Minggu, 20 Desember 2020

Sejarah Ringkas Dunia dan Umat Manusia

Aku lahir dari kematian. 
Aku ada untuk memercik api kebangkitan seorang manusia, 
untuk memutar roda peradaban. Dan ketika hutan mulai rimbun 
hingga memerlukan pembersihan untuk tumbuh, 
aku ada di sana untuk membakarnya.


Apakah manusia dilahirkan untuk bekerja? Jawabannya tentu tidak! Secara alami, atau kita bisa menyebutnya secara biologi, manusia lahir untuk bersenang-senang dan menikmati kehidupan. Dua hal yang paling penting, sekali lagi secara biologi, adalah kawin dan beranak-pinak.

Ratusan ribu tahun lalu, manusia bisa menikmati kehidupan semacam itu—hanya kawin dan beranak-pinak—sesuai kodratnya sebagai makhluk biologis. Di sela-sela aktivitas kawin dan mengurusi anak, mereka bercocok tanam, memelihara hewan, dan menjalin persahabatan.

Manusia zaman dulu bisa menikmati kehidupan tenang tanpa kerja keras, karena dunia masa lalu memang memungkinkan mereka untuk begitu. Tanah-tanah masih subur dan luas, populasi bumi masih minim, kekerabatan antarmanusia masih rekat, dan uang belum jadi hal penting.

Di masa itu, manusia tidak butuh kerja, apalagi kerja keras—karena buat apa? Kerja bertujuan untuk mendapat uang, dan uang digunakan membeli hal-hal untuk melanjutkan hidup. Di masa itu, manusia bisa menikmati kehidupan tenteram tanpa uang, jadi tidak perlu kerja.

Lalu kehidupan terus berkembang, populasi semakin banyak, tanah-tanah kian menyempit. Hasil bumi yang semula berlimpah, perlahan-lahan surut, makanan mulai sukar diperoleh. Puncaknya, lahir era industri yang mengubah sistem pertanian, manufaktur, transportasi, dan lain-lain.

Era industri memulai zaman baru, era ketika manusia tidak bisa lagi leyeh-leyeh dan rebahan seperti semula, karena kini mereka harus bekerja untuk menghasilkan uang. Karena uang, sejak zaman itu, memiliki nilai tinggi, sebab memungkinkan mereka melanjutkan hidup.

Era industri bukan hanya mengubah wajah dunia, tapi juga mengubah manusia. Dunia yang semula damai, tenang, dan tenteram, berubah hiruk-pikuk dan penuh kesibukan. Manusia yang semula asyik kawin dan beranak-pinak, kini harus meluangkan waktu untuk bekerja demi uang.

Dan era industri terus berevolusi, seperti manusia yang menggerakkannya. Salah satu evolusi penting yang lahir dari era industri adalah sistem kapitalisme. Sistem ini mengubah pedang dan penundukan wilayah dengan kekerasan, menjadi mata uang dan jerat utang berbunga.

Sebelum era industri, sebagian manusia menjadi budak yang diperjualbelikan. Setelah era industri, sebagian manusia adalah sekrup-sekrup yang membantu menggerakkan perdagangan. Setelah lahir sistem kapitalisme, sebagian manusia adalah sapi perah yang diperas untuk keuntungan.

Kapitalisme adalah sistem yang cerdik sekaligus licik. Sistem ini memungkinkan sebagian orang mendapatkan sangat banyak, sekaligus menjadikan sebagian lain hanya mendapat sedikit. Karenanya, dalam kapitalisme, pemodal selalu menang, karena uang telah menjadi tuhan.

Sejak era kapitalisme itulah, manusia berubah menjadi makhluk pekerja, dalam arti harfiah—berangkat pagi, pulang petang, memeras keringat, banting tulang—demi mendapat uang yang merupakan sarana menikmati kehidupan, yang, menurut Sigmund Freud, demi libido.

Manusia sekian ribu tahun lalu, dan manusia yang hidup saat ini, sebenarnya jenis manusia yang sama, yang ingin terus menikmati kesenangan dan bereproduksi. Bedanya, manusia di zaman sekarang terjebak oleh “kebodohan” manusia di zaman ribuan tahun lalu.

Yang merusak kehidupan manusia saat ini, hingga melemparkan banyak orang ke posisi sangat rendah, adalah sistem kapitalisme. Sistem ini tidak hanya membangun dan meruntuhkan negara-negara di dunia, tapi juga menggerogoti moral, sistem nilai, dan akal sehat manusia. 

Dan sistem kapitalisme bisa berjaya, bahkan jadi penguasa, karena adanya era industri. Sementara era industri bisa ada, bahkan menguasai manusia, karena tingginya populasi. Andai populasi manusia tetap rendah, era industri tidak akan laku, dan kapitalisme bisa pergi ke neraka.

Karena itulah, seperti yang disebut tadi, manusia di zaman sekarang terjebak oleh “kebodohan” manusia di zaman ribuan tahun lalu. Mereka, nenek moyang kita, tidak mikir bahwa kalau mereka terus beranak-pinak tanpa terkendali, keberadaan manusia akan serupa hama di bumi.

Omong-omong soal hama. Kita mungkin menganggap belalang sebagai hewan yang lucu, dan bisa jadi kita senang bermain-main dengannya. Jika hanya satu atau dua—atau setidaknya sepuluh—mungkin belalang masih tampak lucu. Tapi bagaimana dengan ratusan juta belalang?

Tempo hari, Afrika Timur diserang ratusan juta belalang—kalian bisa mencari beritanya lewat Google—dan “hewan yang lucu” itu seketika berubah menjadi hama mengerikan yang menghancurkan pertanian, yang mestinya bisa menghidupi 35.000 orang. Itu benar-benar wabah!

Secara biologi, makhluk hidup mana pun akan menjadi hama, jika jumlahnya tak terkendali, dan keberadaannya merusak bumi. Belalang dalam jumlah terkendali adalah populasi. Tapi belalang yang jumlahnya tak terkendali, apalagi merusak, adalah hama. Begitu pun manusia.

