Jumat, 20 November 2020

Media Online Paling Memuakkan

Sambil nunggu udud habis, aku mau melanjutkan ocehan kemarin dan kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi.

Seperti yang kukatakan di sini, ada “konspirasi tolol” yang diam-diam terjadi di Twitter, sejak lama, melibatkan banyak orang, laki-laki dan perempuan, dan mereka semua terhubung satu pihak yang sama, yang memberi brief ke mereka, dengan tujuan yang sama. 



Bagaimana dan dari mana urusan tolol ini bermula? Asalnya dari sebuah media online, yang kebetulan menarik perhatianku—sekian waktu lalu. Sebut saja media X. Waktu itu aku tertarik, karena X adalah media online baru yang unik, dan aku mengatakannya terus terang pada mereka.

Karena ketertarikan itu pula, aku mencoba mengirim naskah ke mereka. Satu-satunya alasan aku mengirim naskah ke mereka cuma karena KETERTARIKAN. Honor? Untuk ukuran media lokal, paling berapa, sih? Tidak seberapa! Popularitas? Aku tidak butuh! Aku hanya tertarik, itu saja.

Naskah kirimanku ternyata ditolak. Tidak apa-apa. Bagiku, sebagai penulis, itu hal biasa. Bahkan aku masih mencoba mengirim beberapa naskah lain, yang semuanya tetap ditolak—mungkin karena tulisanku dianggap terlalu berat, dan tidak sesuai dengan segmen pembaca mereka.

Sekali lagi, aku menganggap semua penolakan itu sebagai hal biasa, dan sama sekali tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebagai penulis, aku sadar betul bahwa risiko menjadi penulis adalah ditolak. Jadi, penolakan naskah sama sekali tidak ada artinya bagiku. Itu sangat, sangat biasa.

Sebenarnya, aku masih akan mencoba menulis dan mengirim naskah lagi untuk media X tadi. Tetapi, kebetulan ada banyak urusan mendesak yang harus kukerjakan, dan tak bisa ditunda. Akhirnya, rencana menulis untuk media online X pun tertunda, sampai cukup lama.

Ketika urusan yang mendesak sudah mulai rampung, muncul masalah lain. Blogger mengirim pengumuman yang membuatku terguncang, yaitu perubahan dasbor. Perubahan dasbor ini sangat merisaukanku, karena dampaknya luar biasa. 

Sila baca: Blogger Bikin Pusing » https://bit.ly/305S9qI

Aku punya situs Belajar Sampai Mati, yang masih butuh penambahan gambar untuk ribuan artikelnya. Urusan penambahan gambar ini akan sangat rumit jika dilakukan menggunakan dasbor baru. Karenanya, sejak pengumuman dari Blogger tadi, aku benar-benar risau.

Sejak itu pula, aku berpacu dengan waktu, memasukkan gambar pada ribuan artikel di BSM, selama dasbor lama masih bisa digunakan. Gara-gara ini pula, aku sampai meninggalkan urusan pekerjaan, siang malam hanya ngurus BSM. Selengkapnya, baca di sini. » https://bit.ly/305S9qI

Ketika aku sedang suntuk dan stres mengerjakan hal-hal itulah, media X mulai mengganggu. Mungkin mereka nunggu aku kirim naskah lagi, tapi tidak juga kirim naskah. Lalu mereka menuduhku kecewa, sakit hati, egois, dan semacamnya, melalui sarana ala nomention. Inilah asal usulnya.

Bayangkan posisimu di tempatku. Aku sedang stres, banyak urusan, berpacu dengan waktu penggantian dasbor Blogger, siang malam mengunggah gambar untuk ribuan artikel, hingga meninggalkan urusan pekerjaan yang jadi sumber nafkahku. Aku tidak sempat melakukan hal lain, waktu itu.

Dan dalam kondisi semacam itu, media online X terus menerus mengirim pesan ala nomention yang menuduhku kecewa, sakit hati, egois, dan lain-lain, nyaris tanpa henti, hanya karena aku tidak juga mengirim naskah baru ke mereka. Padahal masalahnya sepele; aku sedang sangat sibuk!

Andai mereka menghubungiku baik-baik, dan menanyakan kenapa aku tidak kirim naskah baru, dengan senang hati aku akan menjelaskan. Bahwa aku sedang banyak urusan/kesibukan, dan saat itu sedang suntuk mengurusi situs "Belajar Sampai Mati" yang sampai membuatku tidak bisa kerja.

Tetapi, alih-alih menggunakan cara yang baik dan profesional semacam itu, media X justru hanya terus menerus mengirim pesan ala nomention, menuduhku sakit hati dan kecewa karena ditolak. Kalau aku kemudian jengkel karena hal itu, bahkan iblis di neraka akan dapat memaklumi.

Sejak itulah, ketertarikanku pada media online X pudar, dan aku kehilangan gairah menulis lagi untuk mereka. Ingat kembali, satu-satunya alasanku mau menulis naskah untuk mereka cuma ketertarikan. Dan sejak itu, akibat ulah mereka yang memuakkan, ketertarikanku hilang.

Mereka masih berusaha mengirim pesan-pesan melalui sarana ala nomention dan masih menuduhku kecewa/sakit hati karena ditolak, tapi aku tak peduli lagi. 

Di Twitter, aku bahkan unfollow akun mereka, sebagai upaya menunjukkan kalau aku sudah tak tertarik dan muak dengan mereka.

