Kamis, 20 Mei 2021

Cerita Lebaran

Baru kemarin lebaran, sudah mau lebaran lagi. 
Aku kelamaan tidur, atau bagaimana ini?


Salah satu kegiatan saya di saat lebaran adalah mengantar atau menemani ibu ke rumah famili. Baik famili dari pihak almarhum ayah maupun famili dari pihak ibu. Tidak terlalu banyak, tapi juga tidak bisa dibilang sedikit. Untuk keperluan silaturahmi itu, setidaknya kami butuh waktu sekitar seminggu.

Namanya silaturahmi antarfamili, kami pun mengobrol akrab, membicarakan hal-hal di seputar keluarga kami, khususnya dalam suasana lebaran. Ada yang bercerita tentang banjir di kompleks tempat tinggalnya, ada yang cerita tentang anggota keluarga yang tidak bisa mudik karena ada larangan, sampai ada pula famili yang bercerita tentang rencana menikahkan anaknya. Dan lain-lain semacam itu.

Di antara banyak cerita yang saya dengar selama mengunjungi para famili, ada satu cerita yang saya anggap menarik, karena mengandung “plot twist”.

Pada hari keempat lebaran, saya dan ibu mengunjungi salah satu famili yang rumahnya dekat jalan raya. Famili yang kami kunjungi itu punya anak, bernama Diki. Dalam keseharian, Diki suka otak-atik motor. Karena tidak punya tempat khusus untuk hal itu, dia pun mengotak-atik motornya di depan rumah. Yang diotak-atik ya motornya sendiri.

Pada lebaran hari kedua, siang menjelang sore, Diki sedang asyik dengan motornya di depan rumah. Lalu muncul seorang pria mengendarai motor, dan seketika berhenti ketika melihat Diki. Pria itu turun, dan bertanya pada Diki, “Mas, sini bengkel, ya?”

Ketika mendapat pertanyaan itu, yang ada dalam pikiran Diki adalah; pria itu mungkin sedang butuh bengkel untuk membetulkan sesuatu pada motornya, tapi di mana-mana bengkel motor tutup karena sedang suasana lebaran. Jadi, dengan itikad baik—siapa tahu bisa membantu—Diki menjawab, “Ya.”

Pria asing itu lalu bertanya, “Bisa memasang paking knalpot?”

Sekali lagi Diki menjawab, “Ya.”

Pria itu kelihatan lega.

Packing atau paking knalpot adalah benda berbentuk lingkaran (seperti cincin, tapi berukuran lebih besar) yang dipasang pada ujung knalpot, sebelum dipasang ke mesin motor. Salah satu fungsinya untuk meredam suara knalpot. Sebagian bengkel motor biasa menyebutnya perpak (verpak).

Fungsi paking atau perpak adalah “menutup lubang” antara knalpot dengan mesin motor, hingga benar-benar rapat. Tanpa paking, suara knalpot akan terdengar kasar, karena “bocor”. Seiring waktu, paking knalpot juga akan aus, dan suara knalpot akan makin kasar, sehingga perlu diganti paking yang baru. 

Harga paking knalpot tidak mahal, tergantung jenis motor, namun fungsinya tergolong penting. Karena ia menutup lubang antara knalpot dengan mesin, dan meredam suara bising. 

Sebenarnya, cara memasang paking knalpot tidak sulit, asal kita punya kunci atau obeng yang pas. Sayang, tidak semua orang punya alat-alat mekanik semacam itu, sehingga lebih memilih menyerahkan urusan tersebut pada bengkel. Sepertinya, hal itu pula yang terjadi pada pria asing yang mendatangi Diki tadi.

Diki menghidupkan mesin motor pria asing itu, dan mendengar suara knalpot yang keras sekaligus kasar. Dia tahu kalau paking knalpot motor itu memang perlu diganti. Jadi, dia pun melepas knalpot, mencopot paking yang lama—yang sudah aus—lalu mengganti dengan paking baru yang telah disiapkan si pemilik motor. Bagi Diki, itu pekerjaan mudah, dan dalam beberapa menit sudah selesai.

Setelah urusan itu beres, pria asing tadi bertanya berapa biayanya, khas orang menanyakan biaya pada pekerja di bengkel. 

Karena tujuan awalnya hanya sekadar membantu, Diki menjawab, “Tidak usah, Mas.”

Tapi pria tadi memaksa, hingga akhirnya Diki menyatakan, “Ya sudah, seikhlasnya saja.”

Pria itu menyerahkan selembar uang, mengucapkan terima kasih, lalu pergi.

Lalu di mana plot twist-nya?

