"Harga sepiring nasi cuma seratus perak." |
Kalimat itu benar di zaman kuno.
Tapi konyol jika dikatakan sekarang. Sebab zaman sudah berubah.
Di antara banyak istilah populer yang sering digunakan anak muda zaman sekarang, “kece” termasuk di antaranya. “Kece” memiliki arti kira-kira “cakep”, “bagus”, dan semacamnya. Intinya, “kece” adalah istilah yang merujuk sifat positif.
Omong-omong soal kece, istilah itu sebenarnya pernah mengalami masa surut. Jika kita flashback ke masa lampau, istilah “kece” mulai populer di kalangan anak muda pada awal 1990-an. Hilman, penulis serial Lupus, adalah salah satu orang yang ikut memopulerkan istilah tersebut. Selama satu dekade kemudian, istilah “kece” tetap populer di kalangan anak muda Indonesia.
Memasuki akhir 1990-an, istilah “kece” mulai surut—sudah jarang digunakan. Puncaknya terjadi pada awal 2000-an. Di tahun 1990-an, kau mungkin akan tampak keren kalau menyebut istilah “kece”. Tetapi, pada awal 2000-an, kau bisa tampak ketinggalan zaman kalau masih menyebut istilah itu.
Saya masih ingat, di awal 2000-an, Majalah HAI menerbitkan “daftar istilah yang sebaiknya kita tinggalkan”, dan dalam daftar itu terdapat istilah “jayus”, yang sekarang benar-benar sudah ditinggalkan.
Selain “jayus”, istilah “kece” juga masuk dalam “daftar istilah yang sebaiknya kita tinggalkan”. Tapi ternyata istilah itu—kece—kembali mengalami musim pasang. Setelah surut selama satu dekade sejak awal 2000-an, istilah “kece” kembali populer pada—kalau tidak salah—awal 2010-an. Sejak itu, sampai sekarang, istilah “kece” masih kerap digunakan, dan terdengar baik-baik saja.
Selain “kece” dan “jayus”, ada istilah lain yang dulu pernah populer dan terdengar keren, tapi sekarang terkesan ketinggalan. Misalnya “disko” atau “diskotik”. Pada era 1990-an, temanmu mungkin akan tampak keren kalau bilang, “Semalam aku disko sampai pingsan!”
Bahkan sampai pingsan pun masih keren! Sekarang, bahkan umpama kau menyebut “disko” saja, teman-temanmu mungkin akan pingsan! Ya Tuhan, hari gini masih disko?
Begitu pula istilah “diskotik”. Dulu, pada era 1990-an, orang mungkin terdengar keren kalau mengatakan, “Ke diskotik, yuk!” Sekarang...? Well, coba saja sendiri, dan lihat reaksi teman-temanmu (dengan catatan, teman-temanmu bukan orang kuno).
Well, istilah “kuno” atau “modern”—khususnya terkait kehidupan kontemporer—sebenarnya tidak bergantung kapan seseorang dilahirkan, melainkan bergantung pada bagaimana orang meng-update dirinya.
Ada orang-orang yang telah tumbuh dewasa pada era 1990-an, tapi tetap bisa mengikuti perkembangan zaman, sehingga tidak “bingung” dengan gaya hidup orang zaman sekarang. Mereka terus meng-update diri dengan perkembangan yang terjadi, sehingga tidak gagap. Dalam contoh yang mudah, orang-orang itu tahu bahwa istilah “disko” sudah tidak digunakan, bahwa “ke diskotik” sekarang berubah menjadi “clubbing”, dan lain-lain.
Sebaliknya, ada orang-orang yang baru besar kemarin sore, tapi sudah tergagap-gagap mengikuti perkembangan yang terjadi. Mereka sering tidak nyambung saat harus berkomunikasi tentang hal-hal terkini. Biasanya, mereka jarang meng-update diri, sehingga ketinggalan banyak hal. Well, tipe orang yang masih menganggap dirinya keren dan modern karena “semalam aku ke diskotik!”
Tapi sebenarnya itu tidak penting.
