Jumat, 26 Februari 2016

Perjuangan Melawan Diri

Pada akhirnya kita akan menyadari,
musuh paling berbahaya tidak jauh di luar sana,
tapi di dalam diri kita sendiri.
@noffret


Musuh kita yang paling berbahaya, sebenarnya, tidak jauh di luar sana. Melainkan di dalam diri kita. Yang mengerikan, musuh itu sering kali tak terlihat. Kalau pun terlihat, kita cenderung menyukai. Karena memang wujudnya mirip diri kita.

Kisah lama tentang hal ini diilustrasikan oleh seorang lelaki yang datang menemui seorang filsuf. Dia datang untuk meminta suatu nasihat. Ketika sampai di rumah sang filsuf, dia melihat sang filsuf sedang mengepel dan menyikat lantai rumah dengan sangat keras, hingga keringatnya bercucuran, sementara tubuhnya basah dan kotor. Wajahnya terlihat kelelahan.

Si lelaki heran menyaksikan itu. Dengan heran pula ia bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?”

Sang filsuf menoleh, dan menyahut, “Aku sedang melawan diriku.”

“Anda sedang... apa?”

Lalu sang filsuf menjelaskan, “Tadi, beberapa orang datang ke sini. Mereka meminta nasihat. Maka aku pun memberikan nasihat yang kupikir baik, dan mereka tampak puas sekali. Ketika mereka pulang, aku merasa sangat hebat, karena bisa membantu orang-orang lain. Benih kesombongan mulai muncul. Maka aku sengaja melakukan ini—mengepel dan menyikat lantai sampai kelelahan—untuk membunuh perasaan sombongku.”

Kesombongan memang penyakit khas manusia—musuh yang tiap malam tidur satu selimut dengan kita. Sebegitu khas, hingga kita pun menganggapnya umum, atau hal biasa. Kita memaklumi orang-orang kaya untuk sombong, sebagaimana kita memaklumi orang-orang pintar yang sombong. Orang biasa menyatakan, “Ya maklumlah dia sombong, namanya juga orang kaya.”

Tetapi, ironisnya, kesombongan sering kali tidak hanya milik mereka yang mungkin “layak” memiliki—perasaan itu bahkan muncul pada orang-orang yang sebenarnya “tidak layak”. Banyak orang tolol yang sombong, karena merasa dirinya pintar. Sama banyaknya orang yang tersesat tapi sombong, karena merasa dirinya paling benar.

Ada tiga macam tingkat kesombongan—kalau boleh dibilang begitu. Yang pertama adalah sombong karena kekayaan, yang kedua adalah sombong karena kecerdasan, dan yang ketiga adalah sombong karena kebaikan.

Yang pertama, sombong karena kekayaan. Ini jenis kesombongan paling rendah. Disadari atau tidak, kekayaan adalah materi yang paling mudah hilang. Orang yang hari ini kaya raya, tidak menutup kemungkinan besok kere dengan berbagai sebab. Karena terserang penyakit yang membutuhkan biaya besar, karena menjadi korban kejahatan, karena kesalahan spekulasi, atau karena berbagai hal yang menyebabkan orang kehilangan kekayaan.

Banyak pula orang miskin yang tiba-tiba menjadi kaya, dan biasanya jenis itulah yang paling tampak songong. Karena warisan, misalnya. Orang yang semula hidup melarat tiba-tiba kaya karena mendapat warisan. Atau karena mendapat uang undian sangat besar, lalu tiba-tiba menjadi jutawan. Atau karena korupsi. Dari yang semula pegawai biasa, tiba-tiba banyak harta. Karena kekayaan mereka diperoleh dengan cara mudah, kepribadian mereka pun biasanya berubah dengan mudah. Yang semula bersahaja tiba-tiba berubah menjadi bangsat.

Padahal, seperti yang disebut tadi, kekayaan adalah materi yang paling mudah hilang. Jangankan kekayaan yang diperoleh secara instan seperti warisan atau undian, bahkan kekayaan yang didapat dengan kerja keras bertahun-tahun pun bisa hilang dalam sekejap. Uang yang saat ini ada di dompet kita, tidak ada jaminan besok masih milik kita. Begitu pula tabungan yang ada di rekening kita, tidak ada jaminan bulan depan masih milik kita. Kekayaan adalah materi yang paling mudah hilang.

Jika untuk sesuatu yang mudah hilang saja manusia bisa sombong, kita pun seperti melihat bahwa manusia memang konyol.

Selain kekayaan, hal serupa yang juga kerap menimbulkan kesombongan adalah keindahan fisik—kecantikan, kemudaan, kekuatan, popularitas, dan semacamnya. Padahal, sebagaimana kekayaan, hal-hal bersifat fisik semacam itu juga tak abadi. Wanita yang cantik hari ini, bisa jadi berubah jelek sepuluh tahun mendatang. Orang-orang yang masih muda dan kuat hari ini, hanya butuh beberapa tahun ke depan untuk menjadi tua dan lemah.

Begitu pun jabatan. Yang saat ini petentang-petenteng karena menjadi pejabat, beberapa tahun yang akan datang bisa pensiun, lalu menjalani hidup bersama post power syndrome. Atau Alzheimer. Atau Parkinson. Atau kolesterol. Atau osteoporosis. Oh, well, sebut apa pun.

Menjadi sombong karena kekayaan, rupa fisik, atau jabatan, adalah jenis kesombongan paling rendah. Karena semua yang disombongkan adalah materi yang bisa hilang sewaktu-waktu. Bahkan pejabat pun bisa kehilangan jabatan tanpa menunggu pensiun. Karena kasus korupsi, misalnya, orang yang jadi menteri bisa tiba-tiba menjadi narapidana dan kehilangan jabatannya. Yang semula sangat dihormati bisa berubah menjadi sasaran caci maki.

Yang kedua adalah sombong karena kecerdasan. Ini jenis kesombongan yang lebih tinggi. Sebagaimana kekayaan, rata-rata orang berhasil mendapat kecerdasan karena usaha yang gigih. Jika kekayaan membutuhkan kerja keras, kecerdasan membutuhkan belajar keras. Karena proses pembelajaran bertahun-tahun, orang yang semula tampak biasa berubah menjadi sangat cerdas, berwawasan, pintar, bahkan bijaksana. Saat sampai di titik itu, sebagian mereka biasanya jadi sombong. Yang dulunya tampak kuper dan gagap, sekarang berubah jadi keparat.

Berbeda dengan kekayaan, kecerdasan adalah materi yang lebih sulit hilang. Orang yang hari ini cerdas, sepuluh tahun yang akan datang kemungkinan tetap cerdas. Bahkan lebih mungkin akan jauh lebih cerdas, jika memang tak berhenti belajar. Karenanya, kesombongan karena kecerdasan adalah jenis kesombongan yang lebih tinggi, daripada kesombongan karena kekayaan. Begitu pula kesombongan karena kompetensi, wawasan, atau kebijaksanaan.

Yang ketiga, kesombongan di tingkat paling tinggi, adalah sombong karena kebaikan. Ini jenis kesombongan paling halus, dan paling tak terlihat. Karenanya, memang, semakin tinggi tingkat kesombongan, wujudnya semakin sulit dikenali. Orang yang sombong karena kaya mudah dikenali. Begitu pun orang yang sombong karena cerdas. Tetapi orang sombong karena kebaikan, biasanya sangat sulit dilihat dan dikenali, bahkan oleh pelakunya sendiri.

Seseorang yang sedang ditimpa kesulitan datang kepada kita, dan meminta bantuan. Dengan segala kebaikan, kita membantunya sepenuh hati, sekuat tenaga, dengan segenap keikhlasan. Kita membantu mengatasi masalah yang melilitnya, dan orang itu pun sangat berterima kasih atas bantuan yang kita berikan. Apa yang terjadi setelah itu?

Tidak menutup kemungkinan, tanpa disadari, diam-diam kita merasa, “Aku orang yang baik, karena telah menolongnya. Dia pasti masih tertimpa kesulitan jika tidak kutolong.”

Perasaan semacam itu mungkin sangat manusiawi, toh kenyataannya kita memang sudah menolongnya, dan kita memberi pertolongan dengan keikhlasan, tanpa dibayar, dan tanpa mengharap imbalan. Tetapi, ketika perasaan semacam itu muncul, saat itu pula iblis bernama kesombongan mencengkeramkan cakarnya ke jiwa kita. Mungkin kita hanya menganggapnya sebagai kebanggaan, tapi kebanggaan sering kali hanya dibatasi sehelai rambut dari kesombongan.

Merasa diri orang baik karena telah melakukan kebaikan, sering kali memunculkan kesombongan. Jika belum terjadi, setidaknya benih kesombongan mulai berkecambah. Satu kali melakukan kebaikan, kita merasa menjadi orang baik, dan benih mulai muncul. Melakukan kebaikan lain, dan kita merasa lebih baik, beberapa benih mulai tumbuh, dan begitu seterusnya. Tak terlihat, begitu halus, bahkan sering kali tak terasa sebagai kesombongan, tetapi diam-diam kita telah menjadi sombong.

Bukan hanya kebaikan kepada sesama manusia yang bisa menjadikan orang sombong, bahkan kebaikan kepada Tuhan pun kadang juga menerbitkan kesombongan. Orang yang beribadah siang malam, yang membaca kitab suci dan berzikir tanpa henti, yang mengingat Tuhan setiap waktu, tidak menutup kemungkinan untuk juga merasa sombong. Mungkin merasa menjadi hamba yang lebih baik dari manusia lain, mungkin merasa lebih suci dari orang lain. Itu pun kesombongan.

Karenanya pula, Imam Al-Ghazali sampai frustrasi menghadapi kenyataan itu. “Sungguh sulit mengenyahkan kesombongan,” ujar Al-Ghazali. “Karena bahkan tak terlihat pun, kesombongan bisa tumbuh diam-diam.”

Bahkan tak terlihat pun, kesombongan bisa tumbuh diam-diam. Itulah musuh manusia paling besar, yang paling sulit dihilangkan. Dan semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit dikenali, karena wujudnya semakin halus, semakin tak kasatmata, hingga pemiliknya sendiri kadang tidak mengenali dan mengetahuinya.

Ada banyak alasan untuk sombong. Oh, well, kita bahkan bisa menemukan berbagai alasan untuk sombong. Yang uangnya pas-pasan saja kadang sombong, apalagi yang benar-benar kaya. Maka kita pun sibuk pamer apa pun di mana saja—dalam aneka foto, dengan berbagai status di sosial media. Yang sedang beli ini dan beli itu, yang sedang makan di restoran mahal, yang sedang menginap di hotel mewah, atau yang sedang berlibur ke luar negeri.

Yang sedikit pintar pun kadang sombongnya keterlaluan, apalagi yang benar-benar pintar. Maka kita pun memamerkan segala pengetahuan yang kita miliki dengan sangat agresif, lalu menyerang siapa pun yang kita anggap berbeda dengan kita. Tidak cukup menyalahkan, kita bahkan sampai mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda pemahaman, karena kita merasa paling pintar, paling benar, tidak ada yang mengalahkan, tidak ada kebenaran lain.

Yang baru beribadah dan berbuat baik secukupnya saja bisa sombong, apalagi yang bertafakur siang malam dan berbuat kebaikan besar. Maka kita pun sibuk memamerkan segala ibadah dan kebaikan yang kita lakukan, hingga rasanya masih kurang jika ibadah dan kebaikan kita belum diliput media. Seiring dengan itu, kita pun sibuk mengeluarkan fatwa, seolah hanya kita yang tahu agama. Tiba-tiba kita merasa paling alim dan paling suci, bahkan diam-diam kita mungkin merasa diri sebagai nabi. Yang benar dan lurus hanya diri kita, orang lain salah semua.

Akhirnya, mungkin kita perlu bertanya, untuk tujuan itukah kita menjalani hidup sebagai manusia?

Mau Mengalahkan Saya? Percuma!