Plot twist-nya terjadi ketika saya dolan ke rumah seorang teman, bernama Lukman. Dalam rangka lebaran, saya mengunjunginya, dan Lukman menceritakan pengalaman yang, menurutnya, aneh.

“Seumur-umur,” kata Lukman, “aku baru kali itu menemukan bengkel yang tidak mau dibayar.”

Lalu Lukman menceritakan. Sehari menjelang lebaran, motor miliknya bermasalah, yaitu suara knalpotnya lebih bising hingga tidak nyaman dikendarai, karena bisa mengganggu orang lain. Lukman tahu, masalah itu disebabkan paking knalpot yang aus, dan perlu diganti. Jadi, dia pun ke toko onderdil motor, dan membeli paking. Yang jadi masalah, dia kesulitan menemukan bengkel motor untuk memasangkannya.

Bengkel semakin sulit ditemukan saat lebaran tiba. Hari pertama lebaran, Lukman hanya berkeliling jalan, mencari bengkel yang mungkin bisa ditemukan, untuk memasang paking agar suara knalpotnya tidak bising. Tapi tidak ada satu pun bengkel yang ia temukan, karena semua orang waktu itu pasti sedang merayakan lebaran.

Lukman agak stres, karena dia butuh motor untuk urusan silaturahmi keluarga ala lebaran, tapi motor itu sangat tidak pantas diajak silaturahmi, karena suaranya mengerikan.

Memasuki lebaran hari kedua, Lukman kembali keliling jalan, mencari bengkel yang mungkin ada, agar dia bisa segera silaturahmi ke para famili dengan nyaman. Tapi tempat-tempat yang biasa terdapat bengkel, waktu itu kosong. Lukman terus mencari, menelusuri jalanan ramai maupun jalanan sepi, sampai sangat jauh dari tempat tinggalnya. 

Lalu siang menjelang sore, Lukman mendapati seorang pria sedang mengutak-atik motor di depan rumah, di dekat jalan raya. Dia sangat bersuka cita, karena akhirnya menemukan bengkel yang buka.

“Jadi,” kata Lukman, “aku pun segera berbelok ke sana, mendatangi bengkel itu, dan kebetulan orangnya bisa memasang paking knalpot. Aku benar-benar lega waktu itu.”

Lalu ia melanjutkan, “Ketika akhirnya paking knalpot selesai dipasang, dan suara motorku kembali normal, aku tanya berapa biayanya. Tapi anehnya dia tidak mau dibayar. Sampai akhirnya aku memaksa dia menerimanya. Bagaimana pun, aku sangat bersyukur karena menemukannya. Seumur-umur, baru kali itu aku menemukan ada bengkel yang tidak mau dibayar. Padahal biasanya bengkel-bengkel justru menaikkan harga ketika buka di hari lebaran.”

Ketika mendengar cerita itu, saya pun teringat cerita Diki sebelumnya, tentang seorang pria yang mendatanginya, dan memintanya untuk mengganti paking knalpot. Jadi, saya mengonfirmasikan hal itu ke Lukman. Saya tanya di mana tempat dia menemukan bengkel itu, dan seperti apa ciri-ciri orang yang membantunya.

Lukman menjelaskan lokasi bengkel tadi, dan tempatnya pas di rumah Diki. Ketika Lukman menyebutkan ciri-cirinya, saya pun tahu itu Diki.

Lalu Lukman bertanya, “Ada bengkel yang buka di hari raya, dan kebetulan sangat membantu mengatasi masalahku. Tapi dia tidak mau dibayar, sampai aku memaksa membayarnya. Menurutmu kenapa, kira-kira?”

Sambil menahan senyum, saya menjawab, “Menurutku, tempat yang kamu datangi itu bukan bengkel.”

Yang Benar di Masa Lalu Belum Tentu Benar di Masa Sekarang

Ada hal-hal yang sebenarnya buruk bahkan jahat, tapi dianggap baik atau biasa, semata-mata karena orang-orang terus dan terus dan terus melakukannya. Sebegitu sering hal-hal buruk atau jahat itu dilakukan banyak orang, akhirnya jadi terkesan biasa... padahal buruk dan jahat.

Kita mengenal kebiasaan buruk zaman kuno yang disebut “budaya jahiliyah”, yaitu hal-hal yang dianggap buruk oleh orang-orang beradab. Di antara kebiasaan atau budaya jahiliyah adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup, sampai kawin mawin (poligami) tanpa batas. 

Di masa jahiliyah, mengubur anak perempuan hidup-hidup tidak dianggap buruk. Kenapa? Karena ada banyak orang yang melakukan, dan sistem sosial di masa itu memang mengizinkannya, karena anak perempuan dianggap kutukan, dan memilikinya dianggap beban. 

