Selasa, 26 Maret 2019

Tetangga Saya Orang Muhammadiyah

Orang-orang paling alim dan paling memahami agama,
setidaknya yang kukenal, adalah orang-orang yang justru
paling jarang ngoceh soal agama.
@noffret


Tempat tinggal saya lingkungan muslim, dan hampir semua orang yang menjadi penduduknya—sejauh yang saya tahu—orang NU (Nahdhatul Ulama). Karenanya, di lingkungan saya pun lekat dengan budaya NU, yang salah satunya adalah tahlilan saat ada orang meninggal.

Biasanya, saat ada yang meninggal dunia, kami—para tetangga—akan mengikuti acara tahlil di rumah duka. Ada yang menggelar acara tahlil sampai 3 hari, ada pula yang sampai 7 hari. Biasanya, setelah itu, akan dilanjutkan acara tahlil 40 hari, 100 hari, setahun, sampai 1.000 hari. Lingkungan NU mana pun pasti sudah biasa dengan hal itu. Saya pun sudah mengenal acara itu sejak dulu, ketika masih tinggal bersama orang tua.

Dalam setiap acara tahlil, pihak yang punya acara tentu menyediakan minuman serta makanan ala kadarnya. Dulu, di lingkungan orang tua saya, tahlil memang relatif sederhana. Orang-orang yang datang bertahlil di rumah duka hanya mendapat minuman (biasanya teh hangat), dan jajan ala kadarnya yang disediakan di piring-piring. Sudah, hanya itu.

Namun, di tempat tinggal saya yang sekarang, acara tahlil lebih “mewah”. Para peserta tahlil tidak hanya mendapatkan teh hangat dan menikmati jajan ala kadarnya, namun juga bingkisan berupa beras (biasanya 1 kilo), plus telur (biasanya 1 atau 2 butir), teh (biasanya 1 bungkus), dan mi instan (biasanya 1 sampai 2 bungkus).

Pemberian “paket” itu bisa hanya pada hari pertama dan terakhir (malam 1 dan malam 7), namun ada pula yang memberikannya sampai 7 malam berturut-turut. Itu pun sering kali masih ditambah dengan jamuan lontong opor, soto, atau lain-lain.

Karena menghadapi pengalaman tahlil di tempat tinggal orang tua dan di tempat tinggal sekarang, saya pun bisa melihat jelas perbedaannya. Acara tahlil di tempat tinggal saya jauh lebih mewah. Bisa jadi, orang-orang di tempat tinggal saya memang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi, atau bisa jadi pula hal semacam itu sudah menjadi budaya setempat.

Intinya, di tempat orang tua maupun di tempat tinggal saya sekarang, orang-orang selalu mengadakan tahlil setiap kali ada tetangga yang meninggal. Meski begitu, ada satu orang yang tak pernah mau mengikuti acara tahlil, bahkan umpama acara tahlil itu diadakan tetangga sebelah rumahnya. Orang-orang biasa memanggilnya Pak Pardi. Kebetulan, rumah kami berdekatan.

Semua orang di tempat tinggal saya tahu, Pak Pardi orang Muhammadiyah. Sebagaimana yang kita tahu, Muhammadiyah memiliki ajaran atau budaya yang berbeda dengan NU. Salah satunya tidak ada tahlil untuk orang meninggal. Dan Pak Pardi benar-benar menjalankan ajaran itu dengan sepenuh teguh. Karenanya, di kalangan masyarakat sekitar, Pak Pardi adalah minoritas.

Meski begitu, kami semua menghormati Pak Pardi. Dia orang biasa, dengan kehidupan sederhana, namun sangat taat beribadah. Saban waktu salat, dia selalu pergi ke musala untuk berjamaah. Khusus untuk salat subuh, dia pergi ke masjid Muhammadiyah—yang letaknya agak jauh—mungkin untuk menghindari qunut (bagi yang mungkin belum tahu, NU pakai qunut saat salat subuh, tapi Muhammadiyah tidak pakai qunut).

Begitu pula saat salat tarawih di bulan Ramadan. Pak Pardi, beserta keluarganya, biasanya akan tarawih di masjid Muhammadiyah, meski semua tetangga tarawih di musala kampung. Tujuannya tentu agar tarawih yang dilakukan sesuai ajaran Muhammadiyah (sekali lagi, bagi yang mungkin belum tahu, NU tarawih 20 rakaat, sementara Muhammadiyah hanya 8 rakaat).

Jadi, Pak Pardi benar-benar minoritas di lingkungan kami yang NU. Meski begitu, seperti yang disebut tadi, semua orang menghormatinya. Dalam keseharian, Pak Pardi orang yang kalem, santun, tidak pernah menimbulkan masalah dengan tetangga sekitar, dan biasa menjalani puasa Senin-Kamis. Anak-anaknya (rata-rata seusia saya) juga menjadi anak-anak yang baik. Salah satu anaknya bahkan menjadi guru di pondok pesantren modern di Jakarta.

Keteguhan Pak Pardi dalam memegang ajaran Muhammadiyah sangat tampak, ketika tetangga sebelah rumahnya meninggal. Orang-orang, seperti biasa, mengadakan tahlil di rumah duka. Tapi Pak Pardi tidak terlihat. Hal sama terjadi, ketika tetangga depan rumahnya meninggal. Lagi-lagi, Pak Pardi tidak mau datang untuk ikut tahlilan. Jika dengan tetangga depan dan sebelah rumah saja dia tidak mau datang, apalagi dengan tetangga yang relatif jauh?

Meski begitu, para tetangga tidak mempermasalahkan, kami semua menghormati pilihan Pak Pardi yang begitu taat pada ajaran Muhammadiyah. Kami semua menjadi saksi, dia manusia yang baik, dan itu saja sudah cukup.

Beberapa bulan yang lalu, Pak Pardi meninggal dunia. Orang-orang pun berdatangan ke rumahnya untuk mengantarkan kepergian terakhir Pak Pardi ke pemakaman. Sesaat sebelum jenazah dibawa, salah satu anaknya menyampaikan sambutan, yang intinya mengucap terima kasih kepada masyarakat yang telah datang untuk mengantarkan kepergian terakhir ayahnya.

