakang dengan agama berbasis doktrin, yang menjadikan pelakunya justru menujukan pandangan ke luar (orang lain).

Agama berbasis pembelajaran tidak peduli ada surga atau neraka—mohon maaf, itu mainan anak-anak. Kalau orang memang ingin menjadi manusia yang baik, dia tidak peduli apakah mendapat balasan atau tidak, karena tujuannya hanya ingin menjadi manusia yang baik.

Sampai di sini, selalu ada kemungkinan orang gatal ingin bertanya, “Kenapa kita harus percaya pada Bukhari dan Muslim, sebagaimana kita harus percaya pada seribuan orang yang menulis kitab-kitab lain?” 

Ada setumpuk jawaban rasional, yang menurut saya sulit dibantah. 

Bukhari dan Muslim menulis kitab Sahih mereka, semata-mata karena memang ingin melakukannya, dan mereka mengabdikan hidup mereka hanya untuk itu. Proses memilah dan memilih mana hadist sahih bukan pekerjaan mudah, itu butuh ketekunan dan waktu puluhan tahun.

Mereka melakukan pekerjaan sulit itu semata-mata karena menyadari, “Jika aku tidak melakukannya, belum tentu ada orang lain yang akan melakukan—padahal ini (mengumpulkan hadist sahih) harus dilakukan.” 

Latar belakang itu menjadikan Sahih Bukhari Muslim terpercaya.

Dan ingat fakta penting ini; Bukhari dan Muslim tidak mendapat royalti, tidak mendapat popularitas semisal tambahan follower di medsos, dan hasil kerja mereka juga tidak dimonetisasi. Jika ada orang melakukan sesuatu karena semata ingin melakukannya, dan sesuatu yang dilakukan bertujuan untuk kemaslahatan orang banyak, ia layak dipercaya.

Begitu pula seribuan pembelajar lain yang mempelajari Sahih Bukhari Muslim; mereka sama-sama melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya, dan seribuan kitab lain itulah hasilnya. Mereka tidak peduli kita akan membacanya atau tidak; mereka hanya melakukan yang mereka pikir perlu dilakukan.

Latar belakang semacam itulah yang menjadikan ijtihad (upaya menemukan kebenaran) tidak pernah salah. Karena bahkan umpama mereka salah, kita tidak bisa menyalahkan, karena mereka telah mengupayakan seluruh daya yang dimiliki, sesuai konteks dan peradaban zamannya.

Dan itulah “agama” yang saya percaya; agama berbasis pembelajaran, sesuatu yang terus berproses dan belum selesai, karena berupaya memperbaiki diri. 

Pembelajaran membuat manusia terus berproses; doktrinasi menjadikan manusia berhenti karena merasa selesai.

Agama yang Moderat

"... Sejak kecil kita memahami agama sebagai dogma, padahal ajaran-ajaran itu juga harus dikritik, terutama jika ada hal-hal yang tidak masuk akal." —Siti Musdah Mulia

Di banyak negara, pemahaman agama yang moderat memang sulit berkembang, karena pemerintah lebih senang (dan cenderung mendukung) pemahaman agama yang konservatif. Kenapa? Jawabannya sederhana, karena mereka (yang beragama secara konservatif) lebih mudah dikendalikan.

Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, berencana mengurangi pelajaran agama di sekolah-sekolah Malaysia. Setahun lalu, dalam wawancara dengan Malay Mall, ia menyatakan, "Seseorang telah mengubah kurikulum di sekolah, dan sekarang sekolah negara telah menjadi sekolah agama."

Langkah Mahathir Mohamad yang mungkin ekstrem itu dilatari kenyataan bahwa terlalu banyak pelajaran agama di sekolah menjadikan "terlalu banyak orang yang merasa ahli agama". Dan saat ada banyak orang yang merasa ahli agama, yang terjadi kemudian adalah perbedaan dan perdebatan.

Yang dikhawatirkan Mahathir Mohamad sudah terjadi di Indonesia. Terlalu banyak orang yang merasa ahli agama. Dan ketika itu terjadi, bukan kemaslahatan yang tercipta, tapi justru aneka perbedaan, pertengkaran tanpa henti, dan perdebatan untuk memaksakan diri sebagai paling benar.

Saat orang-orang sibuk meributkan perkara-perkara sepele, mereka akan teralihkan perhatiannya dari perkara-perkara besar. Saat masyarakat punya masalah sendiri yang tak pernah selesai dihadapi, mereka akan terlupa pada hal-hal lain yang lebih penting untuk diurusi. You know that.

Di luar pemerintah, sebenarnya, ada pula orang-orang yang khawatir bahkan ketakutan jika pemahaman agama yang moderat berkembang di Indonesia. Karena, bagi mereka, itu akan meruntuhkan dominasi mereka, "mengacaukan tatanan sosial", melenyapkan pemberhalaan pada segelintir orang.

Omong-omong, itulah kenapa Gus Dur dari dulu dianggap memicu kontroversi, Siti Musdah Mulia dicaci-maki, Quraish Shihab dituduh macam-macam, sementara Gus Ulil sampai dikafir-kafirkan. Dan sementara itu, toa terus membahana dalam bising... dan menjauhkan kita dari aktivitas berpikir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Mei 2019.

Noffret’s Note: Kamuflase

Barusan baca berita, ada guru ngaji sekaligus imam masjid yang memperkosa putri kandungnya sejak kelas 3 sampai usia 17 tahun. Si pelaku juga nyaleg dari partai yang [terkesan] agamis. 

Kalian bisa googling sendiri beritanya, aku tidak nyaman memasukkan link berita kayak gitu di sini.

Betapa hebat kamuflase manusia. Di hadapan manusia lain, ia menjelma guru ngaji, imam masjid, dan embel-embel agamis lain. Di belakang manusia, dia menjadi iblis. Apa sebutan lebih tepat selain iblis, untuk orang yang memperkosa anak kandung sendiri sejak kelas 3 sampai 17 tahun?

Bagi beberapa orang, agama memang topeng terbaik untuk menutupi wujud aslinya yang busuk. Asal berpenampilan agamis, apalagi dikenal sebagai guru ngaji dan imam masjid, masyarakat pun akan spontan menganggapnya baik. Betapa "agama" telah begitu mengerikan, kalau dipikir-pikir.

Kalau kau memasang topeng agama, masyarakat akan buta. Persis seperti orang yang berkoar-koar memberi nasihat "dunia tidak penting, karena yang penting akhirat", tapi dia sendiri menjalani hidup mewah, kaya-raya dari nasihatnya itu, sementara masyarakat tetap susah dan melarat.

Enteng mengatakan "rajinlah beramal", tapi dia sendiri kikir dan memuja uang. Koar-koar mengatakan "orang miskin akan masuk surga lebih dulu", tapi dia sendiri kaya-raya. Kenyataan busuk inilah yang 8 tahun lalu membuatku menulis ini:

Lelaki dan Setan » http://bit.ly/15ikCUF 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Maret 2019.

Bandung Setahun Sekali

Bdg setahun sekali.

Hati

Hati menari seperti rajawali. Mengepak sayap dalam sunyi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 September 2012.

 
;