Di masa beradab sekarang, mengubur anak perempuan—atau anak laki-laki—hidup-hidup bukan hanya sebentuk perbuatan tak bermoral, tapi juga kejahatan. Perbuatannya sama (mengubur anak hidup-hidup, apa pun alasannya), tapi sistem nilai sudah berubah lebih beradab.

Dari contoh itu saja, kita melihat bahwa sesuatu yang di masa lalu dianggap benar atau biasa, belum tentu relevan jika diterapkan di masa sekarang. Begitu pula mengawini banyak perempuan sekaligus, di masa jahiliyah mungkin biasa, tapi tidak di masa beradab sekarang.

Dan hal-hal semacam itu tidak hanya sebatas mengubur anak atau poligami tanpa batas, tapi juga mencakup hal-hal lain. Ada banyak hal yang mungkin tampak benar atau biasa ketika dilakukan di masa lalu, tapi kini dianggap tidak beradab. Salah satunya bertanya, “Kapan kawin?”

Di masa lalu, setidaknya di masa leluhur kita, bertanya “kapan kawin?” atau “kapan punya anak?” mungkin dianggap benar atau biasa. Tetapi, di zaman sekarang, pertanyaan semacam itu sudah dianggap tidak sopan sekaligus tidak beradab. Itu serupa dengan kebiasaan jahiliyah!

Faktanya, hampir tidak ada orang yang senang atau nyaman ketika ditanya “kapan kawin?” atau “kapan punya anak?”. Karena pertanyaan itu memang tidak beradab, sekaligus sudah tidak relevan di zaman sekarang. Kapan kawin atau kapan punya anak adalah hal privat orang per orang. 

Senang

Senang melihat wanita-wanita yang malam Minggu bisa asyik ngetwit.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juni 2020.

Noffret’s Note: Misleading

Masalah di Twitter dari dulu tampaknya memang konteks. Ruang di Twitter sangat terbatas, dan kita tidak mungkin menjelaskan maksud secara detail tiap kali menulis teks. Jika orang lain menangkapnya secara keliru, yo wis, hasilnya misleading.

Seperti twit ini, misalnya. Sebagian orang mungkin mengira aku sedang membicarakan twitku sendiri, yang dipahami orang lain secara keliru. Padahal tidak begitu. Aku sedang membicarakan twit orang lain yang disalahpahami orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Juli 2020.

Noffret’s Note: DM

Beberapa waktu terakhir DM-ku terbuka, dan aku telah berusaha membalas pesan-pesan yang masuk, sebaik yang aku bisa. Khususnya untuk pesan-pesan yang memang membutuhkan jawaban/balasan. Aku tidak mungkin membalas semuanya, jadi mohon maaf kalau kebetulan DM-mu tidak terbalas.

Hal-hal sederhana yang bersifat umum, yang bisa dibicarakan secara terbuka, mestinya tidak perlu menggunakan DM, tapi cukup lewat reply atau mention. Itu lebih memudahkan si pengirim maupun si penerima, karena pesan akan lebih mudah terlihat, karena tidak menumpuk di boks DM.

Hari ini DM kututup lagi seperti semula. Sila gunakan reply atau mention atau fitur lain yang disediakan Twitter secara terbuka, jika ada yang ingin disampaikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Mei 2020.

Senin, 10 Mei 2021

Hikmah Pandemi

Suwi-suwi, dirasak-rasakke, corona iki pancen asu.
Banyak urusan terhambat gara-gara corona. Banyak hal 
terpaksa mandeg gara-gara corona. Sampai aku mau cek 
ke dokter aja harus batal gara-gara corona.


Kita sering diajar agar menemukan hikmah di setiap hal yang kita hadapi, termasuk musibah. Bahkan ada pepatah terkenal, “Selalu ada hikmah di balik musibah”—meski yo mbuh kabeh.

Saya menyebut “mbuh kabeh”, karena pencarian hikmah di balik hal-hal [tidak mengenakkan] yang kita hadapi—wabilkhusus musibah—sebenarnya upaya manusiawi untuk ngadem-ngademi diri sendiri. Kita tertekan menghadapi masalah atau musibah, dan insting manusiawi kita menuntun untuk mencari “hikmah” di balik masalah atau musibah itu, yang sebenarnya adalah cara kita menenangkan diri sendiri atau ngadem-ngademi ati.