Di akhir sambutan, dia meminta maaf karena, “sebagaimana yang diamalkan Bapak seumur hidupnya, kami tidak menggelar acara tahlil. Kami mohon maaf karena menjalankan tradisi yang berbeda dengan masyarakat sini.”

Kami semua memaklumi, dan tidak mempermasalahkan. Jadi, usai Pak Pardi dimakamkan, di rumahnya tidak ada apa-apa—berbeda dengan rata-rata orang NU yang biasanya ramai sampai cukup lama. Anak-anak Pak Pardi juga tampak menjalani keseharian seperti biasa, seolah duka telah berlalu. Saya tahu hal ini, karena rumah kami berdekatan—meski, tentu saja, saya tidak tahu kesedihan yang mungkin mereka rasakan.

Beberapa waktu setelah itu, ada tetangga lain yang meninggal. Orang NU. Seperti biasa, kami pun mengikuti tahlil di rumah duka. Tuan rumah yang berduka ini kebetulan akrab dengan saya.

Selama mengikuti acara tahlil di rumahnya, semua tampak wajar dan baik-baik saja—seperti umumnya di rumah tetangga lain saat ada acara tahlil. Kami mendapat bingkisan, minuman, serta jamuan usai tahlil, dan lain-lain.

Lalu, berhari-hari setelah semua keramaian usai, saya bercakap-cakap berdua dengannya. Seperti yang disebut tadi, kami tetangga yang akrab. Sebegitu akrab, hingga bisa membicarakan hal-hal yang mungkin sensitif.

Dia mengatakan, “Ditinggal mati anggota keluarga adalah kesedihan sekaligus kebingungan yang beruntun. Kita tidak tahu kapan seseorang akan mati, bahkan meski ia anggota keluarga sendiri. Tiba-tiba saja dia mati, dan kita yang ditinggal harus mempersiapkan banyak hal secara mendadak dan tiba-tiba, tanpa persiapan sama sekali. Dari urusan pemakaman, menghubungi pihak-pihak yang terkait, sampai mengurus acara tahlil, dan lain-lain. Yang berat, semuanya itu harus dilakukan serba mendadak, di tengah kedukaan dan kehilangan.”

Dan semua butuh biaya, tentu saja.

Di tempat tinggal saya, biaya penguburan sekitar Rp700 ribuan. Sebagaimana dalam urusan “bisnis” lain, aturannya sederhana: “Bayar biaya itu, dan jenazah keluargamu bisa dikubur. Kalau tidak bisa bayar, kami juga tidak bisa menyediakan penguburan.”

Itu baru urusan penguburan jenazah, belum yang lain. Lalu membiayai acara tahlil sampai seminggu.

Bagi orang yang mampu, mengurus semua itu tentu bukan masalah. Tapi bagi yang tidak mampu, mengurus pemakaman dan lain-lain bisa sangat membingungkan—untuk tidak menyebut memberatkan. Seperti yang dikatakan tetangga saya tadi, “Ditinggal mati anggota keluarga adalah kesedihan sekaligus kebingungan yang beruntun.”

Kalau kita menggelar hajatan, misal resepsi perkawinan, kita tentu bisa mempersiapkan semuanya sejak jauh-jauh hari, termasuk menyiapkan uangnya. Meski acara resepsinya besar-besaran sekali pun, bisa dibilang tidak masalah, karena sudah ada persiapan sebelumnya. Dengan adanya persiapan pula, kita bisa menakar seperti apa acara yang ingin kita gelar, disesuaikan dengan kemampuan kita.

Berbeda dengan kematian. Ia datang tiba-tiba, dan bisa jadi anggota keluarga sama sekali tidak siap. Dan dalam ketidaksiapan itu, mereka harus mengurus banyak hal sekaligus, yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Sekali lagi, tidak masalah kalau hal itu terjadi pada orang yang mampu. Tapi bagi yang tidak mampu, itu kesedihan yang ditumpuk kesedihan, kebingungan yang ditumpuk kebingungan.

Membayangkan semua itu, saya teringat pada Pak Pardi, dan keteguhannya dalam memegang prinsip. Mungkin dia telah memikirkan sesuatu yang sekarang saya pikirkan, dan—selama bertahun-tahun—dia telah menunjukkannya dalam perbuatan.

Hukum Abadi di Muka Bumi

Para pembelajar rajin belajar bukan karena ingin pintar, tapi semata-mata karena mencintai belajar. Kalau tujuannya ingin pintar, sampai kapan pun tujuan itu tidak akan tercapai. Karena setiap kali mereka bertambah pintar, setiap kali pula mereka semakin merasa bodoh.

Begitu pun mereka yang senang bekerja, bukan karena menginginkan uang, tapi semata karena mencintai pekerjaannya. Kalau mereka bekerja keras demi uang, sejak dulu mereka sudah pensiun, karena sudah kaya-raya. Tidak, mereka bekerja karena mencintai pekerjaannya.

Nilai-nilai semacam itu mungkin asing bagi kebanyakan kita, karena selama ini kita dididik dengan cara salah. Kita dituntut rajin belajar demi gelar akademis, kita diminta rajin bekerja demi uang dan kekayaan. Akibatnya, kita tercerabut dari nilai-nilai penting yang kita lakukan.

Bagi para pembelajar, menjadi pintar hanyalah bonus, tapi bukan itu yang mereka kejar. Mereka hanya ingin menikmati sesuatu yang dicintai; belajar. Bagi para pekerja keras, uang dan kekayaan adalah jackpot. Mereka lebih suka menikmati yang mereka lakukan; bekerja.

“Kalau kau menanam padi, rumput ikut tumbuh. Tapi kalau kau menanam rumput, padi tidak ikut tumbuh.” Kalau cuma mengejar gelar, kita hanya mengejar kekosongan, karena kecintaan pada belajar akan hilang. Kalau cuma mengejar uang, kita hanya mengejar bayang-bayang.

