Minggu, 28 Juli 2013

Psikologi 101

Membicarakan psikologi manusia sering membuat kita tak bisa
melepaskan topik moralitas. Karena dibelokkan dengan cara apa pun,
pembelajaran atas psikologi manusia pada akhirnya
akan tetap sampai pada topik moralitas.
KSU, Manhattan, Juli 2010


Kuliah psikologi selalu menyenangkan. Bukan hanya karena kuliah ini menjadikan mahasiswa semakin mengenali diri sendiri, namun juga mulai belajar melihat sesuatu yang sebelumnya tidak pernah mereka lihat. Selain itu, dosen yang mengajar juga menyenangkan—tahu bagaimana menjelaskan sesuatu yang abstrak terdengar konkrit, yang rumit menjadi mudah dipahami.

Di kelas, sang dosen biasanya akan menggunakan separuh waktu mengajarnya untuk menjelaskan teori kuliah, dan menggunakan separuhnya lagi untuk berinteraksi dengan para mahasiswa. Itu saat-saat yang sangat disukai mahasiswa di kelas, karena interaksi tanya jawab itu biasanya tidak hanya terbatas pada materi kuliah hari itu, tapi juga “melantur” ke mana-mana, meski tetap dalam koridor ilmiah.

Seperti hari itu, seusai menjelaskan materi kuliahnya, sang dosen duduk dengan santai di depan kelas, dan tersenyum pada para mahasiswa. “So,” katanya, “ada yang ingin diobrolkan?”

Beberapa mahasiswa, seperti biasa, serentak mengacungkan tangan ingin bertanya.

“Ya, my friend,” ujar sang dosen pada mahasiswi yang duduk di deret agak belakang. “Apa yang ingin kautanyakan?”

“Terima kasih, Profesor,” ujar si mahasiswi dengan nada hormat. “Saya ingin tahu, bagaimana cara mengetahui seseorang cukup baik atau buruk. Adakah teori praktis untuk mengetahuinya?”

“Yang kautanyakan pasti orang yang baru kenal, benar?”

“Benar, Profesor.”

“Well...” ujar sang dosen perlahan-lahan, “kadang-kadang penampilan memang menipu. Seseorang yang tampak baik ternyata memiliki hati busuk, sedang yang tampak jahat ternyata berjiwa malaikat. Kita tak bisa melihat hati orang per orang, padahal mengetahui seseorang baik atau buruk cukup penting bagi kita untuk mempertimbangkan hubungan dengannya—dari sekadar berteman, sampai menjalin hubungan yang lebih serius.”

Para mahasiswa khusyuk mendengarkan.

Sang dosen melanjutkan, “Jadi, bagaimana cara mengetahui kepribadian seseorang yang mungkin tersembunyi dari penampilan dan tingkah lakunya? Sebenarnya tak terlalu sulit, karena watak dasar manusia adalah ingin menyatakan tentang dirinya. Itulah psikologi dasar manusia—setiap orang ingin membicarakan tentang dirinya, ingin menunjukkan diri pada dunia—setidaknya pada orang lain. Karena itu, dengan membiarkannya berbicara, kita akan melihat seperti apa sesungguhnya orang itu.”
 
“Membiarkannya berbicara?” tanya seorang mahasiswa, ingin memastikan.

“Ya, pal, membiarkannya berbicara. Ingat psikologi dasar—setiap orang suka berbicara, senang didengarkan. Karena itu, ketika bertemu seseorang, dan kita ingin mengetahui seperti apa watak atau kepribadiannya, dengarkanlah ia berbicara. Pancing ia membicarakan sesuatu, kemudian diamlah dan dengarkan. Apa pun yang kemudian keluar dari mulutnya dapat kita gunakan untuk menilai seperti apa kepribadian orang itu.”

Mahasiswa yang lain bertanya dengan ragu. “Uhmm... Profesor. Tapi saya pikir agak cukup sulit bagi kita—uhm, khususnya bagi saya—untuk menilai seseorang cukup baik atau buruk dengan hanya mengajaknya berbicara seperti itu.”

Sang dosen tersenyum. “Sebenarnya, ada cara mudah untuk melakukannya, my friend. Ajak dia berbicara tentang seseorang yang kalian kenal, tapi orangnya tak ada di sana. Tanyakan pendapatnya tentang orang itu. Jika dia membicarakan hal-hal baik tentang orang tersebut, kau bisa percaya dia memang orang baik. Sebaliknya, jika dia membicarakan hal-hal buruk—atau dia mencari-cari keburukan—tentang orang tersebut, kau bisa mengambil kesimpulan sebaliknya. Kita tahu, nilai kepribadian seseorang dilihat dari pendapatnya tentang orang lain, ketika orang yang dibicarakannya tidak ada.”

“Profesor,” ujar mahasiswa di deretan depan, “bagaimana kalau orang yang kami bicarakan itu kenyataannya memang buruk?”

“Maka itu eksperimen yang sempurna,” sahut sang dosen sambil tersenyum lebar. “Jika orang yang kalian bicarakan ternyata memang buruk, maka kita bisa melihat secara langsung apakah orang yang berbicara dengan kita orang baik atau orang buruk. Orang baik tidak akan membicarakan hal-hal buruk orang lain di belakang punggungnya—tak peduli kalau orang yang dibicarakannya memang buruk. Itu konsep dasar moralitas. Karenanya, itu cara mudah menilai kepribadian seseorang. Setiap orang bisa memburuk-burukkan orang lain di belakang punggungnya—itu mudah, setiap orang bisa melakukannya. Tapi tidak setiap orang mampu tulus memuji orang lainnya ketika orang yang dipuji tidak ada di sana.”

Sesaat, kelas hening.

Keheningan itu dipecahkan seorang mahasiswa yang duduk di dekat dinding. “Profesor,” ujarnya hati-hati, “kalau boleh saya simpulkan, artinya baik-buruknya seseorang bisa kita nilai dari pendapatnya tentang orang lain?”

Sang dosen mengangguk. “Selengkapnya, baik-buruknya seseorang bisa kita nilai dari pendapatnya tentang orang lain yang tidak ada di sana.” Setelah terdiam sesaat, sang dosen melanjutkan, “Kalau saya berteman denganmu, kemudian suatu hari saya memburuk-burukkan seseorang di hadapanmu, kira-kira apa yang akan muncul dalam benakmu? Benar, kau akan berpikir saya juga akan memburuk-burukkanmu jika saya berselisih denganmu. Oh, well, kita tidak ingin berteman dengan orang semacam itu. Kita ingin berteman dengan orang baik, yang tetap menjaga nama baik kita di depan orang lain, bahkan ketika kita berselisih dengannya.”

Para mahasiswa di kelas mengangguk-anggukkan kepala. Dan sekali lagi kelas hening sesaat. Kalimat terakhir itu seperti menyadarkan mereka semua. Kita ingin berteman dengan orang baik, yang tetap menjaga nama baik kita di depan orang lain, bahkan ketika kita berselisih dengannya.

Setelah keheningan itu mengendap, seorang mahasiswa di bagian depan berkata perlahan, “Profesor, apakah standar nilai semacam itu bisa kita terapkan untuk menilai seseorang yang akan kita ajak menjalin hubungan spesial? Maksud saya, sebagai lelaki, apakah saya bisa menilai baik buruknya seorang wanita dari standar nilai seperti yang Anda jelaskan tadi?”

Sang dosen tersenyum, “Sepertinya obrolan kita mulai mengerucut.”

Para mahasiswa pun tersenyum lebar, beberapa ada yang tertawa kecil.

“Sebelum melanjutkan,” ujar sang dosen, “kalian tak keberatan saya merokok?”

Itu sudah menjadi semacam “adat” yang telah dihafal semua mahasiswa. Dosen satu ini biasa merokok di sela-sela kuliah, dan para mahasiswa tak punya alasan untuk keberatan. Karena, jika diperhatikan, semakin dosen itu menikmati rokoknya, semakin memukau penjelasan yang diberikannya. Jadi, ketika sang dosen mulai menyulut rokok, para mahasiswa pun bersiap mendengarkan kejutan.

“Ehmm...” sang dosen memulai. “Ada yang tahu siapa nama istri Socrates?”

“Xanthippe,” jawab seorang mahasiswa berkacamata.

“Exactly,” sahut sang dosen senang. “Xanthippe adalah wanita yang tak bisa dibilang cantik. Tapi yang membuatnya dibenci banyak orang adalah kebiasaan buruknya yang suka membicarakan keburukan orang lain. Ke mana-mana wanita itu pergi, yang ia bicarakan hanyalah keburukan orang. Yang lebih parah lagi, dia berhati jahat, penuh dengki, dan yang ia lihat pada orang lain hanyalah keburukan. Xanthippe adalah perawan tua yang kecewa dengan kondisi dirinya sendiri, dan ia memuntahkan kekecewaannya dengan cara membenci dunia. Di Yunani, waktu itu, tidak ada lelaki cukup waras yang mau menikahi wanita seperti dirinya.”

Sang dosen mengisap rokoknya sesaat, kemudian melanjutkan, “Seperti di Yunani berabad-abad lalu, begitu pula yang terjadi di zaman kita hari ini. Tidak ada orang yang senang menjalin hubungan dengan seseorang yang akan memburuk-burukkan kita di depan orang lain. Tidak untuk berteman, apalagi untuk hubungan spesial. Bahkan, kalau kita mau jujur, kita lebih mudah menoleransi beberapa kekurangan pribadi semacam penampilan yang kurang cantik, atau kurang pintar, atau kurang lainnya, tapi kita sulit menoleransi perilaku suka menggunjingkan keburukan orang. Karena itu standar moralitas—diakui atau tidak.”

Mahasiswa yang tadi mengajukan pertanyaan kini tampak mengangguk-angguk. Kemudian, karena dosennya terdiam setelah mengisap rokoknya, si mahasiswa kembali berkata, “Profesor, uhm... kalau memang Xanthippe punya kepribadian buruk seperti yang Anda ceritakan, mengapa Socrates yang terkenal bijak mau menikahinya?”

Jawabannya sangat mengejutkan. “Karena dia Socrates.”

