Minggu, 20 November 2022

Terdengar Benar dan Terasa Benar, Tapi Belum Tentu Benar

Kita lebih senang memiliki “perasaan benar”
daripada memiliki kebenaran itu sendiri.
Jonathan Haidt, psikolog sosial


Catatan ini mungkin berat sekaligus rumit, dan rentan menimbulkan salah paham. Saya telah berusaha menulis dan menguraikannya dengan cara sederhana yang bisa dipahami siapa pun... tapi sebaiknya baca pelan-pelan saja, agar benar-benar paham dan tidak salah paham.

....
....

Orang-orang, khususnya anak muda zaman sekarang, makin kritis dan makin bisa melihat kekeliruan-kekeliruan yang di masa lalu dianggap kebenaran. Di masa lalu, kebenaran sifatnya seperti absolut, mutlak, tak terbantah. Tapi di masa sekarang, kita menyadari, kebenaran itu relatif.

Mari gunakan contoh yang hampir pasti pernah kita temui. 

Ada anak muda yang sukses dan kaya-raya, lalu dia berceramah, “Untuk sukses di usia muda itu gampang! Asal mau kerja keras, dan pantang menyerah!” Yang ngomong begitu anak pejabat, anak orang kaya, atau anak konglomerat.

Di masa lalu, ocehan “kerja keras dan pantang menyerah” agar sukses dan kaya itu terdengar seperti kebenaran mutlak. Bahwa kalau kita mau kerja keras dan bla-bla-bla, kita pasti akan sukses dan kaya-raya! Tapi sekarang kita menyadari, masalahnya tidak sesederhana itu.

Faktanya, ada banyak dari kita yang bekerja keras sampai bertahun-tahun, banting tulang siang malam, tapi tidak juga kaya.

Di titik itulah, kita mulai mengenali sesuatu yang disebut privilese—keistimewaan yang belum tentu dimiliki semua orang. Bahwa ada orang yang punya privilese, dan ada pula yang tidak. Jadi anak pejabat, atau anak orang kaya, itu privilese. Masalahnya, tidak semua kita adalah anak pejabat atau anak konglomerat. Itulah perbedaannya.

Jadi, resep “kerja keras dan pantang menyerah agar sukses”—sebagaimana yang sering diceramahkan—itu mungkin relevan untuk sebagian orang, tapi mungkin pula tidak relevan untuk sebagian yang lain. Karena kehidupan kita, sebenarnya, telah terjerat dalam sistem yang rumit.

Ada jutaan orang yang berangkat kerja jam empat pagi, dan pulang jam tujuh malam. Dan mereka melakukannya bertahun-tahun, puluhan tahun—kurang kerja keras apa mereka? Tapi jutaan orang itu tetap saja miskin, berkekurangan, seperti terjebak dalam lingkaran setan.

Ada pula jutaan orang yang bekerja tanpa kenal hari libur, membaktikan hidupnya untuk pekerjaan, dengan harapan suatu waktu akan menemukan pintu rezeki terbuka lebar, dan mereka akan kaya-raya. Tapi mereka tak pernah kaya—mentok-mentoknya hanya jadi kelas menengah.

“Bekerja keras akan membuatmu sukses dan kaya,” itu nasihat baik. Tapi nasihat baik hanyalah nasihat baik—ia belum tentu relevan untuk semua orang. Di titik itu, kita yang suka memberi nasihat perlu menyadari bahwa sesuatu yang kita anggap benar belum tentu benar pula untuk orang lain. Sesuatu yang relevan untuk sebagian orang, belum tentu akan relevan untuk semua orang.

Begitu pula nasihat, “Sayangilah orang tuamu, maka hidupmu akan bahagia.” Yang ngomong begitu punya ayah-ibu yang baik, penuh welas asih, yang mendidik dan membesarkan anak-anak dengan kasih sayang, berkecukupan, hingga si anak tumbuh dengan sehat, fisik maupun mental.

Nasihat semacam itu relevan untuk anak-anak yang kebetulan juga punya orang tua baik... tapi belum tentu relevan bagi anak-anak yang orang tuanya lebih mirip psikopat daripada orang tua, tidak relevan untuk anak-anak yang dididik dengan kekerasan, kekejaman, dan kebencian.