Lalu, dimulailah “konspirasi tolol” di Twitter. Mungkin karena sadar mereka sudah tak menarik bagiku, media X rupanya mencari cara lain. Kali ini, mereka “memanfaatkan” orang-orang tertentu di Twitter, dan diberi brief tertentu untuk menarik perhatianku. Hasilnya sama memuakkan!

Sejak itulah, aku mendapati ada orang-orang di Twitter menulis tweet-tweet tertentu, yang lalu di-retweet oleh akun-akun yang kebetulan ku-follow. Tweet-tweet hasil brief itu sangat jelas bagiku, meski mungkin orang lain tidak tahu, dan aku sengaja tidak pernah mempedulikannya.

Tidak cukup hanya itu, media X juga memantau TL-ku untuk melihat dengan siapa saja aku berinteraksi, atau tweet dari siapa saja yang ku-retweet. Lalu muncullah kasus si aktivis ini. Aku me-retweet tweet dia, dan media X langsung menghubungi si aktivis.


Juga kasus wanita ini. Aku sering me-retweet tweet dia, dan berinteraksi dengannya. Lalu media X mendekati wanita ini, dan memberi brief agar sering me-retweet/memfavoritkan tweet dari akun-akun tertentu, agar sampai di TL-ku, dengan harapan aku tertarik. 


Kasus si aktivis dan si wanita itu hanyalah dua di antara banyak kasus lain yang terjadi di Twitter selama ini. Dan selama waktu-waktu itu, aku hanya diam, karena tak ingin ribut. Tapi ulah media X, lewat orang-orang suruhannya, makin lama makin memuakkan.



Ada orang-orang di Twitter yang disuruh “menggangguku” dengan aneka cara, dari menyindir, berusaha membuatku tertarik/terkesan, menyerangku dengan cara nomention, dll. Tak cukup di Twitter, sampai ada orang di FB diminta ikutan, lalu SS tulisannya dibawa ke Twitter! WTF is that?

Jadi, akhirnya, aku pun memutuskan untuk speak up, dan terang-terangan menunjukkan bahwa aku tahu perbuatan mereka, lewat tweet ini dan tweet-tweet beberapa malam kemarin. Ulah mereka sudah sangat memuakkan, dan sudah saatnya mereka diberi tahu.


Sekarang, aku akan mengatakan ini pada media X. 

Aku sama sekali tidak marah, tidak kecewa, juga tidak sakit hati, atas penolakan naskahku dulu, dan Tuhan menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini. Satu-satunya alasan aku berhenti kirim naskah, karena sedang sangat sibuk!

Tapi kalian tidak menunjukkan itikad baik. Bukannya menghubungiku dan menanyakan secara baik-baik, kalian malah menuduhku macam-macam, dan itu, terus terang, membuatku muak sekaligus sakit hati. Apalagi ditambah ulah kalian yang menggangguku di Twitter melalui orang-orang lain.

Kini, aku sudah tak tertarik pada kalian, atau media kalian, atau apa pun milik kalian, dan tidak ada apa pun lagi yang bisa membuatku tertarik. Yang kalian lakukan sudah sangat... sangat memuakkan, dan terus terang aku tidak berminat mengenal apalagi berhubungan dengan kalian.

Tak ada gunanya lagi mencoba apa pun untuk menarik perhatianku. Aku tidak butuh uang kalian. Aku juga tidak butuh popularitas yang mungkin bisa kalian berikan. Satu-satunya hal yang kalian miliki, dulu, hanya ketertarikanku. Dan ketertarikan itu sekarang sudah hilang.

Dan sekarang, fellas, kalian tahu kenapa aku terus menyematkan ini di setiap ocehanku sejak beberapa malam lalu. Baca dari awal sampai akhir: 

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit » https://bit.ly/2SIcrT1


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Oktober 2020.

Untuk Media Online Paling Memuakkan

Aku mencium bau yang sangat busuk, terkait media online memuakkan yang kujelaskan di sini. Karenanya, sebelum kebusukan itu benar-benar terjadi, aku perlu menyatakan beberapa hal sebagai antisipasi.

Seperti yang kujelaskan dalam ocehan panjang ini, aku sempat kirim tulisan ke media online yang belakangan ketahuan sangat memuakkan. Mereka punya aturan yang ada di situs mereka, bahwa tulisan yang tidak mendapat kabar selama 2 minggu, artinya ditolak.

Aku mengirim beberapa tulisan ke media online tersebut sudah berbulan-bulan yang lalu, dan tidak ada kabar sama sekali. Artinya, merujuk pada aturan yang mereka buat sendiri, tulisan-tulisanku dinyatakan ditolak, apa pun alasannya. Jadi, aku akan memegang keputusan itu.

Nah, sekarang aku curiga—bau busuk yang tadi kusebutkan—media online ini mencari cara untuk menerbitkan tulisan yang pernah kukirim ke mereka, dan bisa jadi mereka akan mengarang-ngarang aneka dalih dan alasan. Aku paham maksud dan tujuannya, tapi persetan dengan mereka.

Karenanya, sebelum itu terjadi, aku perlu menyatakan bahwa AKU MENCABUT SEMUA TULISAN YANG PERNAH KUKIRIM, DAN TIDAK MENGIZINKAN MEDIA ONLINE BERSANGKUTAN MENERBITKANNYA, DALAM BENTUK APA PUN, KAPAN PUN, DENGAN ALASAN APA PUN.

Setelah semua kejahatan dan kebusukan yang kalian lakukan, setelah merusak hubunganku dengan banyak orang di media sosial, masih berharap aku akan tertarik pada kalian? 