Kelas hening.

Sang dosen kembali mengisap rokoknya.

Seorang mahasiswa memberanikan diri. “Karena dia Socrates?”

“Ya, fellas, karena dia Socrates,” jawab sang dosen. “Filsuf itu memiliki kebijaksanaan yang amat luas—sebegitu luasnya hingga kita sulit memilikinya. Mengetahui Xanthippe akan menjadi perawan tua karena tidak ada lelaki yang menginginkannya, Socrates pun memutuskan untuk menikahinya. Dari kisah itu pulalah, kemudian Socrates memiliki kalimat terkenal yang tetap dihafal banyak orang hingga saat ini. Ada yang tahu apa kalimat terkenal itu?”

Seorang mahasiswa menjawab, “Bagaimana pun, menikahlah. Kalau kau menikah dengan wanita yang baik, kau akan bahagia. Kalau kau menikah dengan wanita jahat, kau akan menjadi ahli filsafat.”

Sang dosen tersenyum bersama asap rokoknya yang mengepul. “Itulah kalimatnya. Yang jadi masalah kita hari ini, kita bukan Socrates. Selain itu, di sekeliling kita ada banyak wanita cantik yang memiliki hati sama cantiknya—jauh lebih banyak dibanding masa ketika Socrates hidup di Yunani. Karenanya, bahkan umpama hari ini ada lelaki sehebat dan sebijaksana Socrates, dia tidak perlu menikah dengan wanita semacam Xanthippe.”

Itu dalam, pikir para mahasiswa. Oh, well, sangat... sangat dalam.

Semula, para mahasiswa mengira pembicaraan mereka telah selesai. Tapi kemudian seorang mahasiswa di bagian belakang mengangkat tangannya, dan bertanya, “Profesor, maafkan saya. Dengan membicarakan sisi buruk Xanthippe di sini, bukankah kita juga sedang membicarakan keburukan orang lain? Meminjam penjelasan Anda tadi, bukankah kita juga telah melanggar standar moralitas?”

Sang dosen tersenyum. “Saya senang kau berpikir sekritis itu. Dan saya pun akan senang menjawabnya. Pertanyaanmu akan membawa kita pada topik lain yang sama penting tentang psikologi manusia, yakni konteks moralitas. Itu yang membedakan antara ‘membicarakan keburukan orang di depan umum secara terbuka’ dan ‘membicarakan keburukan orang secara pribadi dengan bisik-bisik dan rahasia’. Namun, karena jam kuliah kita sudah habis, bagaimana kalau kita bicarakan di pertemuan mendatang?”

Dalam hati, para mahasiswa bersumpah tidak akan bolos di pertemuan mendatang.

Kuda Troya di Kepala

Malam Minggu. Seorang lelaki duduk sendirian di depan rumahnya—tampak seperti sedang berpikir. Di sebelah tempat duduknya ada meja dengan segelas teh di atasnya, dan asbak dengan sebatang rokok yang menyala.

Lelaki itu sedang menyentuh gelas di sampingnya, ketika seorang lelaki lain kebetulan lewat di depan rumah. Orang asing itu menyapa, “Ah, Saudaraku. Malam Minggu begini, kenapa kau tidak berkencan?”

Lelaki di depan rumah menyahut, “Aku bisa menyebutkan seratus hal lain yang lebih penting dan lebih mulia selain berkencan, dan sekarang kau bertanya kenapa aku tidak berkencan? Oh, bertaubatlah, Saudaraku. Kuda Troya di kepalamu!”

Tolol, tapi Sombong

Seseorang bertanya pada filsuf, “Tuan Filsuf, ada orang yang menantang saya untuk berdebat. Bagaimana agar saya tahu dia orang bodoh atau bijak?”

Sang filsuf menjawab, “Fakta bahwa dia menantangmu berdebat, sudah jelas menunjukkan dia orang bodoh.”

Minggu, 21 Juli 2013

Seleb Twit atau Seleb Copas?

Yang menjengkelkan di Twitter adalah mendapati
tweet kita ditulis ulang tanpa menyertakan username.
Me-retweet beda dengan mencuri.
@noffret

Hal itu saya alami juga berkali-kali.
@jokopinurbo

Biasanya kalau nemu yang begitu, njenengan gimana Mas?
Negur orangnya, atau diemin aja?
@noffret

Pernah saya sentil. Selebihnya saya diamkan. Malah orang lain
yg negur. Sebaiknya memang diperingatkan, mas.
@jokopinurbo


Salah satu hal buruk yang tumbuh subur di Twitter adalah budaya copas, alias copy-paste, alias maling tulisan orang lain. Munculnya orang-orang terkenal di Twitter, atau biasa disebut seleb twit, rupanya melahirkan keinginan yang sama bagi banyak orang lain, dan beberapa orang yang “kebelet jadi seleb twit” itu pun kemudian menghalalkan segala cara, yang salah satunya mencuri tweet orang lain.

Sudah tak terhitung banyaknya kasus ini terjadi di Twitter, hingga membahas masalah ini jadi terkesan klise. Tetapi ini masalah serius, karena mengandung unsur kejahatan, sehingga kita tidak bisa membiarkannya. Sebagaimana di dunia nyata, pencuri atau maling adalah penjahat, dan kita pasti menangkapnya jika ketahuan. Begitu pun di dunia maya, khususnya di Twitter. Keberadaan para maling juga merugikan orang yang menjadi korban.

Oh, well, tentu saja tidak salah jika ingin menjadi seleb twit. Itu hak masing-masing orang. Tetapi menjadi seleb twit tidak berarti menjadi pencuri atau penjahat. Orang-orang yang sekarang terkenal sebagai seleb twit memiliki banyak follower karena tweet-tweet mereka bagus, bermanfaat, dan orisinal. Karenanya, syarat mutlak untuk menjadi seleb twit adalah memenuhi kualifikasi itu, dan bukannya sibuk mencuri tweet-tweet bagus milik orang lain.

Saya terpaksa menulis catatan ini, karena sudah jengkel luar biasa mendapati banyaknya tulisan saya yang di-copas di Twitter. Sudah sejak lama saya sering mendapati orang meng-copas tulisan saya di timeline-nya, dan saya terus menyabar-nyabarkan diri. Biasanya, kepada mereka yang meng-copas, saya tegur baik-baik, dan biasanya mereka sadar, minta maaf, lalu menghapus tulisan saya di timeline mereka. Sejak itu pun mereka tidak melakukannya lagi.

Betapa pun juga, meng-copas tulisan orang lain kemudian ditulis di timeline kita tanpa menyebutkan sumbernya, adalah mencuri. Karenanya, meng-copas sama dengan mencuri. Itu kejahatan. Karena kejahatan, pihak yang menjadi korban tentu merasa dirugikan. Karena dirugikan—apalagi jika dirugikan terus-menerus—tentu wajar kalau mereka marah.

Itulah yang sekarang terjadi pada saya. Sekarang saya sedang marah, dan saya menulis catatan ini dalam keadaan marah. 

Baru-baru ini, ada orang yang meng-copas tulisan-tulisan saya, baik tulisan di blog maupun di Twitter. Dan yang di-copas banyak sekali. Ketika mengetahui hal itu, saya menegur pelakunya baik-baik, berharap dia sadar. Tapi dia tidak sadar. Jangankan sadar dan minta maaf, dia cuek saja. Tulisan-tulisan saya yang dicurinya masih saja ada di timeline-nya. Yang lebih gila lagi, dia masih terus mencuri tulisan-tulisan saya lagi tanpa merasa bersalah.

Sebagai manusia biasa, saya tentu punya batas kesabaran. Dan menghadapi pencuri tak tahu diri sangat menguras kesabaran. Kalau milikmu dicuri oleh maling, kemudian diakui sebagai miliknya, tentunya wajar kalau kau marah. Kalau si maling sudah ditegur tapi tidak mau sadar, dan malah terus mencuri milikmu tanpa malu, tentunya sangat wajar kalau kau marah-marah pada maling bangsat itu.

Kata-kata dan tulisan—dalam apa pun bentuknya—adalah hak milik penulisnya. Itu bahkan hak milik yang secara otomatis dilindungi undang-undang bernama Hak Cipta. Kalau kita mengambil (meng-copas) tulisan orang lain di blog, atau di Twitter, lalu kita tulis di timeline kita tanpa menyebutkan sumber atau pemiliknya, maka kita telah melakukan pencurian atas hak milik orang lain. Karenanya, pelaku copas adalah maling atau pencuri.

Ada keparat sok pintar yang berdalih, “Selama yang punya tweet atau tulisan gak keberatan, apa salahnya di-share ke orang lain?”

Itu logika tolol yang hanya keluar dari otak idiot yang lebih menyedihkan dari otak udang. Sesuatu disebut “mencuri”, karena perbuatan itu dilakukan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Kalau pemiliknya tidak tahu miliknya dicuri, bagaimana kita bisa yakin dia tidak keberatan? Faktanya, saya keberatan tulisan saya dicuri orang lain, dan saya marah akibat pencurian itu.

Orang mungkin menyangka internet adalah dunia maya yang tidak jelas, sehingga di internet bisa bebas melakukan apa saja, termasuk mencuri tulisan orang lain. Salah! Internet justru dunia yang sangat sempit dan sangat jelas. Di internet, kita bisa melacak apa pun, termasuk melacak para maling yang telah mencuri tulisan kita. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendeteksi siapa saja yang telah mencuri tulisan-tulisan kita. Mudah, sangat mudah.

Di Twitter, misalnya, kita bisa menggunakan aplikasi Who Stole My Tweet. Melalui aplikasi ini, kita bisa memantau siapa saja yang telah meng-copas tulisan-tulisan kita, dari waktu ke waktu. Kapan pun tulisan kita dicuri, kita akan tahu, tak peduli jika pencurinya memproteksi atau mengunci akun Twitter-nya.

Begitu pula di blog, ada banyak cara untuk melacak keparat mana saja yang telah mencuri tulisan-tulisan kita. Pendeknya, mencuri di dunia maya jauh lebih sulit dibanding mencuri di dunia nyata. Begitu pun, para maling di dunia maya lebih mudah ketahuan daripada para maling di dunia nyata.

