Minggu, 25 Maret 2018

Rahasia Perkawinan yang Tidak Pernah Dikatakan Kepadamu

Pelajaran terbaik tentang pernikahan adalah segala hal tentang menikah 
yang tidak pernah dikatakan kepadamu oleh orang yang telah menikah.


Selama bertahun-tahun, bahkan selama berdekade-dekade, kita ditipu dan dikibuli tentang realitas perkawinan, sehingga jutaan orang tertipu dan terus tertipu. Yang ironis, dan mengerikan, penipuan terkait perkawinan selama ini terkesan dibiarkan, meski korban terus berjatuhan. Nyaris tidak ada satu orang pun yang berusaha menghentikan penipuan itu, padahal penipuan terkait perkawinan telah menghasilkan jutaan korban, berupa anak-anak tak berdosa.

Ada jutaan anak tak berdosa yang dilahirkan, akibat orang tuanya tertipu oleh bualan dan doktrin dusta perkawinan. Anak-anak itu lalu tumbuh bersama penderitaan, penganiayaan, akibat penyesalan orang tuanya yang dipendam diam-diam. Lalu anak-anak itu pun hidup bersama luka, kesepian, dan hati yang gersang. Itu jelas korban yang mengerikan, karena terkait anak-anak yang akan menjadi manusia dewasa. Karenanya, jika penipuan terkait perkawinan tidak segera dihentikan, kita sedang merusak manusia hingga ke akar-akarnya.

Mari kita mulai dengan penipuan busuk perkawinan yang selama ini didengung-dengungkan orang di mana pun. Yaitu soal kebahagiaan, rezeki, dan tetek bengek lain yang terdengar indah.

Setiap kali orang mengkhutbahkan perkawinan, setiap kali orang menyuruh dan memprovokasi orang lain cepat menikah, setiap kali pula mereka menyodorkan bualan busuk itu. Bahwa orang akan tenteram dan bahagia setelah menikah, bahwa rezeki akan lancar setelah menikah, pendeknya perkawinan adalah surga!

Yang tidak mereka katakan... berapa lama “surga” itu akan bertahan?

Kalau kau menikah sekarang, hampir bisa dipastikan kau akan bahagia, merasakan semua baik-baik saja, dan kau pasti akan setuju bahwa perkawinan memang surga—setidaknya sampai beberapa bulan ke depan. Semua pengantin baru juga tahu soal itu!

Beberapa bulan, atau setidaknya setahun sejak menikah, semua akan tampak sesuai doktrin dan bualan tentang perkawinan yang biasa kita dengar. Agar tidak bertele-tele, kita ambil saja dua hal penting yang biasanya menjadi “pokok bualan” orang-orang, yaitu kebahagiaan dan kelancaran rezeki.

Benarkah orang menikah akan bahagia? Jelas! Bagaimana tidak bahagia, kalau kau bisa bercinta kapan pun dan di mana pun, tanpa khawatir digerebek Satpol PP? Dengan modal buku nikah, kau bisa melakukan apa pun dengan pasanganmu, dan tidak ada siapa pun yang berhak mengusikmu. Sangat jelas, kau akan bahagia setelah menikah.

Sebagian orang kadang “sok alim” dengan mengatakan bahwa mereka menikah karena alasan-alasan tertentu yang terdengar “suci”. Padahal, kalau mau jujur, motivasi kebanyakan mereka ngebet kawin sebenarnya karena seks!

Akui sajalah kenyataan itu, karena homo sapiens memang begitu! Karenanya, diakui atau tidak, seks adalah bagian dari motivasi orang menikah, bahkan bisa jadi motivasi terbesar.

Mereka butuh bercinta dengan pasangan, atau—dalam bahasa blak-blakan—butuh ngeseks! Ketika kebutuhan seks dapat dilakukan dengan mudah melalui perkawinan, mereka pun ngebet kawin. Sebenarnya, inti masalahnya sesederhana itu. Oh, saya tahu betul soal ini, karena saya juga manusia seperti kalian. Jadi tidak usah malu atau berusaha menutupi sesuatu yang sama-sama kita tahu. Dalam urusan seks, homo sapiens—yaitu kita—termasuk juara!

Jadi, ketika orang menikah, dan kebutuhan besar terhadap aktivitas seks dapat dilakukan dengan mudah serta legal, orang pun bahagia setelah menikah. Logika yang sangat mudah dipahami. Itu tak jauh beda dengan orang yang berhari-hari kelaparan karena tidak punya apa pun yang bisa dimakan, lalu datang ke perjamuan yang membebaskan makan apa pun dan sebanyak apa pun. Jelas, siapa pun akan bahagia!

Karena itu, ketika orang mengatakan bahwa menikah akan membuatmu bahagia, itu benar. Yang tidak mereka katakan... sampai kapan “kebahagiaan” itu akan bertahan?

Cepat atau lambat, pasangan yang paling menggebu sekali pun akan sampai pada titik bosan. Sebagian dari mereka ada yang mulai bosan pada pasangan setelah setahun, dua tahun, atau tiga tahun. Kalau kau dan pasanganmu telah menikah lebih dari tiga tahun, dan tetap rutin melakukan aktivitas seks setidaknya tiga kali seminggu, kau dan pasanganmu layak mendapat piagam!

Ketika masih pengantin baru, sepasang pria dan wanita bisa berhubungan seks hingga berkali-kali dalam sehari. Siapa yang tidak bahagia? Oh, well, homo sapiens pasti bahagia! Tetapi, seiring perjalanan waktu, aktivitas itu akan berkurang dan terus berkurang. Dari berkali-kali sehari, berubah menjadi sekali sehari. Lalu dua hari sekali. Lalu tiga hari sekali. Dan begitu seterusnya. Pada titik tertentu, mereka bahkan tidak berminat untuk berhubungan seks dengan pasangan, sampai berminggu-minggu.

(Jika ada yang meragukan pernyataan itu, silakan tanya siapa pun yang telah menikah bertahun-tahun, dan minta mereka menjawab dengan jujur!)

Rasa bosan, itu fakta yang tak pernah diungkapkan orang-orang yang suka membual tentang perkawinan. Dan mereka tidak akan mengatakan hal itu—bahwa mereka bosan pada pasangannya—karena tentu malu dan tidak enak hati. Bagaimana mungkin kau akan mengatakan pada orang lain, bahwa kau bosan pada pasanganmu sendiri?

Jika ada orang mengatakan bahwa dia tidak pernah bosan pada pasangannya, meski telah menikah bertahun-tahun, hanya ada satu kesimpulan: Dia bohong! Karena itu justru tidak manusiawi! Kalau kau manusia, benar-benar manusia, kau akan bosan dengan pasanganmu. Tidak bisa tidak! Karena rasa bosan adalah fitrah atau sifat manusia. Mengatakan bahwa kau tidak pernah bosan, sama artinya mengatakan kau bukan manusia.

Jadi, itu rahasia pertama terkait perkawinan, yang tidak pernah dikatakan orang-orang kepadamu. Mereka membual tentang keindahan perkawinan, tapi tidak mengatakan bahwa keindahan itu sebenarnya temporer. Mereka mengiming-imingi kebahagiaan—karena bisa ngeseks dan ngeseks dan ngeseks setiap saat—tapi tidak menyatakan bahwa suatu saat hal itu akan sampai pada titik bosan. Mereka tidak pernah mengatakan itu—oh, well, mereka malu mengatakan hal itu!

Sampai di sini, mungkin ada yang ingin mengatakan, “Perkawinan tidak melulu soal seks saja, kan? Dengan menikah, kita punya pasangan yang bisa diajak bertukar pikir dalam menjalani kehidupan, dan hal itu pun bisa membuat bahagia.”

Kedengarannya benar. Tapi ada satu masalah di sini.

Kalau pasanganmu adalah sosok yang baik, pendengar yang baik, tahu cara berempati, dan dia dapat mendukungmu dalam suka maupun duka, maka teori itu benar. Bahwa menikah membuatmu memiliki seseorang yang bisa diajak bertukar pikir, dalam menjalani kehidupan. Tapi bagaimana jika pasanganmu tidak seperti itu? Karena, kenyataannya, ada banyak orang yang justru sangat egois, tidak bisa berempati, dan hanya memikirkan diri sendiri.

Sekarang bayangkan apa yang terjadi, kalau ternyata pasanganmu justru sosok egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tak peduli terhadapmu? Masih mungkinkah kau mengatakan bahwa menikah membuatmu bahagia karena memiliki seseorang yang dapat “diajak bertukar pikir”? Alih-alih bahagia, kau justru akan tertekan, mengutuki diri sendiri, dan menyesal karena telah menikah! Itu fakta yang telah dialami jutaan orang—kalau saja mereka mau jujur dan berterus terang!

Jika kalian bertanya bagaimana menyiasati kebosanan dan masalah seperti di atas, jawabannya panjang. Dan karena catatan ini hanya berfokus pada masalah—rahasia perkawinan yang disembunyikan—catatan ini pun tidak akan memberi solusi atau cara menyiasati. Mungkin akan saya bicarakan di catatan lain.

Sekarang kembali ke inti persoalan, yaitu rahasia perkawinan yang tidak pernah dikatakan kepadamu. Jika bualan atau tipuan pertama adalah iming-iming kebahagiaan, yang kedua adalah iming-iming rezeki. Para pembual mengatakan, menikah akan melancarkan rezeki. Benarkah?

Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Karena, kenyataannya, ada orang yang menikah dan rezekinya makin lancar, ada pula yang menikah tapi hidupnya justru keblangsak! Akui saja fakta itu, daripada terus ngibul dan nipu-nipu.

Lihatlah realitas—itu fakta yang sangat jelas, sebelum menyodorkan teori yang terdengar ndakik-ndakik, tapi tidak berdasar. Berdasarkan realitas, kita tahu ada pasangan yang menjalani kehidupan berkelimpahan, berkecukupan, atau juga berkekurangan. Itu realitas! Jangan mencoba berdusta melawan realitas, karena itu sama artinya kau bangsat tak tahu malu. Realitasnya sudah jelas A, tapi masih ngotot mengatakan B. Itu ngawur sekaligus tak tahu malu!

Persoalan rezeki (dalam hal ini rezeki berbentuk uang atau segala sesuatu yang bersifat kebendaan) tidak bisa semata disandarkan pada apakah seseorang menikah atau tidak, karena rezeki orang per orang lebih didasarkan pada upaya orang bersangkutan. Kalau kau bangsat pemalas—yang lebih giat ngeseks tapi ogah kerja—tetap saja hidupmu akan keblangsak, meski kau menikah seratus kali!

Kalau memang menikah menjamin rezeki lancar, saya akan menikah empat kali sekalian, biar rezeki saya selancar air keran! Sudah punya empat istri, dan rezeki datang bertubi-tubi. Tapi apa iya, realitasnya semudah itu?

