Orang bisa menjadikan dirinya kecanduan twitter,
fesbuk, atau jamu tolak angin. Ia bisa juga
menjadikan dirinya kecanduan menulis.
—@aslaksana
fesbuk, atau jamu tolak angin. Ia bisa juga
menjadikan dirinya kecanduan menulis.
—@aslaksana
Orang-orang yang bukan penulis, atau para penulis yang masih pemula, sering kali heran campur takjub ketika menyaksikan para penulis profesional bisa menulis dalam jumlah luar biasa. Para penulis produktif itu menulis banyak buku, dari yang cukup tipis sampai yang sangat tebal, sementara tulisan-tulisan lepas mereka terus muncul di berbagai media.
Remy Sylado, misalnya, adalah salah satu penulis produktif Indonesia. Dia menulis banyak buku, fiksi maupun nonfiksi, sementara tulisan-tulisan lepasnya tersebar di mana-mana. Seno Gumira Ajidarma dan Arswendo Atmowiloto juga sangat produktif, dan tulisan mereka terus mengalir, sejak zaman saya masih anak-anak sampai dewasa sekarang. Begitu pula Emha Ainun Nadjib yang tulisan-tulisannya nyaris tak bisa dihitung lagi karena begitu banyaknya.
Di luar para “dewa” itu, di Indonesia masih banyak penulis lain yang juga luar biasa produktif—mereka menerbitkan banyak buku, menulis di berbagai media, dan tulisannya nyaris tak pernah berhenti. Bagaimana orang-orang itu bisa menulis sebegitu banyak? Bagaimana mereka bisa terus menulis seolah tanpa henti?
Orang-orang awam (yang bukan penulis) kadang mengira atau bahkan menuduh mereka yang sangat produktif itu melibatkan tim penulis. Sebenarnya itu tuduhan lucu, kalau tak mau disebut konyol. Seno Gumira Ajidarma tidak akan mau mempertaruhkan kualitas karyanya dengan melibatkan orang lain sebagai tim penulisnya. Begitu pula Arswendo Atmowiloto, Emha Ainun Nadjib, Remy Sylado, atau yang lain. Bagi orang-orang semacam itu, melibatkan orang lain sebagai tim penulis justru sangat riskan, karena sama artinya mempertaruhkan reputasi dan kualitas karya mereka di tangan orang yang belum tentu “sekaliber” mereka.
Kenyataannya, para penulis yang luar biasa produktif—sejauh yang saya tahu—benar-benar menulis karya mereka sendiri. Jangankan melibatkan tim penulis, orang-orang super produktif semacam itu bahkan sering tidak bisa menulis jika ada orang lain. Artinya, mereka menulis dalam kesunyian, kekhusyukan, kesendirian, dan benar-benar membaktikan hidupnya untuk menulis. Hasilnya, karya mereka pun sangat banyak—jauh lebih banyak dibanding orang lain.
Jadi, bagaimana orang-orang itu bisa menulis begitu banyak? Bagaimana cara para penulis produktif bisa melahirkan tulisan dalam jumlah luar biasa? Akhirnya, bagaimana resep agar bisa produktif menulis seperti orang-orang itu?
Jika kita perhatikan, semua penulis produktif memiliki satu hal yang sama. Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Arswendo Atmowiloto, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohamad, A.S. Laksana, Gola Gong, sampai Hilman Hariwijaya, dan penulis-penulis produktif lainnya, memiliki satu hal yang sama, yang kadang tidak kita pikirkan. Yaitu Cinta.
Mereka mencintai menulis!
Bukan sekadar cinta, tapi benar-benar Cinta.
Karena mereka benar-benar mencintai aktivitas menulis, mereka pun memiliki daya dan energi luar biasa untuk melakukan “keajaiban”, yang salah satunya melahirkan tulisan dalam jumlah luar biasa. Cinta—itulah unsur penting yang membedakan para maestro dengan medioker, yang memungkinkan orang-orang biasa menjadi para “pekerja mukjizat” hingga bisa melahirkan karya berskala raksasa. Cintalah yang menggerakkan mereka hingga sangat produktif, Cinta pula yang menggerakkan mereka terus menulis tanpa henti.
Cintalah yang menggerakkan Seno Gumira Ajidarma bisa sangat produktif, meski punya banyak kesibukan lain, dari menjadi dosen sampai fotografer. Cintalah yang menggerakkan Remy Sylado terus menulis bertahun-tahun, dalam beragam topik dan tema, meski tubuhnya terus digerogoti usia. Cintalah yang menggerakkan Gola Gong mampu menulis dalam jumlah sangat banyak, meski dia hanya punya satu tangan. Cintalah yang menggerakkan Hilman Hariwijaya aktif menulis sejak remaja, ketika teman-teman sebayanya masih asyik hura-hura. Cinta pulalah yang menggerakkan para penulis produktif lainnya hingga mampu melahirkan tulisan dalam jumlah luar biasa.
Karenanya pula, syarat mutlak untuk bisa produktif menulis adalah mencintai menulis! Tanpa mencintai aktivitas yang kita lakukan, kita tidak akan bisa produktif dalam apa pun yang kita lakukan. Begitu pula dengan menulis. Untuk bisa produktif, syarat pertama dan terutama adalah Cinta.
