Kamis, 25 April 2013

Kecoak Dalam Otak

Ibuku berkata pada teman-temannya,
“Ya, anak saya memang gila.” Entah dia bangga
atau menyesal waktu mengatakannya.
@noffret


Dengan suara kanak-kanak khas bocah TK, saya berkata pada guru di kelas, “Bu Guru, ada kecoak di kepala saya.”

Ibu guru yang baik hati itu memeriksa kepala dan rambut saya, lalu berujar, “Kepalamu bersih, kok. Tidak ada apa-apa.”

“Maksud saya bukan di luar, Bu Guru. Tapi di dalam kepala saya.”

Ibu guru tersenyum, lalu berkata menenangkan, “Tentu saja tidak ada kecoak di dalam kepalamu.”

Ya, tentu saja tidak ada kecoak—atau hewan apa pun—di kepala saya. Tapi saya merasa seperti itu. Oh, well, saya merasa ada kecoak yang berjalan-jalan di dalam kepala. Tapi waktu itu saya masih kecil—masih TK. Kalau tak salah ingat, waktu itu masih berumur 4 tahun. Jadi, saya belum bisa memahami logika bagaimana kecoak bisa masuk ke dalam kepala.

Faktanya memang tidak ada kecoak. Khususnya di kepala. Tapi saya merasa bagian dalam kepala selalu gatal. Dan tak bisa digaruk. Itu membuat saya kesal sekaligus frustrasi. Jadi, saya pun mengambinghitamkan kecoak, dan membayangkan bocah itu—maksud saya kecoak—sedang berjalan-jalan di kepala saya. Bagi anak TK berumur 4 tahun, ilustrasi itu lebih mudah dipahami daripada hal lain, khususnya menyangkut isi kepala yang selalu gatal.

Jadi saya percaya ada kecoak di dalam kepala saya. Meski saya tidak bisa menjelaskan bagaimana hal absurd semacam itu bisa terjadi.

Ketika SD, saya merasakan kecoak di dalam kepala semakin banyak. Dan saya membayangkan, mungkin kecoak itu telah beranak pinak. Membayangkan ada kecoak beranak pinak di dalam kepalamu tentu saja tidak keren—begitu pula yang saya rasakan. Tapi saya bisa apa? Waktu itu saya masih SD, belum puber, belum nalar, bahkan tergolong bodoh.

Jadi, untuk menenangkan diri sendiri, saya pun terus menyibukkan diri demi bisa melupakan keberadaan kecoak-kecoak sialan di dalam kepala. Dan aktivitas yang asyik untuk menyibukkan diri adalah membaca buku di perpustakaan sekolah. Maka itulah yang saya lakukan. Setiap hari, saat jam istirahat, saya akan masuk perpustakaan, dan membaca buku apa saja yang saya inginkan.

Di perpustakaan itu, saya berkenalan dengan Sinbad, Aladdin, Ali Baba, Nebukadnezar, Superman, Flash Gordon, dan bocah-bocah lain yang kisahnya ada dalam banyak buku. Saya menyukai mereka, dan saat membaca kisah-kisah merekalah saya bisa melupakan keberadaan kecoak-kecoak di dalam kepala. Makin hari, saya makin keranjingan masuk perpus, makin asyik membaca buku, dan bocah-bocah kenalan saya makin banyak. Tentu saja semua bocah itu hanya ada di buku. Tapi saya senang.

Kesenangan dan keasyikan membaca buku terus berlanjut di SMP. Di SMP pula saya merasakan kecoak di kepala makin banyak, hingga saya pernah terpikir untuk meledakkan kepala saya, agar kecoak-kecoak sialan itu keluar semua. (Ehmm, kisah itu pernah saya ceritakan sekilas di sini).

Pada waktu di SMA-lah, saya mulai memahami apa sebenarnya yang terjadi pada diri saya, dan mulai menyadari—benar-benar menyadari—tidak ada kecoak di kepala. Yang jelas, sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di dalam kepala saya—apa pun itu. Dan untuk menenangkan diri, saya kembali menggunakan resep lama, yaitu masuk perpustakaan. Dan menenggelamkan diri ke dalam buku-buku.

Ketika di perpustakaan, saya merasakan ketenangan yang tak bisa saya temukan di tempat lain. Saat membuka lembar-lembar buku, menatapi halaman-halaman majalah, menggali kedalaman pengetahuan, saya merasakan kedamaian menenteramkan, yang membuat saya terlena hingga lupa pada kegelisahan di kepala. Pada waktu-waktu itu, saya bahkan lebih menikmati saat di perpustakaan daripada saat di kelas mendengar guru mengajar.

Lebih dari itu, satu-satunya tempat yang membuat saya bisa melupakan “kecoak” di dalam kepala hanyalah perpustakaan, ketika saya sedang bercinta dengan buku-buku, dan memeluk serta menciumi keindahan pengetahuan. Yang saya temukan dalam buku-buku itu bahkan jauh lebih menakjubkan daripada yang pernah saya dengarkan di kelas pada jam pelajaran.

Dan buku-buku itu mengajarkan sesuatu yang tak pernah diajarkan guru di sekolah. Yakni keberanian menerbangkan imajinasi, keindahan membangun pemikiran, keasyikan merangkai teori. Buku-buku itu seolah memberitahu saya, “Jangan pernah takut berpikir. Gunakanlah kepalamu, kembangkan pikiranmu, manfaatkan otakmu. Karena jika tidak, kepalamu akan dimakan kecoak.”

Maka itulah yang saya lakukan. Diam-diam. Demi kepala saya tidak dimakan kecoak. Secara diam-diam pula, saya sering memikirkan dan membayangkan hal-hal yang mungkin akan dianggap gila jika saya katakan pada orang lain. Dan saya menikmati saat-saat semacam itu—ketika sendirian, menerbangkan pikiran seliar apa pun, membayangkan banyak hal, mempertanyakan sesuatu, mencari jawabannya, merangkai struktur dan teorinya....



Ehmm... di bulan ini, ada dua buku baru saya yang terbit, berisi hal-hal sinting yang mungkin juga diakibatkan kecoak dalam kepala. Buku baru ini berjudul Sains Sinting (terdiri dari 2 jilid), dan berisi pertanyaan-pertanyaan gila beserta jawaban ilmiahnya. Beberapa pertanyaan itu di antaranya:
  • Jika manusia punya sayap, bisakah terbang seperti burung?
  • Jika manusia memiliki insang, bisakah hidup di air seperti ikan?
  • Bagaimana cara membuat zombie?
  • Apakah ada hewan yang waria?
  • Apakah ada hewan yang homo?
  • Apakah ada hewan betina yang matere?
  • Bagaimana membuat tikus jatuh cinta kepada kucing?
  • Apakah ikan bisa mabuk laut?
  • Bagaimana cara dinosaurus berhubungan intim?
  • Adakah makhluk selain manusia yang juga menstruasi?
  • Apakah Cleopatra secantik Manohara?
  • Apa yang akan terjadi jika Bumi tanpa Bulan?
  • Apa yang akan terjadi jika Bumi berhenti berputar?
  • Mungkinkah kita mengebor Bumi sampai tembus?
  • Jika ingin mengkhatamkan isi internet, kira-kira dibutuhkan waktu berapa tahun?
  • Apa yang akan terjadi jika kita bisa bergerak dengan kecepatan cahaya?
  • Dan pertanyaan-pertanyaan sinting lainnya.
Ada 100 pertanyaan dalam dua buku ini. Masing-masing pertanyaan dijawab dan diuraikan dengan bahasa yang mudah dipahami, dilengkapi ilustrasi dan fakta-fakta mendukung yang digali dari referensi dan makalah-makalah ilmiah, serta disajikan dengan cara yang menghibur.

Awal bulan depan, dua buku ini sudah bisa didapatkan di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Jangan sampai ketinggalan!

Deskripsi Paling Akurat Tentangku

Bocah.

Sabtu, 20 April 2013

Selimut Menjelang Subuh

Tidur nyenyak semalam disponsori selimut misterius
yang tiba-tiba nongol menjelang subuh.
@klaravirencia


Saya tuh sok gagah kalau sedang sehat, tapi cemen kalau sedang sakit. Sewaktu sehat, saya merasa bisa hidup sendiri, mampu melakukan segalanya sendiri, dan tidak terlalu butuh orang lain. Karenanya, saya pun enjoy bertahun-tahun hidup sendirian. Tetapi, sikap enjoy itu seketika musnah begitu saya jatuh sakit.

Mungkin, orang baru akan tahu pentingnya kehadiran orang lain ketika sedang sakit. Begitu pun saya. Kalau sakitnya agak ringan—semisal demam atau flu biasa—saya masih mencoba enjoy, dan masih mampu memaksa diri untuk tetap beraktivitas seperti biasa, meski tidak semaksimal waktu sehat. Tapi ketika sakit agak parah, saya benar-benar menyerah.

Seperti dua tahun yang lalu. Saya terkena tipus. Penyebabnya, kata dokter yang memeriksa, saya sering telat makan dan kurang istirahat. Saya mengiyakan, karena nyatanya memang seperti itu. “Makan tepat waktu” telah menjadi sesuatu yang asing bagi saya, sementara “istirahat” terdengar seperti barang mewah. Karenanya, sistem tubuh saya pun kacau, dan hasilnya adalah sakit. Saya kena tipus.