Rezeki seseorang lebih terkait pada semangat orang bersangkutan dalam mencari rezeki, dan tidak bisa semata disandarkan pada apakah dia menikah atau tidak.

Memang, setelah menikah, orang—khususnya laki-laki—akan lebih giat bekerja, karena merasa telah memiliki tanggungan (istri dan mungkin juga anak) yang harus dihidupi. Karena kesadaran itu, dia pun bekerja lebih keras, lebih tekun, lebih giat, dan—bisa jadi—rezeki pun semakin lancar. Jika memang begitu kenyataannya, maka teori yang mengatakan bahwa “menikah akan melancarkan rezeki” bisa dibilang benar.

Tetapi, sebaliknya, ada orang yang telah menikah, dan sadar bahwa dia memiliki keluarga yang harus dihidupi, tapi ogah-ogahan dalam bekerja. Apakah kemudian rezeki akan lancar sendiri? Jawabannya jelas, tidak! Itu logika yang sangat mudah dipahami. Tak peduli kau menikah atau tidak, kelancaran rezeki tetap bergantung pada usahamu, bukan pada status perkawinanmu!

Berdasarkan kenyataan itu, maka lancar atau tidaknya rezeki lebih tergantung pada orang per orang, bukan pada status pernikahan. 

Meski kau tidak/belum menikah, kau juga bisa kaya, dan rezekimu akan lancar, kalau kau bekerja keras, tekun, giat, dan sungguh-sungguh. Kalau kau menghabiskan waktumu hanya untuk bekerja, mau tak mau rezekimu akan lancar, bahkan bisa jadi lebih lancar dibanding orang yang telah menikah. Karena kau bisa bekerja tanpa diganggu siapa pun, sementara yang sudah menikah harus diganggu anak dan pasangan.

Jadi, sekali lagi, doktrin yang mengatakan bahwa rezeki akan lancar setelah menikah, tidak seratus persen benar. Karena rezeki lebih tergantung pada usaha serta kerja keras seseorang, dan bukan pada status pernikahan.

Doktrin “bahagia dan rezeki lancar setelah menikah” itu sebenarnya juga berbahaya, karena dapat menjerumuskan orang-orang yang dangkal pikir, yang ngebet kawin karena berharap kaya hanya karena menikah. Iming-iming semacam itu, sebenarnya, tak jauh beda dengan iming-iming para motivator bayaran—terdengar indah di telinga, tapi sering tak sesuai realitas. Terdengar hebat, tapi sebenarnya omong kosong.

Sering kali, orang yang mendoktrin tentang “rezeki lancar setelah menikah” mengait-ngaitkan doktrin itu dengan ajaran agama, atau bahkan ayat Alquran. Konyolnya, mereka tidak paham maksud ayat yang mereka gunakan, dan menafsirkannya dengan kedangkalan otaknya sendiri. Akibatnya, makin banyak orang tersesat, karena disesatkan segelintir orang yang tidak tahu tapi sok tahu!

Sekadar ilustrasi, Fatimah—putri Nabi Muhammad SAW—menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Itu pernikahan dua orang yang sangat mulia. Yang wanita adalah putri Sang Nabi, sementara yang pria adalah sosok luar biasa, generasi Islam pertama, bahkan salah satu intelektual di zaman awal Islam. Ketika mereka menikah, bahkan langit dan bumi memberi restu.

Apakah Fatimah seorang wanita yang baik dan salihah? Jelas! Tidak ada satu orang pun yang bisa membantah kenyataan itu. Dan apakah Ali bin Abi Thalib seorang pria yang baik? Jawabannya sama! Bukan hanya baik, Ali bin Abi Thalib bahkan dihormati sebagai sosok mulia. Seluruh jazirah Arab tahu kenyataan itu. Meski saya bukan Syiah, sejujurnya saya fans berat Ali bin Abi Thalib, karena menyadari dia sosok luar biasa, yang sulit dicari tandingannya.

Sekarang... apakah Fatimah dan Ali bin Abi Thalib menjalani kehidupan perkawinan yang kaya dan lancar rezeki—bahagia selama-lamanya—sebagaimana yang biasa diocehkan orang-orang di zaman kita?

Jawabannya tidak!

Suatu hari, Nabi Muhammad SAW menjenguk putrinya, dan mendapati Fatimah sedang menangis sendirian di dapur, sementara Ali bin Abi Thalib sedang keluar. Nabi bertanya mengapa putrinya menangis, dan Fatimah curhat kepada ayahnya mengenai beratnya beban rumah tangga. Mendengar keluh kesah putrinya, Nabi menghibur serta membesarkan hati Fatimah, dan mendoakannya.

Kisah itu bisa menjadi ilustrasi yang jelas, sekaligus nyata. Bahwa menikah tidak serta merta menjadikanmu bahagia dan lancar rezeki. Kalau memang menikah menjadikan bahagia dan lancar rezeki—dan dalih itu didasarkan pada ajaran agama atau ayat suci—mestinya pernikahan putri Nabi akan menjadi contoh pertama! Faktanya tidak!

Kisah lain yang bisa dijadikan contoh nyata adalah Zainab binti Jahsy. Ia hidup di zaman Nabi Muhammad SAW, dan menjadi salah satu wanita yang dijamin masuk surga. Jika Sang Nabi yang menjamin seseorang masuk surga, siapakah yang berani menentang? So, kita bisa sepakat bahwa Zainab binti Jahsy adalah wanita luar biasa, dengan hati dan pikiran yang mulia.

Oleh Sang Nabi, Zainab dijodohkan dengan Zaid bin Haritsah, seorang lelaki yang sangat dekat dengan Nabi, dan termasuk salah satu sahabat. Maka, Zainab pun menikah dengan Zaid, dan jazirah Arab bergembira untuk pernikahan mereka. Yang wanita adalah sosok mulia yang dijamin masuk surga, sementara yang lelaki adalah sahabat dekat Nabi.

And then, apakah perkawinan mereka tenteram, bahagia, dan lancar rezeki?

Jawabannya tidak!

Rumah tangga Zainab dan Zaid sama sekali tidak bahagia, bahkan penuh konflik rumah tangga. Selama waktu-waktu itu, Nabi Muhammad SAW berusaha mempertahankan perkawinan mereka, agar mereka tetap rukun sebagai suami istri. Tapi upaya itu pun tak berhasil. Perkawinan Zainab dan Zaid bahkan kemudian berakhir perceraian.

Did you see that...?

Bahkan dua orang yang dijodohkan oleh Sang Nabi pun bisa berakhir perceraian! Kalau memang orang menikah dijamin tenteram, bahagia, dan tetek bengek semacamnya, mestinya Zaid dan Zainab akan hidup bahagia selama-lamanya. Faktanya tidak!

Jadi, lihatlah realitas, sebelum ngibul dan sok berteori. Karena tak peduli terdengar hebat seperti apa pun, teorimu tetap ngibul kalau tidak sesuai realitas. Wong sudah jelas banyak orang bercerai, keluarga berantakan, masih saja ngibul mengatakan bahagia dan tenteram. Sudah jelas banyak pasangan yang miskin dan anak-anak telantar, masih saja sok berteori bahwa rezeki akan lancar. Jika teori tidak sesuai realitas, artinya teorimu ngawur!

Akhirnya, saya ingin mengatakan, bahwa menikah itu baik. Dan mengajak orang pada kebaikan (dalam hal ini menikah) adalah perbuatan yang baik. Tetapi lakukanlah perbuatan yang baik itu dengan cara yang baik. Yaitu dengan kejujuran, bukan dengan penipuan. Dengan berterus terang, bukan malah menjerumuskan.

Kalau kau mengatakan hal-hal indah tentang pernikahan, katakan pula hal-hal yang tidak indah dalam pernikahan. Kalau kau mengatakan hal-hal menyenangkan terkait pernikahan, katakan pula hal-hal tidak menyenangkan dalam pernikahan. Karena pernikahan memang berisi hal-hal enak, tapi juga mengandung konsekuensi yang tidak enak. Karenanya, jangan hanya mengatakan enaknya sambil menyembunyikan tidak enaknya. Itu menipu sekaligus menjerumuskan, sesat sekaligus menyesatkan!

Akhir kata, bagaimana pun, hidup adalah soal pilihan. Begitu pula pernikahan, keputusan memiliki anak, atau cara kita dalam menikmati hidup dan kebahagiaan. Yang indah bagimu belum tentu indah bagi orang lain, sehingga tidak perlu memaksakan pilihanmu kepada orang-orang lain.

Sebenarnya, hidup sesederhana itu, kalau saja kita mau berpikir.

Para Perusak Manusia

Seperti narkoba atau apa pun yang merusak di bawah langit, 
pernikahan yang dilakukan tanpa pikiran dan pertimbangan bijak 
bisa merusak manusia, menggerogoti akal sehat dan pikiran mereka, 
hingga pelakunya tidak lagi hidup secara utuh sebagai manusia 
dengan nurani dan kewarasan.


Orang-orang menyinyiri dan memprovokasi para lajang agar segera menikah. Ketika para lajang menyatakan bahwa mereka sedang berusaha membangun kehidupan agar lebih baik, dan tidak ingin buru-buru menikah, orang-orang menyatakan, “Menikah akan membuat hidupmu lebih baik, karena menikah akan melancarkan rezeki.”

Maka para lajang pun menikah, karena percaya bahwa menikah akan menjadikan hidup mereka lebih baik.

Setelah para lajang menikah, orang-orang kembali menyinyiri dan memprovokasi agar cepat punya anak. Ketika nyinyiran dan provokasi itu dijawab bahwa mereka ingin membangun hidup lebih baik, dan tidak ingin buru-buru punya anak, orang-orang menyatakan, “Punya anak membuat hidupmu lebih baik, tak perlu khawatir. Karena anak-anak memiliki rezeki sendiri.”

Lalu mereka pun punya anak. Bahkan, ketika sudah punya satu anak, orang-orang masih menyinyiri dan memprovokasi agar menambah anak. “Banyak anak banyak rezeki,” kata mereka.

Dan terjadilah yang terjadi.

Mereka, yang dulu punya impian indah ketika lajang, kemudian terjebak dalam keluarga dan berkutat hanya di seputar pasangan dan anak-anak, pasangan dan anak-anak, pasangan dan anak-anak, dengan berbagai masalah dan problematika yang tak juga selesai.

“Menikah akan membuat hidupmu lebih baik, karena melancarkan rezeki,” kata orang-orang. Tapi sebagian mereka menjalani perkawinan dengan realitas mengerikan. Dari pasangan yang bermasalah, sampai munculnya aneka persoalan yang tak terbayang.

Lalu orang-orang memprovokasi, “Punyailah anak-anak, karena akan menjadikan hidup lebih baik. Anak-anak memiliki rezeki sendiri.”

