Kesadaran memang sering kali harus dikejutkan realitas.
Seorang bijak pernah berkata, “Yang paling dibutuhkan kita semua adalah ‘futuh’—terbukanya hati dan pikiran. Tanpa itu, kau bisa mengatakan dan menjelaskan apa pun, dan semuanya sia-sia. Kebenaran, sejelas apa pun, tidak dapat diterima orang yang hati dan pikirannya belum terbuka.”
Saya teringat kalimat itu, setelah tempo hari bercakap-cakap dengan seorang teman. Dia mengizinkan—bahkan meminta—kisahnya ditulis di blog ini, namun saya tidak mungkin menyebutkan nama asli. Jadi, mari kita sebut dia Kemal.
Kemal dan saya telah berteman lama—sejak kami masih sama-sama kuliah, meski beda kampus. Seperti umumnya teman akrab, kami pun tahu kebiasaan hingga filosofi hidup masing-masing. Kemal memahami, saya tidak tertarik pada pernikahan. Meski begitu, kadang kami berbicara tentang pernikahan, seperti umumnya lelaki lajang.
Saya masih mengingat percakapan kami, bertahun lalu, ketika mengobrolkan pernikahan. Pada waktu itu, Kemal bertanya kenapa saya tidak tertarik menikah. Saya menjawab dengan analogi, “Bayangkan kau melihat pohon dengan buah-buah segar yang sangat menggoda, dan kau kebetulan sedang haus serta kelaparan. Pohon buah yang menggoda itu ada dalam jarak seratus meter dari tempatmu berdiri. Apakah kau akan mendatangi pohon itu?”
Waktu itu, Kemal menjawab, “Ya, tentu saja aku akan mendatangi pohon itu.”
“Tetapi,” saya melanjutkan, “di pohon itu ada ular yang siap membelit dan menggigitmu. Hingga umpama kau berhasil selamat pun, hidupmu tidak akan pernah sama. Kau membayangkan mendapat buah segar, tapi kau juga harus menanggung belitan dan gigitan ular berbisa. Apakah kau masih tertarik mendekati pohon tadi?”
Kemal ragu-ragu. “Mungkin tidak,” ujarnya kemudian.
“Mungkin tidak,” ulang saya. “Dan begitulah pikiranku tentang pernikahan, hingga aku tak terlalu minat untuk menikah. Dilihat dari kejauhan, pernikahan memang tampak indah—siapa pun setuju. Dan itulah masalah kita. Selama ini, kita hanya melihat pernikahan dari kejauhan, karena nyatanya kita memang belum menikah, sehingga tidak tahu pasti seperti apa pernikahan. Sementara yang sudah menikah, tidak mau jujur menjelaskan apa dan bagaimana sebenarnya pernikahan. Akibatnya, kita melihat pernikahan dengan bayangan naif, bukan dengan pengetahuan. Persis seperti pohon berbuah segar yang dihuni ular tak kelihatan.”
Kemal menatap saya, dengan wajah yang makin ragu-ragu.
“Jangan salah paham.” Saya tersenyum. “Aku tidak bermaksud melarangmu menikah. Aku juga tidak berniat memprovokasimu agar tidak menikah. Uraian tadi kunyatakan, karena kau bertanya kenapa aku tidak tertarik menikah.”
Sekitar dua tahun setelah lulus kuliah, Kemal bekerja di Jakarta. Tiga tahun kemudian, dia menikah, dan memboyong istrinya ke Jakarta. Tidak lama setelah itu, mereka mendapatkan rumah di daerah Bekasi. Untuk hal itu, Kemal menyatakan, “Karena tinggal di Bekasi, jarak dari rumahku ke tempat kerja jadi sangat jauh, sekitar 60 kilometer. Tapi tidak apa-apa, yang penting sekarang aku dan istri punya rumah sendiri.”
Menurut Kemal, tempat kerjanya bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam menggunakan sepeda motor, asal tidak terlalu macet. Kalau kebetulan sangat macet, waktu tempuhnya bisa lebih lama. Jadi, setiap hari, Kemal harus menempuh perjalanan sejauh 60 kilometer ke tempat kerja, lalu kembali ke rumah dan menempuh jarak yang sama.