Hukum abadi di muka bumi: Orang hanya bisa menjadi sesuatu yang ia cintai. Tidak ada satu orang pun, dari zaman Adam sampai akhir zaman, yang bisa mematahkan hukum itu. Jangan tanyakan apa arti/maknanya. Kalau kau tidak/belum paham, artinya kau perlu belajar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 November 2018.

Superb!

Superb?

Hmm... superb kuwi opo?

Kamis, 21 Maret 2019

Bocah yang Ngobrol dengan Tiang Listrik

Catatan ini sebaiknya tidak usah dibaca, karena tidak penting dan tidak bermanfaat, serta hanya akan membuang waktumu. Saya menulis catatan ini hanya untuk bersenang-senang dan menghibur diri sendiri.


Seorang bocah duduk di samping tiang listrik, dan tampak mengobrol asyik dengan tiang listrik. Entah bagaimana cara mereka mengobrol, yang jelas si bocah terlihat mengatakan sesuatu, mengatakan hal-hal seperti umumnya orang bercakap-cakap, dan sesekali tertawa-tawa.

....
....

“Kok bisa begitu, ya?” ujar si bocah. “Dari dulu, kalau diingat-ingat, rutenya selalu begitu. Ya hidup pun mungkin begitu, naik turun. Tapi kalau diingat-ingat memang begitu, kok. Bada, Rangu, Hayek, Yola, Simo, entah siapa lagi—aku lupa. Tapi ya intinya begitu. Dulu Simo pernah menanyakan, malah pernah membahas, tapi aku tidak paham.

“Apa? Simo, iya. Dulu dia pernah tanya apakah ada yang datang, lalu aku menunjukkan lembar manuskrip. Simo bilang, maksudnya bukan itu. Iya, aku paham, maksudnya bukan itu. Tapi aku sengaja menunjukkan manuskrip sebagai bentuk jawaban filosofis—kalau kau tahu maksudku. Tapi Simo sepertinya tidak paham hal-hal filosofis. Hahahaha....

“Jadi ya begitu. Tidak paham. Simo tidak paham maksudku, dan aku juga tidak paham maksud Simo. Karena ternyata Simo juga memaksudkan pertanyaannya sebagai hal filosofis, dan giliran aku yang tidak paham. Hah? Musim yang bukan musim? Waktu itu sesudah masanya. Malah sudah berlalu jauh dari musim itu.

“Ya asalnya dari situ. Setelah bertahun-tahun musim, lalu ada musim yang sedang tidak musim. Haha, lucu kalau diingat-ingat. Malah sampai berjalan jauh, menyeberang jalan yang ramai. Waktu itu, pas di sana, ada Nguh, sedang bercakap-cakap. Nguh bertanya, aku menjawab dari mana. Lalu musim itu pun datang—musim yang sedang tidak musim. Lalu aku pulang, karena sedang tidak musim.

“Nguh mengusulkan agar aku pulang naik karpet, tapi usulnya tidak bisa terwujud, karena ya itu tadi... sedang musim tidak musim. Lalu aku pulang saja.

“Sampai lama setelah itu, aku sama Gungun membahas sesuatu. Wah, kadang aku kangen sama Gungun. Dia pernah menyelamatkan hidupku. Tapi kalau dipikir-pikir, Gungun pun sama seperti hidup. Sekarang aku mau cerita soal Gungun, sambungan dari musim yang tidak musim, sebagai awal kenapa ada manuskrip filosofis.

“Waktu itu, aku dan Gungun membahas sesuatu. Oke, aku bilang ke Gungun. Karena dia orangnya tepat waktu, aku pun bisa mengandalkannya. Lalu aku pergi ke tempat yang dibilang Gungun. Jalan kaki. Waktu itu rasanya damai sekali, karena berpikir perjalanan yang jauh akan sampai di tempat yang indah.

“Sebelum itu, aku sudah bolak-balik jalan kaki, malah lebih jauh. Malah tidak ada indah-indahnya. Cukup lama itu, sampai kadang aku berpikir apa mungkin jalan yang kutempuh keliru? Nah, waktu aku jalan kaki yang barusan itu, muncullah cerita lanjutan tentang musim yang sedang tidak musim. Lha dia cerita sendiri, hahahaha...

“Dari situlah aku menyadari, ternyata kehidupan memang angin dingin. Padahal, sebelum itu, aku pernah ketemu Drume, sama waktu aku sedang berjalan menuju ke sana. Drume dan aku lalu bercakap-cakap. Soal beberapa, dan dia malah sempat menceritakan familinya yang sedang sakit tapi bingung karena anaknya akan terbang menuju antah berantah. Lalu kami berpisah, waktu pintu gerbang sampai.

“Beda lagi dengan musim itu. Yah, dari situ, aku pun jadi malas membahas musim, karena musim sedang tidak musim. Kalau dipikir-pikir memang aneh. Sudah bertahun-tahun berjalan, lalu suatu hari datang musim yang sedang tidak musim, lalu aku jalan kaki dan ketemu Drume, dan lama setelah itu aku menyadari tentang musim.

“Nah, dari situlah, aku dan Some membahas hal filosofis tadi, dan kami sama-sama tidak paham. Dulu waktu Rafu pulang, Some pernah bertanya apakah mungkin aku akan sama dengan Rafu. Aku bilang tidak, dan Some tertawa. Lalu soal manuskrip itu, Some bilang bukan itu. Ya, mestinya aku paham, tapi mungkin aku sedang goblok. Sepertinya aku memang sering goblok, kalau dipikir-pikir. Lalu pulanglah mereka, dan aku tidak tahu lagi bagaimana kabarnya.

“Kalau diingat-ingat memang aneh. Hayek itu kalau sedang sampai di sana ya seperti yang lain. Payi, juga. Hahaha, entah bagaimana kabarnya sekarang. Aku sudah lama tak ketemu. Niwa juga pernah menanyakan hal serupa. Apakah masih ke sini, dia bertanya. Aku bilang, ya, masih ke sini. Aku malah sempat bingung mendapati Niwa sering menanyakan hal serupa. Aku pernah terpikir untuk menjawab bahwa hal-hal berubah, semuanya berubah, karena kehidupan selalu berubah.