Dengan harapan dapat memperbaiki kehidupan, pasangan-pasangan itu pun memiliki anak. Tidak cukup satu, tapi beberapa. Berharap kehadiran anak-anak—entah bagaimana caranya—bisa memperbaiki kehidupan mereka yang rusak.

Tetapi realitas sering tak seindah omongan. Setelah anak lahir, kehidupan bukan menjadi lebih baik, tapi makin buruk. Jika semula masalah hanya datang dari pasangan, kini juga datang dari anak. Makin banyak anak, makin besar masalah. Pengeluaran dan kebutuhan kian bertambah, tumpukan masalah ikut bertambah. Kehidupan yang semula diimpikan indah, sama sekali tak terlihat. Bukannya melancarkan rezeki, mereka justru harus montang-manting, bahkan kadang terjerat utang, demi mendapat “rezeki”.

Lalu mereka menemui orang-orang yang dulu menyinyiri dan memprovokasi mereka, mencoba mempertanyakan realitas nasib mereka. “Kenapa kehidupan perkawinan yang kujalani bukan menjadikan hidupku lebih baik, tapi malah kacau? Kenapa keberadaan anak-anak bukan menjadikan rezekiku makin lancar, tapi malah membuatku terus menerus hidup tertekan akibat banyak kebutuhan?”

Dan orang-orang, yang dulu memprovokasi mereka, menjawab dengan enteng, “Lho, yang dimaksud rezeki dalam perkawinan tidak harus berbentuk uang...”

....
....

Kalau memang begitu kenyataannya, jelaskan sejak awal!

Sudah merusak kehidupan orang-orang lain, enak saja mengatakan, “Yang dimaksud rezeki dalam perkawinan tidak harus berbentuk uang...”

Waspadailah, para perusak manusia semacam itu ada di sekitar kita. Mereka akan mengatakan apa pun yang mungkin terdengar indah dan menyenangkan, agar kau segera menikah dan punya anak-anak. Mereka tidak peduli jika harus berbohong dan berbohong, berdusta dan berdusta. Tujuan mereka cuma satu, yaitu melihatmu sama keblangsak seperti mereka!

Bukan begitu, sialan? 

Yang kalian lakukan adalah kejahatan, karena tidak hanya merusak kehidupan orang-orang lain, tapi juga merusak anak-anak yang kemudian mereka lahirkan. 

Pembodohan yang Menyesatkan

Yang mengatakan Islam mewajibkan perkawinan, artinya tidak belajar dengan benar. Islam hanya mendukung (mengimbau) perkawinan, tapi TIDAK MEWAJIBKAN.

Ada banyak ulama yang memilih melajang. Tentunya mereka lebih tahu ajaran Islam daripada orang-orang sok pintar yang sok Islam.

Menggunakan agama sebagai dalih untuk menyuruh dan memprovokasi orang lain agar segera menikah, adalah sebentuk pembodohan yang menyesatkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2016.

Selasa, 20 Maret 2018

Berharga, tapi Tak Terlihat

Kalau aku bisa mengulang kelahiranku, 
yang akan kulakukan adalah lebih banyak belajar, 
lebih banyak membaca, dan lebih banyak bekerja.


Kita tentu pernah atau bahkan sering mendengar istilah “manajemen waktu”. Istilah itu sebenarnya membingungkan, untuk tidak menyebut keliru. Manajemen berkaitan dengan pengaturan, dan satu-satunya hal yang bisa diatur adalah sesuatu yang memang bisa diatur. Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa diatur. Jadi mau di-manage atau diatur bagaimana?

Waktu adalah sesuatu yang tetap dan pasti. Ada 24 jam dalam sehari semalam, ada 7 hari dalam seminggu, dan ada 12 bulan dalam setahun. Itu jumlah waktu tetap dan pasti yang dimiliki siapa pun yang masih hidup. Karenanya, mau di-manage dengan cara apa pun, waktu tidak bisa diubah. Karenanya pula, istilah “manajemen waktu” sebenarnya tidak merujuk kepada waktu, melainkan merujuk pada bagaimana kita menggunakan dan memanfaatkan waktu. Mungkin, istilah yang lebih tepat adalah “manajemen diri”.

Waktu tidak bisa diubah, bahkan tidak bisa diutak-atik. Tetapi, kita selalu bisa mengubah diri kita sendiri. Kita selalu bisa memilih untuk “menggunakan waktu” atau sekadar “menghabiskan waktu”. Karena setiap orang diberi waktu yang sama dalam satu hari, dan masing-masing orang bebas menggunakannya dengan cara mereka sendiri. Dalam hal ini, masing-masing orang tidak bisa mengatur waktu, tapi bisa mengatur diri sendiri.

Yang berbahaya dari waktu adalah, ia tak terlihat. Akibatnya, banyak orang terlena dan tanpa sadar menghabiskan secara sia-sia. Padahal, sesuatu paling berharga di muka bumi adalah waktu. Hal pertama yang diberikan untuk setiap manusia yang lahir ke dunia adalah waktu. Hal penting yang memungkinkan manusia bisa melakukan banyak hal adalah waktu. Dan hal terakhir yang dimiliki manusia saat mati adalah waktu.

“Waktu adalah uang,” kata Benjamin Franklin. Sebenarnya, waktu bahkan lebih berharga daripada uang. Uang yang hilang bisa dicari lagi, tapi ke mana kita bisa mencari waktu yang hilang? Jangankan waktu satu tahun yang lalu, bahkan waktu satu detik yang lalu pun tidak bisa kita raih kembali. Jika sudah lewat, ia pun hilang. Charles Darwin menyatakan, “Waktu adalah kehidupan.” Karena memang waktulah yang membentuk kehidupan.

Jauh-jauh hari sebelum Franklin dan Darwin ngoceh soal waktu, Ali bin Abi Thalib mengatakan ilustrasi serupa. Ia berkata, “Waktu adalah pedang.” Maksudnya, jika kita tidak bisa mengendalikan dan menggunakan waktu dengan baik, maka waktu akan membunuh kita. Karenanya, setiap orang memiliki dua pilihan—mengendalikan waktu, atau dikendalikan waktu. Jika saya harus memilih, saya memilih yang pertama.

Sejak pertama kali menyadari pentingnya waktu, bisa dibilang kehidupan saya berubah. Semula, saya bisa seenaknya menggunakan waktu untuk hal-hal tak berguna, sia-sia, dan menghambur-hamburkannya untuk tujuan tidak jelas. Dan saya bersyukur karena akhirnya menyadari kesalahan itu, meski mungkin telah terlambat. Kalau saja bisa, saya ingin sadar jauh-jauh hari sebelumnya, agar tidak terlalu banyak waktu yang terbuang percuma.

Kini, sering kali saya menyesali waktu-waktu lampau, dan mengingat betapa banyak waktu yang saya buang sia-sia. Selama waktu-waktu itu, saya tidak menggunakan waktu, melainkan hanya menghabiskan waktu. Akibatnya, waktu saya habis, tapi tidak menghasilkan apa pun yang berharga. Itu, bagi saya, adalah kerugian nyata, yang tidak bisa saya tebus bagaimana pun caranya.

Untung, akhirnya saya menyadari, dan mulai belajar memperbaiki diri. Untuk menggunakan waktu dengan baik, untuk memanfaatkan waktu agar tidak terbuang percuma, untuk menyadari bahwa waktu yang hilang tak pernah bisa kembali. Sejak itu pula, saya pun belajar menjalani kehidupan lebih baik, dan menggunakan setiap saat yang saya miliki sebaik-baiknya. Tidak boleh ada lagi penghamburan waktu sia-sia.

Karena kenyataan itu pula, saya pun menjalani kehidupan pribadi dengan pengaturan yang sangat ketat. Untuk setiap hal, untuk banyak kegiatan, saya berupaya mengatur dengan baik, agar benar-benar bisa menggunakan waktu dengan cara terbaik. Itu, bagi saya, adalah upaya menebus kebodohan di masa lalu saat belum menyadari pentingnya waktu. Bagaimana pun, saya tidak ingin menyesal dua kali, karena hidup di dunia cuma sekali.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering berpesan ke teman-teman, agar mereka kirim SMS atau menelepon dulu jika ingin datang ke rumah. Aturan itu saya tetapkan demi kebaikan bersama. Jangankan dengan teman atau orang lain, bahkan adik saya sendiri pun akan menelepon atau mengabari terlebih dulu jika akan datang. Sekali lagi, aturan itu dibuat bukan untuk mempersulit, tetapi untuk mempermudah, sekaligus untuk menghargai waktu.

Saya tinggal di rumah sendirian, tidak ada orang lain. Dalam sehari semalam, saya terus menjalani berbagai aktivitas dan kesibukan sehari-hari, yang bisa dibilang tak pernah berhenti. Sesekali saya juga keluar rumah untuk mencari kebutuhan seperti makan, atau ketika ada sesuatu yang mengharuskan saya keluar rumah. Kadang bisa sebentar, kadang pula bisa lama.

Jika ada teman yang datang tanpa pemberitahuan, bisa jadi saya sedang keluar rumah. Ketika dia datang, dia tidak bisa menemui saya, dan itu tentu tidak baik untuknya. Sudah datang jauh-jauh, berharap bisa ketemu, tapi ternyata saya sedang pergi dan tidak ada di rumah. Kadang ada teman yang menghubungi ponsel saya, dan berkata, “Aku di depan rumahmu.” Sementara, waktu itu, saya sedang jauh dari rumah, dan saya pun menyesal. Saya menyesal tidak bisa menemuinya, dan kasihan kepadanya karena sudah datang jauh-jauh tapi kami tidak bisa bertemu.

Atau, bisa jadi, saya sedang di rumah, dan sedang khusyuk mengerjakan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi. Lalu ada orang datang tanpa pemberitahuan. Jujur saja, itu bisa mengacaukan pekerjaan yang sedang saya hadapi. Biasanya, ketika menghadapi hal semacam itu, saya harus memilih satu di antara dua hal yang sama-sama tidak enak.

Pilihan pertama, meninggalkan pekerjaan agar bisa menemui teman yang datang, dan itu artinya pekerjaan akan terbengkalai. Pekerjaan saya menggunakan pikiran. Jika ditinggal dan saya lupa, maka saya harus memulai dari awal lagi. Sedangkan pilihan kedua, saya mempersilakan teman saya masuk dulu, lalu saya tinggal untuk meneruskan pekerjaan, dan itu artinya dia harus menunggu sampai saya selesai, yang bisa jadi cukup lama. Sama-sama tidak enak, dan sama-sama tidak baik—bagi saya, juga bagi dia.

