Senin, 20 September 2021

Yang Tidak Dikatakan dari Kesuksesan Bill Gates

Menjadi diri sendiri, menjalani kehidupan sesuai yang kita pilih,
menikmati waktu dengan hal-hal yang kita cintai, 
itulah kesuksesan sejati.


Kalau kau sudah berusia 20 tahun, dan kenal komputer serta internet, hampir bisa dipastikan kau mengenal Bill Gates. Jika tidak, mungkin ada yang salah dengan hidupmu.

Bill Gates bukan hanya terkenal sebagai orang paling kaya di dunia, tapi juga orang yang telah mengubah wajah dunia serta peradaban manusia. Microsoft, perangkat lunak yang digunakan hampir semua komputer di muka bumi, adalah hasil karyanya. Bill Gates pula yang memungkinkan lahirnya personal computer, sehingga kita punya komputer pribadi di rumah atau di kantor, dan sekarang terhubung dengan jutaan komputer lain melalui internet.

Karena dianggap orang luar biasa di abad modern, Bill Gates pun kerap dijadikan subjek penelitian. Dalam hal kekayaan, misal, Bill Gates pernah menempati peringkat teratas sebagai orang paling kaya di dunia hingga bertahun-tahun. Kekayaan itu tentu karena penjualan produk-produk yang dihasilkannya, dan produk-produk itu dihasilkan oleh kemampuan otak serta kerja kerasnya. 

Pertanyaannya, bagaimana Bill Gates bisa sehebat itu?

Pertanyaan sama telah diajukan ribuan orang—khususnya para peneliti kesuksesan—dan mereka melakukan penelitian, langsung maupun tak langsung, meliputi wawancara, pembelajaran atas karya-karya Bill Gates, sampai menyelidiki kehidupan Bill Gates sejak remaja. Dari hasil penelitian, wawancara, dan pengamatan, mereka menghasilkan setumpuk kesimpulan. Satu kesimpulan yang paling terkenal disebut “pembelajaran 100 ribu jam”.

Seratus ribu jam setara dengan sepuluh tahun. 

Berdasarkan penelitian yang telah banyak dilakukan, Bill Gates disebut telah melakukan pembelajaran, mengasah keterampilan, dan terus berlatih selama 100.000 jam atau sekitar sepuluh tahun—dari masa remaja sampai dewasa—hingga akhirnya berhasil menjadi sosok luar biasa seperti sekarang. Buktinya, tentu saja, Microsoft dan kekayaannya yang luar biasa.

Dalil 100 ribu jam itu bahkan menjadi semacam “ayat suci kesuksesan” yang kerap disampaikan para motivator, bahwa “kalau kau ingin sukses, kaya, dan luar biasa seperti Bill Gates, kau membutuhkan waktu seratus ribu jam atau sepuluh tahun latihan dan pembelajaran.”

Kedengarannya menjanjikan, eh?

Durasi “seratus ribu jam” mungkin terdengar membosankan, sebagaimana waktu “sepuluh tahun” juga terdengar sangat lama. Tetapi, kalau dipikir-pikir, itu sebenarnya sangat singkat, khususnya jika taruhannya adalah menjadi Bill Gates!

Saya pribadi, terus terang, bersedia melakukan pembelajaran dan latihan sekeras apa pun selama 100 ribu jam atau sepuluh tahun, jika hasilnya bisa menjadi Bill Gates. 

Tetapi, benarkah semudah itu? Benarkah semudah itu untuk menjadi orang terkaya di dunia seperti Bill Gates? Benarkah hanya dibutuhkan waktu latihan dan pembelajaran selama 100 ribu jam, untuk menjadi sosok yang mampu mengubah wajah dunia dan peradaban manusia?

Orang-orang yang melakukan penelitian terkait kesuksesan Bill Gates—hingga menemukan formula kesuksesan 100 ribu jam—tampaknya melupakan dua hal penting. Yaitu diri Bill Gates, dan lingkungan Bill Gates.