Karena itu, pikirkanlah sejuta kali sebelum nekat mencuri tulisan orang lain, karena itu sangat mudah ketahuan. Jika tujuanmu adalah menjadi seleb twit, tapi kau mencuri tulisan orang lain demi tujuan itu, maka kau sedang mempermalukan diri sendiri. Bukannya terkenal jadi seleb twit, kau akan terkenal jadi seleb copas. Oh, well, sepertinya tidak ada yang lebih hina daripada itu.

Dan sekarang, gara-gara kasus ini pula, saya memutuskan untuk membuka akun Twitter saya yang semula diproteksi. Orang-orang yang mencuri tulisan-tulisan saya mungkin mengira saya tidak akan tahu karena akun saya terkunci. Karenanya, saya pikir, membuka akun Twitter bisa menjadi semacam “peringatan” bagi siapa pun yang masih nekat ingin mencuri.

So, mulai sekarang, karena akun Twitter saya sudah tidak terproteksi, kalian bisa leluasa me-retweet tulisan-tulisan saya, tanpa harus mencuri. Ingat, me-retweet beda dengan mencuri.

Selain itu, karena akun saya sudah tidak diproteksi, kalian juga bisa mem-follow, tanpa harus masuk list. Omong-omong, list “permintaan follower baru” di akun saya saat ini sudah mencapai 4.700-an. Jari-jari saya pasti akan kram kalau harus meng-accept semuanya satu per satu.


Akhir kata, sampai ketemu di Twitter. Jangan segan jika ingin menyapa atau mencolek saya. Tak perlu khawatir, saya tidak menggigit. Oh, well, kadang-kadang saya menggigit juga, kalau sedang pengin. Abaikan.

Khusnul

Hidup ini sungguh sia-sia jika tidak mengenal Khusnul.

Kumpulan Bocah

Bocah-bocah berkumpul di ruangan itu, sebagian lelaki, sebagian perempuan. Sebagian sudah saling kenal, sebagian masih asing satu sama lain. Sebagian tergolong terkenal karena sering muncul di televisi, sebagian lagi lebih sering menonton mereka di televisi. Dan saya ada di antara mereka.

Di tengah keriuhan itu terdengar seorang bocah berteriak, “Eh, gila, Twitter-ku di-follow SBY!”

Bocah-bocah lain segera menujukan perhatian pada bocah tadi. Seseorang memastikan, “Twitter-mu di-follow SBY? Bener?”

“Iya, aku juga nggak nyangka!” jawab bocah-yang-di-follow-SBY.

“Wah, keren!” ujar bocah lain. “Aku juga mau follow kamu, ah!”

Lalu bocah-bocah lain menimpali, “Iya, aku juga mau follow kamu! Kalau SBY aja follow kamu, berarti kamu emang layak di-follow!”

Bocah-yang-di-follow-SBY senyum-senyum, wajahnya sumringah. Tampak sekali bocah-bocah di ruangan itu akan segera menjadi follower-nya di Twitter.

Di antara keramaian itu, saya berkata pada bocah pendiam yang duduk di samping saya, “Twitter-mu di-follow SBY?”

Dia menggeleng. “Nggak.”

“Bagus!” ujar saya. “Aku akan follow kamu.”

Rabu, 17 Juli 2013

Kasus Laptop yang Misterius

Nggak tahan gelisah, akhirnya keluar kamar,
bikin minum, ngerokok, nyalain laptop, buka Twitter,
dan nge-tweet curhat nggak jelas ini.
@noffret


Ini pengalaman pribadi yang ingin saya bagikan kepada kalian, agar lebih berhati-hati dalam berurusan dengan laptop, agar tidak mengalami masalah misterius—dan menjengkelkan—seperti yang saya alami baru-baru ini.

Sebenarnya, saya ingin sekali menyebutkan merek laptop bermasalah yang menjadi pangkal cerita ini, juga nama toko tempat saya membelinya. Namun, saya telah mengirim e-mail permintaan klarifikasi kepada perusahaan laptop bersangkutan, dan mereka telah menjawab serta berusaha memberikan penjelasan sehubungan dengan laptop saya yang bermasalah—meski penjelasan mereka belum tuntas. Karenanya, untuk menghargai itikad baik itu, saya tidak akan menyebut identitas apa pun dalam catatan ini.

....
....

Satu tahun yang lalu, pada Agustus 2012, saya membeli laptop baru, dengan garansi satu tahun. Semenjak membelinya, laptop itu baik-baik saja, dan saya pun senang menggunakannya. Sampai kemudian, pada bulan April kemarin, laptop itu mulai mengalami masalah. Setiap kali saya mengetik, huruf yang keluar di layar tidak sesuai dengan tombol yang saya tekan.

Saya cukup tahu, masalah itu ditimbulkan oleh keyboard. Karena masih garansi, saya pun membawa laptop itu ke toko tempat saya membelinya. Pihak toko menerima laptop itu, dan dua hari kemudian laptop saya dinyatakan sudah beres. Saya pun mengambilnya kembali, membawa laptop ke rumah, dan sejak itulah saya merasa ada yang tidak beres.

Sejak itu, saya merasakan kinerja laptop saya berbeda. Jika dulu booting-nya sangat cepat, sekarang jadi lambat. Jika dulu loading programnya bisa dibilang seketika, sekarang tidak secepat sebelumnya. Perbedaan itu sangat terasa, khususnya bagi saya yang telah terbiasa bekerja dengan laptop.

Tapi masalah rupanya belum selesai. Dua hari setelah itu, laptop itu kembali menunjukkan masalah yang sama. Setiap kali saya mengetik, huruf yang muncul tidak sesuai dengan tombol yang saya tekan. Lagi-lagi keyboard-nya yang eror. Maka saya pun kembali membawa laptop itu ke toko tempat saya membelinya.

Ketika sampai di toko, saya ditanya masalahnya apa lagi. Saya jelaskan, masalahnya sama seperti kemarin, yakni keyboard yang eror, dan kinerja laptop yang entah kenapa sekarang jadi lambat. Pihak toko menerima laptop itu, dan kali ini saya harus menunggu sampai satu bulan lebih. Saya serahkan pada 2 Mei 2013, dan laptop itu baru bisa saya terima pada 12 Juni 2013.

Pada waktu saya coba, keyboard-nya sudah beres. Tapi booting-nya masih lambat seperti semula, dan loading programnya juga tidak secepat dulu. Yang lebih menjengkelkan lagi, laptop saya telah diinstal ulang, kemudian di dalamnya dibenamkan aneka macam software dan berbagai macam game yang tidak saya minta, bahkan tidak saya butuhkan.

Perlu saya jelaskan di sini, laptop yang saya beli ini bukan laptop murahan. Dalam sebuah survai di majalah komputer, laptop ini menempati peringkat kedua sebagai laptop terawet, dan karena itu pula saya tertarik membelinya. Dalam satu iklan live-nya, perusahaan laptop ini bahkan mengundang artis terkenal untuk menginjak-injak laptop tersebut, untuk menunjukkan betapa hebatnya kualitas laptop itu. Oh, well, sekarang kalian mulai paham laptop apa yang saya maksudkan.

Dan sekarang laptop yang diklaim hebat dan awet itu ternyata tidak sehebat iklannya. Sejak itu pula, saya mulai malas menggunakan laptop itu, karena rasanya seperti menggunakan barang murahan yang tak berkualitas. Satu-satunya alasan mengapa orang mau membayar mahal untuk sebuah mainan, karena mainan itu asyik dimainkan. Saya telah membayar mahal laptop itu, tapi ternyata kualitasnya sangat menjengkelkan, tidak sesuai dengan harganya.

Sampai suatu hari, karena terpaksa, saya kembali menggunakan laptop itu untuk mengetik sesuatu, dan masalah keparat yang sama terulang kembali. Keyboard-nya eror lagi! Huruf yang muncul di layar berbeda lagi dengan tombol keyboard yang saya tekan. Demi Tuhan, laptop macam apa sebenarnya yang saya beli ini?

Jadi, pada 22 Juni 2013 kemarin, saya pun dengan dongkol kembali membawa laptop itu ke toko tempat membelinya, dan meminta agar dibereskan lagi. Dengan dongkol pula saya komplain kepada petugas servis di sana, kenapa masalah keyboard itu terus terulang lagi. Petugas servis di toko menawari, apakah laptop saya akan ditinggal, atau ditunggu. Saya memilih untuk menunggu.

Petugas servis di toko bertanya, apakah masalahnya cuma pada keyboard, atau juga pada harddisk-nya. Pertanyaan itu seperti menyiramkan bensin ke api. Karena masih memendam kedongkolan, saya pun langsung menjawab dengan jengkel, “Masalah laptop saya cuma di keyboard, jadi tolong jangan sentuh sedikit pun harddisk-nya!”

Kemudian, masih dengan jengkel, saya bertanya kepadanya, kenapa kinerja laptop saya bisa berubah, padahal masalahnya cuma pada keyboard? Petugas itu menjawab, bahwa pihak toko hanya memperantarai saja. Artinya, ketika laptop saya dibawa ke sana untuk dibetulkan, pihak toko membawanya ke layanan servis pusat perusahaan laptop tersebut. Praktisnya, dia ingin bilang, pihaknya (pihak toko) tidak tahu menahu mengenai masalah kinerja laptop saya.

Setelah itu, di hadapan saya, petugas servis di toko membetulkan keyboard laptop yang bermasalah itu. Ternyata sangat mudah, bahkan sepele. Yang ia lakukan hanya mencungkil tombol yang bermasalah, membersihkannya, kemudian memasangnya kembali. Waktu yang dibutuhkan hanya beberapa menit. Setelah itu saya diminta mencoba, dan saya lihat laptop itu sudah beres kembali. Setelah yakin laptop itu benar-benar sudah oke, saya pun membawanya pulang.

Sampai hari ini, laptop itu masih baik-baik saja.

Oke, sekarang kita lihat kembali kasus laptop ini dari awal, dan mari kita analisis untuk memperkirakan apa sebenarnya yang telah terjadi.