Meski tidak terlalu parah, hingga saya tak mau dirawat di rumah sakit, tapi kondisi saya benar-benar tak karuan. Perut melilit dan sangat sakit, sementara badan tidak jelas antara dingin atau panas. Yang jelas, tubuh saya lemah, sangat lemah. Tak mampu mengerjakan apa pun, bahkan untuk sekadar berdiri pun rasanya tak ada tenaga. Ketika dalam kondisi semacam itu, saya benar-benar butuh orang lain, dan segala ketegaran saya sirna. Ending-nya, saya pulang ke rumah nyokap!

Ya, ya, ini terdengar cemen—I know.

Kadang-kadang, saya juga malu pada diri sendiri. Ketika sehat, saya terlalu sibuk dengan urusan diri sendiri hingga tak punya waktu menjenguk orang tua. Tapi begitu sakit, dan butuh orang lain, saya baru datang ke rumah orang tua. Untungnya, nyokap saya seperti umumnya nyokap lain di dunia. Meski anaknya kadang melupakannya, tapi dia selalu menyambut kedatangan si anak dengan tangan terbuka.

Jadi begitulah. Selama sakit itu saya tinggal di rumah nyokap, dan benar-benar bersyukur karena ada yang membuatkan minum, menyiapkan makan, atau kebutuhan lainnya. Nyokap mengurusi saya dengan baik seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu, ketika saya masih kecil dan masih tinggal bersamanya. Kadang-kadang saya curiga, nyokap justru bersyukur saya sakit, karena dengan begitu saya tinggal di rumahnya sampai lama.

Sakit yang saya alami dua tahun lalu itu bisa dibilang cukup parah. Setiap malam, saya sering sulit tidur karena merasakan badan yang sangat panas, atau sangat dingin. Ketika siang, saya terus tersiksa merasakan perut yang terus melilit dan terasa diaduk-aduk. Ingin bergerak, badan rasanya tak ada tenaga. Terus berdiam di tempat tidur, rasanya juga tersiksa.

Saya tinggal di rumah nyokap sampai sekitar tiga minggu. Selama waktu-waktu itu pula, saya kembali merasa seperti dulu, ketika masih tinggal di rumah ortu. Setiap siang, nyokap memasak di dapur, dan aroma masakannya selalu tercium. Itu membuat saya bernostalgia pada masa lalu. Di antara masakannya, saya sangat menyukai sayur sop. Dulu, nyokap pun sering membuat sayur sop, karena tahu saya sangat menyukainya.

Pada waktu saya sakit itu, nyokap pun membuatkan sayur sop, dan—seperti bertahun-tahun lalu—saya masih menyukai sop buatannya. Ketika menghirup kuahnya yang kental dan masih hangat, saya seperti menyadari bahwa itulah masakan paling nikmat di dunia. Masakan yang dibuat tidak hanya dengan bumbu yang tepat, tapi juga dengan cinta yang tak terucap.

Cinta yang tak terucap—itulah cinta paling agung yang dapat dikenali siapa pun. Sebentuk cinta altruistik, yang diberikan tanpa berharap balas. Sebuah cinta tanpa alasan, tanpa pamrih, tanpa permintaan jawaban dan balasan.

Seseorang yang mengusir nyamuk dari dekatmu ketika kau sedang tidur, yang mendoakan keselamatanmu diam-diam tanpa kau tahu, yang ikut bersyukur dari kejauhan saat kau bahagia, dan ikut menangis sendirian ketika kau sedang berduka—itulah cinta yang tak terucap.

Seseorang yang membenahi selimutmu ketika kau terlelap, yang mengingat dan memikirkanmu saat kau jauh, yang menyambutmu dengan hati terbuka kapan pun kau datang, yang memasakkan makanan kesukaanmu demi membuatmu tersenyum—itulah cinta yang tak terucap.

Tidak setiap orang mampu memberikan cinta seluhur itu, karena penerimanya pun kadang tak sadar dan tak pernah tahu. Meski kita kadang ingin mendengar seseorang menyatakan cintanya kepada kita, namun sering kali cinta teragung terucap tanpa kata-kata. Cinta yang diberikan dalam diam. Cinta yang diwujudkan dalam tindakan. Cinta yang bahkan tak meminta balasan.

Cinta semacam itu pula yang saya sadari ketika terbaring tak berdaya karena sakit, dan nyokap mengurusi saya tanpa letih. Seumur hidup, saya belum pernah mendengar nyokap menyatakan cinta kasihnya kepada saya. Tetapi, Tuhan tahu, tidak ada cinta yang lebih besar yang dapat saya terima, selain cinta yang saya terima dari orang tua. Merekalah yang dapat mencintai tanpa pamrih, kasih yang diberikan tanpa letih.

Suatu malam, saya tertidur dengan baju rangkap kaos, rangkap sweater, dan berselimut tebal, karena merasakan badan yang luar biasa dingin dan menggigil. Di tengah malam, saya terbangun dari tidur karena merasakan badan yang luar biasa panas. Dengan susah payah saya melemparkan selimut, melepaskan sweater, baju, dan kaos. Karena rasa panas yang saya rasakan pula, tenggorokan terasa sangat kering.

Saya tak mampu turun dari tempat tidur untuk mengambil minum, karena kaki rasanya tak bertenaga. Maka saya pun memanggil nyokap, membangunkannya dari tidur, dan meminta tolong diambilkan minum. Nyokap terbangun, mendatangi tempat tidur saya, dan membawakan air dalam gelas. Wajahnya terlihat letih, tapi dia lebih menunjukkan ekspresi prihatin melihat keadaan saya.

Saat saya meneguk air dalam gelas, nyokap memandangi saya, dan... tiba-tiba saya merasa menjadi anak kecil kembali—sesosok rapuh, tak berdaya, yang hanya bisa hidup ditunjang cinta. Dan ketika merasakan tangan nyokap menyentuh kening saya, merasakan panas tubuh yang saya alami, saya pun tahu air terjun Niagara tak mampu mengganti kesejukannya.

Di malam yang lain, karena merasakan badan sangat panas, saya pun tidur tanpa baju. Menjelang subuh, saya terbangun karena merasa kedinginan. Saat membuka mata, saya mendapati sehelai selimut telah menutupi tubuh saya. Selimut yang bahkan tak saya lihat ketika akan tidur.

Saya bangkit, mengenakan baju, lalu kembali berbaring dan menarik selimut untuk menutupi tubuh yang dingin. Setelah itu saya merasakan mata sulit terpejam. Dini hari yang sunyi membuat detak jarum jam di rumah keras terdengar. Nyokap pasti tengah terlelap dalam tidurnya. Dan saya terbaring dengan selimut yang entah datang dari mana. Tetapi, diam-diam, saya tahu selimut itu diletakkan di atas tubuh saya dengan cinta.

Bersama selimut yang saya peluk dini hari itu, saya pun tahu ada cinta yang dialirkan ke dalam hidup saya. Cinta yang tak terucap, cinta yang diberikan dalam diam... sediam selimut hangat yang menutupi tubuh menggigil, saat dingin subuh mulai memanggil.

Bukan Khayalan

Jadi artis terkenal... belum.
Main film atau sinetron... belum.
Bikin album musik... belum.
Jadi sampul majalah... belum.
Muncul di televisi... belum.
Punya jutaan follower... belum.

Kenapa kok belum semua?

Tidak apa-apa, dan sebaiknya memang begitu.

....
....

Karena saya juga tidak ingin.

Selasa, 16 April 2013

SBY Main Twitter, dan Boediono Mengirim Mention

Don’t walk in front of me; I may not follow.
Don’t walk behind me; I may not lead.
Just walk beside me, and be my friend.
@noffret


SBY, atau Susilo Bambang Yudhoyono, bikin akun Twitter pribadi, dengan username @SBYudhoyono. Tweet pertamanya berbunyi, “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY*”

Orang pertama yang di-follow SBY di Twitter adalah wakilnya dalam pemerintahan, yaitu Boediono, yang username-nya @boediono. Sesaat setelah di-follow SBY, Boediono mengirim mention, “Bapak @SBYudhoyono terima kasih sudah memfollow akun saya. Senang dapat berbagi aspirasi dengan Bapak & seluruh saudara sebangsa setanah air.”

Sebagai pengguna Twitter yang baik, SBY membalas mention itu, “@boediono terima kasih Pak Boed. Salam untuk keluarga. *SBY*”

Terlepas dari nada basa-basi formalnya, percakapan itu sebenarnya sangat manis dan baik-baik saja. Tidak ada yang salah dalam percakapan itu. Namun, karena percakapan itu dilakukan dua orang penting—presiden dan wakil presiden Indonesia—maka percakapan yang baik dan wajar itu pun mengundang komentar macam-macam. Apalagi, di Twitter, semua orang bisa mengirim komentar untuk siapa pun dengan mudah.

Dari banyaknya komentar (mention) untuk kedua orang di atas, salah satu komentar berbunyi, “Kaya kagak ketemu setaun aje.”

Saya bisa membayangkan maksud si pengomentar itu. Mungkin, dalam bayangannya, Pak SBY dan Pak Boediono kan presiden dan wakil presiden. Kedua orang itu tentunya bertemu setiap hari, saling sapa setiap waktu, bahkan bisa jadi bekerja dalam satu ruang kantor yang sama. Tapi kenapa di Twitter harus pakai basa-basi “salam untuk keluarga” segala, seolah jarang ketemu?

