Rabu, 25 April 2012

Godaan Malam Minggu

Malam Minggu adalah kesempatan sempurna
untuk membiarkan Sunyi menari.
@noffret


Saya bete tiap kali malam Minggu datang. Bukan, bukan karena jomblo dan kemudian bete di malam Minggu karena tidak punya pacar. Yang membuat saya bete adalah karena malam Minggu menghambat aktivitas rutin yang biasa saya jalani.

Setiap malam, saya pasti keluar rumah untuk mencari makan. Dalam hal itu, saya sering harus melewati Simpang Lima. Di malam-malam biasa, kawasan itu tidak terlalu ramai—wajar-wajar saja. Tetapi, di malam Minggu, hampir dapat dipastikan ada segerombolan remaja yang ngetem di sana—entah untuk kebut-kebutan, atau untuk hal lain. Efeknya, jalanan di sekitar itu sering kali macet.

Tapi yang macet bukan hanya kawasan sekitar Simpang Lima. Dari tempat itu hingga sampai di tempat tujuan, biasanya saya terus-menerus terjebak macet karena beratus-ratus pasangan memenuhi jalanan untuk malam mingguan. Sering kali saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa ya mereka harus kencan di malam Minggu? Kenapa tidak memilih malam lain saja biar tidak menimbulkan kemacetan di jalan?

Itu bukan hal menyenangkan bagi saya. Pertama, saya benci macet. (Ketika menulis catatan ini, saya memaklumi kalau mayoritas orang Jakarta rentan stres, karena macet memang bikin stres). Kedua, waktu saya terbuang percuma. Kalau biasanya saya hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di tempat tujuan, maka macet menjadikan saya butuh waktu hingga beberapa jam.

Dan kenyataan menjengkelkan itu harus saya alami seminggu sekali, setiap malam Minggu. Akhirnya, karena dongkol setiap kali keluar malam Minggu terjebak macet yang bikin bete, saya pun pernah memutuskan untuk tidak akan keluar rumah setiap kali malam Minggu. Untuk memenuhi kebutuhan makan, saya beli nasi goreng yang biasa lewat di depan rumah.

Semula, solusi itu terasa bagus dan praktis. Ngapain capek dan bete terjebak macet, tanpa harus keluar rumah pun saya bisa makan. Maka hal itu pun berlangsung cukup lama. Tiap malam Minggu datang, saya akan tenang di rumah, dan bisa menikmati makan malam dengan hati senang. Tetapi, lama-lama, saya mulai bosan nasi goreng. Ini masalah lagi, karena—selain penjual nasi goreng—tidak ada penjual nasi lain yang lewat di depan rumah.

Semakin lama ditahan, saya juga semakin bete tiap kali harus makan nasi goreng. Akhirnya, mau tidak mau, saya harus keluar rumah lagi untuk makan malam, termasuk malam Minggu. Dan, yeah, terjebak macet lagi. Macet, kau tahu, adalah godaan sempurna untuk misuh-misuh.

Tapi macet di jalanan, sebenarnya, hanyalah godaan awal yang menguji iman saya. Begitu sampai di kafe langganan tempat saya makan, ada godaan yang jauh lebih parah.

Di malam-malam biasa, kafe ini tidak terlalu ramai—pengunjungnya sesuai kapasitas, bahkan sering kali masih ada kursi yang kosong. Tapi di malam Minggu, jumlah pengunjungnya membludak. Sebagian besar adalah mereka yang sedang kencan, sementara yang lain adalah para lajang yang memang ingin menikmati akhir pekan. Saya tidak termasuk kedua-duanya, karena saya hanya cowok biasa yang memang sedang kelaparan.

Nah, ramainya pengunjung kafe semacam itu juga menjadi godaan bagi saya. Pertama, mau tak mau saya harus melihat pasangan-pasangan romantis yang sedang berpegangan tangan. Oke, mungkin mereka norak. Ngapain juga megang tangan pacar harus di kafe? Tapi tak peduli norak atau tidak, saya harus mengakui kalau hal itu menggoda saya untuk… yeah, ingin memegang tangan seseorang.

Dan tentu saja saya tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang sama-sama cowok, karena saya bukan homo. Saya pun tentu tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang cewek, karena pasti akan dianggap kurang ajar atau dituduh melakukan pelecehan. Jadi, biasanya, saya akan makan di sana sambil merasakan hati yang panas dingin.

Tapi godaan yang mengaduk-aduk hati saya bukan hanya pasangan yang sedang berpegangan tangan. Seperti yang dibilang di atas, pengunjung kafe selalu padat tiap kali malam Minggu. Dan biasanya lebih “atraktif”. Sambil makan, mata saya akan tergoda saat melihat cewek-cewek seksi memakai kaus ketat yang kebetulan lewat. Atau yang memakai rok mini sedemikian mini, dan melangkah gemulai di dekat saya. Seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa melakukannya.

Pernah, di suatu malam Minggu, sekelompok cewek duduk tepat di depan saya. Rata-rata mereka memakai kaus ketat. Selama makan, saya nyaris tidak menikmati makanan di mulut karena pemandangan di depan mata benar-benar menggoda. Entah cewek-cewek itu sadar atau tidak, bagian belakang kaus mereka tersingkap sehingga memamerkan punggung yang rata-rata putih mulus.

Dan saya duduk tepat di belakang mereka. (Terpujilah pelayan kafe yang menempatkan saya di sana!).

Tapi yang membuat mata saya tergoda bukan hanya punggung yang mulus. Karena, entah cewek-cewek itu sengaja atau tidak, tersingkapnya kaus itu juga sekaligus memamerkan celana dalam mereka. Silakan bilang saya norak. Tapi saya cowok biasa. Dan menyaksikan celana dalam yang mengintip keluar dari belakang kaus yang tersingkap benar-benar menggoda mata cowok biasa seperti saya.

Yang membuat saya deg-degan, beberapa celana dalam yang terlihat itu bukan celana dalam biasa. Setelah saya perhatikan agak lama, ternyata beberapa cewek itu memakai g-string! Omigod, kehebatan imajinasi manusia memang luar biasa. Hanya menyaksikan g-string saja, pikiran saya langsung mengembara ke mana-mana. Ya, ya, seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa melakukannya.

Di malam Minggu yang lain, kebetulan saya duduk berdekatan dengan lima orang cowok. Mereka terlihat ngobrol dengan seru. Hampir dapat dipastikan, obrolan itu lama-lama akan sampai pada topik cewek, dan dugaan saya memang benar. Dari tempat duduk, saya dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Dan saya terus menyimaknya, sambil menikmati rokok.

“Cewek yang asyik buat dijadiin pacar,” kata cowok pertama, “adalah cewek cantik yang bitchy.”

Cowok kedua menyahut, “Cantik dan bitchy tapi otaknya kosong juga ngebosenin.”

“Kalau gitu, yang cantik, bitchy, sekaligus cerdas,” ujar cowok ketiga.

“Tapi kayaknya sulit ya, nyari yang gitu?” tanya cowok keempat.

“Iya,” jawab cowok kedua. “Soalnya cewek yang kayak gitu biasanya udah punya pacar.”

“Kalau kita perhatiin,” ujar cowok ketiga, “rata-rata cewek teman kita yang udah punya pacar emang punya kombinasi itu—cantik dan bitchy, atau cerdas dan bitchy.”

“Kenapa ya, cowok-cowok sepertinya suka cewek yang kayak gitu?” tanya cowok pertama.