Ketika pertama kali laptop saya bermasalah, masalahnya hanya pada keyboard, sama sekali tidak berhubungan dengan harddisk atau mesin apa pun di dalam bodi laptop. Seperti kita lihat pada penjelasan di atas, cara membetulkan masalah itu sangat mudah, bahkan sepele, yaitu mencungkil bagian keyboard yang bermasalah, membersihkannya, kemudian memasangkannya lagi. Selesai. Tanpa bongkar mesin, tanpa instal ulang.

Pertanyaannya, ketika dulu pertama kali saya membawa laptop itu ke toko untuk dibereskan keyboard-nya, kenapa hasilnya berefek pada kinerja laptop? Saya bukan pakar laptop, tapi saya cukup tahu bahwa kinerja laptop (kecepatan booting dan loading) sama sekali tidak berhubungan dengan keyboard. Jadi, kalau laptop saya semula hanya bermasalah pada keyboard, kenapa efek perbaikannya bisa membuat kinerja laptop melambat?

Itu pertanyaan paling krusial menyangkut keanehan yang terjadi pada laptop saya. Pertanyaan lain, ketika saya membawa laptop itu kedua kalinya ke toko karena keyboard-nya bermasalah lagi, kenapa harddisk laptop saya diinstal ulang dan diisi aneka macam software serta game yang sama sekali tidak saya minta dan tidak saya butuhkan?

Petugas servis di toko tadi menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal itu, karena pengurusan servis laptop itu mereka serahkan pada layanan servis pusat, dan pihak toko hanya mengantarkan. Artinya, saya tidak bisa mempertanyakan apa pun kepadanya mengenai keadaan/perubahan laptop saya.

Karena butuh klarifikasi, saya pun mengirimkan e-mail kepada customer service perusahaan laptop tersebut, untuk meminta jawaban serta penjelasan tentang apa sebenarnya yang telah terjadi pada laptop saya. Sejak awal saya sudah menjelaskan kepada si customer service, bahwa saya akan menuliskan masalah ini di blog, sehingga jawaban apa pun yang diberikannya akan saya gunakan dalam catatan yang saya tulis.

Customer service perusahaan laptop itu butuh waktu lama sekali untuk menjawab e-mail saya, dan jawabannya tidak terlalu memuaskan. Dalam beberapa kali komunikasi via e-mail, mereka memberikan jawaban dan penjelasan yang serba singkat. Di akhir komunikasi, customer service itu menjanjikan, “Saat ini kami masih menunggu informasi lebih detail lagi dari pihak Xxxxx Xxx” (pihak yang menangani laptop saya). Namun, sampai saya menulis catatan ini, mereka belum menghubungi lagi.

Jadi, kawan-kawan, menurut kalian, kira-kira apa yang telah terjadi dengan laptop saya?

Sekarang saya akan menceritakan kasus yang sama anehnya menyangkut laptop, yang pernah menimpa salah satu kawan saya. Satu tahun sebelum saya membeli laptop yang saya ceritakan di atas, Farid—teman saya—membeli sebuah laptop baru (mereknya beda dengan laptop yang saya beli, dan toko tempatnya membeli juga beda).

Setelah membeli laptop tersebut, Farid merasakan baterai laptopnya bermasalah. Dalam brosur, baterai laptop itu disebutkan bisa bertahan hingga empat jam, sementara baterai laptop yang dibeli Farid hanya mampu bertahan maksimal satu jam. Farid pun berkesimpulan baterai laptopnya bermasalah. 

Sebenarnya, Farid punya famili yang memiliki usaha servis laptop. Namun, karena laptopnya masih bergaransi, Farid pun membawa laptopnya ke toko tempat ia membeli untuk mengadukan masalah baterainya. Petugas di toko meminta laptop itu ditinggal, dengan alasan mereka perlu memeriksa baterai laptop tersebut. Maka Farid pun meninggalkan laptopnya di sana.

Satu minggu kemudian, laptop Farid sudah beres, baterainya telah diganti. Farid pun membawa pulang laptop itu, dan tidak ada masalah. Baterainya sudah beres, dan bisa bertahan hingga empat jam sebagaimana yang tertera di brosurnya.

Sampai suatu malam, Farid bekerja menggunakan laptop itu di kamarnya. Seusai kerja, karena mengantuk, Farid mematikan laptopnya, kemudian menaruh laptop itu di lantai kamar, tepat di bawah tempat tidurnya.

Saat terbangun keesokan harinya, Farid tidak ingat dia meletakkan laptop di sana. Jadi, dalam keadaan masih mengantuk, dia pun spontan menjejakkan kakinya di lantai kamar, dan tanpa sadar menginjak laptopnya. Hanya butuh waktu beberapa detik bagi Farid untuk mendengar suara “kraaaak!” yang sangat menyakitkan, dan seketika itu juga Farid menyadari dia telah menghancurkan laptopnya.

Kantuknya hilang seketika. Dengan sangat menyesal, Farid mendapati casing laptopnya retak, dan LCD-nya hancur. Itu kerusakan yang tidak termasuk dalam garansi. Untuk membereskan laptop itu, Farid pun membawa ke tempat familinya yang punya usaha servis laptop. Dan di sanalah kemudian sesuatu yang sangat aneh mulai terkuak.

Ketika laptop Farid mulai dibongkar untuk dibereskan, famili Farid mendapati harddisk dan beberapa onderdil laptop itu sudah tidak orisinal. Farid terkejut mendapati hal itu, karena seingatnya laptop miliknya belum pernah dibongkar sama sekali. Satu-satunya waktu ketika laptop itu terlepas darinya hanya ketika ia serahkan ke pihak toko untuk diganti baterainya, tak lama setelah ia membeli.

Jadi, bagaimana bisa mesin laptop milik Farid sudah tidak orisinal, padahal itu laptop baru, yang bahkan baru beberapa bulan ia beli? Farid mencoba menanyakan hal itu pada toko tempatnya membeli, tapi pihak toko tidak memberi jawaban memuaskan. Yang jelas, satu fakta telah terkuak di sini, yaitu ada oknum—entah oknum di toko atau oknum di layanan servis perusahaan laptop tersebut—yang telah mengganti mesin laptop milik Farid, ketika laptop itu dibawa ke sana untuk diganti baterainya.

Nah, ketika saya mengalami kasus aneh sehubungan dengan laptop (sebagaimana yang saya ceritakan di atas), mau tak mau ingatan saya tertuju pada kasus yang menimpa Farid. Kasus yang sama misteriusnya—kasus tentang laptop mahal yang ternyata menyimpan misteri di dalamnya.

In the end, sebagian dari kalian pasti memiliki laptop. Terlepas dari masalah yang saya ceritakan, saya harap kisah ini bisa kalian ambil hikmahnya.

Noffret’s Note: Absurditas

“Kita tidak bisa melihat udara, tapi mengapa
kita meyakini keberadaannya?” | “Gurumu
mengajarkan itu, dan kenapa kau mempercayainya?”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Apa yang akan terjadi sepuluh tahun mendatang?” |
“Hmm... apa yang akan terjadi sepuluh detik mendatang?”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Mana lebih baik, rusak menjadi baik, atau baik menjadi rusak?” |
“Tergantung seberapa besar kita percaya pada relativitas.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Seandainya ikan bisa terbang dan burung bisa
berenang, di manakah gajah dan semut akan tinggal?” |
“Mereka akan tinggal di tempatnya.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Mengapa mawar memiliki duri?” | “Agar kita
mau duduk sebentar, dan memikirkannya.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Seandainya kosakata kita tidak memiliki kata
seandainya, bagaimana kita berkhayal?” |
“Kita akan berkhayal memiliki kata seandainya.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Apa yang paling penting dalam hidup?” |
“Kesadaran bahwa kita hidup.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Mengapa anjing menggonggong dan kucing mengeong?” |
“Memang sungguh malang kalau tak punya pilihan.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Kenapa remaja dan anak-anak muda menyukai
hal-hal berbau cinta dan romantisme?” | “Karena
bunga selalu mekar dan luruh pada waktunya.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Mana yang lebih kuat, putih atau hitam?” |
Siapa yang kau tanya? Karpov dan Kasparov,
Einstein dan Hawking, atau Socrates dan Plato?”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Jika memang semuanya memiliki nama,
lalu bagaimana dengan hal-hal yang tidak
atau belum kita tahu?” | “Itulah nama mereka.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Jika Adam tidak memakan apel, kira-kira
apa yang akan terjadi?” | “Apel akan membusuk,
surga akan runtuh, dan langit menangis.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Kenapa banyak orang ingin terkenal?” |
“Karena tidak membaca filsafat eksistensialisme,
tapi ingin langsung mempraktikkannya.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Apakah alam semesta memiliki selera humor?” |
“Ya.” | “Apa buktinya?” | “Kita di sini.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Kenapa sesuatu disebut hitam, putih, kuning,
merah, ungu, dan lainnya?” | “Kau yang menyebut.
Jadi, kenapa kau menyebutnya?”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Mungkinkah kita menyusun tangga
yang sangat tinggi, hingga menyentuh langit?” |
“Kalau pun bisa, siapa yang akan memanjatnya?”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Mungkinkah kita menguras air di lautan
hingga benar-benar kering?” | “Tergantung
logika mana yang akan kaugunakan.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Jika bumi menjadi langit, dan langit menjadi bumi,
apa yang akan terjadi?” | “Itulah absurditas.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Mengapa dua orang bisa saling jatuh cinta?” |
“Kenapa tidak kautanyakan saja pada mereka?”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Jika hidup dan usia adalah pinjaman, siapakah
yang telah meminjamkan?” | “Keabadian.” |
“Tapi kita mati.” | “Lalu kenapa?”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Seandainya harus memilih dua pilihan
yang sama-sama buruk, apa yang akan kaulakukan?” |
“Untuk hal-hal buruk, tak perlu berandai-andai.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Kira-kira seperti apa rasanya mati?” | “Mungkin
seperti menemukan teman lama yang kita cintai.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Bagaimana mendefinisikan cinta?” | “Tak terdefinisikan.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Bagaimana cara hidup yang benar?” | “Tergantung
siapa dirimu, dan tergantung siapa yang kau tanya.
Oya, juga tergantung apakah kau hidup.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Setinggi apa sebenarnya langit di atas itu?” |
“Tidak setinggi yang kita bayangkan.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Bagaimana mengetahui sesuatu bagus atau tidak,
hebat atau tidak?” | “Lihat saja siapa yang meributkannya.”
—Twitter, 1 Maret 2013

