Senin, 01 April 2013

Oh, Well, Akhirnya Saya Menikah

Kesendirian adalah kepergian yang bebas.
Tetapi, ada seseorang yang telah menyiapkan
rumah di hatinya untukku pulang.
@noffret 


Jodoh, kata orang, bisa ditemukan di tempat tak terduga, di waktu yang tak disangka. Begitu pula yang terjadi pada saya. Sekitar setahun lalu, di suatu malam yang tidak indah, saya memutuskan keluar rumah karena capek dan bosan mengurusi kerja. Saya masih ingat, itu malam Selasa. Ketika keluar rumah, saya bahkan tidak punya tujuan jelas ingin ke mana. Yang jelas, saya hanya ingin refresing.

Sewaktu melaju di jalanan dan melewati sebuah swalayan, tiba-tiba saya memutuskan untuk mampir ke sana. Ada sebuah toko buku di swalayan itu, dan saya pikir tak ada salahnya belanja buku baru.

Jadi, saya pun melangkah santai memasuki swalayan, sambil cuci mata menyaksikan semua yang ada di sana. Swalayan tidak terlalu ramai karena bukan hari libur. Dan langkah kaki saya segera menuju ke toko buku di sana. Sekitar satu jam kemudian, saya menuju kasir sambil membawa setumpuk buku yang saya beli. Ada beberapa orang di depan kasir, dan saya harus menunggu di sebelah wanita yang tampaknya juga sendirian.

Wanita itu menengok ke arah saya, lalu memandang ke tumpukan buku yang saya bawa. “Borong buku?” sapanya sambil tersenyum.

“Eh, ya,” saya menyahut agak kaget, karena tak mengira akan disapa. Saya melihat wanita itu juga membawa setumpuk buku dan beberapa alat tulis. Tapi, karena grogi, saya bingung mau ngomong apa. Jadi saya pun diam saja. Sampai kemudian giliran kami sampai di depan kasir. Begitu wanita tadi selesai membayar, dia pun melangkah pergi dengan tas belanjaan di tangan.

Setelah selesai membayar di kasir dan melangkah keluar dari toko buku, saya menengok jam di tangan. Masih pukul delapan. Entah dorongan dari mana, langkah-langkah saya kemudian menuju toko baju yang tak jauh dari toko buku tadi. Dan, meski sejak awal tidak punya niat belanja baju, di toko itu saya asyik memilih beberapa baju serta celana. Lalu membawa struk pembayarannya ke kasir.

Seperti kasir di toko buku, di depan kasir toko baju ini juga ada beberapa orang yang ngantri, dan saya harus berdiri menunggu giliran. Pada waktu menunggu itulah, tanpa sengaja saya melihat sesosok wanita yang sedang berjalan perlahan ke arah kasir. Tampaknya dia sedang asyik menekuri struk-struk belanjaannya sambil melangkah. Saya tahu itu wanita yang tadi menyapa saya di toko buku. Jadi, begitu ia sampai di depan kasir, saya pun menyapanya, “Borong baju?”

Wanita itu terkejut. Dan, seperti saya tadi, dia juga menjawab dengan kaget, “Eh, ya.”

Saya tersenyum. “Sepertinya ini mulai jadi kebiasaan, ya?”

Dia tertawa.

Tidak jauh dari toko baju itu ada sebuah restoran yang menyediakan seafood. Saya bilang kepadanya, “Setelah ini, rencananya aku mau makan malam di sana. Hmm... sepertinya kita juga akan ketemu di sana.”

Sekali lagi dia tertawa.

Dan begitulah awalnya.

....
....

Namanya Riani. Bermata sipit, dan berkulit putih. Rambutnya hitam sebahu. Sikap dan penampilannya alami, namun elegan.

Sewaktu kami makan satu meja di restoran swalayan malam itu, entah kenapa kami bisa bercakap-cakap dengan asyik seperti sepasang kawan lama. Karena tadi kami bertemu pertama kali di toko buku, maka kami pun mengobrolkan buku. Obrolan yang semula hanya ditujukan sebagai percakapan pembuka itu jadi mengalir asyik, karena rupanya Riani juga pecinta buku. Selera baca kami juga tak jauh beda. Kami merasa nyambung. Dan cocok.

Saat akan berpisah, kami saling bertukar nomor ponsel, dan berjanji akan saling menghubungi. Saya merasa punya teman baru.

....
....

Sejak pertemuan itu, kami menepati janji untuk saling menghubungi. Kadang saya menelepon, atau dia kirim SMS. Beberapa kali kami juga keluar bareng—belanja sesuatu, atau sekadar makan malam.

Tanpa kami ucapkan, kami seperti sama-sama tahu bahwa kami punya kesamaan penting, yakni sama-sama belum punya pacar. Jadi, kadang-kadang saya dolan ke rumahnya pas malam Minggu. Sebagai teman. Dan dia selalu menyambut saya dengan hangat.

Riani masih kuliah, semester enam, namun memiliki kedewasaan yang membuat saya nyaman, meski kadang sifat kekanakannya muncul dan membuat saya tertawa. Dia juga cerdas, serta memiliki selera humor yang baik. Saya selalu senang tertawa bersamanya. Di atas semua itu, di mata saya dia juga sangat menawan.