“Kayak gitu gimana?”

“Ya gitu, yang bitchy.”

Cowok keempat tertawa, “Tanyain aja pada diri sendiri, kenapa kita juga suka yang kayak gitu?”

Kemudian, cowok kelima yang dari tadi diam saja, berkata perlahan-lahan, “Tapi aku nggak suka cewek yang kayak gitu, kok.”

Teman-temannya memandang ke arah cowok kelima. “Trus, kamu sukanya yang gimana?” tanya cowok kedua.

Cowok kelima menjawab yakin, “Aku sukanya yang cantik, pintar, dan salihah.”

“Wow…!” seru teman-temannya.

“Tapi yang ada nakal-nakalnya dikit,” lanjut cowok kelima.

Teman-temannya ngakak berjamaah. Cowok kelima terlihat salah tingkah, karena merasa ditertawakan. Kemudian, dia menoleh ke arah saya, dan memergoki saya sedang mendengarkan percakapan mereka. Mungkin, untuk mencari dukungan, cowok itu kemudian menatap saya dan berkata, “Bener nggak, Bang?”

Mau tak mau saya harus menjawab, dan saya menunjukkan jempol sambil tersenyum sebagai tanda dukungan untuknya. Cantik, pintar, dan salihah—tapi ada nakal-nakalnya dikit. Well, sepertinya itu potret calon pacar yang ideal, batin saya. Ya, mungkin tipe cewek yang lembut dan alim, tapi mengenakan g-string.

....
....

Malam itu, ketika saya merayap melewati jalanan yang macet untuk pulang, angan saya menari. Hidup mungkin akan lebih indah jika malam Minggu dapat saya nikmati dengan seseorang yang disebutkan cowok kelima di kafe tadi. Tetapi, sesampai di rumah, ketika mendapati kesunyian kembali melingkupi, saya pun tahu hati saya ada di sini.

Hari Gini Masih Pakai Rayuan Model Gini?

“Neng, bapak kamu hantu, ya?”

“Hah…?”

“Soalnya kamu terus-menerus menghantuiku.”

Apa hubungannya, coba…???

....
....

“Bang, ibu kamu sundel bolong, ya?”

“Kok bisa…?”

“Iya, soalnya kamu telah membolongi hatiku.”

Einstein akan semaput kalau mendengarnya.

Rabu, 18 April 2012

Sang Mistikus

Qui Legent hos versus, mature censunto.
Prophanum Vulgus and inscium ne attrectato.
Omnesque… Blenni, barbari Procul Sunto.
Qui aliter faxit, is rite sacer esto.
Nostradamus, Kwatrain IV

Sidining kalabendu,
saya ndadra ardaning tyas limut,
ora kena sinirep limpading budi,
lamun durung mangsanipun,
malah sumuking angradon.
Ronggowarsito, Serat Sabdatama

Sebebas camar kau berteriak,
serta bahtera yang menembus badai.
Seikhlas karang menunggu ombak,
seperti lautan engkau bersikap.
Iwan Fals, Sang Petualang


Mereka menyebutnya sang Mistikus—sosok lelaki yang menjalani hidupnya seorang diri di rumahnya yang sunyi—orang yang nyaris tak pernah terdengar suaranya, apalagi terlihat wajah dan sosoknya. Tetapi orang-orang di sana tahu lelaki itu hidup, meski mereka tak pernah yakin bagaimana cara lelaki itu hidup.

Sang Mistikus tidak pernah terlihat keluar rumah untuk bekerja sebagaimana masyarakat di sekitarnya. Dia hanya menjalani hidupnya di dalam rumah dan sekitar halamannya, dan orang-orang kadang sempat menyaksikannya sedang bersenandung di bawah pohon, seiring nyanyian burung-burung.

Mereka menyebutnya sang Mistikus—manusia aneh yang tidak pernah bersentuhan dengan masyarakatnya, tetapi juga tak pernah mengganggu satu pun manusia. Beberapa orang yang hidup di daerah itu berani bersumpah pernah melihat sang Mistikus tersenyum sendiri, atau tertawa sendiri, atau bicara sendiri, seperti orang gila. Tetapi mereka juga tak pernah yakin apakah orang aneh itu memang gila, ataukah hanya setengah gila.

Yang jelas, lelaki itu aneh—dan karena itulah mereka menyebutnya sang Mistikus, karena mereka bahkan tidak pernah tahu siapa namanya. Mereka berpikir, sebutan itu sepertinya cocok untuk lelaki itu, dan entah bagaimana caranya, sebutan itu terkenal di daerah mereka.

Suatu hari, sebuah pesta perkawinan diadakan di pemukiman itu, dan beberapa penduduk di sana berinisiatif mengundang sang Mistikus.

“Mungkin, dengan adanya pesta perkawinan ini, dia akan mau bergabung dengan kita,” ujar sang Ketua Masyarakat di sana.

Jadi, beberapa lelaki kemudian pergi ke rumah sang Mistikus, membawa selembar undangan dari sang pemilik pesta. Mereka memasuki halaman rumah sang Mistikus, dan tiba-tiba merasakan kedamaian sunyi yang belum pernah mereka rasakan.

Sambil memberanikan diri, seorang dari mereka mengetuk pintu rumah sang Mistikus, dan pintu segera terbuka. Lelaki itu—sang Mistikus—menyambut mereka dengan wajah datar. Dan orang-orang yang datang ke sana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka memperhatikan wajah lelaki misterius itu, agar setidaknya mereka dapat bercerita pada tetangga dan kawan-kawannya, bahwa mereka pernah melihat rupa sang Mistikus.

Seorang dari mereka kemudian mengangsurkan undangan pesta perkawinan, dan berkata dengan sopan, “Tuan, kami ke sini untuk mengundang Tuan ke acara pesta yang diadakan di rumah warga kami. Jika Tuan berkenan, ini undangannya.”

Sang Mistikus menerima kartu undangan itu, tetapi tidak melihatnya. Ia hanya bertanya dengan datar, “Pesta apa?”

“Pesta perkawinan, Tuan. Ada warga kami yang menikahkan putra-putrinya, dan malam ini diadakan pesta untuk mereka. Kami akan gembira jika Tuan berkenan menghadiri pesta itu.”

Mata sang Mistikus meredup, dan dengan tangan gemetar dia menyerahkan kembali kartu undangan itu. “Maafkan aku,” katanya lirih. “Aku tidak bisa menerima undangan ini. Sampaikan pada sepasang mempelai yang menikah malam ini, aku turut berduka untuk mereka.”

Orang-orang yang membawa undangan itu kebingungan—dan merasa salah dengar.

“Tuan…” seorang dari mereka mencoba bicara.

Tapi sang Mistikus mengangkat tangannya. “Pulanglah.” Setelah itu ia berkata dengan suara yang tertahan, “Aku berduka untuk mereka. Aku berduka untuk mereka…”

....
....

Empat bulan kemudian, seorang lelaki di pemukiman itu meninggal dunia. Anak sulung lelaki itu ingin pemakaman ayahnya dihadiri sang Mistikus, tetapi ia tidak yakin sang Mistikus mau menghadiri pemakaman ayahnya. Karenanya, dia pun meminta seorang tetangganya untuk pergi menemui sang Mistikus, dengan harapan sang Mistikus memenuhi permintaannya.