Karena bahkan saya sendiri pun belum mampu mengalahkan saya.

Jika Gandalf dan Magneto Bertarung, Siapa yang Akan Menang?

Coba tanya Ian MacKellen.

Keimanan yang Hening

Ada yang pecah di larut malam. Di langit, bunga-bunga api menyambut
dentum petasan. Seorang bocah merindukan Ramadan yang hening dan tenang.
—Twitter, 17 Juni 2015

Orang-orang mengatakan agar banyak beribadah di bulan Ramadan.
Tapi mereka terlalu bising, hingga aku tak pernah bisa khusyuk beribadah.
—Twitter, 2 Juli 2015

Di masa lalu, Ramadan adalah bulan khusyuk penuh keheningan.
Sekarang, Ramadan adalah bulan pesta TOA dan petasan.
—Twitter, 15 Juli 2015

“Apa yang ada di surga, tapi tidak ada di dunia?” |
“Banyak. Salah satunya Keheningan. Keheningan dengan K besar.”
—Twitter, 24 Mei 2015

Perbedaan paling prinsip antara dunia dan surga adalah...
di surga tidak ada suara bising TOA yang memekakkan telinga.
—Twitter, 26 Mei 2015

Sejujurnya, aku lebih mampu menahan haus dan lapar,
daripada menahan emosi karena terganggu bising suara TOA.
—Twitter, 15 Juli 2015

Anak-anak berteriak di jalanan, para remaja menyulut petasan,
orang-orang dewasa mengumbar kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2015

Masalah kebanyakan anak-anak adalah ketidaktahuan bahwa kegembiraan
bisa berlangsung dalam keheningan, tanpa teriak, tanpa petasan.
—Twitter, 21 Juni 2015

Masalah kebanyakan orang dewasa dan orang tua, mungkin,
kurangnya kesadaran bahwa keimanan bisa bersanding dengan keheningan.
—Twitter, 21 Juni 2015

Aku menemukan keyakinan dalam hening. Karenanya aku heran
melihat orang menawar-nawarkan keyakinan dalam teriakan bising.
—Twitter, 12 Juli 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Sabtu, 20 Februari 2016

Kesadaran yang Terlambat

Pengalaman membuktikan bahwa sebagian besar waktu
sebenarnya diboroskan bukan dalam hitungan jam, tapi menit.
Sebuah ember yang dasarnya berlubang, juga akan menjadi
sama kosong seperti ember yang ditendang.
Paul J. Meyer


Pada awal 2015 (satu tahun yang lalu), di buku agenda, saya telah menulis setumpuk hal yang akan saya lakukan dalam setahun mendatang—menyangkut pekerjaan, dan hal-hal lain dalam kehidupan pribadi. Bisa dibilang, daftar yang saya susun adalah daftar penting, karena berhubungan dengan hal-hal yang memang harus saya lakukan. Dengan perhitungan waktu yang cukup akurat, saya akan mampu melakukan, mengerjakan, dan menyelesaikan banyak hal dalam daftar tersebut.

Tetapi, ironisnya, sampai setengah tahun kemudian, saya belum menghasilkan apa pun!

Kita mungkin pernah—atau bahkan sering—menghadapi kenyataan semacam itu. Di awal tahun, biasanya, kita menyusun resolusi untuk satu tahun ke depan, menumpuk daftar yang akan kita lakukan, atau yang akan kita raih. Tetapi, seiring bulan demi bulan berjalan, daftar resolusi kita hanya ada di atas kertas. Terlihat hebat, tapi tidak ada realisasinya. Mengapa hal semacam itu bisa terjadi?

Saya pun bertanya-tanya pada diri sendiri. Mengapa saya pede menulis setumpuk daftar penting yang akan saya lakukan, tapi nyatanya tidak melakukan apa-apa? Padahal, ketika menulis daftar itu, saya merasa sangat yakin bisa melakukannya. Dalam setahun, saya memiliki waktu sebanyak 365 hari, siang malam, yang bebas digunakan untuk melakukan semua yang ingin dilakukan. Tetapi, sampai setengah tahun, belum juga melakukan apa pun.

Kenyataannya, memang, harapan sering tak sesuai kenyataan. Energi yang seharusnya kita curahkan untuk mewujudkan beberapa hal penting yang seharusnya dilakukan, sering kali justru tersedot oleh hal-hal remeh dan tidak penting yang selalu menyerbu kehidupan kita setiap hari. Semuanya berlangsung tanpa terasa, hingga kemudian waktu habis, satu tahun selesai, dan kita belum melakukan apa pun.

Kenyataan itu seperti menampar kesadaran saya.

Karena mulai menyadari hal itu, saya pun berupaya introspeksi, mengoreksi kesalahan yang mungkin telah saya lakukan, hingga hidup saya berjalan tanpa menghasilkan apa pun. Hasilnya, berdasarkan koreksi, ada banyak hal yang menyita waktu, energi, dan pikiran, tanpa saya sadari. Dan hal itu berlangsung dari hari ke hari, waktu ke waktu, hingga kemudian terakumulasi selama setahun.

Dalam hidup, kita sering berkeinginan mencapai sesuatu. Keinginan itu disebut semangat. Semangat untuk mengubah sesuatu dalam hidup kita, semangat untuk mencapai sesuatu, semangat untuk melakukan sesuatu, dan lain-lain. Tetapi, ternyata, semangat semacam itu tidak permanen ada dalam diri kita. Pada waktu menyusun resolusi awal tahun, mungkin semangat masih menggunung. Tetapi, seiring berjalannya waktu, semangat yang besar itu terkikis perlahan-lahan, tanpa kita sadari.

Semangat di dalam diri kita adalah energi positif. Ketika semangat itu terbentuk pertama kali, kita merasa kuat, merasa mampu, merasa berenergi. Tetapi, ketika hari mulai berjalan, dan kita menghadapi aneka problema hidup, semangat positif itu terkikis perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya habis. Ketika kita kemudian menyadari belum melakukan apa pun sebagaimana yang kita inginkan dalam resolusi, semangat itu telah hilang sama sekali.

Mengapa semangat yang begitu bagus bisa hilang tanpa kita sadari? Dalam Rediscovering the Greatest Human Strength, Roy Baumeister menjelaskan bahwa semangat positif yang kita miliki tak jauh beda dengan cadangan air dalam tangki—punya jumlah terbatas. Dan cadangan itu akan terkuras ketika kita berhadapan dengan tantangan sehari-hari yang selalu datang dalam kehidupan. Dari jalanan macet, kesibukan di sekeliling kita, sampai berita-berita buruk yang kita baca, lihat, dan dengar.

Setiap kali kita menghadapi sesuatu yang menguras emosi, saat itu juga kita mengambil cadangan semangat yang kita miliki. Menghadapi kemacetan, kita menguras emosi. Menghadapi internet lemot, kita menguras emosi. Menghadapi tugas menumpuk, kita menguras emosi. Menghadapi berita buruk di koran atau televisi, kita menguras emosi. Menghadapi hal-hal remeh tapi menjengkelkan di Twitter, kita juga menguras emosi.

Bayangkan sebanyak apa emosi yang harus kita gunakan untuk menghadapi hal-hal semacam itu. Tampaknya sepele, tidak terasa, tapi berlangsung setiap hari, setiap saat, setiap waktu, hingga tanpa terasa pula cadangan semangat kita kian menipis, terus terkikis, hingga akhirnya habis. Ketika satu tahun berlalu, kita tidak melakukan apa pun. Kemudian bengong, dan bertanya-tanya, “Apa yang telah kulakukan...?”

Ketika sampai pada kesadaran semacam itu, saya pun memahami bagaimana waktu saya terbuang dan habis tanpa saya sadari. Ketika asyik di timeline Twitter, menit demi menit berjalan tanpa terasa. Ketika menonton video di YouTube, jam-jam sering kali terbuang tanpa terasa. Ketika asyik berselancar di internet, waktu sering kali berjalan tanpa terasa. Waktu saya hilang. Tapi sesungguhnya bukan hanya waktu yang hilang, namun juga semangat saya, energi saya. Ending-nya, saya tidak melakukan apa-apa.

Saya menyadari, saya yang dulu jauh lebih produktif dari saya yang sekarang. Dulu, saya bisa menulis lebih banyak, bisa membaca buku lebih banyak, dan bisa melakukan lebih banyak hal bermanfaat dalam hidup. Sekarang, saya menulis dalam jumlah sedikit, membaca dalam jumlah sedikit, dan melakukan hal-hal lain yang bermanfaat dalam jumlah sedikit.

Mengapa bisa begitu...?

Jika saya introspeksi, sekali lagi, salah satu hal yang sangat menyita waktu dan energi adalah aktivitas di internet—membaca timeline Twitter, menonton video di YouTube, dan semacamnya. Padahal saya tidak seaktif orang-orang lain yang memiliki banyak akun sosial media. Tetapi bahkan seperti itu pun, waktu saya sudah tersita banyak. Karena itu, saya pun memaklumi ketika sastrawan Eka Kurniawan sampai menutup hingga menghapus akun Twitter-nya, karena menyadari banyaknya waktu yang tersita.

Kini, berdasarkan kenyataan dan kesadaran semacam itu pula, saya terpaksa harus membatasi kebiasaan-kebiasaan yang hanya akan menguras emosi, waktu, dan energi. Dan di waktu-waktu mendatang, mungkin saya akan semakin mengurangi kebiasaan-kebiasaan tersebut, agar bisa lebih produktif. Saya kangen saat-saat bisa menulis puluhan halaman setiap hari. Saya kangen bisa mengkhatamkan banyak buku seperti dulu. Saya pun kangen bisa mengerjakan banyak hal bermanfaat yang memberi kepuasan batin.  

Mungkin kesadaran ini telah terlambat. Tetapi, saya pikir, jauh lebih baik terlambat daripada sama sekali tidak pernah menyadari.

Soal Jenang Gulo

Seorang bocah berkata, “Apakah kau suka jenang gulo?”

“Ya,” saya menjawab. “Aku pernah beberapa kali makan jenang gulo.”

Dia tampak ragu-ragu, lalu kembali bertanya, “Apakah menurutmu, jenang gulo termasuk karunia alam semesta?”

Saya tersenyum. “Setiap manusia belum bisa dibilang lengkap hidupnya, jika belum pernah makan jenang gulo. Karena jenang gulo adalah karunia alam semesta.”

“Oh, syukurlah.” Dia tampak lega. Lalu dia menatap saya, dan berkata, “Orangtuaku berjualan jenang gulo.”

“Kalau begitu, kau anak yang beruntung.”

“Uhmm... sebelumnya, aku tidak pernah berpikir begitu.”

“Sekarang kau bisa mulai berpikir begitu.”

Kisah Hidup Sepanjang 140 Karakter

Dia hidup bahagia di Twitter.

Tamat.

Senin, 15 Februari 2016

Warisan Luka (2)

Forgiveness is between them and God.
It’s my job to arrange the meeting.
Man on Fire


Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Berdasarkan percakapan dengan bibinya siang itu, Amran sempat berteriak pada ayahnya yang terbaring sekarat, menanyakan apa yang dulu dilakukan ayahnya. Amran ingin ayahnya menjelaskan siapa orang yang dulu bermasalah dengannya, agar Amran bisa menemui keluarganya sekarang. Tapi ayah Amran tidak menjawab, dia tidak mampu menjawab. Dia telah menjadi semacam mayat hidup—masih mampu merasa, melihat, mendengar, tapi tak bisa melakukan apa pun.

Akhirnya, berdasarkan informasi dari sang bibi, Amran mulai melacak ke masa lalu, mencari identitas orang-orang yang dulu bermasalah dengan ayahnya. Melalui cerita tetangga dan famili, akhirnya Amran mengetahui siapa orang yang dimaksud bibinya. Orang yang tanahnya dulu dirampas ayahnya memang telah meninggal, begitu pula istrinya. Tapi orang itu punya satu anak yang masih hidup, bernama Busli. Nama itulah yang kemudian membawa Amran kepada saya, hingga dia menceritakan semua kisah ini.