Mungkin Bill Gates memang genius. Mungkin Bill Gates memang berlatih dan melakukan pembelajaran tekun selama 100 ribu jam. Mungkin Bill Gates memang tidak melakukan apa pun selain belajar dan belajar selama sepuluh tahun. Lalu, hasilnya, dia bisa menciptakan kerajaan bisnis raksasa, sekaligus menjadi orang terkaya di dunia. Tetapi, sekali lagi, apakah hanya sekadar dan sebatas itu?

Jika memang hanya sebatas dan sekadar itu, kita telah melupakan hal penting terkait kesuksesan Bill Gates. 

Pertama, dan mungkin jarang diketahui, Bill Gates sudah jadi miliuner, bahkan sebelum dia lahir! Sejak masih dalam kandungan ibunya, Bill Gates sudah kaya-raya!

Orang tua Bill Gates, juga kakeknya, adalah miliuner. Ketika Mary Maxwell Gates (ibu Bill Gates) mengandung janin Bill Gates, sang kakek mewariskan hartanya untuk Bill Gates—cucu yang waktu itu masih dalam kandungan. Karenanya, sekali lagi, Bill Gates sudah jadi miliuner, bahkan sebelum lahir. Faktor ini penting dikemukakan, karena kekayaan itu jelas menopang usaha Bill Gates saat ia dewasa.

Karena menjadi kaya tampaknya bukan sekadar urusan kerja keras, tapi juga keberuntungan. Dan salah satu keberuntungan terbaik adalah dilahirkan oleh keluarga kaya!

Kenyataan ini telah dibuktikan secara ilmiah oleh Raj Chetty, salah satu bocah genius di dunia, yang menjadi profesor di Harvard University saat usianya masih 29 tahun. Menggunakan big data, Raj Chetty mengolah dan mempelajari 1 miliar laporan pajak orang-orang Amerika, Denmark, dan Kanada, untuk melacak pergerakan keuangan mereka.

Riset itu ia lakukan untuk menjawab pertanyaan sederhana, “Berapa persen peluang anak orang miskin untuk menjadi kaya ketika dewasa?” 

Hasil riset itu menunjukkan kenyataan yang muram. Di Amerika, anak miskin yang berpeluang kaya di masa dewasa hanya 7 persen. Di Denmark, hanya 11 persen, sementara di Kanada hanya 13 persen. Itu jelas probabilitas yang sangat kecil, terlepas dari sekeras apa mereka belajar dan bekerja dan berusaha atau bahkan berdoa!

Anak-anak orang kaya memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk menjadi kaya di masa dewasanya, dibanding anak-anak orang miskin. Kenyataan itu sebenarnya tidak hanya terjadi di Amerika, Denmark, dan Kanada, tapi juga di negara-negara lain di seluruh dunia—termasuk di Indonesia. 

Anak-anak orang kaya memiliki banyak modal yang tidak dimiliki anak-anak orang miskin. Selain modal uang, mereka juga memiliki modal pendidikan yang lebih baik, hingga pergaulan dan lingkungan sosial yang lebih mendukung. Karenanya, bahkan umpama mereka jatuh miskin dalam perjalanan hidup, mereka akan lebih mudah bangkit untuk kembali kaya—sesuatu yang sulit dilakukan rata-rata anak miskin.

Kembali ke Bill Gates.

Kedua, selain berasal dari keluarga kaya-raya, Bill Gates juga memiliki kesempatan yang jarang dimiliki orang lain. Latar belakangnya yang berasal dari kalangan atas, memungkinkan Bill Gates untuk mendapat pendidikan di sekolah swasta berkualitas, yang memberinya kesempatan memperoleh pengalaman dengan komputer. Di masa itu, ketika Bill Gates mulai belajar pemrograman di sekolahnya, kurang dari 0,1% generasinya yang mendapat akses komputer.

