Suwi-suwi, dirasak-rasakke, corona iki pancen asu.
Banyak urusan terhambat gara-gara corona. Banyak hal
terpaksa mandeg gara-gara corona. Sampai aku mau cek
ke dokter aja harus batal gara-gara corona.
Kita sering diajar agar menemukan hikmah di setiap hal yang kita hadapi, termasuk musibah. Bahkan ada pepatah terkenal, “Selalu ada hikmah di balik musibah”—meski yo mbuh kabeh.
Saya menyebut “mbuh kabeh”, karena pencarian hikmah di balik hal-hal [tidak mengenakkan] yang kita hadapi—wabilkhusus musibah—sebenarnya upaya manusiawi untuk ngadem-ngademi diri sendiri. Kita tertekan menghadapi masalah atau musibah, dan insting manusiawi kita menuntun untuk mencari “hikmah” di balik masalah atau musibah itu, yang sebenarnya adalah cara kita menenangkan diri sendiri atau ngadem-ngademi ati.
Dengan kata lain, masalah/musibah yang kita hadapi sebenarnya belum tentu atau bahkan tidak mengandung hikmah apa-apa. Tapi kita berusaha [bahkan memaksa] menemukannya, sehingga akhirnya “menemukannya”. Temuan hikmah atas masalah/musibah itu pun biasanya relatif dan subjektif, karena memang merupakan refleksi pikiran dan pengalaman orang per orang.
Contoh. Si A mengalami kecelakaan di jalan. Bagi kita, Si A mengalami kecelakaan di jalan—titik. Tapi Si A bisa jadi tidak mau menerima realitas itu begitu saja. Fakta bahwa dia mengalami kecelakaan di jalan, bagi Si A, pasti mengandung hikmah tertentu, dan ia merasa harus menemukannya. Itu insting alami Homo sapiens dalam bertahan hidup—ia butuh ngadem-ngademi diri sendiri.
Karena Si A mencari “hikmah” di balik peristiwa kecelakaan yang dialaminya, dia pun akhirnya menemukan—atau setidaknya, dia merasa begitu. Dan apa hikmah dari kecelakaan itu? Yang paling tahu tentu Si A, karena dia yang mengalami kecelakaan, dan dia pula yang berusaha mencari hikmahnya. Mungkin subjektif bagi kita, tapi mungkin pula tidak bagi Si A. Karena begitulah “hikmah” bekerja—ia menenangkan hati si pencari.
Sekarang, dunia sedang menghadapi pandemi global, termasuk Indonesia. Setelah muncul di Wuhan, virus tak kasatmata bernama Covid-19 mengalir ke mana-mana, ke segala penjuru dunia, menyentuh hampir semua tempat di muka bumi. Cina, khususnya Wuhan, pernah lumpuh. Lalu Amerika runtuh. Belakangan, India yang berantakan. Dan perjalanan virus itu sepertinya belum akan selesai.
Indonesia juga termasuk negara yang diamuk pandemi, dan kita sudah hidup bersama virus tak terlihat itu lebih dari setahun. Lebaran tahun kemarin, kita sudah berhadapan dengan Covid-19. Lebaran tahun ini, kita masih berhadapan dengan virus yang sama. Dan ada kemungkinan—meski kita tidak berharap—lebaran tahun depan juga masih sama.
Sekarang, mari kita bertanya—menanyakan pada diri sendiri—apa hikmah di balik pandemi yang kini kita hadapi? Sedikit maksa tidak apa-apa, karena “hikmah” biasanya baru ditemukan setelah kita sedikit maksa menemukannya.
Hikmah pandemi—kalau kita benar-benar menemukannya—bisa jadi, dan hampir pasti, akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Karena kehidupan yang kita hadapi memang berbeda, dengan latar sosial dan aktivitas berbeda.
Bagi saya, yang tinggal di kota kecil, sebenarnya pandemi tidak terlalu memberi dampak yang besar. Dulu, waktu ribut-ribut pandemi baru terdengar, Pekalongan memang sempat menunjukkan “kehati-hatian”, sampai pernah ada jam malam segala. Tapi setelah itu, semuanya kembali tampak biasa-biasa saja. Meski sewaktu-waktu Satpol PP terlihat melakukan razia masker atau membubarkan kerumunan.