Kita telah mendapat kutukan itu, gara-gara manusia zaman kuno tidak mau mikir untuk mengendalikan populasi sejak dini. Mereka terlena oleh aktivitas kawin, leyeh-leyeh, beranak-pinak, kawin lagi, leyeh-leyeh lagi, dan beranak-pinak lagi, dan begitu seterusnya, lalu populasi meledak.

Dampak populasi yang tak terkendali adalah menyempitnya tanah-tanah yang diubah jadi tempat hunian, rusaknya alam karena dieksploitasi habis-habisan, serta berjayanya sistem industri dan kapitalisme yang kini menjerat kita semua dalam kerja keras nyaris tanpa usai, demi uang.

Miliaran orang menjadi pekerja keras, mungkin termasuk kita di antaranya, karena memang dikutuk untuk melakukannya. Kita bukan makhluk pekerja, tapi sistem yang berlaku dalam kehidupan kita sekarang mewajibkan siapa pun untuk bekerja, demi uang untuk melanjutkan hidup.

Jadi, orang-orang yang senang kerja keras bisa jadi karena memang tidak punya pilihan lain. Karena jika tidak bekerja, mereka tidak mendapat uang. Dan kalau tidak mendapat uang, mereka akan kesulitan melanjutkan hidup. Bagi mereka, bekerja keras adalah satu-satunya pilihan.

Kalau kau bisa mendapat uang dan melanjutkan hidup dengan nyaman sambil leyeh-leyeh dan bermalas-malasan, itu privilese! Karena tidak semua orang bisa seperti itu. Terlepas kau benar-benar punya privilese atau dasarnya memang cuma malas kerja, itu urusanmu.

Kenyataannya, kita semua telah terjebak. Terjebak dalam over-populasi, terjebak dalam mesin-mesin industri, terjebak dalam sistem kapitalisme. Akui saja, kita tidak berdaya berhadapan dengan semua itu, dan pilihannya cuma dua; mengikuti sistem, atau berupaya meruntuhkannya.

Mengikuti sistem mungkin terdengar cemen bagi sebagian orang, karena isinya kerja keras, dan aneka hal yang mungkin terdengar seperti omong kosong sekaligus melelahkan, bahkan ketika baru mendengarnya. Jelas tidak cocok bagi orang yang merasa dirinya Che Guevara.

Sementara pilihan kedua, jika kita memang tidak ingin mengikuti sistem, adalah meruntuhkan sistem yang telah ada; sistem industri dan kapitalisme. Sejujurnya, itu bukan urusan yang mudah, karena kita membutuhkan Infinity Stones—atau kekuatan yang setara dengan itu.

Untuk bisa meruntuhkan sistem kapitalisme, kita harus meruntuhkan sistem industri, karena kapitalisme adalah anak emas sistem industri. Tanpa sistem industri, sistem kapitalisme akan rapuh. Jika sistem industri telah diruntuhkan, kapitalisme juga akan bisa dilenyapkan.

Tetapi... untuk bisa meruntuhkan sistem industri, kita harus memulai dari akarnya, yakni over-populasi. Fakta tak terbantahkan; sistem industri dan kapitalisme bisa berjaya, karena adanya over-populasi. Selama populasi manusia tak terkendali, industri dan kapitalisme akan tetap mencengkeram.

Karena itulah, seperti tadi disebutkan, untuk bisa meruntuhkan sistem industri dan kapitalisme, kita membutuhkan Infinity Stones, karena kita harus memulainya dengan meruntuhkan over-populasi terlebih dulu. Lenyapkan separo populasi, baru kita ngomong soal meruntuhkan kapitalisme.

Tapi itu tidak mungkin, karena akan... well, tidak beradab. Kita tidak mungkin memusnahkan sesama manusia, apa pun alasannya. Karenanya, yang bisa kita lakukan—dan yang mestinya kita lakukan—adalah menyampaikan kesadaran tentang hal ini pada sesama, dan bukan malah memprovokasi mereka cepat kawin dan beranak-pinak.

Saat ini, jika kita memang ingin meruntuhkan sistem yang telah mencengkeram peradaban—yakni sistem industri dan kapitalisme—satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah “mengerem” laju reproduksi, dan itu artinya menyebarkan kesadaran bahwa “menikah tidak menjamin kebahagiaan, dan punya anak tidak menjamin rezeki lancar”—karena nyatanya memang begitu. Penyebaran kesadaran ini akan berhadapan dengan doktrin usang tapi terkenal... dan itulah tugas siapa pun yang ingin meruntuhkan peradaban.

Akar masalah bumi, dan dunia seisinya—beserta sistem-sistem di dalamnya—adalah populasi manusia yang tak terkendali. Tanpa kesadaran penting ini, semua wacana menumbangkan kapitalisme hanyalah omong kosong, dan aksi meruntuhkan kediktatoran industri bisa dibilang sia-sia. Industri hanyalah batang pohon, dan kapitalisme hanyalah ranting yang tumbuh di sisi-sisinya. Tapi akar dari semuanya adalah over-populasi. 

Bumi akan menjadi surga bagi manusia, jika populasi terkendali. Semua kenikmatan hidup yang kita kenal akan dapat diraih. Karena tanah-tanah subur begitu luas, lautan jernih tanpa sampah, udara murni tanpa polusi, dan tidak ada sistem-sistem yang mencekik serta membelenggu.

Sebaliknya, bumi akan menjadi neraka—dan sekarang kita mengalaminya—ketika populasi tak terkendali, dan mengubah manusia menjadi hama. Tanah-tanah menyempit dan tandus, alam dieksploitasi habis-habisan, polusi mencemari, bumi kian tak ramah, dan bencana datang silih berganti.

“Manusia adalah pemimpin di muka bumi”—itu benar, selama populasinya terkendali. Jika populasi liar tak terkendali, manusia adalah hama di muka bumi, karena manusialah yang merusak dan memperkosa alam, menghancurkan tempat tinggalnya sendiri.