Karena itulah, saya meminta agar mengabari terlebih dulu jika mau datang ke rumah, agar kami sama-sama nyaman. Jika seseorang mengabari akan datang, dan kebetulan saya sedang di luar rumah, saya bisa memberitahukan hal itu. Biasanya, saya akan menawari, “Bagaimana kalau satu jam lagi?” Satu jam kemudian, saya pun sudah pulang ke rumah, dan siap menyambutnya. Lalu kami bisa bertemu dengan baik, bisa berinteraksi dengan baik.

Sebaliknya, jika saya kebetulan di rumah dan sedang khusyuk mengerjakan sesuatu, saya pun tidak panik jika orang datang dengan pemberitahuan terlebih dulu. Jika ada teman yang kirim SMS dan bilang mau datang, saya pun bersiap-siap menyelesaikan sesuatu yang sedang saya kerjakan, atau menghentikannya di tempat yang tepat, sehingga bisa melanjutkannya nanti dengan mudah. Ketika teman datang, saya pun bisa menyambutnya dengan baik, tanpa harus memintanya menunggu dulu. Lalu kami pun bisa bertemu dengan baik, bisa berinteraksi dengan baik.

Jadi, aturan “kabari dulu sebelum datang” yang saya terapkan dalam kehidupan pribadi tidak dimaksudkan untuk mempersulit, melainkan justru untuk mempermudah. Agar kami bisa sama-sama nyaman, dan agar waktu pertemuan bisa dinikmati dengan sama nyaman. Bagaimana pun, saya senang jika ada teman yang datang. Namun, saya akan lebih senang jika mereka datang dengan pemberitahuan, agar saya bisa menyambut dengan lebih baik.

Sejak pertama kali menyadari pentingnya waktu, saya jadi terbiasa dengan satu hal, yakni persiapan. Untuk melakukan apa pun, saya harus mempersiapkan diri dengan baik. Untuk jangka pendek, saya biasa mempersiapkan hal-hal yang akan saya lakukan hari ini, besok pagi, atau seminggu ke depan. Sedang untuk jangka panjang, saya pun berusaha mempersiapkan hal-hal yang akan saya lakukan dalam setahun mendatang, lima tahun mendatang, dan seterusnya. Waktu tidak bisa diatur, tapi saya bisa mengatur diri sendiri.

Karena pengaturan diri sendiri yang ketat semacam itu pula, saya membenci kejutan. Saya lebih terbiasa dengan segala hal yang terencana, dan telah disiapkan dengan baik. Jadi, hal-hal yang akan saya lakukan besok biasanya telah saya siapkan hari ini. Hal-hal yang akan saya lakukan minggu depan biasanya telah saya siapkan minggu ini. Setelah jadwal ditetapkan, saya pun berusaha menepati dengan baik.

Karena itulah, sekali lagi, saya membenci kejutan! Karena kejutan akan merusak jadwal saya, karena kejutan akan mengacaukan waktu yang telah saya atur dengan baik. Dalam hal ini, kedatangan seseorang tanpa pemberitahuan termasuk “kejutan”, karena itu di luar pengaturan yang telah saya tetapkan.

Sekali lagi, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, bahkan paling berharga dalam kehidupan kita. Yang menjadi masalah, waktu adalah sesuatu yang tetap dan pasti, namun tidak terlihat. Kita tidak bisa mengatur waktu, tapi kita bisa mengatur diri sendiri. Kita tidak bisa mengubah waktu, namun kita bisa mengubah diri sendiri. Jika kita ingin mengubah diri sendiri, tentu kita ingin mengubah diri menjadi lebih baik. Begitu pula saya. Di masa lalu, saya telah banyak membuang dan menghamburkan waktu. Kini, saya ingin lebih baik dari itu.

Sering kali saya takjub membaca kisah orang-orang hebat yang sangat produktif dan mengagumkan, entah yang hidup di masa lalu, maupun yang hidup di masa kini. Mereka memiliki sesuatu yang juga dimiliki orang lain, yaitu waktu—dalam jumlah yang sama, dalam durasi yang sama. Tapi mereka bisa melakukan dan mengerjakan banyak hal mengagumkan, sementara rata-rata orang lain tidak bisa. Apa yang membedakan? Jawabannya satu; cara menggunakan waktu.

Orang tidak dilahirkan dengan kemampuan tertentu, atau dengan kehebatan tertentu. Merekalah yang membangun kemampuan dan kehebatan itu. Dengan menggunakan dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, mereka membangun diri mereka, memperkaya wawasan, memperdalam pengetahuan, mengasah bakat, meluaskan cakrawala... sementara rata-rata orang lain menghamburkan waktu sia-sia.

Orang-orang hebat “menggunakan waktu”, sementara orang-orang biasa “menghabiskan waktu”.

Sekilas, dua hal itu tampak sama, tapi jauh berbeda. Yang “menggunakan waktu” menyadari apa yang dilakukan, sementara yang “menghabiskan waktu” tidak menyadari apa yang dilakukan. Hasilnya, waktu mereka sama-sama habis dan hilang. Tapi yang “menggunakan waktu” menghasilkan sesuatu, sementara yang “menghabiskan waktu” tidak menghasilkan apa pun.

Waktu tidak bisa didaur ulang, tidak bisa dikembalikan, bahkan tak terlihat. Sekali ia hilang, kita tidak akan pernah bisa menemukan. Menyia-nyiakan waktu sama artinya menyia-nyiakan diri dan kehidupan kita sendiri. Waktu tidak peduli ia digunakan atau tidak, tapi kita bisa peduli. Karena, meski tak terlihat, waktu adalah modal yang diberikan bagi setiap manusia untuk membentuk—atau menghancurkan—kehidupannya sendiri.

Menyapa Jembatan

Bersama seorang bocah, saya pergi ke suatu tempat. Saat perjalanan kami melewati jembatan, dia memelankan laju mobil, lalu membuka jendela, dan menyapa, “Hei, jembatan.”

Dengan heran, saya bertanya, “Kenapa kau menyapa jembatan?”

“Yeah... tidak ada salahnya menyapa jembatan,” dia menjawab.

Saya bingung. “Ya, aku tahu. Tapi... uh, kenapa kau menyapa jembatan?”

Dia menengok ke arah saya sesaat, dan balik bertanya, “Kau pernah menyapa jembatan?”

“Tidak... yeah, tentu saja tidak.”

“Kenapa kau tidak pernah menyapa jembatan?”

Saya makin bingung. “Yeah... dia jembatan, kenapa aku harus menyapa?”

Dia terdiam sesaat, lalu berujar, “Saat kita melewati jembatan tadi, di bawah kita ada sungai. Ingat?”

“Yeah... aku ingat, tentu saja ada sungai.”

“Umpama tadi tidak ada jembatan, kira-kira apa yang harus kita lakukan agar sampai di jalan ini?”

“Aku tidak tahu.”

Dia tersenyum. “Ayolah, kau pasti tahu.”

Saya berpikir keras. “Yeah... mungkin kita harus naik rakit, agar bisa menyeberangi sungai.”

Dia mengangguk. “Itulah kenapa aku merasa perlu menyapa jembatan.”

“Tolong jelaskan.”

“Jembatan itu ada di sana, memudahkan banyak orang menyeberangi sungai tanpa harus berenang, tanpa harus susah-susah naik rakit. Artinya, keberadaan jembatan memudahkan kita, melancarkan urusan kita. Tapi berapa banyak dari kita yang menyadari hal itu? Kita melewati jembatan setiap saat, dan menganggapnya tidak penting, bahkan mungkin menganggapnya tidak ada. Padahal, kita berutang kepadanya—pada jembatan—karena tanpanya kita pasti akan kerepotan.”

Saya manggut-manggut. “Karena itu, kau menyapa jembatan?”

“Karena itu, aku menyapa jembatan.”

....
....

Sejak itu, setiap kali melewati jembatan, saya akan melambatkan perjalanan, dan menyapa, “Hei, jembatan.”

Kalau Dipikir-pikir

Memang, kalau dipikir-pikir sebegitu.

Kamis, 15 Maret 2018

Hati yang Terbuka

Kesadaran memang sering kali harus dikejutkan realitas.


Seorang bijak pernah berkata, “Yang paling dibutuhkan kita semua adalah ‘futuh’—terbukanya hati dan pikiran. Tanpa itu, kau bisa mengatakan dan menjelaskan apa pun, dan semuanya sia-sia. Kebenaran, sejelas apa pun, tidak dapat diterima orang yang hati dan pikirannya belum terbuka.”

Saya teringat kalimat itu, setelah tempo hari bercakap-cakap dengan seorang teman. Dia mengizinkan—bahkan meminta—kisahnya ditulis di blog ini, namun saya tidak mungkin menyebutkan nama asli. Jadi, mari kita sebut dia Kemal.

Kemal dan saya telah berteman lama—sejak kami masih sama-sama kuliah, meski beda kampus. Seperti umumnya teman akrab, kami pun tahu kebiasaan hingga filosofi hidup masing-masing. Kemal memahami, saya tidak tertarik pada pernikahan. Meski begitu, kadang kami berbicara tentang pernikahan, seperti umumnya lelaki lajang.

Saya masih mengingat percakapan kami, bertahun lalu, ketika mengobrolkan pernikahan. Pada waktu itu, Kemal bertanya kenapa saya tidak tertarik menikah. Saya menjawab dengan analogi, “Bayangkan kau melihat pohon dengan buah-buah segar yang sangat menggoda, dan kau kebetulan sedang haus serta kelaparan. Pohon buah yang menggoda itu ada dalam jarak seratus meter dari tempatmu berdiri. Apakah kau akan mendatangi pohon itu?”

Waktu itu, Kemal menjawab, “Ya, tentu saja aku akan mendatangi pohon itu.”

“Tetapi,” saya melanjutkan, “di pohon itu ada ular yang siap membelit dan menggigitmu. Hingga umpama kau berhasil selamat pun, hidupmu tidak akan pernah sama. Kau membayangkan mendapat buah segar, tapi kau juga harus menanggung belitan dan gigitan ular berbisa. Apakah kau masih tertarik mendekati pohon tadi?”

Kemal ragu-ragu. “Mungkin tidak,” ujarnya kemudian.

“Mungkin tidak,” ulang saya. “Dan begitulah pikiranku tentang pernikahan, hingga aku tak terlalu minat untuk menikah. Dilihat dari kejauhan, pernikahan memang tampak indah—siapa pun setuju. Dan itulah masalah kita. Selama ini, kita hanya melihat pernikahan dari kejauhan, karena nyatanya kita memang belum menikah, sehingga tidak tahu pasti seperti apa pernikahan. Sementara yang sudah menikah, tidak mau jujur menjelaskan apa dan bagaimana sebenarnya pernikahan. Akibatnya, kita melihat pernikahan dengan bayangan naif, bukan dengan pengetahuan. Persis seperti pohon berbuah segar yang dihuni ular tak kelihatan.”