Dengan kata lain, masalah/musibah yang kita hadapi sebenarnya belum tentu atau bahkan tidak mengandung hikmah apa-apa. Tapi kita berusaha [bahkan memaksa] menemukannya, sehingga akhirnya “menemukannya”. Temuan hikmah atas masalah/musibah itu pun biasanya relatif dan subjektif, karena memang merupakan refleksi pikiran dan pengalaman orang per orang.

Contoh. Si A mengalami kecelakaan di jalan. Bagi kita, Si A mengalami kecelakaan di jalan—titik. Tapi Si A bisa jadi tidak mau menerima realitas itu begitu saja. Fakta bahwa dia mengalami kecelakaan di jalan, bagi Si A, pasti mengandung hikmah tertentu, dan ia merasa harus menemukannya. Itu insting alami Homo sapiens dalam bertahan hidup—ia butuh ngadem-ngademi diri sendiri.

Karena Si A mencari “hikmah” di balik peristiwa kecelakaan yang dialaminya, dia pun akhirnya menemukan—atau setidaknya, dia merasa begitu. Dan apa hikmah dari kecelakaan itu? Yang paling tahu tentu Si A, karena dia yang mengalami kecelakaan, dan dia pula yang berusaha mencari hikmahnya. Mungkin subjektif bagi kita, tapi mungkin pula tidak bagi Si A. Karena begitulah “hikmah” bekerja—ia menenangkan hati si pencari.

Sekarang, dunia sedang menghadapi pandemi global, termasuk Indonesia. Setelah muncul di Wuhan, virus tak kasatmata bernama Covid-19 mengalir ke mana-mana, ke segala penjuru dunia, menyentuh hampir semua tempat di muka bumi. Cina, khususnya Wuhan, pernah lumpuh. Lalu Amerika runtuh. Belakangan, India yang berantakan. Dan perjalanan virus itu sepertinya belum akan selesai.

Indonesia juga termasuk negara yang diamuk pandemi, dan kita sudah hidup bersama virus tak terlihat itu lebih dari setahun. Lebaran tahun kemarin, kita sudah berhadapan dengan Covid-19. Lebaran tahun ini, kita masih berhadapan dengan virus yang sama. Dan ada kemungkinan—meski kita tidak berharap—lebaran tahun depan juga masih sama.

Sekarang, mari kita bertanya—menanyakan pada diri sendiri—apa hikmah di balik pandemi yang kini kita hadapi? Sedikit maksa tidak apa-apa, karena “hikmah” biasanya baru ditemukan setelah kita sedikit maksa menemukannya. 

Hikmah pandemi—kalau kita benar-benar menemukannya—bisa jadi, dan hampir pasti, akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Karena kehidupan yang kita hadapi memang berbeda, dengan latar sosial dan aktivitas berbeda. 

Bagi saya, yang tinggal di kota kecil, sebenarnya pandemi tidak terlalu memberi dampak yang besar. Dulu, waktu ribut-ribut pandemi baru terdengar, Pekalongan memang sempat menunjukkan “kehati-hatian”, sampai pernah ada jam malam segala. Tapi setelah itu, semuanya kembali tampak biasa-biasa saja. Meski sewaktu-waktu Satpol PP terlihat melakukan razia masker atau membubarkan kerumunan.

Nyatanya, kasus kematian akibat Covid-19 di Pekalongan memang sangat rendah, dibanding, misalnya, Jakarta. Karenanya, yang dihadapi orang-orang di kota besar, terkait pandemi, pasti berbeda dengan yang dihadapi orang-orang di kota kecil. Di Jakarta, tingkat kewaspadaan terhadap pandemi—sekaligus dampaknya—pasti lebih tinggi dibanding tingkat kewaspadaan dan dampak pandemi di Pekalongan, atau kota-kota kecil semacamnya.

Jadi, bagi saya, apa hikmah di balik pandemi yang sekarang kita hadapi? Jawabannya mungkin terdengar maksa, atau bahkan subjektif, tapi ya tidak apa-apa. Toh kalian juga bisa melakukan hal serupa.

Hikmah pertama yang paling terasa bagi saya adalah dampak positif larangan mudik.

Dulu, tiap kali lebaran akan datang, jalan-jalan utama di Pekalongan akan banyak disekat atau bahkan ditutup, untuk memudahkan laju para pemudik. Selalu ada banyak pemudik yang melewati Pekalongan tiap lebaran menjelang, sehingga banyak jalan raya yang tiba-tiba penuh sesak dengan bus, mobil-mobil pribadi, sampai para pengendara motor dengan tas-tas ransel besar. Mereka semua akan mudik ke tempat tinggal masing-masing, dan kebetulan melalui rute lewat Pekalongan.