Dunia ini sempit, kalau dipikir-pikir. Dan Amran tahu, saya mengenal Busli. Dia berharap saya bisa mempertemukan mereka secara baik-baik. Tetapi, sayangnya, Amran tidak tahu siapa Busli.

....
....

Busli adalah lelaki lajang yang antisosial, dan—seperti yang telah saya ceritakan di sini—memiliki perangai yang mengerikan. Saya mengenal Busli melalui Firman, yang pernah saya ceritakan di sini. Sebelum Firman bekerja dengan saya, dia bekerja dengan Busli. Firman dan Busli bersabahat, lalu saya masuk ke dalam persahabatan mereka. Busli tinggal sendirian di sebuah rumah mirip benteng, di kompleks yang terasing. Karena itulah, orang kesulitan menemuinya secara langsung, kecuali saling kenal.

Berbeda dengan Amran yang hangat dan ramah, Busli adalah sosok yang dingin. Bahkan, saya tahu, dia juga pendendam. Busli adalah tipe orang yang dapat menikam seseorang hari ini, karena suatu masalah yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Dan dia mengakui hal itu terang-terangan. Saya bahkan tahu dia berkali-kali berurusan dengan polisi akibat tindak kekerasan yang dilakukannya, meski akhirnya dia selalu dilepas. Semboyan hidupnya adalah kata-kata Don Corleone, “Pembalasan dendam adalah makanan lezat jika disajikan dalam keadaan dingin.”

Firman, orang yang sangat dekat dengan Busli, pernah menyatakan bahwa Busli sebenarnya orang baik. “Selama bertahun-tahun menjadi temannya,” ujar Firman suatu kali, “aku mengenal Busli sebagai orang baik, setia, bisa dipercaya, dan teman yang selalu bisa diandalkan. Tetapi, kalau kau mencari masalah dengannya, kau bisa mengucap selamat tinggal pada hidupmu.”

Kepada orang itulah, Amran—atau ayah Amran—punya masalah. Dari cerita Amran, saya pun akhirnya tahu bahwa Busli adalah anak orang yang dulu tanahnya dirampas ayah Amran. Orangtua Busli memang telah lama meninggal, tapi Busli tidak pernah menceritakan kasus itu, khususnya kepada saya.

Ketika Amran menceritakan kisah itu, dan meminta saya mempertemukannya dengan Busli, saya mengkhawatirkan satu hal. Meski Busli tidak pernah menceritakan kasus itu kepada saya, tapi saya yakin dia masih mengingatnya, dan tidak menutup kemungkinan masih menyimpan dendam pada keluarga Amran. Jadi, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, saya pun berkata pada Amran biar saya menemui Busli sendirian dulu, untuk membicarakan hal itu.

Amran setuju.

Jadi, suatu malam, saya pun menemui Busli, dan kami kemudian terlibat pembicaraan kasus itu. Saya menceritakan semua yang terjadi pada keluarga Amran, selengkap dan sedetail mungkin, sampai keputusan Amran yang ingin menemui dan meminta maaf kepadanya. Seperti yang sudah saya duga, Busli tak terpengaruh. Dia justru berkata dengan dingin, “Jadi, orang tua itu sekarang sekarat? Kalau begitu, mungkin aku akan menemuinya di neraka.”

Dari Busli pulalah, akhirnya saya memahami bagaimana kasus perampasan tanah itu terjadi. Kisah berikut ini telah dikonfirmasi oleh Amran yang membenarkan, melalui kesaksian beberapa orang yang dulu menyaksikan peristiwa tersebut.

....
....

Waktu itu Busli masih SMP. Keluarga Busli menempati sebuah rumah di atas tanah milik ayahnya. Selama bertahun-tahun tidak ada masalah yang terjadi, karena kenyataannya memang keluarga Busli memiliki tanah dan membangun rumah secara sah. Sampai kemudian, tiba-tiba, ayah Amran menggugat tanah mereka. Entah bagaimana caranya, ayah Amran menunjukkan seritifikat kepemilikan tanah milik ayah Busli, dan menuntut agar keluarga Busli pergi dari sana.

“Ayahku orang bodoh, juga miskin,” ujar Busli saat menceritakan kisah itu. “Meski dia telah memiliki tanah beserta rumah itu secara sah, tapi dia tidak pernah terpikir untuk membuat sertifikat. Dia orang baik dan jujur, yang percaya bahwa orang lain sebaik dan sejujur dirinya. Tapi rupanya dia keliru. Di dunia ini ada bangsat-bangsat yang bisa merampas milikmu, karena kau bodoh dan miskin. Itulah yang terjadi pada ayahku.”

Jadi, seperti yang diceritakan bibi Amran, ayah Amran waktu itu bersekongkol dengan beberapa pejabat terkait, hingga mampu menerbitkan sertifikat palsu atas nama ayah Amran. Dengan sertifikat itu, keluarga Busli terusir dari tanah dan rumahnya sendiri, dan sejak itu tanah mereka dikuasai ayah Amran. Oleh ayah Amran, tanah itu lalu dijual pada orang lain.

Setelah terusir dari tanah dan rumahnya sendiri, keluarga Busli mengontrak sebuah rumah petak sangat sederhana. Ayah Busli bekerja sebagai buruh pabrik dengan upah pas-pasan. Tidak lama setelah itu, ayah Busli meninggal, bertepatan dengan lulusnya Busli dari SMP. Busli mengatakan, “Ayahku meninggal bukan karena sakit atau karena tua. Dia meninggal karena tekanan batin akibat miliknya dirampas orang lain.”

Sampai di sini, ada hal penting yang juga perlu diungkapkan. Setelah terusir dari tanah mereka sendiri, ayah Busli sering tertekan. Tentu saja dia marah karena miliknya dirampas orang lain. Tetapi dia tidak sanggup melawan orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. Dorongan kemarahan itu lalu mengubah perangainya, yang semula baik menjadi buruk. Sejak itu pula, Busli sering dianiaya ayahnya.

Untuk hal itu, Busli menyatakan, “Aku tahu, ayahku tidak membenciku—sebelumnya, dia bahkan ayah yang baik. Tetapi, dia marah pada orang-orang yang telah merampas miliknya. Karena dia tidak mampu membalas keparat-keparat yang menjahatinya, dia melampiaskan kemarahannya kepadaku.”

Jadi, sejak itu pula, Busli menjalani hari demi hari dengan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan ayahnya. Busli masih dapat mengingat saat kepalanya bocor dihantam plastik berisi kerikil, saat ayahnya tiba-tiba marah suatu hari. Busli juga masih ingat segala luka dan lebam yang pernah ada di tubuhnya, akibat penganiayaan ayahnya.

Busli mengakui, dia membenci ayahnya karena hal itu. Tetapi, dia juga menyadari, bahwa ayahnya melakukan semua kekerasan dan kejahatan itu karena kemarahan pada orang lain yang tak bisa dilampiaskan. Dengan segala kepolosan sebagai bocah waktu itu, Busli berpikir, “Aku adalah korban dari sebuah keadaan terkutuk.”

Setelah ayahnya meninggal, Busli tidak melanjutkan pendidikan, karena tidak ada biaya. Dia membantu ibunya menyambung hidup. Ibu Busli bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tiap sore, ibunya juga menjajakan kue ke kampung-kampung, sementara Busli bekerja apa adanya. Empat tahun setelah ayahnya meninggal, ibunya menyusul. Sejak itu pula, Busli sebatangkara.

Busli mengenang saat-saat itu dengan getir, “Waktu itu, semua familiku menutup mata dan memalingkan muka, seolah tak mengenalku.”

Sendirian, tanpa pengetahuan dan pengalaman, dan tanpa orangtua atau keluarga yang mengayomi, Busli kemudian hidup di jalanan. Dia melakukan apa saja di jalanan demi bisa makan—menjadi pengamen, karnet angkot, calo, juru parkir, sampai mengemis.

Selama hidup di jalanan itu pulalah, Busli mulai mengenal dan mempelajari kekerasan dalam arti sebenarnya. Dia menyadari tidak bisa mengandalkan siapa pun, jadi dia mengandalkan diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, dia pun tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya pemberani, tapi juga berbahaya. Dan karena latar belakang hidupnya yang amat getir—dengan segala luka dan amarah—dia juga tumbuh menjadi sosok pendendam.

Jadi, selama bertahun-tahun, dia terus bertahan hidup sendirian, dan pengalaman itu pulalah yang kemudian mempengaruhi bahkan membentuk kepribadian Busli hingga seperti sekarang—dingin, pendendam, berbahaya. Dia pernah mengatakan, “Tidak ada yang kutakuti di dunia ini. Aku tidak punya siapa pun—tidak orangtua, tidak saudara, tidak famili, tidak keluarga. Kesendirian ternyata memungkinkanku untuk melakukan apa pun, tanpa harus mengkhawatirkan siapa pun.”

Selama enam tahun Busli menjalani hidup yang keras di jalanan, sampai suatu peristiwa terjadi, dan mengubah nasibnya.

Waktu itu, Busli terlibat perkelahian di jalanan. Singkat cerita, Busli menikam lawannya, dan kasus itu masuk kantor polisi. Sebenarnya, Busli sudah bolak balik masuk kantor polisi, tapi sebelumnya kasus-kasus yang terjadi bisa dibilang ringan. Kasus penikaman itu merupakan yang terberat, dan Busli harus mendekam di penjara hingga lima bulan.

Sekeluar dari penjara, seseorang menemuinya. Waktu itu, Busli adalah bocah berusia 20-an tahun, tidak punya orangtua, tidak punya keluarga, tidak memiliki teman, dan tidak berhubungan dengan famili mana pun. Dia benar-benar bocah sebatangkara, dalam arti sesungguhnya, dan satu-satunya “keahlian” yang ia miliki hanyalah bertahan hidup di jalanan.

Kepada Busli, orang yang menemuinya menawari pendidikan dan hidup yang layak. “Kalau kau mau,” ujar orang itu, “kami akan menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi, dan kami akan membiayai kehidupanmu.”

Tidak ada makan siang gratis, pikir Busli. Jadi, dia pun bertanya, “Dan apa yang harus kulakukan?”

Orang yang menemuinya menjawab, “Aku mewakili sebuah institusi, dan institusi itulah yang akan membiayaimu. Jadi, kalau kau menerima tawaranku, satu-satunya hal yang perlu kaulakukan hanyalah bekerja di institusi kami, begitu kau lulus dari pendidikanmu.”

Busli kembali bertanya, “Kenapa aku harus percaya kepadamu?”

“Kami tahu siapa kau, Nak. Kami tahu semua yang terjadi denganmu.” Lalu orang itu menjelaskan seluruh kehidupan Busli dengan lancar, dari kecil sampai besar, dengan segala peristiwa dan kejadian, hingga Busli benar-benar terkesan.

Peristiwa itu menjadi titik balik dalam kehidupan Busli. Dia lalu masuk SMA, melanjutkan pendidikannya yang terputus, hingga kuliah di perguruan tinggi. Seperti janji sebelumnya, dia lalu bekerja di institusi yang telah membiayainya. Di institusi itulah, dia bertemu dan kenal dengan Firman, hingga mereka bersahabat sampai sekarang. 

....
....

Ketika saya menyatakan bahwa Amran ingin menemuinya, Busli mengatakan, “Aku tidak punya masalah dengan Amran, temanmu itu. Toh dia juga belum lahir saat kasus itu terjadi. Tapi aku masih mendendam pada ayahnya, karena dialah penyebab kehancuran keluargaku. Setelah mendengar ceritamu, kupikir dia telah mendapat balasan setimpal.”

Saya bertanya, “Jadi, kau tidak bersedia memaafkan ayah Amran?”

Busli tertawa sumbang. “Yang benar sajalah! Kalau kau menempati posisiku, dan mengalami kehidupan seperti yang kujalani, apakah kau akan memaafkannya?”

Saya terdiam.