Kemal menatap saya, dengan wajah yang makin ragu-ragu.

“Jangan salah paham.” Saya tersenyum. “Aku tidak bermaksud melarangmu menikah. Aku juga tidak berniat memprovokasimu agar tidak menikah. Uraian tadi kunyatakan, karena kau bertanya kenapa aku tidak tertarik menikah.”

Sekitar dua tahun setelah lulus kuliah, Kemal bekerja di Jakarta. Tiga tahun kemudian, dia menikah, dan memboyong istrinya ke Jakarta. Tidak lama setelah itu, mereka mendapatkan rumah di daerah Bekasi. Untuk hal itu, Kemal menyatakan, “Karena tinggal di Bekasi, jarak dari rumahku ke tempat kerja jadi sangat jauh, sekitar 60 kilometer. Tapi tidak apa-apa, yang penting sekarang aku dan istri punya rumah sendiri.”

Menurut Kemal, tempat kerjanya bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam menggunakan sepeda motor, asal tidak terlalu macet. Kalau kebetulan sangat macet, waktu tempuhnya bisa lebih lama. Jadi, setiap hari, Kemal harus menempuh perjalanan sejauh 60 kilometer ke tempat kerja, lalu kembali ke rumah dan menempuh jarak yang sama.

Jam kerja Kemal tidak pasti. Artinya, kadang dia dapat shift siang, kadang pula dapat shift malam. Kalau dapat shift malam, dia tidak tidur sepanjang malam di tempat kerja. Pagi hari, setelah pulang dari tempat kerja, dia biasanya tidur di rumah. Rutinitas semacam itu dijalani Kemal setiap hari, setiap waktu, sampai kemudian dia punya anak.

Setelah punya anak, Kemal mengakui, kehidupannya berubah. Tentu saja dia senang memiliki anak. Tapi itu juga berarti bertambahnya beban dan tanggung jawab. Salah satu tanggung jawab yang paling ringan adalah kurangnya waktu tidur.

Sebelum punya anak, Kemal bisa tidur cukup, meski jam kerjanya kadang siang kadang malam. Tetapi, setelah punya anak, waktu tidurnya banyak berkurang. Sering, dia bekerja shift malam, lalu pulang ke rumah dengan maksud untuk tidur, namun anaknya perlu digendong, dan istri Kemal kebetulan sedang sibuk mengurus urusan rumah tangga. Untuk hal itu, tentu saja, Kemal tidak mengeluh. Meski capek, dia senang bersama anaknya.

Selama waktu-waktu itu, Kemal menganggap dirinya telah hidup sempurna—memiliki istri, anak, sebuah keluarga—yang menjadikannya tidak berbeda dengan orang-orang lain, dengan masyarakat. Sekarang, orang-orang tidak bisa bertanya kapan kawin kepadanya, karena dia sudah menikah. Orang-orang juga tidak bisa bertanya kapan punya anak, karena dia telah punya anak.

Sekitar empat tahun setelah menikah—dan waktu itu anaknya berusia 2,5 tahun—suatu peristiwa terjadi, dan seolah membuka mata Kemal yang selama ini tertutup.

Suatu hari, Kemal mendapat jatah shift malam. Seperti biasa, dia berangkat kerja sore hari, lalu semalam suntuk berada di tempat kerja tanpa tidur. Kebetulan, waktu itu, Kemal sudah kurang tidur beberapa hari sebelumnya, karena banyak hal di rumahnya yang harus diurusi. Dari anak rewel sampai masalah rumah tangga.

Di tempat kerja, Kemal bekerja sambil menahan kantuk. Tetapi, bagaimana pun, dia tidak boleh tidur. Semalaman, Kemal berharap pagi cepat tiba, agar dia bisa pulang, agar dapat segera tidur di rumahnya.

Pagi hari, setelah jam kerja usai, Kemal pun memacu motornya untuk pulang. Dia harus menempuh perjalanan sejauh 60 kilometer, sambil menahan kantuk sejak semalam. Mati-matian dia menahan matanya agar terus terbuka, agar tidak salah jalan, agar tidak menabrak apa pun, agar dia sampai rumah dengan selamat. Tetapi, namanya kantuk, kadang susah ditahan. Meski sudah ditahan mati-matian, Kemal menceritakan bahwa selama perjalanan itu kadang-kadang matanya terpejam tanpa sadar.

Menyadari hal itu bisa membahayakan jiwanya serta orang lain, Kemal pun memilih istirahat. Dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja atau sebaliknya, Kemal selalu melewati taman di pinggir jalan yang cukup sepi. Ketika dia sampai di taman itu, Kemal menghentikan motor, menguncinya, lalu membaringkan diri di rumput taman. Hanya perlu sedetik baginya untuk terlelap.

Waktu itu sekitar pukul 06.00 pagi, dan lalu lintas di sekitar taman masih sepi. Kemal juga berani istirahat di sana, karena tahu tempat itu aman. Sekitar tiga jam dia tidur di taman tersebut, lalu terbangun, dan sesaat kebingungan mendapati dirinya terbaring di taman pinggir jalan. Setelah kesadarannya pulih, dia duduk, mengucak mata, dan... entah bagaimana, dia menyadari sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia sadari.

Peristiwa itulah yang kemudian diceritakan Kemal kepada saya, ketika tempo hari kami bertemu dan mengobrol, sambil melepas kangen.

Kemal menceritakan, “Ketika terbangun di taman itu, aku duduk cukup lama, memandangi lalu lintas di depanku, lalu terpikir... untuk apa sebenarnya aku hidup? Dulu, waktu lajang, aku membayangkan hidup untuk menikah, karena kupikir menikah adalah puncak kebahagiaan hidup. Lalu aku pun menikah, dan menyadari kenyataan ternyata tak seindah khayalan. Tentu saja aku senang ketika menikah—maksudku, aku benar-benar bahagia ketika menikah. Tapi kebahagiaan yang kurasakan seperti cepat berlalu.

“Di awal-awal pernikahan, kebahagiaan yang kurasakan memang sangat besar. Tetapi, perlahan-lahan, yang besar itu terus menyusut, hingga benar-benar hilang. Setelah itu, aku merasakan yang kuhadapi bukan lagi kebahagiaan, tapi rutinitas dan kewajiban. Tidak ada lagi cinta, yang ada hanya tuntutan dan kewajiban. Dan, tentu saja, beberapa pertengkaran serta masalah. Saat sampai di titik itu, aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa dulu aku bisa menikah?

“Aku tidak tahu bagaimana yang dirasakan istriku, tapi kupikir dia pun merasakan yang kualami. Suatu hari, saat kami saling terbuka, dia mengatakan bahwa kelahiran anak mungkin dapat mengembalikan kebahagiaan kami. Jadi, kami pun lalu punya anak. Aku mengakui, kelahiran anak membuat kebahagiaanku membuncah—siapa yang tidak? Tetapi, seperti kebahagiaan yang kurasakan di awal menikah, kebahagiaan yang kualami setelah punya anak juga beriringan dengan tuntutan dan kewajiban. Bebanku semakin bertambah. Belum lagi kalau dia makin besar....

“Sampai ketika aku terpaksa tidur di taman dalam perjalanan pulang kerja, lalu terbangun di sana sendirian, bersama letih dan kebingungan, tiba-tiba aku menyadari, dan bertanya-tanya sendiri, ‘Inikah kehidupan yang memang kuinginkan? Inikah diriku yang kuimpikan?’ Terus terang, waktu itu, aku merasa malu pada diri sendiri, karena menyadari betapa letihnya aku menanggung beban hidup, padahal kehidupanku tentu masih panjang. Dan aku masih harus menanggungnya sampai akhir hayat kelak.

“Selama waktu-waktu sebelumnya, aku tidak pernah berpikir semacam itu, karena terus disibukkan berbagai macam urusan. Di rumah, ada istri dan anak, dan selalu ada hal-hal yang perlu kuurusi. Di tempat kerja, ada rekan-rekan karyawan, dan selalu ada tugas yang harus kukerjakan. Aku tidak pernah memiliki waktu sendirian, sehingga tidak punya kesempatan untuk berpikir. Baru ketika terbangun setelah tidur di taman itu, dan mendapati diriku sendirian, tiba-tiba aku menyadari punya kesempatan untuk berpikir, dan kesadaranku benar-benar terasa pahit.”

Kemal terdiam, cukup lama.

Saya tidak tahu harus merespons bagaimana.

Sesaat, keheningan menggantung.

Kemudian, dengan ragu-ragu, Kemal berkata, “Aku teringat ucapanmu, bertahun lalu, tentang pohon berbuah segar yang dihuni ular tak terlihat. Sekarang aku memahami—benar-benar memahami—yang kaumaksudkan. Pikiranku waktu itu hanya melihat buah-buah ranum di pohon, tapi tak percaya saat kau mengingatkan ada ular yang siap membelit. Sekarang aku telah melihat, dan sekarang aku percaya. Tetapi, kau tahu, aku sudah tak punya pilihan.”

Saya mencoba membesarkan hatinya. “Tentu saja kau selalu punya pilihan.”

“Ya?” Kemal menatap saya. “Dan apa pilihanku?”

“Kau bisa memilih untuk diam, dan membiarkan ular itu membelitmu hingga kau tak berdaya... atau kau bisa mengajaknya berdansa.”

Indonesia Bebas Pacaran

Ada gerakan bernama "Indonesia Bebas Pacaran".

Kalau pacaran dilarang, lalu solusinya gimana?

Solusinya "nikah muda".

Kok dangkal amat? Pacaran dilarang, lalu menyuguhkan menikah muda sebagai solusi. Hidup tidak sebatas selangkangan, Nak! Dan tentu saja tidak sedangkal otakmu.

....

Kalau aku yang menggagas gerakan "Indonesia Bebas Pacaran", dan ditanya apa solusinya setelah melarang orang pacaran, aku akan menjawab, "Solusinya belajar!"

Kalau orang benar-benar belajar, tanpa dilarang pun dia tidak akan minat pacaran. Apalagi pacaran, menikah pun malas!

....

"Apakah kamu setuju pacaran?"

Pacaran atau tidak adalah hak masing-masing orang, itu temasuk ranah privat mereka. Aku tidak punya hak melarang, sebagaimana aku juga tidak punya hak menyuruh orang untuk pacaran. Selama mereka bertanggung jawab dengan perbuatannya, itu hak mereka.

....

"Pacaran itu mudarat, lebih baik menikah."

Kalau mau bicara soal mudarat, menikah pun sebenarnya bisa mendatangkan mudarat. KDRT, anak-anak telantar, perceraian, adalah sedikit contoh mudarat yang ditimbulkan pernikahan. Siapa bilang menikah adalah solusi untuk segala masalah?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Februari 2018.

