Senin, 20 Desember 2021

Kekacauan Media Online di Indonesia

Barusan ngobrol dengan beberapa orang yang bekerja di media, dan kami membicarakan catatan ini: Sebenarnya, Siapakah yang Menjadi Influencer Jokowi? » https://bit.ly/3lDcAnV

Sekarang, sambil nunggu udud habis, sepertinya aku perlu ngoceh dan memberikan klarifikasi.

Catatan itu merupakan transkrip dari ocehanku di TL, yang waktu itu mengomentari judul-judul di media online yang bisa dibilang seragam.

Apakah aku curiga media-media di Indonesia telah dibayar untuk jadi influencer Jokowi? Tidak! Mereka hanya terjebak!

Media-media yang menggunakan judul seragam—dalam kasus ini; menggunakan nama Jokowi pada judul—belum tentu dibayar untuk jadi influencer, tapi mereka terjebak oleh kenaifannya sendiri. 

Ini fenomena yang terjadi di media-media online Indonesia, tapi mereka tidak juga menyadari.

Seperti yang kukatakan di sini, atmosfer media online di Indonesia saling terpengaruh dan mempengaruhi. Jika satu media menggunakan istilah tertentu, misalnya, media-media lain akan meniru dan mengikuti. Ini sangat mencolok, tapi mereka tidak juga sadar.


Contoh paling mudah, seperti kuocehkan di sini, adalah pemenggalan akhiran “lah” dan “nya”. Sekian tahun lalu, ketika media online di Indonesia belum sebanyak sekarang, para jurnalis tahu bahwa akhiran “lah” dan “nya” dalam penulisan baku selalu digabung. 



Lalu terjadi booming media online seperti sekarang. Dari ratusan, kini telah jadi ribuan. Apa yang terjadi di baliknya? Sangat jelas, ada ribuan “anak baru” masuk ke industri media, dengan pengetahuan jurnalistik yang mungkin belum matang, lalu kesalingterpengaruhan terjadi.

Ribuan “anak baru” itu belum punya kepercayaan diri dalam menulis, karena pengetahuan jurnalistiknya memang belum matang dan belum ada pengalaman. Akibatnya, mereka menulis (khususnya menulis berita) dengan meniru para senior mereka, atau meniru gaya menulis media-media tetangga.

Dari situlah masalah lalu muncul, dan kini menjebak serta memerangkap ribuan media online di Indonesia—kalau saja kita cukup peka untuk melihat dan menyadarinya. Dari situ pula muncul kesalahan massal terkait, misalnya, akhiran “lah” dan akhiran “nya”... sampai penulisan judul.

Asal usul kekacauan massal ini sebenarnya sepele. Ada media online populer yang menulis akhiran “lah” dengan cara dipenggal, karena memang mengharuskan pemenggalan (misalnya transkrip ucapan seseorang, “Sekitar seminggu, lah”). Penulisan itu benar, tapi dipahami secara keliru.

Ketika para jurnalis-pendatang-baru melihat tulisan itu (pemenggalan akhiran “lah”), mereka berasumsi bahwa akhiran “lah” dipenggal, tanpa menyadari bahwa ada koma yang disisipkan di situ. Lalu mereka mulai memenggal akhiran “lah” untuk semua berita yang mereka tulis.

Karena atmosfer media online di Indonesia saling terpengaruh dan mempengaruhi, kesalahan massal pun dimulai. Satu jurnalis memenggal akhiran “lah” secara keliru (misal “katakan lah”), lalu para jurnalis dari media-media lain meniru, dan begitu seterusnya, sampai sekarang.

Sudah melihat yang kumaksud? Tanpa bermaksud menggurui, akhiran “lah” dalam penulisan bahasa baku mestinya digabung, begitu pula akhiran “nya”. 

Sila konfirmasikan pernyataan ini pada Ivan Lanin atau pakar bahasa Indonesia manapun, dan mereka akan menyepakati yang kukatakan.

Sekarang kita masuk pada inti masalah, terkait media-media online di Indonesia yang secara serempak dan seragam menggunakan judul dengan menyisipkan nama Jokowi. 

Apakah mereka memang dibayar untuk menjadi influencer Jokowi? 

Tidak. 

Yang benar, mereka telah terjebak!

Ini kasusnya sama dengan kesalahan penggunaan akhiran “lah” tadi. Mula-mula, sebuah media menulis judul dengan memasukkan nama Jokowi. 

Lalu media-media lain meniru, apa pun alasannya, dan begitu sambung menyambung, sampai seluruh media di Indonesia melakukan hal sama. Oh, well.

Dalam hal ini, sebagian orang mungkin curiga kalau media yang pertama kali menggunakan judul semacam itu memang dibayar sebagai influencer. Sementara media-media lain, yang meniru mereka mentah-mentah, cuma mengamplifikasi propaganda mereka secara gratisan.

Sudah paham sekarang?

Kasus terbaru, masih terkait konteks yang sama, adalah soal “PSBB Total” yang diterapkan di DKI Jakarta. 

Apakah Anies Baswedan memang mengatakan “PSBB total”? Tidak, tidak pernah! Silakan cek seluruh transkrip omongan Anies, dan tidak ada istilah itu. 

Anies Baswedan hanya mengatakan “PSBB”, bukan “PSBB Total”. Tetapi, tiba-tiba, seluruh media di Indonesia menulis “PSBB Total”, dengan aneka macam tudingan—dalam kerangka jurnalistik, tentu saja. 

Itulah hari bersejarah, ketika seseorang (Anies) difitnah secara nasional!

Bagaimana kegilaan semacam itu bisa terjadi? Kasusnya sama seperti penggunaan akhiran “lah” yang keliru, atau penyisipan nama Jokowi pada judul berita. 

Mula-mula, sebuah media menggunakan istilah “PSBB Total” dengan gaya sambil lalu. Kemudian media-media lain seketika meniru.

Yang ajaib, waktu itu, tidak ada satu pun awak media yang menyadari kenyataan yang sebenarnya salah kaprah itu, hingga istilah “PSBB Total” terus digunakan berhari-hari. Sampai kemudian, Doni Monardo, Kepala BPNB, meluruskan bahwa “Anies tidak pernah menyebut istilah PSBB Total”.

Setelah ada klarifikasi dari Doni Monardo, apakah media-media di Indonesia mengakui kesalahan mereka, dan berhenti menyebut PSBB Total? Tidak! 

Sejauh yang aku tahu, cuma IDN Times yang mau mengakui kesalahannya, dan meminta maaf secara terbuka. Mereka layak mendapat respek.

Sekarang, sebagian kita mungkin bertanya-tanya, mengapa ada media yang sengaja “memperkenalkan” istilah PSBB Total, hingga akhirnya “diadopsi” oleh media-media lain, dan bikin geger se-Indonesia? 

Kalau cukup peka, kita akan tahu jawabannya; itu cuma keping puzzle pertama.

Istilah rancu “PSBB Total” tidak berdiri sendiri—ia bahkan sebenarnya tidak punya arti jika berdiri sendiri, karena nyatanya cuma satu keping dari puzzle yang tidak utuh. Agar istilah itu punya daya dan bisa digunakan untuk suatu tujuan, harus ada keping kedua yang melengkapinya.

Dan apa keping kedua? 

Tiga ratus triliun kabur dari Indonesia! 

Kita bisa melihat benang merahnya. Mula-mula, ledakkan istilah “PSBB Total”. Setelah istilah itu terserap jutaan orang, ledakkan lanjutannya. Dan masyarakat luas, melalui perantara media, dibuat salah paham.

Apa sebenarnya arti “tiga ratus triliun kabur dari Indonesia” waktu itu? Masyarakat awam, bahkan mungkin sebagian besar awak media, salah paham dengan membayangkan ada uang cash sebanyak Rp300 triliun keluar dari Indonesia—kesalahpahaman yang tampaknya memang diarahkan.

Tapi sebenarnya bukan itu! Yang dimaksud “Rp300 triliun keluar dari Indonesia” adalah kapitalisasi pasar atau market capitalization (market cap). Yaitu “berapa nilai yang harus dibayar pasar, jika diasumsikan seluruh saham BEI dijual kepada investor dalam waktu bersamaan.”

Jika kalian tidak paham yang barusan kukatakan, ya wajar, karena itu pula banyak orang salah paham, dan berasumsi bahwa ada uang cash Rp300 triliun keluar dari Indonesia. Kenyataannya, orang-orang yang mengembuskan isu itu juga tidak menjelaskan apa maksud mereka secara gamblang.

Bisa melihat sesuatu telah terjadi di sini?

Alurnya sederhana. Anies Baswedan melihat kasus Covid-19 di DKI makin parah. Untuk mengendalikannya, dia kembali menerapkan PSBB. Ada yang tidak senang, dan istilah PSBB diselewengkan, lalu isu tidak jelas diembuskan untuk menjegalnya.

Kalau-kalau ada yang mengira aku pendukung Anies, itu jelas keliru. Aku bukan warga DKI, dan aku tidak peduli siapa yang menjadi pemimpin di sana. Tapi fakta bahwa ada yang terus berusaha menjegal kebijakan Anies dalam mengendalikan kasus Covid-19 di DKI, itu jelas terlihat.

Well, sebenarnya masih banyak hal yang ingin kuocehkan, khususnya terkait kekacauan yang terjadi di dunia media Indonesia, hingga mudah dikendalikan tanpa sadar (misal judul “Jokowi” atau “PSBB Total”). Tapi ocehan ini sudah panjang, dan cokelat hangat serta ududku sudah habis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 September 2020.

Jurnalisme Ini

Nemu berita, judulnya seperti ini:

Potong Kepala Wanita dan Makan Bagian Ini, Saat Ditangkap Kanibal Ini Memberi Tahu Polisi Hal yang Bikin Bergidik dan Ngilu Ini

Secara keseluruhan, isi penting berita cuma "ini". Oh, jurnalisme hari ini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Desember 2019.

Cover Both Side

Meretas situs TEMPO tampaknya kesalahan fatal sekaligus tolol yang akan disesali pelakunya, dan kini amunisi telah diledakkan. Semoga "perang" ini tak berakhir antiklimaks, dan ledakannya tak berhenti sampai di sini. 

Mari kita tunggu bom apa lagi yang akan diledakkan TEMPO. 

Dan ini, anggap saja cover both side. 

Sebenarnya, Siapakah yang Menjadi Influencer Jokowi? » https://bit.ly/3lDcAnV


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 September 2020.

Peretasan Demokrasi

Kemarin situs Tempo diretas, dan peretasnya bisa dibilang sudah jelas. Itu simbol peretasan demokrasi.

Tapi Tempo mungkin menghadapi dilema untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, mengingat jejak-jejak kasus sebelumnya. So, bagaimana cara terbaik menghadapi kasus tersebut?

Menurutku, dalam konteks kasus Tempo, cara terbaik menghadapi "penghinaan" itu adalah dengan meminjam puisi Dian Sastro, "Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh."

Orang-orang Tempo pasti paham bagaimana cara melakukannya, sekaligus membalikkan permainan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Agustus 2020.

Plong

"Plong" memang sensasi. Terpujilah Ahmad Dhani.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 September 2012.

Jumat, 10 Desember 2021

Berwisata ke Korea Utara

Korea Utara bisa menjadi miniatur bagaimana
kehidupan umat manusia di dunia ini dikendalikan agar 
"tetap begini adanya". Tanpa kesadaran, tanpa pengetahuan.
@noffret


Bagi yang ingin berwisata ke tempat antimainstream, Korea Utara mungkin bisa menjadi pilihan. Khususnya kalau kau sudah terbiasa melihat Paris, Las Vegas, Seoul, London, New York, dan semacamnya. Dibanding kota-kota terkenal itu, Korea Utara—khususnya Pyongyang—akan tampak seperti antitesis.

Hal pertama yang perlu disadari terkait Korea Utara, di sana tidak ada internet. Setidaknya, warga Korea Utara tidak bisa bebas mengakses internet. Korea Utara, sebagai negara, memang punya situs di internet, tapi bisa dihitung jari. Isinya pun hanya seputar pariwisata, yang ditujukan untuk warga luar negeri yang ingin ke sana.

Jadi, apakah kita boleh berkunjung ke Korea Utara? Tentu saja boleh, meski agak ribet. Untuk bisa masuk ke Korea Utara, kita tidak boleh sendirian, harus bersama rombongan. Sementara itu, setiap tahun, Korea Utara—khususnya Pyongyang—membatasi kunjungan hanya untuk 1.000 wisatawan (jika belum berubah). 