Ketika akhirnya Busli dan Amran bertemu, Busli berkata kepada Amran, “Aku tidak punya masalah denganmu, tapi ayahmu punya masalah denganku. Kalau kau meminta aku memaafkannya, terus terang aku tidak bisa. Aku tidak akan pernah memaafkan ayahmu, bahkan kelak sampai di neraka. Oh, kau tentu boleh marah kepadaku, dan itu hakmu. Tapi yang dilakukan ayahmu telah begitu merusakku, hingga aku tak punya apa pun selain luka, dendam, dan kepahitan.”

....
....

Saat saya menulis kisah ini, saya membayangkan Amran dan Busli. Mereka, sebenarnya, anak-anak tak bersalah... sama seperti anak-anak lain yang terlahir murni. Tapi orangtua mereka mewariskan sesuatu—bukan hanya gen dan darah daging, melainkan juga sesuatu yang kemudian membentuk bahkan mempengaruhi takdir mereka.

Orangtua Amran mewariskan luka, begitu pula orangtua Busli. Ayah Amran mungkin mengira perbuatan yang ia lakukan puluhan tahun lalu tidak akan meninggalkan bekas apalagi dampak. Tapi rupanya dia keliru. Sesuatu yang ia rampas dari kehidupan orang lain kemudian berbalik, dan alam semesta merampas apa pun miliknya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Bukan hanya dia yang kemudian menanggung akibatnya, tapi juga anak-anaknya yang sebenarnya tak bersalah.

Begitu pula orangtua Busli—sama mewariskan luka meski dari sudut berbeda. Busli, seperti anak-anak murni yang lain, tidak dilahirkan untuk menjadi sosok yang keras apalagi pendendam. Tapi luka yang diwarisi dari orangtuanya kemudian membentuk dirinya, hidupnya, dan pikirannya. Seperti yang dikatakannya kepada Amran, “...yang dilakukan ayahmu telah begitu merusakku, hingga aku tak punya apa pun selain luka, dendam, dan kepahitan.”

Jika Busli dan Amran di masa depan punya anak, saya bertanya-tanya... akan seperti apakah anak-anak mereka kelak?

Warisan Luka (1)

Jangan sampai tetesan air hujan dari genteng rumahmu
jatuh ke tanah milik orang lain.
Al-Hadist


Seperti yang telah saya janjikan pada catatan sebelumnya (Jiwa yang Terluka), catatan ini akan mengungkap latar belakang dan kisah hidup Busli, hingga menjadi sosok yang sangat berbahaya, bahkan mengerikan. Tetapi, untuk tujuan itu, kita harus menengok terlebih dulu kehidupan seorang lelaki lain, bernama Amran. 

Amran dan Busli tidak saling kenal. Tetapi, melalui Amranlah saya kemudian tahu kisah panjang kehidupan Busli di masa lalu, hingga mewujud menjadi sosok seperti yang saya kenal sekarang.

Kisah ini melibatkan dua pihak yang saling berseberangan, namun keduanya telah mengizinkan saya untuk menulis kisah mereka. Meski begitu, untuk menghormati privasi, semua nama dan identitas akan disamarkan. Kisah ini akan mengungkapkan sesuatu—dan banyak pelajaran—yang mungkin belum pernah kita bayangkan.

....
....

Amran adalah lelaki yang tumbuh dalam keluarga berkecukupan. Sedari kecil, Amran bisa dibilang tidak pernah mengalami masalah. Dia bersekolah dengan baik sampai perguruan tinggi, lalu membuka usaha mandiri yang mampu menopang kehidupannya sebagai lajang. Di lingkungan pergaulan, dia dikenal lelaki yang baik. Sebagai temannya, saya pun mengenal Amran sosok menyenangkan, toleran, dan ramah.

Amran adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik Amran—satu lelaki dan satu perempuan—masih kuliah dan masih sekolah. Dalam kehidupan keluarga, saudara, bertetangga, dan hubungan lain, bisa dibilang Amran tidak mengalami masalah apa pun. Semua terlihat baik-baik saja. Ekonomi berkecukupan, hubungan dengan orang lain relatif baik, dan sejauh ini tidak pernah terjadi masalah besar apa pun.

Amran juga menjalin hubungan dengan seorang perempuan, dan mereka telah berniat untuk menikah dalam beberapa tahun mendatang, setelah bisnis Amran berjalan mantap. Sampai di sini, semua terlihat baik-baik saja... hingga kemudian terjadi sesuatu yang menjungkirbalikkan segalanya.

Suatu hari, ayah Amran jatuh sakit. Mula-mula, keluarga menganggap itu sakit biasa—penyakit khas orang tua. Tapi sakit ayah Amran makin hari makin buruk, dan terus memburuk. Semula, mereka masih bisa menanggung biaya pengobatan. Tetapi, lama-lama, seiring makin serius penyakit, biaya pengobatan yang dibutuhkan semakin besar, dan tabungan serta kekayaan mereka tak sanggup lagi menopang.

Sejak itulah, Amran mulai menggunakan uang pribadi untuk membantu pengobatan ayahnya, sekaligus membantu membiayai adiknya yang masih sekolah dan kuliah. Tetapi, sekuat apa pun Amran berusaha, tetap saja ada batasnya. Ibu Amran tidak bekerja, karena memang bisa dibilang mereka menjalani hidup sebagai orang kaya.

Lalu kekayaan keluarga mulai dijual satu per satu.

Orang tua Amran memiliki dua rumah yang dikontrakkan pada orang lain. Karena kebutuhan pengobatan dari waktu ke waktu, dua rumah itu akhirnya dijual. Tetapi itu pun belum cukup, sampai kemudian mobil keluarga ikut terjual, demi menutup biaya pengobatan.

Seiring berjalannya waktu, barang-barang keluarga terus dilepas dan dijual, dilepas dan dijual, dilepas dan dijual, sampai benar-benar habis. Bahkan sepeda motor yang biasa digunakan adik-adik Amran untuk sekolah dan kuliah juga ikut terjual. Adik Amran yang masih sekolah sekarang naik angkot, sementara adiknya yang kuliah terpaksa drop out karena tidak ada lagi biaya.

Tapi bencana itu belum selesai.

Rumah orang tua Amran yang semula indah dan lengkap dengan berbagai barang kebutuhan, kini mulai kosong. Mobil dan sepeda motor telah dijual, dan perlahan-lahan perabotan di dalamnya ikut melayang. Barang-barang berharga telah dijual dan digadaikan, sementara tabungan terkuras habis. Sebagai anak, Amran bahkan telah mengorbankan uang miliknya untuk membantu pengobatan ayahnya, hingga bisnisnya terhenti akibat kehabisan modal.

Klimaksnya terjadi, ketika akhirnya orang tua Amran menjual rumah tempat tinggal mereka, dan pindah ke rumah kakek Amran (kakek dari pihak ayah). Rumah milik leluhur itu ditinggali adik perempuan ayah Amran (bibi Amran) yang telah menjanda. Jadi, sejak itu, orang tua Amran beserta tiga anaknya—Amran dan dua adiknya—hidup di rumah warisan kakek mereka.
 
Kehidupan kadang memberi kejutan tak terduga, dan kejutan yang terjadi bisa sangat mengerikan. Keluarga Amran yang semula menjalani kehidupan tenang dan tenteram, berubah jungkir balik tak karuan dalam waktu singkat. Amran mengaku, dia sangat menderita dalam keadaan itu. Bagaimana pun, dia anak tertua. Dua adiknya belum bisa diharapkan, sehingga Amranlah yang harus memikirkan segalanya.

Tetapi penderitaan Amran belum selesai. Pacarnya, yang melihat keadaan Amran makin tak karuan, memilih memutuskan hubungan. Sementara itu, kondisi ayahnya makin tidak jelas, sedangkan seluruh barang milik keluarga telah habis terjual. Ayah Amran yang semula dirawat di rumah sakit terpaksa harus pulang, dan sejak itu dia terbaring di ranjang rumah—tidak hidup, tidak mati—sementara keluarganya harus kebingungan setiap hari untuk menyambung hidup.

Mereka telah jatuh miskin. Kalau saja tidak ada rumah tinggalan sang kakek, mereka bahkan tidak tahu harus tinggal di mana. Sementara itu, Amran juga terpaksa kehilangan usahanya, akibat uang miliknya telah habis, sementara tenaga dan pikirannya terus terkuras untuk memikirkan masalah keluarga. Dia dan keluarganya sudah tidak punya apa pun, karena telah kehilangan segalanya.

Suatu siang, saat rumah kebetulan sepi, Amran bercakap-cakap dengan bibinya. Bibi Amran adalah wanita berusia 50-an, lemah lembut dengan sikap menenangkan. Dia satu-satunya orang dekat keluarga Amran dari pihak ayah, karena ayah Amran hanya punya satu adik dan tidak punya kakak.

Bibi Amran berkata, “Sebagai saudara ayahmu, aku jauh lebih mengenal ayahmu, daripada kau mengenal ayahmu. Aku tahu seperti apa saat dia masih kecil—kami tumbuh bersama—dari remaja hingga dewasa. Aku mengenal ayahmu seutuhnya, karena dia kakakku.”

Semula, Amran tidak paham maksud bibinya mengatakan itu. Tapi perlahan-lahan dia mulai tahu ke arah mana pembicaraan itu.

Sang bibi melanjutkan, “Meski aku adiknya, aku tidak menutup mata dari beberapa kekurangan yang mungkin dimiliki kakakku yang sekarang jadi ayahmu. Dia bukan orang sempurna. Meski aku tahu dia memiliki banyak kelebihan, tapi dia juga tidak lepas dari kekurangan. Saat masih muda, dia melakukan sesuatu yang tak terpuji. Pada waktu itu, aku bersama keluarga telah berusaha menegur dan mengingatkannya, bahwa perbuatan yang ia lakukan sangat tercela. Tapi dia tidak menghiraukan kami, waktu itu. Dia mengatakan hal-hal yang sulit kami pahami, dan aku akhirnya diam, karena berpikir aku yang mungkin bodoh dan kurang paham. Tetapi, meski begitu, aku tahu yang dia lakukan waktu itu sangat salah.”

Amran pun tergelitik, “Apa yang dia lakukan, Bi?”

“Dia merampas tanah milik orang lain,” jawab sang bibi. “Peristiwa itu terjadi saat ayahmu belum menikah. Yang kutahu, waktu itu, dia bersekongkol dengan beberapa orang yang punya jabatan, dan merampas tanah yang sebenarnya milik orang lain. Aku tidak tahu persis bagaimana masalahnya, tapi aku tahu satu hal—yang dilakukan ayahmu waktu itu tidak benar.”

“Karena itulah,” lanjut sang bibi, “aku sudah mencoba mengingatkanya, waktu itu, tapi dia menjawab dan menjelaskan hal-hal yang tidak kupahami, hingga aku pun akhirnya diam dan membiarkan. Tapi hati kecilku terus memberitahu, bahwa kakakku telah melakukan kejahatan, merampas hak milik orang lain, dan itu terus menggangguku sepanjang hidup. Mungkin aku orang bodoh, tapi aku bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.”

Amran semakin tertarik dengan cerita itu, dan bertanya, “Sejak itu, apa yang kemudian terjadi, Bi?”

“Tidak terjadi apa-apa,” jawab sang bibi. “Tanah yang dirampas ayahmu kemudian dijual. Ayahmu lalu membeli tanah yang kemudian dibangun rumah untuk keluarga kalian. Dulu, rumah kalian sederhana. Tapi perlahan-lahan terus diperbaiki hingga mewah. Lalu ayahmu makin kaya, seiring kau dan adik-adikmu lahir. Entah ibumu tahu cerita ini atau tidak, aku tidak tahu. Selama waktu-waktu itu, aku menyaksikan kehidupan ayahmu dengan senang, karena dia tampak bahagia. Tapi hati kecilku terus mengusik-usik, bahwa sekian tahun yang lalu dia telah melakukan kejahatan.”