“Sayangilah orang tuamu, maka hidupmu akan bahagia.” Di masa lalu terdengar seperti kebenaran mutlak. Apalagi ditambah banyaknya orang yang meromantisasi dirinya sendiri—misal jadi sukses dan kaya-raya karena “berbakti pada orang tua”. Tapi benarkah kausalitasnya?

Maksud saya begini. Ada orang yang sangat baik pada orang tuanya, dan dia jadi orang sukses. Pertanyaannya, itu faktor kebetulan atau faktor kepastian? Faktanya, ada banyak orang yang sangat baik pada orang tuanya, tapi hidup mereka sengsara, berkekurangan, dalam arti harfiah. 

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang sangat sukses dalam hidupnya, punya manfaat bagi banyak orang di dunia, tapi diam-diam membenci orang tuanya. Orang-orang itu mungkin tidak terang-terangan mengatakan bahwa mereka membenci orang tua—jadi kita tidak pernah tahu.

Itulah yang saya maksud “kebenaran relatif”—sesuatu yang bagi kita tampak benar dan terasa benar, tapi belum tentu benar pula bagi orang lain. Nyatanya, kita sebenarnya tidak senang mendengarkan kebenaran... kita hanya senang mendengar kebenaran yang ingin kita dengarkan.

Menggunakan istilah komputer, itulah “bug” di dalam otak manusia—suatu celah yang kosong, lemah, rentan, yang bisa disusupi “kode-kode tertentu”, dan celah itu akan menerimanya, untuk kemudian memprosesnya, seolah-olah itu bagian dari program yang memang ada.

Dan itulah kita... begitulah sistem pikiran manusia. Ia tidak sempurna, karena sebenarnya mengandung “bug”... dan “bug” itulah yang selama ini dimanfaatkan sebagian orang untuk membohongi atau bahkan mengeksploitasi orang-orang lain. Caranya mudah; susupkan “kebenaran” yang ingin mereka dengarkan.

Contoh mudah “kebenaran yang ingin kita dengar”, misalnya, “Menikah akan membuatmu bahagia, tenteram, dan lancar rezeki.” Itu sangat mudah masuk ke dalam sistem keyakinan manusia, karena nyatanya Homo sapiens butuh kawin, dan iming-iming itu “jadi terasa benar”.

Faktanya, di dunia ini, ada miliaran orang yang kawin, tapi hidup mereka sengsara. Ada jutaan orang yang menikah, dan sebagian mereka bercerai. Jadi, “menikah akan membuatmu bahagia, tenteram, dan lancar rezeki” itu kebenaran... atau hanya sesuatu yang terdengar benar?

Dan ketika fakta pahit ini ditunjukkan, apakah kemudian banyak manusia yang sadar dirinya telah tertipu? Sebagian besar tidak! Kenapa? Ingat “bug” yang ada dalam pikiran manusia. Selama komputer tidak melakukan “debugging”, celah rentan “bug” itu akan tetap ada. 

Jadi kita pun mendengarkan aneka hal yang terdengar indah... terasa benar... dan kita mempercayainya... dan, di satu titik tertentu, kita mengubah diri bukan hanya sebagai “penerima bug” tapi juga sebagai “pemberi bug” yang menulari orang-orang lain dengan “bug” yang sama.

Sudah melihat bagaimana “kebenaran” tercipta dalam sistem pikiran manusia? 

Kita adalah Makhluk Egois

Pada dasarnya, setiap kita adalah makhluk egois—diakui atau tidak. Kita hanya peduli, atau lebih peduli, pada diri sendiri daripada orang lain. Kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang kita, tanpa peduli orang-orang lain juga punya sudut pandang mereka sendiri.

Yang kadang kita lupa... yang egois seperti itu bukan hanya kita, tapi semua orang! Semua orang lebih peduli pada diri mereka sendiri, daripada peduli pada orang lain. Semua orang lebih sibuk memikirkan hidup dan masalahnya sendiri, daripada memikirkan orang lain.

Menyadari kenyataan itu akan membawa kita selangkah lebih bijak, agar tidak terlalu naif saat berurusan dengan orang lain. Setiap kali kita ingin orang lain melakukan sesuatu, pikirkan terlebih dulu, “Apa manfaat atau keuntungan bagi dia, hingga mau melakukannya?”

Jika kita tidak bisa menjawab pertanyaan itu secara objektif, jangan heran jika orang itu tidak tertarik melakukan sesuatu yang kita inginkan. Karena, bukankah kita semua juga begitu? Kita hanya melakukan sesuatu, jika sesuatu itu memberi manfaat atau keuntungan bagi kita!