“Apa yang akan terjadi kalau besok kita menikah?” |
“Tidak akan terjadi.”
—Twitter, 1 Maret 2013


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Noffret’s Note: Cukup

Kita tidak akan belajar jika telah merasa cukup.
Cukup baik, cukup bagus, atau bahkan cukup sempurna.
—Twitter, 23 Mei 2012

Kita hanya bisa belajar jika merasa kurang.
Kurang baik, kurang bagus, atau bahkan kurang sempurna.
—Twitter, 23 Mei 2012

“Cukup” itu sama dengan “rata-rata”.
Dan “rata-rata” adalah terbaik di antara yang terburuk,
atau terburuk di antara yang terbaik.
—Twitter, 23 Mei 2012

Kebanyakan kita sudah merasa cukup ketika sampai
pada tahap “cukup”. Padahal “cukup” saja tak pernah cukup.
—Twitter, 23 Mei 2012

Kebanyakan kita lebih suka merasa “cukup” daripada
merasa “kurang”, karena perasaan “cukup” membuat kita nyaman.
—Twitter, 23 Mei 2012

Konsekuensinya, kita pun terganggu ketika ada
yang menyatakan kita kurang baik, kurang bagus,
atau bahkan kurang sempurna.
—Twitter, 23 Mei 2012

Ketika kita merasa “cukup”, kita berhenti di tengah jalan.
Ketika kita merasa “kurang”, kita terus maju sambil belajar.
—Twitter, 23 Mei 2012

Beruntunglah orang-orang yang merasa “kurang”,
karena kesadaran itu membakar semangat belajar,
untuk meneruskan perjalanan.
—Twitter, 23 Mei 2012

Dan kepada siapa pun yang telah merasa “cukup”,
jangan salahkan zaman jika mereka menyiapkan liang kuburan.
—Twitter, 23 Mei 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Kamis, 11 Juli 2013

Tukang Sapu Terbaik di Dunia

Kau bekerja agar bisa tetap melangkah seirama dengan jiwa Bumi.
Ketika kau bekerja, kau memenuhi sebagian mimpi Bumi yang tertinggi,
yang ditetapkan untukmu saat mimpi itu dilahirkan.
Kahlil Gibran, The Prophet


Di Surabaya, ada makam dan masjid Sunan Ampel. Tempat itu tidak hanya menyimpan sejarah Islam di tanah Jawa, namun juga menyimpan kisah-kisah menarik, bahkan menakjubkan, yang mungkin sulit dipercaya.

Enam ratus tahun yang lalu, pada abad ke-15, Sunan Ampel masih hidup, dan memiliki beberapa murid. Salah satu muridnya bernama Sonhaji, atau yang biasa disebut Mbah Sonhaji. Orang ini juga punya sebutan populer di masanya, yaitu Mbah Bolong. Nama populer itu memiliki latar kisah yang sangat menakjubkan.

Ceritanya, Sunan Ampel berencana membangun masjid, dan Sonhaji diserahi tugas yang sangat penting, yaitu mengatur lokasi pengimaman. Dalam tugas itu, Sonhaji harus memastikan arah kiblat pengimaman masjid benar-benar tepat menghadap Ka’bah, dan tidak boleh melenceng satu milimeter derajat pun.

Itu tugas yang sangat sulit. Sebegitu sulitnya, hingga banyak orang meragukan kemampuan Sonhaji dalam melaksanakan tugas tersebut. Tapi Sonhaji seorang yang penuh tanggung jawab, dan dia tak peduli orang lain meragukan kemampuannya. Tanpa banyak ribut, dia menjalankan tugasnya dengan baik, dan berusaha benar-benar agar pekerjaan yang diserahkan kepadanya dilakukan dengan sempurna.

Ketika akhirnya masjid itu selesai dibangun, arah kiblat pengimaman pun dibuat sesuai arahan Sonhaji. Tetapi, orang-orang tetap belum yakin arah kiblat telah sesuai perintah Sunan Ampel, yaitu tepat menghadap Ka’bah. Orang-orang saling kasak-kusuk, dan meremehkan. Apa benar arah kiblat itu telah tepat menghadap Ka’bah?

Menjawab kasak-kusuk itu, Sonhaji tidak buang-buang waktu menjawab atau menghabiskan energi sia-sia untuk berdebat. Yang ia lakukan adalah mengajak orang-orang yang tak percaya itu ke tempat pengimaman masjid, kemudian ia melubangi dinding pengimaman yang ada di sana. Setelah itu, ia mempersilakan orang-orang yang tak percaya untuk melihat ke dalam lubang.

Ajaib. Orang-orang itu bisa melihat Ka’bah melalui lubang di dinding pengimaman masjid! Padahal, Ka’bah ada di Makkah, dan masjid tempat mereka mengintip ada di Surabaya! Sejak itulah, Mbah Sonhaji mendapat julukan Mbah Bolong, yakni orang yang membolongi (melubangi) dinding masjid untuk mengintip Ka’bah. Sekarang, makam Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong bisa ditemukan di depan Masjid Agung Sunan Ampel di Surabaya.

Kisah tentang Mbah Bolong mungkin mencengangkan bagi kita. Tapi ada kisah lain yang lebih mencengangkan, menyangkut murid Sunan Ampel yang lain. Namanya Soleh, atau yang biasa disebut Mbah Soleh. Jika Mbah Bolong bisa melubangi dinding masjid untuk mengintip Ka’bah yang ada di Makkah, Mbah Soleh bisa hidup sembilan kali, mati sembilan kali, dan memiliki sembilan makam.

Semasa hidupnya, Mbah Soleh ditugaskan Sunan Ampel untuk menjaga kebersihan masjid. Mbah Soleh melaksanakan pekerjaan itu dengan baik, bahkan sempurna. Jika dia menyapu, hasilnya bukan hanya bersih, tapi bersih sekali. Pada masa itu, orang-orang kadang shalat di masjid tanpa membawa sajadah. Tapi mereka tidak khawatir kotor, karena lantai dan halaman masjid telah bersih tanpa debu setitik pun.

Tidak ada orang lain yang mampu menyapu dengan bersih melebihi Mbah Soleh. Dia adalah manusia yang menyadari bahwa pekerjaan—apa pun pekerjaannya—adalah tugas agung yang dibebankan alam semesta ke pundaknya. Melakukan pekerjaan dengan baik adalah tugas mulia yang bisa dilakukan setiap manusia. Dan karena dia diserahi tugas menyapu, maka dia pun memastikan diri menjadi tukang sapu terbaik di dunia.

Sampai kemudian Mbah Soleh meninggal. Kematiannya mengundang tangis banyak orang. Semasa hidupnya, orang-orang tahu Mbah Soleh adalah orang yang mengabdikan dirinya pada pekerjaan, orang yang melakukan tugasnya dengan ikhlas, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer atau merasa bangga. Sebagai penghormatan untuknya, Mbah Soleh pun dimakamkan di depan masjid.

Setelah Mbah Soleh tiada, masjid mulai tak sebersih sebelumnya. Memang ada orang-orang yang menggantikan tugas Mbah Soleh menyapu masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Seiring bergantinya hari, masjid yang semula sangat bersih mulai kotor. Debu ada di mana-mana, lumut mulai tumbuh di dinding, dan kadang sampah berserakan.

Sunan Ampel prihatin menyaksikan hal itu. Hingga suatu hari, di depan murid-murid yang lain, Sunan Ampel berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”

Keesokan harinya, orang-orang menyaksikan Mbah Soleh sudah sibuk menyapu masjid—seperti dulu, seperti biasa, seperti tak ada yang berubah. Oh, well, seperti dia tak pernah mati sebelumnya. Seperti hari-hari yang lalu, Mbah Soleh tekun menyapu dan membersihkan seluruh bagian masjid, tanpa ribut-ribut, tanpa banyak bicara. Dan masjid yang semula kotor pun kembali bersih, sangat bersih, seperti biasa.

Dan waktu-waktu berlalu. Sampai suatu hari, Mbah Soleh meninggal dunia. Masyarakat kembali menangisinya, Sunan Ampel kembali berduka. Orang-orang pun kemudian menguburkan jasad Mbah Soleh di depan masjid, tepat di samping makamnya yang dulu. Maka dua makam pun berdampingan—semuanya milik Mbah Soleh.

Sepeninggal Mbah Soleh, kondisi masjid mulai tak sebersih semula. Debu mulai berdatangan, daun-daun berserakan, lumut mulai tumbuh. Beberapa orang ditugasi menyapu dan membersihkan masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Sampai suatu hari, Sunan Ampel yang prihatin kembali berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”

Keesokan harinya, Mbah Soleh tampak asyik menyapu dan membersihkan masjid—seperti biasa, seperti dulu, seperti tak pernah mati sebelumnya. Lalu masjid kembali bersih. Tidak ada tukang sapu di dunia ini yang lebih hebat dibanding Mbah Soleh, dan orang-orang kembali nyaman beribadah di sana tanpa khawatir kotor meski tanpa alas sajadah. 

Dan waktu-waktu berlalu. Kemudian Mbah Soleh kembali meninggal dunia. Orang-orang menangisinya, dan mereka memakamkan jasad Mbah Soleh di samping kedua makamnya yang terdahulu. Lalu kisah berulang. Masjid kembali kotor. Sunan Ampel prihatin, dan kembali berbisik membayangkan Mbah Soleh masih hidup, dan keesokan harinya Mbah Soleh sudah muncul kembali dengan sapunya di masjid.

Kisah itu berulang hingga sembilan kali. Selama sembilan kali Mbah Soleh hidup, menjadi tukang sapu di masjid, dan sembilan kali pula orang itu meninggal dunia, ditangisi masyarakatnya, dan dimakamkan sembilan kali.