Kultur di Indonesia memang belum terbiasa membedakan antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Akibatnya, kita sering menyamakan keduanya meski sebenarnya jauh berbeda. Seperti ketika SBY mulai dolanan Twitter, kita beranggapan bahwa SBY bermain Twitter sebagai presiden. Padahal, ketika sedang di Twitter, SBY bukan lagi presiden, tapi sebagai pribadi—seorang lelaki, seorang ayah, seorang suami.

Presiden adalah jabatan struktural. Jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Jika ingin diperluas, jabatan struktural juga memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun. Selain presiden, jabatan semacam gubernur, walikota, bupati, sampai camat dan lurah, juga termasuk jabatan struktural.

Berbeda dengan jabatan struktural, adalah jabatan nonstruktural. Jika jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, serta memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun, maka jabatan nonstruktural adalah kebalikannya. Jabatan nonstruktural adalah jabatan yang diberikan keluarga atau masyarakatnya secara sukarela.

Contoh mudah jabatan nonstruktural adalah sebutan yang kita berikan kepada lelaki yang menjadi ayah kita, atau sebutan yang kita berikan kepada wanita yang menjadi ibu kita. “Ayah” dan “Ibu” adalah jabatan nonstruktural. Itu jabatan yang secara otomatis dimiliki lelaki atau wanita yang memiliki anak.

Dalam jabatan mereka sebagai ayah dan ibu, keduanya tidak memiliki jam kerja yang pasti (sering kali sampai 24 jam tanpa henti), mereka tidak digaji (bahkan konon mereka sudah bahagia ketika melihat anak-anaknya dapat hidup dengan baik), mereka tidak punya hari libur (bahkan sering sampai kurang tidur), tidak ada jangka waktu menjabat (jabatan itu mereka sandang sampai mati), dan tidak ada dana pensiun (karena jabatannya memang tak pernah selesai).

Ciri-ciri jabatan nonstruktural—sebagaimana yang dijelaskan di atas—tentu berbeda dengan jabatan struktural semacam presiden, wakil presiden, gubernur, walikota, bupati, camat, sampai lurah dan kepala dusun. Karena sistem jabatannya berbeda, maka jam kerja mereka pun berbeda. Karena itu pula, penyebutan jabatan struktural hanya berlaku ketika mereka sedang bekerja. Begitu jam kerja mereka selesai, atau sedang tidak bekerja, jabatan mereka pun ditanggalkan.

Ketika SBY sedang bekerja di kantornya, atau sedang memimpin rapat dalam pemerintahannya, maka SBY adalah seorang presiden. Itu jabatan struktural yang dimilikinya. Tetapi, ketika SBY sedang bersenda gurau dengan keluarganya, atau sedang asyik nulis tweet di Twitter di luar jam kerjanya, maka SBY bukan lagi presiden. Dia seorang lelaki, seorang suami, seorang ayah, atau setidaknya seorang teman bagi orang lainnya.

Karena itu pula, tweet pertama yang ditulis SBY di Twitter berbunyi, “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY*”

Coba perhatikan kalimat itu. SBY menyapa Indonesia—khususnya para pengguna Twitter yang tinggal di Indonesia. Namun, dalam tweet itu, SBY juga menyertakan kata, “Salam kenal.” Padahal, kalau kita pikir, memangnya siapa bocah Indonesia yang tidak kenal SBY? Wong dia presiden Indonesia.

Tetapi, SBY tentu menyadari, bahwa di Twitter dia “orang biasa”, bukan lagi presiden. Dia membuat akun Twitter sebagai pribadi, dan menulis tweet sebagai seorang suami, seorang ayah, atau seorang teman. Karena menyadari dirinya masih “anak baru” di Twitter, SBY pun tak lupa menyatakan “Salam kenal.” Melalui tweet itu, SBY sebenarnya telah menunjukkan bahwa dia bukan presiden ketika sedang bermain Twitter.

Karenanya, ketika Boediono mengirim mention, SBY pun membalasnya sebagai seorang teman kepada temannya, bukan sebagai presiden kepada wakilnya. Dalam jabatan mereka sebagai presiden dan wakil, mungkin keduanya biasa ketemu, biasa bercakap, dan biasa saling sapa. Tapi mungkin keduanya terlalu sibuk mikir kerja, sampai tak ingat masing-masingnya punya keluarga. Ketika di Twitter, SBY baru ingat keluarga temannya, dan titip salam untuk mereka.

Tidak ada yang salah dengan percakapan SBY dan Boediono. Hanya saja, kita yang mungkin belum terbiasa membedakan jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Kita belum terbiasa memahami bahwa jabatan struktural hanya berlaku pada jam kerja, dan jabatan itu ditanggalkan ketika jam kerja berakhir. Yang kadang ironis, ada pejabat struktural yang masih saja merasa menyandang jabatannya ketika sedang tidak bekerja.

Jadi, ketika seorang presiden atau gubernur atau bupati dan semacamnya sedang bekerja, mereka adalah presiden, gubernur, bupati, dan semacamnya. Karenanya, kita pun menyebut mereka “Pak Presiden”, “Pak Gubernur”, “Pak Bupati”, atau semacamnya. Tetapi ketika mereka sedang asyik bercanda dengan keluarganya di rumah di luar jam kerja, mereka bukan lagi presiden, bukan lagi gubernur, bukan lagi bupati. Maka kita pun menyebut mereka dengan namanya.

Ketika SBY sedang memimpin rapat di kantor pemerintahan, dia adalah “Pak Presiden”. Tetapi, ketika SBY sedang menulis tweet di Twitter, dia adalah “Pak SBY”. Ketika Jokowi sedang sibuk bekerja di kantornya, dia adalah “Pak Gubernur”. Tetapi ketika Jokowi sedang makan soto bersama keluarganya di malam Minggu, dia adalah “Pak Jokowi”. Jabatan struktural memiliki jam kerja yang jelas, dan sebutan untuk jabatan mereka pun hanya berlaku pada waktu jam kerja, atau ketika mereka sedang bekerja.

Berbeda halnya dengan jabatan nonstruktural. Karena tidak memiliki jam kerja yang pasti, dan jabatan itu disandang sampai seumur hidup, maka kita pun tetap menyebut jabatan mereka di mana pun, dan kapan pun. Wanita yang kita panggil “Ibu” tetap memiliki dan menyandang jabatan itu meski di mana pun, di waktu kapan pun. Di rumah, dia seorang “Ibu”. Di pasar, dia tetap “Ibu”. Bahkan umpama dia juga bermain Twitter, kita tetap memanggilnya “Ibu”.

Selain ayah dan ibu, ulama juga termasuk jabatan nonstruktural, karena sebutan ulama diberikan masyarakat sebagai penghargaan kepada seseorang, dan jabatan itu tidak memiliki jam kerja serta batas waktu, apalagi gaji dan dana pensiun. Karena ulama bukan jabatan nonstruktural, maka kita pun tetap memanggilnya dengan jabatannya tanpa batas ruang dan waktu. So, ketika Gus Mus membuat akun di Twitter, Gus Mus tetap ulama, dan kita tetap memanggilnya “Pak Kyai”, atau semacamnya.

Ada perbedaan yang jelas antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Namun, kultur budaya kita yang mungkin belum terbiasa memahami dan menggunakannya. Karenanya, kita akan berterima kasih, jika Pak SBY atau pejabat lainnya mulai memasyarakatkan hal itu melalui Twitter. Agar rakyat Republik Twitter ini bisa lebih memahami kapan pemimpinnya menjadi presiden yang memimpin negara, dan kapan menjadi orang biasa yang ramah disapa.

Dua Bocah dan Wikipedia

Bocah pertama berinisial HM, bocah kedua berinisial FR. Bocah-bocah itu punya interest terhadap Wikipedia, tapi mungkin kurang gaul. Konon, keduanya memang terlahir sebagai autis—meski dulu istilah autisme belum seterkenal sekarang. FR telah menulis lebih dari 400 artikel untuk Wikipedia, sedang HM lebih banyak melakukan pembenahan dan penyempurnaan terhadap artikel-artikel di sana.

Suatu hari, HM berkata pada FR, “Eh, ternyata Wikipedia juga punya akun Twitter, lho.”

FR tidak terkejut. Sepertinya, di dunia ini tidak ada yang mampu membuatnya terkejut. Dia hanya menatap sahabatnya, dan menyahut perlahan, “Iyakah?”

“Iya. Coba tebak, berapa follower-nya.”

“Sepuluh juta?”

HM tertawa. “Kamu pasti sedang ingin berlebihan.”

“Baiklah,” sahut FR. “Uhm... enam, tujuh juta?”

“Terlalu banyak.”

“Empat? Lima juta?”

“Masih terlalu banyak.”

“Masak sih, segitu terlalu banyak? Hmm... berapa, ya? Tiga juta?”

“Coba turunkan lagi.”

“Satu juta?”

HM menggelengkan kepala.

FR akhirnya kesal. “Baiklah. Setengah juta?”

Sekali lagi HM menggelengkan kepala.

“Oh, hell, tiga ratus... dua ratus ribu?”

“Masih terlalu banyak.”

“Seratus ribu?”

“Tidak sebanyak itu.”