Satu Kata yang Hem

Hem.

Sabtu, 10 Maret 2018

Orang-orang Kedaluwarsa

"Harga sepiring nasi cuma seratus perak." | 
Kalimat itu benar di zaman kuno. 
Tapi konyol jika dikatakan sekarang. Sebab zaman sudah berubah.


Di antara banyak istilah populer yang sering digunakan anak muda zaman sekarang, “kece” termasuk di antaranya. “Kece” memiliki arti kira-kira “cakep”, “bagus”, dan semacamnya. Intinya, “kece” adalah istilah yang merujuk sifat positif.

Omong-omong soal kece, istilah itu sebenarnya pernah mengalami masa surut. Jika kita flashback ke masa lampau, istilah “kece” mulai populer di kalangan anak muda pada awal 1990-an. Hilman, penulis serial Lupus, adalah salah satu orang yang ikut memopulerkan istilah tersebut. Selama satu dekade kemudian, istilah “kece” tetap populer di kalangan anak muda Indonesia.

Memasuki akhir 1990-an, istilah “kece” mulai surut—sudah jarang digunakan. Puncaknya terjadi pada awal 2000-an. Di tahun 1990-an, kau mungkin akan tampak keren kalau menyebut istilah “kece”. Tetapi, pada awal 2000-an, kau bisa tampak ketinggalan zaman kalau masih menyebut istilah itu.

Saya masih ingat, di awal 2000-an, Majalah HAI menerbitkan “daftar istilah yang sebaiknya kita tinggalkan”, dan dalam daftar itu terdapat istilah “jayus”, yang sekarang benar-benar sudah ditinggalkan.

Selain “jayus”, istilah “kece” juga masuk dalam “daftar istilah yang sebaiknya kita tinggalkan”. Tapi ternyata istilah itu—kece—kembali mengalami musim pasang. Setelah surut selama satu dekade sejak awal 2000-an, istilah “kece” kembali populer pada—kalau tidak salah—awal 2010-an. Sejak itu, sampai sekarang, istilah “kece” masih kerap digunakan, dan terdengar baik-baik saja.

Selain “kece” dan “jayus”, ada istilah lain yang dulu pernah populer dan terdengar keren, tapi sekarang terkesan ketinggalan. Misalnya “disko” atau “diskotik”. Pada era 1990-an, temanmu mungkin akan tampak keren kalau bilang, “Semalam aku disko sampai pingsan!”

Bahkan sampai pingsan pun masih keren! Sekarang, bahkan umpama kau menyebut “disko” saja, teman-temanmu mungkin akan pingsan! Ya Tuhan, hari gini masih disko?

Begitu pula istilah “diskotik”. Dulu, pada era 1990-an, orang mungkin terdengar keren kalau mengatakan, “Ke diskotik, yuk!” Sekarang...? Well, coba saja sendiri, dan lihat reaksi teman-temanmu (dengan catatan, teman-temanmu bukan orang kuno).

Well, istilah “kuno” atau “modern”—khususnya terkait kehidupan kontemporer—sebenarnya tidak bergantung kapan seseorang dilahirkan, melainkan bergantung pada bagaimana orang meng-update dirinya.

Ada orang-orang yang telah tumbuh dewasa pada era 1990-an, tapi tetap bisa mengikuti perkembangan zaman, sehingga tidak “bingung” dengan gaya hidup orang zaman sekarang. Mereka terus meng-update diri dengan perkembangan yang terjadi, sehingga tidak gagap. Dalam contoh yang mudah, orang-orang itu tahu bahwa istilah “disko” sudah tidak digunakan, bahwa “ke diskotik” sekarang berubah menjadi “clubbing”, dan lain-lain.

Sebaliknya, ada orang-orang yang baru besar kemarin sore, tapi sudah tergagap-gagap mengikuti perkembangan yang terjadi. Mereka sering tidak nyambung saat harus berkomunikasi tentang hal-hal terkini. Biasanya, mereka jarang meng-update diri, sehingga ketinggalan banyak hal. Well, tipe orang yang masih menganggap dirinya keren dan modern karena “semalam aku ke diskotik!”

Tapi sebenarnya itu tidak penting.

Benar, yang saya ocehkan di atas sama sekali tidak penting. Kalian mau paham istilah “kece” atau tidak, kalian masih menggunakan istilah “disko” atau tidak, sama sekali tidak penting! Karena bisa dibilang tidak ada dampak apa pun yang mengkhawatirkan. Paling-paling akan dianggap kuno atau ketinggalan zaman. Sudah, hanya itu. Tidak apa-apa, wong paling dianggap kuno.

Dulu, ada buku terkenal, dan laris di mana-mana, berjudul “Kamus Gaul”, yang disusun Debby Sehertian. Buku itu berisi istilah-istilah gaul pada zamannya. Entah Debby sadar atau tidak, kamus yang disusunnya juga sudah ketinggalan. Karena sebagian isinya sudah tidak relevan dengan perkembangan terkini. Sebagian istilah yang dibahas Debby dalam buku itu sekarang sudah tidak digunakan, atau mengalami perubahan makna. Dengan kata lain, sudah kedaluwarsa.

Tetapi, sekali lagi, itu tidak penting. Wong cuma istilah gaul. Artinya, terlepas seseorang paham istilah-istilah gaul terkini atau tidak, itu tidak akan menimbulkan banyak masalah. Karena hanya istilah gaul—sesuatu yang lebih bersifat tren, yang kadang naik kadang turun, kadang dianggap modern dan kadang pula dianggap kuno. Tidak apa-apa. Goblok dalam istilah gaul tidak akan membuatmu dipanggil ke Kantor BP, apalagi sampai masuk neraka.

Jadi, terlepas kita meng-update diri dengan perkembangan istilah gaul masa kini atau tidak, hukumnya—meminjam istilah Islam—cuma sunah. Artinya, kalau dilakukan ya bagus, kalau tidak dilakukan ya tidak apa-apa.

Nah, selain istilah “sunah”, ajaran Islam juga punya istilah lain, di antaranya “wajib”, “mubah” dan “makruh”. Kalau “sunah” baik dilakukan tapi boleh ditinggalkan, maka “wajib” memiliki sifat harus dilakukan. “Makruh” memiliki sifat sebaiknya tidak dilakukan, meski—dalam batas tertentu—masih boleh dilakukan. Sedangkan “mubah” artinya bebas. Kau melakukan ya boleh, tidak melakukan ya tidak apa-apa.

Contoh hal wajib—masih menurut ajaran Islam—adalah belajar. “Menuntut ilmu (yaitu belajar) wajib bagi muslim laki-laki maupun muslim perempuan.” Karenanya, belajar—mau tidak mau—harus dilakukan, karena bersifat wajib. Sebegitu penting hal itu, sampai-sampai ditegaskan dalam kalimat lain, “Tuntutlah ilmu (belajarlah) dari ayunan (sejak kecil) hingga ke liang lahat (sampai napas terakhir).”

Contoh hal sunah, ya itu tadi, memahami istilah-istilah terkini—seperti kece, jayus, baper, dan lain-lain. Lebih luas, “mengikuti perkembangan zaman yang terjadi”—itu masuk dalam definisi “belajar”, tapi tidak terlalu signifikan. Kalian mau ikut ngerti ya bagus, kalau tidak mengerti ya tidak apa-apa. Karena cuma sunah. Orang tidak akan masuk neraka hanya karena tidak paham baper itu apa. Orang juga tidak akan masuk surga hanya karena hafal nama anggota JKT48.

Sedangkan contoh hal makruh dan mubah luas sekali. Ada banyak hal di sekitar kita, yang bisa menjadi mubah atau menjadi makruh, tergantung niat dan tergantung sifat. Sebagai contoh, tidur itu mubah. Tetapi terlalu lama tidur—misal sampai sehari penuh—bisa menjadi makruh, karena memubazirkan waktu hanya untuk tidur, padahal bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.

Well, cukup untuk penjelasan itu.

Sekarang kita masuk pada bagian yang lebih penting. Ada pengetahuan atau keyakinan yang di zaman dulu benar, tapi menjadi tidak benar jika diterapkan pada zaman sekarang. Saya pernah mencontohkan hal ini, pada catatan berjudul Warisan Masa Lalu.

Dalam catatan itu, saya mencontohkan teknologi kendaraan bermotor. Di zaman dulu, sepeda motor butuh dipanaskan sampai cukup lama, agar oli mesin melumasi seluruh bagian mesin. Tetapi, sekarang, aturan semacam itu sudah ketinggalan zaman. Sepeda motor zaman sekarang tidak perlu lagi dipanaskan sampai lama seperti dulu. Bahkan, jika kita sering memanaskan sepeda motor sampai lama, hasilnya bukan bagus tapi malah merusak.

Itu contoh gamblang betapa sesuatu yang benar di zaman dulu, bisa menjadi tidak benar di zaman sekarang. Dan hal-hal semacam itu banyak sekali, tidak sebatas pada sepeda motor. Pengetahuan atau keyakinan yang bagi kakek-nenek kita mungkin benar, bisa jadi salah di zaman kita. Karena telah ada banyak perkembangan, atau karena telah ada banyak perubahan. Bagian inilah yang paling perlu kita perhatikan.

Di zaman kakek-nenek kita, orang yang tidak lulus SD bisa mudah mendapat kerja. Kenapa? Karena pada waktu itu memang rata-rata orang hanya lulusan SD! Bahkan kalau pun tidak bisa bekerja di kantor atau perusahaan orang lain, orang lulusan SD zaman dulu bisa bekerja di tanah ladang sendiri, menumbuhkan aneka pohon yang lalu hasilnya dijual. Maka jadilah pedagang buah. Kenyataan semacam itu mudah terjadi dan mudah dilakukan di zaman dulu, karena tanah dan ladang masih luas, karena persaingan belum seketat zaman sekarang.

Jadi, orang zaman dulu bisa saja memberi nasihat, “Tidak usah sekolah tinggi-tinggi, yang penting kau rajin bekerja.”

Lima puluh tahun yang lalu, nasihat itu benar. Karena buat apa sekolah tinggi-tinggi, wong di masa lalu ijazah belum terlalu dibutuhkan. Kalau pun kau tidak punya ijazah, ada banyak perusahaan yang dengan senang hati mau menerimamu sebagai karyawan. Dan kalau kau bisa bekerja dengan baik, dengan rajin, kau akan terus naik jenjang, dan persetan dengan ijazah!

Tetapi, apakah nasihat serupa masih relevan di zaman sekarang? Kita tahu, jawabannya tidak! Karena di masa sekarang, pendidikan sangat dibutuhkan, ijazah sangat diprioritaskan, bahkan perguruan tinggi mana yang meluluskanmu ikut diperhatikan.

