Jauh lebih aman bagimu bermain-main dengan
kebuasan singa, daripada dengan jiwa yang penuh luka.
—@noffret
kebuasan singa, daripada dengan jiwa yang penuh luka.
—@noffret
—Terima kasih untuk Busli
yang mengizinkan kisahnya ditulis di sini.
Orang paling mengerikan yang saya kenal adalah seorang lelaki bernama Busli (bukan nama sebenarnya). Saya mengenal Busli melalui Firman, yang pernah saya ceritakan di sini. Firman dan Busli bersahabat. Karena saya juga dekat dengan Firman, saya pun akhirnya mengenal Busli. Karena saling merasa cocok, saya dan Busli juga berteman. Secara usia, Busli lebih tua lima tahun dari saya.
Tidak jauh beda dengan Firman, Busli juga sosok serius. Tampaknya, kesamaan itu pula yang kemudian menjadikan kami mudah akrab. Mereka tipe orang-orang yang sangat serius menjalani hidup. Mereka bekerja dengan serius, belajar dengan serius, hingga menepati janji dengan serius. Kalau mereka mengatakan akan datang nanti sore, mereka akan datang... tak peduli nanti sore banjir melanda, atau Bumi dilanda gempa.
Seperti yang saya singgung tadi, Busli adalah orang paling mengerikan yang saya kenal. Bukan tampilan fisiknya yang mengerikan, melainkan sesuatu di dalam dirinya. Secara fisik, Busli bahkan bisa dibilang biasa-biasa saja—ramping, tapi tubuhnya sangat berotot, hasil latihan yang dilakukan dengan keras dan rutin. Kalau dia mengenakan baju lengan panjang, sosoknya tampak sangat biasa.
Tetapi, di dalam sosok yang tampak biasa itulah, tersembunyi sesuatu yang sangat... sangat mengerikan.
Semula, saya tidak tahu hal itu. Selama mengenalnya, saya menganggap Busli hanya orang yang tekun, serius, cerdas, dan teman yang bisa diandalkan. Kadang, kalau pas ada waktu luang, saya mengobrol dengan Busli di rumahnya. Kadang Firman ikut datang, lalu kami mengobrol bertiga, kadang pula saya bercakap dengan Busli hanya berdua sampai larut malam. Kami sama-sama suka membaca buku, dan kami nyambung hingga bisa asyik bercakap semalam suntuk.
Suatu hari, Busli dan saya janjian untuk pergi ke toko buku besar di Semarang. “Sekalian aku mau nyoba motor baruku,” ujarnya. Waktu itu dia memang baru membeli motorsport seri terbaru.
Jadi, siang itu, saya membonceng Busli di motornya, dan Busli tampaknya sangat menikmati mainan barunya. Motorsport yang masih gres itu dipacu gila-gilaan di jalanan, dan saya sudah bersiap mati kalau-kalau kami menabrak mobil atau truk atau bus atau kereta api atau apa pun.
Rupanya, aksi gila-gilaan Busli di jalanan menarik perhatian beberapa polisi yang berjaga di salah satu pos. Meski semula tidak paham, saya akhirnya menyadari ada dua polisi yang mengejar atau menguntit kami dari belakang. Busli tahu hal itu. Melalui spion, dia melihat dua polisi dengan sepeda motor mengejar kami. Tapi bukannya melambatkan laju motor, dia makin menggila.
Busli tahu arah mana saja yang tidak dihalangi lampu merah, dan dia menuju ke sana. Busli juga tampaknya tahu jalan-jalan tikus yang bisa dilewati, dan dia membawa motornya meliuk-liuk di jalanan itu, dengan dua polisi yang masih terus mengejar. Bisa jadi, polisi-polisi itu makin curiga dengan ulah Busli. Tanpa maksud berlebihan, waktu itu saya merasa sedang syuting film action ala Mission Impossible. Tom Cruise dikejar penjahat. Oh, well.
Akhirnya, kami sampai di toko buku yang dituju. Busli terus melaju menuju ruang parkir di bagian belakang. Dua polisi tadi masih terus mengejar, dan mereka kini juga masuk area parkir.
Waktu itu area parkir lumayan sepi—hanya ada beberapa orang, dan seorang satpam yang sedang berjaga. Begitu Busli dan saya turun dari motor, dua pistol mengarah ke arah kami. Dua polisi tadi telah berdiri di depan kami, dengan sikap penuh siaga, dengan pistol di tangan. Salah satu dari mereka berkata dingin, “Angkat tangan.”
Busli dan saya mengangkat tangan. Seorang polisi langsung menggeledah kami, sementara satunya masih mengacungkan pistol. Setelah yakin kami tidak membawa senjata atau apa pun yang berbahaya, mereka meminta surat-surat kendaraan. Busli mengeluarkan SIM dan STNK, juga KTP. Mereka memeriksa semuanya, dan tidak ada masalah. Jadi mereka tidak punya alasan untuk menilang.