Penerbangan menuju Pyongyang masih sangat terbatas. Kebanyakan wisatawan yang ingin masuk Korea Utara harus melakukan penerbangan dari Cina. Wisatawan juga tidak bisa bebas berkeliaran sendirian, harus ditemani pemandu wisata yang disediakan pemerintah. Wisatawan tidak diperbolehkan berkeliaran sendiri, atau berbicara dengan warga lokal, tanpa ditemani.

Kemudian, yang juga patut diperhatikan, Korea Utara termasuk destinasi wisata yang mahal. Nilai mata uang yang tinggi membuat harga barang di sana sangat mahal, dari minuman hingga akomodasi. Wisatawan harus membayar dengan mata uang Euro, karena tidak diperbolehkan menggunakan mata uang lokal.

Sekadar catatan, jurnalis atau wartawan sebaiknya berhati-hati, atau sebaiknya tidak usah ke sana. Kalau kau masuk Korea Utara, dan ketahuan bekerja sebagai wartawan, nasibmu bisa berbahaya (kebanyakan jurnalis masuk ke sana secara incognito.)

Apa yang bisa dilihat di Korea Utara? Jawabannya tidak ada!

Ada aturan sangat ketat yang diberlakukan untuk para wisatawan yang masuk Korea Utara. Pertama, tidak boleh merekam warga Korea Utara, baik dalam bentuk foto maupun video. Kedua, tidak boleh mengabadikan gambar tentara Korea Utara (di sana, tentara ada di mana-mana). Ketiga, tidak boleh berinteraksi dengan warga Korea Utara tanpa izin. Keempat, tidak boleh bepergian keluar dari hotel tanpa izin pemandu. Kelima, jika ingin memotret atau merekam video terkait objek apa pun, harus seizin pemandu.

Apakah aturan itu sudah bikin pusing? Tunggu, kalian harus mendengar lanjutannya.

Saat masuk Korea Utara, kita memang diizinkan membawa kamera, tapi tidak boleh membawa ponsel. Semua gadget yang memiliki akses internet dan pelacak sinyal (semacam GPS) tidak boleh digunakan. Jadi, begitu masuk Korea Utara, semua akses ke dunia luar bisa dibilang terputus. Tidak ada telepon, tidak ada SMS atau pesan instan lainnya, juga tidak ada internet! Kita seperti memasuki sebuah peradaban yang hilang.

Dalam acara wisata di sana, kita memang boleh memasuki beberapa gedung tertentu, dan diizinkan membuat foto. Namun, di gedung-gedung itu biasanya—dan hampir pasti—akan ada foto, patung, atau lukisan Sang Pemimpin Tertinggi Korea Utara (kalian tahu siapa yang saya maksud). 

Jika kita ingin berfoto di depan lukisan atau patung Sang Pemimpin Tertinggi, kita tidak boleh menghalangi lukisan atau patung tersebut. Selain itu, berfoto di samping lukisan atau patung Sang Pemimpin Tertinggi tidak boleh bergaya seenaknya, tapi harus berdiri tegap (ini serius!)

Dengan kata lain, JANGAN MIMPI BISA SELFIE DI KOREA UTARA! 

Sekarang kita paham, kenapa selama ini jarang menemukan orang selfie berlatar Korea Utara. Karena taruhannya nyawa!

Selama berwisata ke Korea Utara, pemandu biasanya akan membawa kita ke tempat-tempat tertentu, yang umumnya memang ditujukan sebagai “pertunjukan pariwisata”. Tujuannya, agar saat wisatawan keluar dari sana, mereka punya kesan positif tentang negara tersebut. Tetapi, biasanya, orang yang pernah masuk ke Korea Utara tidak ingin masuk ke sana lagi. Wong tidak menarik blas! 

Daripada masuk Pyongyang yang suasananya kaku dan menegangkan, jauh lebih menyenangkan masuk Las Vegas dan menyaksikan cewek-cewek berjoget, atau menikmati surga di Ibiza.

Memasuki Korea Utara seperti memasuki gua, atau tempurung. Sebuah tempat yang tertutup, dan tidak memiliki akses dengan dunia luar. Tentu tidak masalah jika kita berada di satu tempat, dan tidak bisa keluar, tapi memiliki akses untuk melihat dunia luar. Misal lewat televisi atau internet.  

Dalam keseharian, misal, banyak orang yang seharian hanya duduk di satu ruangan, tapi tetap nyaman karena bisa terhubung dunia luar dengan mudah, baik lewat ponsel atau internet. Saya bahkan bisa tinggal di rumah tanpa keluar sama sekali sampai berhari-hari, dan nyaman-nyaman saja, karena bisa melakukan apa pun yang ingin saya lakukan—bekerja, menikmati hiburan, mengakses berita dan informasi terbaru, terhubung dengan orang-orang di luar, sampai memesan makanan dan lain-lain.

Meski tidak keluar ke mana-mana, saya tetap merasa bebas, karena memang tidak dikurung, dan tidak ada yang mengawasi. Dengan kata lain, saya bebas melakukan apa pun yang ingin saya lakukan. Bahkan umpama saya jenuh di rumah, saya bisa keluar kapan pun, ke mana pun.

Hal semacam itu tidak terjadi pada orang-orang di Korea Utara. Penduduk di sana tidak bisa keluar negeri secara bebas, karena tembok tinggi dan pagar berduri mengurung mereka. Sebenarnya, itu belum jadi masalah, kalau saja warga Korea Utara memiliki kebebasan untuk melakukan yang ingin mereka lakukan. Sayangnya, bahkan kebebasan pun tidak ada.

Seperti yang disebut tadi, di Korea Utara tidak ada internet. Kita yang tinggal di Indonesia, misalnya, bisakah membayangkan hidup tanpa internet? Saat ini, internet adalah jendela besar untuk melihat luasnya dunia, sekaligus cara termudah untuk menatap dunia di sekitar dan di luar kita. Ketika akses internet dihilangkan, kita bisa membayangkan bagaimana “terbelakangnya” warga Korea Utara.

Memang, di Korea Utara ada televisi, radio, dan tentu saja surat kabar atau koran. Tetapi... televisi di Korea Utara hanya punya satu chanel, yaitu chanel resmi milik pemerintah. Begitu pula radio. Dan surat kabar. Semuanya menjadi alat pemerintah untuk mengekang sekaligus mendoktrin rakyat di sana. Kau menonton acara televisi, kau mendengarkan suara radio, atau kau membaca apa pun di koran, semuanya terkait propaganda pemerintah.

Ada hal unik terkait hal itu, yang mungkin belum pernah kita bayangkan.

Di Korea Utara, semua televisi (atau radio, bagi yang tidak punya televisi) tidak boleh dimatikan. Jadi, televisi atau radio di rumah-rumah penduduk akan terus menyala, tak peduli penghuni rumah sudah tidur. Volume memang boleh dilirihkan, asal tetap terdengar suara, tapi tidak boleh dimatikan! Jadi, sejak bangun tidur, selama beraktivitas seharian, sampai mau tidur lagi, penduduk Korea Utara akan terus dapat menonton televisi atau mendengarkan radio, yang isinya hanya itu ke itu; doktrin dan propaganda pemerintah. 

Kim Jong-un mungkin tampak lucu bagi sebagian orang di luar Korea Utara, khususnya karena potongan rambutnya yang unik. Tetapi, di negerinya sendiri, dia dianggap semacam nabi. Karena sosoknya dimuliakan dari waktu ke waktu melalui semua media massa di sana. Bahkan dalam film kartun—yang sudah muncul berkali-kali di televisi—pun diselipkan aneka puja-puji untuk Yang Mulia Kim Jong-un. Orang-orang Korea Utara, bahkan sejak anak-anak, sudah didoktrin bahwa pemimpin mereka begitu agung.

Sebagian penduduk yang tinggal di perbatasan, kadang bisa mengakses stasiun televisi dari Korea Selatan (yang isinya tentu jauh lebih menarik daripada acara televisi Korea Utara). Tetapi, mereka tidak pernah berani menyaksikan. Karena, kalau ketahuan, hukumannya mati. Jadi, sementara orang-orang di Korea Selatan menyaksikan wajah-wajah manis para oppa, warga Korea Utara hanya bisa memandangi wajah Kim Jong-un di layar televisi mereka.

Yang mengerikan, ada semacam “kesetiaan luar biasa” di kalangan penduduk di sana, yang menjadikan warga benar-benar tidak berani melanggar aturan pemerintah, meski sepele sekali pun. Seperti menonton siaran televisi dari negara tetangga (Korea Selatan). Sebagian kita mungkin berpikir, “Ah, apa salahnya nonton drakor, toh di rumah sendiri. Tidak akan ada yang tahu!”

Kemungkinan, tentara-tentara yang tersebar di mana-mana di Korea Utara memang tidak tahu kalau ada warga yang mungkin menonton siaran televisi dari negara tetangga. Tetapi, orang serumah pasti tahu. Yang mengerikan, keluargamu sendiri bisa melaporkanmu ke aparat, dan mereka akan menangkapmu karena kau menonton drama Korea Selatan.

Jadi, di Korea Utara, kakakmu atau adikmu atau bahkan orang tuamu, bisa melaporkanmu ke aparat karena menonton siaran dari Korea Selatan, dan mereka akan menangkapmu. Mungkin terdengar mengerikan, dan itulah kenapa tidak ada warga Korea Utara yang berani coba-coba mengubah chanel televisi mereka. Karena anggota keluarga sendiri ikut mengawasi.

Kim Jong-un sudah dianggap nabi di sana, dengan segala kemuliaannya, sementara aturan pemerintah [yang tentu aturan Kim Kong-un] sudah dianggap kebenaran mutlak yang tak bisa diganggu gugat. Dalam cara berpikir semacam itu, pantas kalau ada kakak yang rela adiknya dihukum mati karena melanggar aturan “kebenaran”, atau ada orang tua yang tidak peduli anaknya dieksekusi karena melawan titah “sang nabi”.

Ada banyak warga Korea Utara yang percaya bahwa Kim Jong-un dan keluarganya tidak pernah buang air besar. Terdengar konyol? Mungkin iya, bagi kita. Tapi tidak, bagi penduduk Korea Utara. Dengan segala doktrin dan propaganda yang merasuki kehidupan setiap hari, mereka percaya bahwa Kim Jong-un dan keluarganya terlalu mulia untuk berurusan dengan toilet. 

Doktrin dan propaganda pemerintah a.k.a Kim Jong-un tidak hanya lewat televisi yang tidak boleh dimatikan, tapi juga lewat sarana lain; radio dan surat kabar. Di Korea Utara, sebagaimana umumnya di negara lain, ada banyak penjual koran. Tapi isi koran itu, setiap hari, hanya Kim Jong-un dan Kim Jong-un.

Bayangkan kita membeli koran di Korea Utara, lalu membukanya. Di halaman muka, ada Kim Jong-un. Membuka halaman dua, ada Kim Jong-un. Melihat halaman tiga, ada Kim Jong-un. Dan begitu terus sampai halaman belakang. Semuanya tentang Kim Jong-un dan aneka propaganda pemerintah. Betapa mulianya Kim Jong-un, betapa hebatnya Korea Utara. 

Karenanya, meski mungkin terdengar konyol, banyak penduduk di sana sangat yakin bahwa orang-orang di luar negara mereka sangat iri menyaksikan mereka. Karena Korea Utara, bagi mereka, adalah negeri terbaik di bawah langit. Itu mungkin ironi paling ironis yang bisa kita temukan di muka bumi. Tetapi, kita tahu, segala hal bisa terjadi di bawah kangkangan doktrinasi.

Lelucon Paling Tragis di Muka Bumi

Apa persamaan Nazi Jerman dengan rezim Korea Utara?
Sama-sama suka mendoktrinasi masyarakat dengan TOA.
@noffret


Tujuh puluh sembilan tahun yang lalu, pada 16 Februari 1942, seorang bayi terlahir di tempat rahasia, di sebuah gunung keramat. Ketika bayi itu lahir, bintang yang sangat besar menerangi seluruh langit, musim tiba-tiba berganti—dari dingin ke musim semi—dan pelangi indah bermunculan.

Bayi itu, kelak, akan menciptakan “kebodohan paling menakjubkan” di muka bumi, khususnya di negara bernama Korea Utara. Ah, ya, bayi itu bernama Kim Jong-il, yang belakangan punya anak laki-laki bernama Kim Jong-un. Dari ayah ke anak, mereka sama-sama pemimpin doyan ngibul.