Karena banyaknya pemudik yang lewat, banyak jalan utama di Pekalongan yang sengaja disiapkan untuk memuluskan perjalanan mereka. Misal, perempatan-perempatan jalan akan “dinonaktifkan”. Jalan raya-jalan raya yang tidak dilalui para pemudik akan ditutup, sehingga tidak ada lagi persimpangan di perempatan. Semua kendaraan pemudik bisa “bablas” dengan leluasa melewati perempatan demi perempatan. 

Untuk memastikan pengaturan itu berjalan dengan baik, pos-pos polisi dibangun di banyak tempat, dan banyak petugas yang berjaga di sepanjang jalan.

Dari sisi pemudik, pengaturan semacam itu sangat membantu mereka. Tetapi, dari sisi warga lokal yang hidup di Pekalongan, pengaturan semacam itu sangat membingungkan, bahkan menjengkelkan. Bagi pebisnis yang butuh mobilitas tinggi, pengaturan/penutupan jalan itu juga sangat merugikan. Karena kami tidak bisa ke mana-mana secara leluasa. Mau ke tempat A, jalan raya disekat. Mau ke tempat B, jalan raya ditutup. Selama pengaturan itu, saya bahkan tidak bisa ke rumah orang tua, karena harus melewati jalan utama, dan jalan utama selalu ditutup menjelang lebaran, karena dilewati pemudik.

Pekalongan benar-benar berubah di masa-masa itu, ketika ribuan pemudik melewati jalan-jalan di kota kami. Kota yang biasanya tenang dan biasa-biasa saja, berubah menjadi kota yang sangat sibuk. Ribuan kendaraan melaju nyaris tanpa henti, dari pagi sampai pagi lagi. Pos-pos polisi tampak sibuk. Ada yang menangani kecelakaan pemudik, ada yang mengatur lalu lintas yang semrawut, sementara petugas lain—melalui pengeras suara—tak henti mengingatkan pemudik agar hati-hati. 

Dan semua kehebohan itu telah dimulai sejak pertengahan Ramadan sampai, setidaknya, sebulan setelah lebaran. Artinya, mobilitas warga lokal terhambat sampai sekitar satu bulan!

Kini, dengan adanya pandemi, mudik dilarang. Tanpa mengurangi simpati kepada mereka yang terhalang aturan itu—dan bisa jadi bersedih hati—saya ingin mengakui bahwa larangan mudik itu membawa hikmah bagi warga seperti saya. Dengan adanya larangan mudik, Pekalongan tetap menjadi kota yang biasa, seperti biasa. Menjelang lebaran, tidak ada lagi jalan-jalan raya yang disekat atau ditutup, dan warga lokal bisa bebas bergerak menjalankan aktivitas dan kesibukan masing-masing.

Itu hikmah pertama dari pandemi yang saya rasakan, khususnya terkait lebaran. Hikmah kedua dan seterusnya, sebaiknya tidak usah saya ungkapkan, karena bisa jadi isinya tidak ingin kalian dengar.

Malena, Malena

Apakah kau mengenal Renato Amoroso? Mungkin tidak, karena dia bukan siapa-siapa. Dia hanyalah bocah yang tidak pernah dilihat siapa pun, yang sering kali sulit berkata-kata, dan menyimpan terlalu banyak hal di kepalanya. Renato Amoroso adalah bocah dalam film Malena.

Untuk kesekian kali, tadi, aku menonton Malena, dan menyaksikan keindahan Monica Bellucci, juga melihat diriku sendiri dalam wujud Renato Amoroso. Dia jatuh cinta pada Malena, wanita yang lebih tua, dan dalam khayalnya dia berkata, “Tunggu sampai aku beranjak dewasa.”

Tapi Renato tak pernah dewasa, tentu saja—karena dia adalah bocah. Seorang bocah yang sendirian ke mana-mana, bersama sepedanya yang setia, dan memendam perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun. Bahwa dia selalu menjadi bocah, dan jatuh cinta pada Malena.

Di akhir film, dalam solilokui, Renato berbisik, “Kupacu sepedaku sekuat tenaga, layaknya sedang melarikan diri. Dari masa lalu, dari keluguan, dari dirinya.”

Tapi dia tahu tak pernah bisa melarikan diri; dari masa lalunya, dari keluguannya, karena dia akan selalu menjadi bocah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Juni 2020.

Optimus Prime Naik Dinosaurus

Menyaksikan hal itu, jiwa bocahku bergetar.

Michael Bay mungkin wali.

Noffret’s Note: Kismis

Memasuki waktu Indonesia bagian mencemplungkan butir-butir kismis ke dalam cokelat hangat, lalu udud dengan nikmat...

