“Petiklah aku,” kata bunga, “petiklah aku.”
Aku suka bunga. Kau boleh tertawa, tapi aku suka bunga.
Suatu hari, aku meletakkan dua bunga di rumahku. Satu bunga asli, satu bunga palsu. Keduanya memiliki wujud yang mirip, dan kumasukkan ke dalam vas yang juga mirip. Bunga yang asli harus diberi air agar tetap hidup, sedang bunga yang palsu cukup dirangkai dalam vas untuk tampak indah.
Secara berkala, aku harus mengganti air dalam vas bunga asli, agar ia tumbuh segar dan terus mekar. Sedang untuk bunga palsu, aku harus menyediakan waktu untuk membersihkan permukaan-permukaannya, agar ia tetap indah dalam kepalsuannya.
Dan hari-hari berganti.
Sampai suatu hari, aku melihat bunga yang asli mulai layu dalam jambangan. Aku selalu rajin mengganti air dalam jambangannya, tapi bunga itu sekarang mulai layu. Tidak sesegar dulu, tidak semekar dulu. Dan makin hari bunga itu semakin layu. Sementara aku bingung menghadapi kenyataan itu.
Kemudian, ibuku tercinta memberikan pelajarannya. “Untuk menjaga bunga itu tetap mekar dan segar,” katanya, “kau tidak cukup hanya mengganti air jambangan saja. Selain air senantiasa bersih, kau juga harus memotong dasar tangkai bunga itu, agar tangkainya terus baru.”
Jadi aku pun melakukan nasihat berharga itu. Kupotong tangkai bunga yang kini layu, dan—tepat seperti yang dikatakan Ibu—bunga itu pun perlahan mekar dan segar lagi. Aku senang. Tetapi, sejak itu, aku harus memberikan perlakuan ekstra untuknya. Selain harus mengganti airnya secara berkala, aku juga harus rajin memotong tangkainya. Merawat bunga asli, kau tahu, jauh lebih sulit dibanding merawat bunga palsu.
Dan bunga asli itu pun tumbuh. Mekar. Segar. Tapi makin hari ia makin mengecil, karena tangkainya terus kupotong. Kelopak-kelopaknya tetap segar, tapi tampilannya tidak lagi seanggun dulu, karena semakin kerdil. Sampai suatu malam, bunga itu benar-benar telah kecil dan kerdil, sehingga tak ada lagi bagian tangkai yang dapat kupotong. Aku tahu, tak lama lagi bunga itu akan layu selamanya.
Malam itu pun aku memandangi dua bunga di rumahku. Yang asli dan yang palsu. Bunga asli memiliki kesegaran dan keharuman alami, tapi ia makin mengecil seiring berlalunya waktu. Sementara bunga palsu mekar dalam kepalsuan, namun ia terus mekar sepanjang waktu.
Malam itu aku memandangi kedua bunga di atas meja, mengingat kembali saat-saat meletakkannya di sana. Dan tiba-tiba tangisku meledak, tak tertahan lagi. Aku menangisi kedua bunga itu—yang palsu maupun yang asli.
Aku menangisi mereka sepanjang malam tanpa henti.
Aku menangisi mereka sampai pagi.
Sendiri.