Begitu pun nasihat-nasihat lain. Ada nasihat yang di masa lalu terdengar benar dan relevan, tapi menjadi salah dan tidak relevan jika diterapkan di zaman sekarang. Di sinilah kita perlu melakukan update—belajar, menuntut ilmu—agar tidak menjadi manusia kedaluwarsa. Karena manusia juga bisa kedaluwarsa. Bentuknya masih manusia, tapi pikiran dan pengetahuannya sudah kedaluwarsa.

Dan orang-orang kedaluwarsa tidak jauh beda dengan makanan kedaluwarsa, atau hal lain yang sama kedaluwarsa. Bentuknya mungkin masih sama, tapi tidak ada yang mau memakan. Karena makanan yang kedaluwarsa bisa menjadi racun. Alih-alih memberi manfaat bagi tubuh, makanan kedaluwarsa bisa menimbulkan sakit. Dan, omong-omong, begitu pula orang-orang kedaluwarsa.

Yang sering menjadi masalah, ada manusia-manusia yang sebenarnya sudah kedaluwarsa, tapi tidak menyadari dirinya kedaluwarsa. Alih-alih menyadari, mereka justru hobi menceramahkan nasihat-nasihat yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman, kepada orang-orang zaman sekarang. Yang tambah jadi masalah, ada banyak orang di zaman sekarang yang tidak bisa membedakan mana manusia yang sudah kedaluwarsa, dan mana yang masih benar-benar manusia.

Noffret’s Note: NoHijabDay

#NoHijabDay mendadak viral dan membuat geger publik. 
Aksi ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap aturan-aturan 
yang memaksa perempuan untuk mengenakan hijab. 
Bagaimana menurutmu? http://bit.ly/2C2ta8U
@kumparan


Baru tahu ada gerakan NoHijabDay. Tentu bukan hal baik. Tapi paksaan dan tekanan tanpa empati memang kerap melahirkan pelawanan dan pemberontakan. Termasuk, tentu saja, paksaan untuk menikah, dan tekanan untuk beranak-pinak.

Karena bahkan semut pun menggigitmu, jika ia terinjak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Februari 2018.

Uap

Uap ada di mana-mana.

Ooh, uap ada di mana-mana.

Senin, 05 Maret 2018

Tawa dan Air Mata

Seperti hujan menyuburkan ketandusan, 
air mata kadang dibutuhkan untuk membasahi hati yang gersang.


Pada 1983, Arthur Ashe menjalani operasi bedah jantung. Arthur Ashe adalah pemain tenis Wimbledon legendaris, yang dipuja jutaan orang di dunia. Ketika dia menjalani bedah jantung, terjadi kecelakaan tak terbayangkan. Darah yang ditransfusikan ke tubuhnya ternyata mengandung virus HIV. Singkat cerita, Arthur Ashe kemudian sekarat karena AIDS.

Dunia tenis pun menangis. Awan gelap menggantung di Wimbledon.

Arthur Ashe, yang biasanya memukau di lapangan tenis, yang mempesona jutaan orang, kini terbaring menunggu ajal, sementara virus-virus tak kasatmata menggerogoti tubuhnya. Di saat-saat itu, Arthur Ashe mungkin bermetamormosis dari petenis menjadi filsuf. Dalam keadaan tak berdaya di atas pembaringan, dia mungkin banyak berpikir, merenung, dan menemukan nilai-nilai hidup.

Suatu hari, seorang remaja—yang sangat menggemari dan memuja Arthur Ashe—mengirim surat berisi kepedihan hatinya, atas nasib buruk yang menimpa petenis terkenal itu. Surat itu singkat, dan diakhiri kalimat, “Mengapa Tuhan memilihmu untuk mendapatkan cobaan yang buruk seperti ini?”

Arthur Ashe menjawab surat remaja tersebut, dan inilah isinya,

“Lima puluh juta anak mulai bermain tenis, lima juta dari mereka belajar bagaimana bermain tenis, lima ratus ribu belajar tenis profesional, lima puluh ribu bertanding dalam turnamen, lima ribu mencapai grandslam, lima puluh mencapai Wimbledon, empat mencapai semifinal, dua mencapai final. Dan ketika aku menggenggam piala kemenangan, aku tak pernah bertanya pada Tuhan, ‘Kenapa harus aku?’

“Jadi, ketika sekarang aku sakit dan sekarat, bagaimana bisa aku bertanya kepada Tuhan, ‘Kenapa harus aku?’”

Itu menjadi kalimat terakhir Arthur Ashe, sang bintang Wimbledon legendaris, sebelum kemudian ia meninggal. Dan kalimat itu terus hidup hingga hari ini, menginspirasi banyak orang untuk tetap memiliki kesadaran dalam hidup. Karena kebanyakan orang memang hanya sadar ketika susah dan sekarat, tapi kehilangan kesadaran ketika di hadapan hal-hal indah dan nikmat.

Ada banyak orang yang bekerja keras siang malam, mengucurkan keringat tanpa henti, sama seperti yang kita lakukan. Tetapi, bisa jadi, kita hidup dalam keberlimpahan, sementara banyak orang lain tetap berkubang kemiskinan dan kekurangan. Ada kemungkinan, kita tidak pernah punya waktu untuk berpikir, “Kenapa harus aku yang mendapat keberlimpahan, sementara banyak orang lain tidak?”

Padahal, bisa jadi, orang-orang di luar sana memiliki potensi yang lebih hebat dari kita. Mereka lebih pintar, lebih kuat, lebih rajin bekerja. Tapi mengapa kita yang mendapat keberlimpahan, sementara mereka tidak? Mungkin kita tidak pernah berpikir seperti itu. Mengapa? Karena nikmat. Dan hal-hal nikmat sering kali mencerabut kesadaran dari akal kita.

Sebaliknya, ketika ditimpa masalah, cobaan, atau musibah, dan kita merasa kalah, kita pun berpikir, dan merenung, dan bertanya-tanya, “Kenapa harus aku yang menerima musibah ini?”

Saat menikmati kebahagiaan, kita lupa pada diri sendiri, dan kehilangan kesadaran. Tetapi, saat menghadapi kesusahan dan penderitaan, kita kembali ingat pada diri sendiri, dan menemukan kesadaran. Karenanya, bisa jadi, cobaan dan musibah—atau setidaknya masalah—adalah cara Tuhan mengingatkan kita untuk kembali mengingat diri sendiri, untuk kembali menyadari.

Kehidupan manusia, dalam banyak hal, kenyataannya memang proses lupa dan ingat. Kita mudah lupa, dan kehidupan memberi sesuatu agar kita kembali ingat. Agar belajar. Dan terus tumbuh.

Orang sering menyatakan bahwa kehidupan mirip pelangi. Selalu terlihat di atas kepala orang lain. Meski, sebenarnya, pelangi juga ada di atas kepala kita sendiri. Seperti anak-anak melihat pesawat terbang di langit, dan membayangkan alangkah indah jika bisa terbang. Sementara pilot di pesawat menatap ke bawah, dan membayangkan rumah untuk pulang.

Kita, atau sebagian kita, mungkin sering mengutuk diri sendiri atau kehidupan yang kita jalani, sementara ada banyak orang yang sangat ingin menjadi diri kita, atau menjalani hidup seperti yang kita jalani. Pelangi selalu ada di atas kepala orang lain.

Kenyataannya, masing-masing orang menghadapi cobaannya sendiri, yang mereka jalani dalam sunyi, dan sering kali hanya mereka pahami sendiri. Kita tidak tahu, tak pernah tahu, karena nasib—sebagaimana kata sang penyair—adalah kesunyian masing-masing. Dan dalam setiap takdir terdapat tawa dan tangis, senang dan susah, kegembiraan dan penderitaan.

Kita yang hidup sederhana mungkin membayangkan alangkah nikmat mereka yang kaya-raya. Tetapi, bisa jadi, mereka yang kaya-raya membayangkan alangkah nikmat bisa tidur nyenyak di mana pun seperti kita.

Kita yang bukan siapa-siapa mungkin membayangkan alangkah nikmat mereka yang terkenal, hingga ke mana-mana mendapat pengawalan. Tetapi, bisa jadi, mereka yang sangat terkenal membayangkan alangkah nikmat bisa bebas ke mana-mana tanpa ada orang yang kenal.

Kita yang memiliki rupa fisik pas-pasan mungkin membayangkan alangkah nikmat mereka yang rupawan, hingga bisa menemukan pasangan yang ideal. Tetapi, kita pun menyaksikan, betapa banyak mereka yang rupawan menghadapi kawin cerai dengan berbagai sebab dan alasan.

Masing-masing orang, kalau dipikir-pikir, menghadapi cobaannya sendiri sebagai takdirnya, dan takdir adalah kesunyian masing-masing.

Bagaimana pun, hidup tampaknya tahu cara memperlakukan kita agar tetap menjadi manusia. Kebahagiaan membuat kita optimis, cobaan membantu kita lebih kuat, kegagalan membantu kita rendah hati, dan kesedihan mengingatkan kita masih manusia. Tawa dan air mata selalu datang silih berganti, karena bunga-bunga layu kembali mekar saat tiba musim semi.

Dunia Tak Sempurna

Kemarau yang lama merindukan hujan, dan mungkin sore ini gerimis turun.
—Twitter, 12 Oktober 2017

Tadi siang aku bersyukur karena hujan turun. Sekarang aku pusing karena hujan tak kunjung berhenti, padahal aku perlu keluar mencari makan. Betapa batas syukur dan pusing hanya setipis tetes air. Atau sedangkal perut yang kelaparan.
—Twitter, 13 November 2017

Waktu masih sering panas: "Aduh, mau keluar tapi kok panas gini."
Waktu hujan mulai sering turun: "Aduh, mau keluar tapi kok hujan deras gini."
Meski pahit, nyatanya kita memang tidak tinggal di dunia yang sempurna.
—Twitter, 13 November 2017

Seharian hujan tak berhenti. Dan sekarang aku mulai terkena flu. Semoga besok sudah sehat lagi. #HarapanBocah
—Twitter, 17 Desember 2017

Kena panas meriang, kena hujan meriang. Rapuh sekali aku ini.
—Twitter, 18 Juli 2017

Ingin mandi, tapi hujan lebat banget gini. Mau melangkah ke kamar mandi rasanya seperti menuju tempat eksekusi.
—Twitter, 22 Mei 2017


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Hujan dan Ndusel

Hujan, dan jauh dari rumah. Kegalauan seorang bocah.
—Twitter, 29 Agustus 2017

Lama sekali tidak melihat hujan turun di siang seperti ini. Saat melihatnya sekarang, rasanya seperti rindu yang terbalas.
—Twitter, 13 November 2017

Mengapa hujan sering identik dengan rindu? Karena "ndu" dalam "rindu" artinya "ndusel". Terus, "ri"-nya apaan? Mana aku tahu!
—Twitter, 13 November 2017

Catatan lama. Nyanyian Hujan » http://bit.ly/13mczWp 
—Twitter, 16 Februari 2018


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 01 Maret 2018

Semalam Bersama Nathasa

Semalam mimpiin sesuatu yang sangat tidak ilmiah 
dan tidak akademis. Saat terbangun dari tidur, 
rasanya ingin ngakak sambil nangis.