Bayangkan, di saat sama, ketika jutaan anak lain sama sekali belum tahu apa itu komputer, Bill Gates masuk golongan 0,1% anak yang telah kenal komputer, bahkan mulai belajar pemrograman! Ditunjang otaknya yang memang cerdas, tidak mengherankan kalau kemudian Bill Gates tumbuh menjadi raksasa di bidang komputer. Dia telah akrab dengan benda itu, sementara jutaan anak lain masih asyik main gundu.

Ketiga, Bill Gates juga memiliki lingkungan yang mendukung. Orang tua Bill Gates, sebagaimana umumnya orang-orang kaya, memiliki hubungan sosial yang luas, khususnya dengan kalangan atas. Mary Maxwell, ibu Bill Gates, bahkan bersahabat dengan pemimpin tertinggi IBM, yang waktu itu mendominasi dunia sebagai perusahaan komputer raksasa. Hubungan ibunya dengan petinggi IBM itulah, yang kemudian membantu memuluskan jalan Bill Gates masuk ke sana.

Jangan lupa, titik penting dalam kehidupan sekaligus kesuksesan Bill Gates yang luar biasa, dimulai ketika Bill Gates menjalin kerja sama dengan IBM. Kontrak dengan IBM menjadi langkah penting bagi Bill Gates untuk membangun imperiumnya sendiri, hingga menjadi penguasa perangkat lunak di dunia. Itu pula yang menjadi pijakan awal Bill Gates, hingga menjadi orang paling kaya di dunia.

Did you see that?

Ada tiga faktor penting yang jarang—bahkan hampir tidak pernah—dikatakan terkait rahasia kesuksesan Bill Gates. Kapan pun para motivator menyuguhkan resep sukses dan kaya-raya, yang mereka sodorkan adalah “teori-teori usang” seperti bekerja keras, gigih, tekun berusaha, dan semacamnya, lalu belajar dan berlatih hingga 100 ribu jam! 

Oh, well, kalau saja semudah itu!

Jadi, apakah menjadi sukses perlu latihan dan pembelajaran yang tekun? Jelas! Apakah menjadi kaya-raya perlu kerja keras, kegigihan, dan sikap pantang menyerah? Itu pun jelas! Tetapi, sebaiknya tak usah berpikir hanya dengan itu kemudian bisa seperti Bill Gates. 

Dengan kata lain, bahkan umpama kita melakukan sesuatu yang persis sama seperti Bill Gates—terkait kerja kerasnya yang luar biasa—tidak ada jaminan kita bisa meniru kesuksesannya.

Masalah Banyak Orang

Masalah banyak orang:

Saat remaja; punya waktu dan tenaga, tapi tidak punya uang.

Saat dewasa; punya tenaga dan uang, tapi tidak punya waktu.

Saat tua; punya waktu dan uang, tapi tidak punya tenaga.

Hidup kok gini amat, kalau dipikir-pikir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Desember 2019.

Ingin Memasukkan Diriku ke Dalam Dirimu

Tadi lihat truk dengan tulisan, "Ingin memasukkan diriku ke dalam dirimu."

Seketika naluri bocahku menjerit, "Apppeeeeuuuuuuh!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Desember 2019.

Ndongeng Barang Gaib

Ndongeng barang gaib kok ngotot.

Mau Olahraga Malah Ngeteh

Tadi malam sudah semangat, "Besok bangun pagi mau olahraga, ah." Sekarang, mau ganti baju dan pakai sepatu saja rasanya kok malas.

Memasuki waktu Indonesia bagian menikmati teh anget.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Juli 2020.

Jumat, 10 September 2021

KDRT

Lagi googling untuk riset sesuatu, gak sengaja nemu artikel-artikel ini. 


Ada 137 perempuan di dunia yang tewas setiap hari karena KDRT. Itu artinya ada sekitar 6 perempuan yang terbunuh setiap jam di rumah atau di tengah keluarganya sendiri. Itu pun yang namanya jelas tercatat sebagai korban KDRT. Bagaimana dengan yang tidak tercatat?

