Don’t walk in front of me; I may not follow.
Don’t walk behind me; I may not lead.
Just walk beside me, and be my friend.
—@noffret
Don’t walk behind me; I may not lead.
Just walk beside me, and be my friend.
—@noffret
SBY, atau Susilo Bambang Yudhoyono, bikin akun Twitter pribadi, dengan username @SBYudhoyono. Tweet pertamanya berbunyi, “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY*”
Orang pertama yang di-follow SBY di Twitter adalah wakilnya dalam pemerintahan, yaitu Boediono, yang username-nya @boediono. Sesaat setelah di-follow SBY, Boediono mengirim mention, “Bapak @SBYudhoyono terima kasih sudah memfollow akun saya. Senang dapat berbagi aspirasi dengan Bapak & seluruh saudara sebangsa setanah air.”
Sebagai pengguna Twitter yang baik, SBY membalas mention itu, “@boediono terima kasih Pak Boed. Salam untuk keluarga. *SBY*”
Terlepas dari nada basa-basi formalnya, percakapan itu sebenarnya sangat manis dan baik-baik saja. Tidak ada yang salah dalam percakapan itu. Namun, karena percakapan itu dilakukan dua orang penting—presiden dan wakil presiden Indonesia—maka percakapan yang baik dan wajar itu pun mengundang komentar macam-macam. Apalagi, di Twitter, semua orang bisa mengirim komentar untuk siapa pun dengan mudah.
Dari banyaknya komentar (mention) untuk kedua orang di atas, salah satu komentar berbunyi, “Kaya kagak ketemu setaun aje.”
Saya bisa membayangkan maksud si pengomentar itu. Mungkin, dalam bayangannya, Pak SBY dan Pak Boediono kan presiden dan wakil presiden. Kedua orang itu tentunya bertemu setiap hari, saling sapa setiap waktu, bahkan bisa jadi bekerja dalam satu ruang kantor yang sama. Tapi kenapa di Twitter harus pakai basa-basi “salam untuk keluarga” segala, seolah jarang ketemu?
Kultur di Indonesia memang belum terbiasa membedakan antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Akibatnya, kita sering menyamakan keduanya meski sebenarnya jauh berbeda. Seperti ketika SBY mulai dolanan Twitter, kita beranggapan bahwa SBY bermain Twitter sebagai presiden. Padahal, ketika sedang di Twitter, SBY bukan lagi presiden, tapi sebagai pribadi—seorang lelaki, seorang ayah, seorang suami.
Presiden adalah jabatan struktural. Jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Jika ingin diperluas, jabatan struktural juga memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun. Selain presiden, jabatan semacam gubernur, walikota, bupati, sampai camat dan lurah, juga termasuk jabatan struktural.
Berbeda dengan jabatan struktural, adalah jabatan nonstruktural. Jika jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, serta memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun, maka jabatan nonstruktural adalah kebalikannya. Jabatan nonstruktural adalah jabatan yang diberikan keluarga atau masyarakatnya secara sukarela.
Contoh mudah jabatan nonstruktural adalah sebutan yang kita berikan kepada lelaki yang menjadi ayah kita, atau sebutan yang kita berikan kepada wanita yang menjadi ibu kita. “Ayah” dan “Ibu” adalah jabatan nonstruktural. Itu jabatan yang secara otomatis dimiliki lelaki atau wanita yang memiliki anak.
Dalam jabatan mereka sebagai ayah dan ibu, keduanya tidak memiliki jam kerja yang pasti (sering kali sampai 24 jam tanpa henti), mereka tidak digaji (bahkan konon mereka sudah bahagia ketika melihat anak-anaknya dapat hidup dengan baik), mereka tidak punya hari libur (bahkan sering sampai kurang tidur), tidak ada jangka waktu menjabat (jabatan itu mereka sandang sampai mati), dan tidak ada dana pensiun (karena jabatannya memang tak pernah selesai).
Ciri-ciri jabatan nonstruktural—sebagaimana yang dijelaskan di atas—tentu berbeda dengan jabatan struktural semacam presiden, wakil presiden, gubernur, walikota, bupati, camat, sampai lurah dan kepala dusun. Karena sistem jabatannya berbeda, maka jam kerja mereka pun berbeda. Karena itu pula, penyebutan jabatan struktural hanya berlaku ketika mereka sedang bekerja. Begitu jam kerja mereka selesai, atau sedang tidak bekerja, jabatan mereka pun ditanggalkan.
Ketika SBY sedang bekerja di kantornya, atau sedang memimpin rapat dalam pemerintahannya, maka SBY adalah seorang presiden. Itu jabatan struktural yang dimilikinya. Tetapi, ketika SBY sedang bersenda gurau dengan keluarganya, atau sedang asyik nulis tweet di Twitter di luar jam kerjanya, maka SBY bukan lagi presiden. Dia seorang lelaki, seorang suami, seorang ayah, atau setidaknya seorang teman bagi orang lainnya.