“Mungkin Niwa sudah tercerahkan sejak dulu. Aku pernah bilang kepadanya bahwa kita harus menyelamatkan dunia, tapi Niwa hanya tertawa. Mungkin baginya dunia tidak perlu diselamatkan. Ya benar juga, kalau dipikir-pikir. Lalu setelah itu Niwa menghilang. Aku pernah tanya pada seseorang, bagaimana kabarnya sekarang, dan katanya dia sudah berubah menjadi bundar.

“Kalau diingat-ingat memang aneh. Apakah ini sebenarnya plot yang sama, atau bagaimana? Hahahahaaa... soalnya aku tidak paham-paham. Mula-mula naik, naik, lalu turun, turun. Naik lagi, turun lagi. Mungkin sudah saatnya aku sadar, ya. Sadar kalau selama ini aku tidak sadar.

“Yang membuatku bertanya-tanya, kenapa musim bisa terjadi? Kalau dipikir-pikir, ini persoalan musim. Benar sekali. Tapi bagaimana bisa terjadi dan musim berulang? Mengapa ada musim yang tidak sedang musim? Dari dulu, kalau diingat-ingat. Dari zaman Luo, lalu zaman Sorah dan Dal, sampai zaman-zaman seterusnya. Itu sudah berabad-abad. Kok bisa?

“Lalu aku ingat Piar. Dia pernah menulis di meja tentang Diyu. Ya asal-usulnya memang Diyu, kalau dipikir-pikir. Tapi dia bisa melewati hidupnya dengan baik, meski mungkin susah, dan aku pernah terpikir untuk menirunya. Tapi zaman kami sudah jauh berbeda. Sekarang sudah tidak ada, dan aku membahas jalan dan rute. Piar katanya sudah terbang pakai karpet.

“Dari zaman Diyu sampai sekarang, sudah ada beberapa generasi, tapi kok bisa sama, ya. Dari waktu ke waktu ya mesti ada musim, dan musimnya sama. Itu-itu saja. Sampai aku bingung sendiri. Apa aku yang salah, apa musimnya yang salah. Dulu pernah kutulis di buku kecil itu, tapi mungkin sekarang bukunya sudah hilang. Entah kena banjir, entah kubuang.

“Yang baru juga begitu, zaman baru. Ada musim-musim yang sama. Lalu lubang besar di tengah jalan. Wah, parah itu. Tapi ya tidak ada yang peduli, dan aku menyadari bahwa itulah angin dingin. Aku menghadapi kegoncangan, salju, panas, hujan, dan banjir. Angin dingin yang datang. Musim yang tidak sedang musim.

“Orang-orang suka mempercayai yang ada dalam pikirannya sendiri. Lalu menganggap yang dipercayai itu betul, dan mengatakannya kepada orang lain. Lalu orang lain percaya, tanpa menyadari bahwa yang ia percaya awalnya hanya ada dalam pikiran seseorang yang entah benar atau tidak. Apakah itu berarti UFO benar-benar ada? Ya mungkin, hahahahaha....

“Kapu juga begitu. Impala. Sampai yang dekat-dekat itu ya percaya pada UFO. Lalu Hita. Kemarin dia malah bilang awal tapi malah ngilang, hahahaha. Sudah kuduga. Bagaimana kalau kita bisa masuk ke dalam cermin, dan hidup di dalamnya? Itulah yang kutanyakan kepada tusuk gigi, ketika suatu kali aku sedang bingung. Tusuk gigi mengatakan bisa saja. Lalu aku pun masuk cermin. Ternyata kehidupan di dalam cermin ya sama saja. Ada musim-musim.

“Pernah, dulu, ada Kidu yang mengatakan beberapa hal dan aku tertarik. Lalu seseorang mengatakan soal Obi entah siapa, dan musim yang sama datang. Sama, kalau dipikir-pikir. Malah dulu ada Ska segala, dan kami membentuk sebuah lingkaran. Seperti balon, lalu meletus di udara. Tapi ya kisahnya sama, seperti yang lain-lain. Malah aku sempat membahas itu dengan Ska, dan dia ternyata bisa serius, padahal sebelumnya suka cekikikan.

“Sekarang Ska sudah berubah, tidak pernah lagi cekikikan seperti dulu. Sekarang malah seperti serius sekali. Ini mengingatkanku pada hal-hal lain, pada musim-musim lain. Bahkan yang paling dekat pun. Apakah itu tidak menakjubkan? Sangat menakjubkan, menurutku. Cuma aku bingung, bagaimana hal-hal menakjubkan seperti itu bisa terjadi? Apakah ini yang disebut entah?

“Mungkin akan lebih baik kalau saja Simo tidak mengatakan soal musim, dan Niwa tidak membahas dunia yang perlu diselamatkan. Simo kembali bertemu denganku waktu dia baru saja terbang. Ya, kemana lagi dia harus datang, coba? Dan aku bilang kepadanya, itu sepuluh dari sepuluh. Dan aku tertawa. Tempo hari aku sempat melihatnya, dan dia telah berubah menjadi tiga. Aku terkesima.

“Sekarang mungkin sebaiknya aku mulai merintis... entah merintis apa. Kadang-kadang aku lelah. Kadang mempertanyakan. Kadang aku merasa terbang pakai karpet. Kadang aku berpikir musim sedang tidak musim. Kadang aku merasa goblok. Entahlah.

“Terima kasih sudah menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. Kamu sungguh pendengar yang baik.”

....
....

Bocah itu menyentuh tiang listrik seperti menyentuh sahabatnya, lalu bangkit dari duduknya. Dia melangkah ringan—mungkin lebih ringan dibanding sebelum mengobrol dengan tiang listrik.

Aku menatap kepergiannya.

Aku menyulut udud.

Dan aku berpikir, “Hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah ngobrol dengan tiang listrik.”

Feeling

Berdasarkan feeling-ku, kemungkinan besar feeling-ku keliru.