Jika statistik itu sudah terdengar mengerikan, ada yang lebih mengerikan; tidak semua korban KDRT tewas! Artinya, di antara ratusan perempuan yang tewas setiap hari karena KDRT, ada ratusan lagi—atau bahkan mungkin ribuan—yang juga menjadi korban KDRT, tapi tidak terdata.

Di Bali, sekian waktu lalu, misalnya, ada perempuan yang kakinya dimutilasi oleh suaminya sendiri. Dia tidak tewas, tapi cacat seumur hidup. Di berbagai tempat, KDRT terjadi, dan bisa jadi juga ada di rumah tetangga kita. Tapi mungkin kita tidak tahu, sampai “bukti”nya terlihat.

Bahkan ketika orang-orang tahu ada KDRT, reaksi masyarakat kita, rata-rata, masih “primitif”, dan menganggap itu “urusan rumah tangga orang lain”. Lebih primitif lagi, mereka menganggap KDRT yang terjadi di rumah tetangga sebagai semacam “topik obrolan yang mengasyikkan”.

KDRT adalah masalah rumit, bahkan jika kita melihat kasus itu dari luar (bukan pihak yang terlibat). Bayangkan seorang wanita jadi korban KDRT, dan pulang ke rumah orang tua, misalnya. Belum tentu orang tua si wanita akan bisa menerima masalah itu dengan sikap yang tepat.

Ada banyak orang tua yang, ketika anak perempuannya pulang setelah bertengkar dengan suami, justru menyalahkan si anak. Alasannya bisa macam-macam, dan yang paling klise adalah “istri harus menurut suami”—tanpa memahami konteks masalah yang mungkin terjadi.

Jika orang tua kandungnya saja bisa bersikap seperti itu, apa lagi orang lain yang asing? Mungkin karena itu banyak korban KDRT memilih diam saja, memendam penderitaannya sendiri, karena mereka sadar belum tentu orang lain akan memahami yang ia alami dan rasakan.

Gebleknya, ketika korban KDRT mengalami masalah berat—semisal kasus mutilasi di Bali—atau bahkan sampai tewas, orang-orang dengan sok lugu berkata, “Kenapa dia tidak menceritakan masalahnya ke kita?” 

Wong umpama dia menceritakan pun belum tentu kita peduli!

Karenanya, KDRT adalah masalah rumit. Kalau pencuri masuk ke rumah kita, dan kita mengadu, Ketua RT sampai Kapolsek akan paham itu kejahatan—terlepas barang yang dicuri paling celana dalam. Tapi kalau lapor karena jadi korban KDRT, belum tentu mereka akan paham.

Masalah itu kian parah jika si korban KDRT kebetulan tinggal di lingkungan buruk; tempat orang-orang kurang kerjaan menjadikan acara menggunjing tetangga sebagai kewajiban. Alih-alih peduli, mereka justru akan menjadikan masalah KDRT sebagai bahan gunjingan baru.

Realitanya, kita hidup dalam sistem kemasyarakatan semacam itu. Ada banyak orang—termasuk orang-orang di sekitar kita—yang justru “senang” saat mendapati tetangganya kena masalah, termasuk masalah KDRT. Kita jelas tidak bisa berharap banyak pada mereka.

Jika kita bertanya kenapa KDRT bisa terjadi, jawabannya tentu bisa banyak, dan panjang sekali. Tetapi, menurutku, penyebab utama KDRT—dan segala masalah umum yang terjadi di rumah tangga—adalah kurangnya kedewasaan nalar dan kematangan berpikir.

Ada banyak wanita (istri) yang menjengkelkan, itu fakta. Sebegitu menjengkelkan, sampai suami stres dan tidak nyaman tinggal di rumah. Tapi juga ada banyak pria (suami) yang biadab (atau katakanlah, tidak bertanggung jawab), dan sekali lagi itu fakta, hingga si istri frustrasi.