Dua polisi itu masih muda, mungkin sebaya dengan Busli, atau setidaknya sedikit lebih tua. Salah satu dari mereka bertanya, kenapa tadi Busli memacu motor dengan sangat kencang. Busli menjawab, “Ini motorsport, dan saya tidak melanggar aturan lalu lintas mana pun.” (Maksudnya, dia tidak melanggar batas kecepatan, karena jalan yang tadi kami lalui memang tidak memberlakukan aturan batas kecepatan).
Polisi-polisi itu tampak kebingungan. Mereka sudah tidak mengacungkan pistol, tapi suasana terasa sangat tegang, seperti petasan yang siap meledak. Satpam di posnya—agak jauh dari tempat kami—tampak tak bergerak. Sementara orang-orang di tempat itu terlihat pura-pura tak tahu. Dua polisi menatap Busli dengan tampang curiga, dan Busli menatap balik mereka dengan sikap menantang. Saya bisa membayangkan, jika salah satu dari mereka bergerak, duel akan terjadi di tempat parkir itu.
Saya mencoba memecah ketegangan, dengan merogoh saku untuk mengambil rokok. Melihat tangan saya bergerak, seorang polisi segera mengacungkan pistol dengan tegang. Buru-buru saya berkata, “Saya mau mengambil rokok. Saya tegang, perlu merokok.”
Dia pun menurunkan pistolnya kembali, setelah jelas saya memegang bungkus rokok. Saya menyulut rokok, lalu meletakkan bungkus rokok dengan korek gas di atas jok motor Busli. Busli paham isyarat itu, dan dia mengambil rokok, menyulutnya, lalu dengan santai berkata pada polisi-polisi yang masih menatapnya, “Ada yang lain?”
Polisi-polisi itu pun tidak lagi setegang semula. Salah satu dari mereka kemudian berkata dengan datar, agar kami berhati-hati berkendara, dan lain-lain semacamnya. Lalu mereka pergi. Busli dan saya menghabiskan rokok di tempat parkir itu, lalu masuk ke toko buku. Satpam di sana sempat bertanya kejadian tadi, dan Busli menjawab, “Cuma salah paham.”
....
....
Di lain hari, ketika saya bertemu Firman, saya pun menceritakan kejadian itu. Sambil tertawa kecil, Firman menyahut, “Kau belum tahu aslinya Busli. Sebenarnya, dia jauh lebih mengerikan.”
Lalu Firman menceritakan. Kadang-kadang, saat sedang sangat marah, Busli sengaja mencari musuh, demi bisa menyalurkan kemarahan. Pada waktu-waktu semacam itu, Busli sering datang ke tempat-tempat rawan, lalu sengaja memancing beberapa bajingan hingga mereka terlibat perkelahian. “Dia sangat berbahaya ketika sedang haus darah,” ujar Firman.
Karena menyadari “kebiasaan mencari musuh” itu berbahaya, Busli pun menerapkan “aturan” yang sangat ketat. Pertama, dia tidak pernah membawa senjata apa pun. Kedua, dia memastikan musuhnya benar-benar bajingan. Ketiga, dia mengondisikan setiap pertarungan yang terjadi akibat provokasi, hingga dia sulit disalahkan. Firman menceritakan, gara-gara hal itu, Busli sampai berteman akrab dengan banyak polisi.
Ketika mendengar penuturan Firman waktu itu, saya membayangkan Busli adalah Batman dalam versi lebih gelap.
Saya memang menyadari, Busli sosok pemarah. Tetapi saya tidak tahu kalau kemarahannya bisa seberbahaya itu. Dan, akhirnya, suatu malam, saya benar-benar membuktikan semua penuturan Firman.
....
....
Suatu malam, saya datang ke rumah Busli, setelah janjian sebelumnya. Saat saya datang, dia mengajak pergi ke suatu tempat, mengendarai motorsport-nya yang masih baru. Lalu kami nongkrong di sana, bercakap sambil merokok. Saya menyadari, tempat kami nongkrong waktu itu sangat rawan. Karena sepi dan agak gelap, beberapa kasus kejahatan—semisal penodongan—biasa terjadi di situ. Sering ada pasangan muda-mudi yang pacaran di tempat itu, dan mereka kerap menjadi korban pemerasan.
Saya pun berkata pada Busli, agar kami pindah tempat lain saja, agar lebih nyaman. Tapi Busli hanya menjawab, “Aku sedang pusing.”
Sekitar pukul 22:30, dua orang tampak mendekati kami. Perasaan saya tidak enak. Busli berbisik, “Kalau terjadi apa pun, jangan bergerak di tempatmu, dan jangan lakukan apa-apa.”