Silakan pergi ke neraka, bersama kebusukan kalian yang memuakkan!

Keping-Keping Kekonyolan

Sambil nunggu udud habis, aku mau melanjutkan ocehan ora genah dari kemarin.

Dari kemarin, orang-orang yang mengikuti akun ini mungkin bingung dan bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang terjadi? Kok dia ngoceh tidak jelas juntrungnya?” 

Sori kalau ada yang tidak nyaman, dan sekarang aku akan mulai menjelaskan—kalau ada yang mau menyimak, sih.

Di Twitter ini, sedang terjadi sesuatu secara diam-diam, sejak cukup lama, melibatkan banyak orang, laki-laki maupun perempuan, yang nama-namanya kemungkinan besar kalian kenal. Setidaknya, aku mengantongi sekitar selusin nama yang terlibat dalam urusan ini, dari A sampai Z.

Orang-orang itu terhubung pada satu pihak tertentu, dan “pihak tertentu” itulah yang memberi instruksi mengenai apa-apa yang perlu dilakukan di Twitter. Meski sejak lama tahu soal ini, aku memilih diam, dan pura-pura tak tahu, biar semua orang tetap damai dan baik-baik saja.

Tetapi, mungkin, “pihak tertentu” itu mengira aku tak tahu, atau sadar aku tahu tapi tak peduli. Dan tingkah orang-orang suruhannya makin menjadi-jadi. Sebenarnya, aku sudah coba memberi tanda bahwa aku tahu yang mereka lakukan, tapi sepertinya mereka tak sadar, atau tak peduli.

Karena hal ini terjadi di Twitter dan melibatkan orang-orang di Twitter, aku pun merasa perlu mengungkapkan serta menyelesaikannya di Twitter. Tweet-tweet sejak kemarin itu bagian dari upaya pengungkapan menuju penyelesaian. Terpaksa kupotong-potong, karena sangat panjang.

Jadi, anggap saja tweet-tweet tidak jelas sejak kemarin-kemarin itu keping-keping puzzle yang, pada akhirnya, akan membentuk gambaran utuh. Tunggu saja, kalian akan benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena aku akan mengungkapkannya dengan jelas sekaligus gamblang.

Seperti yang kusebut tadi, setidaknya ada selusin orang yang terlibat dalam urusan ini, tapi aku akan mengabaikan mereka; pertama, karena mereka cuma dimanfaatkan—kalau boleh disebut begitu; dan kedua, karena yang mereka lakukan masih sopan atau tidak sampai mengganggu.

Contoh yang mereka lakukan adalah mencoba memancingku dengan tweet-tweet tertentu—biasanya di-retweet oleh seseorang yang akunnya kebetulan aku follow. Begitu aku diam saja, dan tidak memberi respons, mereka pun berhenti. Aku menghargai sikap semacam itu. 

Sekadar saran. Lain kali, kalau kalian ingin berkomunikasi denganku, jangan gunakan isyarat atau dengan cara memancing-mancing, tapi langsung saja mention akunku, dan sampaikan maksudmu dengan baik, hingga aku bisa langsung merespons, dan... bukankah begitu cara berkomunikasi?

Kalau kalian menulis tweet ala nomention atau menggunakan isyarat-isyarat tertentu, mungkin aku akan tahu—atau setidaknya paham bahwa itu ditujukan kepadaku. Tetapi, sejujurnya, aku bukan orang yang pintar membuka komunikasi, jadi aku tidak tahu bagaimana cara memulainya.

Kalau kalian memancing-mancing dengan harapan aku merespons, tapi tidak menegurku secara langsung, misal lewat mention, ya silakan tunggu sampai kiamat. Kecuali kalau kita sudah akrab, mungkin aku enjoy memulai percakapan. Tapi, maaf, aku tidak/belum kenal kalian.

Omong-omong, kalian me-mention Awkarin saja berani, tapi me-mention aku tidak berani. Lha piye kui?

Cukup untuk keping malam ini. Besok akan kulanjutkan, untuk menunjukkan keping lainnya. Kalau selo, tentu saja.

Dan, seperti biasa:

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit » https://bit.ly/2SIcrT1


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Oktober 2020.

Noffret’s Note: Malas

Sedang malas lihat TL.

Sebenarnya sih sedang malas apa-apa aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 April 2020.

Hari Ini, Sepuluh Tahun yang Lalu

Hari ini, sepuluh tahun yang lalu, aku menulis catatan pertama di blog. Hari ini, genap sepuluh tahun, aku masih menulis di blog.

Sepuluh Tahun Ngeblog » https://bit.ly/2rNoeFm


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 November 2019.

Selasa, 10 November 2020

Urusan Tolol di Twitter

 Melanjutkan ocehan kemarin, sekarang aku akan membahas tweet ini.



Ketika menulis tweet tersebut, sebenarnya aku hanya menujukannya pada satu-dua orang, bukan untuk semua orang. Tapi namanya Twitter, kita ngetwit sesuatu untuk satu orang, bisa jadi ada banyak orang lain yang ikut merasa. So, sori untuk ketidaknyamanan itu.

Jadi, ceritanya, sekian waktu lalu, aku mem-follow sebuah akun, karena kupikir tweet-nya menarik. Si pemilik akun itu laki-laki, tipe aktivis, dan biasa ngetwit hal-hal berwawasan, bahkan akademis. Aku mem-follow akun dia, semata-mata karena tertarik pada tweet-nya.

