Kita lebih senang memiliki “perasaan benar”
daripada memiliki kebenaran itu sendiri.
—Jonathan Haidt, psikolog sosial
Catatan ini mungkin berat sekaligus rumit, dan rentan menimbulkan salah paham. Saya telah berusaha menulis dan menguraikannya dengan cara sederhana yang bisa dipahami siapa pun... tapi sebaiknya baca pelan-pelan saja, agar benar-benar paham dan tidak salah paham.
....
....
Orang-orang, khususnya anak muda zaman sekarang, makin kritis dan makin bisa melihat kekeliruan-kekeliruan yang di masa lalu dianggap kebenaran. Di masa lalu, kebenaran sifatnya seperti absolut, mutlak, tak terbantah. Tapi di masa sekarang, kita menyadari, kebenaran itu relatif.
Mari gunakan contoh yang hampir pasti pernah kita temui.
Ada anak muda yang sukses dan kaya-raya, lalu dia berceramah, “Untuk sukses di usia muda itu gampang! Asal mau kerja keras, dan pantang menyerah!” Yang ngomong begitu anak pejabat, anak orang kaya, atau anak konglomerat.
Di masa lalu, ocehan “kerja keras dan pantang menyerah” agar sukses dan kaya itu terdengar seperti kebenaran mutlak. Bahwa kalau kita mau kerja keras dan bla-bla-bla, kita pasti akan sukses dan kaya-raya! Tapi sekarang kita menyadari, masalahnya tidak sesederhana itu.
Faktanya, ada banyak dari kita yang bekerja keras sampai bertahun-tahun, banting tulang siang malam, tapi tidak juga kaya.
Di titik itulah, kita mulai mengenali sesuatu yang disebut privilese—keistimewaan yang belum tentu dimiliki semua orang. Bahwa ada orang yang punya privilese, dan ada pula yang tidak. Jadi anak pejabat, atau anak orang kaya, itu privilese. Masalahnya, tidak semua kita adalah anak pejabat atau anak konglomerat. Itulah perbedaannya.
Jadi, resep “kerja keras dan pantang menyerah agar sukses”—sebagaimana yang sering diceramahkan—itu mungkin relevan untuk sebagian orang, tapi mungkin pula tidak relevan untuk sebagian yang lain. Karena kehidupan kita, sebenarnya, telah terjerat dalam sistem yang rumit.
Ada jutaan orang yang berangkat kerja jam empat pagi, dan pulang jam tujuh malam. Dan mereka melakukannya bertahun-tahun, puluhan tahun—kurang kerja keras apa mereka? Tapi jutaan orang itu tetap saja miskin, berkekurangan, seperti terjebak dalam lingkaran setan.
Ada pula jutaan orang yang bekerja tanpa kenal hari libur, membaktikan hidupnya untuk pekerjaan, dengan harapan suatu waktu akan menemukan pintu rezeki terbuka lebar, dan mereka akan kaya-raya. Tapi mereka tak pernah kaya—mentok-mentoknya hanya jadi kelas menengah.
“Bekerja keras akan membuatmu sukses dan kaya,” itu nasihat baik. Tapi nasihat baik hanyalah nasihat baik—ia belum tentu relevan untuk semua orang. Di titik itu, kita yang suka memberi nasihat perlu menyadari bahwa sesuatu yang kita anggap benar belum tentu benar pula untuk orang lain. Sesuatu yang relevan untuk sebagian orang, belum tentu akan relevan untuk semua orang.
Begitu pula nasihat, “Sayangilah orang tuamu, maka hidupmu akan bahagia.” Yang ngomong begitu punya ayah-ibu yang baik, penuh welas asih, yang mendidik dan membesarkan anak-anak dengan kasih sayang, berkecukupan, hingga si anak tumbuh dengan sehat, fisik maupun mental.
Nasihat semacam itu relevan untuk anak-anak yang kebetulan juga punya orang tua baik... tapi belum tentu relevan bagi anak-anak yang orang tuanya lebih mirip psikopat daripada orang tua, tidak relevan untuk anak-anak yang dididik dengan kekerasan, kekejaman, dan kebencian.
“Sayangilah orang tuamu, maka hidupmu akan bahagia.” Di masa lalu terdengar seperti kebenaran mutlak. Apalagi ditambah banyaknya orang yang meromantisasi dirinya sendiri—misal jadi sukses dan kaya-raya karena “berbakti pada orang tua”. Tapi benarkah kausalitasnya?
Maksud saya begini. Ada orang yang sangat baik pada orang tuanya, dan dia jadi orang sukses. Pertanyaannya, itu faktor kebetulan atau faktor kepastian? Faktanya, ada banyak orang yang sangat baik pada orang tuanya, tapi hidup mereka sengsara, berkekurangan, dalam arti harfiah.
Sebaliknya, ada pula orang-orang yang sangat sukses dalam hidupnya, punya manfaat bagi banyak orang di dunia, tapi diam-diam membenci orang tuanya. Orang-orang itu mungkin tidak terang-terangan mengatakan bahwa mereka membenci orang tua—jadi kita tidak pernah tahu.
Itulah yang saya maksud “kebenaran relatif”—sesuatu yang bagi kita tampak benar dan terasa benar, tapi belum tentu benar pula bagi orang lain. Nyatanya, kita sebenarnya tidak senang mendengarkan kebenaran... kita hanya senang mendengar kebenaran yang ingin kita dengarkan.
Menggunakan istilah komputer, itulah “bug” di dalam otak manusia—suatu celah yang kosong, lemah, rentan, yang bisa disusupi “kode-kode tertentu”, dan celah itu akan menerimanya, untuk kemudian memprosesnya, seolah-olah itu bagian dari program yang memang ada.
Dan itulah kita... begitulah sistem pikiran manusia. Ia tidak sempurna, karena sebenarnya mengandung “bug”... dan “bug” itulah yang selama ini dimanfaatkan sebagian orang untuk membohongi atau bahkan mengeksploitasi orang-orang lain. Caranya mudah; susupkan “kebenaran” yang ingin mereka dengarkan.
Contoh mudah “kebenaran yang ingin kita dengar”, misalnya, “Menikah akan membuatmu bahagia, tenteram, dan lancar rezeki.” Itu sangat mudah masuk ke dalam sistem keyakinan manusia, karena nyatanya Homo sapiens butuh kawin, dan iming-iming itu “jadi terasa benar”.
Faktanya, di dunia ini, ada miliaran orang yang kawin, tapi hidup mereka sengsara. Ada jutaan orang yang menikah, dan sebagian mereka bercerai. Jadi, “menikah akan membuatmu bahagia, tenteram, dan lancar rezeki” itu kebenaran... atau hanya sesuatu yang terdengar benar?
Dan ketika fakta pahit ini ditunjukkan, apakah kemudian banyak manusia yang sadar dirinya telah tertipu? Sebagian besar tidak! Kenapa? Ingat “bug” yang ada dalam pikiran manusia. Selama komputer tidak melakukan “debugging”, celah rentan “bug” itu akan tetap ada.
Jadi kita pun mendengarkan aneka hal yang terdengar indah... terasa benar... dan kita mempercayainya... dan, di satu titik tertentu, kita mengubah diri bukan hanya sebagai “penerima bug” tapi juga sebagai “pemberi bug” yang menulari orang-orang lain dengan “bug” yang sama.
Sudah melihat bagaimana “kebenaran” tercipta dalam sistem pikiran manusia?