Pada kehidupannya yang kesembilan, tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Tidak lama setelah sang Sunan wafat, Mbah Soleh menyusulnya. Karena itu pula, Mbah Soleh memiliki sembilan makam yang berjajar. Sembilan makam itu masih ada hingga saat ini, dan bisa kita temukan di sebelah timur Masjid Sunan Ampel di Surabaya.

Dua kisah di atas mungkin terdengar ajaib bagi kita yang hidup di masa kini. Namun—terlepas kisah itu fakta atau hanya legenda—bagi saya kedua kisah itu menyimpan pesan luhur yang layak kita ikuti, yakni, “Cintailah pekerjaanmu.”

Mbah Sonhaji maupun Mbah Soleh adalah cermin orang-orang yang melakukan pekerjaannya dengan baik—sebegitu baiknya, hingga bisa dibilang tak ada orang lain yang mampu melakukan pekerjaan sebaik mereka melakukannya.

Ketika diminta Sunan Ampel agar meluruskan arah kiblat masjid dengan tepat, Mbah Sonhaji melakukan tugas itu dengan baik dan tepat—sebegitu baik dan tepat, hingga orang bisa mengintip Ka’bah yang letaknya bermil-mil jauhnya dari dinding masjid yang dilubangi.

Begitu pun Mbah Soleh. Ketika ditugaskan menyapu masjid, dia melakukan tugas itu dengan sepenuh hati. Sebegitu penuhnya ia mencurahkan hatinya pada pekerjaan, hingga alam semesta memberinya kesempatan hidup sembilan kali untuk melakukan dan meneruskan pekerjaannya.

Pekerjaan adalah hak mulia yang bisa diambil manusia. Apa pun pekerjaan yang dipilih, itulah tugas yang dibebankan alam semesta kepada masing-masing kita, yang di dalamnya terdapat tanggung jawab untuk mengerjakan sebaik-baiknya. Tidak ada pekerjaan yang lebih baik atau lebih buruk, lebih hebat atau lebih hina, karena ukuran menyangkut pekerjaan hanya ada pada sebaik apa kita mengerjakannya.

Dunia menangisi kematian seorang tukang sapu yang baik, sebagaimana dunia menangisi kematian seorang presiden yang baik.

Noffret’s Note: Wise

Yang mengagumkan adalah kebijaksanaan
yang tak diucapkan. Kearifan yang hanya disadari
diam-diam, oleh orang lain, atas orang lain.
—Twitter, 4 Januari 2013

Melihatnya di sini. Seseorang yang tahu orang lain
telah cemburu kepadanya, tapi pura-pura tak tahu,
dan tetap menjaga perasaannya.
—Twitter, 4 Januari 2013

Bukan hal mudah menekan hasrat pembalasan,
apalagi jika mampu melakukannya. Tapi kebijaksanaan
membiarkannya berlalu, dalam diam.
—Twitter, 4 Januari 2013


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Saya Pernah Ditawari 1 Milyar untuk Kencan Satu Malam dengan Seorang Artis, dan Saya Menolak

Dan tidak ada yang percaya.

Karena saya bohong.

Sabtu, 06 Juli 2013

Surga Ada di Rumah

Yang dicari orang-orang di luar itu, apa sih? Berdesakan, 
berjubelan, bising... Enakan di rumah, hangat, nyaman, hening.


Well, tempo hari saya menonton film yang saya sewa dari rental DVD langganan. Judulnya Black Water. Sepertinya itu bukan film bioskop, dan filmnya juga tak bisa dibilang bagus. Yang membuat saya tertarik menyewa film itu karena di sampul filmnya terdapat keterangan kalau film itu berdasarkan kisah nyata (true story).

Ceritanya tentang penyerangan buaya pada manusia. Jadi, Adam, Grace, dan Lee, berlibur ke Australia. Adam dan Grace adalah pasangan suami istri, sementara Lee adalah adik Grace. Mereka memutuskan untuk menikmati pemandangan sungai Backwater Barry, di wilayah Australia Utara. Maka mereka pun menemui seorang pemilik perahu untuk tour tersebut. Si pemilik perahu, bernama Jim, menemani mereka, dan perahu itu pun melaju dengan tenang di sepanjang sungai Backwater.

Di tengah perjalanan, seperti yang direncanakan, mereka memancing. Tapi kemudian sesuatu yang tak terbayangkan terjadi. Sesosok buaya sangat besar muncul, dan menggoncangkan perahu mereka. Perahu itu terbalik, orang-orang yang ada di atasnya segera terjatuh ke air, dan buaya mengerikan itu menyerang. Jim, si pemilik perahu, terbunuh oleh si buaya. Sementara Adam, Grace, dan Lee, berhasil menyelamatkan diri dan naik ke atas pohon.

Lalu ketegangan yang amat menjengkelkan pun dimulai.

Di atas pohon, ketiga orang itu memang selamat. Tapi mereka juga tak bisa ke mana-mana. Perahu mereka terbalik mengapung di atas sungai. Adam menyatakan satu-satunya jalan mereka untuk bisa pergi dari tempat itu adalah dengan perahu tersebut. Tetapi, jarak mereka dengan perahu yang terbalik itu cukup jauh. Untuk dapat menggunakan perahu, mereka harus turun ke air, dan itu artinya menantang maut karena si buaya masih berkeliaran.

Ketiga orang itu pun saling tegang dan sesekali bertengkar di atas pohon. Mereka tak bisa apa-apa, tak bisa ke mana-mana. Di atas pohon, mereka memang hidup. Tetapi mereka juga seperti ditahan di sana. Sementara mereka juga tak bisa berharap datang pertolongan, karena tidak ada orang lain yang tahu keberadaan mereka di sana. Jadi, seperti yang dibilang Adam, satu-satunya cara untuk pergi dari sana hanya menggunakan perahu mereka yang sekarang terapung dalam keadaan terbalik.

Adam berencana turun ke air dan berenang ke tempat perahu, tapi rencana itu ditentang Grace, istrinya. Akhirnya, setelah sedikit bertengkar, Adam meyakinkan Grace kalau ia akan selamat sampai perahu. Grace pun mengizinkan suaminya turun, lalu Adam masuk ke air dan berenang menuju perahu. Adam selamat sampai perahu, dan berhasil membalikkannya sehingga siap ditumpangi. Tetapi, belum sempat Adam naik ke atas perahu, buaya keparat itu muncul dan langsung memangsa Adam.

Grace dan Lee panik tak karuan menyaksikan Adam tewas dimangsa buaya. Mereka makin bingung, makin tegang, dan saya yang menyaksikan semua itu semakin merasa jengkel. Ya, saya jengkel, karena tak habis pikir dengan orang-orang yang suka keluyuran ke tempat-tempat semacam itu. Selama menyaksikan ketegangan mereka dalam film, berkali-kali saya membatin, “Memangnya siapa yang menyuruh kalian keluyuran ke sana, hah? Siapa? Siapa? Siapa…???”

Mungkin saya tidak memiliki jiwa petualang seperti Ryanni Djangkaru atau Trinity yang suka keluyuran ke tempat-tempat “eksotik”. Saya tak pernah bisa melihat apa asyiknya mempertaruhkan keselamatan hanya untuk melihat tempat-tempat semacam itu. Daripada keluyuran ke tempat-tempat tidak jelas seperti itu, saya lebih suka duduk nyaman di dalam rumah yang hangat, menyeduh kopi, mengunyah dark chocholate, merokok, sambil membaca buku.

Sebagai orang rumahan, saya tidak bisa menemukan tempat lain yang lebih menyenangkan dan mendamaikan selain di dalam rumah. Liburan bagi saya adalah duduk santai di atas sofa yang empuk dan nyaman sambil membaca buku yang bagus, atau meringkuk di atas springbed yang hangat ketika di luar sedang hujan. Tak perlu ke mana-mana, tak perlu capek keluyuran, juga tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk seekor buaya. Asal ada rokok, teh panas atau kopi, dan buku yang bagus, kenyamanan rumah sudah cukup bagi saya.

Sepertinya saya melantur.

Oke, kita lanjutkan cerita dalam film tadi. Setelah Adam tewas dimangsa buaya, Grace dan Lee pun memutar otak bagaimana caranya menyelamatkan diri. Tetapi, lagi-lagi, cara paling logis yang bisa ditempuh hanyalah dengan perahu itu. Kali ini perahu sudah tak terbalik, karena tadi sudah dibetulkan posisinya oleh Adam. Tetapi jarak mereka dari perahu masih jauh. Dan mereka tetap ngeri jika harus turun ke air lalu berenang ke perahu.

Akhirnya, karena tak ada jalan lain, mereka pun nekat. Grace dan Lee turun ke air, berenang perlahan-lahan, menuju ke perahu. Begitu mereka hampir menyentuh perahu, buaya keparat itu muncul lagi, tepat di depan mereka. Grace dan Lee kabur tunggang langgang menyelamatkan diri. Keduanya selamat, tapi kaki Grace tercabik oleh buaya, hingga luka dan berdarah.

Lalu ketegangan yang menjengkelkan dimulai lagi.

Mereka kembali menyelamatkan diri dengan naik ke atas pohon. Mereka selamat, meski luka dan berdarah, tapi tak bisa ke mana-mana. Mungkin akan begitu terus sampai kiamat, pikir saya dengan jengkel. Dan lagi-lagi saya membatin, “Memangnya siapa yang menyuruh kalian keluyuran ke sana, hah? Siapa? Siapa? Siapa…???”

Saya pikir, kalau mau liburan, mbok tidak usah keluyuran ke tempat-tempat seperti itu. Apa salahnya sih, liburan ke tempat yang relatif aman? Oh, well, kadang-kadang saya juga liburan dengan pergi meninggalkan rumah. Tapi saya tidak sudi menghabiskan waktu liburan ke tempat-tempat semacam sungai yang dihuni buaya, atau hutan liar yang belum terjamah, atau ke gunung yang wingit. Daripada ke tempat-tempat semacam itu, saya lebih suka ke luar kota, shopping, dan menginap di hotel mewah!

