Jumat, 26 September 2014

Membeli Kondom di Apotek

Bagaimana kita belajar sesuatu yang belum
pernah kita lakukan? Belajarlah pada orang yang
telah melakukannya. Itu pelajaran terbaik.
@noffret


Kemarin sore, saya ngumpul bareng teman-teman dan ngobrol-ngobrol santai. Karena tempat berkumpulnya terdapat wifi, beberapa dari kami ada yang memanfaatkannya untuk mengakses internet via tablet atau ponsel. Di tengah-tengah obrolan, seorang teman tampak cekikikan sendiri sambil membaca sesuatu di tabletnya. Rupanya dia sedang membaca sebuah thread di Kaskus.

Di thread itu, disebutkan ada banyak orang yang merasa malu atau risih saat akan membeli kondom. Sebegitu malunya, sampai ada yang harus mondar mandir dulu di depan apotek, menunggu apotek benar-benar sepi. Ada pula yang menggunakan berbagai trik yang semuanya ditujukan untuk menutupi rasa malu saat membeli kondom. (Selengkapnya, thread itu bisa dibaca di sini.)

Secara bergantian, kami membaca thread itu, dan senyum-senyum. Saya juga ikut membacanya, dan ikut senyum-senyum. “Kok sampai segitunya, ya?” komentar saya seusai membaca thread itu.

Lalu ada teman yang menyahut, “Emang kamu nggak malu, beli kondom di apotek?”

“Kenapa harus malu?” tanya saya balik.

Seumur hidup, jujur saja, saya belum pernah membeli kondom. Tetapi jika harus membeli kondom, saya tidak menemukan alasan untuk malu. Dalam perspektif saya yang sederhana, kondom adalah barang legal. Tak jauh beda dengan pasta gigi atau shampo. Kalau kita bisa enjoy membeli pasta gigi atau shampo, kenapa harus malu jika membeli kondom?

Oh, well, kita sudah sama dewasa, kan? Jadi, yang saya maksudkan dalam catatan ini ditujukan untuk orang-orang yang sudah dewasa. Jika secara usia kita telah dewasa, yang artinya secara biologis telah memungkinkan untuk punya pasangan, sepertinya justru aneh kalau kita malu membeli kondom. Kondom diproduksi untuk dijual. Orang menjual kondom dengan harapan dibeli. Kenapa kita harus malu membelinya?

Mendengar saya memaparkan uraian di atas, teman-teman saya pun tertarik. Ya maklumlah, mereka bocah-bocah unyu—seperti saya—yang seumur-umur juga belum pernah membeli kondom. Mereka lalu menantang saya untuk membeli kondom di apotek saat itu juga, untuk membuktikan bahwa saya bisa enjoy membeli kondom. Saya cengar-cengir, dan menjawab, “Terus hadiahnya apa, dong?”

Akhirnya disepakati, mereka akan bersedia mentraktir saya di mana pun yang saya inginkan, jika saya bisa membeli kondom dengan enjoy, tanpa malu-malu. Saya menerima tantangan itu. Dan inilah aturan main yang kemudian kami sepakati.

Saya diminta membeli kondom merek Xxx di Apotek A. (Sori, saya sengaja menyamarkan merek kondom dan nama apoteknya, biar tidak disangka ngiklan.) Teman-teman saya akan mengikuti ke apotek itu, untuk menyaksikan, tapi saya harus masuk ke apotek sendirian. Saya diperbolehkan membeli barang lain apa pun di apotek itu, tapi yang jelas harus membeli kondom Xxx satu dus.

Sangat mudah, pikir saya sok pede. Sekadar catatan, saya sebenarnya cukup sering ke Apotek A untuk membeli obat sakit kepala. Jadi, ketika sore itu ditantang untuk membeli kondom, saya pun langsung kepikiran untuk juga membeli obat sakit kepala, pembersih muka, dan beberapa barang lain, bersama kondom Xxx yang dipesan teman-teman. Detik itu, saya tidak menyadari sedang menuju ke lembah nista.

Jadi begitulah. Kami semua kemudian berangkat ke Apotek A, lalu saya dilepas sendirian untuk masuk apotek, sementara mereka menyaksikan dari luar yang hanya dibatasi dinding kaca.

Sore itu Apotek A cukup ramai. Sebenarnya, apotek itu memang tidak pernah sepi. Kapan pun saya ke sana, selalu ada banyak orang yang sedang antre. Dengan santai dan berusaha tampak elegan, saya melangkah masuk apotek, dan menunggu ada pelayan yang datang melayani. Sambil berdiri di depan lemari etalase, saya mengingat-ingat apa saja yang akan dibeli. Obat sakit kepala, sabun, pembersih muka, kondom....

Agar kalian punya bayangan mengenai Apotek A, biar saya jelaskan dulu. Apotek A menggunakan sistem jual beli tradisional.

Mula-mula, seorang pelayan akan menanyakan apa saja yang akan kita beli, kemudian dia akan mencatatnya di lembar struk. Setelah itu, kita bawa struk ke kasir untuk membayar. Kasir lalu menyerahkan kembali struk tadi, beserta tanda lunas pembayaran. Kemudian, kita kembali menemui si pelayan, dan menyerahkan struk dari kasir. Si pelayan menerima struk kita, mengambilkan barang-barang yang dibeli, kemudian membungkusnya, dan menyerahkannya pada kita.

Jadi, ketika seorang pelayan tampak mendatangi, saya pun dengan santai menyebutkan apa saja yang akan saya beli. (Ingat, teman-teman saya menyaksikan dari luar!) Pelayan itu seorang wanita, berwajah judes, dan tampaknya suka rese. Tapi peduli amat, pikir saya. Dia mencatat semua daftar belanjaan saya—sabun satu biji, obat sakit kepala satu dus, pembersih muka satu botol, kondom Xxx satu dus....

Ketika sampai pada kondom, dia menatap saya. Sebisa mungkin saya tetap menampakkan muka kalem.

“Kondom Xxx... satu dus?” tanyanya dengan suara agak keras, seperti tampak ingin memprovokasi.

Saya tidak terpengaruh. Dengan santai saya mengangguk, “Ya.”

Seusai mencatat, dia menyobek lembar struk, dan menyerahkan pada saya. Segera saya datang ke kasir, ikut antre di belakang orang-orang lain yang juga akan membayar. Beberapa menit kemudian, saya telah membayar di kasir, dan membawa struk dari kasir ke pelayan tadi. Lalu adegan yang sungguh biadab dimulai....

Sebagai pelanggan Apotek A, saya tahu betul bagaimana para pelayan di sana mengurus pembelian. Ketika seorang pembeli menyerahkan struk dari kasir, pelayan akan menerima struk itu, lalu segera mengambilkan barang-barang yang dibeli, dan segera mengemasnya dalam plastik. Semua proses itu dilakukan di ruang dalam, sehingga tidak ada pembeli lain yang tahu barang apa saja yang kita beli. Setelah semua barang terbungkus rapi, pelayan akan menyerahkannya pada kita untuk diperiksa, lalu kita bisa segera pergi dari apotek.

Tapi pelayan yang mengurus pembelian saya tampaknya ingin mencari perkara.

Pada waktu itu pembeli di Apotek A semakin banyak, dan mereka semua hampir berdesakan di depan lemari etalase. Ketika saya menyerahkan struk ke pelayan, dia segera mengambilkan barang-barang yang saya beli. Tapi tidak segera dikemas secara rapi di dalam. Yang dia lakukan sungguh hina. Barang-barang yang saya beli diambil semua, kemudian diletakkan secara terbuka di atas lemari etalase! Yang lebih biadab, dia tampaknya sengaja meletakkan dus kondom secara demonstratif.

Akibatnya bisa ditebak. Orang-orang yang ada di apotek pun tertarik perhatiannya ke barang-barang saya. Lebih khusus lagi ke kondom yang mejeng di bagian paling mencolok di antara barang lainnya.

Sebenarnya, si pelayan tinggal mengambil plastik dan membungkus barang-barang itu. Tetapi sepertinya dia ingin menyiksa saya. Hanya untuk mengambil plastik saja, dia butuh waktu beberapa menit di dalam. Terus terang, akhirnya saya merasa tersiksa. Meski berusaha bersikap kalem dan elegan, saya tetap salah tingkah dipandangi orang-orang seapotek hanya karena membeli kondom sialan satu dus.