Fakta Sederhana

Fakta sederhana dalam hidup yang jarang kita sadari; apa saja yang biasa kita lakukan, akan membuat kita kecanduan. Saat suatu kebiasaan terbentuk, kita akan merasa “ada yang kurang” jika belum melakukannya. 

Masalah Laten

Masalah laten; lapar jam segini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 November 2019.

Udah, Putusin Aja!

"Udah, putusin aja!" | Tapi begitu kita putus, lalu stres campur nangis-nangis, dia nggak tanggung jawab. Lha piye, tho?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Januari 2012.

Kamis, 10 November 2022

Asal Usul Perkawinan yang Tidak Dikatakan Kepadamu

... Dan sekarang aku gatal ingin ngoceh—memuntahkan sesuatu yang telah kutahan-tahan selama 11.567 tahun... fakta perkawinan yang tidak pernah dikatakan kepadamu.

Kawin tangkap, istilah yang kita kenal sekarang, mungkin terkesan primitif. Tapi sebenarnya itu "modernisasi" dari sesuatu yang jauh lebih primitif, ketika praktik itu bahkan tidak/belum punya nama atau istilah; sesuatu yang dilakukan oleh manusia purba, beribu-ribu tahun lalu.

Lima tahun yang lalu, pada Oktober 2015, aku menulis tweet ini. Sebenarnya, waktu itu, aku sudah ingin ngoceh, tapi sejujurnya juga khawatir kalau orang-orang belum mampu menerimanya. 


Beribu-ribu tahun yang lalu, di zaman purba, ketika Homo sapiens masih hidup dalam suku-suku terisolir, mereka belum kenal konsep perkawinan. Tapi mereka sudah mengenal nafsu seksual, khususnya pada lawan jenis, khususnya lagi lawan jenis dari suku lain (penjelasannya panjang).

Singkatnya, untuk dapat menyalurkan nafsu seks, Homo sapiens pria harus mendapatkan wanita dari suku lain. So, ketika seorang pria sudah puber, dia akan keluar dari sukunya, lalu mencari tempat suku-suku lain, dan mengintai... mencari wanita yang sekiranya "cocok" untuknya.

Setelah menemukan wanita yang cocok, dia akan menculik si wanita—dalam arti harfiah—dan membawanya ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Ketika itu terjadi, si wanita tentu memberontak. Tetapi, seiring waktu, dan karena jauh dari sukunya, akhirnya dia pun menerima si pria.

Di tempat terasing, dan yang ada hanya mereka berdua, dan keduanya sudah diamuk libido, terjadilah yang alam kehendaki. Si pria akhirnya berhubungan seks dengan si wanita, dan evolusi bertepuk tangan.

And then... itulah asal usul kawin tangkap, dan... yang kita sebut bulan madu.

Setelah berminggu-minggu si pria dan si wanita menghabiskan waktu bersama, keduanya pun merasa saling nyaman. Kali ini, seks tidak lagi dilakukan dengan paksaan oleh pria, tapi juga dikehendaki si wanita. Witing tresno jalaran soko kulino, kata orang Jawa.

Dan cinta bersemi.

Setelah si pria yakin bahwa si wanita "sudah menjadi miliknya", dia akan membawa si wanita pada sukunya. Dalam moment pertemuan itu, si pria "minta izin" pada orang tua si wanita untuk menjadikannya pasangan. Karena sudah "kadung diculik", biasanya orang tua wanita mengizinkan.

Tetapi, agar orang-orang lain tahu bahwa si wanita sudah "dimiliki" seseorang, si pria harus membuat "tanda". 

Lalu si pria akan menempa besi untuk dibuat kalung, gelang, atau rantai, yang dililitkan pada tubuh si wanita. And then... inilah asal usul "ijab kabul" dan "maskawin".

Setelah si wanita dirantai dengan gelang, kalung, dan semacamnya, dan setelah orang-orang sekitar tahu bahwa si wanita sudah dimiliki seseorang, si pria biasanya akan mengajak si wanita untuk hidup mandiri, di tempat lain, dan dari situlah lalu tumbuh suku lain.

Evolusi dimulai.

Seiring perjalanan waktu, dan nalar peradaban Homo sapiens semakin berkembang, urusan kawin-mawin mulai diatur. Kali ini, bukan menculik dulu lalu minta izin, tapi minta izin dulu, diberi "tanda" lebih dulu, dan baru setelah itu "diculik". Apakah ini terdengar familier bagi kita?