Deskripsi yang saya katakan tadi—tentang bayi yang lahir di gunung dan diikuti bintang cemerlang yang menerangi langit serta pelangi indah bermunculan—tertulis dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan di Korea Utara, dan didoktrinkan, dibaca, dipelajari, dan diyakini rakyat Korea Utara.

Jadi, rakyat Korea Utara percaya bahwa pemimpin mereka, Kim Jong-il, adalah manusia pilihan. Sebegitu istimewa, sampai peristiwa kelahirannya mampu mengubah musim dingin menjadi musim semi, sampai bintang besar menerangi langit, sampai pelangi indah bermunculan. Oh, well. 

Faktanya, Kim Jong-il lahir di kamp pengungsian, di Rusia, tempat ayahnya (Kim Il-sung) sedang melarikan diri dari kejaran Jepang. Orang-orang sedunia tahu fakta itu, tapi rakyat Korea Utara justru tidak tahu. Karena mereka (rakyat Korut) memang diupayakan agar tidak pernah tahu.

Pengetahuan kita—masyarakat dunia—tentang Korea Utara jauh berbeda dengan pengetahuan rakyat Korea Utara tentang negaranya. Bagi kita, Korea Utara adalah lelucon paling tragis di muka bumi, kisah nyata jutaan orang bisa dikibuli tanpa pernah sadar mereka dikibuli.

Tapi [hampir semua] rakyat Korea Utara tidak pernah tahu mereka dikibuli. Mereka percaya negara mereka sangat indah, pemimpin mereka sangat baik, aturan yang mengikat mereka sangat adil, dan—ini paling konyol—bahwa orang-orang di dunia merasa iri pada mereka.

Bagaimana bisa jutaan orang dikibuli habis-habisan seperti itu? Karena kesadaran mereka dimatikan. Rakyat Korea Utara tidak mendapatkan informasi apa pun dari luar negara mereka. Semua pengetahuan, bahkan sistem nilai, yang ada di sana hanya datang dari satu sumber: Sang Pemimpin.

Salah satu keyakinan konyol rakyat Korea Utara adalah bahwa pemimpin mereka sangat dicintai dan dipuja masyarakat dunia. Sebegitu cinta, menurut keyakinan mereka, sampai masyarakat dunia tak henti mendoakan Sang Pemimpin Korea Utara. Wuopppoooo....

Setiap bayi yang lahir di Korea Utara akan didoktrin bahwa pemimpin mereka adalah manusia pilihan, bahwa mereka adalah rakyat yang beruntung karena hidup di negara yang indah, dengan aturan yang adil dan menyenangkan, bla-bla-bla. Padahal semuanya cuma ngibul dan ngibul.

Kehidupan rakyat Korea Utara adalah ilustrasi terang benderang tentang batas tipis antara “terdoktrinasi” dan “terbebaskan”. Manusia bisa sebegitu bodoh, hingga terdoktrinasi untuk meyakini sesuatu—tanpa setitik pun keraguan—karena panca-indra dibutakan, kesadaran mereka dimatikan.

Bikin Definisi Sendiri

"Ayo kita bikin definisi sendiri, dan yakini." | Dan cerita pun selesai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Juli 2012.

Dan Keraguan

 ...dan keraguan membunuhku perlahan-lahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Agustus 2012.

Dingin yang Gigil

Aku ingin meringkuk seperti anak kecil, tak terbangun, melewatkan musim dingin yang gigil.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2012.

Rabu, 01 Desember 2021

Green Capitalism: Apus-Apus Kapitalisme

 Tahun 2001, waktu awal kuliah, aku pertama kali mengenal istilah "green capitalism", di sebuah artikel. Waktu itu aku tidak paham istilah tersebut, meski artikel menguraikannya panjang lebar. Barusan aku nonton YouTube, dan kembali ingat istilah itu... gara-gara disebut Jerinx.

Green capitalism adalah contoh bagaimana kapitalisme memoles dirinya dengan image yang terdengar indah, tapi sebenarnya merusak. Kenyataan itu aku sadari ketika skandal IPCC terbongkar sekian tahun lalu, yang kemudian ditutupi habis-habisan dengan istilah terkenal, "Go green".

Go green adalah istilah yang mungkin terdengar positif, karena mengajak kita untuk "[kembali] merawat alam". Dalam contoh yang mudah, waktu itu, adalah mulai populernya aneka produk yang terbuat dari bahan-bahan alami. Tetapi, sebenarnya, itu cuma "apus-apus ala kapitalisme".

Inilah akar dan asal usul terbelahnya ilmuwan dunia dalam menghadapi masalah pemanasan global, yang sayangnya dipahami secara keliru oleh orang-orang awam. 

PEMANASAN GLOBAL adalah fakta. Tapi ISU PEMANASAN GLOBAL adalah permainan sekelompok elit dengan tendensi kapitalisme.

Bagaimana kita membedakan antara PEMANASAN GLOBAL dengan ISU PEMANASAN GLOBAL? Jawabannya rumit, karena pertama-tama kita harus tahu terlebih dulu apa/siapa/bagaimana IPCC, dan bagaimana data-data climate change diolah. (Kalau tidak tahu apa itu IPCC, silakan googling).

Secara mudah, pemanasan global adalah fakta. Pertanyaannya, siapa yang memiliki wewenang "resmi" untuk mengabarkannya kepada dunia? Jawabannya IPCC, karena mereka ada di bawah PBB. Kapitalisme menyadari hal itu, dan kisah selanjutnya sedang kita alami saat ini; green capitalism.

Kalau oligarki—sekelompok elit mengendalikan pemerintahan—bisa terjadi, kenapa kita tidak pernah membayangkan sekelompok elit mengendalikan lembaga keilmuan? Dalam konteks isu pemanasan global, hal semacam itulah yang terjadi. Kita dipaksa untuk menerima, seolah tak ada pilihan.

Tentu saja "pemanasan global" adalah fakta. Tapi "isu pemanasan global" adalah hal lain yang faktanya perlu diperiksa. Sayangnya, kebanyakan kita lebih mudah menerima apa saja asal "terdengar hebat dan ndakik-ndakik", apalagi jika dikatakan oleh pihak yang "memiliki otoritas".

Agar ocehan ini cepat rampung—juga agar tidak terlalu nyampah di TL orang-orang—mari ambil contoh yang paling sepele dan paling dekat dengan kita. Kantong plastik. Pernahkah kita bertanya-tanya kenapa kebijakan kantong plastik sangat aneh dan tak masuk akal, bahkan tidak adil?

Kita diminta agar tidak lagi menggunakan kantong plastik, alasannya karena merusak alam. Karena itu pula, pemerintah  memasang cukai untuk kantong plastik, dan mendapat sekian miliar dari hal itu secara berkala. Dari mana uang hasil cukai itu? Dari kita, rakyat, para konsumen.

Kalau tidak keliru, mulai Juli tahun ini warga Jakarta benar-benar dilarang menggunakan kantong plastik untuk urusan belanja, termasuk di pasar-pasar tradisional. Beberapa kota lain juga menerapkan kebijakan serupa. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Berdasarkan hal tersebut, kita seperti diberi tahu bahwa kantong plastik sungguh jahat, merusak alam, dan karena itu kita tidak boleh lagi menggunakannya. Kalau masih mau menggunakan, harus bayar cukai. 

Pertanyaannya adalah... kenapa aturan itu hanya ditujukan untuk konsumen?

Produsen mi instan, sebagai contoh, setiap hari menghasilkan sampah plastik dalam jumlah tak terhitung banyaknya. Plastik kemasan mereka—sebagaimana kantong plastik—butuh puluhan tahun untuk terurai di alam. Kenapa tak ada yang meributkan hal itu? Bukankah ini sangat tidak adil?

Konsumen, yang MENGGUNAKAN produk mereka, dijerat aneka peraturan terkait plastik. Sementara mereka yang MEMPRODUKSI justru dibebaskan dari aturan terkait plastik. Kenapa kita tidak menyadari ini sangat aneh? Dan mi instan hanya contoh kasus. Kasus lainnya masih sangat banyak.

Dan apa artinya itu? Oh, well, itulah salah satu contoh green capitalism. Kapitalisme yang memanfaatkan isu lingkungan, dengan menimpakan semua beban pada konsumen. Seiring dengan itu, mereka juga memproduksi aneka barang lain yang seolah mengajak kita merawat alam; Go green.

Apa muara yang akan terjadi dari semua ini? Sederhana saja, sesuai hukum besi kapitalisme, yang dinyanyikan Rhoma Irama; yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, mungkin baru akan selesai tahun 2619. Jadi cukup sampai di sini. Go sleep.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Februari 2020.

Mengapa Orang Gila Tak Pernah Sakit?

Ini pemikiran umum orang awam; mengira orang gila (penderita gangguan kejiwaan) sehat-sehat saja dan tak pernah sakit, padahal mereka hidup jorok, makan makanan kotor, dan semacamnya. 

Sayangnya, maaf sekali, itu pemikiran yang keliru. Faktanya, orang gila juga sakit!

Orang gila bisa sakit, sama seperti umumnya orang-orang waras (yang tidak mengalami gangguan kejiwaan). Orang gila bisa sakit perut, pusing kepala, cedera, atau terserang penyakit-penyakit yang lebih serius. Bedanya, orang waras melakukan tindakan, sementara orang gila tidak.

Ketika sakit kepala, orang waras mencari obat. Ketika sakit perut, sakit gigi, atau lainnya, orang waras mendatangi dokter. Karena bisa berpikir waras. Orang gila tidak punya kemampuan itu (namanya juga gila). Jadi mereka mengalami sakit, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.

So, orang gila bukan tidak pernah sakit seperti yang dikira orang-orang awam. Mereka juga sakit, tapi kita tidak pernah tahu. Dan, omong-omong, "gila" itu saja sudah sakit.

Aku bukan dokter. Tapi sila konfirmasikan tweet ini ke dokter berkompeten, dan mereka akan membenarkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juli 2020.

Dan Cermin pun Retak

"Dan cermin pun retak," kata Lady of Shallot, "dari sisi ke sisi." 

"Dan hidup pun berdetak," kataku, "dari sunyi ke sunyi."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 September 2012.

Akun Pernikahan di Twitter

Di Twitter, ternyata ada puluhan akun pernikahan. Adakah akun khusus perceraian? Jika tidak ada, Twitter memang sempurna. Atau sebaliknya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 September 2012.

Melarung Namamu

Langkah ini gagu. 
Menuju gelap, melarung namamu. 
Ada sesuatu yang tak pernah kutahu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 September 2012.

Sabtu, 20 November 2021

Pelajaran Komunikasi yang Tidak Diajarkan Kuliah Komunikasi

Ada sebagian orang yang mengira bahkan menuduhku
tidak mau berkomunikasi, padahal mereka tidak pernah
mengajakku komunikasi. Lucu, ya?


Banyak orang suka makan pizza, dan memancing ikan dengan pizza. Orang semacam itu berpikir, “Karena aku suka pizza, ikan juga pasti akan suka pizza.” Apakah dia lalu mendapat ikan dari pancingannya? Tidak! Karena ikan tidak berpikir seperti dirinya—ikan tidak makan pizza!

Saya suka merokok. Karena suka merokok, saya pun berpikir menawarkan rokok pada kucing, agar dia mau “ngobrol” dengan saya. Apakah upaya saya akan berhasil? Kemungkinan besar tidak, karena kucing tidak berpikir seperti saya. Kucing lebih tertarik pada ikan asin daripada rokok, semahal apa pun!

Dua ilustrasi di atas menunjukkan “cara berkomunikasi” yang salah kaprah, tapi anehnya dilakukan—dan terus dilakukan—jutaan orang di mana-mana. 

Di Twitter, sering ada meme terkait utang. Meme itu berupa percakapan antarteman (biasanya screen capture WhatsApp), yang isinya kira-kira seperti ini:

“Gimana kabarnya, bro? Tambah sukses saja sekarang.”

“Berapa?” 

“Duh, jangan nuduh gitu, lah. Aku cuma ingin menanyakan kabarmu.”

“Berapa?”

“Kok sinis amat sih, sekarang? Ditanya kabar malah nuduh aku mau ngutang.”

“Berapa?”

“Umm... lima ratus ribu, deh. Bulan depan aku kembalikan.”

Meme itu seolah ingin mengatakan, “Aku tahu kamu mau berutang, jadi tidak usah banyak tingkah dan banyak bacot. Langsung saja katakan maksudmu mau berutang, agar tidak perlu membuang-buang waktuku!”