Perilaku buruk semacam itu (menjengkelkan dan tidak bertanggung jawab) adalah bukti belum dewasanya mental/pikiran seseorang, ketika memutuskan menikah. Pertanyannya, tentu saja, KENAPA MEREKA BISA MENIKAH, PADAHAL JELAS-JELAS BELUM DEWASA? 

Inilah kenapa kita pantas ngamuk kalau mendapati orang-orang yang suka memprovokasi muda-mudi agar cepat kawin dengan segala doktrinasi dan glorifikasi. Wong mereka masih belia, belum tahu apa-apa, tapi malah disuruh cepat kawin, sambil dikibuli habis-habisan.

Ocehan ini, kalau kuteruskan, bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 8391. Tapi setidaknya, sekarang, kalau ada orang ngoceh bahwa “menikah akan membuatmu bahagia”, kita bisa sodorkan fakta keparat ini: Ada 137 wanita yang tewas setiap hari karena KDRT. 

Doktrinasi dan Glorifikasi Pernikahan Itu Menyesatkan

Betapa indahnya menikah, karena membuatmu memiliki pasangan, dan kau tak sendirian lagi, tak kesepian lagi, dan kau bisa pamer kemesraanmu di media sosial untuk bikin iri orang-orang lain, seolah surga hanya milikmu. Oh, well, betapa indahnya menikah. 

"Kamu kayaknya sinis banget sama pernikahan. Emang anti-pernikahan dan tidak akan menikah, atau gimana?"

Aku tidak sinis apalagi anti pada pernikahan. Yang membuatku sinis dan anti adalah glorifikasi pernikahan yang berpotensi menyesatkan orang-orang dan bisa menimbulkan korban.

Mengglorifikasi pernikahan seolah menikah adalah solusi untuk semua masalah adalah sebentuk pembodohan sekaligus penyesatan, karena orang-orang yang tidak tahu realitas pernikahan akan terbujuk. Ketika realitas yang dihadapi ternyata berbeda, mereka bisa menyesal dan tertipu.

Mungkin belum terlalu bermasalah ketika dua orang yang menikah memilih cerai, ketika menghadapi realitas pernikahan yang ternyata pahit dan menekan—yang tak sesuai doktrinasi dan glorifikasi yang mereka dengar sebelumnya. Tapi bagaimana jika mereka telah punya anak-anak?

Ketika dua orang dewasa menikah, dan belakangan merasa kecewa hingga memutuskan bercerai, masalah bisa dibilang selesai. Toh keduanya sudah sama-sama dewasa dan bisa melanjutkan kehidupan sendiri-sendiri. Tapi jika perkawinan sudah menghasilkan anak, merekalah yang jadi korban.

Anak-anak yang terlahir karena perkawinan, tidak tahu apa-apa soal perkawinan orang tua mereka. Tapi ketika orang tua bercerai, justru anak-anak itulah yang menjadi korban pertama. Mereka bukan hanya korban perceraian, tapi juga korban doktrinasi dan glorifikasi perkawinan!

Karenanya, glorifikasi dan doktrinasi ndakik-ndakik soal pernikahan mestinya sudah harus ditinggalkan, karena ia menciptakan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Jauh lebih baik memberi tahu dan menyadarkan para lajang, mengenai realitas perkawinan yang sering kali berat.

Alih-alih mengompori indahnya menikah yang kadang tak masuk akal, jauh lebih baik dan bijaksana memberi tahu mereka, "Pernikahan tidak seindah yang kaubayangkan, Nak. Kau perlu mental, persiapan, dan hati yang besar, untuk melakukannya."

Tapi siapa yang mau jujur seperti itu?

Jika kita mau jujur, glorifikasi bahkan doktrinasi ndakik-ndakik soal perkawinan sebenarnya lahir karena orang-orang yang menikah ingin membuktikan pada orang lain bahwa pernikahan mereka bahagia. Yang tidak mereka sadar... kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan!

Terkait kebahagiaan—termasuk kebahagiaan dalam perkawinan—aku percaya satu hal; jika orang berusaha membuktikan bahwa dia punya, maka artinya dia tidak punya! Karena bidadari di surga tak pernah membuktikan mereka tinggal di surga, sebagaimana iblis yang terbakar nyala di neraka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Januari 2020.