Kadang-kadang, saya diajak teman pecinta alam untuk mendaki gunung, mengisi waktu liburan. Kadang-kadang pula saya menerima ajakan itu. Tetapi, sejujurnya, saya tak pernah bisa menikmati acara semacam itu. Di alam liar, kita tak bisa naik kendaraan, artinya harus jalan kaki. Tidak ada warung atau restoran, apalagi kafe, dan itu artinya makan minum kami sangat terbatas. Untuk makan, kami biasanya bikin mie rebus. Untuk minum, kami hanya mengandalkan air putih.

Bagi saya, liburan semacam itu sangat menyiksa dan menyusahkan. Dan, demi Tuhan, saya sudah bosan hidup susah, juga sama sekali tak berminat mengulanginya. Karenanya, selagi bisa menikmati ketenangan, saya akan menikmatinya. Selagi bisa menikmati hidup yang nyaman, saya akan menikmatinya. Daripada jauh-jauh ke gunung hanya untuk makan mie rebus dan minum air putih, saya lebih memilih tinggal di rumah dan menikmati kopi atau teh yang nikmat sambil membaca buku.

Ya, ya, selera orang memang berbeda. Ada yang suka tempat-tempat alami seperti hutan, sungai, atau gunung, ada pula yang seperti saya. Dan, sebenarnya, kalau dipikir-pikir, semuanya memang ada risikonya. Di alam liar, risikonya bisa diserang hewan buas. Di perkotaan, risikonya bisa kecelakaan di jalan raya sampai perampokan. Ada risikonya semua. Tetapi, saya pikir, di wilayah perkotaan ada kantor polisi, rumah sakit, atau setidaknya mudah ketemu orang lain jika perlu minta tolong. Lhah di hutan…???

Kalau kebetulan kita diserang macan di tengah hutan ketika sedang liburan, kira-kira mau minta tolong siapa? Tarzan…? Yang benar saja! Begitu pula kalau kita liburan di sungai, lalu diserang buaya ganas, kita mau minta tolong siapa? Kenyataannya, Grace dan Lee dalam film tadi tak bisa minta tolong siapa-siapa. Ketika seekor buaya besar menyerang mereka, kakak beradik itu hanya bisa panik, bingung, panik, bingung, panik, bingung, panik… mungkin begitu terus sampai kiamat.

Uh, sepertinya saya melantur lagi.

Di akhir film, Lee memang akhirnya berhasil menyelamatkan diri setelah membunuh si buaya dengan pistol yang ia temukan pada mayat Jim (si pemilik perahu). Tetapi, Grace meninggal di atas pohon, mungkin karena kehabisan darah, mungkin pula karena terlalu shock. Setelah si buaya terbunuh, Lee mengambil perahu dan membawa mayat kakaknya ke dalam perahu. Lalu mendayung perahu, pergi meninggalkan tempat itu.

Dan film pun selesai.

Bagi saya, film ini memberikan pelajaran yang sangat penting, yaitu, “Cintailah rumahmu”. Berbahagialah, dan nyamanlah tinggal di rumah. Tidak usah keluyuran ke mana-mana, apalagi ke tempat-tempat yang relatif berbahaya. Sepertinya itu pesan yang bagus sekali—khususnya bagi saya. Setelah menonton film ini, dan setelah menyaksikan orang-orang dimangsa buaya, saya makin suka tinggal di rumah.

Kalau boleh sedikit lebay, surga di dunia ini terdapat di dalam rumah. Tak perlu mencari ke tempat jauh.

Wanita Sempurna yang Tidak Sempurna

Dan akhirnya ada bagian di kepalaku yang berkata,
“Hanya Ren Mukai yang sempurna!”
@noffret


Adakah wanita yang sempurna?

Ada.

Namanya Ren Mukai. (Tidak usah repot-repot mencarinya lewat Google, karena sia-sia. Mesin pencari yang dianggap hebat itu memang bisa menampilkan ribuan link yang terhubung namanya, tapi tidak bisa menunjukkan satu pun fotonya).

Siapakah Ren Mukai? Dia salah satu wanita Jepang yang sangat menawan. Secara fisik, dia luar biasa—berwajah lembut, berkulit putih bersih, seksi, tanpa cela, seolah tercipta dari lilin berkualitas tinggi atau keramik murni buatan Cina. Tutur katanya sangat halus, sikapnya elegan, khas wanita sejati. Di mata saya, dia sosok mbakyu yang sangat saya rindukan, yang ingin saya miliki—sebuah impian seorang bocah.

Secara otak, dia hebat. Dia lulusan S2, dan biasa menggunakan waktu luangnya untuk membaca buku-buku berat dalam beberapa bahasa. Dia bisa diajak ngobrol soal filsafat sampai isu-isu sosial kontemporer, bisa diajak ngomong soal Karl Marx, Charles Darwin, sampai Dalai Lama. Dia juga suka menulis puisi, meski untuk dibacanya sendiri.

Secara pribadi, Ren Mukai bisa disebut sosok sempurna, wanita yang diinginkan setiap pria—dalam susah dan tawa, dalam kebahagiaan dan kesedihan. Dia sensitif, peka, dan tahu cara berempati pada orang lain. Sikapnya penuh hormat, meski kadang menunjukkan sikap aslinya yang agak pemalu. Dia ramah, dan memiliki senyum yang mampu melumerkan kebekuan hati siapa pun yang melihatnya.

Bagaimana saya tahu semua itu? Oh, well, saya telah menghabiskan banyak waktu untuk meriset kehidupan wanita itu, hingga sedetail-detailnya. Karena ketertarikan kepadanya, saya telah mencari dan mempelajari apa saja yang berhubungan dengannya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa, dari penampilan sampai pikirannya, hingga mungkin saya lebih mengenal dirinya dibanding orang tuanya sendiri.

Dengan wajahnya yang lembut, Ren Mukai akan membuat siapa pun berpikir dia wanita yang taat beragama, sosok yang berbakti pada orang tua, dan penyayang sesama. Jika dia duduk diam, orang akan melihatnya sebagai wanita anggun yang ramah. Jika dia berbicara, orang akan betah mendengarkan kelembutan tutur katanya. Jika saya dijodohkan dengannya, saya tidak akan pikir panjang untuk menerimanya.

Menikah dengan Ren Mukai, jika itu benar-benar terjadi, adalah kenyataan yang lebih liar dari seluruh khayalan saya yang paling liar.

Tetapi... well, ada satu masalah dengan wanita ini, kalau boleh disebut begitu. Masalahnya, dia menjadi bintang bokep.

....
....

Ren Mukai, bagi saya, adalah cara alam semesta menunjukkan tidak ada yang sempurna di dunia.

Saya Memang Bocah

“Hei, Hoeda,” ujar seorang teman, “kenapa kamu mencintai wanita dewasa?”

“Karena Batman juga begitu,” jawab saya mantap.

“Kenapa kamu rajin belajar?”

“Karena Spiderman begitu.”

“Kenapa kamu jadi jurnalis?”

“Karena Superman begitu.”

“Kenapa kamu suka minum klorofil?”

“Karena Iron Man begitu.”

“Kenapa kamu kadang-kadang sinis?”

“Karena Magneto begitu.”

....
....

Oh, well, saya memang bocah.

Senin, 01 Juli 2013

Lubang di Jalan

Nurani itu seperti baja. Semakin digunakan, ia makin berkilat.
Didiamkan dan dilupakan, ia pun berkarat.
@noffret


Saya masih kuliah semester lima ketika peristiwa yang menyakitkan itu terjadi. Minggu siang itu saya masih tertidur, karena malamnya ngobrol dengan teman-teman hingga pagi. Tidur saya dibangunkan oleh dering ponsel. Saat saya menerimanya, suara pacar saya segera menerpa telinga.

“Masih tidur, ya?” sapanya dengan halus, setelah mendengar suara saya yang mungkin lesu. “Kita jadi ketemuan?”

Malam tadi saya tidak apel ke tempatnya, dan menjanjikan untuk bertemu Minggu siang. Jadi, saat dia menelepon, saya pun segera menjawab, “Ya, habis ini aku ke tempatmu.” Dan menambahkan, “I miss you.”

Lalu saya pun segera bangkit dari tempat tidur, mandi, dan membuat teh hangat dengan buru-buru. Setelah itu mengeluarkan motor, dan melaju cepat ke rumah pacar. Ketika sedang ngebut di jalanan itulah, kecelakaan yang naas terjadi.

Waktu itu saya melaju di jalan satu arah, dan tepat berada di belakang bus yang melaju kencang. Speedometer di motor saya menunjukkan kecepatan 110 kilometer per jam. Aspal tampak mulus, hingga saya tidak sempat berpikir macam-macam. Sampai kemudian, sebuah lubang menganga tiba-tiba muncul di depan, dan saya tidak mampu menghindar akibat terkejut.

Bus yang ada di depan saya tidak terganggu adanya lubang di jalan itu, karena posisi lubang ada di tengah badan bus. Tapi motor saya tepat berada pada posisi lurus lubang tersebut, dan saya tidak mampu menghentikan atau membelokkan motor karena sedang melaju sangat cepat. Sekuat tenaga saya mengerem kecepatan untuk mengurangi dampak yang akan terjadi, tapi tetap saja motor saya masih melaju cepat ke arah lubang itu.

Akibatnya adalah bencana.

Lubang di jalan itu cukup dalam. Ketika motor saya sampai ke lubang itu, ban depan segera masuk ke dalam lubang, dan motor langsung terbanting ke aspal. Saya mengendarai Suzuki Satria. Kalau saja posisi jatuh ke arah kanan, kopling akan terlepas, dan mesin akan mati. Sialnya, posisi motor jatuh ke arah kiri, sehingga tuas kopling tergencet, dan motor tetap menyala. Karena mesin sedang melaju cepat, motor itu lalu menyeret tubuh saya di atas aspal, mungkin sampai sepuluh meter, dan saya merasa sedang syuting film action.

