Minggu, 20 Juni 2021

Noffret’s Note: Ojol

Aku pernah baca cerita seseorang di blog, terkait ojek online (ojol). Ceritanya, dia mau pulang, butuh ojol, tapi ponselnya eror, jadi gak bisa mesan ojol. Dia lalu masuk minimarket, beli aqua (sebagai dalih), lalu minta tolong kasir minimarket agar memesankan ojol untuknya.

Sayang, kasir minimarket tidak bisa membantu, karena di ponselnya tidak ada aplikasi ojol semacam Gojek atau lainnya.

Orang tadi kecewa, dan makin pusing. Akhirnya dia masuk kafe, dengan harapan orang-orang di kafe ada yang bisa membantunya memesan ojol pakai ponsel mereka.

Orang tadi memesan sesuatu di kafe. Di sana ada 5 tamu, dan 2 orang petugas kafe. Orang tadi menemui satu per satu tamu di kafe itu, meminta tolong memesankan ojol, tapi tidak ada satu pun yang bisa—termasuk 2 petugas kafe. Mereka semua tidak memakai aplikasi ojol di ponsel!

Orang tadi makin stres, dan marah. Di blognya, dia menulis kira-kira seperti ini, "Aku tidak percaya mereka semua tidak pakai aplikasi ojol di ponselnya! Hari gini, apa kalian percaya ada orang yang sama sekali tidak pakai aplikasi ojol?"

Dalam hati, aku menjawab, "Aku percaya."

Ya, aku percaya bahwa hari gini ada orang-orang yang tidak pernah memakai ojol, hingga di ponsel mereka tidak terinstal aplikasi semacam itu. Aku percaya bahwa meski ada jutaan orang yang menggunakan ojol, bukan berarti SEMUA orang pasti begitu.

Ini kebenaran yang sederhana.

Orang tadi menatap/menilai orang-orang lain dengan kacamata pengguna ojol. Dia mungkin setiap hari menggunakan ojol, dan memesan ojol lewat ponselnya. Sebegitu intim dia dengan ojol, hingga dia sulit percaya bahwa ada banyak orang yang sama sekali tidak pernah menggunakan ojol.

Aku percaya bahwa di luar sana ada orang-orang yang, meski mungkin gaul dan modern serta akrab dengan teknologi, tapi sama sekali tidak pernah menggunakan ojol, dan tidak menginstal aplikasi semacam itu di ponselnya.

Aku salah satunya. Tidak ada aplikasi ojol apa pun di ponselku.

Kalau ditanya kenapa aku tidak menginstal aplikasi ojol di ponsel, jawabannya sederhana; karena memang tidak butuh.

Aku punya motor di rumah, dan jarang dipakai. Jadi kalau ingin keluar ke tempat yang dekat, mending pakai motor sendiri daripada naik ojol. Lebih bebas dan nyaman.

Kalau ditanya, apakah aku pernah naik ojol? Pernah, satu kali, dalam kondisi darurat, dan dipesankan teman lewat ponselnya. Bisa jadi, itu menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir. Aku sama sekali tidak nyaman. Karena driver-nya terus menerus ngoceh sepanjang perjalanan!

Waktu itu, sejak aku duduk di jok motor dan mulai melaju, driver ojol ngoceh tanpa henti. (Belakangan aku tahu, itu rupanya kebiasaan hampir semua driver ojol di mana pun).

Jadi, sepanjang perjalanan waktu itu, aku seperti mendengarkan radio rusak yang suaranya tidak jelas.

Yang membuatku tidak nyaman sebenarnya bukan semata ocehannya, melainkan dampaknya. Selama berkendara, konsentrasi driver terpecah antara fokus pada jalan di depan, dan fokus pada ocehannya. Akibatnya, dia berkendara dengan berbahaya, bahkan sampai melanggar lampu merah.