Sistem Keparat

Ada pria membelikan nasi buat pacarnya, dan masyarakat marah, sampai mengarak mereka di depan umum. Alasannya, "Itu masalah sosial."

Ada pria menganiaya istrinya di depan umum, tapi orang-orang diam saja. Alasannya, "Itu masalah rumah tangga orang lain."

Sistem keparat apa itu?

Kalau-kalau ada yang bingung dan bertanya-tanya kasus apa yang kumaksud, silakan baca ini: 

Masyarakat dan Selangkangan » http://bit.ly/2ke3Zge


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Januari 2020.

Apakah

Apakah orang memang menyukai kejujuran? Aku khawatir, tidak. Kebanyakan orang hanya ingin mendengar apa yang ingin didengarnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Desember 2019.

Blog Rasa Twitter

Tempo hari, dalam perjalanan, aku berencana ngoceh di Twitter, daripada bengong. Waktu baru nulis satu tweet, aku sadar kalau ocehan itu bakalan cukup panjang. Akhirnya aku pindahkan ocehan dari Twitter ke draft blog, dan inilah hasilnya; catatan di blog rasa ocehan di Twitter.

Catatan baru:

Ujian Cinta Terbesar » https://bit.ly/30aCnJD


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Januari 2020.

Rabu, 01 September 2021

The Fuckin’ Pandemic

Makin hari, aku merasa makin frustrasi dengan pandemi sialan ini.
Mungkin banyak orang lain yang juga merasakan hal sama.


Simpang Lima di kota saya adalah salah satu kawasan yang selalu ramai, khususnya di malam hari. Ada banyak sekali pedagang yang jualan di sana—dari makanan sampai aneka jajan—dan biasanya juga banyak pembelinya. Biasanya, para pedagang di sana mulai buka sore atau malam hari, lalu tutup menjelang tengah malam atau setelah dagangan habis.

Tetapi, sejak ada PPKM, kawasan Simpang Lima berubah senyap. Lampu-lampu yang ada di sana dipadamkan oleh pemerintah daerah, sehingga suasana di sekitar pun gelap. Para pedagang tidak berani jualan, karena sewaktu-waktu ada razia. Orang-orang—khususnya anak-anak muda yang biasa nongkrong di sana—juga ikut menghilang. 

Setelah ada PPKM, anak-anak muda yang biasa nongkrong di sana mungkin hanya kehilangan tempat nongkrong. Tapi bagaimana dengan para pedagang yang mencari nafkah di tempat itu? 

Adanya larangan berjualan di Simpang Lima—dan kawasan-kawasan lain yang biasa ramai—secara langsung mengurangi, atau bahkan mematikan, mata pencaharian mereka. Bagaimana pun, para pedagang di malam hari itu rata-rata mulai buka sore hari atau setelah maghrib. Kalau dua jam kemudian mereka harus tutup karena PPKM, apakah mereka sudah mendapat rezeki yang cukup untuk bertahan hidup?

Saya mulai memikirkan hal itu, setelah tak sengaja melihat ibu-ibu menuntun sepeda, dan di bagian belakangnya ada termos es yang terikat di boncengan. Di termos es itu ada kertas bertulisan “Wedang Jahe, Rp2000”. Tulisannya tidak rapi, dan kertas yang digunakan untuk menera tulisan itu berasal dari buku tulis.

Karena iba, saya menghentikan ibu-ibu itu, dan membeli dagangannya—wedang jahe dibungkus plastik. Saya bilang kepadanya, seumur-umur baru kali itu saya menemukan penjual wedang jahe keliling.

Dia lalu bercerita. Sebelumnya, dia biasa mangkal (berdagang di satu tempat), di salah satu bagian Simpang Lima. “Biasanya saya jualan malam hari,” katanya. Tetapi, setelah ada PPKM, dia tidak bisa jualan di Simpang Lima seperti biasa. Dia juga tidak bisa berkeliling jualan malam hari, karena khawatir kena razia. Akhirnya, dia pun terpaksa berdagang keliling siang hari.