Urusan perkawinan yang dilakukan Homo sapiens di zaman kita mengadopsi dari sesuatu yang terjadi ribuan tahun lalu. Intinya sama. "Minta izin" jadi pertunangan atau ijab kabul, "besi tempa" jadi mahar/maskawin, dan "penculikan" jadi bulan madu. And then happily ever after—maybe.

Kayaknya ini nyambung dengan ocehan barusan:

Romantisasi Kemiskinan, Glorifikasi Perkawinan » https://bit.ly/3ehJc3n


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 November 2020.

Kerusakan Akibat Doktrin

Seorang wanita berinisial MT (30) di Nias Utara diduga menggorok 3 anaknya hingga tewas. Polisi menyebut motif MT membunuh anak-anaknya adalah himpitan ekonomi. —@detikcom

Seorang wanita membunuh 3 anaknya, karena himpitan ekonomi. Padahal katanya "menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki", dan "setiap anak memiliki rezeki sendiri".

Betapa banyak kerusakan dunia dan kejahatan manusia, akibat doktrin dusta yang terus dikoar-koarkan itu.

Orang-orang memilih tidak menikah atau menunda menikah, karena menyadari belum mampu menghidupi keluarga. Tapi masyarakat terus nyinyir, "Kapan kawin?"

Mereka bahkan tidak hanya nyinyir, tapi juga membual dengan aneka doktrin, "Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."

Lalu orang-orang itu pun menikah. Sebagian karena termakan rayuan doktrin, sebagian lagi karena tak tahan terus dinyinyiri masyarakatnya.

Setelah orang-orang itu menikah, dan ternyata hidupnya malah keblangsak, apakah masyarakat bertanggung jawab? Tidak! Itulah bejatnya mereka!

Ada banyak laki-laki baik ketika masih lajang, lalu terpaksa jadi penjahat setelah menikah, demi memberi makan keluarga. Ada banyak wanita baik ketika masih lajang, lalu terpaksa jadi pelacur (sebagian bahkan diizinkan suaminya), demi menghidupi keluarga. Itu realitas, nyata.

Bahkan sampai begitu pun mungkin masih "baik", jika dibandingkan wanita dalam berita tadi, yang sampai membunuh 3 anaknya, karena tak sanggup memberi makan mereka.

Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki, katanya. Oh, hell, katakan itu pada wanita dalam berita tadi.

Footnote untuk ocehan tadi:

Yang dimaksud "memampukanmu"—dalam ayat yang biasa digunakan untuk mendoktrin orang lain cepat kawin—itu artinya "memampukanmu menjalani pernikahan", bukan memampukanmu dalam arti menjadikanmu kaya atau "melancarkan rezeki" hanya gara-gara kawin.

Kalau dua orang menikah, mereka [hampir] pasti "mampu menjalani pernikahan", karena adanya kontrak sosial, perjanjian yang dilembagakan negara, sampai pengesahan oleh agama. Memangnya siapa yang berani melanggar—kecuali sangat kepepet akibat tersiksa?

Itulah arti "memampukanmu".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Desember 2020.

Sebenarnya B Aja

Seks dan Perkawinan Itu B Aja » https://bit.ly/3oJco7c

Sebenarnya udah di-posting sejak kemarin, tapi ternyata "terganjal" di draft. Tadi nengok dasbor, ternyata belum ter-publish. Dasbor Blogger baru ini emang bikin "kagok".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Desember 2020.

Listrik Mati, Internet Lemot

Listrik mati, internet lemotnya ngujubilah, dan kita disuruh kerja, kerja, kerja. Hebat sekali negeri ini.

Kalau kita komplain ke provider internet soal koneksi yang lemot, jawabannya selalu template ("coba di-restart perangkatnya"). Padahal masalahnya bukan pada perangkat pengguna, tapi pada kelebihan kapasitas yang tidak ditunjang infrastruktur layanan memadai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Desember 2020.

Kabar Wiranto

Beberapa waktu terakhir aku bertanya-tanya, Wiranto kabarnya bagaimana?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Desember 2020.

Selasa, 01 November 2022

Curhat Seorang Introver

Bagi orang-orang introver, hal berat di dunia ini bukan kesepian (karena introver jarang kesepian), bukan pula kebosanan (karena introver jarang bosan, meski sendirian). Hal berat bagi introver adalah saat bertemu orang-orang, dan harus menyapa atau berbasa-basi dengan mereka.