Noffret’s Note: Golput

Agak heran campur geli dengan orang yang marah-marah pada orang yang milih golput. Lha wong demokrasi ya begini. Ada yang memilih, ada yang tidak memilih. Bebas. Ini Indonesia, bukan Korea Utara. Lagi pula, kami golput karena pilihan, bukan karena dibayar.

Biasanya—ini biasanya, lho—yang suka marah-marah pada orang golput tuh para buzzer. Ya mereka wajar marah sih, wong mereka dibayar untuk itu. Artinya mereka memang punya kepentingan, meski jangka pendek. Bagi yang tak punya kepentingan, biasanya sih santai.

Dalam perspektifku yang gak penting-penting amat, golput tuh semacam ahimsa—gerakan untuk tidak melakukan apa-apa. Karena semua gerakan yang dilakukan terlihat percuma. Berbagai upaya sudah dilakukan, tapi hasilnya tetap gitu-gitu aja. Yo wis, golput wae.

Lagi pula, omong-omong, alasanku memilih golput bukan semata-mata karena dua pilihan yang ada, tapi juga karena muak melihat perilaku para buzzer selama ini di medsos. Jadi, golput yang kulakukan adalah semacam "upaya mengerjai" para buzzer yang selama ini telah "mengerjai" kami.

Sebenarnya, orang golput tuh gak macam-macam, cuma gak milih—itu aja. Dan kami juga gak ngerecokin pilihan orang lain. Yang membuat kami marah, karena pilihan kami untuk golput diusik. Padahal kami tidak punya kepentingan apa pun, jadi tidak ada ruginya bagi kami untuk melawan.

Dalam pertempuran, jangan pernah mencoba melawan orang yang tak punya kepentingan. Karena apa pun hasilnya, kau yang akan kalah dan lawanmu tak kehilangan apa pun. Kau mengusik pilihan kami, karena kau punya kepentingan. Sementara kami tidak. Melawan kami adalah tindakan sia-sia.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Januari 2019.

Sabtu, 16 Maret 2019

Seorang Teman Bernama Budip

Selalu menyenangkan bertemu teman lama.
Rasanya seperti membuka kembali album masa lalu
yang lusuh dan berdebu, tapi penuh kenangan.
@noffret


—untuk seorang teman

Saya punya seorang teman yang baik sekaligus unik, bernama Budi. Lengkapnya Budi Prasetya. Dia memiliki pembawaan yang selalu ceria, mudah tertawa, hingga siapa pun yang berdekatan dengannya ikut ceria. Saya termasuk salah satu teman yang senang mengobrol dengannya, karena bisa tertular energi keceriaan yang dimilikinya.

Dia hampir selalu mampu mengubah apa pun menjadi sesuatu yang bisa ditertawakan, dan “keahlian” itu juga menular ke teman-temannya, termasuk saya. Entah kenapa, humor paling garing sekali pun bisa menjadi sesuatu yang mampu membuat kami tertawa-tawa gila jika dinikmati bersama Budi.

Bertahun-tahun lalu, misalnya, kami—Budi, saya, dan beberapa teman yang masih sama-sama ABG—pernah berkumpul dan mengobrol bareng. Waktu itu lagi ngetren pijer (pager), sarana komunikasi sebelum ada ponsel. Kami pun asyik membicarakan pijer, meski sama-sama tidak memakainya. Boro-boro dolanan pijer, waktu itu gimbot (game watch) pun kami tidak punya.

Di sela-sela percakapan, saya sempat nyeletuk, “Pijer makan tanaman.”

Celetukan itu mungkin garing. Tetapi Budi seketika ngakak sejadi-jadinya. Dia bahkan sampai tertawa-tawa lama, hingga kami semua ikut terpengaruh tawanya. Kebiasaan ngakak sejadi-jadinya itu memang ciri khas Budi. Dia seperti punya impuls tawa yang sangat peka, hingga mendengar kelucuan yang paling absurd pun akan membuatnya tertawa-tawa gila.

Bahkan, sejak itu, setiap kali di antara kami ada yang menyebut “pijer” saja, Budi akan tertawa-tawa gila, karena teringat “pijer makan tanaman”.

Dengan kebiasaannya yang mudah tertawa seperti itu, Budi pun menjadi sosok populer—di kalangan teman-teman, maupun di lingkungan tetangga tempatnya tinggal. Orang-orang selalu senang mengobrol dengannya, karena tertular keceriaannya.

Selain kebiasaannya yang ceria dan mudah tertawa, Budi juga punya keunikan lain. Meski namanya Budi Prasetya, dia sangat jarang—bahkan hampir tidak pernah—menulis namanya secara lengkap, kecuali jika memang diwajibkan. Kapan pun dia harus mengisi nama, misal mengisi buku tamu ketika menghadiri acara resepsi, dia akan menulis namanya “Budi P”. Huruf P di situ tentu singkatan “Prasetya”.

Yang agak “bermasalah”, dia sering menulis nama “Budi P” dengan jarak (spasi) yang sangat dekat, sehingga “Budi” dan “P” terkesan menempel. Selain itu, Budi juga selalu menulis “P” pada namanya dengan “p” (huruf kecil). Akibatnya, jika dilihat sekilas, nama “Budi P” akan terbaca “Budip”.

Semula, saya tidak menyadari kenyataan itu, meski sudah sering melihatnya. Saya pikir itu bukan masalah, toh saya tahu kalau itu maksudnya “Budi P” yang artinya “Budi Prasetya”. Jadi, meski sudah melihat nama itu berkali-kali, saya sama sekali tidak punya perhatian apa pun.

Sampai suatu hari, kelucuan yang sangat aneh terjadi.

Waktu itu, saya dan Budi mengikuti suatu pelatihan. Ada sekitar 20 orang dalam kelas, dan salah satu instruktur dalam acara itu seorang pria bule. Waktu acara akan dimulai, masing-masing peserta pelatihan diminta mengisi absensi seperti di ruang kuliah. Kami diminta mengisi nama serta tanda tangan di kolom yang disediakan.