Benar, yang saya ocehkan di atas sama sekali tidak penting. Kalian mau paham istilah “kece” atau tidak, kalian masih menggunakan istilah “disko” atau tidak, sama sekali tidak penting! Karena bisa dibilang tidak ada dampak apa pun yang mengkhawatirkan. Paling-paling akan dianggap kuno atau ketinggalan zaman. Sudah, hanya itu. Tidak apa-apa, wong paling dianggap kuno.
Dulu, ada buku terkenal, dan laris di mana-mana, berjudul “Kamus Gaul”, yang disusun Debby Sehertian. Buku itu berisi istilah-istilah gaul pada zamannya. Entah Debby sadar atau tidak, kamus yang disusunnya juga sudah ketinggalan. Karena sebagian isinya sudah tidak relevan dengan perkembangan terkini. Sebagian istilah yang dibahas Debby dalam buku itu sekarang sudah tidak digunakan, atau mengalami perubahan makna. Dengan kata lain, sudah kedaluwarsa.
Tetapi, sekali lagi, itu tidak penting. Wong cuma istilah gaul. Artinya, terlepas seseorang paham istilah-istilah gaul terkini atau tidak, itu tidak akan menimbulkan banyak masalah. Karena hanya istilah gaul—sesuatu yang lebih bersifat tren, yang kadang naik kadang turun, kadang dianggap modern dan kadang pula dianggap kuno. Tidak apa-apa. Goblok dalam istilah gaul tidak akan membuatmu dipanggil ke Kantor BP, apalagi sampai masuk neraka.
Jadi, terlepas kita meng-update diri dengan perkembangan istilah gaul masa kini atau tidak, hukumnya—meminjam istilah Islam—cuma sunah. Artinya, kalau dilakukan ya bagus, kalau tidak dilakukan ya tidak apa-apa.
Nah, selain istilah “sunah”, ajaran Islam juga punya istilah lain, di antaranya “wajib”, “mubah” dan “makruh”. Kalau “sunah” baik dilakukan tapi boleh ditinggalkan, maka “wajib” memiliki sifat harus dilakukan. “Makruh” memiliki sifat sebaiknya tidak dilakukan, meski—dalam batas tertentu—masih boleh dilakukan. Sedangkan “mubah” artinya bebas. Kau melakukan ya boleh, tidak melakukan ya tidak apa-apa.
Contoh hal wajib—masih menurut ajaran Islam—adalah belajar. “Menuntut ilmu (yaitu belajar) wajib bagi muslim laki-laki maupun muslim perempuan.” Karenanya, belajar—mau tidak mau—harus dilakukan, karena bersifat wajib. Sebegitu penting hal itu, sampai-sampai ditegaskan dalam kalimat lain, “Tuntutlah ilmu (belajarlah) dari ayunan (sejak kecil) hingga ke liang lahat (sampai napas terakhir).”
Contoh hal sunah, ya itu tadi, memahami istilah-istilah terkini—seperti kece, jayus, baper, dan lain-lain. Lebih luas, “mengikuti perkembangan zaman yang terjadi”—itu masuk dalam definisi “belajar”, tapi tidak terlalu signifikan. Kalian mau ikut ngerti ya bagus, kalau tidak mengerti ya tidak apa-apa. Karena cuma sunah. Orang tidak akan masuk neraka hanya karena tidak paham baper itu apa. Orang juga tidak akan masuk surga hanya karena hafal nama anggota JKT48.
Sedangkan contoh hal makruh dan mubah luas sekali. Ada banyak hal di sekitar kita, yang bisa menjadi mubah atau menjadi makruh, tergantung niat dan tergantung sifat. Sebagai contoh, tidur itu mubah. Tetapi terlalu lama tidur—misal sampai sehari penuh—bisa menjadi makruh, karena memubazirkan waktu hanya untuk tidur, padahal bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.
Well, cukup untuk penjelasan itu.
Sekarang kita masuk pada bagian yang lebih penting. Ada pengetahuan atau keyakinan yang di zaman dulu benar, tapi menjadi tidak benar jika diterapkan pada zaman sekarang. Saya pernah mencontohkan hal ini, pada catatan berjudul Warisan Masa Lalu.