Ketika saya merasa akan pingsan, si pelayan rese itu akhirnya muncul dengan membawa tas plastik. Ia lalu memasukkan barang-barang saya ke tas plastik perlahan-lahan, dengan penuh penghayatan, seolah kegiatan itu merupakan aktivitas paling menyenangkan di dunia. Saya menunggu dengan gelisah, tapi tetap berusaha tampak kalem.

Dasar rese, pelayan itu tampaknya sengaja berlama-lama, dan sengaja memilih kondom sebagai barang terakhir yang dimasukkannya. Orang-orang di apotek masih terus memandangi saya dan kondom sialan itu. Kemudian, ketika akhirnya tinggal kondom yang harus dimasukkan ke plastik, pelayan itu mengambil dus kondom dengan perlahan dan hati-hati, seolah dus itu bisa meledak, kemudian... sialan, dia tidak langsung memasukkannya!

Dengan tanpa dosa, dia mengangkat dus kondom itu, seolah-olah tertarik membaca tulisan pada kemasannya. Dalam hati saya misuh-misuh. Orang macam apa yang melayani saya ini...???

Ketika kesabaran saya nyaris habis, pelayan sialan itu akhirnya memasukkan dus kondom ke dalam plastik, dan menyerahkannya pada saya sambil mengekspresikan tatapan tak rela.

Seketika itu juga saya kabur dari apotek, diiringi pandangan orang-orang di sana yang mungkin berpikir, “Bocah macam apa yang membeli kondom satu dus, sore-sore begini?”

Ketika saya menyerahkan plastik berisi kondom pada teman-teman di luar, mereka semuanya ngakak dengan sangat tidak akademis. Jelas, mereka semua menyaksikan adegan tolol di apotek tadi, dan tampaknya menikmati penyiksaan si pelayan terhadap saya. Bagaimana pun, mereka tetap menepati janji untuk mentraktir saya, dan kami lalu menuju tempat yang saya inginkan.

Selama kami menikmati makan malam sambil tertawa-tawa karena insiden kondom tadi, saya terus berpikir dengan heran. Saya heran menyaksikan bagaimana primitifnya pelayan di Apotek A yang tadi melayani.

Seperti yang dinyatakan tadi, kondom adalah barang legal. Fakta bahwa Apotek A menjual kondom, dengan gamblang membuktikan bahwa kondom bisa dibeli siapa pun, khususnya oleh saya. Secara usia, saya sudah dewasa. Secara biologis, saya sudah cukup umur untuk punya pasangan. Mungkin pelayan tadi tidak tahu saya masih lajang. Tapi setidaknya dia dapat berpikir bahwa bisa jadi saya seorang suami yang membeli kondom untuk tujuan kontrasepsi. Kenapa dia harus memperlakukan saya seperti itu...???

Sejujurnya, saya sakit hati atas perlakuannya. Saya datang ke apotek secara baik-baik. Saya bersikap sopan dan kalem. Saya membeli barang-barang yang semuanya legal. Saya membayar dengan uang saya sendiri. Dan selama di sana saya tidak mengganggu siapa pun. Kenapa saya harus diperlakukan secara tidak layak seperti tadi...???

Pada waktu itulah kemudian saya mulai menyadari kenapa ada orang-orang yang sampai melakukan berbagai upaya agar tidak malu saat membeli kondom di apotek, sebagaimana yang saya baca di thread Kaskus. Rupanya, memang ada pelayan tak berpendidikan yang menganggap pembelian kondom sebagai hal menjijikkan dan tidak pantas, sehingga memperlakukan pembeli kondom dengan sikap yang sangat menjengkelkan dan cenderung merendahkan.

So, buat teman-teman yang mungkin belum pernah membeli kondom, saya bisa menyarankan beberapa hal agar kalian tidak mengalami kejadian memalukan seperti yang saya ceritakan di atas. Kalau pun sampai mengalami juga, setidaknya kalian bisa menyiapkan mental untuk menghadapinya.

Pertama, pahamilah bahwa kondom adalah barang legal. Karenanya, bersikaplah wajar saat membelinya. Tidak perlu takut atau malu-malu, karena itu bukan transaksi narkoba. Membeli kondom tak jauh beda dengan membeli pasta gigi, sabun mandi, atau barang lainnya yang biasa kita gunakan sehari-hari. Enjoy!

Kedua, jika memungkinkan, beli saja di tempat yang lebih mudah semacam swalayan atau gerai yang menyediakan barang-barang jualannya di rak terbuka, sehingga kita bisa langsung mengambil apa pun yang akan kita beli, dan langsung membawanya ke kasir, tanpa harus berurusan dengan pelayan yang mungkin rese.

Ketiga, jika terpaksa harus membeli di apotek dan harus terpaksa pula berurusan dengan pelayan yang mungkin rese, jangan terprovokasi. Ketika si pelayan rese tampak ingin mempermalukan kita, usahakan tetap kalem dan elegan. Oh, well, ini mungkin sulit. Tapi kalian harus belajar. Karena kapan pun waktunya, kalian pasti akan punya pasangan, dan kapan pun waktunya pasti akan perlu membeli kondom!

Keempat, saya ingin mengajak kita semua untuk menjadi konsumen yang akademis. Maksudnya, jika sewaktu-waktu kita merasa dipermalukan pelayan di apotek hanya karena membeli kondom, jangan segan untuk menghubungi layanan pelanggan apotek itu, dan nyatakan terus terang bahwa kalian merasa diperlakukan secara tidak layak.

Jika apotek itu tidak menyediakan layanan pelanggan, cari nomor telepon yang memungkinkan kita bisa menghubungi pemilik atau petinggi apotek itu. Lalu ceritakan yang terjadi, dan sebutkan nama atau ciri-ciri si pelayan rese. Kalau perlu, katakan bahwa kalian akan berhenti menjadi pelanggan apotek itu, jika si pelayan rese masih ada di sana. Pelayan-pelayan rese semacam itu sedang mencari masalah, jadi mari kita berikan masalah untuknya!

Wasiat untuk Temanku

Aku berkata pada temanku, “Kalau hidupmu telah selesai, menikahlah.”

Dia menatapku, dan bertanya, “Kalau begitu, mengapa kamu belum menikah?”

“Karena hidupku belum selesai.”

Jumat, 19 September 2014

Resep Produktif Menulis

Berhenti menulis di tengah jalan sama dengan
muntah belum selesai, orgasme yang tak jadi.
@noffret


Di catatan sebelumnya, kita telah mengobrolkan syarat mutlak untuk bisa menulis dengan baik, bahkan produktif, yaitu dengan cara mencintai menulis. Sebenarnya, cinta terhadap aktivitas menulis bahkan lebih penting daripada sekadar cita-cita ingin menjadi penulis. Karena, orang yang bercita-cita menjadi penulis bisa jadi tidak mampu mencapainya, karena tidak adanya cinta. Sebaliknya, orang yang mencintai menulis lebih mungkin menjadi penulis, meski bisa jadi dia tidak bercita-cita menjadi penulis.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Cita-cita dan impian adalah faktor penting—sama pentingnya dengan bakat, pendidikan, dan faktor lain. Tapi cinta adalah faktor terpenting, karena merupakan fondasi tempat cita-cita dan impian ditaburkan, tempat bakat dan pendidikan dibangun. Tanpa cinta, orang tidak bisa melakukan segala sesuatu dengan baik. Jangankan melakukan hal sulit seperti menulis, bahkan mencuci piring pun butuh cinta! Tanpa cinta, kita tidak bisa mencuci piring dengan baik, bahkan tidak menutup kemungkinan piring itu akan pecah karena kita grusa-grusu dan tidak hati-hati mencucinya.

Sering kali, guru yang paling kita kagumi adalah guru yang mengajar dengan cinta—bukan guru yang mengajar sebagai sekadar pekerjaan. Dokter yang paling kita sukai juga dokter yang melayani dengan cinta—bukan dokter yang memeriksa dan melayani sebagai sekadar pekerjaan. Memang benar bahwa mereka bekerja sebagai guru atau sebagai dokter, tetapi mereka menambahkan satu unsur penting, yaitu Cinta. Itulah yang membedakan guru mengagumkan dengan guru biasa, yang membedakan dokter istimewa dengan dokter kebanyakan.