Baru tahu kalau ternyata banyak orang, khususnya di Twitter, yang tidak suka kismis. Padahal enak, menurutku. Apalagi kalau dicemplungkan ke cokelat hangat, lalu dikunyah bersama cairan cokelat yang kental. 

Ditambah udud, tentu saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26-27 September 2020.

Noffret’s Note: Bu Tejo

"Bu Tejo adalah kita."

Hahaha... jangan suka generalisasi gitu, lah. Kalau kamu merasa seperti itu, bukan berarti semua orang pasti seperti kamu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Agustus 2020.

Sabtu, 01 Mei 2021

Cinta di Kota Kecil

Kita punya sejuta alasan untuk jatuh cinta. 
Tapi sering kali hanya satu yang masuk akal.


Orang yang tinggal di kota besar (misal Jakarta) umumnya memiliki gaya hidup dan cara berpikir yang berbeda, dibanding orang yang tinggal di kota kecil (misal Pekalongan). Ini tentu alamiah, karena orang yang tinggal di kota besar menghadapi tantangan yang berbeda—biasanya lebih besar—dibanding orang yang tinggal di kota kecil. 

Bukan hanya cara berpikir, bahkan ciri fisik sampai kebiasaan dan gaya hidup pun sering kali juga berbeda. Di media sosial, misalnya, saya bisa tahu mana wanita yang tinggal di kota besar dan mana wanita yang tinggal di kota kecil, karena perbedaannya sangat terlihat—setidaknya di mata saya. 

Omong-omong soal media sosial, saya jadi membayangkan. Andaikan kita—atau saya, deh—jatuh cinta pada seorang wanita yang saya lihat di media sosial, dan kebetulan dia tinggal di Jakarta, misalnya, sejuta tanda tanya akan berseliweran di benak saya. 

Andai dia menerima saya sebagai pacar, mungkin masalahnya belum terlalu terlihat, selain masalah LDR karena jarak yang jauh; dia di Jakarta, saya di Pekalongan. Tapi jika sudah sampai pada tahap yang lebih serius—saat kami sepakat dan mantap untuk menikah—masalah besar bisa terjadi. Karena dalam hal ini bukan hanya dua orang yang akan disatukan, tapi juga dua kebiasaan, dua cara berpikir, dan dua gaya hidup.

Seperti yang disebut tadi, gaya hidup orang yang tinggal di kota besar berbeda dengan gaya hidup orang yang tinggal di kota kecil. Pacar saya, yang tinggal di Jakarta, tentu memiliki gaya hidup yang jelas berbeda dibanding saya yang tinggal di Pekalongan. Masalah pertama; maukah dia tinggal di rumah saya [maaf, rumah kami], di Pekalongan, yang jelas jauh berbeda dengan Jakarta?

Orang yang semula tinggal di kota besar, lalu pindah ke kota kecil, itu serupa ikan yang semula hidup di lautan pindah ke akuarium. Perbedaannya sangat terasa. Di Jakarta, aneka fasilitas tersedia. Di Pekalongan, belum tentu. Bioskop, sebagai contoh. Saat saya menulis catatan ini, di Pekalongan [sedang] tidak ada bioskop—semula ada, di swalayan, tapi swalayan ini kebakaran, dan sampai sekarang belum ada bioskop lagi.

Itu baru satu hal, masalah pertama: Maukah pacar [atau calon istri] saya tinggal di Pekalongan, di rumah yang saya bangun untuk hidup kami? Ah, ya, saya punya rumah yang layak untuk ditinggali, dan dia tinggal masuk—dan menjadi ratu di dalamnya—tanpa harus repot mikir KPR. Masalahnya cuma, dia mau atau tidak?

Bahkan jika dia bersedia, kami masih harus menghadapi masalah selanjutnya; kebiasaan dan gaya hidup.

Seperti yang disebut tadi, orang yang tinggal di kota besar lalu pindah ke kota kecil seperti ikan di laut pindah ke akuarium. Orang yang tinggal di kota besar biasanya juga punya hobi ala orang kota besar. Misalnya traveling. Jika kebetulan pacar (calon istri) saya juga begitu, benturan kebiasaan akan terjadi. Dia biasa keluyuran ke mana-mana, saya biasa damai tinggal di rumah.

Saya orang rumahan, yang tenteram tinggal di rumah. Jika punya mbakyu (maksudnya punya istri), saya ingin tetap seperti itu; damai di rumah. Kalau pun keluar, paling ke swalayan untuk belanja kebutuhan tertentu. Bahkan salah satu alasan besar saya mau punya pasangan—hingga bersedia menikah—karena tidak ingin keluar rumah untuk cari makan!

