Kamis, 04 April 2013

Curcol Kutu Buku (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Bagi para kutu buku, membaca buku bukan untuk dipamer-pamerkan apalagi dibangga-banggakan. Kami membaca buku karena merasa sadar kami membutuhkannya. Kami membaca buku karena kami mencintainya. Buku adalah produk hening. Kami membaca sebuah buku karena tahu akan menemukan hal bagus dalam buku itu, dan bukan karena buku itu terlalu digembar-gemborkan melalui iklan.

Berkaitan dengan iklan, saya ingin mengulang kalimat di atas. Semakin sebuah buku diiklankan, semakin sebuah buku digembar-gemborkan semua orang, itu menjadi tanda bagi saya untuk tidak perlu membacanya. Karena, berdasarkan pengalaman, saya lebih sering kecewa dengan buku-buku semacam itu.

Selama bertahun-tahun menyetubuhi ribuan buku, saya lebih sering menemukan buku-buku bagus yang tidak dikenal banyak orang. Sebaliknya, saya juga lebih sering kecewa ketika membaca buku yang terkenal atau dibicarakan banyak orang. Tergantung siapa yang membicarakan buku itu, biasanya akan menjadi penentu apakah saya akan tertarik membacanya atau tidak. Jika yang membicarakan buku adalah para pembaca pemula (yang biasanya karena terpengaruh tren akibat buku itu terlalu diiklankan), maka saya tidak akan tertarik membacanya.

Sebagai manusia, saya juga memiliki rasa penasaran. Karenanya, ketika ada sebuah buku yang sangat heboh karena dibicarakan banyak orang, saya pun jadi tertarik. Lalu mencari dan membelinya. Kemudian membacanya. Ending-nya, biasanya saya akan kecewa. Mungkin karena saya terlalu berekspektasi terhadap buku itu akibat dibicarakan banyak orang. Mungkin pula karena buku itu memang buruk, namun dipromosikan dengan gencar.

Hal semacam itu tidak terjadi satu dua kali, tapi sudah puluhan kali. Sebuah buku bikin heboh, dibicarakan masyarakat luas, kemudian saya tertarik membeli dan membacanya, dan akhirnya menggumam, “Cuma begini saja…?” Maksudnya, dibanding kehebohan yang ditimbulkannya, isi buku itu sering kali tidak ada apa-apanya. Dan, sering kali pula saya bertanya-tanya heran, bagaimana bisa buku semacam itu sampai membuat heboh banyak orang?

Lain soal kalau yang membicarakan buku itu adalah para kutu buku. Jika kasusnya seperti itu, maka bagi saya itu tanda bahwa buku itu memang bagus. Tetapi, karena jumlah kutu buku jauh lebih sedikit dibanding yang bukan kutu buku, maka biasanya para kutu buku pun heboh dalam hening. Maksudnya, mereka hanya membicarakan buku itu dengan sesama para kutu buku.

Tidak jarang, sebuah buku menjadi heboh dan terkenal bukan karena isi bukunya semata-mata, tetapi juga karena faktor lain. Misalnya, karena si penulis seorang artis atau orang terkenal. Atau karena buku itu membahas seseorang atau sesuatu yang terkenal. Atau karena buku itu dipromosikan secara gencar di berbagai media. Atau bisa pula karena tarian takdir yang sangat aneh, sehingga buku yang biasa-biasa saja—entah bagaimana caranya—bisa muncul sebagai buku yang dibicarakan banyak orang.

Para pembaca pemula biasanya akan memilih buku berdasarkan hal-hal semacam itu—mereka akan membaca buku karena terpengaruh tren. Tetapi para kutu buku tidak bisa “ditipu” oleh hal-hal semacam itu. Mereka tahu seperti apa buku bagus, dan tak mau dipengaruhi oleh apa pun selain konteks bukunya. Tak peduli buku itu ditulis artis atau orang terkenal, tak peduli buku itu dipromosikan dan gembar-gemborkan, para kutu buku tak akan terpengaruh.

Belum lama, novel Life of Pi mengalami kehebohan. Siapa yang heboh? Bukan para kutu buku. Yang heboh adalah masyarakat luas, dan para pembaca pemula. Para kutu buku sudah heboh sepuluh tahun sebelumnya!

Novel Life of Pi ditulis oleh Yann Martel, dan buku itu telah terbit pada tahun 2001. Buku itu memenangkan penghargaan Man Booker Prize pada 2002. Tiga tahun setelah terbit, novel itu masuk ke Indonesia, dan edisi terjemahannya muncul pada November 2004. Para kutu buku membaca buku itu karena ceritanya unik dan orisinal, dan kami pun menganggapnya buku bagus. Para kutu buku heboh oleh Life of Pi, meski masyarakat luas waktu itu tidak mengenalnya.

Baru pada tahun 2012, novel itu difilmkan dalam bentuk 3D, dan masyarakat mulai mengetahui buku itu. Kemudian heboh. Dan para pembaca pemula mulai mencari-cari buku tersebut. Ada jeda hingga sepuluh tahun bagi masyarakat luas untuk mengenali dan mengetahui buku yang benar-benar bagus!

Di situlah letak perbedaannya.

Para kutu buku membaca sebuah buku karena memang tahu buku itu bagus. Masyarakat dan para pembaca pemula membaca sebuah buku karena kehebohan. Dua latar belakang yang sangat jauh… jauh berbeda. Karenanya, buku yang dipuja-puja masyarakat luas belum tentu akan dipuja pula oleh para kutu buku, pun sebaliknya. Namun, sebagai kutu buku, saya akan lebih mendengar apa yang dikatakan oleh sesama kutu buku daripada yang dikatakan masyarakat luas yang belum tentu membaca buku seminggu sekali.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana cara kutu buku bisa mengetahui sebuah buku bagus atau tidak? Ini soal insting yang dimiliki karena lamanya bersentuhan dengan buku. Tak ubahnya pecinta lukisan yang telah menjadi pakar. Mereka akan tahu mana lukisan asli dan lukisan palsu hanya dengan satu kali pandang. Itu kemampuan yang dimilikinya karena bertahun-tahun bersetubuh dengan lukisan—sesuatu yang tidak dipahami atau dikuasai orang-orang awam.

Begitu pula cara kutu buku mengetahui sebuah buku bagus atau tidak. Hanya dengan “sekali pandang”, para kutu buku akan tahu apakah sebuah buku bagus atau tidak, perlu dibaca atau tidak.

Jadi, iklan dan promosi jor-joran tidak akan berpengaruh bagi para kutu buku, karena mereka tidak bisa ditipu. Tak peduli masyarakat luas memuji habis-habisan sebuah buku, para kutu buku tidak akan terpengaruh untuk ikut-ikutan membacanya. Mereka membaca buku bukan karena tren, tapi karena cinta. Dalam cinta, orang hanya memilih yang terbaik… dan persetan apa kata orang lain.

 
;