Karena itu pula, aku me-retweet beberapa tweet milik dia, agar orang lain ikut membaca. 

Ternyata, sesuatu kemudian terjadi. Ada “pihak ketiga” yang menghubungi si aktivis tadi, dan memintanya agar menjalin interaksi denganku. Hal itu sangat tampak pada tweet-tweet-nya kemudian.

Sejak itu, si aktivis menulis tweet-tweet ala nomention yang dimaksudkan untuk menarik perhatianku, mungkin dengan maksud agar aku merespons, agar terjadi komunikasi atau interaksi. Finalnya jelas, “menggiringku” agar nantinya terhubung dengan si “pihak ketiga” yang mengontaknya.

Sayangnya, yang dilakukan si aktivis ini sangat tolol dan naif. Bukannya menarik perhatianku dengan cara santun, tapi justru menjengkelkan—oh, dia tipe orang yang terlalu percaya diri! Dan aku jadi tergelitik untuk mencari tahu “kenapa dia mau melakukannya”. 

*Nyulut udud dulu*

Andai dia mendekatiku secara wajar dan baik-baik, misal menyapa dengan santun dan santai, mungkin kami dapat berkomunikasi dengan menyenangkan. Sayangnya, dia justru menggunakan cara menyinggung dan menjengkelkan, jauh dari sikap berpendidikan.

*Ududku mati*

*Nyalain lagi*

Perlu kujelaskan di sini, aku mem-follow akun dia, dan dia tidak mem-follow akunku. Dia tidak mengenalku, selain tahu tentang aku dari “pihak ketiga” yang memberikan brief kepadanya. 

Akhirnya, daripada TL tidak nyaman, aku pun unfollow akun dia, dan dia boleh pergi ke neraka.

Kasus si aktivis tersebut sama dengan kasus ini. Kali ini terkait seorang wanita. 


Jadi, aku mem-follow akun wanita ini, karena dia cerdas dan sering berbagi wawasan agama yang sangat mendalam. Aku bahkan sempat berinteraksi dengannya, meski tidak sering.

Dan interaksi itu rupanya ditindaklanjuti oleh “pihak ketiga” yang sama; si wanita diberi “brief” agar melakukan sesuatu, kali ini diminta me-retweet akun-akun tertentu, dengan harapan aku tertarik. Ujung-ujungnya sama; “menggiringku” agar terhubung dengan si “pihak ketiga”.

Lama-lama, aktivitas retweet/favorit yang dilakukan wanita itu makin membuat TL tidak nyaman. Aku mem-follow dia karena tertarik dengan tweet-tweet-nya, tapi kini dia lebih banyak me-retweet tweet-tweet “pesanan”. Akhirnya, dengan berat hati, aku pun unfollow akunnya.

So, itulah latar belakang kenapa aku menulis tweet ini, hingga kusematkan di TL-ku. Hanya untuk orang(-orang) tadi, bukan untuk semua orang. 

Dan sekarang, karena aku telah mengklarifikasi, tweet ini tidak perlu kusematkan lagi.



Dua orang tadi, si aktivis dan si wanita, hanyalah dua di antara selusin orang lain yang terlibat dalam urusan memuakkan ini. Mereka semua melakukan aneka cara, dari yang baik dan santun sampai yang tolol dan norak, dan semuanya digerakkan oleh satu pihak yang sama.

Sekarang aku mau ngomong ke semua orang yang aku follow. 

Aku mem-follow akunmu, semata-mata karena menyukai tweet-mu. Karena setiap orang berbeda, tentu wajar kalau tweet masing-masing orang juga berbeda, dan itu bukan masalah. Jadi, tetaplah ngetwit seperti biasa.

Jika sewaktu-waktu ada “pihak ketiga” yang memintamu agar memancing interaksi/komunikasi denganku, apa pun alasannya, sebaiknya tolak saja—KECUALI KALAU KAMU DIBAYAR SANGAT BANYAK. Karena bisa jadi kamu akan menghadapi risiko yang tidak menyenangkan.

Aku bisa membedakan mana tweet dan interaksi yang tulus dari orang per orang, dan mana tweet dan interaksi yang digerakkan pihak lain. Jadi percuma kamu mencobanya. Bahkan, kalau kamu masih nekat mencoba, aku akan “menghabisimu” di sini—dan percayalah, aku tidak akan keliru!

Kalau kamu memang ingin berkomunikasi dengan orang lain—termasuk denganku—lakukanlah secara wajar dan baik-baik, sebagaimana mestinya orang normal berinteraksi. Bukan dengan cara memancing-mancing, tapi dengan keramahan yang saling membuat nyaman.

Kalau kita ingin berkomunikasi dengan seseorang, bebannya ada di pundak kita, bukan di pundak orang lain. Artinya, kitalah yang harus memulai, bukan malah mengharap orang lain memulai komunikasi. Wong kita yang ingin, tapi malah berharap orang lain yang memulai.

Semua orang, sekeras atau bahkan sebrutal apa pun, sebenarnya punya kecenderungan manusiawi yang sama; mereka senang mendapati keramahan dan itikad baik. Aku tidak mungkin marah pada orang yang menunjukkan keramahan dan itikad baik, dan orang lain pun begitu.

Akhirnya, kalau kalian bertanya-tanya siapa “pihak ketiga” yang kumaksud di ocehan ini, akan kujelaskan besok. Kalau selo, tentu saja.

Penutup, seperti biasa.

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit » https://bit.ly/2SIcrT1


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Oktober 2020.