Si tetangga memahami keinginan si Putra Sulung. Maka ia pun pergi ke rumah sang Mistikus bersama dua temannya. Ia sendiri ingin tahu seperti apa nanti reaksi sang Mistikus ketika mendengar berita kematian. Kabar tentang pernyataannya yang aneh empat bulan lalu ketika diberi undangan perkawinan telah menyebar, dan membuat orang-orang kebingungan. Karenanya, kali ini ia ingin tahu apa yang akan dikatakan sang Mistikus terhadap kematian.

Pagi itu sang Mistikus sedang berdiri di bawah pohon di halaman rumahnya, dan dia menyambut kedatangan tiga lelaki itu.

“Tuan,” ucap salah satu dari mereka, “saya ke sini untuk mengabarkan berita kematian salah satu warga kami. Putra sulung almarhum mengharapkan Tuan ikut mengantarkan jenazah ayahnya, dan kami semua akan mengiringi jika Tuan berkenan mengabulkan permintaan putra almarhum.”

Sang Mistikus tersenyum—sesungging senyuman penuh kasih, seperti senyum seorang ayah ketika mendengar anaknya mendapatkan penghargaan. Kelak, tiga orang lelaki itu berani bersumpah bahwa senyum sang Mistikus pagi itu adalah senyum paling bersinar yang pernah mereka saksikan.

“Tentu saja aku akan datang,” ujar sang Mistikus dengan lembut. “Ketika salah satu dari kita menerima pembebasan atas belenggunya, kita patut bersuka cita untuknya. Berbahagialah untuk almarhum. Berbahagialah untuk jiwa yang terbebaskan.”

Jadi begitulah. Dengan wajah kebingungan, ketiga lelaki itu mengiringi langkah sang Mistikus menuju rumah duka. Warga yang berkumpul di sana seketika terdiam ketika menyaksikan siapa yang datang—dan tiba-tiba duka kematian seperti terangkat ke langit, batas antara hidup dan mati seperti hanya pergantian malam dan pagi.

Sang Mistikus ikut mengantarkan jenazah sampai ke kuburnya. Ketika si jenazah dimasukkan ke liang kubur, sang Mistikus menepuk bahu putra si almarhum, dan berbisik dengan senyum penuh kasih, “Berbahagialah untuk ayahmu.”

....
....

Empat belas bulan setelah kejadian itu, beberapa orang kembali ke rumah sang Mistikus. Kali ini mereka ingin mengabarkan berita tentang kelahiran seorang bayi dari salah satu warga mereka.

“Tuan,” kata mereka pada sang Mistikus. “Apakah Tuan masih ingat undangan perkawinan yang pernah dibawa warga kami untuk Tuan sekitar setahun lalu?”

“Ya,” sahut sang Mistikus.

“Nah, kami ingin mengabarkan, pasangan tersebut sekarang telah dikaruniai seorang putra.”

Tiba-tiba sang Mistikus membeku. Bibirnya bergetar. Dan dengan suara tawa bercampur tangis, dia berkata, “Bunga yang tumbuh di antara badai… Semoga ia mekar di tengah gurun pasir kematian, semoga ia mekar… semoga ia tetap mekar… semoga ia hidup dan mekar….”

Pinjam Cintamu, Mbakyu

Pinjam tanganmu, Mbakyu, pinjami tanganmu
Agar bisa kusentuh dunia dengan kelembutanmu

Pinjam kakimu, Mbakyu, pinjami kakimu
Agar bisa kutapak luasnya jejak langkahmu

Pinjam matamu, Mbakyu, pinjami matamu
Agar kupandang hidup dengan kejernihanmu

Pinjam bibirmu, Mbakyu, pinjami bibirmu
Agar aku bisa berbincang dengan diriku

Pinjam senyummu, Mbakyu, pinjami senyummu
Agar bisa kubagikan bahagia untuk sesamaku

Pinjam suaramu, Mbakyu, pinjami suaramu
Agar dapat kusuarakan hati semerdu nada lagu

Pinjam hatimu, Mbakyu, pinjami hatimu
Agar aku bisa menghayati cinta sepertimu

Pinjam cintamu, Mbakyu, pinjami cintamu
Agar dapat kutemukan rahasia di diriku

Selasa, 17 April 2012

Denting

Pedekatein aku, Mbakyu, pedekatein aku…!

Kamis, 12 April 2012

Ngobrol dengan Tikus (3)

Post ini berhubungan dengan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Saya bangkit dan menuju ke gelas yang ada di atas meja, meminumnya sejenak, lalu kembali ke tempat kurungan tikus tadi, dan duduk di dekatnya.

“Selama berpuluh-puluh malam,” saya memulai, “ada berpuluh-puluh tikus yang telah terjebak dalam kurungan yang sekarang mengurungmu. Kau telah mengaku tadi, bahwa kau mengenal mereka. Artinya, bisa jadi suatu malam kau jalan-jalan bersama salah satu di antara mereka, lalu temanmu terjebak masuk dalam kurungan itu. Apakah yang kukatakan ini benar?”

“Yeah…” Setelah ragu-ragu sejenak, tikus itu menceritakan, “Sebenarnya, aku sudah berkali-kali menyaksikan temanku terjebak ke dalam kurungan ini. Beberapa kali, aku jalan-jalan dengan mereka, lalu temanku terpancing umpan menggiurkan yang kaupasang dalam kurungan ini, lalu… damn! Dia terjebak. Aku melihatnya. Aku melihatnya berkali-kali. Dan, kemudian aku tahu, teman-temanku yang pernah masuk ke dalam kurungan ini biasanya tak ada kabarnya lagi.”

“Jadi, kau telah menyaksikan teman-temanmu yang terjebak ke dalam kurungan itu. Lalu kenapa kau sendiri bisa ikut terjebak? Maksudku, kenapa kau tidak belajar dari pengalaman teman-temanmu? Ketika tadi kau melihat umpan yang kupasang dalam kurungan yang sekarang menjebakmu, kenapa kau tidak mengingat pengalaman teman-temanmu terdahulu?”

“Kau bukan tikus, pal.”

“I’m sorry?”

“Kau bukan tikus. Kau tidak tahu pola pikir para tikus.”

“So, bagaimana pola pikir para tikus?”

Tikus itu ragu-ragu sejenak. Kemudian berujar, “Ketika melihat teman-temanku satu per satu terkurung dalam kandangmu ini, aku pernah menyadari bahwa mereka terjebak, tertipu, terperangkap, terpedaya—apa pun sebutanmu. Tapi teman-temanku tidak mengakui kenyataan itu. Ketika melihat mereka terkurung dalam kandang ini, aku pernah bertanya pada mereka, apakah mereka bisa keluar? Apakah mereka ingin keluar? Tapi mereka—satu per satu—menyatakan tidak ingin keluar dari kandang ini. Mereka bahkan menyatakan sangat bahagia berada di dalam kandang ini, karena ada makanan, kenyamanan…”

Saya menyela, “Dan kau setuju…?”

“Sekarang, tentu saja, aku tidak setuju! Aku ingin keluar dari kurungan ini! Tetapi, ketika dulu mendengar teman-temanku menyatakan hal itu, aku mulai mempercayai mereka, meski mulanya ragu-ragu. Sekarang aku tahu, bahwa pengakuan mereka dulu itu dinyatakan karena rasa malu. Kalau kau tertipu, kau akan berusaha menyangkalnya, untuk menutupi rasa malu. Sekarang aku tahu, bahwa itulah yang dulu dilakukan teman-temanku. Mereka sadar dirinya tertipu, lalu mengaku senang demi menutupi rasa malu.”