Sekarang kita mulai memahami kenapa ada orang seperti Thanos, yang rela melakukan dan mengorbankan apa pun demi mengumpulkan Infinity Stones. Bumi membutuhkan Thanos. Sayangnya, jika Thanos benar-benar tiba, kita mungkin akan keliru mengenalinya.

Misi: Meruntuhkan Peradaban

 Apa tujuan hidup lo?
@VICE_ID

Meruntuhkan peradaban.
@noffret


Saat orang mendengar istilah "revolusi", yang terbayang dalam pikiran biasanya perang, pertempuran, atau setidaknya demo dan unjuk rasa besar-besaran untuk menumbangkan status quo—apa pun wujudnya. Padahal tidak mesti begitu. Gandhi sudah menunjukkannya. Dia hanya diam.

Tapi kita tidak hidup di zaman Gandhi yang menghadapi penjajahan fisik, dan kita juga bukan Gandhi. Status quo yang kita hadapi saat ini adalah tumpukan doktrin usang yang sebenarnya merusak manusia, bumi, peradaban, dan seisinya, tapi terus dilembagakan... dan terus merusak.

Apa penyebab munculnya virus corona saat ini? Hampir semua ilmuwan di dunia sepakat asalnya dari kelelawar, yang kemudian menulari manusia. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu, dan siapa pun mestinya tahu! Penyebab virus corona saat ini adalah karena bumi sudah terlalu sesak!

Mari sepakati bahwa virus corona berasal dari kelelawar. Apakah kelelawar menginvasi manusia? Tidak, mereka memiliki habitatnya sendiri. Tapi manusia terus merangsek dan merusak habitat mereka, akibat populasi terus bertambah, hingga hidup kita dengan mereka tak lagi punya batas.

Bukan kelelawar yang mendekati apalagi menyerang kita, tapi kita—Homo sapiens yang sok bijak ini—yang terus mendekati mereka dengan merusak habitatnya. Ketika jarak diretas, sesuatu yang ada pada mereka (mis. virus) mudah berpindah tempat... dan pandemi sekarang inilah akibatnya.

Pandemi yang diakibatkan virus dari hewan yang menulari manusia hanyalah satu di antara setumpuk kerusakan lain yang diakibatkan ledakan populasi manusia. Tapi aku tidak mungkin menulis daftarnya di sini, karena bisa jadi baru akan selesai tahun 8744, dan ududku tidak akan cukup!

Intinya, segala masalah yang terjadi di muka bumi, jika dirunut ke asalnya, hampir selalu disebabkan oleh populasi manusia. Sebut apa saja masalah bumi, dan akar masalahnya manusia. Polusi, kerusakan alam, pemanasan global, bahkan kapitalisme, akar masalahnya ledakan populasi.

Pertanyaannya, tentu saja, bagaimana bisa terjadi ledakan populasi? Secara ilmiah, jawabannya sederhana; karena evolusi menuntut begitu. Ironisnya, pihak yang paling kuat menentang evolusi justru menjadi penyokong paling kuat tujuan evolusi. "Menikah akan membuatmu bla-bla-bla."

Ledakan populasi memang sulit dihindari, karena banyak kepentingan di dalamnya. Evolusi punya kepentingan (untuk melakukan seleksi alam), agama punya kepentingan (untuk menambah jumlah pengikut), dan kapitalisme punya kepentingan (untuk meluaskan pasar sekaligus menurunkan upah).

Dan itulah peradaban kita saat ini; terjepit di antara tuntutan evolusi (ingin kawin), dihadapkan pada "ajaran agama" (menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki), kemudian terjebak dalam perangkap kapitalisme (kerja pagi pulang malam, hanya demi bisa makan). Menyedihkan?

Orang-Orang Tercerahkan sejak zaman dulu bertanya-tanya, untuk itukah kita hidup? Semenyedihkan itukah takdir manusia? Dan setiap kali mereka mencoba mengingatkan sesamanya, tidak ada yang mau mendengarkan, karena Homo sapiens, yang bijak ini, sebenarnya tidak bijak-bijak amat.

Latar semacam itulah yang menjadikan Thanos murka hingga mengumpulkan Infinity Stones, sementara Kurt Hendricks dan Solomon Lane ingin meledakkan nuklir. Tapi kita tentu tidak bisa melakukan yang mereka lakukan, karena kita hidup di dunia yang beradab dan berperikemanusiaan.

Jadi, bagaimana solusi meruntuhkan peradaban yang gila ini, tanpa harus repot mengumpulkan Infinity Stones dan tanpa harus meledakkan nuklir? Aku telah memikirkan pertanyaan itu selama ribuan tahun, dan karena itulah jawabanku untuk pertanyaanmu: Meruntuhkan peradaban.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 September 2020.

Merindukan Gus Dur

Di masa penuh ketidakpastian politik dan sosial seperti sekarang, aku benar-benar merindukan sosok pemimpin dan negarawan seperti Gus Dur, yang kepadanya dapat kuletakkan seluruh kepercayaanku, tanpa ragu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Mei 2020.

New Normal Pecah Ndase

Tadi, pas di rumah famili, ada orang ngobrol sama tetangganya, membicarakan New Normal. Salah satunya berkata, "Urip normal wae aku wis pusing, opo maneh new normal. Pecah ndasku!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Mei 2020.

Noffret’s Note: Larangan Mudik

Setelah ratusan ribu atau bahkan jutaan orang mudik, larangan mudik baru keluar. Ajaib, kalau dipikir-pikir.

Yang perlu dilarang sebenarnya bukan cuma mudik, tapi semuanya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21-22 April 2020.

Jumat, 11 Desember 2020

Seks dan Perkawinan Itu B Aja

 Seks dan perkawinan itu biasa saja.
Cuma glorifikasinya yang luar biasa.


Hidup dan segala glorifikasinya, meminjam istilah anak sekarang, "B aja".