Ingin Menarik Perhatian, tapi Menyinggung

Ada jenis orang yang tidak kita tahu, dan kita tidak ingin tahu. Lutfi Agizal termasuk dalam kategori itu.

Caper memang hak setiap orang. Tapi cara dia salah sekaligus menjengkelkan.

Tapi Lutfi Agizal sebenarnya masih "lumayan", karena setidaknya dia tidak menyinggung orang per orang. 

Yang lebih parah, ada jenis orang yang bermaksud menarik perhatianmu, tapi caranya justru menjengkelkanmu. Itu pola pikirnya bagaimana? Bahkan iblis pun tidak akan tertarik!

Jika tujuan kita adalah berharap mendapat perhatian seseorang, tunjukkan bahwa kita memang layak mendapatkannya. Tentu dengan cara yang positif, bukan malah menyinggung perasaan orang yang kita harap memberikan perhatiannya. Anak SD pun mestinya tahu etiket semacam itu.

Di dunia ini, ada orang-orang yang tidak pernah lupa. Kita menyinggung perasaannya sepuluh tahun lalu, dan dia terus ingat sampai sekarang... meski kita lupa. Orang-orang semacam itu bahkan biasanya tidak kenal kata maaf. Kau bermasalah dengannya, kau sedang mengundang bahaya.

Pernah ada kasus seorang aktivis yang mati-matian memoles citranya selama bertahun-tahun, tapi hancur dalam semalam. Dia "berdiri di dua kaki"—terkenal doyan menyerang "produk anu" tapi ternyata diam-diam saling MoU dengan perusahaan "produk anu". Tidak ada yang tahu rahasia itu.

Mungkin rahasia kotor itu akan tersimpan selamanya, dan dunia tidak akan tahu... andai dia tidak menyinggung orang yang salah.

Ceritanya panjang. Intinya, tepat ketika si aktivis itu hampir sampai di puncak kariernya, rahasia kotornya terungkap. Sudah, gitu aja. Kisahnya tamat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 September 2020.

Kasus Retweet Tidak Wajar

Agatha Christie menulis novel bagus berjudul The A.B.C. Murders. Mengisahkan kasus pembunuhan yang cerdik, rumit, dan aneh. Si penjahat ingin membunuh seseorang, tetapi, agar tak terlihat sebagai kasus pembunuhan tunggal, dia melakukan pembunuhan berantai, berdasarkan abjad.

Pertama, dia membunuh seseorang yang namanya berawalan A. Korban kedua punya nama berawalan B. Dan korban ketiga punya nama berawalan C. Seiring dengan itu, dia memfitnah seseorang sebagai pembunuhnya, bernama Alexander Bonaparte Cust (ABC). Benar-benar cerdik sekaligus licik.

Polisi menduga itu kasus pembunuhan berantai yang dilakukan psikopat sinting, yang tergila-gila pada abjad. Tapi Hercule Poirot, yang ikut menangani kasus itu, tahu bahwa pembunuhan tersebut sebenarnya cuma menyasar satu orang. Sementara korban-korban lainnya hanyalah “bumbu”.

Ide cerita semacam itu belakangan diadopsi sebuah film, berjudul Jack Reacher (diperankan Tom Cruise). Si penjahat melakukan penembakan pada beberapa orang secara acak di jalanan—tampak seperti kasus psikopat yang ingin memuntahkan peluru pada orang-orang tak berdosa.

Tetapi, sebenarnya, penembakan [yang tampak] acak itu hanya mengarah pada satu orang. Si penjahat sengaja membunuh beberapa orang lain, agar tujuan/motif sebenarnya tak terungkap. Alih-alih dianggap kasus pembunuhan tunggal, kasus itu akan dianggap penembakan acak.

Entah kebetulan atau tidak, di Twitter juga ada kasus semacam itu. Ada seseorang yang diminta suatu pihak untuk “me-retweet akun tertentu”, agar retweet itu sampai pada orang yang dituju. Tetapi, agar tak mudah terdeteksi, dia juga “sebaiknya me-retweet beberapa akun lain”.

Jadi, itulah yang dilakukannya. Dia me-retweet cuitan-cuitan dari satu akun yang diinstruksikan, dan “menutupinya” dengan cara me-retweet cuitan dari beberapa akun lain. Belakangan, ketika sadar fitur retweet bisa dimatikan, dia tidak lagi me-retweet, tapi memfavoritkan.

Tujuan itu memang tercapai. Cuitan-cuitan dari satu “akun tertentu” itu sampai pada timeline orang yang dituju, terlepas menggunakan retweet atau favorit. Yang mungkin tidak sempat ia (atau mereka) pikirkan, Twitter juga menyediakan fitur Unfollow, Mute, hingga Block.

PS:

Kasus retweet yang tidak wajar ini telah berlalu. Tapi aku bukan orang yang mudah melupakan sesuatu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 September 2020.

Timeline-mu adalah Milikmu

Tombol “Follow” di Twitter juga berfungsi sebagai “Unfollow”. So, kalau kamu tidak nyaman dengan tweet-ku—apa pun alasannya—jangan ragu untuk pencet tombol “Unfollow”. Timeline-mu adalah milikmu sepenuhnya, buatlah senyaman mungkin.

Karena aku pun begitu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Agustus 2020.

Pertanyaan Bersponsor

 Apa cara terbaik untuk menyelesaikan sebuah permasalahan?
@VICE_ID

Pertanyaan ini mestinya dikasih tagar #sponsor. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Oktober 2020.