Setelah terdiam sesaat, sang bibi melanjutkan dengan suara berat, “Bagaimana pun, dia kakakku. Aku menutup rapat-rapat masalah ini dari siapa pun, karena itu aib. Aku bahkan berencana untuk tetap menyimpannya sampai ke liang kubur, hingga tidak ada siapa pun yang tahu. Tapi kau anaknya, dan sekarang ayahmu terbaring sekarat, antara hidup dan mati, sementara seluruh harta benda kalian telah habis terkuras. Kupikir, aku perlu menceritakan ini kepadamu, karena kau anaknya.”

Amran bertanya, “Apakah Bibi bermaksud mengatakan bahwa ayah kemungkinan disantet orang? Bahwa sakit yang dialaminya adalah hasil perbuatan orang yang dulu tanahnya dirampas ayah?”

“Aku tidak bermaksud mengatakan begitu,” sahut sang bibi. “Orang yang tanahnya dulu dirampas ayahmu telah meninggal bertahun-tahun lalu, jadi dia tidak punya kaitan apa pun dengan keadaan ayahmu sekarang. Yang kumaksud adalah, bisa jadi sakit ayahmu dan penderitaan keluarga kita sekarang, adalah balasan atas perbuatan yang dulu dilakukan ayahmu.”

Keheningan mengendap cukup lama siang itu. Amran terdiam, dan bibinya terdiam. Sampai kemudian, Amran mengatakan, “Jadi, menurut Bibi, apa yang sebaiknya kita lakukan?”

Bibi Amran tampaknya telah memikirkan hal itu jauh-jauh hari. Jadi, saat Amran bertanya, dia pun menjawab dengan lancar, “Kalau kau bersedia, cobalah cari keluarga orang yang dulu tanahnya dirampas ayahmu. Mungkin ada anaknya yang masih hidup. Temuilah, dan ceritakan kondisi ayahmu. Lalu minta maaflah untuk ayahmu. Siapa tahu, dengan cara itu, kita bisa memperbaiki keadaan.”

Amran memahami maksud bibinya. Tapi dia tidak tahu siapa keluarga orang yang dulu bermasalah dengan ayahnya. Saat dia bertanya, bibinya juga tidak tahu.

Bibi Amran menjelaskan, “Saat peristiwa itu terjadi, aku hanya mengenal si pemilik tanah, karena dulu dia sempat menemuiku, memintaku agar menyadarkan ayahmu yang berusaha merampas tanah miliknya. Kalau tak salah ingat, dia punya satu anak waktu itu. Setelah tanahnya dirampas ayahmu, dia pindah ke tempat lain, hingga meninggal beberapa tahun kemudian. Tapi aku tidak tahu di mana anaknya sekarang.”

Lanjut ke sini: Warisan Luka (2)

Sekali Lagi, Ahok

Dengar-dengar, Ahok tempo hari kesandung kasus dugaan korupsi.
Tapi media-media mainstream pura-pura nggak tahu, ya? Bungkam semua.
—Twitter, 11 Februari 2016

Tempo hari, sempat muncul hashtag #KerangkengAhok di Twitter.
Tapi tidak ada satu pun media mainstream yang menindaklanjuti. Aneh?
—Twitter, 11 Februari 2016

Alih-alih menindaklanjuti dugaan korupsi Ahok, media-media mainstream
justru memberitakan hal-hal remeh-temeh-temeh-temeh tentang Ahok.
—Twitter, 11 Februari 2016

Dan sekarang, tiba-tiba, Ahok mengusik Kalijodo. Dan media-media
mainstream, seperti biasa, langsung mendukung Ahok habis-habisan.
—Twitter, 11 Februari 2016

Kebijakan membubarkan kompleks prostitusi adalah satu hal. Tapi
membubarkan kompleks prostitusi untuk mengalihkan perhatian, itu hal lain.
—Twitter, 11 Februari 2016

Setiap hari, media-media mainstream masih terus memberitakan hal-hal
remeh (dan positif) tentang Ahok, tapi menutup mata pada yang negatif.
—Twitter, 11 Februari 2016

Jadi siapa sebenarnya yang menjalankan praktik prostitusi? Kalijodo
yang ribut akan dibubarkan, ataukah mereka yang sibuk memberitakan?
—Twitter, 11 Februari 2016

Rakyat bawah, kenyataannya, selalu dikorbankan demi ambisi politik
segelintir orang, dan hanya menjadi santapan burung-burung nasar.
—Twitter, 11 Februari 2016

Well, sekarang muncul TT #DesakKPKTangkapAhok. Media-media mainstream
yang biasanya langsung tanggap TT kali ini bungkam dan sok tidak tahu.
—Twitter, 11 Februari 2016

Berita remeh-temeh soal topi santa dan prostitusi artis, di-blow up
besar-besaran. Giliran berita penting tentang indikasi korupsi, bungkam.
—Twitter, 11 Februari 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Katanya, Ahok Pernah Disantet tapi Tidak Mati, Malah Dukunnya yang Mati

Mbuh kabeh, barang gaib.
 
Rabu, 10 Februari 2016

Jiwa yang Terluka

Jauh lebih aman bagimu bermain-main dengan
kebuasan singa, daripada dengan jiwa yang penuh luka.
@noffret


—Terima kasih untuk Busli
yang mengizinkan kisahnya ditulis di sini.


Orang paling mengerikan yang saya kenal adalah seorang lelaki bernama Busli (bukan nama sebenarnya). Saya mengenal Busli melalui Firman, yang pernah saya ceritakan di sini. Firman dan Busli bersahabat. Karena saya juga dekat dengan Firman, saya pun akhirnya mengenal Busli. Karena saling merasa cocok, saya dan Busli juga berteman. Secara usia, Busli lebih tua lima tahun dari saya.
 
Tidak jauh beda dengan Firman, Busli juga sosok serius. Tampaknya, kesamaan itu pula yang kemudian menjadikan kami mudah akrab. Mereka tipe orang-orang yang sangat serius menjalani hidup. Mereka bekerja dengan serius, belajar dengan serius, hingga menepati janji dengan serius. Kalau mereka mengatakan akan datang nanti sore, mereka akan datang... tak peduli nanti sore banjir melanda, atau Bumi dilanda gempa.

Seperti yang saya singgung tadi, Busli adalah orang paling mengerikan yang saya kenal. Bukan tampilan fisiknya yang mengerikan, melainkan sesuatu di dalam dirinya. Secara fisik, Busli bahkan bisa dibilang biasa-biasa saja—ramping, tapi tubuhnya sangat berotot, hasil latihan yang dilakukan dengan keras dan rutin. Kalau dia mengenakan baju lengan panjang, sosoknya tampak sangat biasa.

Tetapi, di dalam sosok yang tampak biasa itulah, tersembunyi sesuatu yang sangat... sangat mengerikan.

Semula, saya tidak tahu hal itu. Selama mengenalnya, saya menganggap Busli hanya orang yang tekun, serius, cerdas, dan teman yang bisa diandalkan. Kadang, kalau pas ada waktu luang, saya mengobrol dengan Busli di rumahnya. Kadang Firman ikut datang, lalu kami mengobrol bertiga, kadang pula saya bercakap dengan Busli hanya berdua sampai larut malam. Kami sama-sama suka membaca buku, dan kami nyambung hingga bisa asyik bercakap semalam suntuk.

Suatu hari, Busli dan saya janjian untuk pergi ke toko buku besar di Semarang. “Sekalian aku mau nyoba motor baruku,” ujarnya. Waktu itu dia memang baru membeli motorsport seri terbaru.

Jadi, siang itu, saya membonceng Busli di motornya, dan Busli tampaknya sangat menikmati mainan barunya. Motorsport yang masih gres itu dipacu gila-gilaan di jalanan, dan saya sudah bersiap mati kalau-kalau kami menabrak mobil atau truk atau bus atau kereta api atau apa pun.

Rupanya, aksi gila-gilaan Busli di jalanan menarik perhatian beberapa polisi yang berjaga di salah satu pos. Meski semula tidak paham, saya akhirnya menyadari ada dua polisi yang mengejar atau menguntit kami dari belakang. Busli tahu hal itu. Melalui spion, dia melihat dua polisi dengan sepeda motor mengejar kami. Tapi bukannya melambatkan laju motor, dia makin menggila.

Busli tahu arah mana saja yang tidak dihalangi lampu merah, dan dia menuju ke sana. Busli juga tampaknya tahu jalan-jalan tikus yang bisa dilewati, dan dia membawa motornya meliuk-liuk di jalanan itu, dengan dua polisi yang masih terus mengejar. Bisa jadi, polisi-polisi itu makin curiga dengan ulah Busli. Tanpa maksud berlebihan, waktu itu saya merasa sedang syuting film action ala Mission Impossible. Tom Cruise dikejar penjahat. Oh, well.

Akhirnya, kami sampai di toko buku yang dituju. Busli terus melaju menuju ruang parkir di bagian belakang. Dua polisi tadi masih terus mengejar, dan mereka kini juga masuk area parkir.

Waktu itu area parkir lumayan sepi—hanya ada beberapa orang, dan seorang satpam yang sedang berjaga. Begitu Busli dan saya turun dari motor, dua pistol mengarah ke arah kami. Dua polisi tadi telah berdiri di depan kami, dengan sikap penuh siaga, dengan pistol di tangan. Salah satu dari mereka berkata dingin, “Angkat tangan.”

Busli dan saya mengangkat tangan. Seorang polisi langsung menggeledah kami, sementara satunya masih mengacungkan pistol. Setelah yakin kami tidak membawa senjata atau apa pun yang berbahaya, mereka meminta surat-surat kendaraan. Busli mengeluarkan SIM dan STNK, juga KTP. Mereka memeriksa semuanya, dan tidak ada masalah. Jadi mereka tidak punya alasan untuk menilang.

Dua polisi itu masih muda, mungkin sebaya dengan Busli, atau setidaknya sedikit lebih tua. Salah satu dari mereka bertanya, kenapa tadi Busli memacu motor dengan sangat kencang. Busli menjawab, “Ini motorsport, dan saya tidak melanggar aturan lalu lintas mana pun.” (Maksudnya, dia tidak melanggar batas kecepatan, karena jalan yang tadi kami lalui memang tidak memberlakukan aturan batas kecepatan).

Polisi-polisi itu tampak kebingungan. Mereka sudah tidak mengacungkan pistol, tapi suasana terasa sangat tegang, seperti petasan yang siap meledak. Satpam di posnya—agak jauh dari tempat kami—tampak tak bergerak. Sementara orang-orang di tempat itu terlihat pura-pura tak tahu. Dua polisi menatap Busli dengan tampang curiga, dan Busli menatap balik mereka dengan sikap menantang. Saya bisa membayangkan, jika salah satu dari mereka bergerak, duel akan terjadi di tempat parkir itu.

Saya mencoba memecah ketegangan, dengan merogoh saku untuk mengambil rokok. Melihat tangan saya bergerak, seorang polisi segera mengacungkan pistol dengan tegang. Buru-buru saya berkata, “Saya mau mengambil rokok. Saya tegang, perlu merokok.”

Dia pun menurunkan pistolnya kembali, setelah jelas saya memegang bungkus rokok. Saya menyulut rokok, lalu meletakkan bungkus rokok dengan korek gas di atas jok motor Busli. Busli paham isyarat itu, dan dia mengambil rokok, menyulutnya, lalu dengan santai berkata pada polisi-polisi yang masih menatapnya, “Ada yang lain?”

Polisi-polisi itu pun tidak lagi setegang semula. Salah satu dari mereka kemudian berkata dengan datar, agar kami berhati-hati berkendara, dan lain-lain semacamnya. Lalu mereka pergi. Busli dan saya menghabiskan rokok di tempat parkir itu, lalu masuk ke toko buku. Satpam di sana sempat bertanya kejadian tadi, dan Busli menjawab, “Cuma salah paham.”

....
....