Di dunia tulis menulis, kita juga mengenal penulis-penulis mengagumkan dan penulis-penulis biasa. Sering kali, yang menjadi pembeda di antara keduanya adalah cinta. Orang-orang yang menulis dengan cinta tidak hanya mampu menulis dengan baik, tapi juga produktif, dan memiliki daya yang mampu menyentuh hati pembacanya. Memang benar bahwa mereka menjadikan menulis sebagai pekerjaan, tetapi mereka memiliki satu unsur penting yang tidak dimiliki orang-orang lainnya, yaitu Cinta. Cintalah yang menjadikan orang biasa tampak istimewa.

Jadi, untuk kesekian kalinya, resep pertama dan terutama untuk bisa produktif menulis adalah mencintai menulis. Tanpa cinta, kita tidak akan bisa menulis dengan baik, apalagi produktif.

Nah, setelah resep pertama terpenuhi, apa lagi resep lainnya untuk produktif menulis?

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya akan lebih produktif jika menulis sesuatu yang saya minati, atau yang saya sukai. Menulis sesuatu yang kita minati atau sukai membuat kita bergairah menulisnya. Meski telah menulis berjam-jam, kita tidak merasa lelah atau bosan, karena topik yang kita tulis benar-benar kita sukai. Karena kita menyukai, kita pun meminatinya. Dan, biasanya, yang kita minati sering kali menjadi sesuatu yang kita kuasai. Hasilnya, kita bisa menulis dengan asyik.

Sebaliknya, menulis sesuatu yang tidak kita minati sering kali menyiksa. Rasanya tak jauh beda dengan mengerjakan soal-soal ujian untuk pelajaran yang tidak kita suka. Baru menulis beberapa lembar saja, kita sudah capek. Baru menulis beberapa menit saja, kita sudah bosan. Sesuatu yang tidak kita sukai sering kali tidak menimbulkan minat. Karena kita tidak berminat, kita pun sering kali tidak menguasainya. Karena kita tidak menguasai, kita pun kehilangan gairah saat menulisnya. 

Jadi, produktifitas menulis bisa dipacu jika kita menyukai atau meminati topik yang kita tulis. Jika kita ingin terus-menerus produktif, maka kita harus terus-menerus menulis sesuatu yang kita minati, atau meluaskan minat kita sehingga banyak hal yang membuat kita terus bergairah menulisnya.

Kadang-kadang, kita kehilangan gairah menulis. Kehilangan gairah semacam itu bisa jadi karena kita memang sedang malas, atau karena minat kita sangat terbatas. Bagaimana pun, rasa malas memang kadang muncul, dan bisa disiasati dengan beragam cara, seperti refresing, mencari hiburan, hingga pikiran kita kembali segar dan siap menulis kembali. Tapi bisa jadi pula hilangnya gairah menulis karena kita kehabisan ide dan topik yang membuat bergairah. Jika masalahnya seperti itu, maka yang perlu kita lakukan adalah meluaskan minat. Sukai banyak hal!

Semakin banyak hal yang kita sukai, makin banyak topik yang kita minati. Semakin banyak topik yang kita minati, kita akan terus bergairah menulis, karena ide terus mengalir. Finish-nya, kita pun tidak berhenti belajar, karena terus menyukai hal-hal baru, terus meluaskan minat, dan terus menguasai banyak topik penulisan. Dengan cara itu, kita tidak hanya akan terus produktif menulis, tetapi juga semakin luas wawasan dan pengetahuan, dan terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Itu resep kedua.

Selain menulis topik yang kita sukai dan minati, apa lagi resep lain agar bisa terus produktif menulis? Jawabannya disiplin!

Tom Clancy, penulis Amerika yang disebut “novelis techno-thriller”, biasa menulis novel dengan ketebalan luar biasa. Executive Orders, misalnya, memiliki ketebalan lebih dari 1.500 halaman. Sementara novel-novelnya yang lain rata-rata memiliki ketebalan antara 500-1.000 halaman. Bagaimana Tom Clancy bisa terus melahirkan novel-novel tebal seperti itu?

Ketika ditanya mengenai resep produktifitasnya, Tom Clancy menceritakan, bahwa dia biasa menulis 10 halaman setiap hari. Hanya 10 halaman setiap hari! Tetapi dia disiplin—terus melakukannya setiap hari, hari demi hari, tak pernah berhenti. Meski hanya 10 halaman per hari, jumlah halaman itu pun segera menjadi tebal karena kedisiplinan. Dalam satu bulan, Tom Clancy bisa menulis 300 halaman. Dalam tiga bulan, jumlahnya telah meningkat menjadi 900 halaman.

Hanya 10 halaman per hari, tapi disiplin—itulah resep produktifitas Tom Clancy, hingga bisa menulis novel-novel yang sangat tebal. Suatu contoh yang layak ditiru!

Sejak pertama kali tahu hal itu, saya pun meniru Tom Clancy. Sejak itu, saya mendisiplinkan diri untuk menulis 10 halaman setiap hari. Sebagaimana latihan hal lain, mula-mula memang terasa berat. Tetapi, lama-lama, menulis 10 halaman per hari mulai terbiasa, dan tidak terasa berat lagi. Seiring hari demi hari, saya terus rutin dan disiplin menulis 10 halaman per hari, dan dalam satu bulan saya bisa menulis 300-an halaman. Akhirnya, karena ingin meningkatkan produktifitas, saya mulai membuat “aturan main” pribadi.

Sejak beberapa tahun lalu, saya menetapkan aturan bagi saya sendiri. Dalam satu hari, saya mewajibkan diri sendiri untuk menulis minimal 10 halaman setiap hari. Boleh lebih banyak dari 10 halaman, tapi tidak boleh kurang. Jika suatu hari saya menulis sampai 15 atau 17 halaman, saya akan menepuk-nepuk diri sendiri. Tapi jika suatu hari saya menulis kurang dari 10 halaman—apa pun alasannya—maka kekurangannya akan saya anggap utang, dan saya harus membayarnya sampai lunas.

Jadi, umpama hari ini saya hanya menulis 6 halaman, maka artinya saya punya utang 4 halaman. Besok saya harus membayar utang tersebut, dan itu artinya saya harus menulis minimal 14 halaman. Jika besok ternyata saya hanya mampu menulis 9 halaman, maka artinya utang saya bertambah, menjadi 5 halaman. Besoknya lagi saya harus menulis minimal 15 halaman—dan begitu seterusnya.

Pernah, karena sakit parah, seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya tidak bisa menulis sampai berhari-hari, karena tubuh sangat lemah. Tapi saya tidak peduli! Disiplin tetap disiplin! Meski sakit parah seperti itu pun, hari-hari yang berjalan terus saya hitung. Sepanjang sakit waktu itu, saya tidak menulis selama 18 hari. Artinya, saya punya utang tulisan 180 halaman. Dan saya mewajibkan diri sendiri untuk membayar utang itu! Dan saya tidak mau mendengar alasan apa pun!

Jadi begitulah. Setelah badan terasa sehat dan mulai bisa kembali menulis, saya pun mulai membayar utang. Karena jumlahnya cukup banyak, saya tidak bisa membayarnya sekaligus. Jadi saya pun mencicilnya hari demi hari, sampai utang 180 halaman itu lunas, seiring saya terus melakukan kewajiban menulis 10 halaman setiap hari. Sakit bisa terjadi sewaktu-waktu, tapi disiplin tetap disiplin!

Di lain waktu, kadang saya perlu pergi ke suatu tempat hingga beberapa hari, dan tidak bisa menjalankan kewajiban menulis 10 halaman per hari. Biasanya, jika akan menghadapi hal seperti itu, saya akan “membayar di muka”. Artinya, sebelum berangkat pergi beberapa hari, saya akan menulis sebanyak jumlah hari yang akan saya gunakan.

Misalnya, jika saya akan pergi selama 4 hari dan tidak menulis selama itu, maka saya akan “membayar di muka” sebanyak 40 halaman sejak hari-hari sebelumnya. Jika saya tidak bisa melakukannya, maka kekurangannya akan dianggap utang.

Meski mungkin terdengar berat, tapi menulis berpuluh-puluh halaman tidak terlalu berat jika kita benar-benar mencintai menulis, dan menyukai atau meminati topik yang kita tulis. Karena itulah, resep pertama agar terus produktif menulis adalah cinta, kemudian menyukai topik yang kita tulis. Dalam keadaan mood sangat tinggi, saya bahkan bisa menulis 40 sampai 50-an halaman setiap hari.