Saya mengangguk-anggukkan kepala. Itu masuk akal, pikir saya. Dan saya jadi membayangkan, bahwa tikus pertama yang terjebak dalam kurungan itu pun dulu pasti bersikap seperti itu—pura-pura senang dalam keterjebakan demi menutupi rasa malu—dan kemudian teman-temannya terpengaruh.

Lalu seekor tikus lagi terjebak dalam kurungan itu, dan menyadari ia telah tertipu, sama seperti temannya kemarin. Dan, sama seperti temannya kemarin pula, dia pun pura-pura senang dalam keterjebakan itu demi menutupi rasa malu. Dan begitu seterusnya, hingga berpuluh-puluh tikus terjebak tiap malam dalam kurungan itu.

Saya berkata pada si tikus yang masih terkurung, “Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?”

“Sekarang aku sadar telah tertipu!” ujarnya ketus. “Aku tertipu olehmu, tertipu oleh kawan-kawanku, juga tertipu oleh kebodohanku sendiri.”

“Senang mendengarmu berjiwa besar seperti itu.”

“Oh, jangan mengejekku, pal. Kalau saja aku tahu akan begini akibatnya, aku tak akan sudi mendekati kurungan sialanmu ini!” Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Nah, omong-omong, kapan kau akan melepasku?”

“Kalau aku melepaskanmu sekarang, kau bisa menjamin tak akan terjebak lagi dalam kurungan ini?”

“Tentu saja! Sekarang aku tahu kurungan ini adalah jebakan, sebuah umpan tipuan yang akan mengakhiri hidupku. Jika aku bisa keluar dari sini, aku akan pergi jauh! Kurungan ini akan menjadi mimpi burukku selamanya!”

“Bagaimana aku tahu kau akan menepati janjimu?”

“Apa maksudmu?”

“Well, bagaimana aku tahu kau benar-benar akan pergi jauh, dan tak akan terjebak lagi dalam kandang yang sekarang mengurungmu?”

“Kau bisa pegang janjiku!” Tikus itu menatap saya dengan memelas. “Kau harus menepati janjimu! Aku telah menjawab pertanyaanmu, jadi sekarang kau harus melepaskanku!”

Saya terdiam, menimbang-nimbang. Jika saya lepaskan tikus ini sekarang, dan ternyata besok malam dia kembali berkeliaran di rumah, saya tidak akan tahu, karena tikus tidak dilengkapi dengan plat nomor atau ciri khusus yang mudah dikenali. Di antara banyak tikus yang mungkin akan saya lihat, tentu saya tidak bisa memastikan mana yang tikus ini.

Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, saya teringat cat semprot yang masih sisa. Cat semprot itu berwarna pink, dan belum lama saya gunakan untuk membuat grafiti di tembok belakang. Jadi saya pun mengambil cat semprot itu, dan mengocoknya. Masih penuh. Saya pun membawanya ke kurungan tempat si tikus terjebak.

“Apa yang akan kaulakukan?!” seru si tikus ketika melihat saya membawa kaleng cat semprot.

“Agar aku bisa mengenalimu dengan mudah, aku akan menyemprot tubuhmu dengan cat ini. Kuharap kau tidak keberatan.”

Dia tidak punya pilihan. Maka, dari luar kurungan, saya pun menyemprot tubuh tikus yang hitam itu dengan cat semprot yang segera mengubah tubuh hitamnya menjadi pink—dari depan sampai belakang, hingga ekornya. “Sekarang kau menjadi tikus paling funky sedunia,” ujar saya sambil senyum-senyum menatap tubuhnya yang kini sangat bling-bling.

“Oh, hell, aku pasti akan diledek teman-temanku…” keluh tikus itu, menyadari tubuhnya yang sekarang telah berubah pink.

“Itu lebih baik daripada mati dalam kurungan, sobat.”

Setelah tubuh tikus itu benar-benar pink sempurna, saya pun membuka pintu kurungan, dan membiarkan dia keluar. “Ingat, jangan pernah kembali lagi!”

Dia tidak mengucap selamat tinggal. Dia langsung lari lintang pukang. Teman-temannya di dunia tikus pasti akan terkejut melihat penampilannya sekarang.

….
….

Keesokan malamnya, seperti biasa, ada satu tikus lagi yang terjebak dalam kurungan. Lalu besok malamnya ada lagi. Dan besoknya lagi. Dan besoknya lagi. Hingga, sekitar satu minggu setelah itu… seekor tikus kembali terjebak dalam kurungan yang saya pasang. Kali ini tubuhnya tidak hitam seperti tikus-tikus lain. Dia tikus funky yang pernah saya kenal. Tubuhnya pink.

Dia kembali masuk ke dalam jebakan yang sama.

Oh, well….

Ngobrol dengan Tikus (2)

Post ini berhubungan dengan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

“Hei, tikus,” sapa saya, “bagaimana keadaanmu?”

“Yeah, seperti yang kaulihat, pal,” sahut si tikus dengan salah tingkah dalam kandang.

Saya tersenyum. “Sepertinya kau tidak bisa keluar?”

“Yeah…” si tikus makin salah tingkah. “Seperti yang kaulihat.”

Saya mengisap asap rokok. “Jadi, bagaimana kau bisa masuk ke dalam kandang itu?”

Tikus itu terdiam beberapa saat, kemudian menjawab, “Well, kau tahu, ada sepotong tulang segar yang tadi ada di sini. Aku lapar, kau tahu. Jadi aku pun mendekati tulang itu, mencoba menyantapnya, dan tiba-tiba pintu sialan di belakangku menutup dengan cepat. Setelah itu aku terkurung di sini.”

“Kenapa kau tidak berpikir kalau pintu di belakangmu bisa menutup? Maksudku, apakah kau tidak sempat berpikir kalau tulang segar yang kaulihat sebenarnya hanyalah jebakan?”

“Seperti yang tadi kukatakan, aku lapar! Kau tidak akan berpikir macam-macam ketika perutmu lapar, begitu pula denganku!”

“Tidak perlu defensif, tikus…”

“Aku tidak defensif, sialan!” sela tikus itu tiba-tiba dengan marah. “Aku tahu kau yang memasang tulang keparat itu di kandang jebakan ini! Aku tahu kau sengaja menjebakku hingga aku terkurung seperti ini. Dan sekarang kau bertanya-tanya dengan muka tanpa dosa seolah bayi baru lahir. Kau telah menjebakku! Kau sengaja memasang umpan sialan itu agar aku…”

“Oke, oke,” sahut saya menurunkan ketegangan. Setelah mengisap asap rokok dan mengembuskannya, saya berkata perlahan-lahan, “Well, aku mengaku, memang akulah yang memasang tulang itu, yang kemudian menjebakmu.”

“Kau juga telah menjebak teman-temanku!”

“Aku mengaku.”

“Dan juga menjebak tetangga-tetanggaku!”

“Ya, aku mengaku.”

“Kau… kau juga telah menjebak mantan-mantan pacarku!”

Saya tidak bisa menahan senyum. “Aku mengaku bahwa semua tikus bangsamu yang terjebak dalam kurungan itu memang tanggung jawabku. Bukannya ingin terdengar seperti psikopat, aku telah menjebak berpuluh-puluh tikus lain sebelum kau terjebak dalam kurungan itu.”

“Kau memang psikopat!”

“Well…”

“Kau psikopat sialan!”