Di lain hari, ketika saya bertemu Firman, saya pun menceritakan kejadian itu. Sambil tertawa kecil, Firman menyahut, “Kau belum tahu aslinya Busli. Sebenarnya, dia jauh lebih mengerikan.”

Lalu Firman menceritakan. Kadang-kadang, saat sedang sangat marah, Busli sengaja mencari musuh, demi bisa menyalurkan kemarahan. Pada waktu-waktu semacam itu, Busli sering datang ke tempat-tempat rawan, lalu sengaja memancing beberapa bajingan hingga mereka terlibat perkelahian. “Dia sangat berbahaya ketika sedang haus darah,” ujar Firman.

Karena menyadari “kebiasaan mencari musuh” itu berbahaya, Busli pun menerapkan “aturan” yang sangat ketat. Pertama, dia tidak pernah membawa senjata apa pun. Kedua, dia memastikan musuhnya benar-benar bajingan. Ketiga, dia mengondisikan setiap pertarungan yang terjadi akibat provokasi, hingga dia sulit disalahkan. Firman menceritakan, gara-gara hal itu, Busli sampai berteman akrab dengan banyak polisi.

Ketika mendengar penuturan Firman waktu itu, saya membayangkan Busli adalah Batman dalam versi lebih gelap.

Saya memang menyadari, Busli sosok pemarah. Tetapi saya tidak tahu kalau kemarahannya bisa seberbahaya itu. Dan, akhirnya, suatu malam, saya benar-benar membuktikan semua penuturan Firman.

....
....

Suatu malam, saya datang ke rumah Busli, setelah janjian sebelumnya. Saat saya datang, dia mengajak pergi ke suatu tempat, mengendarai motorsport-nya yang masih baru. Lalu kami nongkrong di sana, bercakap sambil merokok. Saya menyadari, tempat kami nongkrong waktu itu sangat rawan. Karena sepi dan agak gelap, beberapa kasus kejahatan—semisal penodongan—biasa terjadi di situ. Sering ada pasangan muda-mudi yang pacaran di tempat itu, dan mereka kerap menjadi korban pemerasan.

Saya pun berkata pada Busli, agar kami pindah tempat lain saja, agar lebih nyaman. Tapi Busli hanya menjawab, “Aku sedang pusing.”

Sekitar pukul 22:30, dua orang tampak mendekati kami. Perasaan saya tidak enak. Busli berbisik, “Kalau terjadi apa pun, jangan bergerak di tempatmu, dan jangan lakukan apa-apa.”

Tepat seperti yang saya bayangkan, dua orang itu mendekati kami. Mereka memperhatikan motorsport Busli yang mahal, lalu memperhatikan kami. Kemudian, salah satu dari mereka berkata, “Boleh minta rokok?”

Busli menjawab, “Tidak boleh.”

Dua orang itu langsung terprovokasi. Salah satu dari mereka tiba-tiba mengeluarkan pisau, dan menodongkannya ke arah Busli, sambil berkata, “Kalau begitu, berikan dompetmu.”

Busli segera mengangkat tangan, dan berdiri. Dengan sikap sopan, dia berkata, “Oke, oke, maaf.”

Si penodong merasa di atas angin, dan makin mendekatkan pisaunya. “Dompetmu!”

“Iya, iya,” sahut Busli sambil menggerakkan tangan ke saku celana, seperti akan mengambil dompet. Tiba-tiba, dengan gerakan sangat terlatih, Busli merenggut pergelangan tangan si penodong pisau, menekuknya, dan menggoreskan pisau itu ke perut si penodong. Luka goresan itu cukup menyakitkan, dan Busli memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang rahang si penodong dengan sangat keras.

Dalam pertarungan tangan kosong, bagian tubuh yang sangat rawan adalah leher dan selangkangan. Tetapi menyerang leher sangat sulit, dan menyerang selangkangan hanya mungkin dilakukan jika jarak pertarungan cukup untuk melancarkan tendangan. Dalam posisi yang dekat, rahang sering menjadi tempat yang diincar. Ketika rahang terserang—apalagi sangat parah—musuh langsung terkapar.

Si penodong itu pun langsung jatuh. Temannya tampak kebingungan—antara mau lari dan ingin menyerang Busli. Dalam waktu yang amat menentukan itu, Busli langsung mendekati, dan menyerangnya dengan sangat mengerikan. Bajingan itu pun seketika terkapar seperti penodong temannya. Tapi Busli belum puas. Meski kedua lawannya telah jatuh, dia masih menyerang dengan sangat buas.

Waktu itu, saya sudah akan berdiri, dengan maksud untuk menghentikan, tapi Busli segera mengangkat tangannya, memberitahu agar saya tetap diam di tempat.

Setelah puas menyalurkan kemarahannya, Busli kembali duduk di samping saya, dan menyulut rokok. Kemudian, dia mengeluarkan ponsel, dan menghubungi temannya di kepolisian, memberitahu, “Ada dua bajingan mencoba menodongku di...” (dia menyebutkan tempat kami). “Mungkin kalian ingin menangkap mereka.”

Karena saya melihat kejadian itu, mau tak mau Busli merasa perlu menjelaskan sesuatu. Jadi, dia pun menceritakan.

“Aku sering merasa sangat marah,” ujarnya. “Dalam kondisi sangat marah, aku butuh menyalurkan kemarahan, dan cara itulah (maksudnya kejadian seperti tadi) yang selama ini bisa meredakan amarahku. Dulu, aku sering menggunakan sansak di gym untuk menyalurkan kemarahan. Tapi sansak hanya memperkuat otot-otot tangan, dan tak bisa menjadi saluran kemarahan.”

Cerita itu pun lalu mengalir... dan terus mengalir. Busli menceritakan penjahat-penjahat—kebanyakan penodong atau penjambret—yang pernah menjadi sasaran kemarahannya. Di tempat-tempat rawan, di diskotik, di stasiun, bahkan dalam bus. Sering, dia sengaja memprovokasi penjahat agar melakukan kejahatan kepada dirinya, dan Busli akan menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kemarahannya.

Saya pun bertanya, “Bagaimana kalau kau yang kalah?”

“Kadang aku memang kalah, dan itu tidak masalah,” jawab Busli. “Kalau kau menjalani hidup seperti kehidupan yang kujalani, kau tidak akan pernah takut pada apa pun, termasuk kekalahan atau kematian. Kalau kau menjalani hidup seperti hidupku, kau hanya mengenal kemarahan, luka, dan dendam, dan kau mungkin akan memaklumi yang kulakukan.”

....
....

Kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa ada orang seperti itu?

Jawabannya panjang... sangat panjang. Untuk memahami Busli seutuhnya, kita harus flashback ke tahun-tahun silam, saat dia masih kanak-kanak, lalu tumbuh remaja, hingga dewasa. Ceritanya panjang, rumit, dan—seperti yang dikatakannya—penuh amarah, luka, dan dendam. Saya mengetahui keseluruhan kisah hidup Busli melalui seseorang, lewat sebuah peristiwa yang menakjubkan.

Saya akan mengisahkannya, di catatan yang akan datang.

Nightmare

Yang paling kutakutkan dalam hidup adalah jika sembilan puluh persen yang kita yakini ternyata keliru. Yang menakutkan, sepertinya memang begitu.

Noffret’s Note: Valentine Day

Definisi Valentine's Day adalah, “Jika hidupmu tenang, damai, tanpa masalah.”
Punya pacar pun, kalau hidupmu gersang, persetan dengan V-Day!
—Twitter, 10 Februari 2015

Aku punya pasangan terbaik di hari Valentine, seseorang yang kutahu
sangat mencintaiku dengan tulus, dan apa adanya. Diriku sendiri.
—Twitter, 10 Februari 2015

Tidak usah meributkan apakah Valentine halal atau haram. Kalau kita bisa
mencintai orang lain apa adanya, itu cinta terbaik antarmanusia.
—Twitter, 10 Februari 2015

Valentine’s Day yang layak diharamkan adalah yang dipamer-pamerkan,
seolah merayakan Valentine’s Day adalah perbuatan hebat dan mengagumkan.
—Twitter, 10 Februari 2015

Punya pasangan atau tidak adalah hal biasa. Merayakan Valentine’s Day
atau tidak juga biasa. Tidak usah ribut, tidak usah sok, atau pamer.
—Twitter, 10 Februari 2015

Mau kencan saja nunggu tanggal 14 Februari. Mau makan cokelat
dan ngasih kado saja sampai setahun sekali. Kok susah amat jadi orang.
—Twitter, 10 Februari 2015

Kalau aku mau jatuh cinta, pacaran, kencan, makan cokelat, ngasih kado,
aku akan melakukannya kapan pun aku mau. Persetan dengan Valentine!
—Twitter, 10 Februari 2015

Banyak hal yang sebenarnya biasa-biasa saja, tapi kita dipaksa
untuk percaya itu luar biasa, dan kita terlalu naif untuk menyadarinya.
—Twitter, 10 Februari 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
Jumat, 05 Februari 2016

Maaf

Yang merasa kirim e-mail tapi belum juga dibalas,
mohon maaf, ya. Yang masuk makin banyak,
tapi waktuku makin sedikit. Jadi tolong dimaklumi.
@noffret


Teman-teman, saya menulis catatan ini dengan perasaan tidak enak. Namun, saya terpaksa menulisnya sekarang, karena saya pikir harus diungkapkan, demi kenyamanan kita bersama.

Ini tentang e-mail yang kalian kirim kepada saya. Selama ini, saya selalu berusaha membalas setiap e-mail yang dikirim ke alamat e-mail saya. Sebisa mungkin, di sela-sela kesibukan, saya berusaha membalas setiap e-mail secara pribadi, sebagaimana yang diharapkan oleh si pengirim. Selama ini pula, meski sedikit repot, saya mampu membalas banyak e-mail yang dikirim dari banyak orang. Tetapi, tampaknya, makin hari jumlah e-mail di inbox saya makin menumpuk, dan saya makin kewalahan.

Sebelum saya ngoceh panjang lebar, silakan lihat skrinsut berikut. Ada 7.506 e-mail yang menumpuk di inbox saya, yang belum terbaca.


Tujuh ribu lima ratus enam e-mail! Cobalah pikirkan, itu kira-kira saya bacanya gimana? Bahkan untuk membacanya saja, dibutuhkan waktu sangat lama. Belum lagi jika harus membalas satu per satu.

Selama ini, biasanya saya membalas e-mail di sela-sela kesibukan. Misalnya, saat di kafe atau warung makan, dan menunggu pesanan disiapkan, saya membuka ponsel dan membalas e-mail-e-mail yang tidak membutuhkan jawaban panjang. Sementara e-mail yang membutuhkan jawaban atau balasan panjang membutuhkan waktu tersendiri, karena saya tentu harus menjawab dengan baik, sekaligus ramah, dan menyenangkan.

Yang jadi masalah, lebih banyak e-mail yang membutuhkan jawaban panjang, daripada e-mail yang bisa dijawab sekadarnya. Akibatnya, banyak e-mail yang telah saya buka dan baca, tapi kemudian menumpuk tanpa bisa saya balas, karena saya harus meluangkan waktu khusus untuk membalas e-mail-e-mail tersebut. Susahnya, waktu saya makin hari makin sedikit, sementara kesibukan saya—di dunia nyata—makin hari makin banyak.

Selain waktu yang makin terbatas, problem lain menyangkut hal ini adalah emosi saya yang sering tidak stabil. Pekerjaan dan aktivitas saya sehari-hari menuntut konsentrasi yang tinggi, dan itu sering membuat saya sangat stres. Ketika stres, emosi jadi tidak stabil, dan saya kadang mudah marah. Ketika itu terjadi, saya tidak mungkin membalas e-mail—jangankan membalas, melihat inbox saja sudah malas.

Karena itu, selama ini, saya hanya membalas e-mail ketika sedang fresh. Kenapa ini penting? Karena emosi sering mengalir ke dalam tulisan!