Dalam catatan itu, saya mencontohkan teknologi kendaraan bermotor. Di zaman dulu, sepeda motor butuh dipanaskan sampai cukup lama, agar oli mesin melumasi seluruh bagian mesin. Tetapi, sekarang, aturan semacam itu sudah ketinggalan zaman. Sepeda motor zaman sekarang tidak perlu lagi dipanaskan sampai lama seperti dulu. Bahkan, jika kita sering memanaskan sepeda motor sampai lama, hasilnya bukan bagus tapi malah merusak.
Itu contoh gamblang betapa sesuatu yang benar di zaman dulu, bisa menjadi tidak benar di zaman sekarang. Dan hal-hal semacam itu banyak sekali, tidak sebatas pada sepeda motor. Pengetahuan atau keyakinan yang bagi kakek-nenek kita mungkin benar, bisa jadi salah di zaman kita. Karena telah ada banyak perkembangan, atau karena telah ada banyak perubahan. Bagian inilah yang paling perlu kita perhatikan.
Di zaman kakek-nenek kita, orang yang tidak lulus SD bisa mudah mendapat kerja. Kenapa? Karena pada waktu itu memang rata-rata orang hanya lulusan SD! Bahkan kalau pun tidak bisa bekerja di kantor atau perusahaan orang lain, orang lulusan SD zaman dulu bisa bekerja di tanah ladang sendiri, menumbuhkan aneka pohon yang lalu hasilnya dijual. Maka jadilah pedagang buah. Kenyataan semacam itu mudah terjadi dan mudah dilakukan di zaman dulu, karena tanah dan ladang masih luas, karena persaingan belum seketat zaman sekarang.
Jadi, orang zaman dulu bisa saja memberi nasihat, “Tidak usah sekolah tinggi-tinggi, yang penting kau rajin bekerja.”
Lima puluh tahun yang lalu, nasihat itu benar. Karena buat apa sekolah tinggi-tinggi, wong di masa lalu ijazah belum terlalu dibutuhkan. Kalau pun kau tidak punya ijazah, ada banyak perusahaan yang dengan senang hati mau menerimamu sebagai karyawan. Dan kalau kau bisa bekerja dengan baik, dengan rajin, kau akan terus naik jenjang, dan persetan dengan ijazah!
Tetapi, apakah nasihat serupa masih relevan di zaman sekarang? Kita tahu, jawabannya tidak! Karena di masa sekarang, pendidikan sangat dibutuhkan, ijazah sangat diprioritaskan, bahkan perguruan tinggi mana yang meluluskanmu ikut diperhatikan.
Begitu pun nasihat-nasihat lain. Ada nasihat yang di masa lalu terdengar benar dan relevan, tapi menjadi salah dan tidak relevan jika diterapkan di zaman sekarang. Di sinilah kita perlu melakukan update—belajar, menuntut ilmu—agar tidak menjadi manusia kedaluwarsa. Karena manusia juga bisa kedaluwarsa. Bentuknya masih manusia, tapi pikiran dan pengetahuannya sudah kedaluwarsa.
Dan orang-orang kedaluwarsa tidak jauh beda dengan makanan kedaluwarsa, atau hal lain yang sama kedaluwarsa. Bentuknya mungkin masih sama, tapi tidak ada yang mau memakan. Karena makanan yang kedaluwarsa bisa menjadi racun. Alih-alih memberi manfaat bagi tubuh, makanan kedaluwarsa bisa menimbulkan sakit. Dan, omong-omong, begitu pula orang-orang kedaluwarsa.
Yang sering menjadi masalah, ada manusia-manusia yang sebenarnya sudah kedaluwarsa, tapi tidak menyadari dirinya kedaluwarsa. Alih-alih menyadari, mereka justru hobi menceramahkan nasihat-nasihat yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman, kepada orang-orang zaman sekarang. Yang tambah jadi masalah, ada banyak orang di zaman sekarang yang tidak bisa membedakan mana manusia yang sudah kedaluwarsa, dan mana yang masih benar-benar manusia.