Senin, 02 November 2020

Romantisasi Kemiskinan, Glorifikasi Perkawinan

Di Twitter, ocehan ala-ala "Dari perkawinan artis anu kita bisa 
belajar bla-bla-bla" hampir selalu viral. Sebelas dua belas dengan 
ocehan ala-ala "Menikah akan membuatmu bahagia dan bla-bla-bla". 

Apa artinya itu? Khayalan dan keyakinan kita 
menumpulkan akal sehat dan kesadaran.


Selalu ada hal-hal tak terduga yang muncul di timeline Twitter. Seperti suatu malam, sekian waktu lalu, saya mendapati ada tweet yang di-quote seseorang. Tweet itu berbunyi, “Meski miskin, hidup terasa tenang jika punya agama.” 

Tweet itu lalu di-quote oleh seseorang, dalam bahasa Inggris, dengan bunyi, “Berhentilah meromantisasi kemiskinan!”

Saya tertarik pada istilah itu—meromantisasi kemiskinan—karena, kalau diingat-ingat, saya juga pernah melakukannya. 

Sekian tahun lalu, saya pernah berusaha “ngadem-ngademi diri sendiri” dengan meromantisasi kemiskinan, bahkan pernah saya tulis di blog ini. Waktu menulis catatan itu, saya begitu yakin dengan yang saya pikirkan, bahwa kemiskinan itu baik, dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi, sekarang, saya menyadari bahwa yang saya lakukan waktu itu adalah meromantisasi kemiskinan, sebentuk upaya “ngadem-ngademi diri sendiri”.

Apakah orang miskin memang dapat menjalani kehidupan tenang jika punya agama, sebagaimana isi tweet yang dituduh meromantisasi kemiskinan di atas?

Saya tidak tahu, karena bisa jadi hal itu—dan ini terdengar klise—berpulang pada masing-masing orang. 

Yang saya tahu, orang tua saya sangat religius, dan kami—anak-anaknya—juga dibesarkan dengan sama religius. Sebagai gambaran, di rumah almarhum kakek saya dulu ada pengajian rutin tiap malam Selasa, mengkaji kitab-kitab salaf. Pengajian itu berlangsung sejak saya masih bayi sampai saya dewasa, dari bakda isya sampai tengah malam. Belakangan, pengajian itu berhenti setelah ayah saya wafat. 

Di waktu kecil dulu, saya dekat dengan ayah. Jadi, sejak kecil, saya selalu dibawa ayah dalam pengajian tersebut, dan biasanya saya tertidur di sana, sementara pengajian terus berlangsung. Seiring usia yang makin bertambah, dan nalar saya mulai jalan, saya tidak hanya ikut ayah dan “numpang tidur” di sana, tapi juga ikut menyerap pelajaran-pelajaran terkait agama yang dibahas.

Karena pengajian rutin itu berlangsung puluhan tahun, topik yang dibahas pun sangat luas dan dalam, merentang dari persoalan-persoalan umum sampai hal-hal yang sangat spesifik. Dan saya mulai menyerap semua itu, bahkan ketika masih balita, hingga saya besar dan dewasa.

Itu sekadar gambaran bagaimana religiusnya keluarga saya dalam menjalani kehidupan. Kami menjalani kehidupan beragama tidak sekadar melaksanakan hal-hal yang memang diwajibkan, tapi juga mendalami agama dengan baik. 

Dan apakah saya menjalani kehidupan damai, tenteram, bahagia, karena hidup di keluarga yang sangat dekat dengan agama—meski dalam kemiskinan?

Ini mungkin ironis, dan saya merasa pahit mengatakannya. Kenyataan yang saya hadapi sejak kecil sama sekali jauh dari kebahagiaan, apalagi ketenteraman. Yang saya hadapi sejak kecil adalah petaka, luka, dan penderitaan, yang belakangan “merusak” diri saya ketika dewasa. 

Tentu yang saya alami tidak bisa digunakan sebagai standar untuk menilai kehidupan orang lain. Karena di luar sana tentu ada orang-orang yang tenteram dan bahagia meski menjalani kemiskinan. Tetapi, karena saya mengalami dan menjalani latar belakang seperti itu, saya pun mudah sinis pada segala bentuk romantisasi, khususnya romantisasi kemiskinan dan semacamnya.

Ketika melihat film ala Keluarga Cemara, misalnya, saya merasa “dibohongi”, karena realitas kemiskinan yang saya alami tidak begitu. Kemiskinan, dalam perspektif saya, hanya indah ketika digambarkan dalam film, atau ketika diceritakan dalam novel. Dalam realitas atau kenyataan, kemiskinan adalah kondisi yang sangat mengerikan. Saya tahu betul yang saya katakan, karena saya menjalaninya, bahkan menjadi korbannya!

Tapi kita, umumnya manusia, tampaknya memang punya kecenderungan untuk meromantisasi hal-hal yang sebenarnya tidak romantis sama sekali. Karena nyatanya kita memang senang ngadem-ngademi diri sendiri. Dalam bahasa yang lugas, kita sangat ahli membohongi diri sendiri. 

Kita tentu pernah, atau bahkan sering, mendengar orang mengatakan, kira-kira seperti ini, “Kalau dipikir-pikir, gaji atau penghasilanku sebenarnya tidak akan mencukupi kebutuhan keluargaku. Tapi ndilalah ada saja rezeki yang datang, sehingga aku bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga, termasuk biaya sekolah anak-anakku.”