Jam kerja Kemal tidak pasti. Artinya, kadang dia dapat shift siang, kadang pula dapat shift malam. Kalau dapat shift malam, dia tidak tidur sepanjang malam di tempat kerja. Pagi hari, setelah pulang dari tempat kerja, dia biasanya tidur di rumah. Rutinitas semacam itu dijalani Kemal setiap hari, setiap waktu, sampai kemudian dia punya anak.
Setelah punya anak, Kemal mengakui, kehidupannya berubah. Tentu saja dia senang memiliki anak. Tapi itu juga berarti bertambahnya beban dan tanggung jawab. Salah satu tanggung jawab yang paling ringan adalah kurangnya waktu tidur.
Sebelum punya anak, Kemal bisa tidur cukup, meski jam kerjanya kadang siang kadang malam. Tetapi, setelah punya anak, waktu tidurnya banyak berkurang. Sering, dia bekerja shift malam, lalu pulang ke rumah dengan maksud untuk tidur, namun anaknya perlu digendong, dan istri Kemal kebetulan sedang sibuk mengurus urusan rumah tangga. Untuk hal itu, tentu saja, Kemal tidak mengeluh. Meski capek, dia senang bersama anaknya.
Selama waktu-waktu itu, Kemal menganggap dirinya telah hidup sempurna—memiliki istri, anak, sebuah keluarga—yang menjadikannya tidak berbeda dengan orang-orang lain, dengan masyarakat. Sekarang, orang-orang tidak bisa bertanya kapan kawin kepadanya, karena dia sudah menikah. Orang-orang juga tidak bisa bertanya kapan punya anak, karena dia telah punya anak.
Sekitar empat tahun setelah menikah—dan waktu itu anaknya berusia 2,5 tahun—suatu peristiwa terjadi, dan seolah membuka mata Kemal yang selama ini tertutup.
Suatu hari, Kemal mendapat jatah shift malam. Seperti biasa, dia berangkat kerja sore hari, lalu semalam suntuk berada di tempat kerja tanpa tidur. Kebetulan, waktu itu, Kemal sudah kurang tidur beberapa hari sebelumnya, karena banyak hal di rumahnya yang harus diurusi. Dari anak rewel sampai masalah rumah tangga.
Di tempat kerja, Kemal bekerja sambil menahan kantuk. Tetapi, bagaimana pun, dia tidak boleh tidur. Semalaman, Kemal berharap pagi cepat tiba, agar dia bisa pulang, agar dapat segera tidur di rumahnya.
Pagi hari, setelah jam kerja usai, Kemal pun memacu motornya untuk pulang. Dia harus menempuh perjalanan sejauh 60 kilometer, sambil menahan kantuk sejak semalam. Mati-matian dia menahan matanya agar terus terbuka, agar tidak salah jalan, agar tidak menabrak apa pun, agar dia sampai rumah dengan selamat. Tetapi, namanya kantuk, kadang susah ditahan. Meski sudah ditahan mati-matian, Kemal menceritakan bahwa selama perjalanan itu kadang-kadang matanya terpejam tanpa sadar.
Menyadari hal itu bisa membahayakan jiwanya serta orang lain, Kemal pun memilih istirahat. Dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja atau sebaliknya, Kemal selalu melewati taman di pinggir jalan yang cukup sepi. Ketika dia sampai di taman itu, Kemal menghentikan motor, menguncinya, lalu membaringkan diri di rumput taman. Hanya perlu sedetik baginya untuk terlelap.
Waktu itu sekitar pukul 06.00 pagi, dan lalu lintas di sekitar taman masih sepi. Kemal juga berani istirahat di sana, karena tahu tempat itu aman. Sekitar tiga jam dia tidur di taman tersebut, lalu terbangun, dan sesaat kebingungan mendapati dirinya terbaring di taman pinggir jalan. Setelah kesadarannya pulih, dia duduk, mengucak mata, dan... entah bagaimana, dia menyadari sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia sadari.
Peristiwa itulah yang kemudian diceritakan Kemal kepada saya, ketika tempo hari kami bertemu dan mengobrol, sambil melepas kangen.