Tepat seperti yang saya bayangkan, dua orang itu mendekati kami. Mereka memperhatikan motorsport Busli yang mahal, lalu memperhatikan kami. Kemudian, salah satu dari mereka berkata, “Boleh minta rokok?”
Busli menjawab, “Tidak boleh.”
Dua orang itu langsung terprovokasi. Salah satu dari mereka tiba-tiba mengeluarkan pisau, dan menodongkannya ke arah Busli, sambil berkata, “Kalau begitu, berikan dompetmu.”
Busli segera mengangkat tangan, dan berdiri. Dengan sikap sopan, dia berkata, “Oke, oke, maaf.”
Si penodong merasa di atas angin, dan makin mendekatkan pisaunya. “Dompetmu!”
“Iya, iya,” sahut Busli sambil menggerakkan tangan ke saku celana, seperti akan mengambil dompet. Tiba-tiba, dengan gerakan sangat terlatih, Busli merenggut pergelangan tangan si penodong pisau, menekuknya, dan menggoreskan pisau itu ke perut si penodong. Luka goresan itu cukup menyakitkan, dan Busli memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang rahang si penodong dengan sangat keras.
Dalam pertarungan tangan kosong, bagian tubuh yang sangat rawan adalah leher dan selangkangan. Tetapi menyerang leher sangat sulit, dan menyerang selangkangan hanya mungkin dilakukan jika jarak pertarungan cukup untuk melancarkan tendangan. Dalam posisi yang dekat, rahang sering menjadi tempat yang diincar. Ketika rahang terserang—apalagi sangat parah—musuh langsung terkapar.
Si penodong itu pun langsung jatuh. Temannya tampak kebingungan—antara mau lari dan ingin menyerang Busli. Dalam waktu yang amat menentukan itu, Busli langsung mendekati, dan menyerangnya dengan sangat mengerikan. Bajingan itu pun seketika terkapar seperti penodong temannya. Tapi Busli belum puas. Meski kedua lawannya telah jatuh, dia masih menyerang dengan sangat buas.
Waktu itu, saya sudah akan berdiri, dengan maksud untuk menghentikan, tapi Busli segera mengangkat tangannya, memberitahu agar saya tetap diam di tempat.
Setelah puas menyalurkan kemarahannya, Busli kembali duduk di samping saya, dan menyulut rokok. Kemudian, dia mengeluarkan ponsel, dan menghubungi temannya di kepolisian, memberitahu, “Ada dua bajingan mencoba menodongku di...” (dia menyebutkan tempat kami). “Mungkin kalian ingin menangkap mereka.”
Karena saya melihat kejadian itu, mau tak mau Busli merasa perlu menjelaskan sesuatu. Jadi, dia pun menceritakan.
“Aku sering merasa sangat marah,” ujarnya. “Dalam kondisi sangat marah, aku butuh menyalurkan kemarahan, dan cara itulah (maksudnya kejadian seperti tadi) yang selama ini bisa meredakan amarahku. Dulu, aku sering menggunakan sansak di gym untuk menyalurkan kemarahan. Tapi sansak hanya memperkuat otot-otot tangan, dan tak bisa menjadi saluran kemarahan.”
Cerita itu pun lalu mengalir... dan terus mengalir. Busli menceritakan penjahat-penjahat—kebanyakan penodong atau penjambret—yang pernah menjadi sasaran kemarahannya. Di tempat-tempat rawan, di diskotik, di stasiun, bahkan dalam bus. Sering, dia sengaja memprovokasi penjahat agar melakukan kejahatan kepada dirinya, dan Busli akan menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kemarahannya.
Saya pun bertanya, “Bagaimana kalau kau yang kalah?”
“Kadang aku memang kalah, dan itu tidak masalah,” jawab Busli. “Kalau kau menjalani hidup seperti kehidupan yang kujalani, kau tidak akan pernah takut pada apa pun, termasuk kekalahan atau kematian. Kalau kau menjalani hidup seperti hidupku, kau hanya mengenal kemarahan, luka, dan dendam, dan kau mungkin akan memaklumi yang kulakukan.”
....
....
Kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa ada orang seperti itu?
Jawabannya panjang... sangat panjang. Untuk memahami Busli seutuhnya, kita harus flashback ke tahun-tahun silam, saat dia masih kanak-kanak, lalu tumbuh remaja, hingga dewasa. Ceritanya panjang, rumit, dan—seperti yang dikatakannya—penuh amarah, luka, dan dendam. Saya mengetahui keseluruhan kisah hidup Busli melalui seseorang, lewat sebuah peristiwa yang menakjubkan.
Saya akan mengisahkannya, di catatan yang akan datang.