Pernah mendengar kalimat semacam itu? Saya yakin, kalian bahkan sering mendengarnya! Kalimat itu—atau variannya—biasanya diucapkan orang yang telah menikah dan berumah tangga, tapi kehidupannya kembang kempis, sementara anak-anaknya sudah besar dan bersekolah, dan butuh banyak biaya.

Dulu, waktu masih ingusan, saya benar-benar percaya kalimat itu. Dengan segala kenaifan, waktu itu, saya percaya bahwa dunia menyuguhkan banyak keajaiban. 

Belakangan, setelah dewasa, saya menyadari, kalimat-kalimat semacam itu hanya bentuk romantisasi, ngadem-ngademi diri sendiri. Atau, menggunakan istilah lugas, kalimat itu sebenarnya dusta! 

Orang tua saya juga dulu kerap mengatakan kalimat semacam itu, sebagaimana orang-orang lain juga sangat fasih mengatakannya. Tapi apakah kenyataannya memang semudah yang mereka katakan? 

Saya tahu betul, orang tua saya sering frustrasi menjalani kehidupan kami yang serba kekurangan, sebagaimana saya sering malu karena terus menunggak SPP di sekolah, dan tertekan karena merasa tak bisa seperti teman-teman yang lain. Keajaiban keparat apa yang melemparkan kami ke jurang nestapa semacam itu?

Karenanya, setelah dewasa, saya pun menyadari—benar-benar menyadari—bahwa ocehan semacam itu hanyalah bentuk romantisasi, ngadem-ngademi diri sendiri, karena manusia memang punya bakat luar biasa dalam membohongi diri sendiri.

Begitu pula ucapan-ucapan senada, semisal, “Tidak perlu khawatir menikah. Nanti, setelah menikah, rezeki akan datang sendiri,” dan seterusnya, dan seterusnya. Terus terang, saya ingin muntah setiap kali mendengar ocehan semacam itu. Bahwa menikah akan membuatmu kaya, bahwa punya anak-anak akan melancarkan rezeki, dan seterusnya dan seterusnya.

Kalau kau menikah dengan Nabi Sulaiman, mungkin ocehan itu benar. Atau, setidaknya, kalau kau menikah dengan ahli waris Wal-Mart! 

Orang sering mengingatkan, “Mbok yang realistis!” Menikah dan beranak-pinak tidak memberi jaminan siapa pun jadi kaya. Kalau ingin membuktikan, caranya mudah. Lihat saja sekeliling kita!

Ada anak-anak tetangga kita yang diam-diam menangis karena kemiskinan yang mereka jalani. Ada teman-teman kita yang saat ini sudah berumah tangga, yang diam-diam menyesal karena merasa tertipu. Ada saudara dan famili kita yang montang-manting menjalani kehidupan dengan lingkaran masalah tanpa ujung. Ada orang-orang di sudut dunia mana pun yang kelaparan, kebingungan mencari uang, bahkan sampai terjerat utang, meski mereka menikah dan beranak-pinak.

Silakan saja lempar angan idealismu ke puncak langit, tapi ya tetaplah memijakkan kaki pada realitas bumi. Kemiskinan mungkin tampak indah saat digambarkan dalam film atau novel, tapi ia petaka ketika benar-benar dijalani. Pernikahan mungkin tampak menyenangkan saat diocehkan atau diceritakan, tapi bisa jadi pelakunya menangis diam-diam saat sendiri.

Kita meromantisasi kemiskinan... kenapa? Jawabannya sangat gamblang, karena kemiskinan tidak romantis sama sekali! Begitu pula, kita meromantisasi pernikahan... kenapa? Jawabannya sama!

Apa pun yang diromantisasi adalah hal yang sama sekali tidak romantis. 

Saya telah menjalani kemiskinan selama belasan tahun, dan saya tahu betul apa arti kemiskinan. Jika sekarang ada orang menemui saya dan bertanya apakah kemiskinan memang seindah gambaran dalam film, saya akan menjawab, “Tidak! Kenyataannya sama sekali tidak begitu!”

Sekarang, cobalah temui teman-temanmu yang telah menikah, face to face, hanya berdua, dan tanyakan dengan serius, “Apakah perkawinan memang seindah yang dikatakan orang-orang?” Dan minta mereka menjawab secara jujur!

Saya telah menemui puluhan orang yang telah menikah, dan mengajukan pertanyaan serupa. Dan semuanya menjawab dengan jujur—kau tahu jawabannya.

Aku Menyebut Kenangan, Lalu Seseorang Terjebak

Sambil nunggu udud habis, aku mau ngasih footnote untuk ocehan ini.

Kutipan dalam tweet ini sebenarnya salah, dan sengaja kubuat salah. Petunjuknya ada pada foto yang kusematkan.

Seorang mbakyu berkata, “Kenangan itu seperti pisau tajam, Hannibal. Selama kau mengingatnya, selama itu pula kau akan terluka.” 

Mungkin benar. Yang jadi masalah, Hannibal Lecter tak pernah lupa.

Aku Menyebut Kenangan, Lalu Seseorang Terjebak

Foto dalam tweet itu adalah sosok Hannibal Lecter saat masih muda, yang kisahnya ada dalam novel/film “Hannibal Rising”. Itu adegan ketika Hannibal menjebak seseorang yang akan dihabisinya—tali tambang yang ia pegang digunakannya untuk menjerat leher korbannya.