Saya duduk berdampingan dengan Budi, waktu itu. Ketika melihatnya mengisi lembar absensi, saya lihat dia menulis namanya seperti biasa, dengan “Budi” dan “p” yang sekilas terbaca “Budip”.

Setelah semua peserta mengisikan nama di lembar absensi, instruktur bule lalu mengabsen satu per satu nama-nama kami. Tujuannya agar dia bisa mengenali siapa bernama siapa, sehingga bisa menyapa dengan akrab.

Instruktur bule itu tampak ramah. Dia menyebut nama di lembar absensi satu per satu, dan nama yang disebut mengacungkan tangan. Lalu si bule akan menyapa dengan hangat, serta mengatakan beberapa hal yang menyenangkan. Sampai tiba giliran Budi. Sesaat, instruktur bule mencermati lembaran absensi di tangannya, lalu dengan agak ragu menyebut, “Budip.”

Memahami namanya disebut, Budi pun mengacungkan tangan.

Instruktur bule menengok ke arahnya, dan memastikan, “Budip, huh?”

Budi hanya menjawab, “Yes, Sir.”

Si bule sepertinya terkesan dengan nama itu, hingga menyebutnya berkali-kali. Dia lalu berkata dengan hangat, “Saya sangat menyukai namamu, Budip. Unik, dan saya baru pertama kali menemukannya.”

Selama si bule menyebut-nyebut “Budip”, saya mati-matian menahan tawa. Nama itu saja—Budip—bagi saya sudah lucu. Dan ketika nama itu diucapkan lidah bule, kedengarannya semakin lucu. Tapi saya tidak mungkin tertawa-tawa gila di sana, jadi saya mati-matian menahan tawa, dan berusaha tetap menampilkan wajah serius.

Saya tidak tahu apakah Budi juga menganggap hal itu lucu. Yang jelas, dia tetap menampilkan muka lempeng, dan sama sekali tidak memperdengarkan cekikikan sedikit pun.

Setelah acara perkenalan selesai, instruktur bule mulai menjelaskan materi yang perlu kami pelajari. Dia menyampaikan materinya dengan baik, dengan sikap hangat seperti yang ia tunjukkan sejak awal. Di sela-sela memberikan materi, dia selalu menyempatkan untuk menyapa atau menyebut nama-nama kami, hingga kami terus fokus pada yang disampaikannya.

Mungkin karena sejak awal sudah terkesan pada nama “Budip”, si bule juga menyapa serta menyebut nama itu lebih banyak dari yang lain. Dan setiap kali si bule menyebut “Budip”, setiap kali pula saya mati-matian menahan tawa.

Materi si bule berlangsung sekitar 2 jam. Setelah itu, para peserta disodori lembar soal, yang isinya kira-kira seperti tes esai, dan berkaitan dengan penjelasan instruktur bule tadi. Ada 12 soal di lembar itu, dan jawabannya ditulis di lembar tersendiri yang banyaknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta dalam memberi jawaban.

Jadi, mula-mula kami hanya diberi selembar kertas soal, dan dua lembar kertas kosong untuk menulis jawaban. Namun, di depan kelas sudah disediakan setumpuk kertas kosong yang bisa diambil siapa pun, yang membutuhkan kertas lebih banyak untuk menulis jawaban.  

Ketika masing-masing orang sudah mendapatkan kertas soal, seketika suasana terasa tegang. Tidak ada keributan apa pun, tapi semua orang sama-sama menyadari bahwa kami dalam kondisi tegang. Pasalnya, 12 soal yang tertulis di lembar pertanyaan tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.

Tipe pertanyaannya kira-kira, “Jika ini terjadi, apa yang akan Anda lakukan?”, “Bagaimana cara melakukannya?”, dan, “Jelaskan secara detail ketika Anda mengambil langkah tersebut.” Untuk menjawab satu soal saja, rata-rata dibutuhkan minimal satu lembar kertas jawaban.

Detik-detik awal berjalan, dan kami semua terlihat tegang memandangi lembar soal yang sangat rumit. Belum ada satu pun yang mulai menulis jawaban—kami semua seperti sedang shock. Budi, yang duduk di samping saya, kelihatan gelisah seperti yang lain. Dia merundukkan kepalanya, lalu berbisik pada saya, “Soal-soal keparat apa ini?”

Saya, yang waktu itu juga stres menatap lembar pertanyaan, seketika nyeletuk, “Menurutku, ini soal-soal yang sungguh budip.”

Di luar dugaan, Budi seketika ngakak sejadi-jadinya waktu mendengar saya menyebut “budip”. Dia ngakak dengan gila seperti biasa, tanpa ingat waktu itu kami ada di dalam kelas bersama orang-orang yang tak dikenal. Seperti biasa pula, saya selalu terpengaruh ikut tertawa setiap kali mendengar dia tertawa, dan tawa saya pun ikut meledak—apalagi ditambah sejak tadi sudah menahan-nahan agar tidak tertawa.

Selama sesaat, kami berdua seperti orang gila yang tertawa tanpa aturan, dan kami butuh waktu beberapa saat untuk meredakan tawa kami yang menggila. Ketika saya mulai berhenti tertawa sambil memegangi perut yang kaku, saya sempat khawatir akan diusir dari sana, karena telah bertingkah tidak sopan.

Tapi rupanya kekhawatiran saya tidak terjadi. Tawa kami yang gila tadi rupanya ikut menurunkan ketegangan di dalam kelas. Orang-orang yang semula tampak serius dan murung melihat kertas soal, kini tampak lebih santai, dan beberapa terlihat senyum-senyum, meski mereka tentu tidak tahu apa yang membuat kami tertawa. Instruktur bule, yang duduk di depan kelas, tidak mengatakan apa pun, selain, “Kalau kalian sudah selesai (tertawa), silakan mulai kerjakan (soalnya).”

Sejak peristiwa itulah, saya sering menyebut “budip” (dengan b kecil) untuk menyifati segala sesuatu yang absurd, yang belakangan menjadi semacam humor internal antara saya dan Budi. Entah kenapa, kami selalu tertawa gila setiap kali menyebut kata itu.