Terkait komunikasi, saya punya “pegangan pribadi”. Orang cerdas suka to the point, orang tolol suka mutar-mutar. Ketika berkomunikasi, orang cerdas memprioritaskan hal-hal penting, sementara hal-hal tidak penting dibicarakan belakangan. Sebaliknya, orang tolol justru mengedepankan hal-hal tidak penting lebih dulu, sementara hal yang penting justru disampaikan belakangan.

Ketika orang cerdas punya kepentingan dengan orang lain, dia akan menemui orang itu, dan langsung mengatakan maksudnya—dia meletakkan hal penting di bagian depan. Setelah kepentingan itu ia sampaikan dan selesai dibicarakan, barulah ia dan lawan bicaranya membicarakan hal-hal lain yang tidak lebih penting.

Orang tolol sebaliknya. Ketika orang tolol punya kepentingan dengan orang lain, dia akan menemui orang itu, lalu berbasa-basi, ngalor-ngidul membicarakan hal-hal tidak jelas dan tidak penting, dan—setelah dia dan lawan bicaranya kelelahan ngobrol—barulah dia menyampaikan maksud kepentingannya menemui orang itu.

Saya lebih suka dengan orang jenis pertama; yang langsung menyampaikan maksudnya, mengedepankan hal-hal penting lebih dulu, dan baru setelah itu mengurus/membicarakan hal-hal yang tidak lebih penting. Bagi saya, orang semacam itu biasanya cerdas dan efektif, tidak banyak tingkah dan tidak banyak bacot; jenis orang yang biasanya cocok dengan saya.

Sebaliknya, saya sering tidak cocok dengan orang jenis kedua; yang datang menemui saya, mengajak ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas, lalu—setelah saya kelelahan dan nyaris mati bosan melayani percakapan dengannya—dia baru menyampaikan maksud atau tujuannya. Benar-benar tidak efektif! Kenapa dia harus membuang-buang banyak waktu, jika bisa menyampaikannya sejak awal?

Terkait hal ini, ada kisah yang tak pernah saya lupakan, yang menunjukkan betapa “mengerikan” dampak yang bisa ditimbulkan dari percakapan yang tidak efektif.

Saya punya teman yang memimpin institusi semacam think tank. Sebut saja namanya Adam. Kami sebenarnya berteman sejak lama, tapi, karena kesibukan masing-masing, kami jarang berkomunikasi. 

Suatu hari, bertahun lalu, Adam menghubungi saya, mengatakan ingin ketemu dan ngobrol-ngobrol. Saya menyambut dengan baik, dan kami kemudian mengobrol di rumah saya sampai larut malam, seperti umumnya teman.

Dalam percakapan itu, setelah kami mengobrol ngalor-ngidul dan bercanda tentang banyak hal, Adam menceritakan bahwa organisasinya sedang berusaha memenangkan tender untuk suatu proyek. Dia mengatakan, “Kami sedang membutuhkan orang yang bisa mengerjakan sesuatu dengan cepat, karena salah satu faktor yang dipertaruhkan di sini adalah waktu penyelesaiannya.”

Ketika dia mengatakan itu, dia menatap mata saya, seperti “mengirim kode” bahwa dia ingin saya membantunya. Saya memahami maksud “kode” itu, tapi juga ragu-ragu. Waktu itu, saya berpikir, “Apa iya, Adam ingin aku membantunya?”

Waktu itu pula, saya sebenarnya ingin mengatakan pada Adam, bahwa saya mungkin bisa membantunya—tapi saya juga ragu-ragu. Karena, kalau saya mengajukan diri dan ternyata Adam tidak menginginkan saya, bisa jadi itu akan menempatkan Adam pada posisi dilematis. Jika saya telanjur mengajukan diri, sementara Adam ternyata tidak menginginkan saya; itu akan membuatnya serbasalah. Lebih dari itu, saya juga khawatir akan mengecewakan Adam; belum tentu saya orang yang tepat untuk membantunya.

Jadi, akhirnya saya pun hanya diam, dan malah berkata, “Semoga kamu menemukan orang yang tepat.”

Sampai kami kemudian berpisah, waktu itu, Adam tidak mengatakan apa pun, selain hanya menceritakan hal tadi, dan berhenti di situ. Dia tidak meminta saya, dan akhirnya saya pun makin yakin kalau Adam memang tidak menginginkan saya membantunya—dia hanya ingin bercerita.

Sekitar dua minggu setelah itu, ada teman lain menghubungi saya. Namanya Safik. Di telepon, dia berkata, “Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang.” 

Orang yang ingin ia kenalkan adalah kakak iparnya. Namanya Fandi. Ketika kami—saya, Safik, dan Fandi—bertemu di rumah saya, Safik menjelaskan maksud dia mengenalkan Fandi kepada saya. Setelah itu, Fandi “mengambil alih”—dia berbicara dengan sangat efektif, mengatakan maksudnya dengan jelas, hingga saya benar-benar paham.

Lalu dia menyodorkan sebuah dokumen. “Kalau kamu diminta menyelesaikan ini, kira-kira berapa lama waktu yang kamu butuhkan?”

Saya melihat-lihat dokumen itu sekilas, lalu menjawab, “Mungkin sebulan.”

Fandi mengangguk puas. “Kalau aku memintamu membantuku menangani hal ini, kamu bersedia?”

Dengan nada bercanda, saya menjawab, “Kamu harus merayuku, agar aku bersedia.”

Singkat cerita, saya benar-benar membantu Fandi menangani proyek itu.

Belakangan, itu menjadi masalah antara saya dengan Adam. Karena, institusi Adam ternyata terlibat dalam tender yang sama, yang juga diperebutkan perusahaan Fandi. Dalam tender itu, Fandi mengajukan waktu pengerjaan satu bulan—seperti yang saya janjikan kepadanya—sementara Adam mengajukan waktu pengerjaan lima bulan. Singkat cerita, perusahaan Fandi memenangkan tender itu.

Ketika Adam tahu siapa orang yang membantu Fandi, dia ngamuk.

Saya masih ingat, waktu itu, ketika dia “melabrak” saya, dan menuduh saya tidak mau membantu dia, tapi malah membantu orang yang tidak saya kenal.

“Aku mendatangimu lebih dulu,” kata Adam waktu itu. “Aku mendatangimu, berharap kamu mau membantuku. Kita telah berteman bertahun-tahun, tapi kamu malah membantu orang lain yang tidak kamu kenal!” (Catatan: Adam dan Safik tidak saling kenal).

Saya berusaha menjelaskan, “Ketika kamu datang, kamu hanya bercerita. Kamu sama sekali tidak memintaku! Kamu hanya menjelaskan bahwa kamu sedang berusaha memenangkan tender. Apakah kamu mengatakan butuh bantuanku? Tidak! Apakah kamu memintaku agar aku membantumu? Juga tidak! Memangnya apa yang kamu harapkan?”

Adam masih marah. “AKU SUDAH MEMBERIKAN KODE KALAU AKU BUTUH BANTUANMU!”

“PERSETAN DENGAN KODE! AKU TIDAK BERKOMUNIKASI DENGAN CARA TOLOL SEMACAM ITU!” Saya menyulut rokok, lalu berkata dengan nada lebih rendah, “Kalau saja waktu itu kamu mengatakan dengan jelas bahwa kamu butuh bantuanku, aku akan senang hati membantu. Tapi kamu tidak mengatakan apa pun, dan aku juga tidak berani menawarkan diri, karena khawatir mengecewankanmu. Dulu, ketika kamu menceritakan soal tender itu, aku memang sempat ingin menawarkan untuk membantu. Tapi aku ragu-ragu. Karena, kalau ternyata kamu tidak menginginkan aku membantumu, itu bisa menempatkanmu pada posisi serbasalah. Jadi, aku memilih diam, dan menyimpulkan kalau kamu tidak butuh bantuanku.”

Sejak itu dan seterusnya, setiap kali butuh sesuatu, Adam akan mengatakannya secara jelas kepada saya. Dia akhirnya memahami pola komunikasi yang efektif; nyatakan dengan jelas maksud dan tujuan, kedepankan hal-hal penting lebih dulu, dan pastikan lawan bicara benar-benar paham maksudmu. Dalam konteks Adam, memahami pola komunikasi yang efektif semacam itu menyelamatkannya dari kerugian besar.

Dalam keseharian, dalam kehidupan yang lebih luas, banyak orang berkomunikasi dengan pola yang tidak efektif—yang dituju adalah Z, tapi mutar-mutar, membicarakan A sampai Y terlebih dulu, dengan basa-basi berbusa-busa. Setelah percakapan jadi tidak menarik karena telah menghabiskan banyak waktu, mereka baru masuk ke tujuan inti. Itu, saya pikir, berasal dari kebiasaan Homo sapiens yang doyan ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas—warisan dari zaman nenek moyang yang tinggal di gua purba. 

Mungkin hal semacam itu bisa diterapkan pada sebagian orang—dengan dalih “sopan santun”—tapi jelas tidak akan bisa diterapkan pada semua orang. Bahkan, dalam kasus tertentu, pola komunikasi ngalor-ngidul semacam itu bisa terkesan menjebak. Serupa dengan meme soal utang tadi. 

Kalau kita datang pada seseorang dengan tujuan untuk berutang, tapi mengajaknya ngobrol ngalor-ngidul lebih dulu, dia bisa saja merasa “tertipu” atau terjebak. Dia akan berpikir, “Asu! Ngajak ngobrol panjang lebar, ternyata ujung-ujungnya mau ngutang!”

Saya termasuk yang membenci “jebakan” semacam itu, karena memunculkan kesan tidak menyenangkan, yang menyadarkan saya bahwa percakapan panjang lebar itu ternyata tidak tulus, karena ujung-ujungnya adalah ngutang. Jauh lebih baik kalau orang mengatakan maksudnya terlebih dulu, baru setelah itu kami membicarakan hal-hal lain, sehingga percakapan yang terjadi benar-benar tulus, bukan karena tendensi tertentu.

Di atas semua itu, selalu pahami lawan bicara yang kita hadapi. Kalau kita “berbicara” dengan ikan, pastikan umpan yang kita gunakan benar-benar tepat. Karena ikan lebih suka cacing, meski mungkin kita tergila-gila pada pizza. Dan, omong-omong, kucing tidak merokok, ia lebih suka ikan asin!

Pilihan Hati

Kenapa banyak laki-laki yang pacaran dengan perempuan cantik, tapi menikah dengan perempuan biasa? Dan kenapa banyak pula perempuan yang pacaran dengan laki-laki ganteng, tapi menikah dengan laki-laki sederhana?

Teguh (vokalis Vagetoz) ditanya Ruri (vokalis Repvblik), mengenai kriteria perempuan yang ingin ia nikahi. Dan ini jawaban Teguh, “Di zaman sekarang tuh gampang-gampang susah [mencari jodoh]. Apalagi yang gaul-gaul gitu, enggak masuk untuk saya." 

Laki-laki matang—Teguh berusia 38 tahun saat itu—rata-rata memang memiliki kriteria berbeda dengan laki-laki yang lebih muda [berusia 20-an]. Ini rahasia umum yang kita semua tahu. Pasangan yang ingin kita pacari bisa berbeda dengan yang ingin kita nikahi. 

Saat masih remaja, dan hubungan sebatas pacaran, kriteria kita mungkin sangat fisikal dan artifisial. Yang cowok ingin cewek cantik, dan begitu pula sebaliknya. Tapi seiring usia makin matang, dewasa, dan mulai terpikir pernikahan, kriteria pasangan biasanya berubah.

Yang dipikirkan laki-laki ketika ingin menikah, biasanya, tidak sekadar apakah si perempuan cantik atau tidak. Sebagaimana yang dipikirkan perempuan ketika ingin menikah juga di antaranya, “Apakah dia baik dan bertanggung jawab?” Dan pertanyaan lain serupa.

“Yang gaul-gaul”—meminjam ungkapan Teguh Vagetoz—mungkin tampak menarik saat kita masih belia. Tapi hubungan yang dewasa, lebih spesifik pernikahan, tidak sekadar dibangun dengan “yang gaul-gaul”, tapi lebih pada kesadaran, kematangan, dan tanggung jawab.

Kita ingin “yang gaul-gaul” ketika masih belia, karena orientasi kita masih sebatas pacaran, dan pacaran adalah aktivitas kita di luar (di hadapan mata orang-orang lain). Kita butuh “kebanggaan”—pacar kita cakep atau semacamnya; orientasinya masih fisikal dan artifisial.

Tetapi ketika berpikir tentang pernikahan, seketika orientasi kita berubah, karena pernikahan adalah aktivitas yang kita lakukan di dalam (maksudnya di dalam rumah, di ruang privat). Yang kita cari bukan lagi sebatas kebanggaan artifisial, tapi kedamaian dan ketenteraman.