Yang menjadikan Homo sapiens mampu bertahan dan beradaptasi, sementara makhluk-makhluk lain punah, karena Homo sapiens bisa bercerita. Kemampuan bercerita memungkinkan mereka membangun fantasi, bahkan glorifikasi. Dan pada satu titik, glorifikasi itu terlalu ndakik-ndakik.

Dalam contoh yang mudah, kita bisa melihat aktivitas seks. Sebenarnya, aktivitas seks hanyalah peristiwa alami di antara makhluk hidup—sama sekali tidak istimewa. Yang menjadikannya istimewa, karena ia diglorifikasi sedemikian rupa, meski mungkin tujuannya baik.

Makhluk hidup, khususnya manusia, membutuhkan seks untuk berkembang biak. Evolusi mengiming-imingi bahwa "seks itu nikmat". Sementara Homo sapiens melembagakan aktivitas seks dengan perkawinan. Agar semua pihak patuh dengan aturan itu, fantasi dan glorifikasi diciptakan.

Karenanya, kita lebih sering mendengar "perkawinan itu indah" daripada sebaliknya—meski mungkin realitasnya berkebalikan—karena slogan-slogan semacam itu dibutuhkan Homo sapiens agar kita patuh, dan bersedia menikah, demi bisa beraktivitas seks secara legal. Padahal ya B aja.

Maksudku, perkawinan tidak—atau belum tentu—seindah yang diglorifikasikan. Begitu pula seks, yang menjadikan banyak orang ngebet kawin, belum tentu senikmat (atau mungkin harus kukatakan; sedahsyat) yang mungkin kita khayalkan. Karena semua glorifikasi itu nyatanya memang B aja.

Bertahun lalu, seorang cowok remaja di Manhattan kepergok ngintip perempuan yang sedang mandi. Oleh tetangganya (yang menurutnya bijak), cowok ABG itu diajak ke klub malam di pinggir kota untuk "memuaskan rasa ingin tahunya". Peristiwa itu mengubahnya secara total hingga dewasa.

Bertahun-tahun kemudian, ketika dewasa, dia menceritakan peristiwa itu, dan dengan jujur mengatakan, "Ternyata, seks tidak seindah dan senikmat yang kubayangkan. Aku sampai terkejut, ketika mendapati sesuatu yang diglorifikasi sedemikian rupa, ternyata biasa saja."

Aku percaya.

Dan dia tidak berhenti di situ. Di kampusnya (dia kuliah di sebuah kampus tua terkenal di Manhattan), dia melakukan riset terkait pengalaman seks teman-temannya (semuanya pria). Riset itu untuk menjawab pertanyaan sederhana; apakah pengalaman dia juga dialami para pria lainnya?

Ada 500-an mahasiswa yang menjadi responden penelitian itu, dengan setumpuk pertanyaan serupa, yang semuanya memberi jawaban secara anonim. Hasilnya mungkin mencengangkan. Rata-rata mereka sama; menganggap seks "tidak senikmat yang kubayangkan". 

Apa kabar para pria sedunia?

Saat menjawab pertanyaan dalam lembar riset, "Apa yang kaupikirkan dan kaurasakan ketika pertama kali ML?", rata-rata mereka menjawab, "Kok cuma gini?", "Kok biasa-biasa saja?", "Apakah aku keliru? Kenapa rasanya cuma begini?", dan, "What the hell, sepertinya aku tertipu!"

Kenyataannya, seks—khususnya dalam kepala pria—adalah campuran antara fantasi dan sensasi. Dua hal itu pula yang menjadikan mereka terus terobsesi. Selebihnya... B aja. Karena "B aja" itu pula, seks lalu diglorifikasi sedemikian rupa, hingga mereka bersedia melembagakannya.

Kalau kita nonton bokep, kita pasti melihat bahwa si wanita tampak sangat "ekspresif" dengan segala desah dan rintih, sementara si pria kelihatan biasa saja. Kenapa? Jawabannya panjang, tapi salah satunya karena... memang si wanita yang merasakan kenikmatan. Si pria? B aja.

Saat aktivitas seks berlangsung, sejak foreplay sampai intercourse, si wanita merasakan kenikmatan, dalam arti sesungguhnya. Sementara yang dirasakan pria hanya fantasi dan sensasi—bukan kenikmatan. Terkait seks, kenikmatan pria baru terjadi saat ejakulasi. Selebihnya, B aja.

Jika ingin membuktikan ocehan ini, sila tanyakan pada teman-teman pria yang telah menikah—yang tentu melakukan aktivitas seks secara rutin—dan minta mereka menjawab secara jujur. Karena itulah, aktivitas seks dalam pernikahan disebut "nafkah batin", karena itu "hak si wanita".

Jika didefinisikan, nafkah batin adalah "kewajiban suami untuk memberikan kenikmatan seksual pada istri". Dan dalam hal itu, aturannya—meminjam istilah di akad nikah—“muasyarah bil ma'ruf”. Maksudnya ya dengan foreplay dan sebagainya, yang semua kenikmatannya UNTUK si wanita.

Jadi, dalam perspektifku sebagai bocah, ada paradoks yang aneh terkait urusan ini, yang sekali lagi membuktikan betapa licinnya evolusi. Pria terobsesi pada seks dan pada wanita, dengan segala fantasi dan glorifikasi, padahal yang paling menikmati aktivitas itu justru si wanita.

Wanita merasakan kenikmatan—dalam arti sesungguhnya—sejak foreplay sampai afterplay, masih ditambah dengan multiorgasme bahkan squirt. Sementara pria? Multiorgasme pria itu cuma wacana, dan kenikmatan pria cuma sebatas ejakulasi, plus tipu-tipu fantasi di kepala. Intinya B aja.

Jadi, apa kesimpulan ocehan mbuh ini? Kesimpulannya ya B aja. Bahwa semua glorifikasi yang biasa kita dengar, khususnya terkait seks dan perkawinan, sebenarnya B aja. Dan kelak, kapan pun waktunya, saat telah membuktikan, kau akan menyadari bahwa semua fantasimu ternyata B aja.