Cinta adalah syarat pertama untuk produktif. Sementara untuk terus asyik menulis, kita memerlukan minat atas topik yang kita tulis. Jika minat kita terbatas, kita bisa meluaskannya dengan lebih banyak belajar dan mengenal hal-hal baru.

Setelah minat kita luas hingga terus menyukai hal-hal yang kita tulis, maka resep selanjutnya adalah kedisiplinan, atau kemampuan mendisiplinkan diri. Soal bagaimana caranya, itu terserah masing-masing kita. Yang baik bagi saya belum tentu baik pula bagi orang lain. Jadi pilihlah sendiri cara yang terbaik untuk disiplin, lalu terapkan dan biasakan kedisiplinan itu sampai menjadi kegiatan sehari-hari, hingga kita tidak merasa berat melakukannya.

Aturan disiplin yang saya terapkan—sebagaimana yang dijelaskan di atas—mungkin “terlalu keras”, dan saya pun menyadarinya. Mendisiplinkan diri menulis minimal 10 halaman setiap hari memang kadang terasa berat, khususnya ketika sakit atau sedang pusing menghadapi masalah. Tetapi, saya pun menyadari, berat kedisplinan hanyalah beberapa ons, sementara akibat kemalasan beratnya berton-ton. Sebegitu pentingnya fakta ini, hingga saya merasa perlu mengulanginya sekali lagi. Berat kedisplinan hanyalah beberapa ons, sementara akibat kemalasan beratnya berton-ton.

Jika kita keras pada diri sendiri, dunia akan memperlakukan kita dengan lembut. Tetapi, jika kita lembut pada diri sendiri, dunia akan memperlakukan kita dengan keras—oh, well, sangat-sangat keras.

Mengapa X-Men Suka Naik Jet?

Mengapa X-Men suka naik jet?

Karena yang punya motor cuma Cyclops.


Mengapa Cyclops naik motor tidak pakai helm?

Karena helmnya sedang dipakai Magneto.


Mengapa Magneto suka memakai helm?

Karena dia takut botak seperti Profesor X.


Mengapa Profesor X berkepala botak?

Karena pusing mikir Wolverine yang galau.


Mengapa Wolverine suka galau?

Karena dia jatuh cinta pada Jean Grey.


Mengapa Jean Grey membuat jatuh cinta?

Karena dia adalah mbakyu.

Dying Young

Sehelai daun lepas dari ranting. Diembus angin,
melayang-layang bersama udara. Lalu jatuh di tanah basah.
Di kejauhan, takdir tertawa.
@noffret 


Mereka duduk berhadapan, dipisahkan meja yang di atasnya terletak beberapa gelas, hidangan penutup, dan asbak. Mereka berada di ruang tertutup yang terisolasi dari pengunjung lainnya, sehingga dapat bercakap-cakap dengan tenang, tanpa terganggu suara lain. Mereka dua lelaki yang sedang bernostalgia. Percakapan mereka diselingi asap rokok yang membubung ke langit-langit.

Lelaki pertama berkata, “Entah mengapa, setiap kali aku pergi ke tempat jauh, seperti ini, aku selalu khawatir akan mati di sini.”

Lelaki kedua tersenyum. “Kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Aku tidak tahu. Tapi pikiran seperti itu sering masuk begitu saja.”

“Dan apa yang membuatmu khawatir? Maksudku, apa yang membuatmu khawatir kalau sewaktu-waktu kau mati di sini?”

“Kau pernah mati, my friend?”

Lelaki kedua tertawa. “Kau pernah mandi di Sungai Nil?”

Lelaki pertama membalas tawa temannya. “Well, maksudku, jika sewaktu-waktu aku mati di mana pun, aku ingin ada seseorang yang kukenal—seseorang yang kukenal, dan menemaniku saat aku sekarat.”

Lelaki kedua masih tersenyum. “Don’t worry. Aku akan menemanimu.”

“Aku percaya,” ujar lelaki pertama serius. “Tapi bagaimana kalau aku mati di tempat lain? Well, kau tahu, bagaimana kalau umpama aku mati di Gurun Sahara, atau Gurun Nevada, atau gurun sialan lain, dan di sana tidak ada satu orang pun yang kukenal?”

Lelaki kedua mengisap rokoknya, lalu mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Kemudian, dengan wajah serius, dia menatap sahabatnya. “Kenapa kau sampai berpikir seperti itu?”

Lelaki pertama mengambil gelas di hadapannya, dan meneguk isinya yang nyaris habis. Setelah itu, dengan suara lirih, dia berkata, “Kau pernah menyaksikan seseorang yang sedang sekarat? Maksudku, seseorang yang seumur denganmu—teman, saudara, atau siapa pun.”

“Belum.”

“Aku pernah. Well... itu terjadi bertahun-tahun lalu. Seseorang yang kukenal. Aku menyaksikannya sekarat, hingga kemudian dia benar-benar pergi. Selamanya. Dalam hitungan waktu, itu hanya beberapa menit. Dalam bayanganku, itu serasa berabad-abad. Selama sekarat, dia berkali-kali menyebut, ‘aku dewi... aku dewi...’, nyaris terus-menerus.”

“Dan itu... itu maknanya apa? Maksudku, kata yang diucapkannya.”

“Aku tidak tahu. Tapi dia terus-menerus menyebut kata itu dalam igauannya yang mungkin tak sadar, ketika nyawanya perlahan-lahan melayang.”

“Dan...?”

“Dan aku tak pernah bisa melupakannya. Sampai saat ini. Aku tak tahu mengapa, tapi bayangan itu terus menghantuiku. Dan karena itu pula, entah kenapa, aku jadi sering berpikir usiaku tak lama. Entah datang dari mana, aku seperti meyakini tak pernah dapat hidup sampai tua.”

“Apa maksudmu?”

Lelaki pertama menatap sahabatnya, sementara asap bergulung-gulung di antara mereka. “Well, my friend. Kau pernah membayangkan dirimu yang telah tua, memiliki keluarga—istri dan anak-anak—dan kau menyaksikan pertumbuhan mereka?”

“Sering.”

“Dan kau bisa membayangkannya—bisa melihat semua itu dalam bayanganmu?”

“Ya. Sejelas aku menginginkannya.”

“Itulah. Aku tak pernah bisa.”

“Tak pernah bisa?”

“Aku tak pernah bisa membayangkan hal semacam itu. Berkali-kali—oh, hell, ribuan kali—aku mencoba membayangkan diriku yang tua, mungkin telah memiliki beberapa anak yang telah tumbuh besar, dewasa, tapi aku tak pernah bisa melakukannya. Setiap kali aku membayangkan hal semacam itu—masa-masa hidupku di waktu mendatang—bayanganku akan berhenti beberapa tahun sebelum aku berusia empat puluh. Sekuat apa pun aku berusaha membayangkan lebih jauh lagi, imajinasiku tak pernah mampu.”

Setelah mengisap asap rokoknya, lelaki pertama melanjutkan, “Imajinasi, kau tahu, barang mainan bagiku. Aku bisa membayangkan apa saja, seliar apa pun, segila apa pun. Aku bisa membayangkan siapa pun masuk ke dalam imajinasiku, dan mengalami apa pun yang kuinginkan. Tapi anehnya aku justru tak pernah mampu membayangkan diriku sendiri dalam kondisi yang kuinginkan dalam imajinasi itu.”

Lelaki kedua mengangguk. “Intinya, kau tidak bisa membayangkan dirimu menjadi tua?”

“Setepatnya, aku tidak bisa membayangkan diriku mencapai usia tua.”

Sabtu, 13 September 2014

Mencintai Menulis

Orang bisa menjadikan dirinya kecanduan twitter,
fesbuk, atau jamu tolak angin. Ia bisa juga
menjadikan dirinya kecanduan menulis.
@aslaksana


Orang-orang yang bukan penulis, atau para penulis yang masih pemula, sering kali heran campur takjub ketika menyaksikan para penulis profesional bisa menulis dalam jumlah luar biasa. Para penulis produktif itu menulis banyak buku, dari yang cukup tipis sampai yang sangat tebal, sementara tulisan-tulisan lepas mereka terus muncul di berbagai media.