Syukur alhamdulillah kalau pasangan kita cakep sekaligus bertanggung jawab dan menenteramkan hati. Tapi jika pilihannya adalah cakep ATAU menenteramkan, orang waras mana pun akan memilih yang kedua. Buat apa cakep, kalau saban hari ngajak ribut dan bertengkar?

“Di zaman sekarang tuh gampang-ampang susah [mencari jodoh]. Apalagi yang gaul-gaul gitu, enggak masuk untuk saya," kata Teguh Vagetoz. 

Begitu pula menurut saya. “Yang gaul-gaul” juga tidak cocok buat saya, karena yang saya rindukan adalah sosok mbakyu. Appeeeeuuuu...

Kesalahan di Masa Muda

"Aku melakukan kesalahan di masa muda," katanya, "dan sekarang aku terbangun setiap pagi di sampingnya."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 September 2012.

Dan Malam

Dan malam menjebak kegelapan, gelepar teriak di antara jerat laba-laba.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Melihat Segi Baiknya

"Melihat segi baiknya" itu sulit dilakukan, kalau kenyataannya memang tidak ada segi baiknya. Dan... apa sih definisi segi?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Rabu, 10 November 2021

Perempuan, Pernikahan, dan Patriarki

Aku suka—dengan kadar yang membuat otakku terusik dan ingin ngoceh—tagline film Kim Ji-young: Aku adalah seorang anak. Seorang istri. Seorang ibu. Tapi di atas semua itu, aku adalah seorang perempuan.

Mumpung sudah mandi, aku ingin ngoceh. Sekalian mumpung TL mulai sepi.

Berdasarkan data Mahkamah Agung, antara 2005-2010, satu dari sepuluh pasangan suami istri di Indonesia bercerai. Satu dari sepuluh! Jika ada seribu pernikahan, seratus di antaranya bercerai. Itu pun yang tercatat.

Bukan ending yang tepat untuk “and they lived happily ever after”.

Dari kasus-kasus perceraian yang terjadi, sebagian besar—mencapai 70 persen dari semua kasus—gugatan perceraian diajukan pihak istri. Angka itu naik jadi 80 persen saat memasuki periode 2010-2015. 

Pernikahan akan membuatmu bahagia, katanya. Oh, well, statistik bahagia!

Mengapa ada banyak wanita (istri) menggugat cerai suaminya, padahal—jika dipikir menggunakan pola pikir standar masyarakat kita—perkawinan justru memungkinkannya hidup nyaman karena adanya nafkah yang terjamin? 

Dalam teori memang iya, tapi dalam realitas... tidak.

Terkait perkawinan, masalah kita adalah doktrin yang penuh omong kosong! Perkawinan disodor-sodorkan ke muka kita sebagai dongeng khayalan sorga, padahal ia adalah hubungan yang bisa saja penuh konflik, penuh kerja keras, serta modal dan kesadaran dan kearifan dan tanggung jawab.

Menjalin hubungan—dalam hal ini menikah—artinya bekerja keras untuk kelangsungan hubungan itu. Dan kerja keras itu harus dari dua pihak, suami dan istri. Untuk bisa memberikan “kerja keras” yang cukup, artinya keduanya harus sama-sama mampu melakukan. Plus dengan tanggung jawab.

Sebagai bocah, aku ingin mengakui secara jujur bahwa aku tidak/belum berminat menikah, karena tidak akan punya waktu mengurusi pernikahan yang, kenyataannya, membutuhkan kerja keras dan tanggung jawab. 

Kembali ke urusan perceraian di Indonesia, yang datanya sangat jelas menunjukkan betapa mereka sungguh bahagia—oh, well, bahagia!

Satu dari sepuluh pernikahan berakhir perceraian, itu pun yang terdata di MA. Padahal yang bercerai diam-diam tanpa terdata tentu juga sangat banyak.

Jadi, mengapa ada banyak wanita (mencapai 80 persen dari semua kasus perceraian) yang menggugat cerai suaminya? 

Jawabannya sangat sederhana, karena—dalam kultur patriarki, seperti di Indonesia—wanita akan menanggung beban luar biasa ketika memasuki pernikahan.

Ketika masih lajang, wanita hanya menjadi dirinya sendiri, dan hanya mengurus hidupnya sendiri—atau mungkin hal lain, semisal keluarganya. Bebannya bisa dihitung, dan bisa ditanggung dengan cukup mudah. Selama dia melakukannya dengan baik, bisa dibilang tidak ada masalah.

Tapi ketika menikah, beban wanita akan bertumpuk-tumpuk. Dari menjadi istri (untuk suaminya), menjadi ibu (untuk anak-anaknya), menjadi anak (bagi orang tuanya), menjadi individu (bagi lingkungan sosialnya), sampai menjadi “pembantu” (untuk rumah tangganya).

Menghadapi beban luar biasa semacam itu, mungkin tidak akan terlalu bermasalah jika suaminya baik, penuh pengertian, sekaligus punya penghasilan cukup. Artinya, beban-beban tadi akan dipikul bersama, sehingga tidak ada salah satu yang [terlalu] keberatan menanggungnya.

Masalah mulai terjadi, ketika beban rumah tangga—seperti yang disebut tadi—hanya dipikul satu pihak, dalam hal ini pihak istri. Itulah yang melatari kenapa banyak sekali wanita yang sampai memilih bercerai. Karena mereka sadar, hidup sendiri jauh lebih mudah daripada bersuami.

Ada fakta lain yang mungkin jarang diperhatikan kebanyakan orang terkait hal ini. Ketika seorang wanita menikah, ia tidak hanya berpotensi menghadapi tumpukan beban dari rumah tangganya, tapi juga berpotensi kehilangan pekerjaan yang telah ia miliki ketika masih lajang.

Ada banyak wanita yang semula punya pekerjaan dengan gaji lumayan, ketika masih lajang, terpaksa harus kehilangan pekerjaan itu ketika menikah—karena ada perjanjian dengan pihak perusahaan bahwa hubungan kerja akan berhenti, begitu si wanita menikah.

Memang tidak semua perusahaan menerapkan kebijakan semacam itu, tapi ada, banyak mungkin banyak. Ironisnya, perusahaan yang menerapkan kebijakan semacam itu adalah mereka yang mempekerjakan para wanita dengan pendidikan minim. Contoh mudah, misalnya, SPG. 

Dalam pikiranku, itu semacam “jebakan maut” yang melemparkan wanita ke dalam mulut buaya. Kau menikah, pekerjaanmu hilang. Dan itu artinya, kau akan bergantung (secara khusus dalam hal ekonomi) pada suamimu. And you know what? Kultur patriarki akan bertepuk tangan!

Di dalam kondisi semacam itu, ada banyak wanita yang merasa tidak punya pilihan. Mereka sudah terjebak dalam perkawinan—dan bergantung pada suami (khususnya dalam hal ekonomi)—hingga mereka pun terpaksa menanggung beban-beban luar biasa tanpa henti. Bahkan kadang sampai mati.

Sekarang kita bisa membayangkan wanita-wanita dari golongan menengah ke bawah, dengan pendidikan minim, kesadaran minim, masuk dalam perangkap pernikahan... dan mereka merasa tak punya pilihan lain selain menerima takdir sebagai budak ketidakadilan sistem sosial dan patriarki.

Sudah melihat bagaimana semua perangkap ini disiapkan untuk menjebakmu bulat-bulat? Kita, sebenarnya, tidak hidup di dunia yang adil. Kita hidup di dunia yang dirancang oleh sebagian pihak untuk memangsa pihak lain. Dan untuk menguatkan hal itu, mereka mengarang doktrin.

Menikah akan membuatmu tenteram, bahagia, dan lancar rezeki—katanya.

Kenapa mereka tidak pernah mengatakan hal lain, selain mengulang-ulang bualan itu? Kenapa mereka tidak pernah mengatakan banyaknya beban dan tanggung jawab, kesadaran dan kearifan? Tanya kenapa!

Karena mereka memang tidak ingin kau tahu. Karena begitu kau tahu seperti apa sebenarnya perkawinan, kau akan berpikir seribu kali untuk menikah. Karena jika mereka mengatakan isi pernikahan secara jujur dan apa adanya, kau akan tahu bahwa mereka sebenarnya tidak bahagia.

Secara ilmiah, perkawinan akan bahagia, jika—dan hanya jika—dilihat dari perspektif biologi. Karena itulah tujuan perkawinan, untuk bereproduksi, dan meneruskan evolusi. Tidak usah manusia, bahkan binatang pun tahu hal itu—meski mereka tidak memakai doktrin macam-macam.

Tetapi, kehidupan manusia tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif. Karenanya, jika perkawinan manusia dilihat/dipelajari menggunakan perspektif biologi, psikologi, sosiologi, filsafat, bahkan matematika, dan semua perspektif itu digabung jadi satu, hasilnya bisa mengerikan.

Berdasarkan gabungan perspektif tadi, aku percaya (secara akademis) bahwa manusia lebih mungkin tertekan dan menderita dalam perkawinan, daripada sebaliknya. Karenanya, dalam perspektifku sebagai bocah, orang bahagia dalam perkawinan itu kasuistis—karena seharusnya tidak!

Selama ini, orang-orang mungkin berpikir bahwa pasangan yang bercerai itu kasuistis, sebagaimana pasangan yang tertekan dalam rumah tangganya juga kasuistis. Padahal sebaliknya, mereka justru bagian dari kemungkinan wajar dan alamiah—karena memang begitulah perkawinan!

Ini seperti membayangkan persentase kemungkinan munculnya tiga titik dalam sebuah dadu, tapi kita melipatgandakannya beberapa kali (karena banyaknya perspektif yang digunakan). Hasilnya sama, tetap bisa diprediksi, meski dalam kelipatan. Data cerai di MA dengan jelas membuktikan!

Kesimpulannya—dan kau boleh tidak sepakat, tentu saja—kalau kau tertekan dan tidak bahagia dalam perkawinan, itu wajar dan alamiah. Karena memang begitulah perkawinan! Sebaliknya, kalau kau bahagia dalam perkawinan, kau termasuk bagian yang sangat sedikit, karena kasuistis.

Makanya, aku benar-benar ingin tertawa [campur ingin muntah karena sangat bosan] tiap kali mendengar doktrin perkawinan yang jelas omong kosong itu. Kita tidak bisa mengubah api kehilangan panasnya hanya dengan terus menerus mengatakannya dingin—kecuali kau Nabi Ibrahim!

Terkait perkawinan, kita tidak bisa mengubahnya menjadi sorga-tanpa-masalah hanya dengan terus menerus mendoktrinkannya begitu, karena realitasnya memang tidak begitu! Dan orang-orang yang belum menikah mestinya diberi tahu kenyataannya, bukan malah dikibuli serta ditipu.

Akhirnya, menikah adalah soal pilihan. Kalau kau memang memilih menikah, maka menikahlah. Selama kau memahami konsekuensi dan tanggung jawab pernikahan, dan bersedia menanggungnya dengan baik serta penuh kesadaran dan kearifan, bersama pasanganmu, kau tentu berhak melakukannya.

Dan setelah menikah, tutuplah mulutmu. Tidak usah repot menyuruh atau memprovokasi orang-orang lain agar cepat menikah sepertimu. Oh ya, dan tidak usah petantang-petenteng hanya karena kau telah menikah—karena menikah hanyalah soal pilihan. Itu sesuatu yang sangat, sangat biasa!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 November 2019.

Dua Buku Berbeda

"Kalau kau ingin membaca cinta dan perkawinan," kata orang bijak, "bacalah dua buku yang berbeda." | Aku menuruti nasihatnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 September 2012.

Rindu Menjelang

Entah sudah berapa lama aku tak melihat hujan. Dan sekarang ia datang. Rasanya seperti rindu menjelang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2012.

Berubah

"Kau boleh berubah karena aku, dan itu hakmu," ujar si laki-laki. "Tetapi, demi Tuhan, tolong jangan paksa aku berubah karenamu." | The End.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 September 2012.

Belajar Apeuh

Dari pernikahan Rizki D'Academy dan Nadya Mustika Rahayu, kita bisa belajar bahwa...

... bahwa appeeeuuuh?

(Ya sono baca beritanya.)


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 September 2020.

Senin, 01 November 2021

Bukan Pacar yang Baik

Akhir pekan, dan tak punya pacar.
Aku bersyukur, karena bisa menggunakan akhir pekan 
untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat.