“Aku tidak ingin mengajakmu bertengkar, tikus.”

“Kau tidak ingin mengajakku bertengkar?!” Tikus itu meradang. “Jadi kausebut apa kurungan sialan yang sekarang menjebakku ini?! Aku tahu kau pasti akan membunuhku, karena kau memang psikopat! Dan sekarang kau bilang tidak ingin mengajakku bertengkar…???”

Saya berkata pelan-pelan, “Bagaimana kalau aku tidak akan membunuhmu? Bagaimana kalau kau akan kulepaskan dari kurungan jebakan itu?”

Tikus itu memperhatikan saya, kemudian menjawab, “Oh, oh, aku bisa membaca muka pokermu itu, anak manis. Tidak ada makan siang gratis, benar? Jadi, apa tawaranmu?”

Psikologi manusia rupanya dapat digunakan dalam menghadapi tikus. Ketika si tawanan dijanjikan untuk dilepaskan, mereka pun siap untuk menyanyikan lagu apa saja. Dan tikus ini tahu dia akan mati. Jadi ketika mendengar tawaran untuk dilepaskan agar tetap hidup, dia pun siap melakukan apa saja. Jadi saya pun memulai….

“Aku janji akan melepaskanmu dari kurungan itu, tapi kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan jujur.”

“Apa pun,” sahut tikus itu seketika.

“Aku akan minum dulu.”

“Jangan lama-lama!”


Lanjut ke sini.

Ngobrol dengan Tikus (1)

Lebih banyak kebodohan di dunia ini ketimbang jumlah orangnya.
—Heinrich Heine

Saya yakin seluruh penderitaan disebabkan oleh kebodohan.
—Dalai Lama

Kecerobohan lebih banyak menyebabkan kerugian daripada kebodohan.
—Benjamin Franklin


Di kanan kiri dan di belakang rumah saya adalah tanah kosong. Posisi semacam itu memang memungkinkan saya memperoleh keheningan yang saya inginkan, karena suara dari rumah tetangga tak pernah terdengar. Namun adanya lahan kosong yang mengelilingi rumah juga mengundang masalah. Dan masalah paling besar dalam hal ini adalah tikus.

Banyak tikus berkeliaran di tanah-tanah kosong di sekitar rumah saya, dan tidak jarang mereka “mampir” ke rumah. Akibatnya, tidak jarang pula saya mendapati tikus-tikus keluyuran di dapur.

Semula, saya hanya mendiamkan. Prinsip saya, tak peduli makhluk apa pun, saya tidak akan mengusiknya selama dia juga tidak mengusik saya. Tapi lama-lama tikus-tikus itu makin kurang ajar. Mungkin karena merasa aman, tikus-tikus itu mulai merambah ke ruangan rumah, memasuki ruang perpustakaan, hingga ke kamar tidur. Puncaknya, mereka menggigiti dan merusak buku-buku saya, bahkan buang kotoran di tempat tidur.

Ini sudah tak bisa dibiarkan. Maka saya pun kemudian pergi ke pasar dan membeli jebakan tikus. Mereka menginginkan perang, mereka akan mendapatkannya!

Jebakan tikus itu berupa kotak kandang kecil, terbuat dari anyaman besi. Kalian pasti sudah biasa melihatnya. Nah, dengan kandang jebakan itulah saya memulai perang dengan tikus-tikus di rumah.

Sejak itu, setiap malam, saya pasti menyisakan lauk makanan—entah kepala lele, tulang ayam, duri ikan, atau lainnya—untuk saya pasangkan di dalam kandang jebakan. Dan, tiap malam pula, selalu ada tikus yang terjebak!

Rupanya, umpan yang terpasang dalam kandang jebakan itu selalu menarik perhatian tikus di rumah saya, dan mereka selalu saja tergiur untuk menyantapnya. Begitu mereka menyentuh umpan dalam kandang itu, seketika pintu jebakan pun menutup—dan mereka terkurung tak bisa keluar. Setelah itu, hidup mereka pun tinggal menunggu detik jam.

Ketika satu per satu tikus-tikus itu terus terjebak masuk dalam kandang jebakan, saya benar-benar senang. Tetapi, setelah berpuluh-puluh kali tikus-tikus itu masih juga terjebak, saya jadi mikir, “Apa mereka tidak tahu bahwa kotak itu sebenarnya jebakan? Apa mereka tidak melihat nasib kawan-kawannya yang telah terjebak sebelumnya? Apa mereka tidak mikir kalau makanan yang ada dalam kandang itu tak sebanding dengan risikonya?”

Saya benar-benar penasaran. Susahnya, saya tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dalam hal ini, masalahnya, saya tidak bisa berkomunikasi dengan hewan. Lebih spesifik lagi, dengan tikus.

Saya sudah mencoba mencari literatur-literatur mengenai tikus, dengan harapan dapat menemukan jawaban atas kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan itu. Namun jawaban yang saya cari tidak pernah tertemukan. Mungkin karena memang belum ada ilmuwan yang bisa ngobrol dengan tikus, sehingga sampai sekarang belum ada yang tahu bagaimana isi pikiran para tikus.

Akhirnya, ketika sedang stres, saya pun melakukan wawancara imajiner dengan seekor tikus yang terperangkap dalam jebakan di suatu malam.

Jadi, malam itu, seperti biasa saya menyiapkan umpan dalam jebakan di dapur. Beberapa jam kemudian, terdengar pintu kandang jebakan itu berbunyi, tanda kalau seekor tikus telah terjebak lagi. Ketika saya lihat, ternyata memang telah ada seekor tikus berukuran cukup besar telah terkurung dalam kandang jebakan.

Saya tersenyum. Sambil nyanyi-nyanyi, saya membuat teh hangat manis, menyeruputnya dengan nikmat, lalu menyulut rokok. Setelah itu saya duduk di dekat kandang tempat si tikus terkurung tak bisa keluar. Lalu mulai mengajaknya ngobrol….

Lanjut ke sini.

Membetulkan Sesuatu yang Sudah Betul dan Terus Membetulkan Sesuatu Seolah-olah Tidak Betul meski Tahu Sudah Betul dan Terus saja Membetul-betulkannya

Tidak penting!

Jumat, 06 April 2012

Percakapan Paling Absurd Sedunia

Iiiihh, budak alit jaman ayena, pikirannya jorok-jorok,
geus ngartos ka nunami na ewean, mengerikan!
diucapkan seorang tetangga


Saya tuh punya penyakit yang cukup absurd—kalau sudah mendengar sesuatu, apalagi yang absurd, aneh, atau mengesankan, pasti akan terus teringat dan sulit melupakan. Mungkin kebanyakan orang gitu juga, ya? Kadang, tanpa sengaja saya mendengar percakapan orang, dan sejak itu terus teringat dan terngiang, karena percakapan itu—menurut saya—aneh, absurd, dan “mengesankan”.

Berikut ini adalah percakapan-percakapan yang sempat terekam dalam memori saya, yang saya transkrip sesuai aslinya. Beberapa ada yang telah saya dengar sekian tahun lalu, sementara yang lain baru saya dengar kemarin. Bagi saya, ini adalah percakapan-percakapan paling absurd sedunia.

....
....

“Ntar dulu, ini lagi nge-tweet,” ujar seorang cewek pada teman ceweknya, sambil terus asyik ngetik di ponsel.

“Buruan dong!” seru temannya tak sabar. “Kamu tuh nge-tweet kok kayak em-el, sehari tujuh puluh kali!”