FR menatap sahabatnya dengan muka datar, kemudian berkata, “Kamu pasti sedang bercanda, kan? Setiap hari, Wikipedia dikunjungi ribuan orang—oh, hell, jutaan orang, dari seluruh dunia. Kalau benar Wikipedia punya akun Twitter, tentu follower-nya jutaan, kan?”

“Tapi kenyataannya tidak seperti itu.”

“Baiklah, coba sebutkan.”

“Jumlah follower Wikipedia di Twitter cuma delapan puluh ribuan.”

“Kamu pasti bercanda.”

“Tidak.”

FR menatap sahabatnya dengan serius, kemudian berkata, “Coba kuulangi. Follower Wikipedia di Twitter cuma delapan puluh ribuan?”

HM mengangguk. “Afirmatif.”

“Bagaimana bisa seperti itu?”

“Aku tidak tahu.” Kemudian, setelah terdiam sesaat, HM melanjutkan, “Dan kamu ingin tahu berapa jumlah follower Wikipedia Indonesia di Twitter?”

“Coba katakan.”

“Cuma dua ribuan.”

“Oh, God...”

“Sulit dipercaya, kan?”

“Bagaimana bisa seperti itu?”

“Aku tidak tahu,” ulang HM, kali ini dengan muka agak kesal. “Kalau bocah-bocah yang tweet-nya seperti orang mengigau bisa memiliki puluhan ribu bahkan ratusan ribu—oh, hell, jutaan—follower di Twitter, rasanya miris menyaksikan Wikipedia yang hanya memiliki dua ribuan follower.”

“Aku ingin menangis,” sahut FR dengan sungguh-sungguh.

Keduanya terdiam.

Lalu HM mengeluarkan rokok, dan menyulutnya. FR ikutan menyulut rokok dan mengisapnya. Asap yang keluar dari mulut mereka seperti membentuk bundaran mirip logo Wikipedia. Dengan bungkahan terbuka di bagian atasnya.

“Aku jadi ingat sesuatu,” ujar HM perlahan-lahan sambil mengembuskan asap rokoknya.

“Ya...?” FR menatap bocah di depannya.

“Seseorang pernah menulis di blognya, bahwa Twitter telah menjungkirbalikkan logika, bahkan kewarasan sebagian orang.”

“Kedengarannya dia sendiri seperti tidak waras, kalau sampai berpikir sejauh itu,” komentar FR.

“Mungkin,” sahut HM sambil menahan senyum. “Tapi kalau melihat kenyataan yang terjadi pada Wikipedia di Twitter, tampaknya memang begitu.”

“Boleh minta alamat blognya?”

“Kamu bisa membacanya di sini.”

Gila

Saya bertanya pada seorang gila, “Kenapa kau gila?”

Orang gila itu menjawab, “Karena, kalau dipikir-pikir, semua hal tidak masuk akal.”

Dia benar.

Mungkin saya juga gila.

Jumat, 12 April 2013

Soal Jodoh, Soal Cinta, Soal Agama

Tuhan, Kau telah menciptakan makhluk seindah
dan selucu dia, dan aku jatuh cinta kepadanya.
Tolong tanggung jawab dong, Tuhan...
@noffret


Banyak orang percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, selain rezeki dan usia. Dalam tiga hal itu—jodoh, mati, dan rezeki—konon manusia harus percaya pada ketentuan Tuhan, karena memang manusia tak bisa menentukan apalagi memastikan.

Dalam rezeki, misalnya, kita bisa banting tulang dan berpanas-hujan, bekerja siang malam. Tapi jika memang belum rezeki, tetap saja uang susah didapatkan. Di lain waktu, kita sedang enak-enakan di rumah, tiba-tiba rezeki datang sendiri dalam bentuk tak terduga. Rezeki itu misteri, karenanya manusia pun percaya rezeki ada di tangan Tuhan. Tugas kita mencarinya, dan Tuhan yang menentukan.

Begitu pula usia dan kematian. Kita tak pernah tahu berapa umur kita di dunia ini, dan kapan atau di mana akan mati.

Kadang ada orang yang tiba-tiba mati tanpa sakit sama sekali. Ada pula yang sudah sakit bertahun-tahun tapi tetap bertahan hidup. Lainnya lagi jatuh sakit dan telah diupayakan berobat kemana-mana, menghabiskan banyak biaya, melibatkan dokter-dokter tingkat dunia, tapi tetap tak tertolong. Usia dan kematian menjadi ketentuan Tuhan, dan manusia tak berdaya dalam ketentuan itu. Kalau waktunya mati, berusaha bagaimana pun tetap saja mati.

Lalu jodoh. Bisakah kita yakin siapa yang kelak akan menjadi jodoh kita? Saya tidak bisa. Dan sepertinya masing-masing orang juga tidak memiliki kemampuan untuk memastikan siapa yang akan menjadi jodohnya. Ada orang yang telah pacaran bertahun-tahun, dan tampaknya mereka akan bersama hingga menikah. Tapi kemudian putus di tengah jalan. Lalu kita menyimpulkan, “Yah, memang belum jodoh.”

Di lain waktu, kita mendengar ada orang yang tidak pernah keluar rumah, lalu sekalinya keluar menemukan orang yang tepat, lalu pacaran, lalu nyebar undangan pernikahan, lalu teman-temannya kaget bukan kepalang. Dan kita pun tersenyum sambil berucap, “Yah, jodoh memang aneh dan misterius.”

Karena aneh dan misterius itulah kita menganggap jodoh sebagai hal yang tak pasti, dan karenanya kita menggantungkan pada ketentuan Tuhan. Kita meyakini, jika memang Tuhan tidak berkehendak, dua manusia yang telah bersama bertahun-tahun sekalipun bisa terpisah. Sebaliknya, jika Tuhan memang berkehendak, orang yang terpisah bermil-mil jauhnya bisa berjumpa dan menikah. Seperti kata pepatah, asam di gunung dan garam di laut pun bisa bertemu jika memang berjodoh.

Jadi, dalam hal jodoh—sebagaimana dalam rezeki dan usia—manusia hanya bisa berusaha, namun tidak bisa memastikan. Kita hanya bisa mencari pacar, mencari jodoh, mencari pasangan, namun ketentuan tetap di tangan Tuhan.

Nah, di dalam upaya pencarian itu, kita biasanya tidak hanya menggantungkan sepenuhnya pada takdir Tuhan, namun juga memasang setumpuk kriteria yang kita inginkan—dari penampilan fisik, tingkat usia, latar belakang, hingga pandangan hidup. Meski kita percaya jodoh ada di tangan Tuhan, namun kita tetap selektif.

Di antara kriteria yang biasa kita gunakan untuk memilih jodoh, kesamaan agama adalah satu di antaranya. Tidak sedikit di antara kita yang memandang perbedaan agama antar suami-istri bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Misalnya bagaimana menentukan agama bagi anak-anak kelak. Memang ada pasangan yang “nekat” kawin meski beda agama, namun lebih banyak yang tidak.

Mungkin, kita yang termasuk generasi masa kini bisa berpandangan cukup liberal, misalnya tidak terlalu merisaukan perbedaan agama untuk sebuah perkawinan. Artinya, jika pacar kita beda agama, bisa jadi kita tidak terlalu merisaukan dan tetap akan menikah dengannya. Tapi bagaimana dengan orang tua kita? Mereka belum tentu seliberal kita, dan belum tentu merestui pernikahan kita jika calon pasangan beda agama. Di negeri ini, kesamaan agama bahkan menempati peringkat atas dalam hal memilih jodoh.

Selain itu, sebagai orang yang hidup dengan menganut budaya ketimuran, kita pun membutuhkan restu orang tua dalam perkawinan yang kita jalani—baik restu formal maupun informal. Kita tentu menginginkan orang tua dan keluarga bisa menerima pasangan kita, menjadikan suami atau istri kita sebagai bagian dari mereka. Dan untuk diterima itu, kesamaan agama sering kali menjadi salah satu syarat.

Banyak teman yang menyatakan bahwa penerimaan keluarga adalah hal penting dalam memilih pasangan. Meski kita merasa cocok dengan pasangan yang kita pilih sekali pun, rasanya belum paripurna jika keluarga—khususnya orang tua kita—tidak bisa menerima kehadirannya. Dan saya pun setuju. Jika kelak saya menikah, saya tentu ingin orang tua dan keluarga bisa menerima pasangan saya, sebagaimana saya ingin keluarga pasangan menerima saya.

Dan untuk bisa diterima itu, sepertinya, saya harus memenuhi kriteria yang ditetapkan orang tua, yang salah satunya adalah persamaan agama. Semodern atau bahkan seliberal apa pun diri saya, tetap saja saya memiliki keluarga dan orang tua yang harus dihormati. Artinya, jika suatu hari menemukan seseorang yang saya anggap jodoh, namun ternyata berbeda agama, saya harus memikirkan kembali, dan memikirkan kembali, dan memikirkan kembali, untuk menikahinya.

Cinta dan agama, dalam budaya kita, sepertinya memang tidak ditakdirkan seiring sejalan. Cinta dan agama, sepertinya, memang tidak berjodoh, sehingga jika dua orang berbeda agama memutuskan untuk menikah, biasanya timbul berbagai polemik. Jangankan di dunia nyata, bahkan dalam kisah film pun cinta dan agama sering sulit mendapat restu.