Ironis, kalau dipikir-pikir. Kita dibuai oleh fantasi, didikte oleh glorifikasi, hanya untuk menyadari bahwa semuanya B aja. Oh, well, bahkan aku yang telah menyadari semua ini B aja, ya masih terobsesi. Terobsesi apppeeeuuuuh...*

*Padahal ya aku sadar, appeeeeuuh itu B aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Januari 2020.

Bocah Menjelang Tidur

Menjelang tidur, seorang bocah mendekap gulingnya, dan berbisik, “Aku kangen banget sama mbakyuku.”

Guling menyahut, “Mbakyumu siapa?"

“Lahatia!”

Omnibus Law dan Dilema Buruh

Ada usul yang terdengar bagus; bagaimana kalau 3 juta (saja) buruh mogok, tenang di rumah, tidak usah masuk kerja?

Mungkin mengingatkan kita pada ahimsa-nya Gandhi. Dan secara teoritis, 3 juta buruh yang tidak masuk kerja bisa menghasilkan efek yang mengerikan bagi industri.

Jika 3 juta buruh benar-benar mogok kerja 30 hari, misalnya, industri akan berdarah-darah, khususnya industri padat karya. Dan polisi atau siapa pun tidak bisa melarang, wong mereka tidak melakukan aksi apa pun, cuma diam di rumah.

Tetapi, sayangnya, usul itu sulit dilakukan.

Mungkin industri memang akan kalang kabut jika 3 juta buruh benar-benar mogok kerja selama 30 hari. Tapi para buruh yang melakukan mogok kerja itu juga akan kalang kabut, karena tidak mendapat penghasilan. Karena menjadi buruh/karyawan artinya, "kerja 1 hari untuk hidup 1 hari".

Posisi tawar buruh, dalam hal ini, juga rendah. Kalau benar 3 juta buruh mogok kerja hingga menyebabkan industri kalang kabut, selalu ada kemungkinan jutaan (calon) buruh lain yang akan menggantikan. Karena faktanya tenaga kerja jauh lebih banyak dibanding lapangan kerja.

Dan, sebenarnya, menurutku, itulah akar masalahnya; jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak, tidak imbang dengan lapangan kerja yang tersedia. Dalam kondisi semacam itu, mengharapkan keadilan nyaris mirip utopia, wong ketidakadilan (ketidakseimbangan) sudah tertanam dalam masalah.

Selama jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak atau tidak imbang dengan lapangan kerja yang tersedia, selama itu pula posisi tawar buruh akan rendah, sekaligus rentan eksploitasi, dan kenyataan saat ini sudah menjadi bukti. Omnibus law bisa ada, karena kita tidak hidup di Narnia.

Kita tentu sepakat, Omnibus law—atau aturan eksploitatif apa pun namanya—adalah sesuatu yang tragis, karena menempatkan manusia (buruh) di titik nadir. Yang belum kita sepakati, mungkin, adalah bahwa kenyataan tragis ini berawal dan berasal dari masalah yang tidak kita sadari.

Tolong maafkan jika ini mungkin terdengar tidak empatik.

Di masa sebelum Black Death menghantam Eropa, posisi buruh (khususnya penggarap lahan milik para tuan tanah) hampir mirip seperti sekarang; posisi tawar rendah, rentan eksploitasi, dengan bayaran pas-pasan untuk hidup.

Kenyataan itu berlangsung bertahun-tahun, sebagian tuan tanah bahkan bisa memecut para pekerjanya seperti budak—saking rendahnya posisi tawar mereka. Lalu Wabah Hitam melanda, menghancurleburkan peradaban, dan menewaskan nyaris separuh populasi di Eropa.

Dan era baru dimulai.

Setelah Wabah Hitam itu berlalu, seiring peradaban runtuh dan nyaris separuh umat manusia di Eropa musnah, para buruh di sana menempati posisi tertinggi yang belum pernah mereka capai sebelumnya. Kali ini, bukan mereka yang butuh tuan tanah; tapi tuan tanah yang butuh mereka.

Dalam posisi semacam itu, bukan tuan tanah yang menentukan harga buruh, tapi buruh yang menentukan harga untuk dirinya sendiri—harga yang layak, harga yang bermartabat, harga yang manusiawi.

Sayang, manusia mudah terlena, dan tak belajar dari sejarah. Omnibus law menampar kita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Oktober 2020.

Noffret’s Note: Halu

Dari dulu aku percaya, "kurang percaya diri" masih lebih baik, daripada "over percaya diri". Setidaknya, kurang percaya diri membuat kita lebih hati-hati.

Gara-gara sesuatu sedang viral di Twitter, akhirnya aku sadar kalau orang halu memang benar-benar ada. Antara miris dan ingin tertawa.

Iseng searching dan nemu akun AskFm-nya:

"Orang kaya ya mbak? Papihnya pengusaha besar ya, pengen belajar bisnis ama papinya biar kaya juga."

"Papi gue punya sebagian saham ask-fm."

Aku benar-benar iri dengan orang yang punya kepercayaan diri setinggi itu.

Lanjutan dari AksFm halu tadi:

"tau pagan poetry ga kak?"

"Tau dong, kan gue pernah pacaran sama dia."

*) Pagan Poetry adalah lagunya Björk.

Aku jadi bayangin ngomong sama diri sendiri:

"Tahu Firebelly gak, bocah?"

"Tahu dong, aku kan pernah pacaran sama dia."

Padahal Firebelly adalah judul novel J.C. Michaels

Gara-gara twit viral tadi, sekarang aku terjebak membaca ocehan-ocehan halu di AskFm. Sebenarnya gatal ingin SS langsung tiap ocehannya, dan beberin di sini. Tapi khawatir kalau nanti jatuhnya jadi kayak bullying.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Oktober 2019.