Perlu kukatakan di sini, driver yang semacam itu tentu tidak semuanya, dan kebetulan saja aku mungkin apes dapat driver yang kurang hati-hati berkendara, karena terlalu banyak ngoceh sepanjang perjalanan. Yang jelas, pengalaman pertama itu membuatku trauma dengan ojol.

Banyaknya driver yang suka ngoceh sepanjang perjalanan—berdasarkan yang kubaca-baca selama ini di TL—mungkin dilatari karena ingin memberikan kesan baik dan ramah pada penumpang. Sayangnya, keinginan baik itu bisa berbahaya kalau tidak diikuti kehati-hatian selama berkendara.

Dalam hal ini, aku justru lebih suka naik ojek atau taksi—atau apa pun—yang driver-nya fokus pada jalan raya, dan tidak banyak omong! Cukup diam saja, berkendaralah dengan baik, fokus pada jalan di depan, dan antarkan aku sampai tujuan... maka aku akan memberikan bintang lima!

Tampaknya, para driver ojol perlu memahami bahwa TIDAK SEMUA ORANG SUKA NGOBROL MBAH-MBUH, apalagi dalam perjalanan naik motor di jalan raya yang ramai dan bising. Itu sangat tidak nyaman! Kalau mau ngobrol mbah-mbuh, mending kita mampir ke warung sambil minum teh dan udud!

Driver ojol dan penumpang biasanya dua orang asing yang hanya bertemu beberapa menit (sepanjang perjalanan). Ketika dua orang asing bercakap-cakap dalam waktu yang relatif singkat, kira-kira sepenting apa percakapan itu?

Ini berbeda kalau misal dua orang teman yang memang akrab.

Kalau sepasang teman (dalam arti saling kenal) naik motor berboncengan sambil ngobrol, percakapan mereka adalah percakapan antarteman—bukan percakapan di antara dua orang asing. Mungkin sama-sama mbah-mbuh, tapi mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang asing; kedekatan.

So, jika aku ditanya seperti apa "driver ojol ideal", maka jawabanku adalah driver yang fokus pada perjalanan, berkendara dengan baik, tidak banyak omong, dan tanggap dengan kebutuhan penumpang. Sudah, itu saja sudah cukup, dan penumpang pasti akan memberikan bintang lima.

Jika kelak perusahaan ojol mampu memberi jaminan semacam itu (driver yang fokus pada kerjanya, dan tidak banyak ngoceh-tidak-penting selama bekerja), mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menggunakan ojol. Untuk saat ini, aku lebih memilih memacu motorku sendiri. Lebih nyaman!

((((Disclaimer)))))*

Ocehan ini ditulis bocah yang jarang keluar rumah, punya motor tapi jarang dipakai, dan tidak suka ngoceh-tidak-jelas dengan orang asing. Karenanya, sudut pandang ini bisa jadi (dan hampir pasti) akan berbeda dengan kebanyakan orang lain.

*Koyo opo wae.

....
....

Nyambung ocehanku semalam, ini salah satu hal yang kuhindari dari aktivitas "ngoceh-tidak-jelas" dengan orang asing, khususnya driver ojol. Karena ngobrol-tidak-jelas dengan orang asing bisa berujung eksploitasi (selain kurangnya fokus dalam berkendara).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12-13 September 2019.

Serigala Berbulu Penipu

Kalau orang asing berbuat jahat kepadamu, kau akan bisa "memaklumi", karena di dunia ini nyatanya memang ada orang-orang jahat. Tapi kalau orang yang kau anggap teman diam-diam berbuat kejahatan kepadamu, kau akan sulit menerima, karena kau mendapati kejahatan dan pengkhianatan.

Orang paling berbahaya bukan orang asing yang menodongkan senjata kepadamu—itu mudah dihadapi, kau bahkan bisa menghajarnya, dan dunia tidak akan menyalahkanmu. Yang berbahaya sekaligus menjijikkan adalah orang yang mengaku temanmu, tapi diam-diam melakukan kejahatan kepadamu.

Dan "serigala berbulu teman" semacam itu tidak hanya ada di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Setidaknya, aku telah mengalaminya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Desember 2019.