Beberapa kali saya menawarkan agar dia dolan ke rumah saya. Tetapi, setelah tahu saya tinggal di rumah sendirian, dia menolak dengan alasan tidak nyaman. Saya pun mencoba memahaminya. Dia memang berbeda dari perempuan lain yang pernah saya kenal.

....
....

Kata orang, cinta bisa tumbuh karena kebersamaan. Mungkin itu pula yang terjadi pada kami—khususnya pada saya.

Selama bersama Riani, saya merasakan kenyamanan yang tidak pernah saya peroleh dari perempuan mana pun. Dan seiring makin akrab bersamanya, makin sadar pula bahwa saya mencintainya. Saya tidak pernah menyangka akan seperti itu, tapi itulah yang terjadi, yang saya rasakan, yang saya sadari. Saya telah jatuh cinta kepada Riani. Meski saya lupa kapan pertama kali merasakannya.

Jadi, suatu malam, saya pun menyatakan cinta kepadanya. Dan Riani menerima. Itu terjadi tujuh bulan yang lalu. Begitu dia menyatakan penerimaannya, saya berkata, “Seumur hidup, aku belum pernah sebahagia ini.”

Dia tersenyum. Dalam ingatan saya, itu senyum terindah yang pernah saya saksikan.

....
....

Setelah kami resmi berpacaran, Riani mulai bersedia datang ke rumah saya. Tentu saja saya senang. Kadang-kadang, pas hari Minggu, kami membeli bahan makanan, dan dia memasak di dapur rumah saya. Itu saat-saat yang sangat manis bagi kami. Saat menyaksikannya memasak, sering kali saya berpikir, “Inilah wanita yang kuinginkan menjadi ibu bagi anak-anakku.”

Suatu hari, empat bulan yang lalu, seusai memasak dan memandang seisi rumah, Riani berujar, “Rumah ini sepertinya membutuhkan sentuhan wanita.”

Saya memandanginya, tersenyum, dan berkata perlahan, “Penghuninya juga membutuhkan hal yang sama.”

Sejenak kami bertatapan. Saya duduk di sofa, dan dia berdiri menyandar di dinding, di hadapan saya. Kemudian, dengan seluruh kemantapan yang saya miliki, saya berkata kepadanya, “Ri, kamu mau menikah denganku?”

Dia tidak tersenyum. Juga tidak menjawab. Dia hanya berdiri, dan menatap saya. Kemudian, dalam detik-detik yang seolah abadi, dia menjatuhkan dirinya dalam pelukan saya, dan berbisik, “Ya, aku mau.”

Kami berpelukan di sofa. Lama.

....
....

Pesta perkawinan kami dilangsungkan empat bulan setelah itu. Sebenarnya tidak layak disebut pesta, karena sederhana. Acaranya berlangsung jam 1 siang hingga sore. Cukup meriah. Semua teman kami datang, bersama pasangannya masing-masing, dan sepertinya mereka senang sekali. Salah satu lajang paling keren di muka bumi (oh, well!) kini telah menemukan tambatan hati.

Malam harinya, seperti umumnya pengantin, saya berdebar tak karuan. Menunggu jam berdetik rasanya seabad. Saya berbaring di kamar pengantin dengan perasaan bahagia yang tak bisa saya lukiskan. Jadi begini rasanya menikah, pikir saya. Hidup terasa menjadi lengkap, tulang rusuk yang hilang telah tertemukan. Selamat tinggal masa lajang.

Dan saya makin tak sabar. Oh, well, ketaksabaran seorang suami.

Yang jadi masalah, Riani masih asyik membuka-buka kado yang menumpuk di kamar pengantin. Kado-kado itu memang tampak indah, dengan kemasan warna-warni, serta dihias pita. Dan istri saya rupanya tak jauh beda dengan kebanyakan wanita—suka hal-hal yang indah. Jadi, sementara saya menunggu dengan tak sabar, dia malah asyik mengurusi dan membuka-buka kado sialan itu. Padahal saya juga sudah ingin diurusi. Dan dibuka-buka.

Saya pun memanggilnya dengan lembut, berharap dia sadar. Dan paham.

Tapi dia hanya menengok, dan tersenyum nakal. “Udah nggak sabar, ya?” ujarnya dengan manis. “Iya deh, sebentar lagi.”

Dan “sebentar lagi” itu bagi saya rasanya seabad. Sambil menyabar-nyabarkan diri, saya pun akhirnya memeluk bantal, dan membayangkan masa-masa hidup yang telah saya jalani. Saya berkata pada diri sendiri, “Kau telah menunggu bertahun-tahun untuk saat ini. Kenapa kau tak sabar menunggu sesaat lagi...?”

Lamunan saya terhenti ketika Riani tiba-tiba cekikikan sambil memegangi sehelai kertas, yang sepertinya berasal dari sebuah kado. Dia menutup mulutnya sendiri dengan satu tangan, tapi terus cekikikan. Kemudian, diberikannya kertas itu pada saya. “Lihat, nih,” katanya sambil masih cekikikan.

Dengan penasaran, saya menerima kertas itu, dan membaca isinya. Kalimatnya pendek, ditulis rapi, dan berbunyi, “Selamat merayakan April Mop!”

....
....

Lalu terdengar suara orang misuh-misuh.

 
;