Dari kisah itu, saya lalu terpikir pada para pedagang lain yang biasa mangkal di Simpang Lima. Bagaimana nasib mereka, setelah ada PPKM? Apakah mereka juga bertahan hidup seperti yang dilakukan ibu penjual wedang jahe?

Selain Simpang Lima, kawasan kota yang juga selalu ramai setiap hari adalah Lapangan Mataram. Dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam, Lapangan Mataram dan sekitarnya penuh orang jualan aneka makanan, dan kita bisa wisata kuliner di sana, karena hampir semua makanan ada. Salah satu favorit saya adalah batagor. 

Suatu siang, dalam perjalanan, saya mampir ke warung batagor di sana. Saat sampai di Lapangan Mataram, saya agak kaget, karena suasananya sangat sepi—jauh beda dengan hari-hari biasa yang selalu ramai. 

Saya menuju ke warung batagor, dan bertanya ke penjualnya, “Kok sepi sekali, Bu?”

“Iya,” jawab ibu penjual batagor. “Sejak PPKM, warung-warung di sini pada tutup, soalnya tidak laku. Pembeli sepi, karena ada larangan berkerumun. Yang datang ke sini (ke Lapangan Mataram) paling satu dua, dan dibawa pulang.”

Saya jadi bingung. “Duh, jadi saya tidak bisa makan batagor di sini?”

Ibu penjual batagor nyengir. “Bisa, tapi di sini (di belakang gerobaknya).” 

Lalu, setelah menyerahkan piring batagor, dia menggelar karpet di dekat gerobaknya, dan mempersilakan saya duduk. Saya makan batagor, tapi kayak mengisap sabu-sabu, karena khawatir kalau-kalau ada Satpol PP datang. 

Lapangan Mataram, tempat saya makan batagor waktu itu, memiliki trotoar yang lebar, dan biasanya di pinggir-pinggir trotoar itu digelari karpet untuk lesehan para pembeli. Waktu itu, ketika saya makan batagor di sana, tidak ada lagi karpet untuk lesehan. Satu-satunya karpet ya yang saya duduki waktu itu—bukan di pinggir trotoar seperti biasa, tapi di belakang gerobak penjualnya.

Di kanan-kiri penjual batagor juga biasanya ada banyak penjual lain, dari penjual es cokelat sampai soto dan nasi bakar. Tapi waktu itu yang buka hanya warung batagor—mungkin karena sudah punya pelanggan setia, karena memang sangat terkenal. Jadi, seperti yang saya bilang tadi, Lapangan Mataram sepi setelah ada PPKM. Entah bagaimana nasib para penjualnya.  

Selain warung-warung yang menyediakan aneka makanan, di kota saya juga ada pasar buah—deretan kios yang menyediakan aneka buah. Ada teman saya yang punya usaha jualan buah di salah satu kios di sana, dan saya tanya apakah bisnisnya ikut terdampak pandemi. Dengan nada pasrah, dia berujar, “Apa sih, yang tidak terdampak pandemi?”

Dia menceritakan, penjualan buah ikut terdampak sejak adanya pandemi, apalagi setelah ada PPKM. Ketika pandemi muncul, menurutnya, banyak orang kehilangan mata pencaharian. Daya beli merosot, dan hal itu juga berdampak pada pasar buah. Itu pun masih ditambah PPKM yang membatasi ruang gerak masyarakat. “Sedikit sekali yang beli buah,” katanya.

Yang membuatnya mampu bertahan adalah stroberi, dia menceritakan. Dia mendapat pasokan stroberi dari seorang wanita asal Bandung. “Namanya Teh Lilis. Dia bekerja di sini (di sebuah perusahaan tekstil). Sebulan sekali dia pulang ke Bandung, dan saat kembali ke sini membawa stroberi yang aku jualkan.”