Bersih-Bersih Tab Likes

Lagi pengin bersih-bersih tab Likes di Twitter, biar gak terlalu banyak. Tapi ternyata kok gak bisa sampai ke tahun-tahun lalu, ya? Terus ini gimana cara membersihkannya?

Emang tab Likes dibersihkan biar apa? Ya biar yang gak penting atau sudah kedaluwarsa bisa dihapus, biar gak numpuk-numpuk. Kalau jumlah arsip di tab Likes gak terlalu banyak, kita mudah mencari arsip-arsip yang dibutuhkan.

Sebagian orang kadang menilai seseorang berdasarkan tab Likes-nya di Twitter. Ya mungkin ada benernya. Tapi kalau orang mencoba membuka tab Likes di akunku, kira-kira apa kesimpulannya? Wong random gak jelas gitu.

Waktu buka Twitter, aku sering tergoda memasukkan tweet, thread, meme, atau apa pun yang unik atau bermanfaat, yang sekiranya "layak disimpan". Mungkin orang lain gitu juga, sih. Waktu nyimpan, enak. Giliran mau beres-beres, ternyata agak repot.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Desember 2019.

Bersiap Menikmati Malam Minggu

Sedang bersiap-siap menikmati malam Minggu yang menyenangkan dengan... teh hangat, udud, dan buku yang bagus.

Ingin membahas agresi militer Belanda bersamamu. Apppeeeuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Januari 2020.

Mobil Nasional

Tiba-tiba ingat. Dulu ada mobil buatan Indonesia bernama Tawon, yang disebut "mobil nasional". Lalu muncul lagi "mobil nasional" bernama Esemka. Terakhir, ada "motor nasional" bernama Gesits, yang beritanya pernah heboh. Kesamaan semuanya; sampai sekarang tidak ada yang jelas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2019.

Kamis, 10 Juni 2021

Amarah, Luka, dan Kutukan

Barusan baca ini di The Conversation. Meski pahit, sering kali kenyataannya memang setragis ini. Mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa.

Salah satu kutipan dari artikel tadi:

"Anak-anak dari keluarga miskin mengaku bahwa orang tua mereka cenderung mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya menghadapi masalah ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa masalah itu bisa terjadi..."

Anak-anak dari keluarga miskin—dan aku termasuk di dalamnya—rata-rata memang punya orang tua pemarah, bahkan tak jarang juga kejam pada anak-anaknya. Saat aku ngobrol dengan teman-temanku yang berlatar belakang serupa, mereka juga mengakui hal yang sama; orang tua mereka pemarah.

Belakangan, seiring makin dewasa, aku memahami bahwa kecenderungan mudah marah itu karena tekanan hidup yang berat. Kemiskinan, ditambah beban anak-anak, menjadikan sumbu emosi mereka sangat pendek dan mudah meledak. Kenakalan anak yang tak seberapa bisa membuat mereka stres.

Artikel di The Conversation menyatakan bahwa anak-anak dari keluarga miskin cenderung akan miskin ketika dewasa—sama seperti orang tuanya—dan kenyataan itu tak bisa dilepaskan dari latar belakang keluarga, pola asuh, pergaulan, lingkungan, dan sebagainya. Tapi itu belum semuanya.

Sekarang aku ingin menambahkan sesuatu yang tak diungkap artikel di The Conversation. Berdasarkan pengamatan dan pengakuan antarteman, anak-anak dari keluarga miskin juga rentan mengalami masalah emosi yang mengkhawatirkan. Dari rendah diri akut sampai ditikam depresi.

Sebagian temanku memiliki latar belakang serupa denganku—kemiskinan, kepahitan, luka, orang tua kurang pendidikan dan pemarah—dan kami bisa berteman dekat karena kesamaan itu. Ajaibnya, kami juga seperti "orang-orang kembar" dengan sifat, pola pikir, dan kepribadian yang sama!