Remy Sylado, misalnya, adalah salah satu penulis produktif Indonesia. Dia menulis banyak buku, fiksi maupun nonfiksi, sementara tulisan-tulisan lepasnya tersebar di mana-mana. Seno Gumira Ajidarma dan Arswendo Atmowiloto juga sangat produktif, dan tulisan mereka terus mengalir, sejak zaman saya masih anak-anak sampai dewasa sekarang. Begitu pula Emha Ainun Nadjib yang tulisan-tulisannya nyaris tak bisa dihitung lagi karena begitu banyaknya.

Di luar para “dewa” itu, di Indonesia masih banyak penulis lain yang juga luar biasa produktif—mereka menerbitkan banyak buku, menulis di berbagai media, dan tulisannya nyaris tak pernah berhenti. Bagaimana orang-orang itu bisa menulis sebegitu banyak? Bagaimana mereka bisa terus menulis seolah tanpa henti?

Orang-orang awam (yang bukan penulis) kadang mengira atau bahkan menuduh mereka yang sangat produktif itu melibatkan tim penulis. Sebenarnya itu tuduhan lucu, kalau tak mau disebut konyol. Seno Gumira Ajidarma tidak akan mau mempertaruhkan kualitas karyanya dengan melibatkan orang lain sebagai tim penulisnya. Begitu pula Arswendo Atmowiloto, Emha Ainun Nadjib, Remy Sylado, atau yang lain. Bagi orang-orang semacam itu, melibatkan orang lain sebagai tim penulis justru sangat riskan, karena sama artinya mempertaruhkan reputasi dan kualitas karya mereka di tangan orang yang belum tentu “sekaliber” mereka.

Kenyataannya, para penulis yang luar biasa produktif—sejauh yang saya tahu—benar-benar menulis karya mereka sendiri. Jangankan melibatkan tim penulis, orang-orang super produktif semacam itu bahkan sering tidak bisa menulis jika ada orang lain. Artinya, mereka menulis dalam kesunyian, kekhusyukan, kesendirian, dan benar-benar membaktikan hidupnya untuk menulis. Hasilnya, karya mereka pun sangat banyak—jauh lebih banyak dibanding orang lain.

Jadi, bagaimana orang-orang itu bisa menulis begitu banyak? Bagaimana cara para penulis produktif bisa melahirkan tulisan dalam jumlah luar biasa? Akhirnya, bagaimana resep agar bisa produktif menulis seperti orang-orang itu?

Jika kita perhatikan, semua penulis produktif memiliki satu hal yang sama. Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Arswendo Atmowiloto, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohamad, A.S. Laksana, Gola Gong, sampai Hilman Hariwijaya, dan penulis-penulis produktif lainnya, memiliki satu hal yang sama, yang kadang tidak kita pikirkan. Yaitu Cinta.

Mereka mencintai menulis!

Bukan sekadar cinta, tapi benar-benar Cinta.

Karena mereka benar-benar mencintai aktivitas menulis, mereka pun memiliki daya dan energi luar biasa untuk melakukan “keajaiban”, yang salah satunya melahirkan tulisan dalam jumlah luar biasa. Cinta—itulah unsur penting yang membedakan para maestro dengan medioker, yang memungkinkan orang-orang biasa menjadi para “pekerja mukjizat” hingga bisa melahirkan karya berskala raksasa. Cintalah yang menggerakkan mereka hingga sangat produktif, Cinta pula yang menggerakkan mereka terus menulis tanpa henti.

Cintalah yang menggerakkan Seno Gumira Ajidarma bisa sangat produktif, meski punya banyak kesibukan lain, dari menjadi dosen sampai fotografer. Cintalah yang menggerakkan Remy Sylado terus menulis bertahun-tahun, dalam beragam topik dan tema, meski tubuhnya terus digerogoti usia. Cintalah yang menggerakkan Gola Gong mampu menulis dalam jumlah sangat banyak, meski dia hanya punya satu tangan. Cintalah yang menggerakkan Hilman Hariwijaya aktif menulis sejak remaja, ketika teman-teman sebayanya masih asyik hura-hura. Cinta pulalah yang menggerakkan para penulis produktif lainnya hingga mampu melahirkan tulisan dalam jumlah luar biasa.

Karenanya pula, syarat mutlak untuk bisa produktif menulis adalah mencintai menulis! Tanpa mencintai aktivitas yang kita lakukan, kita tidak akan bisa produktif dalam apa pun yang kita lakukan. Begitu pula dengan menulis. Untuk bisa produktif, syarat pertama dan terutama adalah Cinta. 

Orang bisa main PS atau games di komputer sehari semalam tanpa henti, karena cinta! Orang juga bisa membaca buku dari pagi sampai pagi lagi, sama karena cinta! Karena mereka menikmati yang mereka lakukan, mereka pun asyik melakukannya, dan ingin terus melakukannya. Begitu pula Remy Sylado, Arswendo Atmowiloto, atau penulis produktif lainnya. Mereka mencintai yang dilakukannya. Karena mereka mencintai yang dilakukannya, mereka pun terus asyik melakukannya.

Jadi, kalau kita kebetulan termasuk penulis yang tidak atau belum produktif, kita perlu introspeksi dan mengoreksi diri. Apakah kita sekadar ingin menjadi penulis, atau memang benar-benar mencintai aktivitas menulis?

Jangan salah. Ada banyak orang yang sadar dirinya ingin menjadi penulis, tapi tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak mencintai aktivitas menulis. Kebanyakan, orang-orang semacam itu hanya membayangkan dirinya akan terkenal seperti para penulis lain, atau mendapatkan banyak uang setelah menjadi penulis, karenanya mereka ingin jadi penulis. Akibatnya, mereka sadar ingin menjadi penulis, tetapi tidak sadar kalau mereka belum tentu mencintai menulis.

Itu tak jauh beda dengan cowok-cowok yang mengagumi perut rata, membayangkan dirinya punya perut rata, lalu mau pamer foto selfie dengan telanjang dada, dikagumi cewek-cewek... tapi tidak mau pergi ke gym. Tak peduli sebanyak apa pun dia mengkhayalkan punya perut rata, sampai kapan pun perutnya tidak akan rata! Untuk bisa memiliki perut rata seperti dambaannya, dia harus pergi ke gym, melakukan semua latihan yang diintruksikan secara disiplin, dan mencintai semua yang ia lakukan di sana, dan tidak berhenti melakukan latihan sampai perutnya rata!

Dalam konteks menulis, ada banyak orang bermimpi menjadi penulis, tapi cita-citanya tidak pernah kesampaian. Sering kali, kalau kita mau jujur pada diri sendiri, masalahnya bukan pada bakat, bukan pada kesempatan, juga bukan pada hal lain. Tapi karena kurangnya cinta.

Cobalah duduk diam dengan tenang, dan tanyakan pada diri sendiri. Apa yang paling kita cintai di dunia ini? Kegiatan apa yang paling kita nikmati saat melakukannya? Pekerjaan atau aktivitas apa yang paling kita sukai dalam hidup, hingga kita merasa tidak ingin berhenti melakukannya?

Jika satu saja dari tiga pertanyaan itu memiliki jawaban “menulis”, kita punya harapan untuk menjadi penulis. Jika tiga pertanyaan di atas memiliki jawaban sama, yaitu “menulis”, maka kemungkinan besar kita saat ini telah menjadi penulis, atau punya kemungkinan besar untuk produktif menulis. Tetapi, jika jawaban untuk tiga pertanyaan tadi bukan “menulis”, sepertinya kita perlu memikirkan ulang keinginan kita. Karena memaksakan diri untuk menulis—apalagi menjadi penulis produktif—sementara kita tidak mencintainya, itu sama saja merusak diri sendiri.

Henry Ford tidak akan bisa menjadi pembuat mobil kalau dia tidak mencintai mesin dan onderdil. Bill Gates tidak akan bisa menciptakan Windows jika dia tidak mencintai komputer dan perangkat lunak. Pablo Picasso tidak akan bisa melukis dengan indah kalau dia tidak mencintai cat dan sentuhan kuas. Begitu pula para penulis tidak akan bisa menulis dengan baik apalagi produktif, jika tidak mencintai aktivitas menulis. Syarat mutlak untuk setiap pekerjaan yang berhasil adalah Cinta.

Orang memang bisa melukis tanpa mencintai pekerjaannya, tapi lukisannya akan menyedihkan. Orang memang bisa menyanyi tanpa mencintai nyanyiannya, tapi lagunya akan terdengar sumbang. Begitu pula, kita bisa menulis tanpa mencintai aktivitas menulis, tapi tentu kita tidak bisa menyebut diri sebagai penulis.