Jadi, kita percaya jodoh ada di tangan Tuhan. Tapi kita juga menentukan syarat bahwa jodoh harus seagama. Di atas semua itu, jodoh tetap misteri, karena kita tak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita. Pertanyaannya, bagaimana kalau jodoh yang ditentukan Tuhan untuk kita ternyata berbeda agama...?

Sebagai lajang, saya kadang membayangkan. Suatu hari saya bertemu dengan seorang perempuan yang membuat saya jatuh cinta, bahkan mabuk kepayang. Dia memenuhi semua kriteria yang saya inginkan, dan lebih penting lagi dia menerima cinta saya, serta bersedia diajak menikah. Saya meyakini dialah jodoh saya, karena bersamanya saya merasa tenang, tenteram, dan bahagia. Saya bersyukur menemukannya, sebagaimana dia bahagia bersama saya.

Tapi kemudian kami tahu, ternyata kami berbeda agama. Sebesar apa pun cinta saya kepadanya, seyakin apa pun dia jodoh saya, orang tua kami belum tentu setuju dan memberi restu, dan keluarga pun belum tentu bisa menerima pernikahan kami. Bagi keluarga saya maupun keluarga perempuan itu, syarat penting untuk pernikahan adalah kesamaan keyakinan. Keluarga saya tidak bisa menerimanya, dan keluarganya juga tidak bisa menerima saya.

Jalan tengah yang kompromistis mungkin salah satu di antara kami pindah keyakinan, agar agama kami sama. Tapi kami sama-sama idealis, dan lebih memilih berpisah daripada pindah agama. Maka dua orang yang telah yakin sama-sama berjodoh pun kemudian berpisah karena perbedaan keyakinan.

Setelah itu—masih dalam bayangan saya—di hari-hari selanjutnya saya tidak bisa jatuh cinta lagi. Saya masih terus teringat pada perempuan itu, tetap jatuh cinta kepadanya, dan tak pernah mampu jatuh cinta kepada perempuan lain. Saya ingin jatuh cinta lagi, saya ingin menemukan perempuan yang akan menjadi pendamping saya sampai mati, namun takdir tak juga mempertemukan jodoh yang tepat. Hingga kemudian saya mati, saya tetap melajang.

Sampai di sini, bayangan saya mulai nakal. Saya membayangkan, di akhirat kelak, Tuhan bertanya kepada saya, “Hei, Hamba-Ku, kenapa kau melajang seumur hidup?”

“Tuhan,” saya menjawab, “sebenarnya saya ingin menikah dengan perempuan yang telah Kau-ciptakan. Dulu, saat masih hidup di dunia, saya pernah bertemu dengan seorang hamba-Mu yang membuat saya jatuh cinta. Saya ingin menikah dengannya, ingin menjadikannya pendamping seumur hidup. Kami sama-sama jatuh cinta dan yakin berjodoh. Tapi kemudian kami memilih berpisah, karena perbedaan agama. Sejak itu saya tak pernah bisa jatuh cinta lagi, hingga tetap melajang ketika mati.”

“Kau percaya jodoh ada di tangan-Ku?”

“Tentu saya percaya, Tuhan.”

Dan Tuhan menegaskan, “Kau percaya jodoh adalah ketentuan-Ku. Tapi ketika Ku-berikan jodoh untukmu, kau menolak karena perbedaan agama. Jadi, apa arti kepercayaan dan imanmu kepada-Ku?”

Saya tak mampu menjawab. Bahkan setelah bertahun-tahun memikirkannya pun, saya tetap tak mampu menjawab.

Percakapan yang Sangat Aneh

Seorang bocah bertanya pada saya, “Da’, kamu kan... uhm, kamu kan pemikir, ya. Uhm... kira-kira kamu tuh percaya bidadari nggak, sih?”

Saya kaget. “Percaya... apa?”

“Bidadari,” jelasnya. “Kamu percaya kalau bidadari memang ada?”

“Percaya, dong!” jawab saya mantap.

“Jadi kamu percaya bidadari itu ada?”

“Iya, percaya.”

“Uhm... kamu juga percaya surga memang ada?”

“Percaya.”

“Trus, kamu percaya di surga ada bidadari?”

“Iyalah, percaya.”

“Trus, trus, kalau misalnya kamu sampai di surga, kamu akan minta bidadari?”

“Nggak!”

“Lhah, trus kamu mau minta apa kalau sampai di surga?”

“Kalau sampai di surga, aku mau minta mbakyu!”

Bisa Bantu Saya?

Kalau lagi keluyuran di internet, dan kemudian “kesasar” ke sebuah web atau blog, saya biasanya akan langsung menutup web/blog tersebut jika muncul musik atau backsound. Tidak sedikit blog yang dihiasi musik, dan saya menganggap itu hal yang cukup mengganggu, selain memberatkan loading. Lebih parah lagi jika musik itu tidak bisa dimatikan, sehingga terus mengalun selama kita membaca isi blog.

Tetapi, tadi sore saya terpaksa mengubah persepsi. Sewaktu keluyuran di internet, tanpa sengaja saya “kesasar” ke sebuah blog, dan musik yang menjadi backsound blog tersebut benar-benar membuat saya jatuh cinta. Bahkan baru mendengar intro-nya saja, saya langsung punya feeling itu musik bagus. Karenanya, saat akan meng-klik tombol close blog itu, saya menundanya sesaat, untuk mendengarkan musik itu secara utuh.

Kenyataannya, musik itu benar-benar asik dinikmati. Maka saya pun tidak jadi menutup blog itu, dan terus mendengarkan musiknya mengalun tanpa henti. Bahkan sampai satu jam mendengarkannya, saya tidak juga bosan.

Yang jadi masalah, saya tidak tahu judul musik itu!

Saya sudah mencoba mencari-cari keterangan mengenai musik di blog tersebut, namun tidak ada keterangannya sama sekali. Padahal saya sudah telanjur jatuh cinta pada musik itu, dan ingin mencari serta men-download, agar bisa saya nikmati lebih mudah.

So, kalau kalian mau bantu saya, tolong deh kunjungi blog ini, lalu dengarkan musik/backsound-nya. Jika kalian tahu apa judul musik itu, tolong beritahu saya via e-mail, atau mention saya di Twitter. Saya akan sangat menghargai.

Terima kasih.

Minggu, 07 April 2013

Kultwit Sok Tahu

Coba ya, ada yang kultwit soal kultwit.
@noffret


Di dunia Twitter, ada aktivitas nge-tweet dengan tema yang saling tersambung atau berhubungan, yang lazim disebut kultwit. Kalau tidak keliru, kultwit adalah singkatan kuliah Twitter. Berbeda dengan tweet biasa—yang umumnya hanya celoteh sekilas dan mungkin akan segera dilupakan penulis/pembacanya—kultwit lebih panjang, karena terdiri dari puluhan tweet yang saling terhubung atau bersambung.

Karena itu, kultwit tentu dianggap lebih penting dari sekadar tweet biasa. Karena nilai “penting”nya pula, kultwit sering ditranskrip ke situs khusus, misalnya Chirpstory, sehingga bisa dibaca lebih banyak orang, juga lebih mudah ditemukan.

Keberadaan kultwit tentu salah satu manfaat dari penggunaan Twitter, baik bagi yang menulis kultwit maupun bagi pembacanya. Kultwit kadang berisi informasi-informasi tertentu, atau catatan pengalaman penulisnya, atau daftar tertentu, yang umumnya memberikan manfaat bagi para pembaca.

Saya sendiri cukup senang membaca kultwit, karena rasanya seperti membaca catatan di blog, namun dalam versi lebih ringkas. Karena itu pula, saya pun mem-follow akun @chirpstory di Twitter, agar selalu memperoleh update mengenai kultwit apa saja yang telah ditrankripsi ke situsnya.

Kultwit, bagi saya, adalah rangkuman pengetahuan atau pengalaman orang (penulisnya). Selama kultwit ditulis secara jujur dan tidak tendensius, membaca kultwit cukup menyenangkan sekaligus mencerahkan. Sama seperti tulisan di blog atau artikel di Wikipedia, kultwit memberikan nilai tambah bagi pembacanya. Melalui kultwit, saya jadi tahu topik tertentu, atau suatu tempat tertentu—yang sebelumnya tidak saya tahu.

Nah, belum lama, saya membaca suatu kultwit yang ditulis/ditranskrip seseorang di Chirpstory, dan kultwitnya benar-benar membuat saya jadi pening. Kultwit itu berisi informasi mengenai suatu sejarah atau peristiwa, dan tampak sekali kalau penulisnya bermaksud menyerang suatu agama/golongan tertentu melalui kultwitnya.

Saya tahu betul isi kultwit itu keliru, bahkan salah kaprah, karena kebetulan saya juga mempelajari topik sejarah yang ia tulis dalam kultwitnya. Di dalam kultwit tersebut, orang itu menghubung-hubungkan suatu sejarah dengan agama, dengan harapan pembaca kultwitnya akan terpengaruh (terhasut) dan membenci agama tertentu. Padahal, topik sejarah yang ia bahas dalam kultwitnya sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengan agama.