Orang bisa main PS atau games di komputer sehari semalam tanpa henti, karena cinta! Orang juga bisa membaca buku dari pagi sampai pagi lagi, sama karena cinta! Karena mereka menikmati yang mereka lakukan, mereka pun asyik melakukannya, dan ingin terus melakukannya. Begitu pula Remy Sylado, Arswendo Atmowiloto, atau penulis produktif lainnya. Mereka mencintai yang dilakukannya. Karena mereka mencintai yang dilakukannya, mereka pun terus asyik melakukannya.
Jadi, kalau kita kebetulan termasuk penulis yang tidak atau belum produktif, kita perlu introspeksi dan mengoreksi diri. Apakah kita sekadar ingin menjadi penulis, atau memang benar-benar mencintai aktivitas menulis?
Jangan salah. Ada banyak orang yang sadar dirinya ingin menjadi penulis, tapi tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak mencintai aktivitas menulis. Kebanyakan, orang-orang semacam itu hanya membayangkan dirinya akan terkenal seperti para penulis lain, atau mendapatkan banyak uang setelah menjadi penulis, karenanya mereka ingin jadi penulis. Akibatnya, mereka sadar ingin menjadi penulis, tetapi tidak sadar kalau mereka belum tentu mencintai menulis.
Itu tak jauh beda dengan cowok-cowok yang mengagumi perut rata, membayangkan dirinya punya perut rata, lalu mau pamer foto selfie dengan telanjang dada, dikagumi cewek-cewek... tapi tidak mau pergi ke gym. Tak peduli sebanyak apa pun dia mengkhayalkan punya perut rata, sampai kapan pun perutnya tidak akan rata! Untuk bisa memiliki perut rata seperti dambaannya, dia harus pergi ke gym, melakukan semua latihan yang diintruksikan secara disiplin, dan mencintai semua yang ia lakukan di sana, dan tidak berhenti melakukan latihan sampai perutnya rata!
Dalam konteks menulis, ada banyak orang bermimpi menjadi penulis, tapi cita-citanya tidak pernah kesampaian. Sering kali, kalau kita mau jujur pada diri sendiri, masalahnya bukan pada bakat, bukan pada kesempatan, juga bukan pada hal lain. Tapi karena kurangnya cinta.
Cobalah duduk diam dengan tenang, dan tanyakan pada diri sendiri. Apa yang paling kita cintai di dunia ini? Kegiatan apa yang paling kita nikmati saat melakukannya? Pekerjaan atau aktivitas apa yang paling kita sukai dalam hidup, hingga kita merasa tidak ingin berhenti melakukannya?
Jika satu saja dari tiga pertanyaan itu memiliki jawaban “menulis”, kita punya harapan untuk menjadi penulis. Jika tiga pertanyaan di atas memiliki jawaban sama, yaitu “menulis”, maka kemungkinan besar kita saat ini telah menjadi penulis, atau punya kemungkinan besar untuk produktif menulis. Tetapi, jika jawaban untuk tiga pertanyaan tadi bukan “menulis”, sepertinya kita perlu memikirkan ulang keinginan kita. Karena memaksakan diri untuk menulis—apalagi menjadi penulis produktif—sementara kita tidak mencintainya, itu sama saja merusak diri sendiri.
Henry Ford tidak akan bisa menjadi pembuat mobil kalau dia tidak mencintai mesin dan onderdil. Bill Gates tidak akan bisa menciptakan Windows jika dia tidak mencintai komputer dan perangkat lunak. Pablo Picasso tidak akan bisa melukis dengan indah kalau dia tidak mencintai cat dan sentuhan kuas. Begitu pula para penulis tidak akan bisa menulis dengan baik apalagi produktif, jika tidak mencintai aktivitas menulis. Syarat mutlak untuk setiap pekerjaan yang berhasil adalah Cinta.
Orang memang bisa melukis tanpa mencintai pekerjaannya, tapi lukisannya akan menyedihkan. Orang memang bisa menyanyi tanpa mencintai nyanyiannya, tapi lagunya akan terdengar sumbang. Begitu pula, kita bisa menulis tanpa mencintai aktivitas menulis, tapi tentu kita tidak bisa menyebut diri sebagai penulis.
“Penulis” bukan jabatan—itu predikat yang diberikan kepada orang yang mencintai menulis. Karenanya, tidak semua orang yang menulis pasti penulis, sebagaimana tidak semua orang yang melukis pasti pelukis, dan tidak semua orang yang menyanyi pasti penyanyi. Dalam hal itu, kadang ada sebutan pemula dan profesional, ada yang mengagumkan dan ada yang biasa. Selain pengalaman, sering kali yang menjadi pembeda adalah Cinta.
Semua orang mengagumkan berawal dari orang biasa, sebagaimana para profesional juga berawal sebagai pemula. Pengalaman dan jam terbang akan mengantarkan para pemula menjadi profesional, sementara Cinta akan mengubah orang biasa menjadi sosok mengagumkan. Dalam hal menulis, semua penulis hebat dan produktif adalah mereka yang mencintai—benar-benar mencintai—pekerjaannya. Cinta terhadap pekerjaan adalah syarat mutlak untuk bisa melakukan pekerjaan dengan baik, bahkan mengagumkan.
Jadi, syarat pertama untuk bisa produktif menulis adalah Cinta. Setelah kita benar-benar mencintai aktivitas menulis, kita bisa melangkah ke syarat berikutnya... yang akan kita pelajari di catatan mendatang.