Karena itu pula, tweet pertama yang ditulis SBY di Twitter berbunyi, “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY*”
Coba perhatikan kalimat itu. SBY menyapa Indonesia—khususnya para pengguna Twitter yang tinggal di Indonesia. Namun, dalam tweet itu, SBY juga menyertakan kata, “Salam kenal.” Padahal, kalau kita pikir, memangnya siapa bocah Indonesia yang tidak kenal SBY? Wong dia presiden Indonesia.
Tetapi, SBY tentu menyadari, bahwa di Twitter dia “orang biasa”, bukan lagi presiden. Dia membuat akun Twitter sebagai pribadi, dan menulis tweet sebagai seorang suami, seorang ayah, atau seorang teman. Karena menyadari dirinya masih “anak baru” di Twitter, SBY pun tak lupa menyatakan “Salam kenal.” Melalui tweet itu, SBY sebenarnya telah menunjukkan bahwa dia bukan presiden ketika sedang bermain Twitter.
Karenanya, ketika Boediono mengirim mention, SBY pun membalasnya sebagai seorang teman kepada temannya, bukan sebagai presiden kepada wakilnya. Dalam jabatan mereka sebagai presiden dan wakil, mungkin keduanya biasa ketemu, biasa bercakap, dan biasa saling sapa. Tapi mungkin keduanya terlalu sibuk mikir kerja, sampai tak ingat masing-masingnya punya keluarga. Ketika di Twitter, SBY baru ingat keluarga temannya, dan titip salam untuk mereka.
Tidak ada yang salah dengan percakapan SBY dan Boediono. Hanya saja, kita yang mungkin belum terbiasa membedakan jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Kita belum terbiasa memahami bahwa jabatan struktural hanya berlaku pada jam kerja, dan jabatan itu ditanggalkan ketika jam kerja berakhir. Yang kadang ironis, ada pejabat struktural yang masih saja merasa menyandang jabatannya ketika sedang tidak bekerja.
Jadi, ketika seorang presiden atau gubernur atau bupati dan semacamnya sedang bekerja, mereka adalah presiden, gubernur, bupati, dan semacamnya. Karenanya, kita pun menyebut mereka “Pak Presiden”, “Pak Gubernur”, “Pak Bupati”, atau semacamnya. Tetapi ketika mereka sedang asyik bercanda dengan keluarganya di rumah di luar jam kerja, mereka bukan lagi presiden, bukan lagi gubernur, bukan lagi bupati. Maka kita pun menyebut mereka dengan namanya.
Ketika SBY sedang memimpin rapat di kantor pemerintahan, dia adalah “Pak Presiden”. Tetapi, ketika SBY sedang menulis tweet di Twitter, dia adalah “Pak SBY”. Ketika Jokowi sedang sibuk bekerja di kantornya, dia adalah “Pak Gubernur”. Tetapi ketika Jokowi sedang makan soto bersama keluarganya di malam Minggu, dia adalah “Pak Jokowi”. Jabatan struktural memiliki jam kerja yang jelas, dan sebutan untuk jabatan mereka pun hanya berlaku pada waktu jam kerja, atau ketika mereka sedang bekerja.
Berbeda halnya dengan jabatan nonstruktural. Karena tidak memiliki jam kerja yang pasti, dan jabatan itu disandang sampai seumur hidup, maka kita pun tetap menyebut jabatan mereka di mana pun, dan kapan pun. Wanita yang kita panggil “Ibu” tetap memiliki dan menyandang jabatan itu meski di mana pun, di waktu kapan pun. Di rumah, dia seorang “Ibu”. Di pasar, dia tetap “Ibu”. Bahkan umpama dia juga bermain Twitter, kita tetap memanggilnya “Ibu”.
Selain ayah dan ibu, ulama juga termasuk jabatan nonstruktural, karena sebutan ulama diberikan masyarakat sebagai penghargaan kepada seseorang, dan jabatan itu tidak memiliki jam kerja serta batas waktu, apalagi gaji dan dana pensiun. Karena ulama bukan jabatan nonstruktural, maka kita pun tetap memanggilnya dengan jabatannya tanpa batas ruang dan waktu. So, ketika Gus Mus membuat akun di Twitter, Gus Mus tetap ulama, dan kita tetap memanggilnya “Pak Kyai”, atau semacamnya.
Ada perbedaan yang jelas antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Namun, kultur budaya kita yang mungkin belum terbiasa memahami dan menggunakannya. Karenanya, kita akan berterima kasih, jika Pak SBY atau pejabat lainnya mulai memasyarakatkan hal itu melalui Twitter. Agar rakyat Republik Twitter ini bisa lebih memahami kapan pemimpinnya menjadi presiden yang memimpin negara, dan kapan menjadi orang biasa yang ramah disapa.