Kenapa hal ini jadi terdengar penting? Oh, well, kenyataan ini penting sekali untuk kita pikirkan. Bagi orang yang tahu, kultwit semacam itu akan dianggap sampah yang ditulis orang sok tahu. Tetapi, bagi orang yang tidak tahu, kultwit itu akan menyesatkan mereka. Berbeda dengan kultwit yang berisi pengalaman penulisnya yang jelas bersifat subjektif, kultwit yang bersifat informasi sejarah semacam itu akan dianggap objektif bagi orang yang tidak tahu.

Di Twitter, seseorang yang saya hormati pernah menulis tweet, berbunyi, “Di balik setiap kultwit ada Wikipedia.”

Masih lumayan kalau kultwit ditulis dengan didasarkan pada artikel Wikipedia. Artinya dia menulis dengan dasar yang jelas, yang bisa diverifikasi kesahihannya. Meski kemudian ternyata isi kultwitnya keliru, kita bisa mengoreksinya dengan menyodorkan data lain yang lebih valid. Yang jadi masalah—dan berpotensi menyesatkan—adalah kultwit yang ditulis secara ngawur dan sok tahu, tanpa ada data yang ia jadikan sandaran kesahihan.

Nah, kultwit sok tahu semacam itulah yang saya ceritakan tadi. Meski sumber-sumber referensi yang dapat dipercaya dengan jelas menyatakan suatu peristiwa sama sekali tidak memiliki kaitan atau hubungan dengan agama apa pun, orang itu menulis kultwit yang seratus persen keliru dengan menghubung-hubungkan suatu peristiwa dengan agama. Sudah begitu, kultwitnya tampak sekali bertendensi mengajak pembacanya untuk membenci agama tertentu.

Itu kultwit yang ngawur dan berpotensi menyesatkan, karena ditulis dengan dasar sok tahu, tanpa ditunjang data yang bisa dipertanggungjawabkan. Kultwit itu pula yang kemudian mendorong saya untuk menulis catatan ini, untuk mengajak siapa pun agar tidak mudah mempercayai suatu kultwit yang bersifat informasi, jika kultwit itu ditulis tanpa data yang sahih dan bisa dipercaya, apalagi jika kultwit itu terkesan tendensius dan menghasut.

Sekarang, saya akan mengulang hal penting yang pernah saya tulis panjang lebar di sini, mengenai perbedaan penting antara “tahu” dan “sok tahu”.

“Tahu” adalah kemampuan menjelaskan sesuatu berdasarkan pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang data serta fakta yang bisa diverifikasi validitasnya. Sedangkan “sok tahu” adalah kemampuan menjelaskan sesuatu yang tidak ditunjang pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang data serta fakta yang tidak bisa diverifikasi validitasnya. Karena itu pula, semua penulisan akademis menempatkan data dan fakta di tempat teratas dan paling penting. Karena tanpa data atau fakta valid yang bisa dipertanggungjawabkan, suatu tulisan hanya omong kosong.

Sampai di sini, mungkin ada yang ingin bilang, “Tapi, Hoeda Manis, kultwit kan bukan tulisan yang ditujukan untuk hal-hal akademis?”

Indeed!

Tapi jangan lupa, kultwit dibaca banyak orang—khususnya oleh follower orang yang menulis kultwit tersebut. Selain itu, kultwit sering ditranskrip dan “diabadikan” dalam situs khusus transkripsi, yang bisa dibaca siapa pun dan kapan pun.

Kemudian, yang paling berbahaya, tulisan di internet—khususnya di Twitter—sering menjalar cepat bagai virus. Jika ada sesuatu yang dianggap “heboh”, hampir bisa dipastikan tulisan (tweet atau kultwit) itu akan segera diketahui dan dibaca banyak orang. Bahkan, saya pun terpaksa menulis catatan ini karena kultwit bermasalah itu dibicarakan dan dipercaya banyak orang.

Tentu saja tidak masalah, jika kultwit yang heboh itu bersifat netral, atau ditunjang data yang valid, sehingga memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para pembacanya. Yang jadi masalah adalah jika kultwit itu ditulis secara ngawur, sok tahu, dan isinya bertendensi menghasut. Kultwit semacam itu akan menyesatkan pembaca yang tidak tahu. Karena ketidaktahuan, pembaca akan percaya pada kultwit itu, dan mempercayai isinya yang sesat atau keliru. Lalu efek berantai terjadi.

Itulah yang membuat saya gelisah sekaligus prihatin. Suatu agama atau golongan tertentu yang sama sekali tidak bersalah apa-apa bisa dibenci dan dicaci-maki hanya karena ketidaktahuan, atau gara-gara kultwit yang menyesatkan. Jangan lupa, Twitter adalah bagian dari dunia maya, dan semua makhluk bisa berinteraksi di dalamnya. Orang bisa bertopeng anjing, dan anjing bisa bertopeng manusia, untuk menggunakan Twitter dengan segala macam tujuan.

Karena itu, Kawan-kawan, jika sewaktu-waktu kita mendapati kultwit yang bersifat informasi, dan materi di dalamnya terkesan menghasut atau menimbulkan kebencian pada pihak (golongan atau agama) tertentu, tak perlu buru-buru percaya.

Kultwit bukan satu-satunya sumber informasi. Jika suatu kultwit terkesan tidak netral atau tendensius, tanyakan pada penulisnya; apa sumber tulisannya, dan minta dia menyebutkan data atau fakta sahih yang digunakannya. Jika dia tidak bisa menyebutkan, apa pun alasannya, anggap saja kultwitnya sampah.

Memang, seperti yang lazim dikatakan orang, sarana teknologi dalam apa pun bentuknya seperti dua mata pedang. Sarana itu bisa digunakan untuk tujuan kebaikan, namun sarana yang sama juga bisa ditujukan untuk hal-hal buruk dan menyesatkan. Di tengah-tengah kemungkinan semacam itu, hal penting yang perlu kita ingat adalah bahwa tidak semua yang kita baca sesuai fakta, tidak semua kultwit ditulis tanpa tendensi di baliknya.

Tuhan Tidak Butuh Bodyguard, Agama Tidak Perlu Preman, dan Kebenaran Tidak Dibangun dengan Cara Menyalahkan Keyakinan Orang Lain

Kira-kira begitu.

Kamis, 04 April 2013

Curcol Kutu Buku (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Bagi para kutu buku, membaca buku bukan untuk dipamer-pamerkan apalagi dibangga-banggakan. Kami membaca buku karena merasa sadar kami membutuhkannya. Kami membaca buku karena kami mencintainya. Buku adalah produk hening. Kami membaca sebuah buku karena tahu akan menemukan hal bagus dalam buku itu, dan bukan karena buku itu terlalu digembar-gemborkan melalui iklan.

Berkaitan dengan iklan, saya ingin mengulang kalimat di atas. Semakin sebuah buku diiklankan, semakin sebuah buku digembar-gemborkan semua orang, itu menjadi tanda bagi saya untuk tidak perlu membacanya. Karena, berdasarkan pengalaman, saya lebih sering kecewa dengan buku-buku semacam itu.

Selama bertahun-tahun menyetubuhi ribuan buku, saya lebih sering menemukan buku-buku bagus yang tidak dikenal banyak orang. Sebaliknya, saya juga lebih sering kecewa ketika membaca buku yang terkenal atau dibicarakan banyak orang. Tergantung siapa yang membicarakan buku itu, biasanya akan menjadi penentu apakah saya akan tertarik membacanya atau tidak. Jika yang membicarakan buku adalah para pembaca pemula (yang biasanya karena terpengaruh tren akibat buku itu terlalu diiklankan), maka saya tidak akan tertarik membacanya.

Sebagai manusia, saya juga memiliki rasa penasaran. Karenanya, ketika ada sebuah buku yang sangat heboh karena dibicarakan banyak orang, saya pun jadi tertarik. Lalu mencari dan membelinya. Kemudian membacanya. Ending-nya, biasanya saya akan kecewa. Mungkin karena saya terlalu berekspektasi terhadap buku itu akibat dibicarakan banyak orang. Mungkin pula karena buku itu memang buruk, namun dipromosikan dengan gencar.

Hal semacam itu tidak terjadi satu dua kali, tapi sudah puluhan kali. Sebuah buku bikin heboh, dibicarakan masyarakat luas, kemudian saya tertarik membeli dan membacanya, dan akhirnya menggumam, “Cuma begini saja…?” Maksudnya, dibanding kehebohan yang ditimbulkannya, isi buku itu sering kali tidak ada apa-apanya. Dan, sering kali pula saya bertanya-tanya heran, bagaimana bisa buku semacam itu sampai membuat heboh banyak orang?

Lain soal kalau yang membicarakan buku itu adalah para kutu buku. Jika kasusnya seperti itu, maka bagi saya itu tanda bahwa buku itu memang bagus. Tetapi, karena jumlah kutu buku jauh lebih sedikit dibanding yang bukan kutu buku, maka biasanya para kutu buku pun heboh dalam hening. Maksudnya, mereka hanya membicarakan buku itu dengan sesama para kutu buku.

Tidak jarang, sebuah buku menjadi heboh dan terkenal bukan karena isi bukunya semata-mata, tetapi juga karena faktor lain. Misalnya, karena si penulis seorang artis atau orang terkenal. Atau karena buku itu membahas seseorang atau sesuatu yang terkenal. Atau karena buku itu dipromosikan secara gencar di berbagai media. Atau bisa pula karena tarian takdir yang sangat aneh, sehingga buku yang biasa-biasa saja—entah bagaimana caranya—bisa muncul sebagai buku yang dibicarakan banyak orang.