Keputusan-keputusan [besar] yang kita lakukan dalam hidup, biasanya terkait dengan cara kita berpikir. Cara kita berpikir biasanya terkait dengan kepribadian yang kita miliki. Dan kepribadian yang kita miliki biasanya terkait dengan realitas/pengalaman hidup yang kita jalani. 

Di antara keputusan-keputusan besar yang kita lakukan dalam hidup, salah satunya adalah menjalin hubungan dengan seseorang, entah pacaran atau menikah. Meski semua orang mungkin butuh memiliki hubungan dengan seseorang, tapi cara kita melakukannya bisa berbeda.

Sebagian orang memutuskan pacaran, entah serius atau sekadar pacaran, biasanya karena memiliki modal paling penting untuk melakukannya: Waktu. Orang-orang itu pun bisa menjalani aktivitas pacaran dengan relatif baik, karena mereka punya modal yang paling utama: Waktu.

Mungkin ini jarang dipahami kebanyakan orang. Modal utama pacaran itu sebenarnya bukan uang, tapi waktu. Semakin lama dan semakin intens pacaran yang dilakukan, semakin banyak pula waktu yang akan dihabiskan.

Modal paling penting dalam pacaran adalah waktu, karena pacaran—setidaknya dalam pikiran saya—adalah aktivitas yang sangat menghabiskan waktu. Dari sekadar say hello pada pacar via ponsel, chatting berjam-jam, menanyakan kabar setiap saat, sampai aktivitas ketemuan yang bisa lama sekali.

Itu pun sering kali masih ditambah dengan aneka hal lain yang sama menguras waktu dan emosi, misal pertengkaran, kecemburuan, merasa diabaikan, dan lain-lain. Semua itu, sekali lagi dalam pikiran saya, sangat... sangat... sangat... menguras waktu, dan kadang juga emosi serta pikiran

Di Twitter, misalnya, sering ada tweet viral soal ini. Salah satunya, yang masih saya ingat, adalah sepasang pacar yang bertengkar gara-gara footstep motor. Berdasarkan yang saya tangkap dari gambar di timeline Twitter, ada cowok “melapor” ke ceweknya, kalau dia sudah pulang (sampai rumah). Sebagai bukti, si cowok melampirkan foto sepeda motor yang parkir di depan rumah.

Di luar dugaan, si cewek malah ngamuk. Dia mencurigai cowoknya barusan memboncengkan seseorang, gara-gara footstep motor yang jatuh (dalam posisi dipijak, bukan dalam posisi berdiri). 

Si cowok menjelaskan panjang lebar, bahwa footstep motor itu memang sudah tidak kencang bautnya, hingga selalu dalam posisi jatuh. Jadi itu bukan karena barusan dia memboncengkan seseorang. Si cowok sampai memvideokan bagaimana dia mencoba memasang footstep dengan benar, tapi jatuh lagi karena memang bautnya sudah kendur.

Akhir kisah, si cowok akhirnya membeli footstep baru untuk ia pasang pada sepeda motornya, agar tidak lagi dicurigai/dicemburui ceweknya.

Ketika mendapati tweet viral itu di Twitter, saya membatin, “Aku tidak akan punya waktu untuk melakukan hal-hal seperti ini. Aku bahkan tidak akan punya kesabaran untuk melakukan hal-hal seperti ini. Eman-eman waktunya!”

Waktu. Itulah modal utama sekaligus paling penting dalam urusan menjalin hubungan dengan seseorang, atau pacaran. Dan saya tidak punya modal utama itu, karena waktu saya sudah habis untuk mengurusi kesibukan saya sendiri. Boro-boro membuang waktu untuk pacaran, saya justru merasa sangat kekurangan waktu.

Itu alasan utama yang membuat saya tidak—atau belum—tertarik pacaran dan menjalin hubungan dengan siapa pun. Karena tidak punya waktu untuk melakukannya. Dan jika saya memaksa melakukannya, saya khawatir hanya akan menyakiti perasaan pacar, karena tak punya waktu untuknya.

Seumur hidup, sampai saat ini, saya hanya pacaran dua kali. Dan dua perempuan yang pernah jadi pacar saya dulu memiliki keluhan yang sama; merasa diabaikan, karena saya hanya punya sedikit waktu untuk mereka. 

Malam Minggu, misalnya, kadang saya tidak mengunjungi mereka. Alasannya sepele; saya lupa atau tidak sadar itu malam Minggu, karena khusyuk belajar atau karena keasyikan bekerja.

Siang harinya, ketika pasangan lain asyik menikmati akhir pekan dengan berkencan, saya juga asyik sendiri dan lupa kalau punya pacar. Kalaupun ingat, saya cuma mengirim pesan ke ponsel pacar, memastikan dia baik-baik saja—lalu melanjutkan kesibukan saya sendiri. 

Memang, pacar saya waktu itu kelihatan baik-baik saja. Tapi diam-diam, sebenarnya, mereka dongkol karena merasa diabaikan.

Pacar saya yang pertama, pernah mengatakan dengan marah, ketika kami bertengkar, “Kamu tahu apa masalahmu? Kamu terlalu sibuk belajar, terlalu sibuk bekerja, sampai lupa kewajibanmu yang lain! Aku pacaran denganmu, tapi aku sering merasa jauh darimu, karena kamu terlalu asyik dengan duniamu sendiri.”

Dia menangis waktu mengatakan itu, dan saya merasa sangat bersalah. Tidak lama setelah itu, kami putus, karena berpikir itu yang terbaik bagi kami.

Pacar saya yang kedua, juga punya keluhan yang sama. Dia masih kuliah, waktu itu, sementara saya sudah drop out dari kampus. Selama pacaran dengannya, kami lebih sering berpisah daripada bersama. Waktu itu, karena tuntutan pekerjaan, saya harus sering bepergian. Kami hanya mengobrol lewat ponsel sewaktu-waktu, kalau saya selo, atau bertukar pesan lewat SMS. 

Selama itu, dia tidak pernah marah, meski diam-diam sebenarnya sangat tertekan. Dan saya baru tahu hal itu, ketika kami menjelang putus.

Setelah dia lulus kuliah dan mulai bekerja, orang tuanya meminta agar dia segera menikah. Dia memberitahu saya, dan saya mengatakan kepadanya, “Aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Tidak lama lagi. Setelah urusan ini selesai, kita menikah.”

Dia berkata dengan halus, “Aku percaya kepadamu. Tapi orang tuaku belum tentu.” 

Setelah itu, sambil menahan isak, dia menyatakan sesuatu yang tak pernah saya lupakan. “Kamu tak pernah datang. Kamu terus sibuk dengan urusanmu sendiri, dan selama ini aku percaya kepadamu. Aku tidak pernah marah, meski sangat tertekan, merasa diabaikan, tak dipedulikan, karena aku sangat mencintaimu. Tapi sekarang... aku tak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Itu pertama kali saya menyaksikan dia menangis... dan juga terakhir kali. Karena setelah itu, kami putus. Sejak itu, saya bersumpah pada diri sendiri, untuk tidak pernah pacaran lagi.

Saya telah pacaran dua kali, dan telah melakukan kesalahan dua kali. Saya tidak ingin menyakiti perasaan perempuan lain. 

Dalam pikiran saya, pacaran hanya akan mengulang kesalahan saya, dan itu artinya akan ada perempuan lain yang tersakiti. Karena saya belum siap melakukannya, dan memaksa diri melakukannya hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Saya bukan pacar yang baik, dan kesadaran itu membuat saya cukup tahu diri.

Saya tidak akan punya waktu menelepon sampai berjam-jam, tidak akan punya waktu membalas chat setiap hari, tidak akan punya waktu rutin mengunjungi atau berkencan, dan itu akan membuat perempuan mana pun yang jadi pacar saya akan tertekan, tersakiti, merasa diabaikan. 

Saya tidak akan mengulang kesalahan yang sama—setidaknya untuk saat ini. Dan itu artinya saya tidak akan memberanikan diri menjalin hubungan dengan perempuan mana pun... meski saya mungkin jatuh cinta kepadanya. Saya akan lebih memilih untuk menahan diri. Karena menjalin hubungan dengannya, hanya akan membuka kemungkinan saya akan menyakitinya. 

Well. 

Selain pacaran, keputusan besar lain dalam hidup biasanya pernikahan (memutuskan untuk menikah). Sama seperti pacaran, saya juga sadar belum mampu melakukannya, dan saya memilih untuk tidak buru-buru melakukan. Itu pula alasan saya menjauhi pacaran, agar juga jauh dari pernikahan.

Saya bukan pacar yang baik, bukan pasangan yang baik. Setidaknya untuk saat ini.

Ketika jatuh cinta, mencintai seseorang, kita pasti berpikir dan berharap yang terbaik untuk orang yang kita cintai. Begitu pun saya. Dan saya tidak yakin bisa menjadi yang terbaik untuk perempuan yang saya cintai. Karenanya, saya pun lebih memilih memendam perasaan diam-diam, mencintainya diam-diam... daripada membuatnya terluka. 

Logika Cinta

"Cinta ini kadang-kadang tak ada logika," kata Agnes Monica. 

Sayang sekali, logikaku tetap jalan meski jatuh cinta.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2019.

Ora FU Ora Love You

Kirain slogan "ora FU ora love you" itu cuma populer di tempatku. Ternyata juga populer di tempat-tempat lain. 

Itu mitos apa fakta? Kayaknya sih fakta, soalnya dulu aku juga pake FU, dan nyatanya memang gitu. 

Konon, seseorang sudah layak disebut (atau merasa) "tua", kalau sudah tidak pede naik motor semacam FU atau Sonic. Ada benernya juga, kalau dipikir-pikir. Setiap orang (pria) mungkin pede naik CBR, Ninja, atau semacamnya. Tapi tidak setiap orang pede naik FU atau Sonic.

FU atau Sonic memang identik dengan bocah, dan aku bersyukur menjadi bocah. Sampai sekarang aku bahkan masih menunggu Suzuki merilis FU model baru yang benar-benar manis dan elegan, seperti dulu. (Beberapa FU edisi terkini tampak wagu, masih bagus yang model pertama).

Sebagai bocah, aku merasa kebocahanku benar-benar paripurna saat naik FU. Semoga Suzuki membaca ocehan ini dan menjadikanku sebagai Duta FU. Appeeeuuuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Februari 2020.

Nasihat Bagus

Temanku mengatakan, "Belajarlah untuk tidak belajar." Sepertinya dia benar. Seperti nasihat bagus lain, yang sulit adalah melaksanakannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Alasan Putus yang Keren

Sepasang pacar bercakap-cakap.

“Kupikir, sebaiknya kita putus saja.”

“Kenapa?”

“Karena hubungan kita sudah mulai tercerabut dari nilai-nilai humanistik transendental moratorium, sehingga tidak memenuhi standar morfologi eskapisme dan konsep mandatoris yang enviromental.”

“APA ARTINYA ITU?”

“Aku tidak tahu. Tapi pokoknya kita putus dengan alasan itu, biar keren.”

....
....

Lalu salah satu dari mereka curhat ke temannya, “Aku putus dengan pacarku.”

“Kenapa?” tanya si teman, heran.

“Soalnya hubungan kami sudah mulai tercerabut dari nilai-nilai humanistik transendental moratorium, sehingga tidak memenuhi standar morfologi eskapisme dan konsep mandatoris yang enviromental.”

“HAH? MAKSUDNYA GIMANA?”

“Aku juga tidak tahu. Tapi setidaknya kami putus dengan alasan keren.”

Rabu, 20 Oktober 2021

Kebetulan dan Keajaiban

Kamu pernah masuk warung yang sepi, dan tak lama kemudian warung itu ramai? Ya, aku juga pernah. Sering, malah.

Bagaimana itu bisa terjadi? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Yang kayak gitu terjadi di mana-mana, pada siapa saja. Tak peduli umpama kita mbah-mbuh sekalipun.

Kamu pernah menghentikan penjual keliling, terus orang-orang ikut beli hingga dagangan orang itu laris? Ya, aku juga pernah. Sering, malah.

Bagaimana itu bisa terjadi? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Kenyataannya kita tidak bisa sengaja mengulanginya semau kita.

Tapi kita pasti senang jika diberitahu, "Kamu punya aura positif, hingga bisa menarik orang-orang ke warung yang semula sepi. Kamu punya vibrasi bagus, hingga bisa meramaikan dagangan penjual keliling, hingga orang-orang mengikutimu membeli dagangannya."

Mungkin ada benarnya.