Mungkin saya termasuk pria “kuno”, dan sejujurnya saya sangat mengharapkan pasangan yang pintar masak, lebih spesifik; memasak masakan tradisional! 

Masalah yang saya hadapi setiap hari adalah urusan mencari makan. Untuk makan, saya harus keluar rumah, dan itu artinya harus berurusan dengan kemacetan, aneka kegilaan di jalan, atau bahkan hujan. Dan saya harus menghadapinya setiap hari, setiap malam. 

Tolong tidak usah menyarankan pesan makanan ala GoFood—saya punya pertimbangan sendiri kenapa tidak pernah tertarik melakukannya. 

Jika kelak menikah, saya ingin masalah sehari-hari itu hilang. Artinya, saya bisa makan di rumah tanpa harus repot keluyuran. Dan untuk memenuhi hal itu, solusinya sederhana; saya harus punya istri yang pintar masak! 

Setiap orang punya hak menentukan kriteria ideal pasangannya masing-masing, dan itulah kriteria ideal pasangan yang saya harapkan. Tipe mbakyu, dan pintar masak! Sudah, itu saja. 

Bertolak dari pemikiran-pemikiran itu, saya jadi apatis untuk menjalin hubungan serius dengan wanita yang tinggal di kota besar, yang biasa menjalani gaya hidup ala orang kota besar. Karena bahkan umpama dia mau tinggal bersama saya di kota kecil, saya khawatir akan membuatnya tertekan, karena serupa pindah dari laut ke akuarium. Mungkin saya bahagia bersamanya, tapi dia belum tentu.

So, saya pikir, jauh lebih baik jika saya menemukan pasangan yang tinggal sekota. Selain jarak yang lebih mudah dijangkau, urusan selanjutnya juga lebih mudah, karena kami memiliki latar belakang yang sama, kebiasaan serta gaya hidup yang sama, sebagaimana umumnya orang yang tinggal di kota kecil. Saat akhirnya kami tinggal bersama, tidak ada “kekagetan” apa pun, karena nyatanya sejak dulu sudah tinggal di sini.

Mungkin, suatu hari kelak, entah di mana, saya akan menemukan pasangan seperti yang ada dalam bayangan; tipe mbakyu, dan pintar masak. Saat itu terjadi, saya akan tahu bahwa dialah yang saya tunggu. Dan mungkin saya akan menyatakan cinta, mengajaknya menikah, lalu kami tinggal bersama. Menjalani kehidupan bersahaja, seperti umumnya orang di kota kecil.

Saya tidak berani percaya bahwa menikah akan menjamin kebahagiaan. Tapi hidup bersama mbakyu yang pintar masak artinya menyelesaikan masalah saya yang terbesar. Dan itu saja sudah cukup.

Kebisingan Setahun Sekali

Pemerintah RI sebenarnya punya aturan khusus yang mengatur penggunaan toa masjid. Aturan itu sebenarnya baik. Sayangnya, dalam praktik, aturan itu tidak ditegakkan. Boro-boro ditegakkan, masyarakat bahkan mungkin tidak/belum tahu kalau ada peraturan tentang penggunaan toa.

Di tempat tinggalku saat ini, orang mengaji (membaca Alquran) dari usai tarawih sampai pukul 00.00 tengah malam. Bukan hanya dari satu musala, tapi dari beberapa musala dan masjid. Jadi bisa dibayangkan bagaimana “riuh” suara yang ditimbulkan, dan itu terus terjadi setiap malam. 

Aku tinggal sendirian di rumah. Jadi, meski terganggu oleh kebisingan, bisa dibilang “tidak terlalu masalah”. Tapi bagaimana dengan orang-orang lain yang sedang punya anak kecil atau bayi? Bagaimana pula dengan orang-orang yang sudah sepuh dan butuh istirahat dengan tenang?

Ketika masalah kebisingan diutarakan, banyak orang yang ngeles, “Ah, Ramadan kan setahun sekali.” Sebenarnya, justru karena Ramadan cuma setahun sekali, mestinya bulan itu dijalani sebagai bulan yang khusyuk, bukan malah bulan yang meninggalkan kesan negatif dan mengganggu.

Maafkan aku mengatakan ini. Sudah sering aku mendengar orang yang diam-diam tidak senang dengan kedatangan Ramadan. Mereka muslim. Tapi saat Ramadan datang, mereka tidak senang. Karena Ramadan saat ini telah identik dengan kebisingan dan aneka hal yang mengganggu.