“Penulis” bukan jabatan—itu predikat yang diberikan kepada orang yang mencintai menulis. Karenanya, tidak semua orang yang menulis pasti penulis, sebagaimana tidak semua orang yang melukis pasti pelukis, dan tidak semua orang yang menyanyi pasti penyanyi. Dalam hal itu, kadang ada sebutan pemula dan profesional, ada yang mengagumkan dan ada yang biasa. Selain pengalaman, sering kali yang menjadi pembeda adalah Cinta.

Semua orang mengagumkan berawal dari orang biasa, sebagaimana para profesional juga berawal sebagai pemula. Pengalaman dan jam terbang akan mengantarkan para pemula menjadi profesional, sementara Cinta akan mengubah orang biasa menjadi sosok mengagumkan. Dalam hal menulis, semua penulis hebat dan produktif adalah mereka yang mencintai—benar-benar mencintai—pekerjaannya. Cinta terhadap pekerjaan adalah syarat mutlak untuk bisa melakukan pekerjaan dengan baik, bahkan mengagumkan.

Jadi, syarat pertama untuk bisa produktif menulis adalah Cinta. Setelah kita benar-benar mencintai aktivitas menulis, kita bisa melangkah ke syarat berikutnya... yang akan kita pelajari di catatan mendatang.

10 Aturan Pokok Menulis

1. Jangan bertele-tele.
2. Jangan bertele-tele.
3. Jangan bertele-tele.
4. Jangan klise.
5. Jangan klise.
6. Jangan klise.
7. Jangan mudah puas.
8. Jangan mudah puas.
9. Jangan mudah puas.
10. Teruslah menulis.


Filsafat Superhero

Mengapa Superman menjadi Superman, Batman menjadi Batman, dan Spiderman menjadi Spiderman?

....
....

Benar, hanya yang paham yang tahu.

Senin, 08 September 2014

Tuhan di Kampus UIN

Aku lebih suka berteman dengan orang yang bisa salah,
daripada dengan orang yang pasti benar dan selalu benar.
Orang semacam itu mengerikan.
@noffret


Pada tanggal 20-30 Agustus 2014, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, menggelar ospek untuk mahasiswa baru, yang disebut Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (Oscar). Tema yang diangkat, sebagaimana umumnya mahasiswa filsafat, agak-agak “ngeri”. Judulnya, Tuhan Membusuk: Konstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan.

Entah bagaimana asal usulnya, spanduk yang digunakan selama ospek itu muncul di berbagai jejaring sosial, dan membuat kegegeran. Spanduk itu dihiasi tulisan besar-besar “Tuhan Membusuk”, dan sederet kalimat lain yang berhubungan dengan tema ospek. Orang-orang meributkannya, web-web berita menulis beritanya, sementara berbagai pro kontra mengiringi. Tema yang semula hanya dimaksudkan untuk internal kampus/fakultas kini berubah menjadi tema yang dibincangkan massa.

Mengapa bocah-bocah di kampus UIN menyatakan Tuhan membusuk? Ketika ditemui wartawan, Rahmat, Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas di sana, menjelaskan, bahwa “Tuhan Membusuk” yang dimaksud dalam tema ospek 2014 yang digelar fakultasnya bukanlah Tuhan (sang Khaliq) sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang, melainkan “tuhan-tuhan” yang tumbuh di dalam diri manusia, yang tanpa sadar menimbulkan kemusyrikan (muysrik mutasyabihat).

Dia menyatakan, “Membaca realitas yang terjadi saat ini, menggunakan fenomologi yang ada, banyak orang mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan politik.”

Ucapan Rahmat ditimpali sohibnya, Hidayat, staf Dewan Mahasiswa, yang menegaskan, “Banyak orang juga kerap mengatasnamakan agama untuk melegalkan kebenaran dalam dirinya sendiri.”

So, frasa “Tuhan membusuk” yang dimaksud bocah-bocah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN adalah “kebenaran-kebenaran yang lahir dalam diri manusia, yang kemudian menjelma sebagai Sang Pengadil”. Berdasarkan konteks itu, mereka tidak bermaksud menghina Tuhan siapa pun, melainkan mengingatkan kita—sesama manusia—bahwa kita bukan Tuhan, dan tidak perlu sok-sokan menjadi Tuhan.

Karenanya pula, untuk menegaskan konteks tersebut, spanduk bertulisan “Tuhan Membusuk” dibakar di akhir acara ospek, sebagai penegasan bahwa “tuhan-tuhan” di dalam diri kita harus hancur, terbakar, lenyap. Pembakaran spanduk berisi tulisan “Tuhan Membusuk” itu juga dimaksudkan sebagai simbol penghancuran atas kebenaran manusia yang menjelma menjadi Tuhan tanpa disadari oleh manusianya sendiri.

Jadi, yang hendak dikritik bukan eksistensi Tuhan, kata Rahmat, melainkan nilai-nilai ketuhanan yang sudah mulai mengalami “pembusukan” dalam diri masyarakat beragama. Dia menyatakan, “Dengan tema ini, kami berharap mahasiswa baru bisa menerapkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.”

Sampai di sini, saya tidak melihat yang dilakukan bocah-bocah UIN itu salah atau sesat. Mereka bermaksud baik, tidak menghina Tuhan siapa pun, bahkan tema yang diangkat adalah bagian introspeksi (muhasabah) sebagai manusia yang menyadari kemahlukannya, yang—meminjam istilah Rhoma Irama—menjadi tempat salah dan lupa. Jika ada manusia yang mau intrsopeksi dan menyadari kemahlukannya, terus terang saya tidak bisa menyalahkan mereka.

Masalah sebagian orang, mungkin, terlalu meributkan teks tanpa memahami konteks. Hanya karena tulisan atau teks sepele, sebagian orang bisa naik darah, marah-marah, lalu mengeluarkan fatwa yang menghalalkan darah orang lain... tanpa terlebih dulu memahami dan mempelajari konteks. Hanya karena teks berbunyi “Tuhan Membusuk”, orang-orang langsung ribut, bahkan ada yang melaporkannya ke Polda, sementara sebagian yang lain merasa dirinya pasti benar dan mahasiswa UIN pasti salah. 

“Tuhan Membusuk” yang tertulis pada spanduk di kampus UIN adalah teks. Sebelum menghakimi teks tersebut, mari kita lihat dan pelajari konteksnya.

Teks itu ada di lingkungan kampus UIN, tepatnya pada acara ospek di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Teks itu tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi masyarakat luas, tapi hanya ditujukan sebagai tema internal antarmahasiswa Ushuluddin dan Filsafat. Dengan kata lain, mahasiswa UIN tidak bermaksud gembar-gembor di depan muka kita bahwa Tuhan telah membusuk. Lebih dari itu, sebagaimana yang dipaparkan di atas, mahasiswa UIN tidak bermaksud menghina apalagi menghujat Tuhan siapa pun. Lihatlah konteksnya.

Jika kemudian kita (masyarakat luas) melihat teks tersebut dan merasa terusik, tidak perlu buru-buru mengafirkan mereka. Karena ada tabayyun, klarifikasi, untuk bersama-sama memahami konteks atas teks yang dipermasalahkan. Tabayyun adalah bicara dengan tenang, bukan ngamuk-ngamuk. Klarifikasi adalah upaya untuk menemukan kebenaran, dan bukan merasa paling benar sendiri. Karena manusia memang kadang salah dan lupa, dan kita tetap makhluk fana.

Siapa pun yang pernah kuliah di Fakultas Filsafat pasti tahu bagaimana “ngerinya” topik-topik yang dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan antarmahasiswa. Frasa “Tuhan membusuk” yang kini diributkan itu, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan topik-topik yang biasa diobrolkan mahasiswa di kelas Filsafat. Tapi topik-topik itu memang hanya dibahas di lingkungan internal sesama mahasiswa Fisafat, dan itu hal biasa dalam lingkungan akademis—suatu pembicaraan dalam koridor ilmiah, tanpa bermaksud menghujat atau menghina.