Noffret’s Note: A New Hope

Lima tahun lalu, TIME memasang wajah Presiden Jokowi sebagai sampul, dengan headline A New Hope. Kini, lima tahun kemudian, apa pendapat TIME terhadap orang yang sama? Ada yang tahu? Ah, sama kalau begitu.

Jadi, apa maksud tweet ini? 

Waduh, mosok ngono wae gak ngerti!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 November 2019.

Selasa, 01 Desember 2020

Bisa Menelan Pil Itu Privilese

Kalau kau bisa menelan pil dengan mudah, kau patut bersyukur.
Itu kemampuan yang tidak kumiliki, meski telah berlatih bertahun-tahun.


Gastroesophageal reflux disease atau GERD adalah salah satu masalah kesehatan yang “populer”, akhir-akhir ini, karena menyerang banyak orang, lebih khusus anak-anak muda. Bisa jadi, penyakit ini sebenarnya sudah menyerang banyak orang sejak lama, namun kebanyakan kita mungkin lebih mengenalnya sebagai “asam lambung”.

GERD memang berkaitan dengan asam lambung, yaitu naiknya asam lambung di tubuh kita. Meski mungkin terdengar ringan, naiknya asam lambung bisa menimbulkan aneka keluhan, dari nyeri dada, tenggorokan panas, sesak napas, sering bersendawa, atau bahkan mungkin lebih parah dari itu. Kerusakan gigi, bahkan, salah satunya disebabkan oleh naiknya asam lambung, karena cairan asam ini mengerosi gigi serta gusi penderitanya—khususnya jika naiknya sudah sampai tenggorokan.

Saya akrab dengan GERD, karena menjadi salah satu penderitanya. Lebih dari setahun yang lalu, saya terserang penyakit ini, sudah ke dokter, sudah diberi obat, dan sudah sembuh. Saya pikir akan sehat seterusnya, dalam arti tidak akan terkena GERD lagi. Tapi ternyata saya keliru.

Sekitar dua bulan lalu, saya merasakan asam lambung sering naik. Mula-mula saya tidak mempedulikan, karena saya pikir itu cuma efek kekenyangan—karena nyatanya naiknya asam lambung memang sering terjadi tak lama setelah makan. Tetapi, lama-lama, naiknya asam lambung ini membuat saya tidak nyaman.

Berusaha menjadi bocah yang baik dan sadar kesehatan, saya pun akhirnya memutuskan ke dokter yang dulu merawat saya. Di sana, saya menyampaikan keluhan yang dirasakan, lalu organ-organ dalam tubuh saya diperiksa. 

“Organ-organ dalam Anda sehat semua,” kata dokter, “cuma lambung sedikit bermasalah.”

Dokter menulis resep obat, dan saya menebusnya ke apotek. Obatnya beda dengan yang dulu, dan saya baru tahu itu setelah menerima bungkusan obat di apotek. Kalau dulu dua jenis pil, sekarang pil dan kapsul. Modyar, pikir saya.

Saya punya masalah dengan urusan obat, karena tidak bisa menelan, apalagi jika obatnya berbentuk kapsul. Kalau pil, saya masih bisa mengunyahnya, meski harus nyengir-nyengir—campur misuh-misuh tak karuan—ketika merasakan pahit pil meledak di dalam mulut. Tapi mengunyah kapsul terdengar seperti “mission impossible”, dan saya tidak yakin Ethan Hunt sekalipun bisa melakukannya.

Yang bisa saya lakukan pada kapsul adalah membuka cangkangnya, menuang isinya ke sendok, mencampurkan sedikit teh, lalu “menyantapnya”. Setelah itu saya akan minum banyak teh manis, untuk mengusir rasa “mengerikan” yang timbul dari isi kapsul tadi.

So, itulah yang saya lakukan pada kapsul yang diresepkan tadi. Di rumah, saya buka cangkang kapsul itu hati-hati, menuang isinya ke sendok, mencampurkan sedikit teh, lalu memasukkannya ke mulut... sambil berharap rasanya seperti gula-gula. Tapi harapan saya tak terkabul. Begitu isi kapsul itu menyentuh lidah, seketika mulut seperti terbakar. Rasanya ngujubilah setan!

Buru-buru saya meminum teh hangat manis di gelas, berharap bisa mengusir rasa tidak enak di mulut akibat kapsul itu. Tapi sia-sia. Sebegitu keras rasa obat itu, sampai teh manis tidak mampu mengusir bekas rasanya dari lidah. 

Dengan panik, saya mencari aneka makanan dan jajan di rumah, berharap ada sesuatu yang bisa saya gunakan untuk mengusir rasa tidak nyaman di mulut. Nemu bungkusan keripik pedas. Akhirnya saya memakan keripik pedas itu banyak-banyak, meminum teh lagi, dan pelan-pelan rasa pahit-sialan kapsul tadi lenyap. Setelah itu udud, tentu saja, biar tidak muntah.

Sambil udud, saya tercenung. Ini baru satu kali saya mengonsumsi kapsul tadi, dan rasanya sudah menyiksa. Padahal saya harus mengonsumsi kapsul itu [dan pil yang disertakan] dua kali sehari, dan bisa jadi urusan konsumsi obat ini akan cukup lama, sampai masalah GERD saya teratasi. 

Urusan pil bisa saya atasi dengan mudah, karena bisa mengunyahnya langsung, dan lenyap begitu diguyur minum. Tapi kapsulnya... sangat tidak environmental.

Mungkin karena tubuh saya “kaget” gara-gara minum kapsul tadi, besoknya saya meriang, dan terkapar di tempat tidur. Sampai beberapa hari.

Well, setiap orang tampaknya punya kekurangan yang khas, dan salah satu kekurangan saya yang menjengkelkan—khususnya bagi saya sendiri—adalah tidak bisa menelan obat. Terdengar sepele, tapi sangat merisaukan, khususnya saat terkena sakit dan harus minum obat. Seperti sekarang.