Kami termasuk orang-orang beruntung, karena bisa keluar dari jerat kemiskinan. Dengan kata lain, kami berhasil mematahkan tesis yang tertulis di artikel The Conversation tadi, dan bisa jadi kami minoritas. Tetapi, bahkan seperti itu pun, bukan berarti masalah kemudian selesai.

Ada sesuatu di dalam diri kami—aku biasa menyebutnya "amarah dan luka"—yang sulit dipahami orang-orang lain. Sebentuk trauma psikologis yang hanya dapat dipahami orang-orang dengan latar belakang sama, yang membuat kami berpikir bahwa kemiskinan adalah kutukan mengerikan.

Mungkin lebih lengkap (dan lebih adil) jika aku mengatakan, "Kemiskinan dan kebodohan adalah kombinasi yang mampu menciptakan kutukan mengerikan."

Dan kami adalah anak-anak yang dikutuk oleh dua hal itu, yang membuat kami sangat marah pada dunia, dengan penuh amarah dan luka.

Ada anak-anak dari keluarga miskin, tapi memiliki jiwa yang sehat, dan dapat menjalani kehidupan dengan sama sehat. Bisa jadi, karena orang tua mereka relatif berpendidikan, sehingga bisa menerapkan pola asuh yang juga relatif baik. Mereka miskin, tapi setidaknya cukup beruntung.

Bahkan, sebagai sesama anak miskin, aku iri pada mereka yang seperti itu. Kami sama-sama menghadapi beban kemiskinan, khususnya di saat masih kecil, tapi setidaknya mereka beruntung karena memiliki orang tua yang bisa dipercaya dan diandalkan (karena relatif berpendidikan).

Berdasarkan refleksi pribadiku, tidak ada yang lebih merusak manusia selain kemiskinan yang bercampur kebodohan. Bahkan jika kau mampu keluar dari kondisi semacam itu, bekasnya akan tergurat dalam batinmu—sebentuk luka dan amarah yang kau tidak tahu bagaimana cara menghapusnya.

Kadang-kadang, dengan perasaan getir, aku berpikir bahwa anak-anak miskin yang tetap miskin saat dewasanya justru lebih baik... karena mereka "tidak menyadari apa yang telah terjadi, dan bisa tenang menjalani kehidupan". Tidak ada kegelisahan, tidak ada amarah, tidak ada luka.

Yang paling menyakitkan adalah ketika kau menyadari apa yang sebenarnya terjadi—hal-hal yang telah merusakmu sebegitu dalam—dan... akhirnya, kau pun akan memahami mengapa di dunia ini ada Thanos, Magneto, dan En Sabah Nur. Kesadaran bisa menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan.

Dalam bahasa filosofis, yang melukaimu sebenarnya bukan kemiskinan dan kebodohan... tapi kesadaran terkait keduanya.

Kalau ocehan ini aku lanjutkan, bisa jadi sampai subuh nanti belum juga selesai. Jadi cukup saja sampai di sini. Sebagai penutup, aku ingin mengakui sesuatu...

Aku belajar sangat keras, bukan karena ingin pintar. Tapi karena menyadari betapa merusaknya dampak kebodohan.

Aku bekerja sangat keras, bukan karena ingin kaya. Tapi karena tahu betapa mengerikannya dampak kemiskinan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Desember 2019.

Wanita di Jalan Raya

Tadi, dalam perjalanan pulang, ada dua cewek ABG boncengan naik motor matik, melaju di depanku. Lumayan kencang, dan kami di jalan satu arah. Di pertigaan jalan, tiba-tiba cewek itu menyalakan sein kanan, dan langsung belok kanan. Mati-matian aku ngerem, agar tidak nabrak mereka.

Tapi peristiwa itu rupanya belum selesai. Begitu cewek ABG tadi belok kanan, sebuah Yaris melaju ke arah mereka. Yaris itu mungkin kaget, karena tiba-tiba ada motor di depannya, dan tidak mampu mengerem. Lanjutannya tak perlu kujelaskan, kalian bisa membayangkannya sendiri.