Dalam banyak kesempatan, kami selalu menemukan hal-hal yang “bersifat budip”, dan kami lalu tertawa-tawa seperti orang gila. Saat makan bareng di tempat asing, misalnya, Budi kadang bertanya, “Bagaimana menurutmu, masakan di sini?”

Kalau saya kebingungan antara menjawab enak atau tidak, saya akan menjawab, “Menurutku, masakan di sini sangat budip.” Lalu kami ngakak bersama.

Well, hari ini, Budi Prasetya alias Budip berulang tahun, dan saya ingin menyampaikan selamat ulang tahun untuknya. Panjang umur dan selalu sehat, teman baik, dan tetaplah menjadi keceriaan, pijar tawa yang menggembirakan, bagi semua orang.

Doa Dalam Hati

Ketika bencana terjadi, orang-orang biasanya riuh mengucapkan kalimat belasungkawa dan iringan doa, namun ada pula yang tidak. Mereka yang tidak mengucapkan belasungkawa belum tentu tidak peduli. Mereka tentu turut sedih, namun memilih diam, dan hanya mendoakan dalam hati.

Karena sebagian orang mengekspresikan kesedihan lewat kata-kata, sebagian lain menghayati kesedihan tanpa suara.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 September 2018.

Noffret’s Note: Sirkus Kebohongan

Yang masih kupikirkan terkait sirkus hoax ini adalah... BAGAIMANA foto-foto terkait operasi itu bisa bocor ke publik? Itu bukan jenis foto yang ingin kita pamer-pamerkan ke orang lain. Jadi, BAGAIMANA foto-foto itu bisa keluar, hingga kita melihatnya?

Beberapa orang konon dipolisikan gara-gara sirkus hoax yang baru saja terjadi. Mestinya, media-media yang ikut masuk dalam sirkus kebohongan itu juga dipolisikan. Mereka telah berlaku sebagai TOA atas hoax yang disebar, dan mestinya mereka juga harus ikut bertanggung jawab.

Siapa yang paling diuntungkan oleh kasus hoax Ratna Sarumpaet? Bukan siapa pun, kecuali media! Merekalah yang berpesta. Saat kebohongan terungkap, mereka tinggal mengikuti irama sambil pura-pura amnesia. Bahkan berita yang ditulis sendiri pun dibantah sendiri dengan tanpa dosa.

Di Indonesia, sebagian media tak jauh beda dengan bandar judi. Tidak akan kalah dan rugi, apa pun yang terjadi. Saat angin bertiup pada kebohongan, mereka ikut. Saat kebohongan mulai terungkap, mereka pun ikut. Bagi mereka tidak ada ruginya, tapi kita yang menjadi korban mereka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Oktober 2018.

Noffret’s Note: Ratna Sarumpaet

Lagi gatel.

Ratna Sarumpaet sudah mengakui dia berbohong. Media-media sudah mengklarifikasi berita mereka. Dan orang-orang yang dianggap menyebar hoax sudah dipolisikan. So, apakah kasus ini sudah selesai?

BELUM!

Ada yang sangat aneh dan membingungkan, atau tidak match, terkait kasus itu.

Umpama film, kisah kebohongan Ratna Sarumpaet seperti film buruk dengan tokoh yang tidak meyakinkan, adegan yang membingungkan, dan plot-hole sangat besar yang membuat penonton yang kritis akan bertanya-tanya karena kebingungan.

Berdasarkan pengakuan Ratna Sarumpaet, dia terpaksa berbohong karena ditanya anaknya, terkait mukanya yang "lebam". Karena kebingungan, dia pun berbohong dan mengatakan habis dianiaya orang.

Patut ditanyakan, anaknya yang mana yang menanyakan hal itu, hingga dia berbohong?

Karena, berdasarkan bukti temuan polisi, anaknya ikut membiayai operasi plastik yang dilakukan Ratna Sarumpaet, dengan bukti adanya transfer dari rekening si anak ke rumah sakit tempat Ratna Sarumpaet melakukan operasi. Artinya, si anak tahu ibunya melakukan operasi plastik.

Tapi bukan itu yang terpenting.

Yang terpenting adalah... bagaimana pengakuan (kebohongan) Ratna Sarumpaet kepada anaknya itu bisa "terdengar" ke orang-orang secara luas, hingga mereka sama-sama kompak "tahu" kalau Ratna Sarumpaet dianiaya?

Benar, jawabannya karena ADA FOTO.

Sekarang bagian yang paling penting terkait kasus ini. BAGAIMANA FOTO-FOTO ITU BISA BEREDAR?

Foto-foto itu bukan jenis foto yang ingin kita pamerkan ke orang lain, khususnya kalau kita mengingat watak Ratna Sarumpaet yang sangat keras. Jadi, BAGAIMANA FOTO-FOTO ITU BISA BEREDAR?

Di satu sisi, Ratna Sarumpaet sampai terpaksa berbohong pada anaknya, karena malu jika mengaku melakukan operasi plastik.

Di sisi lain, dia mengizinkan seseorang (entah siapa) mempublikasikan foto-fotonya saat sedang dalam perawatan terkait operasi plastik.

Bisa memahami plot-hole ini?

Tampaknya, polisi tidak cukup menangkap Ratna Sarumpaet. Mereka juga harus mencari dan menangkap ORANG YANG PERTAMA KALI MENYEBARKAN FOTO HOAX terkait Ratna Sarumpaet. Karena orang itulah awal hoax muncul, hingga termakan orang-orang lain yang tak tahu.

Post Script:

Sebenarnya, kasus hoax ini membingungkan, justru karena tokoh utamanya Ratna Sarumpaet. Tanpa bermaksud berlebihan, dia "wanita baja" dalam arti sesungguhnya. Kalau kau melihat dia di era '90-an, kau akan tahu maksudku. Karenanya, kasus ini aneh sekaligus absurd.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Oktober 2018.