Bagi kebanyakan orang [ekstrover], berbasa-basi dengan orang lain—lalu mengobrol ringan tentang hal-hal sepele—mungkin menyenangkan. Tapi bagi orang-orang introver, itu sangat berat, menyiksa, dan menyedot energi kami habis-habisan. Apalagi jika harus melakukannya terus menerus.

Bagi introver, menyapa orang sesekali, itu tidak masalah. Berbasa-basi dengan orang sesekali, juga tidak masalah. Tapi jika harus menyapa orang yang sama setiap saat, setiap hari, atau berbasa-basi dengan orang yang sama setiap hari, itu sangat menyiksa psikis kami habis-habisan.

Dalam ilustrasi ekstrem, jika aku diminta memilih masuk kuburan sendirian di malam hari, atau memasuki acara pesta yang penuh orang di hotel mewah, aku akan memilih masuk kuburan sendirian! Karena masuk kuburan artinya tidak perlu menyapa atau berbasa-basi dengan siapa pun!

Orang introver malas menyapa orang lain terus menerus, atau berbasi-basi terus menerus, bukan karena sombong, tapi karena kami sangat berat melakukannya—itu menyedot energi kami habis-habisan. Daripada membuang energi untuk basa-basi, aku lebih suka memakai energi untuk bekerja.

Kalian yang bukan introver pasti tidak tahu bagaimana tersiksanya kami (orang-orang introver) saat harus menyapa, berbasa-basi, dengan orang-orang lain. Ketika kami melakukannya, energi kami terkuras, dan ketika kami kembali ke rumah, kami merasa sangat... sangat kelelahan!

Saat-saat paling menyenangkan dalam kehidupan orang introver adalah saat sendirian, tanpa diganggu siapa pun. Ketika sendirian, kami benar-benar berenergi, dan bisa menggunakan energi itu untuk hal-hal yang [kami anggap] lebih baik; misal bekerja, belajar, atau mencuci piring.

Sayangnya, hal ini sangat jarang diketahui masyarakat umum. Akibatnya, mereka sering salah paham terhadap orang-orang introver. Dikiranya sombong, tak mau bergaul, tak mau bersosialisasi. Padahal penyebab/masalahnya bukan itu. Penyebab/masalah yang terjadi adalah ketidakmampuan.

Sebagai introver, aku tidak malu mengakui; dalam skala ekstrem, introver itu serupa “cacat”, yang menyebabkan pengidapnya tidak bisa menjalani kehidupan seperti umumnya orang-orang lain. Salah satunya, mereka (orang-orang introver dalam skala ekstrem) tidak bisa bersosialisasi.

Nuwun sewu, bayangkan orang yang mengidap polio. Karena mengidap polio, dia tidak bisa berjalan normal, karena kakinya tidak sesehat kita. Cara berjalan pengidap polio berbeda dengan cara berjalan orang-orang normal (yang tidak mengidap polio). Kira-kira seperti itu ilustrasinya.

Kita tidak bisa menyalahkan pengidap polio, misalnya, “Kamu kalau jalan mbok seperti orang-orang lain umumnya!”

Dia “berbeda” dengan rata-rata orang lain, karena memang kondisinya begitu—dia tidak meminta jadi pengidap polio—dan kita tidak bisa menyalahkan dia karena kondisinya.

Begitu pula kondisi introver-ekstrem yang diidap sebagian kita. Temanmu, tetanggamu, atau bahkan anggota keluargamu, bisa jadi orang introver yang [hidupnya] berbeda dengan umumnya orang lain. Kita tidak bisa memaksanya agar “sama seperti orang lain”, karena nyatanya dia berbeda!

Tiga ratus lima puluh dua tahun yang lalu, pada 1669, Isaac Newton menjadi dosen matematika di Lucasian Professorship, Cambridge. Usia dia waktu itu baru 26 tahun, dan Newton adalah orang kedua yang memegang gelar dari universitas tertua di dunia tersebut. Hebat, eh? Tunggu dulu!

Isaac Newton adalah introver-ekstrem. Dia sangat hebat sebagai pemikir, dan dunia mengakuinya. Tapi dia sangat “payah” ketika berhadapan dengan orang lain, benar-benar tidak tahu cara bersosialisasi! Ketika menjadi dosen, para mahasiswa menyebutnya dosen paling membosankan!