Sebagian orang mengira bahwa menyalakan lampu sein saja sudah cukup. Mereka merasa tak perlu melihat spion apalagi menengok ke belakang. Mungkin benar, kalau mereka menyalakan sein sejak 10 meter sebelum belok. Tapi kalau beloknya mendadak, mbok lihat spion dulu. Apa susahnya?

Tanpa bermaksud misoginis (misoginis kuwi opo?), hal-hal kayak gitu lebih sering dilakukan perempuan daripada laki-laki. Setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi. Saat berkendara di jalan raya, perempuan seperti merasa jalan raya itu miliknya. Akibatnya kurang hati-hati.

Selain kurang hati-hati, perempuan juga kurang tepo sliro pada kendaraan lain (mungkin karena menganggap jalan raya miliknya). Sifat tercela ini akan sangat tampak, kalau kita berhenti di tengah jalan, dengan maksud untuk menyeberang. Pengendara perempuan tidak (pernah) peduli!

Kalau ke rumah ortu, aku harus masuk gang di kanan jalan. Biasanya, aku akan menghentikan kendaraan di tengah jalan, dengan sein kanan menyala, menunggu lalu lintas dari depan sepi. Biasanya pula, pengendara laki-laki akan tepo sliro, mereka akan melambatkan laju kendaraan.

Rata-rata pengendara laki-laki paham; kalau ada kendaraan di depan yang mau menyeberang, mereka akan melambatkan laju kendaraannya, memberi kesempatan pada orang lain untuk menyeberang. Tapi pengendara perempuan... tidak! Bahkan tidak pernah! Setidaknya, aku belum pernah melihat!

Sudah jutaan kali aku menghitung. Tiap kali aku akan menyeberang jalan, pengendara laki-laki akan melambatkan lajunya, bahkan sampai menghentikan kendaraannya, memberiku kesempatan untuk menyeberang. Tapi pengendara perempuan terus saja melaju kencang, tanpa tepo sliro.

Soal ini, dan soal belok mendadak tadi, sebenarnya cuma secuil masalah yang biasa ditunjukkan perempuan saat berkendara di jalan raya. Tentu tidak semua wanita begitu. Tapi banyak yang begitu. Mereka seperti berpikir jalan raya adalah miliknya, dan persetan dengan orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Agustus 2020.

Ternyata Nabilah Kuliah di UPH

Baru tahu kalau Nabilah ternyata kuliah di UPH. Selama ini aku ngira dia kuliah di UI. 

Untung aku belum sempat daftar ke UI. Apeuh.

OTW daftar kuliah di UPH. Apppeeeeeuuuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Mei 2020.

Noffret’s Note: Cuaca Gak Jelas

Cuaca gak jelas, ditambah wabah gak jelas, dan sekarang badanku kerasa gak jelas, akhirnya cokelat hangat diganti jahe hangat.

Gak apa-apa, yang penting tetap hangat. Apeu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 April 2020.

Mimpi Buruk Corona

Kasus corona di Indonesia akhirnya tembus 100 ribu. Ini seperti mimpi buruk yang benar-benar jadi kenyataan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2020.

Selasa, 01 Juni 2021

Kebangsatan Struktural dan Sistemik

Lagi nunggu seseorang untuk makan siang bareng. Iseng buka Twitter, ternyata ribut-ribut kemarin belum selesai. 

Dan karena aku juga kebetulan lagi selo, jadi gatel ingin ikut ngoceh.

Orang mau punya anak atau tidak, sebenarnya hak dan pilihan masing-masing. Karena adanya "hak dan pilihan" itulah, lalu muncul tanggung jawab. Karenanya, hal penting terkait ini sebenarnya bukan apakah seseorang mau punya anak atau tidak, tapi kesadaran diri.