Cewek itu memang pakar em-el, atau saya yang salah dengar?

***

Seorang cowok curhat pada cewek temannya, “Susahnya pacaran sama cewek tuh gini, suka ngambek nggak jelas, marah-marah nggak jelas…”

“Makanya,” sahut cewek temannya, “itu kenapa aku nggak pernah pacaran sama cewek!”

Saya jadi kepikiran untuk pacaran dengan sesama cowok.

***

“Huaaahhh…” seorang cowok menguap, kelihatan mengantuk.

Teman ceweknya menegur, “Kamu tuh pagi-pagi gini udah nguap-nguap.”

“Sori, udah empat malam ini nggak bisa tidur. Kayaknya aku kena impotensi.”

“Haaah…?”

Ternyata impotensi dan insomnia punya efek yang sama.

***

Seorang remaja bertanya pada seorang mahasiswa, “Mas, Mas, saya tuh ingin kuliah di kampus X, tapi saya nggak bisa bahasa Inggris. Kira-kira gimana, Mas?”

“Oh, nggak apa-apa, Dik,” sahut si mahasiswa. “Wong kamu nggak kuliah juga nggak apa-apa.”

Si mahasiswa mungkin terlalu lama belajar filsafat.

***

“Waduh, aku lupa ngerjain tugas paper kemarin.”

Temannya menyahut, “Ah, kamu tuh, mahasiswa tapi kok tidak mencerminkan registrasi.”

Sekarang saya tahu kenapa negeri ini tidak maju-maju.

***

Seorang cowok bertanya pada seorang cewek yang mungkin pacarnya, “Acara ultahnya jadi besok?”

“Iya, lega, udah siap semua,” jawab si cewek sambil senyum gimanaaaaa gitu.

“Ini ultah yang keberapa, sih?”

“Ke… iya ya, besok tuh ultahku yang keberapa, ya?”

Tiba-tiba saya merasa ingin ultah.

***

“Iya nih, udah seminggu ini di Semarang,” kata seorang cewek pada orang yang menelepon di ponselnya. “Iya, masih bingung, mau pacaran sama cowok apa sama cewek.”

Jadi, sebenarnya, orientasinya ke mana, Mbak?

***

Seorang cewek ABG bertanya pada teman ceweknya, “Tapi papamu gimana, gaul nggak?”

“Papaku gaul, kok!” jawab temannya meyakinkan. “Pokoknya nggak usah khawatir. Kamu ntar juga pasti digauli. Eh…?”

Orangtua zaman sekarang memang beda dengan orangtua zaman dulu.

***

Seorang cowok mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi, “Bro, cepetan dong. Lama banget di dalam, lagi ngapain, sih?”

“Bentar,” jawab cowok lain dari dalam kamar mandi. “Ni lagi buang aer!”

“Ooh, buang aer. Kirain lagi baca puisi.”

Sejak saat itu saya ingin sekali membaca puisi di kamar mandi.

***

“Itu lho, temanmu yang rambutnya Mohawk itu, hmm… siapa namanya?” ujar seorang cewek sambil pasang ekspresi mengingat-ingat.

“Temanku yang rambutnya Mohawk?” sahut temannya yang juga cewek. “Siapa, sih?”

“Namanya tuh… mmmhhh… namanya tuh… uuuh, aku nih kalau pas mabuk mudah ingat nama orang, tapi kalau waras kok susah sekali!”

Bapak Haji Rhoma Irama seharusnya mendengar percakapan ini.

***

Seorang cowok ditegur cowok temannya, “Ngapain sih tadi telepon sambil marah-marah?”

“Bete!” jawab cowok yang ditanya. “Pacarku tuh kalau tanggal segini pasti mood-nya nggak beres.”

“Emang kalau tanggal segini, cewekmu ngapain?”

“Ya biasa, masturbasi!”

Dalam hati saya berdoa, semoga pacar saya kelak tidak suka masturbasi.

***

“Mantan cewekmu pasti banyak banget, ya!” tuduh seorang cewek pada cowok temannya.

“Ngaco!” sahut si cowok. “Seumur-umur, baru satu kali aku pacaran sama cewek.”

“Nggak percaya.”

“Sumpah! Dulu biasanya pacaran sama cowok!”

Menyenangkan sekali hidup di planet ini.

Tangis Sepanjang Malam

“Petiklah aku,” kata bunga, “petiklah aku.”
“Tidak,” jawab kupu-kupu. “Kalau aku memetikmu, kau akan layu.”
@noffret


Aku suka bunga. Kau boleh tertawa, tapi aku suka bunga.

Suatu hari, aku meletakkan dua bunga di rumahku. Satu bunga asli, satu bunga palsu. Keduanya memiliki wujud yang mirip, dan kumasukkan ke dalam vas yang juga mirip. Bunga yang asli harus diberi air agar tetap hidup, sedang bunga yang palsu cukup dirangkai dalam vas untuk tampak indah.

Secara berkala, aku harus mengganti air dalam vas bunga asli, agar ia tumbuh segar dan terus mekar. Sedang untuk bunga palsu, aku harus menyediakan waktu untuk membersihkan permukaan-permukaannya, agar ia tetap indah dalam kepalsuannya.

Dan hari-hari berganti.

Sampai suatu hari, aku melihat bunga yang asli mulai layu dalam jambangan. Aku selalu rajin mengganti air dalam jambangannya, tapi bunga itu sekarang mulai layu. Tidak sesegar dulu, tidak semekar dulu. Dan makin hari bunga itu semakin layu. Sementara aku bingung menghadapi kenyataan itu.

Kemudian, ibuku tercinta memberikan pelajarannya. “Untuk menjaga bunga itu tetap mekar dan segar,” katanya, “kau tidak cukup hanya mengganti air jambangan saja. Selain air senantiasa bersih, kau juga harus memotong dasar tangkai bunga itu, agar tangkainya terus baru.”

Jadi aku pun melakukan nasihat berharga itu. Kupotong tangkai bunga yang kini layu, dan—tepat seperti yang dikatakan Ibu—bunga itu pun perlahan mekar dan segar lagi. Aku senang. Tetapi, sejak itu, aku harus memberikan perlakuan ekstra untuknya. Selain harus mengganti airnya secara berkala, aku juga harus rajin memotong tangkainya. Merawat bunga asli, kau tahu, jauh lebih sulit dibanding merawat bunga palsu.

Dan bunga asli itu pun tumbuh. Mekar. Segar. Tapi makin hari ia makin mengecil, karena tangkainya terus kupotong. Kelopak-kelopaknya tetap segar, tapi tampilannya tidak lagi seanggun dulu, karena semakin kerdil. Sampai suatu malam, bunga itu benar-benar telah kecil dan kerdil, sehingga tak ada lagi bagian tangkai yang dapat kupotong. Aku tahu, tak lama lagi bunga itu akan layu selamanya.

Malam itu pun aku memandangi dua bunga di rumahku. Yang asli dan yang palsu. Bunga asli memiliki kesegaran dan keharuman alami, tapi ia makin mengecil seiring berlalunya waktu. Sementara bunga palsu mekar dalam kepalsuan, namun ia terus mekar sepanjang waktu.

Malam itu aku memandangi kedua bunga di atas meja, mengingat kembali saat-saat meletakkannya di sana. Dan tiba-tiba tangisku meledak, tak tertahan lagi. Aku menangisi kedua bunga itu—yang palsu maupun yang asli.