Orang yang bisa dan biasa menelan obat sering sesumbar kalau menelan pil/kapsul itu “mudah sekali”. Tiap kali mendengar ocehan jumawa semacam itu, saya jadi dongkol. Mudah mbahmu, pikir saya. Kalau mudah, saya pasti sudah bisa melakukannya sejak zaman Firaun!

Nyatanya, mungkin, menelan obat (pil/kapsul) memang mudah—bagi yang bisa! Wong tinggal memasukkan obat ke dalam mulut, guyur pakai air minum, dan, tara... obat itu langsung lenyap! Sudah berpindah dari mulut ke perut. Seperti sulap! Tetapi, seperti sulap pula, kemampuan itu juga hanya bagi yang bisa.

Dalam perspektif medis, ada fenomena yang disebut disfagia, yaitu kondisi kesulitan menelan, khususnya menelan obat (pil/kapsul). Kondisi ini biasanya telah muncul sejak kecil, dan nyatanya saya memang tidak bisa menelan obat sejak kecil. Sedari balita, sampai sekarang menjadi bocah, saya harus mengunyah obat apa pun yang saya konsumsi. Tabik untuk pencipta Bodrexin!

Disfagia terjadi, biasanya, karena adanya trauma atau ketakutan tertentu. Bisa karena pernah mengalami tersedak dalam proses menelan pil, atau ketakutan kalau pil/obat itu akan menimbulkan hal-hal tidak nyaman, seperti rasa pahit, dan semacamnya. Intinya, orang yang mengalami disfagia akan kesulitan menelan obat, karena otot-otot kerongkongannya otomatis akan mengencang, sehingga obat akan kesulitan masuk.

Memasukkan obat ke mulut itu kan proses oral, dan proses oral membutuhkan “kerelaan”—dalam arti; jika dipaksa, kita akan tersedak. 

Kita bisa memakan banyak hal, aneka makanan, karena kita “rela”, sehingga organ-organ tubuh kita, khususnya otot-otot kerongkongan, membuka dengan baik, hingga makanan yang kita masukkan ke mulut bisa mengalir ke dalam dan menuju pencernaan. Tapi jika kita “tidak rela” atau “tidak nyaman” saat memakan sesuatu, proses ini bisa bermasalah. Muntah adalah salah satu akibatnya.

Ini tak jauh beda dengan, well... vaginismus. Yaitu kondisi mengencangnya otot-otot vagina—sebegitu kencang, hingga tidak bisa dimasuki penis. Dan jika penis telanjur masuk, ia tidak bisa ditarik/dicabut/dikeluarkan, karena saking kencangnya otot-otot vagina mencengkeram. Fenomena ini, oleh orang awam, disebut gancet.

Dalam konteks menelan obat, orang yang mengalami disfagia sebelas dua belas dengan orang yang mengalami vaginismus. Otot-otot kerongkongan akan kejang atau mengencang, sehingga tidak bisa dimasuki obat (pil/kapsul). Dan jika obat telanjur masuk atau dimasukkan, biasanya obat itu akan terjepit atau macet di kerongkongan. Yang saya alami, saya akan tersedak atau muntah jika mencoba melakukannya.

Jadi, aneka nasihat dan tip “cara menelan obat yang baik dan benar”—sebagaimana yang sering diocehkan orang-orang di sekitar kita—itu tidak relevan-relevan amat. Orang yang tidak bisa menelan obat, karena disfagia, bukan karena terlalu idiot sehingga tidak bisa melakukannya, tapi semata-mata karena masalah tertentu pada tubuhnya.

“Caranya begini,” kata mereka, “kamu makan pisang atau roti, kunyah sampai halus. Setelah halus di mulut, masukkan pil dan tempelkan ke lidah. Lalu telan bersama makanan yang halus tadi. Mudah.”

Mudah mbahmu! 

Teori itu mungkin benar untuk orang-orang yang memang bisa menelan obat. Artinya, mereka memang bisa menelan pil/kapsul dengan baik, tapi tidak/belum tahu cara melakukannya. Sementara bagi orang-orang yang kebetulan mengalami disfagia, teori itu cuma omong kosong. Seratus kali mencoba, seratus kali gagal. Saya sudah mencobanya—tak perlu berdebat.

So, kalau kamu kebetulan bisa menelan obat, entah pil atau kapsul, dan bisa melakukannya dengan enjoy, kamu perlu tahu bahwa itu privilese. Tidak semua orang punya kemampuan seperti itu. Dan seperti umumnya privilese, pemiliknya sering kali tak menyadari. 

Bisa menelan pil atau kapsul itu privilese, karena tak perlu mengunyahnya, tak perlu merasakan pahitnya yang ngujubilah, tak perlu khawatir ketika sewaktu-waktu kena sakit, karena bisa enjoy minum obat. Saya tidak punya kemampuan seperti itu. Setiap kali sakit, saya harus menghadapi dua masalah sekaligus. Masalah pertama ya sakitnya itu sendiri. Sementara masalah kedua, saya harus merasakan pahitnya obat. Wong sakit saja sudah tidak enak, masih ditambah obat yang tidak enak.

Bisa menelan obat dengan mudah, itu privilese. Punya kesehatan yang selalu terjaga, itu privilese. Lebih baik lagi; bisa menelan obat dengan mudah, kesehatan selalu terjaga, dan punya duit banyak! 

Kata-Kata Beracun

Cara membuat kata-kata beracun yang sebenarnya merusak, tapi akan diterima dan dipercaya banyak orang mentah-mentah:

Karanglah apa saja maumu, sesuai keinginanmu, lalu gunakan kata-kata berbunga, dan balutlah dengan embel-embel agama. 

Andai aku seorang psikopat yang hobi menyiksa pasangan setiap saat, tapi ingin terdengar "normal", misalnya, aku akan mendoktrin orang-orang:

"Pasanganmu seorang psikopat? Tidak! Dia sosok yang dihadirkan Allah untuk menguji kesabaranmu agar derajatmu semakin tinggi."

Tentu saja bohong!