Stroberi termasuk buah langka di kota kami, dan menyediakan stroberi membantu teman saya bertahan di kios buahnya. Sayangnya, belakangan ini Teh Lilis pulang ke Bandung, dan belum pernah muncul lagi.

“Ibunya meninggal,” kata teman saya, “tiga hari setelah vaksin.”

Setelah itu dia menceritakan panjang lebar, “Teh Lilis punya tiga anak, dan sudah cerai dengan suaminya. Selama ini, anak-anaknya yang masih kecil diasuh oleh ibu Teh Lilis. Ketika ibunya meninggal, Teh Lilis tidak bisa lagi meninggalkan anak-anaknya, karena tidak ada pengasuh. Jadi ada kemungkinan dia tidak bisa lagi ke sini.”

Soal ibu Teh Lilis yang meninggal tiga hari setelah vaksin, teman saya berkata ragu-ragu, “Bisa jadi kebetulan saja. Menurut Teh Lilis, ibunya punya penyakit jantung. Jadi, ada kemungkinan meninggalnya karena penyakit jantung.”

Siang itu, saat kami mengobrol di rumahnya, karena dia tidak lagi jualan di kios, dia mengatakan, “Pandemi ini merusak segalanya, ya?”

Saya mendengar nada keluhan dari ucapan itu. Tapi siapa yang bisa menyalahkannya? 

Covid-19 dan Kerusakan Dunia

Covid-19 telah merusak dan mengacaukan banyak hal—kesehatan, ekonomi, sosial, kemanusiaan, dll. Kerugian materi dan nonmateri akibat wabah ini tak terhitung lagi. Orang-orang terserang virus; sebagian sembuh, sebagian tidak—di antara kita ada yang kehilangan orang-orang terdekat.

Orang per orang mungkin hanya bisa pasrah, meski berduka. Yang terserang virus berusaha sembuh, yang kehilangan anggota keluarga berusaha mengikhlaskan, yang kehilangan pekerjaan mencoba bertahan. Tidak ada dendam, bahkan terpikir pun mungkin tidak. Tapi bagaimana dengan negara?

Negara seperti Indonesia mungkin tak akan berpikir sejauh itu, tapi bagaimana negara seperti Amerika? Joe Biden sudah jelas ingin balas dendam—bagaimana pun dia “tahu” dari mana virus itu berasal, dan sepertinya dia akan melakukannya, kapan pun waktunya, bagaimana pun caranya.

Belakangan, Biden memang tampak lebih “kalem”, tapi orang paling sabar di dunia adalah para pendendam. Mereka mungkin tampak diam, bahkan kadang sampai bertahun-tahun, kadang juga tampak tidak berbahaya... tapi diam-diam merancang pembalasan mematikan.


Seperti mantra Don Corleone, “Revenge is a dish that tastes best when served cold.”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Juli 2021.

Ingin Nyangkruk dengan Mbak-Mbak

Tadi lihat mbak-mbak ngobrol, salah satunya berkata, "Urip isine masalaaah ora uwis-uwis."

Aku ingin sekali ikut nyangkruk dengan mbak-mbak itu, karena aku merasa relate. Tapi paling mereka bakal ngomong, "Kowe ngerti opo, bocah?"

Ingin nyangkruk dengan mbak-mbak, ya Allah...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2021.

Sakit Gigi di Masa Pandemi

Kayaknya banyak tweet/berita soal sakit gigi di TL. Kebetulan, aku juga sedang mengalami. 

Sepertinya memang banyak orang yang terserang masalah gigi/gusi, karena segan ke dokter gigi selama pandemi. Rasanya kok riskan. Ya, aku pun begitu. Entah sampai kapan bakal begini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2021.

Menggelisahkan

Judul artikel DetikCom yang aku retweet tadi, "Corona Mengganas, Walkot Depok Instruksikan ASN Khatam Al-Quran Sekali Sepekan".

Bacaan pengantar tidur yang menggelisahkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juli 2021.

 
;