Jika kita suatu hari tiba-tiba masuk ke kelas Filsafat di kampus mana pun, kemudian melaporkan topik diskusi mereka ke polisi dengan alasan penghujatan, maka saya khawatir semua Fakultas Filsafat di negeri ini akan berurusan dengan polisi. Karenanya, lihatlah konteks sebelum menghakimi teks. Sekali lagi, lihatlah konteks sebelum menghakimi teks.

Kadang-kadang, kita meributkan suatu teks bukan karena teks itu salah atau keliru, tapi lebih karena kondisi kita sendiri. Karena merasa tersindir, misalnya. Ada banyak orang yang merasa tersindir dengan suatu teks atau tulisan, kemudian marah-marah pada si pembuat tulisan tanpa mau melakukan instrospeksi terlebih dulu. Padahal teks yang ditulis itu tidak bermaksud menyindir, tapi kita sendiri yang merasa tersindir.

Ada orang-orang yang suka membawa-bawa nama Tuhan demi kebenaran sendiri, lalu menyerang, menindas, bahkan membunuh dan memerangi orang-orang lain yang dianggap tidak sama dengan mereka. Ada pula yang membawa-bawa nama Tuhan demi kepentingan dan keuntungan pribadi, lalu marah-marah pada siapa pun yang berbeda dengan dirinya. Terlalu banyak orang yang mengklaim Tuhan hanya ada di pihaknya, sama banyaknya dengan orang yang merasa dirinya pasti benar, paling benar, dan benar sendiri.

“Tuhan sudah mati,” kata Friedrich Nietszche.

Dan siapakah yang membunuh Tuhan?

“Kita,” jawab Nietszche.

Kita sendirilah yang telah membunuh Tuhan yang kita agung-agungkan. Kita sendirilah yang membunuh Tuhan dengan perbuatan kita yang merasa selalu benar, paling benar, dan benar sendiri. Tuhan mati, ketika manusia sibuk menjadikan dirinya sebagai Tuhan yang pasti benar. Tuhan mati ketika manusia menganggap dirinya tidak pernah salah. Tuhan mati ketika manusia tidak lagi menyadari kemakhlukannya, kehambaannya, kemanusiaannya.

Tuhan mati... ketika manusia menghidupkan egonya atas klaim angkuh kebenaran.

“Manusia,” kata Rhoma Irama, “adalah tempat salah dan lupa.” Dalam kesadaran semacam itulah seharusnya kita lebih sibuk melakukan instrospeksi untuk terus memperbaiki diri, dan bukannya sibuk mencari-cari kesalahan orang lain sambil merasa paling benar sendiri.

Karena kita bukan Tuhan. Karena kita tidak selalu benar.

Bocah dan Filsuf

Seorang bocah berkata pada seorang filsuf, “Tuan Filsuf, saya mendengar orang-orang menyebut Anda bodoh dan tolol.”

“Itu masalah mereka, Nak,” jawab sang filsuf. “Sebenarnya, aku sendiri pun sering merasa sangat bodoh dan tolol, hingga tak pernah berhenti belajar agar bisa mengurangi kebodohanku, ketololanku. Jadi, kalau ada orang-orang menyebutku bodoh dan tolol, sama sekali bukan masalah bagiku. Oh, well, itu masalah mereka.”

“Tapi, Tuan Filsuf,” lanjut si bocah, “saya juga mendengar orang-orang menyebut Anda sesat.”

“Itu juga masalah mereka, Nak,” sahut sang filsuf. “Sebenarnya, aku sendiri pun sering meragukan segala yang kupikir sebagai kebenaran, hingga aku terus belajar untuk bisa menemukan kebenaran yang sejati. Jadi, kalau ada orang-orang menyebutku sesat, sama sekali bukan masalah bagiku. Oh, well, itu masalah mereka.”

Si bocah mengangguk-anggukkan kepala dengan masygul. Kemudian, dengan naluri seorang bocah, dia bertanya, “Tuan Filsuf, kenapa ada orang-orang yang menuduh orang lain tolol dan sesat?"

“Mungkin karena mereka merasa dirinya paling baik dan paling benar, Nak,” ujar sang filsuf. “Dan aku berdoa kepada Tuhan yang Maha Baik dan Maha Benar, semoga aku dijauhkan dari kecenderungan semacam itu. Karena tidak ada yang lebih mengerikan di dunia ini selain orang-orang yang merasa dirinya paling baik dan paling benar. Oh, well, bahkan uget-uget dan cacing-cacing di comberan pun tidak melakukan hal semacam itu.”

“Jadi, Tuan Filsuf,” ucap si bocah penuh harap, “bagaimana sebaiknya kita menjalani hidup?”

“Jalanilah hidup dengan kesadaran bahwa kita belum tentu yang terbaik apalagi paling benar,” jawab sang filsuf. “Ketika kita telah merasa menjadi yang paling baik, maka kita akan berhenti memperbaiki diri dan berhenti melakukan kebaikan. Ketika kita telah merasa paling benar, maka kita pun berhenti mencari kebenaran sejati, dan menjadi orang yang sangat suka menyalahkan.”

Doa Seorang Pembelajar

Tuhan, tolong jauhkan aku dari orang-orang dangkal yang merasa dirinya paling benar. Lindungi aku dari kebodohan orang-orang tak berakal yang sangat suka menyalahkan.

Tip Mudah Menjadi Bijak

Ketahui sebelum menghakimi.

Pahami sebelum menghakimi.

....
....

Orang yang mengetahui dan memahami tidak menghakimi.

Senin, 01 September 2014

10 Motivator Terbaik Dunia

Terlalu banyak nasihat instan, sama banyaknya
dengan pelajaran dangkal. Di zaman sekarang, pengetahuan
hanya sebatas cahaya kunang-kunang.
@noffret


Tidak sedikit orang yang sinis terhadap motivator ataupun buku-buku motivasi, dan saya memahami alasan atau penyebab kesinisan mereka. Pada saat ini, istilah motivator atau motivasi memang telah menjadi “dangkal” akibat banyaknya orang yang berlomba-lomba menjadi motivator.

Ada banyak “produk” motivasi saat ini yang bisa kita temukan di mana-mana—dari buku, rekaman, sampai baris-baris tweet di timeline. Banyak motivator “dadakan” muncul, sama banyaknya dengan orang-orang yang “mendadak” jadi ustadz hanya karena merasa fasih menyitir hadist dan ayat-ayat suci.

Dulu, seseorang disebut ustadz atau ulama setelah menjalani pendidikan di pesantren bertahun-tahun, mempelajari tumpukan kitab dengan sangat mendalam, mendaras ilmu dari pagi sampai sore, menghabiskan malam-malam tanpa tidur, bermunajat tanpa henti, kemudian terlahir menjadi seorang ahli agama yang mumpuni. Sekarang, nyaris setiap orang bisa menjadi ustadz hanya dengan modal setumpuk hadist, dan gaya ceramah yang menghibur.

Dangkal.

Begitu pula motivator. Dulu, tidak ada orang yang menyebut dirinya “motivator”. Napoleon Hill, David Schwartz, Joseph Murphy, sampai Dale Carnegie—adalah contoh segelintir orang yang telah mempengaruhi berjuta-juta orang di dunia, yang telah memotivasi tak terhitung banyaknya manusia, namun mereka tidak pernah menyebut dirinya motivator. Sebutan itu diberikan orang-orang yang merasa telah termotivasi oleh karya-karya mereka.

Para “motivator” di zaman dulu adalah orang-orang yang telah menjalani hidup dengan sangat keras, melalui proses pembelajaran luar biasa, melewati hari-hari penuh perjuangan, hingga kemudian berhasil mengkristalkan pengalaman dan pemikirannya yang mampu membangkitkan motivasi dan inspirasi orang-orang lainnya. Sekarang, siapa pun bisa menjadi motivator hanya dengan modal kata-kata berbunga, dan teriakan “Semangat!”

Dangkal.

Karena itu pula, saya pun memahami mengapa ada banyak orang yang sinis terhadap motivator dan buku-buku motivasi. Orang-orang yang sinis itu mungkin berpikir bahwa kata-kata yang disemburkan para motivator hanyalah penyemangat sementara, yang kemudian dilupakan para penerimanya. Ironisnya, sering kali kenyataannya memang begitu.

Orang-orang sangat bergairah membaca buku-buku motivasi, atau mendengarkan ceramah para motivator, merasakan semangatnya menyala-nyala, dan setelah itu kembali malas seperti biasa. Itu telah menjadi semacam kisah klise para penggila motivasi. Semangat berkobar dalam waktu sesaat, lalu hilang lagi tanpa bekas. Akibatnya, motivator dan motivasi hanya semacam candu. Ia dicari hanya untuk mengobati sakaw.