Entah bagaimana asal usulnya, suatu malam saya bermimpi ketemu Nathasa Romanoff. Bukan hanya bertemu, kami bahkan telah saling kenal, dan kuliah di sebuah kampus yang sama. Ya, namanya juga mimpi!

Dalam ingatan saya, mimpi itu dimulai dari percakapan saya dengan Steve Rogers alias Captain America. Dalam mimpi itu, ceritanya, kami juga saling kenal, bahkan berteman akrab. Steve Rogers adalah bocah yang baik. Dia suka memberi nasihat pada temannya dengan cara santun, sehingga teman yang diberi nasihat tidak merasa jengah.

Steve berkata kepada saya, “Kalau kamu jalan bareng perempuan, jangan lupa menggandeng tangannya.”

Saya menatapnya, dan menyahut, “Uhm, dalam film Captain America II, kamu terlihat jalan bareng Natasha Romanoff, dan kamu tidak menggandeng tangannya.”

“Itu kan di film,” jawab Steve Rogers. “Di dunia nyata, aku selalu menggandeng tangan perempuan yang jalan denganku.”

Saya pun manggut-manggut bego. Karena dalam mimpi, saya tidak sempat bertanya kepadanya, apakah dia punya mbakyu di luar film. 

Tidak lama setelah percakapan itu, saya menonton film sendirian di sebuah bioskop. Saya tidak tahu—atau tidak ingat—film apa yang saya tonton dalam mimpi tersebut, dan itu tidak penting. Yang penting, saya baru menyadari bahwa di dekat tempat duduk saya ada Natasha Romanoff. Saya baru menyadari hal itu, setelah mendengar suara tawanya, yang sangat saya kenali.

Dengan pede, karena yakin itu memang dia, saya pun menyapa, “Hei, Nat, itu kamu?”

Dalam remang gedung bioskop, Nathasa tampaknya juga mengenali suara saya, dan menyahut, “Ya, ini aku.”

Waktu itu, saya duduk di sebuah kursi dalam bioskop, dan di samping kiri saya ada seorang bocah entah siapa. Nah, di samping kiri bocah itulah duduk Natasha Romanoff sendirian. Jadi, ketika akhirnya saya dan Nathasa saling bercakap lirih di sana, percakapan kami seolah dihalangi bocah entah siapa tadi. Seharusnya bocah itu menyingkir, agar saya bisa leluasa bercakap-cakap dengan Nathasa. Tapi cerita ini terjadi dalam mimpi, dan saya bisa apa?

Akhirnya, ketika film usai, saya pulang bersama Natasha Romanoff. Kami jalan kaki menuju tempat kos dia. Ceritanya, dalam mimpi tersebut, Natasha Romanoff ngekos di sebuah tempat. Dalam perjalanan pulang itu, saya dan Natasha melewati kampus kami. Dan meski malam hari, di kampus ada cukup banyak mahasiswa, karena mengikuti kuliah malam.

Seperti yang dinasihatkan Steve Rogers alias Captain America, saya menggandeng tangan Natasha Romanoff, dan tampaknya dia tidak keberatan. Sepertinya dia bahkan senang mendapati saya menggandeng tangannya. Saat melewati kampus kami, Natasha bahkan sempat menyapa beberapa teman, tanpa melepaskan tangannya dari saya. 

Kami terus bergandeng tangan, dan melangkah ke tempat kos Nathasa. Persentuhan tangan itu, demi segala demi, telah membuat saya panas dingin sejak awal. Dari gandengan tangan itu pula, kami kemudian saling merangkul pinggang dengan mesra. Kebahagiaan saya waktu itu tak bisa diceritakan kata-kata.

Di dunia nyata—maksudnya di luar mimpi—saya sangat mengagumi Natasha Romanoff. Karena saya berpikir dia adalah mbakyu. Tetapi, juga di dunia nyata, saya menyadari dia cuma tokoh fiksi, hanya ada di film atau komik. Jadi, secinta apa pun, saya tidak bisa apa-apa, wong nyatanya dia tidak ada.

Ketika benar-benar bertemu dengannya dalam mimpi, bahkan saling kenal akrab, saya juga merasakan perasaan yang sama. Bahwa Natasha Romanoff adalah sosok mengagumkan, dan saya jatuh cinta kepadanya. Jadi, ketika kami bergandengan tangan malam itu, saya merasa berdebar tak karuan.

Sesampai di tempat kos Nathasa, kami masuk. Lalu duduk-duduk di sebuah kasur busa yang ada di depan kamar kos. 

Entah bagaimana awalnya, kami kemudian saling mendekat dan merapat. Mungkin karena efek persentuhan tangan dan rangkulan sepanjang perjalanan tadi, kami jadi saling “on”. Maka terjadilah yang harus terjadi. Di atas kasur busa di depan kamar itu, kami berciuman dengan penuh gairah.

Sialnya, saat kami sedang asyik, dan hampir sampai di babak selanjutnya, salah satu pintu kamar kos di sana terbuka, dan dari dalam muncul seorang perempuan teman Nathasa. Rupanya dia—perempuan itu—mau mengambil jemuran yang belum diangkat. 

Gara-gara itu, saya dan Nathasa terpaksa menghentikan aktivitas. 

Perempuan teman Nathasa melewati kami, dengan sikap cuek, pura-pura tak melihat, tapi saya dan Nathasa tetap tidak enak. Bagaimana pun, Natasha Romanoff adalah anggota The Avengers. Jadi kami harus menjaga sikap, meski di depan teman kos.

Kemunculan teman Nathasa tadi tentu membuat saya jengkel. Saya misuh-misuh dalam hati. Waktu itu, saya membatin, kalau dia—teman Nathasa—sudah selesai mengangkat jemuran, dan kembali masuk kamarnya, saya dan Nathasa akan melanjutkan aktivitas kami yang terpotong. Tetapi dia tidak juga selesai mengangkat jemuran. Entah sebanyak apa jemuran yang harus diangkatnya.

Bangsat, pikir saya dengan frustrasi.

Sudah begitu, saya kemudian terbangun dari tidur. Bangsat kuadrat!

Jerat Setan Bernama Utang

Amerika adalah negara dengan utang terbesar di dunia. Jepang, Cina, Italia, Jerman, Prancis, Spanyol, dan lain-lain, juga punya utang besar.

Nyaris semua negara di dunia memiliki utang, dari kecil sampai besar. Jika semua negara punya utang... lalu KEPADA SIAPA MEREKA BERUTANG?

Ada satu pihak yang memberi utang kepada negara-negara di dunia, dan pihak itu jelas BUKAN NEGARA. Karena jika ia negara, ia juga berutang.

Coba tanya Sri Mulyani, siapa sebenarnya yang memberi piutang ke Indonesia, juga ke negara-negara lain. Amerika? Tidak mungkin! Mereka kere.

Orang-orang awam mengira Indonesia berutang pada Amerika. Tidak. Amerika sedang pusing memikirkan utangnya sendiri yang menggunung.

Jika negara sebesar Amerika punya utang luar biasa besar, kira-kira kepada siapa mereka berutang? Pertanyaan menarik, huh? Coba pikirkan.

Utang yang sekarang membelit semua negara di dunia adalah utang yang sama. Mereka terbelit utang pada pihak yang sama... di luar mereka.

Ilustrasi mudah ini memberitahu kita, bahwa ada satu kekuatan yang mengendalikan semua negara di dunia. Jerat utang adalah salah satu cara.

Apakah "konspirasi internasional" benar-benar ada? Menurutku, ya, ada. Utang yang kini membelit negara-negara di dunia adalah bukti nyata.

Jika ingin tahu asal usul uang sampai asal usul utang, serta kegilaan di dalamnya, baca buku ini: History of Money karya Andrew Hitchcock.

Orang kadang bilang, "Soal uang, rezeki, sudah ada yang mengatur." Benar sekali. Masalahnya, "yang mengatur" tidak seperti yang mereka kira.

Selain History of Money, buku lain Andrew Hitchcock yang sangat penting dibaca untuk memahami uang dan utang adalah The Synagogue of Satan.

Dunia tidak baik-baik saja, my love. Utang negaramu yang sangat besar, juga utang negara-negara lainnya, adalah ancaman nyata di masa depan.

Ada satu pihak yang saat ini menggenggam kekuasaan atas semua negara di dunia melalui belitan utang, dan utang itu kian hari terus menumpuk.

Negara-negara di dunia tidak mampu melunasi utang mereka. Sebaliknya, utang mereka terus bertambah. Buktinya mudah, negara kita sendiri.

Jadi, akan tiba suatu masa, ketika akhirnya negara-negara kolaps, akibat belitan utang yang menjerat mereka. Bisa membayangkan lanjutannya?

Bagaimana pun, pemberi utang akan menagih piutang mereka sampai lunas. Sama seperti bank menagih tunggakan dari tumpukan kartu kreditmu.

Kalau kau tidak mampu melunasi utang yang menumpuk pada bank, apa yang kira-kira mereka lakukan? Benar, bank akan menyita aset-asetmu.

Jika negara tidak bisa membayar utang-utangnya, hasilnya sama saja. Pihak pemberi piutang akan menyita aset-aset yang dimiliki negara.

"Negara kita kaya," kata Sri Mulyani, "jadi tidak perlu takut berutang." | Aku tidak paham. Kalau memang kaya, kenapa utang justru menumpuk?

Sri Mulyani bilang negara kita kaya. Tapi utang terus bertumpuk, sementara warga negara dikejar-kejar pajak seperti penjahat. Oh well, kaya.

Dengan segala kebodohan, aku tidak paham dengan orang yang menyombongkan diri kaya, tapi di saat sama juga bangga karena menumpuk utang.

Kalau ada orang yang sok membanggakan kekayaannya, tapi di saat sama juga rajin menumpuk utang, aku punya satu kata untuknya: Pembual.

Kehidupan terbaik bukan kemewahan yang dibangun di atas utang. Karena hanya orang tolol yang sudi berlayar dengan kapal kertas yang rapuh.

Aku tidak kaya, Bu Sri Mulyani. Tapi aku ingin Anda tahu, aku bangga karena tidak punya utang atau cicilan. Menurutku, itulah hidup terbaik.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 November 2017.

Tambah-tambah

Jika ada istilah “tambah-tambah”, apakah juga ada istilah “kurang-kurang”?

Aku tidak ingin tahu.

 
;