Nyatanya, kasus kematian akibat Covid-19 di Pekalongan memang sangat rendah, dibanding, misalnya, Jakarta. Karenanya, yang dihadapi orang-orang di kota besar, terkait pandemi, pasti berbeda dengan yang dihadapi orang-orang di kota kecil. Di Jakarta, tingkat kewaspadaan terhadap pandemi—sekaligus dampaknya—pasti lebih tinggi dibanding tingkat kewaspadaan dan dampak pandemi di Pekalongan, atau kota-kota kecil semacamnya.
Jadi, bagi saya, apa hikmah di balik pandemi yang sekarang kita hadapi? Jawabannya mungkin terdengar maksa, atau bahkan subjektif, tapi ya tidak apa-apa. Toh kalian juga bisa melakukan hal serupa.
Hikmah pertama yang paling terasa bagi saya adalah dampak positif larangan mudik.
Dulu, tiap kali lebaran akan datang, jalan-jalan utama di Pekalongan akan banyak disekat atau bahkan ditutup, untuk memudahkan laju para pemudik. Selalu ada banyak pemudik yang melewati Pekalongan tiap lebaran menjelang, sehingga banyak jalan raya yang tiba-tiba penuh sesak dengan bus, mobil-mobil pribadi, sampai para pengendara motor dengan tas-tas ransel besar. Mereka semua akan mudik ke tempat tinggal masing-masing, dan kebetulan melalui rute lewat Pekalongan.
Karena banyaknya pemudik yang lewat, banyak jalan utama di Pekalongan yang sengaja disiapkan untuk memuluskan perjalanan mereka. Misal, perempatan-perempatan jalan akan “dinonaktifkan”. Jalan raya-jalan raya yang tidak dilalui para pemudik akan ditutup, sehingga tidak ada lagi persimpangan di perempatan. Semua kendaraan pemudik bisa “bablas” dengan leluasa melewati perempatan demi perempatan.
Untuk memastikan pengaturan itu berjalan dengan baik, pos-pos polisi dibangun di banyak tempat, dan banyak petugas yang berjaga di sepanjang jalan.
Dari sisi pemudik, pengaturan semacam itu sangat membantu mereka. Tetapi, dari sisi warga lokal yang hidup di Pekalongan, pengaturan semacam itu sangat membingungkan, bahkan menjengkelkan. Bagi pebisnis yang butuh mobilitas tinggi, pengaturan/penutupan jalan itu juga sangat merugikan. Karena kami tidak bisa ke mana-mana secara leluasa. Mau ke tempat A, jalan raya disekat. Mau ke tempat B, jalan raya ditutup. Selama pengaturan itu, saya bahkan tidak bisa ke rumah orang tua, karena harus melewati jalan utama, dan jalan utama selalu ditutup menjelang lebaran, karena dilewati pemudik.
Pekalongan benar-benar berubah di masa-masa itu, ketika ribuan pemudik melewati jalan-jalan di kota kami. Kota yang biasanya tenang dan biasa-biasa saja, berubah menjadi kota yang sangat sibuk. Ribuan kendaraan melaju nyaris tanpa henti, dari pagi sampai pagi lagi. Pos-pos polisi tampak sibuk. Ada yang menangani kecelakaan pemudik, ada yang mengatur lalu lintas yang semrawut, sementara petugas lain—melalui pengeras suara—tak henti mengingatkan pemudik agar hati-hati.
Dan semua kehebohan itu telah dimulai sejak pertengahan Ramadan sampai, setidaknya, sebulan setelah lebaran. Artinya, mobilitas warga lokal terhambat sampai sekitar satu bulan!
Kini, dengan adanya pandemi, mudik dilarang. Tanpa mengurangi simpati kepada mereka yang terhalang aturan itu—dan bisa jadi bersedih hati—saya ingin mengakui bahwa larangan mudik itu membawa hikmah bagi warga seperti saya. Dengan adanya larangan mudik, Pekalongan tetap menjadi kota yang biasa, seperti biasa. Menjelang lebaran, tidak ada lagi jalan-jalan raya yang disekat atau ditutup, dan warga lokal bisa bebas bergerak menjalankan aktivitas dan kesibukan masing-masing.
Itu hikmah pertama dari pandemi yang saya rasakan, khususnya terkait lebaran. Hikmah kedua dan seterusnya, sebaiknya tidak usah saya ungkapkan, karena bisa jadi isinya tidak ingin kalian dengar.