Para pembaca pemula biasanya akan memilih buku berdasarkan hal-hal semacam itu—mereka akan membaca buku karena terpengaruh tren. Tetapi para kutu buku tidak bisa “ditipu” oleh hal-hal semacam itu. Mereka tahu seperti apa buku bagus, dan tak mau dipengaruhi oleh apa pun selain konteks bukunya. Tak peduli buku itu ditulis artis atau orang terkenal, tak peduli buku itu dipromosikan dan gembar-gemborkan, para kutu buku tak akan terpengaruh.

Belum lama, novel Life of Pi mengalami kehebohan. Siapa yang heboh? Bukan para kutu buku. Yang heboh adalah masyarakat luas, dan para pembaca pemula. Para kutu buku sudah heboh sepuluh tahun sebelumnya!

Novel Life of Pi ditulis oleh Yann Martel, dan buku itu telah terbit pada tahun 2001. Buku itu memenangkan penghargaan Man Booker Prize pada 2002. Tiga tahun setelah terbit, novel itu masuk ke Indonesia, dan edisi terjemahannya muncul pada November 2004. Para kutu buku membaca buku itu karena ceritanya unik dan orisinal, dan kami pun menganggapnya buku bagus. Para kutu buku heboh oleh Life of Pi, meski masyarakat luas waktu itu tidak mengenalnya.

Baru pada tahun 2012, novel itu difilmkan dalam bentuk 3D, dan masyarakat mulai mengetahui buku itu. Kemudian heboh. Dan para pembaca pemula mulai mencari-cari buku tersebut. Ada jeda hingga sepuluh tahun bagi masyarakat luas untuk mengenali dan mengetahui buku yang benar-benar bagus!

Di situlah letak perbedaannya.

Para kutu buku membaca sebuah buku karena memang tahu buku itu bagus. Masyarakat dan para pembaca pemula membaca sebuah buku karena kehebohan. Dua latar belakang yang sangat jauh… jauh berbeda. Karenanya, buku yang dipuja-puja masyarakat luas belum tentu akan dipuja pula oleh para kutu buku, pun sebaliknya. Namun, sebagai kutu buku, saya akan lebih mendengar apa yang dikatakan oleh sesama kutu buku daripada yang dikatakan masyarakat luas yang belum tentu membaca buku seminggu sekali.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana cara kutu buku bisa mengetahui sebuah buku bagus atau tidak? Ini soal insting yang dimiliki karena lamanya bersentuhan dengan buku. Tak ubahnya pecinta lukisan yang telah menjadi pakar. Mereka akan tahu mana lukisan asli dan lukisan palsu hanya dengan satu kali pandang. Itu kemampuan yang dimilikinya karena bertahun-tahun bersetubuh dengan lukisan—sesuatu yang tidak dipahami atau dikuasai orang-orang awam.

Begitu pula cara kutu buku mengetahui sebuah buku bagus atau tidak. Hanya dengan “sekali pandang”, para kutu buku akan tahu apakah sebuah buku bagus atau tidak, perlu dibaca atau tidak.

Jadi, iklan dan promosi jor-joran tidak akan berpengaruh bagi para kutu buku, karena mereka tidak bisa ditipu. Tak peduli masyarakat luas memuji habis-habisan sebuah buku, para kutu buku tidak akan terpengaruh untuk ikut-ikutan membacanya. Mereka membaca buku bukan karena tren, tapi karena cinta. Dalam cinta, orang hanya memilih yang terbaik… dan persetan apa kata orang lain.

Curcol Kutu Buku (1)

Selalu ada hal baru yang kita dapatkan
ketika membaca buku yang bagus. Bahkan
meski kita telah membacanya berulang-ulang.
@noffret 


Bersama seorang kawan, saya melangkah memasuki toko buku yang ada di sebuah swalayan besar. Begitu memasuki pintu toko, mata kami seketika diserbu oleh buku bersampul sama, dengan judul yang sama. Buku-buku itu dipajang nyaris di semua tempat yang bisa terlihat oleh pengunjung. Maklum saja, buku itu memang sedang menjadi bahan pembicaraan banyak orang, di dunia nyata maupun dunia maya.

Teman saya bertanya, “Kamu udah baca buku itu?”

“Belum,” saya menjawab, “dan mungkin nggak akan baca.”

Dia penasaran. “Kenapa?”

“Karena buku itu terlalu diiklankan.”

Teman saya tertawa sumbang, karena heran. Saya diam saja, dan memaklumi. Bagi teman saya—yang bukan kutu buku—jawaban saya mungkin terdengar aneh. Dan saya merasa tidak perlu menjelaskan kepadanya panjang lebar, karena bisa jadi dia tetap tidak paham.

Sekarang, ketika menulis catatan ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa tidak semua pembaca akan memahami maksud saya. Tapi biarlah. Anggap saja ini curcol seorang kutu buku. Seperti penggemar atau penggila apa pun, hanya sesama penggemar dan penggila yang biasanya lebih bisa saling memahami.

Ehmmm….

Entah mengapa, saya tak pernah tertarik pada buku-buku yang “terlalu terkenal”, khususnya yang terkenal karena terlalu diiklankan atau dipromosikan. Semakin sebuah buku diiklankan, semakin sebuah buku digembar-gemborkan semua orang, itu menjadi tanda bagi saya untuk tidak perlu membacanya. Karena, berdasarkan pengalaman, saya lebih sering kecewa dengan buku-buku semacam itu.

Buku, bagi saya (dan tentunya bagi para kutu buku lain) tak jauh beda dengan soulmate. Kami memilih untuk membeli dan membaca sebuah buku, bukan karena buku itu terkenal, bukan karena buku itu sering dipromosikan, bukan pula karena buku itu digembar-gemborkan banyak orang. Kami memilih sebuah buku… karena kami memang ingin memilihnya!

Dalam hal buku, para kutu buku sangat berbeda dengan para pembaca pemula yang dapat dicekoki atau bahkan dimanipulasi oleh promosi yang jor-joran. Para pembaca pemula mungkin dapat termakan rayuan iklan. Tapi para kutu buku tak terpengaruh oleh iklan atau bahkan histeria.

Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa iklan bagi suatu produk (khususnya buku) tidak penting. Bagaimana pun, iklan diperlukan untuk mengenalkan produk baru, agar masyarakat tahu. Tetapi, ada perbedaan yang amat penting antara buku dengan produk lain, khususnya bagi para kutu buku. Tidak seperti produk-produk lain, buku adalah sesuatu yang kita konsumsi secara hening.

Lanjut ke sini.

Noffret’s Note: Mantan

Keajaiban Dunia ke-13: Tidak pernah punya
pacar, tapi punya banyak mantan.
—Twitter, 8 Mei 2012

Sempat heran waktu tahu ada orang yang gak
pernah pacaran, tapi punya banyak mantan.
—Twitter, 1 September 2012

Ternyata oh ternyata, istilah mantan sekarang telah
mengalami redefinisi, khususnya untuk sebagian orang.
—Twitter, 1 September 2012

Jadi, dalam definisi sekarang, mantan adalah
“orang yang kamu cintai, tapi menolakmu.”
Atau, “orang yang kamu taksir, tapi gak jadian.”
—Twitter, 1 September 2012

Karena itulah ada beberapa orang yang
kita tahu gak pernah pacaran dengan siapa pun,
tapi bisa punya banyak mantan. Uhuy!
—Twitter, 1 September 2012

Karena itu pula, berarti Titi Kamal adalah mantanku.
Karena aku pernah naksir dia, tapi gak sempat
menyatakannya. Konyol banget, ya.
—Twitter, 1 September 2012

Dan karena redefinisi konyol itu pula, satu orang
bisa punya puluhan mantan, meski mereka
bahkan kadang tak saling kenal.
—Twitter, 1 September 2012

Meredefinisikan mantan, kupikir-pikir,
adalah cara beberapa orang menghibur diri sendiri.
Kedengarannya tragis memang, tapi juga konyol.
—Twitter, 1 September 2012

Yang lebih tragis dan konyol lagi adalah
ketika kamu tahu namamu disebut sebagai mantan
oleh orang yang sebenarnya tidak kamu kenal.
—Twitter, 1 September 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Senin, 01 April 2013

Oh, Well, Akhirnya Saya Menikah

Kesendirian adalah kepergian yang bebas.
Tetapi, ada seseorang yang telah menyiapkan
rumah di hatinya untukku pulang.
@noffret 


Jodoh, kata orang, bisa ditemukan di tempat tak terduga, di waktu yang tak disangka. Begitu pula yang terjadi pada saya. Sekitar setahun lalu, di suatu malam yang tidak indah, saya memutuskan keluar rumah karena capek dan bosan mengurusi kerja. Saya masih ingat, itu malam Selasa. Ketika keluar rumah, saya bahkan tidak punya tujuan jelas ingin ke mana. Yang jelas, saya hanya ingin refresing.

Sewaktu melaju di jalanan dan melewati sebuah swalayan, tiba-tiba saya memutuskan untuk mampir ke sana. Ada sebuah toko buku di swalayan itu, dan saya pikir tak ada salahnya belanja buku baru.