Jika saya memaksakan diri membalas e-mail dalam kondisi stres, yang artinya sedang mudah marah, maka emosi kemarahan saya akan mengalir ke dalam tulisan, dan emosi itu akan terbaca (terasa) oleh si penerima e-mail. Saya tidak menginginkan hal semacam itu terjadi. Saya ingin, ketika orang membaca balasan e-mail saya, dia merasakan keramahan yang menyenangkan.

Karena itulah, saya hanya membalas e-mail ketika pikiran benar-benar fresh, sehingga bisa membalas dengan nada ramah, akrab, dan menyenangkan. Itu upaya saya dalam menghormati si pengirim e-mail. Dia telah menyempatkan diri untuk menyapa saya, dan saya pun berkewajiban membalas sapaannya dengan baik. Itu cara kita memanusiakan manusia.

Nah, yang jadi masalah, seperti yang dibilang tadi, waktu saya sangat terbatas, dan kondisi fresh saya juga makin jarang. Sementara e-mail terus datang nyaris tanpa henti, dan semuanya tentu meminta atau membutuhkan balasan. Semula, meski stres menghadapi inbox, saya masih berusaha komitmen untuk membalas setiap e-mail yang masuk, tapi komitmen itu sekarang tampaknya harus berbenturan dengan realitas. Bagaimana pun, saya manusia biasa—bukan mesin.

Akhir-akhir ini, karena sulitnya meluangkan waktu untuk membalas setiap e-mail, saya kadang baru bisa membalas e-mail yang datang enam bulan lalu. Ada pula e-mail yang telah dikirim setahun lalu, baru bisa saya balas. Sejujurnya, saya merasa sangat tidak enak.

Jadi, Kawan-kawan, melalui catatan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal, agar kita sama-sama nyaman.

Pertama, saya mempersilakan siapa pun untuk tetap berkirim e-mail kepada saya, tapi sekarang saya tidak bisa menjamin akan membalas setiap e-mail yang masuk. Saya minta maaf untuk hal ini, dan sangat berharap kalian dapat memaklumi. E-mail yang berjumlah puluhan mungkin masih bisa saya tangani. Tapi ribuan e-mail... well, bisa-bisa saya tua di depan G-Mail!

Kedua, saya berjanji untuk membaca semua e-mail kalian (khususnya yang saat ini telah masuk inbox saya). Rencananya, karena saya tidak bisa membalas satu per satu, saya akan mengambil benang merah dari banyak e-mail yang ada, untuk kemudian menjadikannya bahan tulisan di blog. Misalnya soal menulis, soal belajar, dan lain-lain. Jadi, seiring waktu, ada kemungkinan hal-hal yang kalian tanyakan di e-mail akan muncul sebagai posting di blog ini. Saya pikir itu cukup fair.

Ketiga, jika e-mail pertamamu tidak/belum dibalas, sebaiknya tidak usah mengirim e-mail lain berisi hal sama. Itu cuma akan menambah tumpukan e-mail di inbox, dan membuat saya makin stres.

Keempat, saya telah beberapa kali menjelaskan di blog, bahwa saya sudah mengundurkan diri dari aktivitas publik sejak 2006. Artinya, sejak 2006, saya tidak bisa lagi menerima undangan berbicara atau tampil di hadapan publik di mana pun, kapan pun, dengan alasan apa pun, tak peduli siapa pun yang mengundang.

Jangankan undangan dari orang atau lembaga yang tidak saya kenal, bahkan undangan dari kampus saya sendiri pun terpaksa saya tolak. Permintaan dari penerbit saya untuk berbicara di depan publik juga tidak bisa saya penuhi, karena saya telah memutuskan untuk menjalani hidup seperti yang saya jalani sekarang—dalam sunyi, tanpa publisitas, dan menjadi orang biasa yang tak dikenal.

Karena itu, tidak perlu repot-repot berkirim e-mail jika isinya undangan semacam itu, sebab saya pasti tidak akan bisa memenuhi. Dan, tolong dicatat, saya bukan orang yang menggilai publisitas. Karenanya pula, tidak usah menjanjikan macam-macam—seperti liputan koran atau televisi—karena sama sekali tidak akan menarik hati saya. Bahkan umpama Kick Andy atau Mata Najwa mengundang saya pun, saya tidak tertarik!

Jadi, Kawan-kawan, saya berharap catatan ini bisa dipahami, dan permintaan maaf saya bisa kalian maklumi. In fact, saya sangat menghargai e-mail kalian, dan—seperti yang telah dinyatakan di atas—saya berjanji untuk membaca setiap e-mail yang telah kalian kirim. Namun, karena saya manusia biasa, dengan waktu terbatas, dengan energi terbatas, dengan pikiran terbatas, tolong pahami dan maafkan keterbatasan saya.

Rintih Lirih

Aku tidak doyan gorengan adem. Gorengan adem
tidak hanya hambar di mulut, tapi kemungkinan
juga telah disentuh banyak orang.
@noffret


Saat sedang berjalan di antara rak-rak toko buku, saya mendapati sebuah buku sedang dipegangi seseorang. Dia berdiri di depan salah satu rak, dan membuka-buka sebuah buku yang tampaknya menarik minatnya.

Sementara itu, dari depan rak lain, saya melihat sampul buku yang dipegangnya, dan saya langsung tertarik. Itu semacam jatuh cinta pada pandangan pertama—sebentuk ketertarikan spontan yang biasa saya alami terhadap buku. Jadi, saya pun memutari rak dan mendekati tempat orang itu berdiri, berharap menemukan buku serupa untuk saya beli.

Tapi harapan saya tak terkabul.

Di rak tidak ada buku serupa—satu-satunya buku yang ada sedang dipegang orang tadi, yang masih asyik membuka-buka buku tersebut. Jadi, saya pun mencoba menunggunya selesai. Sambil menunggu, saya melihat-lihat buku di rak-rak lain.

Beberapa saat kemudian, saat orang tadi telah meletakkan buku yang saya incar, saya pun segera mendekat ke rak tadi. Sial, saya keduluan dua orang yang telah tiba lebih dulu di sana, dan tampak langsung memungut buku incaran saya. Dua orang itu juga tampak tertarik pada buku tersebut—mereka membuka-buka isinya, lalu saling bisik-bisik entah membicarakan apa.

Dengan penuh kesabaran, saya kembali menunggu. Sambil menunggu dua orang itu selesai membuka-buka buku tadi, saya kembali berkeliling rak melihat-lihat buku. Tapi bayangan buku tadi tetap menari-nari di pikiran. Waktu itu saya sudah bertekad untuk membelinya.

Cukup lama dua orang itu membuka-buka buku tadi, dan saya terus bersabar menunggu.

Saat dua orang tadi akhirnya pergi, saya langsung berlari ke rak tempat buku tersebut dengan harap-harap cemas. Kesabaran saya tampaknya tidak sia-sia. Buku incaran saya masih ada di sana. Keparat-keparat yang tadi menyentuhnya cuma membuka-buka, tapi tidak membeli. Seketika, saya langsung mengambil buku itu dari rak. Detik itulah, saya sangat... sangat kecewa.

Buku yang tadi saya lihat sampulnya sekilas itu memang buku yang saya inginkan. Tapi wujudnya sudah “rusak”. Selain tidak lagi tertutup plastik segel, tampilan buku itu sudah tidak menarik. Bagian-bagian tepi sampul terlihat tumpul—karena telah sering disentuh—sementara halaman-halamannya tampak tidak rapi karena sering dibuka-buka. Saat saya angkat ke atas untuk melihat tampilannya secara utuh, garis-garis tepian buku itu bahkan tidak lagi simetris. Tampaknya, buku itu telah disentuh dan dijamah banyak orang, jauh lebih banyak dari yang telah saya lihat.

Dengan perasaan jengkel, saya pandangi buku itu. Di dunia ini, tidak ada benda lain yang lebih dekat dengan saya daripada buku. Jadi, saya tahu apa itu “buku” hingga taraf hakikat. Dalam urusan buku, saya tidak bisa dibohongi! Dan buku yang telah membuat saya jatuh cinta itu telah disentuh, dijamah, dan dibuka-buka, oleh banyak orang—jauh lebih banyak dari yang saya kira.

Dengan perasaan geram, saya mencoba mencari buku serupa di sana, siapa tahu ada buku lain yang masih tersegel rapi. Tapi sial, upaya saya sia-sia. Meski telah berkeliling ke sana kemari, tidak ada buku serupa yang saya temukan.

Saya mencoba membawa buku itu pada seorang pramuniaga di sana, dan berkata, “Saya ingin membeli buku ini. Apakah ada yang masih tersegel rapi?”

Si pramuniaga mencoba menghubungi petugas lain di toko, mungkin menanyakan adakah stok buku tersebut. Tapi kemudian dia kembali dengan mengatakan, “Maaf, buku itu sepertinya tinggal satu.”

“Sayang sekali,” ujar saya sambil menimang-nimang buku tersebut.

Si pramuniaga mencoba tersenyum, membesarkan hati saya, “Buku itu kan masih bagus tampilannya. Cuma segel plastiknya yang sudah tidak ada. Tampilannya kan masih cakep, masih rapi, dan masih kelihatan baru.”

“Saya tahu,” sahut saya. “Tapi saya terbiasa membeli buku yang masih tersegel rapi, atau setidaknya belum disentuh banyak orang.”

Dia tersenyum. “Saya pikir, selama buku masih tampak rapi, baru, dan isinya lengkap, sehingga bisa dibaca dengan jelas, tidak masalah, kan?”

Saya membalas senyumnya. “Saya ingin sekali berpikir seperti itu. Tapi, seperti yang saya sebut tadi, saya terbiasa membeli apa pun—khususnya buku—yang benar-benar masih baru, dan masih tersegel rapi. Saya tidak suka memiliki apa pun yang telah disentuh banyak orang.”

Akhirnya, saya tidak membeli buku tersebut.

....
....

Sesampai di rumah, saya membuka internet, dan login ke toko buku online langganan. Seperti yang saya harapkan, di toko online tersebut tersedia buku yang saya inginkan. Saya pun langsung memesannya. Pada formulir pemesanan, saya menulis pesan, “Tolong pastikan buku ini dikirim dalam keadaan masih tersegel rapat.”

Satu minggu kemudian, buku pesanan saya sampai di rumah dalam bungkusan yang rapi. Saat bungkusannya saya buka, buku itu juga masih tersegel rapat. Lalu saya pun membuka pastik segel buku itu perlahan-lahan, hati-hati, dengan penuh khidmat. Saat akhirnya segelnya terlepas, saya menciumi sampul buku itu dengan penuh kasih. Saya buka halaman-halamannya dengan lembut, dan menghirup aroma wangi buku yang saya kenali.

Dalam hidup, saya hanya tahu satu hal. Saya lebih memilih untuk tidak memiliki sama sekali, daripada memiliki sesuatu yang tidak saya ingini.

Rules of the Game

Kau ingin aku memenuhi keinginanmu? Sangat mudah—penuhi dulu keinginanku.

Dan aku hanya meminta hal yang mudah, remeh, sepele, yang sangat mudah kaupenuhi.

Kalau kaupenuhi, aku tidak akan meminta apa pun lagi.

Tetapi, kalau kau tidak mau memenuhi—atau kau mencoba menantangku—maka permintaanku semakin berat. Satu permintaan mudah yang tidak kaupenuhi bukan menjadikanku mundur atau mengalah—aku justru akan semakin mempersulit yang kuminta, semakin sulit, semakin sulit, semakin sulit, hingga mustahil kaupenuhi.

Aku tidak menunggu apa pun, aku tidak menunggu siapa pun. Aku menjalani hidup dengan caraku sendiri, tidak berharap pasangan, tidak menginginkan popularitas, tidak berharap apa pun. Oh, well, aku bahkan tidak berharap siapa pun tertarik kepadaku.

Jadi, jangan pernah bermain ego denganku, dan jangan pernah bertaruh denganku. Karena apa pun hasilnya, kau akan kehilangan terlalu banyak, dan aku tidak akan kehilangan apa pun.