Ketika mengajar di kelas, Newton lebih sering berbicara dengan tembok, daripada berinteraksi dengan para mahasiswanya!

Itu benar-benar ilustrasi tak terbantah betapa orang introver bisa seekstrem itu, karena memang tidak tahu cara menyapa, atau berbasa-basi dan bersosialisasi.

Tapi apakah Newton harus disalahkan hanya karena itu? Dia penemu teori gravitasi, dan dunia berutang kepadanya.

Ini tidak berarti orang-orang introver pasti sehebat Newton. Ini hanya ilustrasi bahwa manusia selalu bisa berbeda, dalam apa pun bentuknya, dan itu ilmiah, alamiah.

Footnote:

Dalam beberapa bagian ocehan ini, aku menyebut “introver-ekstrem”. Itu bukan istilah baku—itu istilahku sendiri untuk menyebut fenomena ekstrem yang dialami sebagian introver.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 September 2021.

Pelajaran Dasar Kepribadian

Sebelumnya, aku perlu ngasih “disclaimer” terlebih dulu. Introvert dan extrovert itu istilah Inggris, dan telah di-Indonesiakan menjadi introver dan ekstrover. So, aku akan konsisten menggunakan istilah Indonesia.


Konsep introver dan ekstrover, kita tahu, dirumuskan oleh Carl Gustav Jung, tokoh psikoanalisis, dalam buku Psychological Types. Jung menggunakan istilah introver dan ekstrover untuk membahas kecenderungan seseorang dalam memfokuskan energinya; “in”trovert dan “ex”trovert.

Orang introver mendapatkan energi dari dirinya sendiri. Ciri khas mereka adalah menikmati kesendirian, karena dengan cara itulah mereka bisa mendapatkan dan memiliki energi. Sebaliknya, ketika bersama orang-orang lain, energi orang introver akan terkuras, dan mereka kelelahan.

Sementara orang ekstrover mendapatkan energi dari luar dirinya. Ciri khas mereka adalah menikmati kebersamaan dengan orang-orang lain, karena dengan cara itulah mereka bisa mendapatkan dan memiliki energi. Sebaliknya, ketika sendirian, mereka kehilangan energi dan cepat bosan.

Dengan perbedaan yang jelas semacam itu, kita mulai memahami kenapa ada orang-orang yang sepertinya lebih suka sendirian dan menjauh dari keramaian, dan kenapa pula ada orang-orang yang tidak betah sendirian hingga ingin selalu bersama/bersosialisasi dengan orang-orang lain.

Orang introver sering tampak pendiam, menjauh dari keramaian, dan lebih suka menikmati kesendirian. Karena, dengan cara itu, energi mereka meningkat. Sebaliknya, ketika orang introver bersosialisasi dengan banyak orang, energi mereka terkuras. Itu membuat mereka kelelahan.

Orang ekstrover sebaliknya. Mereka sering tampak banyak bicara, bercanda, menikmati kebersamaan dengan orang-orang lain. Karena, ketika bersosialisasi, energi mereka meningkat. Ketika sendirian, orang ekstrover justru sering bosan, lelah, dan ingin segera ketemu orang lain.

Sekali lagi, dengan perbedaan yang jelas semacam itu, kita mulai menyadari kenapa ada orang-orang yang tampak senang jadi pusat perhatian di tengah pesta, dan kenapa ada orang-orang yang lebih suka sendirian dan tidak ingin diganggu siapa pun. Karena kepribadian mereka berbeda.

Tapi bukan berarti orang introver tidak mau bergaul dan bersosialisasi. Mereka juga bergaul dan bersosialisasi, meski tidak sesering orang ekstrover. (Ingat kembali perbedaan sumber energi mereka). Jika introver dipaksa sering bergaul/bersosialisasi, mereka akan sangat kelelahan.

Begitu pula, bukan berarti orang ekstrover tidak suka menyendiri. Kadang, orang ekstrover juga menjauh dari keramaian, menikmati kesendirian, meski tidak sesering dan seintens orang introver. Jika ekstrover dipaksa sering sendirian, mereka akan bosan, bingung, dan kehabisan energi.

Ocehan ini adalah “pelajaran dasar” untuk memahami perbedaan penting antara introver dan ekstrover, sekaligus pelajaran inti untuk memahami orang lain dengan [lebih] baik, tanpa buru-buru menghakimi. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 September 2021.