Tidak usah sampai punya anak, wong menikah pun sebenarnya butuh kesadaran diri. Sampai sekarang aku tidak/belum menikah juga karena dilatari hal itu; karena sadar belum layak melakukannya. Daripada nantinya malah menelantarkan pasangan (dan anak), aku memilih menahan diri.

Yang susah, kita hidup di tengah masyarakat yang suka rese. Orang tidak/belum menikah karena sadar belum layak melakukan, malah dinyinyiri dan terus-terusan ditanya kapan kawin. Sementara yang sudah menikah, dinyinyiri dan terus menerus ditanya kapan punya anak.

Bahkan yang sudah punya satu anak pun masih dinyinyiri dan ditanya kapan nambah anak. Masyarakat kita sepertinya belum dapat hidup tenteram kalau belum melihat kita menikah dan punya anak-anak. Kondisi itu menjadikan banyak orang tertekan dan (tanpa sadar) terpaksa melakukan.

Aku percaya, ada banyak orang (laki-laki maupun perempuan) yang sadar mereka belum layak menikah, terlepas apa pun alasannya. Kesadaran itu pun menjadikan mereka damai menjalani hidup meski sendirian (tanpa pasangan). Bagi mereka, tidak apa-apa menjadi lajang, asal hidup damai.

Tapi sistem sosial kita seperti menempatkan para lajang (laki-laki maupun perempuan) di kasta terendah; dianggap belum "sempurna" jika belum menikah. Karenanya, meski mereka—para lajang—hidup bahagia, masyarakat tidak rela. Masyarakat terus menyinyiri kapan mereka menikah.

Di bawah tekanan masyarakat semacam itu, tidak semua orang kuat. Sebagian mereka lalu terpaksa menikah, demi membungkam nyinyiran masyarakat, agar bisa hidup damai.

Tapi mereka salah sangka. Ketika mereka menikah, masyarakat masih nyinyir, kali ini bertanya kapan punya anak.

Ada banyak pasangan yang hanya punya satu anak, meski telah menikah bertahun-tahun. Pasangan semacam itu biasanya memang memilih untuk punya satu anak, biar fokus mendidik dan membesarkannya, atau pun karena alasan lain. Tapi masyarakat sering kali "tidak rela" dan terus nyinyir.

Sekali lagi, di bawah tekanan nyinyiran masyarakat, tidak semua pasangan kuat. Sebagian dari mereka lalu punya beberapa anak, demi membungkam nyinyiran masyarakat. Dan ketika pasangan dengan banyak anak itu menjalani kehidupan susah, apakah masyarakat peduli? Sering kali tidak!

Boro-boro peduli, masyarakat kadang malah menyalahkan, "Sudah tahu hidup susah, tapi punya banyak anak!" Padahal masyarakatlah yang menciptakan kondisi itu. Tapi mereka hanya terus nyinyir, sementara konsekuensi dan tanggung jawabnya ada pada pasangan yang punya anak.

Kita sering meributkan kemiskinan struktural atau kemiskinan sistemik, dan sering lupa bahwa salah satu penyebabnya adalah masyarakat; orang-orang di sekitar kita hidup. Nyinyiran merekalah yang melahirkan sekian juta anak terluka, kelaparan, terpinggirkan, dan dilupakan.

Bisa jadi, kita bagian dari anak-anak itu—yang terlahir untuk tumbuh besar dan dewasa, dan menyadari tak punya privilese, lalu diam-diam mengutuk dunia tidak adil karena orang lain memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sebagian dari kita bahkan terluka tanpa pernah sembuh.

Kini, bersama kedewasaan dan kematangan nalar, kita mulai sadar apa yang sebenarnya terjadi. Tentang orang tua kita, kondisi hidup yang kita hadapi, dan apa yang mungkin terjadi jika kita mengulang hidup orang tua; menikah dan punya anak. Tapi apakah masyarakat peduli? Tidak.

Masyarakat tidak peduli apa yang kita pikirkan, karena yang mereka pedulikan hanyalah apakah kita menikah dan punya anak-anak atau tidak! Dan mereka selalu punya setumpuk alasan agar kita cepat kawin dan beranak-pinak. Untuk hal itu, mereka bahkan punya setumpuk iming-iming.