“Mbakyu” pada tweet tersebut merujuk pada Lady Murasaki (dalam film diperankan oleh Gong Li); dia semacam “sepupu jauh” Hannibal, dan berusia lebih dewasa, dan Hannibal jatuh cinta kepadanya. Lady Murasaki itulah yang mengatakan kalimat yang kemudian kukutip di tweet.

Seperti yang kusebut tadi, kutipan itu salah, dan sengaja kubuat salah. Yang dikatakan Lady Murasaki sebenarnya “memory” (ingatan), bukan “memories” (kenangan). Setepatnya, “Ingatan itu seperti pisau tajam, Hannibal. Menyimpan ingatan bisa membuatmu terluka.”

Di Twitter, aku bahkan telah menulis kutipan itu dua kali, dan dua-duanya kutulis dengan benar, dengan menerjemahkan “memory” (ingatan). Yang pertama kutulis pada 25 Agustus 2017.

Seseorang berkata kepada Hannibal, "Ingatan itu seperti pisau tajam, Hannibal." Dia benar. Tetapi, sayang, Hannibal Lecter tak pernah lupa.

Dan yang kedua, kutulis pada 13 Januari 2019.

Hannibal Lecter pernah punya mbakyu, yang memberi tahu, "Ingatan itu seperti pisau tajam, Hannibal. Menyimpan ingatan bisa membuatmu terluka."

Yang menjadi masalah adalah... bagaimana kau bisa melepaskan ingatan, kalau kau bahkan tidak punya kemampuan untuk lupa?

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa aku melakukan ini? Sederhana saja. Aku seorang bocah. Dan bocah senang bermain-main. 

Omong-omong, aku sangat memperhatikan detail... selain tak pernah lupa.

Ah, ya, mumpung ingat (meski aku tentu selalu mengingatnya).

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit » https://bit.ly/2SIcrT1


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Oktober 2020.

Ingin Berteman tapi Menjengkelkan

Apa hal yang paling penting dalam suatu pertemanan?
@VICE_ID


Omong-omong soal teman, khususnya di dunia maya, aku jadi teringat pertanyaan VICE kemarin. Sambil nunggu udud habis, aku jadi ingin ngoceh.

Bagiku, pertemanan dimulai dari dua orang yang merasa saling cocok, lalu bisa berkomunikasi dengan wajar dan nyaman, tanpa tendensi apa pun. Ketika itu terjadi, khususnya di dunia maya, mereka akan saling mendekat dengan sendirinya, tanpa ada rekayasa.

Tempo hari, aku tidur habis subuh dan bangun pukul 8 pagi. Langsung ke dapur, bikin kopi, lalu udud dengan mata kriyep-kriyep. Kemudian iseng buka Twitter, dan berpikir akan mandi begitu udud habis. Tapi lalu ngobrol dengan 
@dradnaksi di DM, berjam-jam, sampai lepas zuhur.

Pertemananku dengan @dradnaksi dimulai dari blog, bertahun lalu, dan persahabatan kami terbangun perlahan, dari waktu ke waktu, hingga akhirnya sama-sama nyaman, sampai bisa ngobrol panjang berjam-jam. 

Begitulah pertemanan di dunia maya terjalin, setidaknya bagiku.

Ini sebentuk pertemanan yang tulus; dua orang saling tertarik untuk berteman, tanpa harapan apa pun selain ingin berteman. 

@dradnaksi dan aku belum pernah ketemu, dan dia tinggal di Surabaya. Jika aku ke Surabaya, apakah aku akan menemuinya? Jelas, wong kami berteman!

Meski mungkin terdengar sederhana, namun ternyata ada orang yang berharap bisa berteman dengan orang lain, tapi caranya benar-benar aneh.

Ada kisah tentang Si A yang ingin berteman dengan Si B, misalnya, tapi caranya bukan mendekati baik-baik, tapi malah melakukan hal-hal buruk.

Si A ingin berteman dengan Si B. Tapi Si A tidak pernah menunjukkan keinginan itu pada Si B. Sebaliknya, Si A menyuruh teman-temannya untuk menyerang Si B. Ada yang disuruh menyerang secara frontal, ada yang disuruh menyindir, ada yang disuruh mengganggu, dan lain-lain. Aneh?

Pertama kali aku tahu fenomena tolol ini, aku juga bingung campur tercengang. Kok bisa orang ingin berteman tapi caranya begitu? 

Dan apakah kemudian Si B tertarik pada Si A, hingga mau berteman dengannya? Kita tentu tahu jawabannya. Mending berteman dengan yang lain saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Oktober 2020.

Ada Benarnya

duh, masih ada yang percaya persahabatan via twitter. ilusi itu bro. twitter is for bussiness, sex, cari jodoh. ngga ada temen twitter. temen itu kalaupun via twitter ya jadi temen juga didunia nyata. interaksi irlnya kenceng. ga ada itu pertemanan twitter @PresideNetizen

Ada benarnya. Teman-temanku di dunia maya juga berasal dari blog, bukan dari Twitter. Bagiku, Twitter cuma tempat nambah wawasan, update info terkini, dan ngoceh kalau pas selo. Kalau ada yang lain, ya aku anggap bonus aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Oktober 2020.

Pura-Pura Tak Tahu

 "Duh, ternyata dia tahu! Aku kudu piye iki?"

"Tenang. Kamu tetap ngetwit seperti biasa aja, pura-pura nggak tahu/nggak paham. Kalau kamu ngilang, nanti makin ketahuan."

Mumpung ingat.

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit » https://bit.ly/2SIcrT1


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Oktober 2020.

 
;