Introver, Ekstrover, dan Ambiver

Mumpung ingat, aku mau melanjutkan ocehan ini. 


Kalau membicarakan introver dan ekstrover, selalu ada kemungkinan orang mengajukan istilah lain; ambiver (ambivert), yang disebut sebagai “pertengahan antara introver dan ekstrover”. Padahal, dalam perspektif psikologi, ambiver itu tidak ada. Yang ada cuma introver dan ekstrover

Asal usul “ambiver” bisa dirujuk pada Adam Grant, profesor psikologi di University of Pennsylvania. Ia menciptakan istilah “ambiver”—lebih tepat, istilah yang ia ciptakan adalah “keuntungan ambiver”—untuk menyebut para sales (penjual) yang menghasilkan penjualan tertinggi.

Jadi, Adam Grant melakukan riset untuk menemukan penyebab sebagian salesman bisa menghasilkan penjualan sangat banyak, sementara sebagian sales lain hanya menghasilkan penjualan rata-rata, atau bahkan sangat minim. Riset itu melibatkan 340 karyawan/salesman.

Berdasarkan riset, Adam Grant menemukan bahwa para salesman yang menghasilkan penjualan tertinggi adalah mereka yang memanfaatkan sifat-sifat introver, dan memadukannya dengan sifat-sifat ekstrover. Dari situlah ia lalu menciptakan istilah “ambiver” untuk fenomena tersebut.

Sifat introver, dalam konteks riset terhadap para sales, misalnya bisa menjadi pendengar yang baik, bisa berempati pada kebutuhan klien, dan semacamnya. Sementara sifat ekstrover yang dimaksud adalah antusias saat menjelaskan keunggulan barang yang dijual, ceria, dan semacamnya.

Jadi, istilah “ambiver” sebenarnya hanya untuk konteks di dunia bisnis, khususnya dalam riset Adam Grant. Dia tidak memaksudkan istilah itu—ambiver—digunakan secara general untuk semua orang, apalagi digunakan sebagai penyebutan kepribadian bersama introver dan ekstrover.

Belakangan, para pakar bisnis dan kepemimpinan juga memakai istilah “ambiver” saat menjelaskan bagaimana “orang harus memadukan dua kepribadian sekaligus—introver dan ekstrover—untuk meraih kesuksesan”. Dua pakar yang paling populer dalam hal ini; Karl Moore dan Daniel H. Pink.

Tapi konteks istilah itu—ambiver—tetap di dunia bisnis. Karl Moore dan Daniel H. Pink meminjam istilah “ambiver” hanya untuk menunjukkan maksud mereka, sebagaimana hasil riset Adam Grant. 

Sayangnya, kekeliruan massal terjadi; mengira ambiver adalah "bagian ketiga" kepribadian.

Kekeliruan massal itu terjadi, salah satunya, karena amplifikasi media di internet yang asal tulis tanpa verifikasi. Lalu orang-orang membaca dan percaya begitu saja, sekali lagi tanpa verifikasi. Di Twitter, misalnya, sering terjadi perdebatan soal ambiver yang salah kaprah ini.

Beberapa kali aku menemukan, di Twitter, ada orang memberi tahu, “Ambiver itu tidak ada.” Lalu seseorang menyahut, “Ambiver itu ada!” sambil menyematkan link artikel dari suatu situs yang menjelaskan “psikologi ambiver”. Padahal artikel di situs itu salah. 

Lha piye ngene iki?

Kesimpulannya, ambiver adalah istilah yang diciptakan di dunia bisnis, bukan di bidang psikologi. Jadi, menurut sebagian pakar bisnis dan kepemimpinan, kita perlu memadukan sifat-sifat introver dan ekstrover jika ingin meraih kesuksesan, dan itulah yang disebut ambiver.

So, introver dan ekstrover adalah kata sifat (karena ia kepribadian bawaan), sementara ambiver adalah kata kerja (karena ia butuh upaya pelakunya; memadukan introver dan ekstrover). 

Jadi, apakah ambiver itu ada? Dalam konteks psikologi (kepribadian), jawabannya tidak ada!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Oktober 2021.

Akan Sampai

Segala hal akan sampai pada batasnya. Semua awal akan sampai pada akhirnya. Perjalanan akan sampai pada pulang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Januari 2012.

De Sué Sirve

¿De qué sirve poner la mano en medio de la boca del cocodrilo?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Oktober 2021.

 
;