Aku menangisi mereka sepanjang malam tanpa henti.

Aku menangisi mereka sampai pagi.

Sendiri.

Alasan Merokok

Seorang bocah ditanya tetangganya, “Mengapa kamu merokok? Padahal di bungkus rokok sudah dibubuhi Peringatan Pemerintah, bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, dan lain-lain?!”

“Yeah, sederhana saja, sih,” jawab si bocah. “Saya tidak percaya pemerintah!”

Minggu, 01 April 2012

Negeri yang Tak Pernah Belajar

A nation that does not believe in their power as a nation,
can not stand as an independent nation.
Soekarno


Seratus enam puluh empat tahun yang lalu, pada 21 Februari 1848, Karl Marx menerbitkan The Communist Manifesto di London, dan menjadi titik pijak bagi Marx untuk memuntahkan pemikiran-pemikirannya yang “asoy geboy” tentang sistem kelas dan paham komunisme.

Buku itu tidak terlalu menciptakan pengaruh, pada awalnya. Namun, memasuki abad ke-20, pengaruh komunisme semakin meningkat. Pada 1950, hampir setengah populasi dunia hidup di bawah pemerintahan beraliran Marxis. Buku itu memicu berbagai revolusi di Eropa, di antaranya kudeta atas raja Prancis, Louis Philippe, hingga ia terpaksa turun tahta. Tetapi Karl Marx belum selesai “muntah”.

Pada tahun 1867, Marx kembali menerbitkan buku, kali ini berjudul Das Kapital—karya yang kelak menjadi salah satu tonggak pemikiran besar yang pernah lahir dalam peradaban manusia. Di buku itu, Karl Marx menuntaskan muntahan pikirannya, dan selanjutnya adalah sejarah. Ketika Marx meninggal dunia pada 1884, komunisme telah menjadi sebuah gerakan berpengaruh di Eropa.

Jika dibaca ilmuwan atau akademisi, Das Kapital memberikan pencerahan. Namun, jika dibaca politisi, Das Kapital adalah bencana kemanusiaan. Kenyataan itulah yang kemudian terjadi di Rusia.

Tiga puluh tiga tahun setelah Karl Marx meninggal dunia, pada 1917, Vladimir Lenin—seorang penganut Marxisme—berhasil memimpin revolusi komunis di Rusia.

Di bawah pimpinan Lenin, Soviet menerapkan sistem kolektivisasi yang kemudian berbuah wabah kelaparan. Karena adanya kolektivisasi, para petani tidak berhak memiliki hasil tanahnya sendiri, dan mereka hanya mendapatkan jatah dari pemerintah. Panen yang dihasilkan para petani cukup banyak, namun pemerintah memberlakukan pengukuran yang sangat ketat terhadap para petani, sehingga mereka terpaksa memberikan 70 persen dari semua yang dipanen.

Pemerintah mengambil hasil tanah dan makanan milik petani di Ukraina dan daerah lain untuk dijual atau diekspor. Seperti yang dinyatakan para sejarawan, mereka bukan tidak tahu konsekuensinya, namun mereka tidak peduli. Hasilnya kemudian adalah prahara kelaparan yang amat parah, yang melanda wilayah Ukaraina dan Wolga, sehingga menyebabkan kematian lebih dari lima juta orang. Puncak bencana kelaparan itu terjadi pada September 1921.

Ketika bencana kelaparan itu mulai terdengar ke luar negeri, kelompok-kelompok relawan pun mulai datang dari beberapa negara, namun semuanya sudah terlambat. Pemerintah Soviet mendirikan panti-panti untuk menampung orang-orang dan anak-anak yang kelaparan—tempat para sukarelawan menolong mereka—namun kematian demi kematian terus terjadi setiap hari, bahkan setiap jam.

Seperti semua wabah kelaparan, penyakit merupakan pembunuh kedua. Orang-orang yang kelaparan mudah terkena penyakit fatal yang dapat menular secara cepat, dan itulah yang juga terjadi di sana. Tifus dan kolera mengakibatkan ratusan ribu kematian, sementara obat-obatan yang tersedia sangat jauh dari memadai.

Yang lebih mengerikan, akibat wabah kelaparan tersebut, kanibalisme terjadi di mana-mana. Mayat-mayat dipotong para petani yang kelaparan, anak-anak dimakan orangtuanya, dan para relawan dari luar negeri kemudian tahu bahwa daging yang diperjualbelikan di pasar mengandung daging manusia. Sejak itu, para relawan dari berbagai negara yang ada di sana sama-sama sepakat untuk hanya memakan makanan yang didatangkan dari luar Soviet.

Bencana kelaparan pada 1921 itu adalah mimpi buruk komunisme yang diterapkan di Rusia, potret mengerikan ketika pemerintah menjadikan rakyat sebagai sapi perah demi kemakmuran segelintir pengusaha dan politisi. Yang lebih mengerikan lagi, Rusia tidak belajar dari pengalaman mengerikan itu, bahkan kembali mengulangi kebodohan yang sama.

Pada musim gugur 1923, wabah kelaparan yang mengerikan itu berakhir, dan wilayah Ukraina serta Wolga menikmati panen berlimpah. Namun kerusakan akibat wabah itu tidak segera lenyap, meski usaha-usaha pemulihan terus dilakukan. Lebih dari itu, seperti yang dinyatakan di atas, pemerintah Soviet tidak belajar dari wabah tersebut. Sepuluh tahun semenjak peristiwa itu, peristiwa yang sama kembali terulang.

Pada 3 Januari 1930, Joseph Vissarionovich Stalin naik ke kursi kepemimpinan Uni Soviet, menggantikan Lenin yang meninggal dunia. Sama seperti Lenin, Stalin juga memerintahkan agar pertanian di seluruh Soviet dikolektifkan. Dia mengulangi kebodohan yang telah dilakukan pendahulunya, dia kembali menggunakan sistem Lenin yang jelas-jelas merusak negaranya.

Seperti yang dilakukan Lenin sebelumnya, Soviet kembali menggunakan sistem komunisme. Sejak itu, tidak ada lagi milik pribadi atau penjualan bebas. Hanya berselang dua tahun setelah naiknya Stalin di Rusia, wabah kelaparan kembali melanda negara itu—bahkan jauh lebih parah.

Pada tahun 1932, Uni Soviet mengekspor 1,7 juta ton padi. Satu tahun kemudian, pada 1933, sebanyak 1,8 juta ton padi kembali diekspor ke luar negeri. Jumlah itu sangat berlimpah, namun para petani di Soviet justru kelaparan, karena jatah makan mereka dikuras untuk kepentingan ekspor, untuk keuntungan segelintir pengusaha dan politisi.

Karena sistem kolektivisasi, rakyat tidak mempunyai hak milik, selain jatah yang diatur negara, sementara sisanya diambil pemerintah untuk mengenyangkan perut dan nafsu segelintir orang.

Sejumlah petani yang kaya memang mencoba melawan kolektivisasi dengan cara membunuh ternaknya sendiri daripada dirampas pemerintah. Sebagian ada yang menyembunyikan makanan mereka di bawah tanah, atau sampai nekat melarikan diri keluar dari Soviet.

Namun pemerintah Soviet memberlakukan aturan yang ketat sekaligus kejam untuk mengatasi perlawanan semacam itu. Para petani yang kedapatan menyembunyikan makanan akan ditembak, begitu pula yang mencoba melarikan diri dari wilayah Soviet. Mayat-mayat mereka bergelimpangan di jalan-jalan dan sengaja tidak diurus, dengan tujuan untuk memberi “pelajaran” bagi yang ingin mengulanginya.