Sialnya, kebohongan semacam itulah yang selama ini dicekokkan habis-habisan ke otak kita, dan, sialnya pula, jutaan orang percaya. Jualan kata "Allah" memang selalu laku!

Kenapa jutaan orang percaya bahwa "menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki"? Karena kata-kata itu dibalut embel-embel agama! Padahal agama sebenarnya tidak mengajarkan begitu! Ada orang-orang sok pintar memelintir ayat seenaknya sendiri, lalu didoktrinkan seenaknya pula.

Lalu jutaan korban berjatuhan, jutaan wanita jadi korban KDRT, jutaan perceraian terjadi, jutaan anak sengsara dan terluka. Tapi selalu saja ada orang-orang membawa kata "Allah" sambil mendoktrin orang-orang lainnya, "Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."

It's sick.

Ular paling beracun, katak paling beracun, dan mayoritas hewan paling beracun, memiliki wujud yang indah. Keindahan itu, sebenarnya, bukan untuk menarik perhatian, melainkan untuk memberi tahu makhluk lain agar waspada. Hewan-hewan tahu soal ini, tapi manusia justru tertipu!

Manusia berkomunikasi dengan kata-kata. Dan kata-kata paling beracun adalah nasihat yang merusak tapi diberi embel-embel agama. 

Seperti yang dikatakan Ibnu Rusyd, "Kalau kau ingin menguasai orang-orang bodoh, bungkuslah dusta dan kebatilan dengan agama."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Agustus 2020.

Wabah di Dalam Wabah

Sambil nunggu udud habis.

Dengar-dengar, Anji dan Hadi Pranoto akan dipolisikan, terkait obrolan mereka di YouTube. Itu langkah bagus, tentu saja, agar orang tidak omong seenaknya, yang bikin kekisruhan di masyarakat luas. Yang jadi masalah... bagaimana dengan orang-orang serupa mereka sebelumnya?

Hadi Pranoto mengklaim menemukan obat Covid-19. Terlepas klaimnya bisa dibuktikan atau tidak, ada orang-orang seperti Hadi Pranoto yang juga menyatakan klaim serupa. Jika Hadi Pranoto dipolisikan, apakah hal itu juga akan berlaku surut pada orang-orang seperti dirinya?

Kita mungkin menghadapi masalah di sini. 

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dulu memperkenalkan Herbavid-19, yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19. PT Satgas Lawan Covid-19 DPR bahkan mendaftarkan Herbavid-19 ke BPOM, dan jamu itu sudah dapat nomor registrasi.

Belakangan, Herbavid-19 batal diproduksi massal, karena muncul polemik dan protes keras dari Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia. 

Kita juga tentu ingat ribut-ribut Kalung Kayu Putih (Kalung Eucalyptus) buatan Mentan, yang juga diklaim dapat “mematikan virus corona”.

Gubernur Bali, Wayan Koster, juga punya klaim sendiri terkait penyembuhan corona, yaitu terapi arak Bali. Jika ditarik ke belakang, kita tentu ingat ada orang-orang yang mengklaim “cuaca dapat membunuh virus corona”, dan “doa qunut dapat menjauhkan corona”. 

Semuanya klaim.

Jadi, kita menghadapi masalah etik di sini. Jika Hadi Pranoto—dan Anji—dipolisikan gara-gara klaim mereka, bagaimana dengan orang-orang yang menyatakan klaim tak jauh beda dengan mereka? Bagaimana pun, semua klaim orang-orang itu sama; belum bisa dibuktikan secara faktual.

Kita mungkin tidak suka Anji, sebagaimana kita mungkin pula tidak suka Jerinx, misalnya, terkait ocehan-ocehan mereka, dan sangat berharap mereka mendapat konsekuensi hukum atas ocehannya. Tapi hukum dan keadilan mestinya mengesampingkan persoalan suka atau tidak suka.

Menurutku, semua kekisruhan—misinformasi sampai lahirnya aneka ocehan berbau hoax yang meresahkan masyarakat—sebenarnya berawal dari pemerintah sendiri. 

Sejak awal, pemerintah sudah tidak tegas dalam menghadapi pandemi Covid-19, dan sekarang kita semua terkena dampaknya.

Sejak awal, pemerintah sangat terlihat gamang menghadapi pandemi, dan belakangan ketahuan mereka berusaha “ngadem-ngademi” kita semua, dengan tujuan agar kita tidak panik, dan agar ekonomi tetap lancar. Tujuan yang baik itu, sayangnya, harus dibayar dengan sangat... sangat mahal.

Munculnya klaim-klaim tanpa dasar terkait Covid-19 juga berawal dari pemerintah. Siapa yang pertama kali mengatakan cuaca bisa membunuh virus corona? Dan qunut? Sekali lagi, aku percaya tujuan mereka baik, agar kita tetap damai dan tidak panik. Tapi sekarang kita lihat akibatnya.

Karenanya, Anji sampai Jerinx—dan orang-orang seperti mereka—menurutku hanyalah ekses yang dilahirkan dari ketidaktegasan pemerintah sendiri sejak awal dalam menghadapi pandemi. Pemerintah tidak bisa tegas pada orang-orang itu, karena mereka tidak bisa tegas pada diri sendiri.

Tanpa bermaksud membela Anji atau Jerinx. Jika dua orang itu dipolisikan gara-gara ocehan mereka, artinya pemerintah—dan kita semua—sudah menggunakan standar ganda. Mereka dipersoalkan, tapi orang-orang lain seperti mereka dibiarkan. 

Oh, well, inilah wabah di dalam wabah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2020.

Noffret’s Note: Resesi

Beberapa kali aku mendapati orang ngetwit dengan nada khawatir, "Resesi sudah di depan mata."

Berdasarkan kenyataan yang sekarang terjadi, kekhawatiran itu bisa jadi benar. Efisiensi (maksudnya PHK) mulai terjadi di mana-mana.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Oktober 2019.

Noffret’s Note: Virus Corona

Virus corona, setidaknya, menunjukkan pada kita betapa indahnya hari biasa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Mei 2020.

 
;