MUNGKIN ada benarnya, bahwa sebagian orang memang punya aura positif atau semacamnya, hingga warung yang semula sepi bisa ramai ketika orang itu datang... TAPI dengan catatan: JIKA ORANG ITU BISA MENGULANGINYA KAPAN PUN DIA MAU, DI MANA PUN TEMPATNYA. Jika tidak, itu kebetulan.

Kamu pernah mendapati anak kecil yang tidak kenal (masih asing) denganmu, tapi "jinak" dan nempel denganmu? Ya, aku juga pernah. Sering, malah.

Kenapa? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Kebetulan anak kecil itu suka kita, apa pun alasannya, hingga mau dekat dan "jinak".

Dulu aku pernah "pede", gara-gara ada anak orang (yang tidak kenal aku sama sekali), mau kugendong, bahkan sampai tertidur lelap di pangkuanku. 

Aku mikir, waktu itu, "Aku pasti punya aura bagus!"

Aura bagus apaan? Keponakanku sendiri malah sering kabur kalau dekat denganku!

Kamu pernah stres karena butuh uang, dan tiba-tiba menemukan uang entah di saku celana, di bawah tumpukan koran, di selipan buku, atau semacamnya? Ya, aku juga pernah. 

Bagaimana itu bisa terjadi? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Kebetulan yang sama sekali tidak bisa diandalkan.

Tapi kita mungkin akan senang jika diberi tahu bahwa "penemuan uang yang tak disengaja di saat kita butuh" itu adalah tanda semesta mendukung kita.

Ya, aku juga pernah (ingin) percaya dengan kemungkinan itu. Sayangnya, semesta sering kali tak muncul saat aku benar-benar butuh!

Zaman aku kecil dulu, di kampungku ada seorang wanita bernama Markonah. Menurut orang-orang, dia tidak waras. Tak ada orang yang mau mendekat apalagi menyapa Markonah, karena dia memang tampak seperti orang gila, dengan tubuh dekil dan kotor karena tak pernah mandi. Yang ajaib...

Yang ajaib, ke mana pun Markonah pergi, ada puluhan kucing kampung (kucing liar yang tidak dimiliki siapa pun) mengikuti Markonah. Jadi, teman Markonah adalah kucing-kucing. Bahkan ketika Markonah tidur, kucing-kucing itu tidur di sekelilingnya.

Apakah Markonah adalah Catwoman?

Dalam novel atau film, Markonah mungkin akan dikisahkan memiliki "kekuatan" yang menjadikan kucing-kucing terus mengikutinya... dan kita pasti akan senang jika hal semacam itu yang terjadi. Sayangnya, hidup kita tak "sehebat" dalam film, dan Markonah—tentu saja—bukan Catwoman.

Yang menjadikan kucing-kucing sangat setia pada Markonah, hingga mengikuti ke mana pun, karena Markonah memberi makan kucing-kucing itu! Dia kerap mengorek-ngorek sampah di mana pun, dan makanan yang ditemukan ia bagi dengan kucing-kucing yang mengikutinya. Ya, sesederhana itu!

Kamu pikir kenapa para mahasiswa segera masuk kelas, begitu dosen A masuk kelas? Ya tentu saja karena dosen A punya aura yang positif—kalau kamu memang ingin berpikir begitu. Tapi ada jawaban yang lebih masuk akal, ya karena itu memang jadwal dosen A mengajar di kelas!

Ya 11/12 dengan orang-orang kawin yang suka ngemeng, "Kalau dipikir-pikir, penghasilanku tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup, biaya sekolah anak-anak, dan aneka keperluan sehari-hari. Tapi ya ada saja rezekinya."

Kedengarannya hebat, seperti mukjizat. Padahal ya tetap pusing!

Sori, kalau telah mengecewakan. Karena kenyataan sering kali (memang) tak seindah bayangan.

Footnote:

Agar ocehan ini gak surem-surem amat, dan tidak terlalu mengecewakan, sepertinya aku perlu nambahin sesuatu, biar—meminjam istilah media—ada cover both side.

Norman Vincent Peale adalah seorang pengkhotbah yang aktif menulis buku-buku rohani untuk umat Kristiani. Meski aku tidak termasuk umat Kristiani, aku termasuk pembaca buku-buku Norman Vincent Peale, bahkan sangat mengagumi pribadi maupun pemikiran-pemikirannya.

Layaknya penulis religi, Norman Vincent Peale selalu memasukkan ayat-ayat Alkitab dalam teori-teorinya. Dialah orang yang mencetuskan teori "berpikir positif"—istilah yang mungkin terdengar cemen bagi anak kekinian, tapi memiliki arti sangat mendalam saat diuraikan olehnya.

Dan Norman Vincent Peale adalah bukti hidup dari teori "berpikir positif". Sebagai manusia, dia mampu "istiqamah" untuk selalu berpikir positif dalam menghadapi apa pun, kapan pun, di mana pun, dalam situasi apa pun, dan hasilnya hampir mirip mukjizat!

Selama membaca buku-bukunya yang luar biasa, aku kadang berpikir, "Orang ini mungkin wali"—meski tentu saja itu cuma pikiran liarku sebagai bocah. 

Di salah satu bukunya, The Power of Positive Living, dia menceritakan kisah saat berada di bus, dalam suatu perjalanan. 

Di bus itu ada pengamen yang sangat kasar meminta uang pada orang-orang, bahkan dengan ancaman. Norman Vincent Peale menghadapi kenyataan itu dengan berpikir positif, dan mendoakan si pengamen yang kasar, "Semoga Tuhan memberikan kelembutan hati untuknya."

Ketika si pengamen sampai di tempat Norman Vincent Peale, dia tidak meminta uang, apalagi dengan memaksa. Sebaliknya, pengamen itu justru tersenyum tulus dan melewati tempat duduk Norman Vincent Peale dengan langkah-langkah ringan. 

Apakah aku percaya kisah itu? Sangat!

Jadi, aku percaya di dunia ini ada orang-orang yang memang memiliki keistimewaan tertentu, hingga bisa melakukan keajaiban-keajaiban kecil—orang-orang yang pikirannya bersih dari prasangka, yang hatinya sebening salju. Tapi yang jelas bukan orang-orang mbah-mbuh seperti kita!

Umpama orang seperti Norman Vincent Peale masuk ke warung yang sepi, lalu warung itu tiba-tiba didatangi banyak orang hingga sangat laris, aku percaya itu keajaiban.

Tapi kalau aku masuk warung yang sepi, lalu warung itu tiba-tiba ramai, ya itu cuma kebetulan! Siapalah aku ini!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Januari 2020.

Awkarin VS Budiman Sudjatmiko

Ribut-ribut soal Awkarin dengan Budiman Sudjatmiko rupanya belum selesai, ya. Malah topik perdebatannya makin merembet ke mana-mana. Dan sekarang aku jadi gatal ingin ikut ngemeng. Mumpung TL-ku lagi sepi.

Sebagai pemuja Awkarin (dan En Sabah Nur, tentu saja), aku ingin tetap berusaha objektif mencerna twit Budiman Sudjatmiko. Dan sepenangkapanku, twit itu sebenarnya netral, dalam arti tidak bermaksud meninggikan yang satu sambil merendahkan yang lain.

Kesalahan twit Budiman Sudjatmiko—kalaupun memang bisa disebut kesalahan—adalah menggunakan kata "sensasi", menggunakan "perempuan" sebagai subjek, dan memunculkan kesan "membandingkan". Kita, khususnya akhir-akhir ini, tampaknya sensitif dengan tiga hal itu.

Istilah "sensasi" sebenarnya netral, tapi sebagian besar kita memahaminya sebagai istilah negatif. Mungkin karena selama ini terlalu sering terpapar hal-hal sensasional yang memang negatif. Akibatnya, istilah yang aslinya netral mengalami distorsi nilai, bahkan berubah makna.

Itu serupa dengan istilah lain—rekayasa. Istilah itu sebenarnya netral. Bahkan, kalau kita membaca buku/artikel teknologi, misalnya, istilah "rekayasa" pasti akan sering ditemukan, dan artinya netral; tidak terpuji juga tidak tercela. Istilah "rekayasa teknologi", misalnya.

Tetapi karena kita sering terpapar istilah "rekayasa" dalam konotasi negatif—misal "rekayasa politik" atau "rekayasa hukum"—kita pun jadi punya persepsi menyimpang; menganggap istilah yang aslinya netral menjadi istilah yang negatif.

Karenanya, ketika Budiman Sudjatmiko menyebut aksi Awkarin sebagai "sensasi", aku percaya dia memaksudkannya sebagai istilah netral, bukan sebagai upaya merendahkan. Kenyataannya Awkarin memang sensasional, kan? Dia terkenal di semua media sosial, dan jutaan orang mengenalnya.

Dengan popularitas sensasional semacam itu—dan aku memaksudkan "sensasional" di sini sebagai istilah netral—mau tak mau Awkarin pasti akan menciptakan sensasi, terlepas apa pun yang ia lakukan. Dan, sekali lagi, aku memaksudkan "sensasi" di sini sebagai istilah netral.

Awkarin, mau tidak mau, pasti akan menciptakan sensasi, terkait hal-hal yang ia lakukan, karena personalitas/popularitasnya memang sudah sensasional. Justru aneh kalau Awkarin tidak sensasional. Wong dia ngetwit sesuatu saja langsung jadi berita di banyak portal dan website!

Jadi, sepenangkapanku, itulah yang dimaksud Budiman Sudjatmiko ketika dia menempelkan istilah "sensasi" pada Awkarin. Dia memaksudkannya sebagai istilah netral, dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan. Sayangnya, sebagian kita mungkin salah paham, atau memaknainya  negatif.

Istilah lain yang disebut Budiman Sudjatmiko dalam twitnya adalah "esensi". Berbeda dengan "sensasi" yang sering berkonotasi negatif, istilah "esensi" justru berkonotasi positif, dan inilah yang kemudian memunculkan kesan membandingkan—meski mungkin tidak dimaksudkan begitu.

Budiman Sudjatmiko menyebut yang dilakukan Tri Mumpuni sebagai "esensial". Mungkin karena dampaknya berkelanjutan, dan, di sisi lain, Tri Mumpuni tidak sesensasional Awkarin. Karena kenyataannya media (dan sebagian besar kita) lebih menyorot Awkarin daripada Tri Mumpuni.

Sekali lagi, aku ingin berusaha adil. Yang dilakukan Awkarin mungkin tidak esensial—sebagaimana "esensial" yang dimaksud Budiman Sudjatmiko—tapi yang Awkarin lakukan, bagaimana pun, memberi pengaruh positif pada lingkungannya, karena dia memiliki popularitas yang sensasional.

Di sisi lain, yang dilakukan Tri Mumpuni memang esensial, karena punya dampak berkelanjutan. Tetapi, bagaimana pun, pengaruh yang ia timbulkan tetap terbatas, karena Tri Mumpuni tidak sepopuler atau sesensasional Awkarin. (Ini dimaksudkan sebagai fakta, bukan perbandingan.)

Karenanya, Budiman Sudjatmiko menggunakan analogi "genangan air" yang melebar ke mana-mana tapi dangkal (sensasi), dan "lubang sumur" yang dalam namun sempit (esensi). Ya benar sih, karena memang begitu yang terjadi. Awkarin maupun Tri Mumpuni punya kelebihan sendiri-sendiri.

Jadi, sepenangkapanku, twit Budiman Sudjatmiko sebenarnya tidak bermasalah—dia hanya bermaksud menyampaikan pikirannya atas dua wanita itu. Tapi kita mungkin terburu-buru menyimpulkannya sebagai perbandingan atau bahkan upaya merendahkan, karena sensitif dengan istilah tertentu.

Akhirnya, terkait Awkarin dan Budiman Sudjatmiko, siapakah yang menang? Yang menang tentu saja En Sabah Nur! Pak edan opo piye?

*Lalu Budiman Sudjatmiko googling En Sabah Nur.*


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Oktober 2019.

Keputusan Paling Penting

Keputusan penting paling penting adalah menentukan pilihan yang penting dan yang tidak penting.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 September 2012.

Corona Muncul, Internet Lemot

Beberapa hari terakhir, sejak munculnya wabah corona di Indonesia, koneksi internet mulai lemot. Semula, kupikir cuma aku yang mengalami. Ternyata ada banyak orang mengeluhkan hal sama di TL. Pakai jaringan mana pun, semuanya lemot!

Ini internet bakal sampai kapan lemot gini?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20-21 Maret 2020.

Noffret’s Note: Penghidupan

Pernah dengar dua orang bercakap-cakap soal corona.