Akibat sistem tersebut, para petani pun sampai menjual pakaian atau apa saja yang dapat mereka jual demi untuk bisa membeli roti basi di pasar gelap. Sementara praktik kanibalisme juga terjadi di mana-mana, meski dilakukan secara diam-diam. Orang memotong-motong mayat tetangganya demi bisa memakan dagingnya, sementara orang tua menyimpan bangkai anaknya agar tidak dimakan orang lain.

Pemerintah Soviet mengetahui hal tersebut, namun mereka menyembunyikannya rapat-rapat dari dunia internasional. Jurnalis luar negeri adalah satu-satunya orang di luar pemerintah yang dapat memperoleh jalan masuk ke bahan makanan, sebanyak apa pun yang mereka inginkan, sebagai upaya pemerintah Soviet untuk menutupi keadaan asli negaranya.

Ketika wabah kelaparan semakin memburuk, Stalin memang menghentikan ekspor dan mengalihkannya untuk menolong rakyat yang kelaparan, tetapi telah jauh terlambat. Jumlah korban yang meninggal akibat kelaparan dalam wabah itu mencapai tujuh juta orang. Andrew Gregorovich dalam Black Famine in Ukraine 1932-33: A Struggle for Existence menyatakan wabah tersebut sebagai “Kriminalitas Stalin yang Terbesar.”

Seperti yang telah saya nyatakan di atas, Das Kapital yang ditulis Karl Marx akan memberikan pencerahan bagi para ilmuwan atau para akademisi, tetapi buku itu adalah bencana jika dibaca para politisi. Lenin maupun Stalin menggunakan ajaran Das Kapital sebagai cara untuk menjerat rakyat dan menjadikan mereka sebagai sapi perah pemerintah.

Pada waktu itu, Uni Soviet bukan negara miskin. Mereka menghasilkan padi dan tanaman lain dalam jumlah yang berlimpah, dan panen nyaris tak pernah gagal. Negeri itu juga memiliki kekayaan alam yang seharusnya dapat membuat rakyat di sana tersenyum dalam kemakmuran. Namun, karena negeri itu diperintah orang-orang bejat, kemakmuran itu justru melahirkan bencana mengerikan.

Bahkan ketika pemimpinnya telah berganti—dari Lenin ke Stalin—kebejatan yang sama diulang kembali. Rakyat kembali dijadikan sapi perah, kemakmuran negara dijarah dengan berbagai alasan dan manipulasi, sementara segelintir politisi keparat mengantungi hasilnya. Berbagai peraturan diterapkan dengan alasan demi pembangunan, tetapi yang terjadi di sana-sini adalah kelaparan yang dibalut pembodohan dan proses pemiskinan.

Uni Soviet bukan negara miskin, tetapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Uni Soviet menghasilkan banyak ekspor menguntungkan, tetapi hasilnya hanya dinikmati segelintir orang. Di bawah Lenin maupun Stalin, Soviet adalah negeri besar yang digerogoti para pemimpinnya sendiri. Kekayaan negeri itu berlimpah, tetapi dirampok oleh pemerintah, sementara sisanya dikenakan harga yang amat tinggi sehingga rakyat tak mampu membeli.

Dan… sambil menulis kepahitan itu, saya membayangkan negeri saya sendiri.

Nyanyian Hujan

Dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar
oleh mereka yang rindu.
@noffret


Pada nyanyi hujan ini, ada nada lagu yang tak pernah terpetik. Lagu yang pernah kunyanyikan sendiri, lagu yang kini kusembunyikan dalam hati. Pada hujan sore ini, ada kisah yang telah terkunci. Cerita yang dulu kubaca dalam sunyi, dan beberapa paragraf yang tak pernah selesai.

“Aku bukan orang yang mudah dicintai,” itu yang pernah kukatakan kepadamu.

Tetapi rupanya Tuhan mengirimmu untuk meruntuhkan batu karang yang kubangun di sekelilingku, yang merengkuh kesepianku. Kau datang, seperti pelangi yang bersinar setelah hujan turun, memberikan warna-warni dalam kegelapan hidupku. Kau datang, dengan kelembutan yang tak pernah kukenal, bersama rindu yang baru kusadari begitu kurindukan.

Meski tahun-tahun telah berlalu, aku masih mengingat setiap ucapanmu waktu itu, seperti terpahat abadi dalam relung kenanganku. Kau cinta terindah yang pernah kukenali, kelembutan abadi yang kini menjadi nyanyi sunyi.

Kini, di bawah hujan yang turun, ucapanmu kembali terngiang, terbayang, terkenang, “Setiap kali melihat matamu, aku bisa melihat luka yang tersimpan di sana. Dan aku ingin, suatu hari nanti, saat melihat matamu lagi, luka itu telah hilang.”

Dan kau menghilangkan luka itu. Bersama lembutmu, kau menghapus setiap luka yang pernah tergores dalam hidupku, setiap duka yang pernah menjadi laraku. Bersama cintamu, kau menarikku dari kesenyapan yang pernah memenjarakan hidupku. Aku tak pernah percaya pada siapa pun, dan kau mengajariku untuk mempercayaimu. Aku tak pernah mencintai siapa pun, dan kau mengajariku untuk mencintaimu.

Sampai pada waktu kau kembali menatapku, lama, dan membuatku bertanya, “Kenapa kau menatapku seperti itu?”

“Sekarang aku tak melihat lagi luka di matamu.”

Aku tersenyum. “Kau telah mengambilnya.”

“Tidak,” bisikmu, “kau yang telah merelakan untuk melepaskannya.”

Pada waktu itulah, kusadari, diriku sendiri yang menggenggam luka-luka itu, menyimpannya dengan kukuh, dan tak membiarkan seorang pun tahu. Tetapi kau tahu. Dan kau telah membantuku untuk menyadari bahwa aku bisa melepaskan kedukaan dan kelukaanku, bahwa aku bisa melangkah meninggalkan masa lalu, melupakan yang telah lalu. Kau menarikku dari bayang-bayang gelap penuh luka dan kebencian, untuk menyongsong cahaya dan rekah fajar.

Pada setiap hujan, aku terbayang saat-saat bersamamu, kenangan-kenangan yang pernah kita bangun, canda, tawa, rayuan, dan kemarahan-kemarahanmu yang lucu. Pada setiap hujan, aku terkenang ucapan-ucapanmu, suaramu, dan senandung yang biasa kaunyanyikan untukku. Pada setiap hujan aku merindukanmu....

Merindukanmu

Shades of night fall upon my eyes
Lonely world fades away
Misty light, shadows start to rise
Lonely world fades away

In my dreams your is all I see
Through the night, you share your love with me

Dreaming vision of you
Feeling all the love I never knew

Here we are on the crossroad of forever
Shining star lites the way
Walk with me on the winds of time
Love’s mystery is for us to find

Dreaming vision of you
Feeling all the love I never knew

Until that day....
Until the day I find you
I won’t rest, I won’t let go
Somehow someway
I know I’ll be beside you
To warm my heart and fill my soul

Yngwie Malmsteen, Dreaming


Di sini, waktu itu, aku pernah menyenandungkannya untukmu,
di sini, sekarang, aku menyanyikan lagu itu dan merindukanmu.

030312

 
;