Saya ditolong beberapa orang yang kebetulan ada di tempat itu, dengan tubuh berdarah-darah. Sekujur tubuh terasa sakit, tapi yang paling terasa ada di bagian kaki. Lutut serasa tak mau digerakkan. Terus terang, itu bukan kecelakaan pertama yang saya alami. Dua tahun sebelumnya, saya mengalami kecelakaan yang jauh lebih parah, sehingga cukup “berpengalaman” jika mengalami kejadian seperti itu.

Motor saya tidak bisa dikendarai, bagian depannya hancur. Sementara saya juga tidak bisa mengandalkan orang-orang di sana untuk mengurus saya. Maka saya pun segera menelepon seorang teman, yang segera datang membawa pick up. Motor saya diangkut ke rumah, dan saya mampir ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Diagnosis awal, bagian lutut saya mengalami kerusakan parah, akibat terseret di aspal, selain luka-luka di bagian lain. Kelak, saya butuh waktu satu tahun untuk bisa sembuh seperti sedia kala.

Setiap kali mengingat peristiwa itu, yang masih terasa menyakitkan bukan hanya ingatan bagaimana saya menjalani hari-hari dengan kaki yang terpincang-pincang, atau ketika merasakan perih luka-luka yang lama sembuh. Yang paling terasa nyeri dalam ingatan saya adalah fakta bahwa ternyata ada orang-orang yang sengaja membiarkan lubang ada di jalan.

Ketika kecelakaan itu terjadi, dan saya diangkat orang-orang ke pinggir jalan, beberapa orang tersebut ada yang menceritakan bahwa saya bukan orang pertama yang mengalami kecelakaan akibat lubang itu. Sebelum saya terjatuh akibat lubang tersebut, telah ada beberapa pengendara motor lain yang mengalami hal sama. Seseorang bahkan dengan antusias bercerita, “Tiga hari lalu juga ada motor yang jatuh, Mas. Dua orang, boncengan. Malah lukanya lebih parah dibanding situ.”

Waktu itu saya sempat menyahut, “Kenapa tidak ada yang mau menimbun lubang itu dengan batu atau tanah, untuk mengurangi kecelakaan?”

Dan dia menyatakan, “Wah, itu sih bukan tugas kami.”

Jadi, di dunia ini ada orang-orang yang menyaksikan kecelakaan terus terjadi akibat sebuah lubang di jalan, dan mereka tidak mau berusaha mengatasi hal itu karena berpikir itu bukan tugas mereka. Itu sangat terasa nyeri bagi saya, khususnya karena saya salah satu korban akibat lubang tersebut. Gara-gara lubang itu, saya harus menghabiskan waktu satu tahun untuk merasakan sakit yang sebenarnya tidak perlu terjadi, kalau saja ada orang yang mau peduli untuk menimbun lubang itu.

Tapi rupanya mereka berpikir bahwa itu bukan urusan mereka. Karena mereka tidak mengalami kecelakaan yang sama. Karena memperbaiki jalan yang rusak bukan tugas mereka. Karena menyaksikan orang-orang terjatuh akibat lubang itu tetap saja tidak mampu mengetuk nurani dan kepedulian mereka terhadap sesama.

Salah satu kesalahan bahkan kerusakan pola pikir manusia modern adalah mempertanyakan apa manfaat yang bisa diterimanya jika melakukan sesuatu. Itu pula yang membedakan orang biasa dengan pahlawan. Setiap kali melakukan sesuatu, orang biasa berpikir, “Apa manfaatnya ini bagiku?” Sementara pahlawan berpikir, “Apa manfaatnya ini bagi orang lain?”

Tanpa kita sadari, kita telah terdoktrin untuk selalu, selalu, selalu, mempertanyakan apa manfaat yang akan kita peroleh jika melakukan sesuatu. Sebegitu kuat doktrinasi itu, hingga kita kadang-kadang kehilangan nurani dan kepedulian terhadap sesama. Setiap kali akan berbuat sesuatu untuk dunia, kita berpikir, “Apa manfaatnya ini bagiku?” Jika kita merasa mendapatkan manfaat, kita mau melakukan. Jika tidak, kita pun enggan melakukannya.

Sekali lagi, itulah perbedaan pola pikir antara orang biasa dengan pahlawan.

Ketika Batman mengenakan jubah dan topengnya, lalu memerangi kejahatan di Gotham City, dia tidak berpikir apa manfaatnya bagi diri sendiri, tapi berpikir apa manfaatnya bagi orang lain. Ketika Spiderman bergelantungan di atas gedung-gedung tinggi demi mengejar penjahat, dia tidak berpikir apa manfaatnya bagi diri sendiri, tapi apa manfaatnya bagi orang lain. Ketika Superman terbang ke sana kemari, menolong orang-orang yang membutuhkan, dia juga tidak berpikir apa manfaatnya bagi diri sendiri, tapi apa manfaatnya bagi orang lain.

Itulah yang membedakan pola pikir orang biasa dengan pahlawan. Orang biasa berpikir manfaat bagi diri sendiri, pahlawan berpikir manfaat bagi orang lain. Orang biasa berorientasi pada keuntungan pribadi, pahlawan berorientasi pada kemaslahatan orang lain.

Tentu saja kita bukan Batman, Spiderman atau Superman. Tetapi kita sama-sama memiliki sesuatu yang mereka miliki. Yakni nurani. Yang membedakan, para pahlawan menghidupkan nuraninya, sementara orang biasa cenderung mematikan nuraninya sendiri. Para pahlawan memiliki kepedulian besar pada sesamanya, orang biasa memiliki kepedulian besar bagi dirinya sendiri. Para pahlawan berfokus memberi manfaat bagi orang lain, orang biasa hanya memikirkan keuntungan diri sendiri.

Dalam perjalanan hidup, ada banyak waktu ketika kita seharusnya berpikir apa manfaat bagi orang lain, tapi justru berpikir apa manfaat bagi diri sendiri. Untuk menjadi pahlawan, kita tidak perlu peralatan canggih seperti Batman, tidak perlu bisa terbang seperti Superman, juga tidak perlu digigit laba-laba ajaib seperti Spiderman. Ada banyak cara untuk menjadi pahlawan. Salah satunya adalah menutup lubang di jalan, agar orang lain bisa selamat dalam perjalanan.

Noffret’s Note: Cinta

Cinta itu candu, Ma’am. Candu yang dilegalkan.
—Twitter, 19 Juni 2012

Pada mulanya adalah cinta. Benar, pada mulanya
adalah tuntutan spesies untuk melangsungkan keturunan.
—Twitter, 7 Juli 2012

Mulanya, cinta tampak indah di kejauhan. Lalu semakin
indah dalam dekat. Setelah itu, rindu menangisi jarak.
—Twitter, 7 Juli 2012

Setelah selesai melukis di kanvas,
si pelukis akan mengambil jarak untuk menilai.
Sayangnya, cinta sering tak memberikan jarak.
—Twitter, 7 Juli 2012

Cinta adalah jarak yang diretas,
paradoks paling absurd dalam logika manusia.
—Twitter, 7 Juli 2012

Dari mana datangnya cinta? Bukan dari hati.
Ia datang dari otak, manipulasi yang lahir dari scotoma.
—Twitter, 7 Juli 2012

Scotoma adalah sesuatu yang kita lihat,
karena kita memang ingin melihatnya.
—Twitter, 7 Juli 2012

Cinta hadir karena tertarik. Ketertarikan datang
karena indah. Keindahan selalu terlihat dari jauh.
—Twitter, 7 Juli 2012

Cara ampuh menghilangkan perasaan cinta
pada seseorang: Kenali dia lebih dekat.
—Twitter, 7 Juli 2012

Cinta mengaburkan kenyataan dan fantasi,
melenakan orang dalam kefanaan adiksi.
—Twitter, 7 Juli 2012

Cinta adalah jarak Bumi dan Matahari. Memberi hangat
dan membiarkan malam. Memberi tanpa jerit kerinduan.
—Twitter, 7 Juli 2012

Orang yang jatuh cinta melihat bintang menari.
Orang lainnya menyaksikan bintang sebagai bintang, itu saja.
—Twitter, 7 Juli 2012

Tak pernah ada bintang jatuh. Yang ada
hanya kehampaan merindukan cinta mengutuh.
—Twitter, 7 Juli 2012

Adakah cinta yang sempurna? Tidak ada,
selama kita masih spesies manusia. Cinta hanya
sebatas indah. Sayangnya, keindahan itu fana.
—Twitter, 7 Juli 2012

Cinta mati ketika kita mencampurkannya
dengan adiksi, obsesi, bahkan tumpukan fantasi.
Setelah mati, apa pun menjadi bangkai.
—Twitter, 7 Juli 2012

Cara mudah jatuh cinta: Lihatlah dari jauh.
Cara mudah melupakannya: Kenalilah secara utuh.
—Twitter, 7 Juli 2012

Dalam cinta, katanya, tak perlu mengucap maaf.
Jadi mereka yang putus itu karena apa?
—Twitter, 7 Juli 2012

Kita semua terjebak, Ma’am. Terjebak dalam
keyakinan membuta di antara romansa dan lagu cinta.
—Twitter, 7 Juli 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Telepon Tengah Malam

Sambungan trans-atlantik itu difasilitasi serat optik yang melintasi empat benua, dan pesawat telepon di sebuah ruangan di kejauhan sana mulai berdering.

Seseorang mengangkat gagang telepon, dan menyapa, “Ya?”

“Sir,” sapa si penelepon. “Saya menerima e-mail dari Sharraf Benji. Anda kenal nama itu?”

“Tentu, Nak. Dia salah satu orang yang menganggap dirinya penting di muka bumi. Pastikan kau membalas e-mailnya dengan baik.” Setelah terdiam sesaat, suara di seberang sana melanjutkan, “Kau tahu, dia tipe orang yang bisa membunuhmu hanya karena kau tidak membalas e-mailnya.”

“Thank you, Sir.”

Telepon itu selesai.

Tetapi bukan hanya Sharraf Benji yang menganggap dirinya penting di muka bumi. Semua orang pun berpikir sama. Karenanya, “Pastikan kau membalas e-mailnya dengan baik.” Oh, well, meski dia belum tentu membunuhmu hanya karena kau tidak membalas e-mailnya.

 
;