Senin, 01 Februari 2016

Birokrasi Bangsat

Makin maju peradaban, makin modern manusia, makin canggih
teknologi... ironisnya, hidup justru semakin (dibuat) rumit.
@noffret


Saya menelepon sebuah institusi melalui sebuah nomor telepon yang telah diberikan sebelumnya. Saat telepon tersambung, terdengar nada tunggu, lalu muncul suara mesin.

“Terima kasih telah menghubungi Institusi XXX,” ujar si mesin, “Tekan 111 untuk menghubungi Operator. Tekan 112 untuk menghubungi Bagian Umum. Tekan 113 untuk menghubungi Bagian Operasi. Tekan 114 untuk menghubungi Bagian Khusus. Tekan 115 untuk menghubungi Bagian Administrasi. Tekan 116 untuk menghubungi...”

Saya tidak yakin harus menghubungi bagian mana. Jadi, saya pun menekan 111 untuk menghubungi operator.

Setelah terdengar nada tunggu sesaat, muncul suara manusia, “Halo.”

“Halo,” saya menyahut. “Saya diminta menghubungi Institusi XXX, tapi saya tidak yakin harus menghubungi bagian mana.”

“Boleh tahu keperluan Anda?”

Saya pun menjelaskan keperluan saya.

Si Operator menjelaskan, “Oh, silakan menghubungi Bagian Umum, kalau begitu.”

“Boleh saya minta nomornya?”

“Anda bisa menelepon kembali menggunakan nomor tadi, lalu menekan angka yang diminta untuk terhubung dengan Bagian Umum.”

“Terima kasih.”

Saya pun menutup telepon, lalu kembali menelepon nomor tadi. Seperti sebelumnya, muncul suara mesin setelah nada tunggu berakhir. “Terima kasih telah menghubungi Institusi XXX. Tekan 111 untuk menghubungi Operator. Tekan 112 untuk menghubungi Bagian Umum...”

Saya pun menekan 112 untuk menghubungi Bagian Umum.

Sesaat, terdengar nada tunggu. Lalu muncul suara manusia. “Dengan Bagian Umum Institusi XXX. Ada yang bisa saya bantu?”

Saya pun menjelaskan keperluan saya.

Lalu dia menjelaskan, “Sepertinya Anda perlu menghubungi Bagian Khusus, karena urusan Anda di luar kewenangan saya. Silakan Anda langsung menghubungi Bagian Khusus saja.”

“Oke. Terima kasih.”

Saya pun menutup telepon, lalu kembali menelepon Insitusi XXX. Seperti sebelumnya, muncul suara mesin, “Terima kasih telah menghubungi Institusi XXX. Tekan 111 untuk menghubungi Operator. Tekan 112 untuk menghubungi Bagian Umum. Tekan 113 untuk menghubungi Bagian Operasi. Tekan 114 untuk menghubungi Bagian Khusus...”

Saya menekan 114 untuk menghubungi Bagian Khusus.

Nada tunggu terdengar. Lalu muncul suara orang menyapa, “Ya?”

Saya pun menjelaskan keperluan.

“Nama Anda?” dia bertanya.

Saya menyebutkan nama.

“PIN Anda?”

Saya menyahut bingung, “Maaf?”

Dia menjelaskan, “Waktu Anda diminta menghubungi institusi kami, Anda diberi enam digit angka untuk verifikasi identitas.”

“Oh, iya.” Lalu saya pun menyebutkan enam digit angka yang dimaksud.

Hening sejenak.

Terdengar suara khas di telepon—ketuk-ketuk keyboard komputer—sepertinya orang di sana sedang mengecek identitas saya.

Lalu suaranya muncul lagi. “Identitas Anda telah terverifikasi. Anda bisa langsung mengubungi Bagian Operasi. Urusan Anda akan dijelaskan di sana.”

“Uhm... saya pikir, tadi saya diminta menghubungi Bagian Khusus...”

“Benar,” dia menyahut. “Tapi tugas saya di sini hanya memverifikasi identitas. Setelah itu, Anda akan diberi pengarahan langsung di Bagian Operasi.”

“Jadi, saya harus menghubungi Bagian Operasi?”

Dia mengulang seperti robot, “Jadi, Anda harus menghubungi Bagian Operasi.”

Saya pun menurut.

Setelah mematikan telepon, saya kembali menghubungi Institusi XXX. Lagi-lagi terdengar suara mesin sialan yang menyapa dengan kalimat klise. Kedengarannya seperti CD bajakan rusak di telinga saya.

“Terima kasih telah menghubungi Institusi XXX,” ujar si mesin, “Tekan 111 untuk menghubungi Operator. Tekan 112 untuk menghubungi Bagian Umum. Tekan 113 untuk menghubungi Bagian Operasi. Tekan 114 untuk menghubungi Bagian Khusus. Tekan 115 untuk menghubungi bagian Administrasi. Tekan 116 untuk menghubungi...”

Saya pun menekan 113 untuk tersambung dengan Bagian Operasi.

Seseorang menerima telepon saya. Suaranya terdengar dingin, “Ya.”

Saya pun menjelaskan keperluan.

Orang di seberang sana menyahut, “Urusan Anda tampaknya masuk dalam Operasi Khusus.”

“Jadi?”

Dia menjelaskan, “Begini. Saya di Bagian Operasi Umum, dan urusan Anda di luar wewenang saya. Anda perlu menghubungi Bagian Operasi Khusus untuk mendapat intruksi lebih lanjut.”

Seketika, ingatan saya memutar suara mesin sialan tadi. Seingat saya, mesin tadi tidak menyebut Bagian Operasi Khusus. Jadi, saya pun mengatakan, “Bisa minta nomor untuk menghubungi Bagian Operasi Khusus?”

“Anda tinggal menghubungi nomor telepon tadi...”

Buru-buru saya menyahut, “Tidak ada nomor Bagian Operasi Khusus. Mesin penjawab hanya menyebut Bagian Khusus atau Bagian Operasi. Jadi, ke nomor mana saya harus menghubungi Bagian Operasi Khusus?”

“Anda tinggal menghubungi nomor telepon tadi,” dia mengulang. “Setelah tersambung dengan Operator, minta sambungkan dengan Bagian Operasi Khusus.”

“Baik. Terima kasih.”

Saya pun kembali menutup telepon. Lalu mengulang lagi dari awal—menelepon nomor Insitusi XXX, lalu muncul suara-mesin-sialan-yang-terdengar-seperti-CD-bajakan-rusak-keparat.

“Terima kasih telah menghubungi Institusi XXX. Tekan 111 untuk menghubungi Operator. Tekan 112 untuk menghubungi Bagian Umum. Tekan 113 untuk menghubungi Bagian Operasi. Tekan 114 untuk menghubungi Bagian Khusus. Tekan 115 untuk menghubungi Bagian Administrasi. Tekan 116 untuk menghubungi...”

Saya menekan angka 111 untuk menghungi Operator. Setelah tersambung dengan Operator, saya pun langsung berkata, “Tolong sambungkan dengan Bagian Operasi Khusus.”

“Tunggu sebentar.”

Sesaat kemudian, muncul suara lain, “Dengan Bagian Operasi Khusus. Ada yang bisa saya bantu?”

Saya menjawab ragu-ragu, “Ya... saya perlu bantuan.”

“Apa yang bisa saya bantu?”

“Uhm... sepertinya saya lupa, apa keperluan saya menelepon.”

“Kalau begitu, Anda bisa menghubungi Operator, untuk mendapat pengarahan.”

Saya menutup telepon. Lalu menghubungi Operator.

Dan begitu terus sampai kiamat.

Noffret’s Note: Ahok

Kalian tidak heran melihat nama Ahok selalu muncul dalam berbagai
berita di timeline? Setiap saat, selalu ada Ahok dalam urusan apa pun.
—Twitter, 17 Desember 2015

Jika kita perhatikan, nama yang paling sering muncul di berbagai berita
(yang juga masuk timeline Twitter) adalah Ahok, Ahok, dan Ahok.
—Twitter, 17 Desember 2015

Bahkan nama Ahok jauh lebih banyak disebut (dan dilibatkan dalam
berbagai urusan) di banyak berita, dibanding nama Jokowi, misalnya.
—Twitter, 17 Desember 2015

Kita yang mem-follow akun portal berita di Twitter, pasti setiap hari,
bahkan setiap saat, akan menemukan nama Ahok dalam banyak peristiwa.
—Twitter, 17 Desember 2015

Dalam banyak berita, kejadian, dan peristiwa apa pun, Ahok selalu terlibat.
Atau wartawan akan mencari-cari cara agar Ahok bisa berkomentar.
—Twitter, 17 Desember 2015

Perhatikan berita apa pun yang ada di depanmu. Nyaris semuanya dikomentari
Ahok, hingga nama Ahok terus muncul dan terus muncul dan terus...
—Twitter, 17 Desember 2015

Bahkan untuk berita yang sama sekali tidak berkaitan dengan pemerintahan,
wartawan akan berusaha mendapat komentar Ahok. Aneh? Pikir saja.
—Twitter, 17 Desember 2015

Dari soal Gojek, topi santa, sampai prostitusi artis, Ahok selalu berkomentar. Biasanya, judul berita berbunyi, “Ini Komentar Ahok Soal...”
—Twitter, 17 Desember 2015

Aku tidak punya masalah dengan Ahok, aku justru mengaguminya sebagai
pemimpin yang transparan. Tapi kemunculannya yang terus menerus...
—Twitter, 17 Desember 2015

Kemunculan Ahok yang terus menerus di berbagai berita dan kejadian,
mau tak mau membuat kita berpikir. Itu sesuatu yang aneh dan tak wajar.
—Twitter, 17 Desember 2015

Berkaitan dengan Ahok, para wartawan sepertinya
berusaha keras menghubungkan Ahok dengan apa pun,
atau menghubungkan apa pun dengan Ahok.
—Twitter, 17 Desember 2015

Dari tadi pagi aku memantau timeline Twitter, sudah tak terhitung
banyaknya nama Ahok disebut dalam berbagai berita, meski tak berkaitan.
—Twitter, 17 Desember 2015

Hanya dalam satu hari, nama Ahok disebut puluhan, belasan, bahkan
ratusan kali di berbagai berita, di beragam portal. Dan itu terus terjadi.
—Twitter, 17 Desember 2015

Di timeline Twitter, tidak ada satu hari pun yang terlewat tanpa ada nama
Ahok muncul, meski kemunculannya kadang sangat tampak dipaksakan.
—Twitter, 17 Desember 2015

Hampir semua portal berita tampaknya selalu berusaha mengaitkan
berita/peristiwa apa pun dengan Ahok, agar Ahok terus muncul tanpa henti.
—Twitter, 17 Desember 2015

Upaya-upaya mengaitkan Ahok dengan apa pun tampak sudah melampaui
batas wajar, hingga sangat jelas kejanggalannya. Apa saja dikomentari Ahok.
—Twitter, 17 Desember 2015

Yang terbaru, soal prostitusi artis. Komentar Ahok di-blow up dengan
sangat jelas, bahkan komentarnya sampai jadi TT di Twitter. Kebetulan?
—Twitter, 17 Desember 2015

Dulu, kupikir, sering munculnya nama Ahok di berbagai berita hanya
kebetulan. Tapi lama-lama hal itu semakin tampak janggal dan tak wajar.
—Twitter, 17 Desember 2015

Sangat jelas ada upaya sistematis untuk terus memunculkan nama Ahok
setiap hari, setiap saat, hingga semua berita terkait dengan nama Ahok.
—Twitter, 17 Desember 2015

Pertanyaannya, tentu, apa yang sedang dilakukan para wartawan di Indonesia
terkait Ahok? Lebih penting lagi, apa yang sedang dilakukan Ahok?
—Twitter, 17 Desember 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Pikiran Bocah

Aku akan menjadi Magneto!

Sebagai bocah, hanya itu yang kutahu.

 
;