"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki," kata masyarakat. Dan ketika pernikahan kita bermasalah, mereka punya taktik lain, "Cobalah punya anak-anak, karena anak akan bla-bla-bla."

Lalu siklus dimulai. Anak-anak kita mengulang kehidupan kita, dan begitu seterusnya.

Tentu aku percaya, ada banyak pernikahan bahagia, rumah tangga tenteram, dan anak-anak tumbuh dengan baik juga sehat. Tapi akui sajalah, tidak semua pernikahan/keluarga pasti begitu. Kita yang sering meributkan privilese orang lain, biasanya berasal dari keluarga yang bermasalah.

Orang kadang sinis dan mengatakan, "Ocehan orang yang tak pernah miskin tidak perlu didengarkan, karena cuma omong-kosong." Kalau ada yang berpikir begitu, percayalah, aku pernah miskin, bahkan mungkin lebih miskin darimu. Jadi aku tahu, benar-benar tahu, apa yang kuocehkan.

Jadi, apakah sebagian kita tidak boleh menikah dan punya anak, atau bagaimana? Bukan boleh atau tidak boleh, karena menikah dan punya anak adalah soal pilihan. Karena ia pilihan, setiap orang bertanggung jawab pada pilihannya. Dan tanggung jawab butuh kesadaran. Sesederhana itu

Waduh, kurang titik.

Ulangi, deh.

Sesederhana itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Juli 2020.

Dark Joke Pernikahan

Wanita ini menyaksikan pernikahan dua kakaknya yang tidak bahagia, hingga ia memutuskan tidak menikah.

Aku telah menyaksikan yang jauh lebih mengerikan dari yang ia saksikan, dan karena itulah aku tertawa tiap mendengar iming-iming indahnya pernikahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Oktober 2019.

Kasus-Kasus Kejahatan yang Aneh

Tempo hari ada kasus penyiraman air keras di Jakarta, dengan pelaku satu orang dan korban beberapa orang. Sekarang ada kasus pelemparan sperma di Tasikmalaya, dan lagi-lagi pelakunya satu orang, sementara korbannya beberapa orang.

Kedua pelaku kejahatan itu telah tertangkap. Sebagian kita mungkin bertanya-tanya, apa motivasi para pelaku melakukan kejahatan semacam itu?

Dari berita-berita yang kubaca, tidak ada penjelasan soal motivasi, padahal itu hal sangat penting terkait kasus kejahatan mereka.

Dalam pikiranku, motivasi kedua pelaku kejahatan itu adalah dominasi—suatu upaya mendominasi orang(-orang) lain yang dilatari rendahnya penilaian diri, atau bahkan kebencian pada diri sendiri. Mereka tidak mendapat keuntungan apa pun, selain kepuasan mendominasi.

Kasus-kasus semacam pembunuhan berencana, perampokan, pembegalan, dan semacamnya, mudah dipahami—karena si pelaku mendapat keuntungan yang jelas. Tapi kasus-kasus yang tidak menghasilkan keuntungan jelas pada si pelaku, biasanya dilatari masalah/kelainan psikologis.

Selama ini, misalnya, aku lebih percaya bahwa kasus perkosaan sebenarnya bukan dilatari motivasi "memuaskan nafsu pada si korban", tapi dilatari "keinginan mendominasi orang lain (korban)". Kalau kau laki-laki, dan waras, kau akan paham maksudku.

Karenanya, aku lebih percaya bahwa perkosaan sebenarnya bukan kejahatan yang dilatari oleh nafsu seks, tapi dilatari nafsu mendominasi. Laki-laki waras mana pun tentunya dapat berpikir, "Apa enaknya seks yang dilakukan dengan paksaan, dan buru-buru karena khawatir tertangkap?"