Hanya di bulan Ramadan, orang bisa seenaknya berteriak-teriak di dini hari, menggunakan toa masjid atau musala, dengan alasan membangunkan orang sahur. Hanya di bulan Ramadan, suara petasan terus menerus mengganggu nyaris tanpa henti. Daftarnya masih panjang.

Diakui atau tidak, Ramadan saat ini telah identik dengan kebisingan, polusi suara, dan itu bukan menjadikan masyarakat kian khusyuk beribadah, tapi justru mengganggu ketenangan mereka. Bagaimana bisa khusyuk beribadah, kalau kita terus menerus pekak karena kebisingan? 

Sayangnya, pemerintah seperti abai terhadap masalah ini. Mereka punya aturan yang jelas, tapi tidak menegakkannya, bahkan tidak menyosialisasikannya ke masyarakat. Di sisi lain, masyarakat memilih diam meski mungkin terganggu, karena urusan ini “berkaitan dengan agama”.

Pertanyaan Salah tapi Terus Ditanyakan

Sebenarnya, bercakap-cakap dengan orang lain itu menyenangkan—membicarakan hal-hal sederhana secara jujur dan apa adanya. Karena percakapan tulus semacam itu bisa menjadi kesempatan untuk saling berkaca dan belajar. Sayangnya, menemukan orang semacam itu saja kadang sulit.

Ada terlalu banyak orang yang tampak pintar bergaul, bisa kelihatan ramai dengan siapa saja, mengaku (atau mengira) punya teman di mana-mana, tapi sebenarnya "tidak bisa bergaul". Mereka jenis orang yang mungkin kita kenal, tapi belum tentu ingin kita jadikan teman.

Ciri orang semacam itu bisa dilihat dari kecenderungannya saat berinteraksi dengan orang lain; biasanya mereka merasa punya hak untuk meributkan atau mengintervensi kehidupan orang lain. Contoh paling mudah adalah bertanya "kapan kawin?" atau sampai menyuruh-nyuruh cepat kawin.

Kapan pun aku bertemu dengan orang yang bertanya kapan kawin—apalagi menyuruh-nyuruh cepat kawin, terlepas apa pun dalih dan alasannya—aku akan langsung tahu satu hal; orang itu tidak beradab. Dan aku tidak nyaman berteman dengan orang semacam itu.

Orang-orang beradab juga kadang menyinggung persoalan kawin/menikah dengan temannya, tapi caranya beradab. Yaitu secara pribadi, dalam percakapan tertutup, dan mengatakan/membicarakannya dengan tulus, sehingga orang yang ditanya juga bisa menjawab dengan jujur sekaligus nyaman.

Beda dengan orang-orang tak beradab, yang mungkin biasa kita temukan. Mereka melakukannya di depan orang-orang lain, hingga terkesan ingin "mempermalukan" atau "memojokkan" orang yang ditanya. Dan mereka bisa ditandai dengan satu hal, yaitu menggunakan pertanyaan "kapan?"

Pertanyaan "kapan kawin?" itu PERTANYAAN SALAH! Bahkan salah total! Karena "kapan" adalah pertanyaan sejarah; sesuatu yang lampau, atau yang sudah terjadi. Misalnya, "Kapan hari proklamasi Indonesia?"

Wong kawin belum terjadi, kok ditanya kapan? Lha gimana menjawabnya?

Orang percaya bahwa takdir, maut dan jodoh adalah rahasia Tuhan. Geblegnya, mereka justru mempertanyakan hal itu pada sesama manusia!

Kawin adalah urusan jodoh, dan jodoh adalah rahasia Tuhan. Bertanya "kapan kawin?" sama artinya bertanya "kapan mati?" Tidak ada yang bisa jawab.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9633—dan kalian semua pasti sudah mati. Tapi karena cokelat hangat dan ududku sudah habis, cukup sampai di sini.

Pengantar tidur: Pertanyaan Paling Sia-sia di Dunia » http://bit.ly/1IHLlBp


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14-15 April 2020.

Bintang Panas

Sisca Soewitomo telah menciptakan ribuan resep kuliner, dan telah menghasilkan ratusan buku masakan yang dibaca jutaan orang dari tahun ke tahun. Tapi dia tidak mau disebut "chef". Dia lebih suka menyebut dirinya "bintang panas", karena sering berdekatan dengan kompor.

Salut!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Agustus 2020.

Ada yang Pernah Nyoba?

Karena ingin dapat manfaatnya, aku pernah nyoba mengonsumsi ini. Sayangnya, lidahku menolak karena gak kuat rasanya. 

Ada yang pernah nyoba?


Black garlic atau bawang putih hitam adalah bawang putih biasa yang telah difermentasi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2020.

 
;