Kemal menceritakan, “Ketika terbangun di taman itu, aku duduk cukup lama, memandangi lalu lintas di depanku, lalu terpikir... untuk apa sebenarnya aku hidup? Dulu, waktu lajang, aku membayangkan hidup untuk menikah, karena kupikir menikah adalah puncak kebahagiaan hidup. Lalu aku pun menikah, dan menyadari kenyataan ternyata tak seindah khayalan. Tentu saja aku senang ketika menikah—maksudku, aku benar-benar bahagia ketika menikah. Tapi kebahagiaan yang kurasakan seperti cepat berlalu.
“Di awal-awal pernikahan, kebahagiaan yang kurasakan memang sangat besar. Tetapi, perlahan-lahan, yang besar itu terus menyusut, hingga benar-benar hilang. Setelah itu, aku merasakan yang kuhadapi bukan lagi kebahagiaan, tapi rutinitas dan kewajiban. Tidak ada lagi cinta, yang ada hanya tuntutan dan kewajiban. Dan, tentu saja, beberapa pertengkaran serta masalah. Saat sampai di titik itu, aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa dulu aku bisa menikah?
“Aku tidak tahu bagaimana yang dirasakan istriku, tapi kupikir dia pun merasakan yang kualami. Suatu hari, saat kami saling terbuka, dia mengatakan bahwa kelahiran anak mungkin dapat mengembalikan kebahagiaan kami. Jadi, kami pun lalu punya anak. Aku mengakui, kelahiran anak membuat kebahagiaanku membuncah—siapa yang tidak? Tetapi, seperti kebahagiaan yang kurasakan di awal menikah, kebahagiaan yang kualami setelah punya anak juga beriringan dengan tuntutan dan kewajiban. Bebanku semakin bertambah. Belum lagi kalau dia makin besar....
“Sampai ketika aku terpaksa tidur di taman dalam perjalanan pulang kerja, lalu terbangun di sana sendirian, bersama letih dan kebingungan, tiba-tiba aku menyadari, dan bertanya-tanya sendiri, ‘Inikah kehidupan yang memang kuinginkan? Inikah diriku yang kuimpikan?’ Terus terang, waktu itu, aku merasa malu pada diri sendiri, karena menyadari betapa letihnya aku menanggung beban hidup, padahal kehidupanku tentu masih panjang. Dan aku masih harus menanggungnya sampai akhir hayat kelak.
“Selama waktu-waktu sebelumnya, aku tidak pernah berpikir semacam itu, karena terus disibukkan berbagai macam urusan. Di rumah, ada istri dan anak, dan selalu ada hal-hal yang perlu kuurusi. Di tempat kerja, ada rekan-rekan karyawan, dan selalu ada tugas yang harus kukerjakan. Aku tidak pernah memiliki waktu sendirian, sehingga tidak punya kesempatan untuk berpikir. Baru ketika terbangun setelah tidur di taman itu, dan mendapati diriku sendirian, tiba-tiba aku menyadari punya kesempatan untuk berpikir, dan kesadaranku benar-benar terasa pahit.”
Kemal terdiam, cukup lama.
Saya tidak tahu harus merespons bagaimana.
Sesaat, keheningan menggantung.
Kemudian, dengan ragu-ragu, Kemal berkata, “Aku teringat ucapanmu, bertahun lalu, tentang pohon berbuah segar yang dihuni ular tak terlihat. Sekarang aku memahami—benar-benar memahami—yang kaumaksudkan. Pikiranku waktu itu hanya melihat buah-buah ranum di pohon, tapi tak percaya saat kau mengingatkan ada ular yang siap membelit. Sekarang aku telah melihat, dan sekarang aku percaya. Tetapi, kau tahu, aku sudah tak punya pilihan.”
Saya mencoba membesarkan hatinya. “Tentu saja kau selalu punya pilihan.”
“Ya?” Kemal menatap saya. “Dan apa pilihanku?”
“Kau bisa memilih untuk diam, dan membiarkan ular itu membelitmu hingga kau tak berdaya... atau kau bisa mengajaknya berdansa.”