Jika memang pelaku perkosaan menikmati aktivitas perkosaan yang ia lakukan, maka kesimpulannya jelas; dia tidak waras atau mengidap kelainan. Itu sebelas dua belas dengan kelainan lain semisal sadisme, nekrofilia, paedofilia, zoofilia, beastiality, dan semacamnya.

Apakah kau bernafsu pada mayat, hingga ingin bercinta dengannya? Jawabannya tentu tidak. Tapi penderita nekofilia, ya—mereka bernafsu. 

Apakah kau bernafsu pada hewan, hingga ingin ngeseks dengannya? Jawabannya sama, tidak. Tapi penderita beastiality, ya—mereka horny pada hewan.

Pertanyaan sama bisa diajukan; apakah kau bisa bernafsu pada perempuan, hingga ingin memperkosanya saat itu juga? 

Jika jawabanmu tidak, kau tergolong laki-laki normal. Tapi jika jawabanmu ya, sebaiknya segera mencari pertolongan ahli yang berkompeten, karena itu tidak normal.

Bahkan tanpa harus menyinggung moral atau agama, kita sudah melihat bahwa perkosaan sebenarnya terjadi bukan karena pakaian si korban, tapi karena kelainan si pelaku. Yang jadi masalah, para penderita kelainan sering kali sulit mengakui apalagi menyadari kelainan yang diidapnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 November 2019.

Kecewa Nonton Parasite

Sejak awal, sejak ribut-ribut kehebohan soal Parasite sekian waktu lalu, saya sudah apatis dan benar-benar tidak tertarik dengan film itu. Saya yakin, isi film itu tidak akan cocok bagi saya. 

Lebih dari itu, saya sudah berkali-kali kecewa nonton film yang dihebohkan banyak orang. Hereditary, Us, Midsommar, dan lain-lain, dan lain-lain. Film-film itu heboh, dibicarakan banyak orang, bahkan sampai ndakik-ndakik, tapi saya kecewa ketika menontonnya. Film-film itu sama sekali bukan jenis favorit saya, dan saya merasa buang-buang waktu.

Jadi, ketika Parasite sama bikin heboh, saya benar-benar tidak tertarik. Bahkan sebelum menontonnya, saya sudah yakin akan kecewa jika nonton.

Lalu TransTV ikut menghebohkan film itu, dengan memutarnya di malam Valentine. Berita soal itu wira-wiri di timeline Twitter, dan saya terus menerus terpapar kehebohan Parasite yang akan tayang di TransTV. Sampai seperti itu, saya tetap tidak tertarik menonton.

Yang membuat saya mulai terusik dan penasaran adalah ketika ada perbincangan soal “adegan di sofa”. Admin akun Twitter TransTV menyatakan bahwa adegan itu “sudah jelas akan dipotong”. Pernyataan itu memantik rasa penasaran saya. Okelah, saya tidak tertarik dengan Parasite sebagai film. Tapi saya tertarik dengan “adegan di sofa”.

Jadi, saya pun akhirnya nonton film itu. Tidak di TransTV, tentu saja, demi bisa melihat “adegan di sofa”. Saya nonton Parasite dari awal sampai akhir, mencoba menghayatinya. Sampai adegan di sofa terlewati begitu saja, karena nyatanya biasa-biasa saja.

Akhirnya, ketika film itu benar-benar usai, saya bengong. 

Bengong, karena film kayak gitu aja bikin heboh berjuta umat. Dibanding kehebohan yang ditimbulkan, film itu benar-benar B aja. Dan saya, sebagaimana sudah saya perkirakan, benar-benar kecewa wawa wawa.

Noffret’s Note: Déjà vu

Catatan ini menguraikan déjà vu dengan bahasa sederhana, hingga mudah dipahami. Lumayan panjang. Tapi kalau kamu mau membaca sampai akhir, akan ada "plot twist" yang mencengangkan!


Istilah déjà vu pertama kali diperkenalkan Emile Boirac, psikolog Prancis yang mempelajari fenomena tersebut pada 1876.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Mei 2020.

 
;