Dangkal. 

Sejujurnya, hidup saya telah tertolong oleh buku-buku motivasi yang ditulis orang-orang yang benar-benar tahu arti hidup. Bahkan, saya merasa berutang budi atas buku-buku dan pemikiran-pemikiran mereka yang telah membentuk pikiran dan mengubah hidup saya. Beberapa orang hebat yang telah berperan dalam hidup saya di antaranya adalah David J. Schwartz, Napoleon Hill, Dale Carnegie, dan Norman Vincent Peale.

Mereka adalah para motivator dalam arti sebenarnya—orang-orang yang mampu memotivasi dan menginspirasi orang lainnya bukan sekadar dengan kata-kata, tetapi juga dengan latar belakang dan pengalaman hidupnya sendiri. Mereka bukan orang-orang yang hanya pintar berteori dalam memberikan motivasi, tetapi benar-benar telah menjalani hidup luar biasa, yang kemudian membentuk pikiran serta cara pandang dalam menatap kehidupan dan manusia.

David J. Schwartz, misalnya, terlahir sebagai anak miskin. Pada usia belia, dia harus bekerja keras sebagai loper koran. Ketika beranjak dewasa, dia menjadi sales yang menawarkan barang secara door to door. Masyarakatnya, bahkan orangtuanya sendiri, meramalkan masa depannya suram. Tetapi orang ini kemudian berhasil memimpin perusahaan beromset multi-miliar dollar, dan The Magic of Thinking Big, buku yang ditulisnya, telah mengubah pikiran serta kehidupan berjuta-juta orang di dunia, termasuk saya.

Selain David J. Schwartz, Napoleon Hill juga motivator yang luar biasa. Dia hidup sezaman dengan Thomas Alva Edison, Andrew Carnegie, hingga Henry Ford. Sepanjang hidupnya, Napoleon Hill mewawancarai dan mempelajari kehidupan orang-orang hebat itu, untuk menemukan penyebab mereka bisa menjadi hebat. Itu studi paling mengagumkan yang pernah terjadi di planet ini—ketika orang-orang paling luar biasa di satu zaman membagikan rahasia-rahasia mereka.

Setelah bertahun-tahun mempelajari kehidupan orang-orang hebat dan istimewa itu, Napoleon Hill kemudian menuliskannya dalam buku yang juga luar biasa, berjudul Think and Grow Rich. Itu juga salah satu buku yang telah mengubah total pikiran serta kehidupan saya. Buku itu ditulis dengan dalam, penuh wawasan, didasarkan pada pengalaman nyata, dan bukan sekadar tumpukan kata berbunga-bunga. Hasilnya, Think and Grow Rich menjadi karya abadi yang telah mempengaruhi kehidupan berjuta-juta orang, bahkan hingga hari ini.

Lalu ada pula Dale Carnegie. Oh, well, orang ini benar-benar seorang guru! Kalian akan paham maksud saya jika telah membaca buku-bukunya. Selain Dale Carnegie, ada Norman Vincent Peale. Dia adalah pendeta yang tidak hanya hebat di mimbar gereja, tapi juga di kehidupan nyata. Meski menyandarkan pemikiran-pemikirannya pada ajaran Alkitab, Norman Vincent Peale tidak hanya membuka hati umat Kristiani, tetapi juga membuka mata pikiran berjuta-juta orang di dunia, lintas keyakinan, lintas agama.

Selain mereka, ada pula Anthony Robbins. Dia penasihat beberapa presiden Amerika, atlet, hingga artis Hollywood. Kalau dia menulis, kita akan tercengang, kadang-kadang tak percaya, dan bertahun-tahun kemudian kita baru menyadari kebenaran tulisannya. Setelah Anthony Robbins, ada Stephen R. Covey, yang telah dianggap sebagai guru internasional, yang karya-karyanya menjadi pegangan jutaan orang.

Joseph Murphy mungkin tidak terlalu terkenal. Tapi dia adalah master dalam bidang pikiran. Melalui karya-karyanya, kita akan melihat betapa mempesona dan kuatnya pengaruh pikiran manusia. Lalu ada pula James Allen yang buku-bukunya telah menjadi karya klasik, serta menjadi rujukan para pakar pengembangan diri. Terakhir, ada Andrew Mattews, yang selalu bisa menjelaskan hal-hal berat dengan cara jenaka, sehingga bukunya menjadi bacaan yang mendidik serta menghibur.

Selama bertahun-tahun, saya telah membaca tak terhitung banyaknya buku motivasi, dari yang paling hebat sampai yang paling buruk, yang ditulis orang Amerika sampai orang India. Dan, berdasarkan buku-buku yang telah saya baca, berikut inilah orang-orang yang saya anggap 10 motivator terbaik dunia, yang karya-karyanya layak dibaca dan dipelajari, karena merekalah para motivator dalam arti sesungguhnya.
  1. David J. Schwartz
  2. Dale Carnegie
  3. Napoleon Hill
  4. Norman Vincent Peale
  5. Anthony Robbins
  6. Stephen R. Covey
  7. Andrew Mattews
  8. Joseph Murphy
  9. James Allen

Well... mungkin kalian heran mendapati daftar di atas hanya ada sembilan. Memang, karena motivator satunya lagi adalah diri kita sendiri.

Tak peduli berapa banyak buku motivasi yang kita baca, tak peduli berapa banyak seminar motivasi yang kita kunjungi, tak peduli berapa banyak motivator yang kita follow di Twitter, diri kita sendirilah yang tetap memegang keputusan—untuk berubah menjadi pemenang, atau tetap bertahan sebagai pecundang.

Manusia adalah apa yang ada di pikirannya. Pikirannya adalah apa yang dibacanya. Yang dibacanya adalah apa yang dikenalnya. Yang dikenalnya akan membentuk kehidupannya.

Karena itu, kenalilah para guru sejati, yang mungkin tidak pernah koar-koar, tidak pula terkenal, tapi layak diikuti. Dan, lebih dari itu, kenalilah diri sendiri. Di kedalaman diri kita yang mungkin belum pernah kita sadari, kita akan menemukan sesosok luar biasa yang suatu hari akan kita kenali. Dan, ketika itu terjadi, kita pun akan menyadari siapa sesungguhnya motivator sejati.

Cerita Pendek yang Pendek Sekali

Aku hidup. Padahal tidak.

Tamat.

Leret Langit

Seorang bocah bertampang sedih menemui filsuf bijaksana, dan berkata, “Tuan Filsuf, maukah Tuan menolong saya?”

Melihat penampilan si bocah yang tampak putus asa, sang filsuf menjawab dengan suara menenteramkan, “Apa yang bisa kutolong, Nak?”

“Seorang perempuan menolak cinta saya,” ujar si bocah menceritakan. “Saya sangat sedih, karena sangat mencintainya. Apa yang seharusnya saya lakukan?”

“Yang perlu kaulakukan, Nak,” jawab sang filsuf bijaksana, “adalah mengubah cara berpikirmu.”

Noffret’s Note: Fun With Books

Bagiku, setiap hari adalah hari buku.
Selamat hari buku. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Membaca buku adalah perbedaan penting
antara manusia dan bukan manusia. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Buku adalah bukti bahwa manusia bisa
menciptakan keajaiban. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Buku adalah teman terbaik, guru bijaksana,
kekasih yang tak pernah cemburu. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Membakar buku adalah kejahatan. Sama jahatnya
dengan tidak membaca buku. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Cara mudah mengobati galau, patah hati, dan kesedihan:
Ambil sebuah buku, dan bacalah. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Percaya atau tidak, obat galau terbaik
adalah membaca buku. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Sejujurnya, aku tak terlalu peduli pada dunia.
Selama aku bisa membaca buku,
kupikir dunia baik-baik saja. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Membaca buku tidak perlu banyak teori.
Yang perlu kita lakukan cuma memilih satu buku,
lalu membacanya sampai selesai. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Surgaku sangat sederhana. Cuma tempat yang hening,
sepoci teh hangat, dan sebuah buku. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014

Ada yang lebih baik dari membaca buku.
Yaitu membaca buku bersama mbakyu. #FunWithBooks
—Twitter, 23 April 2014
  

*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
 
;