A: Kenapa masih ada orang-orang yang ngotot tetap kumpul untuk acara pengajian, ceramah, dan semacamnya?

B: Mungkin karena itu penghidupan mereka. Jadi mereka tak ingin penghidupan mereka hilang.

Dan aku mikir, "Benar juga."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2020.

Minggu, 10 Oktober 2021

Jam Dua Dini Hari, di Rumah Sakit

Senikmat-nikmatnya makan di kantin rumah sakit,
masih lebih nikmat makan di kaki lima.
@noffret


Rumah sakit bukan tempat favorit saya, dan mungkin juga bukan tempat favorit banyak orang. Karena rumah sakit memang bukan tempat refresing—itu tempat merawat orang-orang sakit. Kita masuk rumah sakit karena sakit, atau karena ada anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit. Saya termasuk yang kedua.

Adik saya mengalami kecelakaan, dan harus dirawat di rumah sakit. Karena hal itu, saya pun harus sering ke rumah sakit, menjagai adik saya di sana, bergantian dengan anggota keluarga yang lain. Beberapa hari menjelang dia diizinkan pulang, saya dapat giliran jaga malam hari. Jadi, usai magrib, saya datang ke rumah sakit, dan baru pulang sekitar jam sembilan pagi keesokan harinya.

Tugas saya di rumah sakit tidak berat-berat amat, cuma menemani adik saya di sana, mengambilkan minum kalau dia haus, berkomunikasi dengan dokter atau perawat kalau ada kunjungan khusus, dan semacamnya. Kondisi adik saya terus membaik, sehingga saya juga bisa mengobrol dengannya.

Selama di rumah sakit, yang terasa berat bukan tugas menemani adik saya, tapi tidak bisa merokok! Kita tahu, selalu ada larangan merokok di rumah sakit, dan saya tidak ingin melanggar aturan itu. Karenanya, yang bisa saya lakukan hanya menunggu adik saya tertidur lelap, lalu saya turun ke kantin, dan baru menikmati rokok di sana.

Biasanya, adik saya baru tertidur sekitar pukul 01.00. Saya tunggu sampai satu jam, untuk memastikan dia benar-benar lelap. Pada pukul 02.00, saya mulai keluar ruangan, dan melangkah menuju lift untuk turun. (Di kamar adik saya ada pasien lain, dan ada anggota keluarga yang menjaga 24 jam tanpa henti, jadi saya juga tidak terlalu khawatir).

Kantin (pujasera) ada di lingkungan rumah sakit. Tapi jaraknya sekitar 100 meter. Saya pun melangkah santai ke sana, sambil menikmati suasana dini hari yang sunyi. Di tengah antara rumah sakit dan kantin, ada musala dengan halaman cukup luas. Di halaman itu kadang ada dua atau tiga orang menggelar karpet, lalu duduk-duduk sambil menikmati kopi dan udud. Sepertinya mereka juga orang-orang yang menunggui keluarganya yang tengah dirawat di rumah sakit.

Di kantin ada cukup banyak warung yang berjajar melingkar. Kalau siang, semua warung itu buka, dan menyediakan aneka makanan, minuman, jajan, juga barang-barang kebutuhan semisal tisu, pasta gigi, sampai sedotan. Tetapi, menjelang tengah malam, warung-warung itu tutup, dan hanya ada satu warung yang tetap buka—itu satu-satunya warung yang buka 24 jam di sana.

Saya pun menuju warung itu, dan memesan teh hangat. Kadang di sana ada orang lain, tapi sering kali saya sendirian. Saya menyeruput teh, dan menikmati udud. Kalau pas ada jajan enak, saya juga ngemil. Rasanya nikmat sekali—maksudnya udud dan teh hangat yang dinikmati sendirian di dini hari.

Setiap malam saya melakukan kegiatan itu—turun pukul 02.00 dini hari, lalu menyusuri koridor-koridor rumah sakit yang sepi, menuju kantin untuk menikmati teh hangat dan merokok.

Saat siang, hampir semua bagian rumah sakit penuh orang—mereka yang datang untuk berobat, untuk mengecek kesehatan, untuk perawatan rutin, dan lain-lain. Tapi ketika malam, khususnya dini hari, semua keramaian itu lenyap. Kemana pun saya melangkah, yang ada hanya sunyi. Koridor-koridor rumah sakit lengang, bunyi langkah kaki saya menggema. Di depan kamar-kamar perawatan kadang ada beberapa orang, tapi mereka tampak tertidur. Mungkin kelelahan menunggui anggota keluarganya yang sakit.

Rumah sakit bukan tempat favorit saya—sejujurnya, saya lebih suka menginap di hotel! Tetapi, di rumah sakit, saya menyaksikan realitas kemanusiaan yang paling dasar. Tentang orang-orang yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan energi, dan pikiran, dan lainnya, untuk saudara atau anggota keluarga yang sedang sakit.

Seperti yang saya alami. Karena adik saya harus dirawat di rumah sakit, saya pun merelakan waktu, energi, dan pikiran saya untuknya. Tumpukan pekerjaan dan semua urusan lain terpaksa berhenti sementara, sampai adik saya benar-benar pulih. Uang yang hilang bisa dicari kembali, pekerjaan yang terputus bisa disambung lagi, tapi kita tidak bisa menggantikan saudara kita dengan apa pun.

Suatu malam, seperti biasa, saya keluar dari kamar adik saya, pukul 02.00 dini hari. Seperti biasa pula, koridor rumah sakit sunyi tanpa seorang pun. Saya melangkah perlahan-lahan menuju lift untuk turun—jadwal yang biasa, kesunyian yang sama, menuju kantin untuk minum teh dan merokok.

Ketika saya mulai mendekat ke arah lift, seorang wanita berkerudung tiba-tiba muncul, dan tampak mempercepat langkah menuju ke arah saya. Usianya mungkin 50-an, dan saya melihat wajahnya sembab—mungkin dia baru menangis.

Dia mengikuti saya ke arah lift. Ketika pintu lift terbuka, dan saya melangkah masuk, wanita itu ikut masuk. Lalu pintu lift menutup.

Sambil bersiap memencet tombol lift, saya bertanya, “Ke lantai berapa, Bu?”

Dia tampak bingung, dan menjawab seperti orang linglung. “Saya diminta ke basement, itu di lantai berapa?”

Rumah sakit tempat kami berada memiliki lima lantai dengan satu basement. Waktu itu kami ada di lantai dua. Ketika saya pertama kali masuk ke rumah sakit, dan membaca denah yang tertempel di pintu masuk, memori saya telah merekam semua yang ada di rumah sakit itu. Saya tahu apa yang ada di lantai satu, di lantai dua, lantai tiga, empat, dan saya pun tahu apa yang ada di basement—tanpa harus mendatangi satu per satu.

Dalam rekaman memori saya, lantai basement adalah tempat laboratorium, refleksiologi, radiologi, beberapa ruang untuk urusan medis lain... dan pengurusan jenazah. Waktu itu pukul 02.00 dini hari, dan wanita di depan saya sepertinya tidak mungkin bermaksud mendatangi laboratorium atau bagian refleksiologi. Kemungkinan, dia butuh memastikan keberadaan ambulans untuk membawa jenazah anggota keluarganya pulang ke rumah. 

Jadi, dengan hati-hati, saya bertanya, “Maaf, ada anggota keluarga yang meninggal?”

Dia seperti akan terisak, dan mengangguk, lalu mengulang pernyataan tadi, “Saya diminta ke basement, itu di lantai berapa?” 

“Biar saya antar.”

Dia tampak lega.

Saya memencet tombol B, dan lift mulai turun. Wanita itu hanya membisu, dan saya tidak tahu harus ngomong apa. 

Sesaat kemudian, kami sampai di basement, dan pintu lift membuka. Saya melangkah keluar, diiringi wanita tadi, lalu kami menuju tempat yang—saya perkirakan—harus ditujunya. 

Di tempat itu tampak seorang petugas rumah sakit sedang menekuri kertas di depannya, dan saya membawa wanita tadi pada orang itu. Setelah si wanita menyampaikan maksudnya pada si petugas, dan ditanggapi dengan baik, saya pun pamit.

Saya kembali melangkah menuju lift, kali ini naik ke lantai satu. Di lantai satu, pintu lift membuka, dan saya keluar... lalu melangkah perlahan keluar rumah sakit, menuju kantin yang biasa saya datangi, untuk menyeruput teh hangat dan menyulut udud.

Suasana sekitar rumah sakit sepi seperti biasa, karena dini hari, dan orang-orang telah terlelap—yang sakit maupun yang sehat. Di halaman musala rumah sakit, seperti biasa, tampak tiga orang duduk-duduk di atas karpet sambil menikmati kopi dan rokok—mereka bercakap perlahan-lahan, seolah tak ingin merusak hening malam.

Saya terus melangkah menuju kantin yang lengang. Ibu pemilik warung melihat saya datang, dan menyiapkan teh hangat seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya. Sekian waktu yang lalu, sebelum adik saya dirawat di rumah sakit, ibu pemilik warung tak pernah melihat saya. Tapi kini dia hafal kedatangan saya, dari malam ke malam. Sekian waktu mendatang, mungkin dia tidak akan pernah melihat saya lagi, karena adik saya sudah bisa pulang.

Jam dua dini hari, waktu itu, sambil menikmati udud, saya seperti merasakan kesadaran baru; betapa tipisnya batas kita dari kehidupan dan kehilangan.

Orang-Orang Sedih

Di rumah sakit, tidak ada orang bahagia.

Seharian tadi, dari jam 6 pagi sampai malam, aku ada di rumah sakit, puluhan kali naik-turun lift, mengurus dan mengkhawatirkan keadaan adikku yang terluka akibat kecelakaan. Kini, aku baru sampai rumah, terpaksa pulang karena tubuh dan pikiran sangat lelah.

Lima hari lalu, adikku kecelakaan dan terluka parah. Dia harus menjalani operasi besar, dan kini saat kritis telah terlewati. Sejak lima hari kemarin, dan tentu hari-hari ke depan, aku harus ke rumah sakit setiap pagi, seharian berada di sana, lalu pulang dengan tubuh kelelahan.

Setiap hari melangkah ke sana kemari di rumah sakit, yang kudapati adalah orang-orang sedih—orang-orang yang anggota keluarganya sedang dirawat di sana; karena sakit, atau karena kecelakaan. Aku mendengar rintih kesakitan, kadang pula isak tangis orang-orang yang kehilangan.

Tidak ada orang bahagia di rumah sakit—setidaknya, aku belum menemukannya. Larut malam, saat aku melangkah untuk pulang, di koridor-koridor yang sepi tampak orang-orang duduk dengan kepala menunduk, sementara anggota keluarganya yang terbaring sakit mungkin mulai tertidur.

Semoga mereka memiliki ketabahan untuk menghadapi musibah yang terjadi, memiliki kekuatan untuk melewati hari demi hari, dan memiliki kesabaran untuk menerima apa pun yang terjadi. 

Semoga doa dan harapan ini sampai pada mereka... dan sampai pada diriku sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 September 2021.

Orang-Orang yang Patut Bersyukur

Di antara orang-orang yang patut bersyukur di dunia ini adalah orang yang gampang makan apa saja, dan mudah tidur. Orang semacam itu biasanya juga mudah bahagia. 

Sayang, aku tidak termasuk ke dalamnya.

Aku sangat suka mi ayam. Tapi tidak doyan jika dibungkus (misal dibawa pulang, atau titip orang lain). Aneh? Mungkin iya. Dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Intinya tidak doyan, gitu aja. Sama seperti suka gorengan, tapi harus panas, dan tidak doyan kalau adem.

Mi ayam dan gorengan itu hanya contoh kasus. Ada makanan-makanan lain yang juga aku doyan, tapi jadi tidak doyan jika dalam kondisi-kondisi tertentu. Aku mungkin contoh "orang yang makannya tidak gampang", dan itu bukan contoh menyenangkan. Wong aku juga pusing!

Seperti nasi, misalnya. Itu salah satu masalah besar dalam hidupku, karena aku hanya doyan nasi yang keras (akas), dengan butiran nasi saling terpisah, tidak lembek, dan tidak menggumpal. Mencari warung yang menyediakan nasi seperti itu—khususnya di tempatku—sulitnya luar biasa.

Makanya aku sering iri pada orang-orang yang bisa makan apa saja dengan mudah. Tak peduli mi ayam dimakan di tempat penjualnya atau dibungkus dan dibawa pulang, tak peduli gorengan panas atau adem, tak peduli nasi akas atau lembek. Hidup sepertinya begitu mudah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Februari 2021.

 
;