Jadi, saya pun melangkah santai memasuki swalayan, sambil cuci mata menyaksikan semua yang ada di sana. Swalayan tidak terlalu ramai karena bukan hari libur. Dan langkah kaki saya segera menuju ke toko buku di sana. Sekitar satu jam kemudian, saya menuju kasir sambil membawa setumpuk buku yang saya beli. Ada beberapa orang di depan kasir, dan saya harus menunggu di sebelah wanita yang tampaknya juga sendirian.

Wanita itu menengok ke arah saya, lalu memandang ke tumpukan buku yang saya bawa. “Borong buku?” sapanya sambil tersenyum.

“Eh, ya,” saya menyahut agak kaget, karena tak mengira akan disapa. Saya melihat wanita itu juga membawa setumpuk buku dan beberapa alat tulis. Tapi, karena grogi, saya bingung mau ngomong apa. Jadi saya pun diam saja. Sampai kemudian giliran kami sampai di depan kasir. Begitu wanita tadi selesai membayar, dia pun melangkah pergi dengan tas belanjaan di tangan.

Setelah selesai membayar di kasir dan melangkah keluar dari toko buku, saya menengok jam di tangan. Masih pukul delapan. Entah dorongan dari mana, langkah-langkah saya kemudian menuju toko baju yang tak jauh dari toko buku tadi. Dan, meski sejak awal tidak punya niat belanja baju, di toko itu saya asyik memilih beberapa baju serta celana. Lalu membawa struk pembayarannya ke kasir.

Seperti kasir di toko buku, di depan kasir toko baju ini juga ada beberapa orang yang ngantri, dan saya harus berdiri menunggu giliran. Pada waktu menunggu itulah, tanpa sengaja saya melihat sesosok wanita yang sedang berjalan perlahan ke arah kasir. Tampaknya dia sedang asyik menekuri struk-struk belanjaannya sambil melangkah. Saya tahu itu wanita yang tadi menyapa saya di toko buku. Jadi, begitu ia sampai di depan kasir, saya pun menyapanya, “Borong baju?”

Wanita itu terkejut. Dan, seperti saya tadi, dia juga menjawab dengan kaget, “Eh, ya.”

Saya tersenyum. “Sepertinya ini mulai jadi kebiasaan, ya?”

Dia tertawa.

Tidak jauh dari toko baju itu ada sebuah restoran yang menyediakan seafood. Saya bilang kepadanya, “Setelah ini, rencananya aku mau makan malam di sana. Hmm... sepertinya kita juga akan ketemu di sana.”

Sekali lagi dia tertawa.

Dan begitulah awalnya.

....
....

Namanya Riani. Bermata sipit, dan berkulit putih. Rambutnya hitam sebahu. Sikap dan penampilannya alami, namun elegan.

Sewaktu kami makan satu meja di restoran swalayan malam itu, entah kenapa kami bisa bercakap-cakap dengan asyik seperti sepasang kawan lama. Karena tadi kami bertemu pertama kali di toko buku, maka kami pun mengobrolkan buku. Obrolan yang semula hanya ditujukan sebagai percakapan pembuka itu jadi mengalir asyik, karena rupanya Riani juga pecinta buku. Selera baca kami juga tak jauh beda. Kami merasa nyambung. Dan cocok.

Saat akan berpisah, kami saling bertukar nomor ponsel, dan berjanji akan saling menghubungi. Saya merasa punya teman baru.

....
....

Sejak pertemuan itu, kami menepati janji untuk saling menghubungi. Kadang saya menelepon, atau dia kirim SMS. Beberapa kali kami juga keluar bareng—belanja sesuatu, atau sekadar makan malam.

Tanpa kami ucapkan, kami seperti sama-sama tahu bahwa kami punya kesamaan penting, yakni sama-sama belum punya pacar. Jadi, kadang-kadang saya dolan ke rumahnya pas malam Minggu. Sebagai teman. Dan dia selalu menyambut saya dengan hangat.

Riani masih kuliah, semester enam, namun memiliki kedewasaan yang membuat saya nyaman, meski kadang sifat kekanakannya muncul dan membuat saya tertawa. Dia juga cerdas, serta memiliki selera humor yang baik. Saya selalu senang tertawa bersamanya. Di atas semua itu, di mata saya dia juga sangat menawan.

Beberapa kali saya menawarkan agar dia dolan ke rumah saya. Tetapi, setelah tahu saya tinggal di rumah sendirian, dia menolak dengan alasan tidak nyaman. Saya pun mencoba memahaminya. Dia memang berbeda dari perempuan lain yang pernah saya kenal.

....
....

Kata orang, cinta bisa tumbuh karena kebersamaan. Mungkin itu pula yang terjadi pada kami—khususnya pada saya.

Selama bersama Riani, saya merasakan kenyamanan yang tidak pernah saya peroleh dari perempuan mana pun. Dan seiring makin akrab bersamanya, makin sadar pula bahwa saya mencintainya. Saya tidak pernah menyangka akan seperti itu, tapi itulah yang terjadi, yang saya rasakan, yang saya sadari. Saya telah jatuh cinta kepada Riani. Meski saya lupa kapan pertama kali merasakannya.

Jadi, suatu malam, saya pun menyatakan cinta kepadanya. Dan Riani menerima. Itu terjadi tujuh bulan yang lalu. Begitu dia menyatakan penerimaannya, saya berkata, “Seumur hidup, aku belum pernah sebahagia ini.”

Dia tersenyum. Dalam ingatan saya, itu senyum terindah yang pernah saya saksikan.

....
....

Setelah kami resmi berpacaran, Riani mulai bersedia datang ke rumah saya. Tentu saja saya senang. Kadang-kadang, pas hari Minggu, kami membeli bahan makanan, dan dia memasak di dapur rumah saya. Itu saat-saat yang sangat manis bagi kami. Saat menyaksikannya memasak, sering kali saya berpikir, “Inilah wanita yang kuinginkan menjadi ibu bagi anak-anakku.”

Suatu hari, empat bulan yang lalu, seusai memasak dan memandang seisi rumah, Riani berujar, “Rumah ini sepertinya membutuhkan sentuhan wanita.”

Saya memandanginya, tersenyum, dan berkata perlahan, “Penghuninya juga membutuhkan hal yang sama.”

Sejenak kami bertatapan. Saya duduk di sofa, dan dia berdiri menyandar di dinding, di hadapan saya. Kemudian, dengan seluruh kemantapan yang saya miliki, saya berkata kepadanya, “Ri, kamu mau menikah denganku?”

Dia tidak tersenyum. Juga tidak menjawab. Dia hanya berdiri, dan menatap saya. Kemudian, dalam detik-detik yang seolah abadi, dia menjatuhkan dirinya dalam pelukan saya, dan berbisik, “Ya, aku mau.”

Kami berpelukan di sofa. Lama.

....
....

Pesta perkawinan kami dilangsungkan empat bulan setelah itu. Sebenarnya tidak layak disebut pesta, karena sederhana. Acaranya berlangsung jam 1 siang hingga sore. Cukup meriah. Semua teman kami datang, bersama pasangannya masing-masing, dan sepertinya mereka senang sekali. Salah satu lajang paling keren di muka bumi (oh, well!) kini telah menemukan tambatan hati.

Malam harinya, seperti umumnya pengantin, saya berdebar tak karuan. Menunggu jam berdetik rasanya seabad. Saya berbaring di kamar pengantin dengan perasaan bahagia yang tak bisa saya lukiskan. Jadi begini rasanya menikah, pikir saya. Hidup terasa menjadi lengkap, tulang rusuk yang hilang telah tertemukan. Selamat tinggal masa lajang.

Dan saya makin tak sabar. Oh, well, ketaksabaran seorang suami.

Yang jadi masalah, Riani masih asyik membuka-buka kado yang menumpuk di kamar pengantin. Kado-kado itu memang tampak indah, dengan kemasan warna-warni, serta dihias pita. Dan istri saya rupanya tak jauh beda dengan kebanyakan wanita—suka hal-hal yang indah. Jadi, sementara saya menunggu dengan tak sabar, dia malah asyik mengurusi dan membuka-buka kado sialan itu. Padahal saya juga sudah ingin diurusi. Dan dibuka-buka.

Saya pun memanggilnya dengan lembut, berharap dia sadar. Dan paham.

Tapi dia hanya menengok, dan tersenyum nakal. “Udah nggak sabar, ya?” ujarnya dengan manis. “Iya deh, sebentar lagi.”

Dan “sebentar lagi” itu bagi saya rasanya seabad. Sambil menyabar-nyabarkan diri, saya pun akhirnya memeluk bantal, dan membayangkan masa-masa hidup yang telah saya jalani. Saya berkata pada diri sendiri, “Kau telah menunggu bertahun-tahun untuk saat ini. Kenapa kau tak sabar menunggu sesaat lagi...?”

Lamunan saya terhenti ketika Riani tiba-tiba cekikikan sambil memegangi sehelai kertas, yang sepertinya berasal dari sebuah kado. Dia menutup mulutnya sendiri dengan satu tangan, tapi terus cekikikan. Kemudian, diberikannya kertas itu pada saya. “Lihat, nih,” katanya sambil masih cekikikan.

Dengan penasaran, saya menerima kertas itu, dan membaca isinya. Kalimatnya pendek, ditulis rapi, dan berbunyi, “Selamat merayakan April Mop!”

....
....

Lalu terdengar suara orang misuh-misuh.

Status

Ingin ke Malaysia.

Ingin ketemu Iwan.

Oh, oh!

 
;