Senin, 11 Maret 2019

Merpati yang Ingkar Janji

Terbang tinggi bukan hal sulit.
Yang sulit adalah tetap menapak bumi, sementara kau tahu
betapa nikmatnya terbang tinggi.
@noffret


“Aku akan membuatmu berdarah, bangsat!” Dan dia melakukannya.

Kelak, pertarungan pertama di jalanan itu mengantarkannya menjadi petarung tangguh dan paling ditakuti di dunia. Tapi jalan takdir tak pernah bisa diduga. Ia bisa mengantarmu menjadi seorang juara, juga bisa menghancurkanmu dengan cara paling brutal.

Tumbuh sebagai anak miskin dengan orang tua tunggal, Michael Gerard Tyson adalah sosok pendiam. Dia tidak sempat mengenal ayahnya, karena sang ayah pergi saat Tyson berusia 2 tahun. Sang ibu, Lorna Smith, sendirian membesarkan Tyson, dan bocah itu tumbuh menjadi anak yang suka mengurung diri di rumah. Dia tak punya teman. Sementara lingkungan tempat tinggalnya, Brooklyn, dikenal sebagai tempat yang keras. Bocah itu pun lebih senang tinggal di rumah.

Karena tidak memiliki teman, dia biasa menghibur diri dengan berkunjung ke Taman Kota Brownsville, yang tak jauh dari rumahnya. Di taman itu ada banyak burung merpati berkerumun, dan dia senang menyaksikan mereka. Bagi Tyson, waktu itu, merpati adalah makhluk lembut yang ajaib.

Karena ketertarikannya pula, Tyson mengumpulkan uang untuk membeli seekor merpati. Ia merawat merpati miliknya dengan penuh sayang, dan itulah satu-satunya teman yang ia miliki. Ia rajin memberinya makan, memandikannya, bersamain-main, dan bersenda gurau dengannya. Hidup Tyson waktu itu hanya sebatas dengan burung merpati.

Suatu hari, dia terkejut mendapati merpati kesayangannya hilang, tak ada lagi di sangkar. Ketika mencoba mencari, yang ia dapati sungguh mengerikan.

Di Brooklyn, seperti umumnya di lingkungan keras lain, ada bocah-bocah yang tumbuh menjadi berandal. Bocah-bocah itu senang mencari gara-gara, dari mencorat-coret tembok, menghancurkan kaca mobil tetangga, melempari rumah, sampai menantang berkelahi siapa pun. Salah satu berandal di sana tahu, Tyson memelihara merpati dan menyayangi burung itu. Jadi, si berandal mengerjai Tyson, ingin melihatnya menangis.

Ketika Tyson sedang bingung di halaman rumah mencari merpati kesayangannya, berandal itu memanggil Tyson, dan berkata, “Lihat ini!”

Tyson menatap berandal di depan halaman rumahnya. Si berandal memegangi merpati yang ia cari-cari. Kemudian, dengan dingin, bocah berandal itu memelintir kepala merpati milik Tyson, lalu melemparkannya ke halaman rumah, di depan Tyson berdiri.

Tyson terpana menyaksikan merpati kesayangannya tergeletak menjadi bangkai, sementara si berandal tertawa-tawa. Setelah sadar dari keterkejutan, Tyson menatap berandal di depan rumahnya, dan merasakan darah di tubuhnya membakar murka.

“Aku akan membuatmu berdarah, bangsat!” ujarnya. Dan itulah yang kemudian ia lakukan.

Waktu itu, Tyson berusia 11 tahun, dengan tubuh ramping. Lawannya, si berandal yang membunuh merpatinya, berusia lebih tua dengan tubuh dua kali lipat lebih besar. Tapi amarah menyulut adrenalin, dan adrenalin yang mengalir deras bisa membuat siapa pun memiliki kekuatan super. Tyson, si bocah rumahan, waktu itu telah berubah menjadi monster.

Dengan amarah membara, Tyson mendekati si berandal, lalu menghajarnya tanpa ampun. Si berandal, yang mungkin tak mengira akan menghadapi serangan Tyson, tergagap dan tak mampu menyelamatkan diri dari hantaman bertubi-tubi yang datang. Dia terkapar, dengan muka berdarah-darah.

Pertarungan itu ditonton banyak orang—berandal-berandal di Brooklyn—dan mereka menyaksikan berandal kawan mereka babak belur. Sejak itu, mereka menilai Tyson dengan pandangan berubah.

Sejak itu pula, hidup Tyson ikut berubah. Anak rumahan yang semula hanya berteman merpati, berubah menjadi anak jalanan yang akrab dengan geng berandal. Dia berkelahi setiap hari, mencari masalah setiap pekan. Sejak itu, hidupnya hanya ada di dua tempat—di jalanan, dan di penjara. Sebelum berumur 13 tahun, Michael Gerard Tyson, yang akrab dipanggil Mike Tyson, telah ditangkap polisi 38 kali.

Lorna Smith, sang ibu, khawatir dengan perkembangan Tyson yang makin liar. Karena kekhawatiran pula, ia mengirim Tyson ke sekolah-asrama Tryon School for Boys di Johnstown, New York. Sekolah itu menampung banyak anak berandalan, dan memiliki banyak pilihan ekstrakurikuler. Tyson memilih tinju sebagai kegiatan ekstrakurikulernya.

Kelas tinju di sekolah itu dilatih oleh Bobby Stewart, seorang mantan petinju. Begitu melihat Tyson, Bobby segera mengenali bakatnya. Ia lalu mengenalkan Tyson pada pelatih tinju legendaris, Cus D’Amato. Kelak, lewat orang inilah Tyson akan menjadi petinju paling terkenal di dunia, dan orang-orang menjulukinya Si Leher Beton.

Tapi perjalanan ke sana masih panjang.

Dari Tryon School for Boys di Johnstown, New York, Mike Tyson dipindahkan ke sasana tinju milik D’Amato, di Catskill Boxing Club. Tempat itu menjadi Kawah  Candradimuka bagi Tyson. Di sana, Cus D’Amato bersama asistennya, Kevin Rooney, membentuk ulang Mike Tyson, si bengal dari Brooklyn, untuk menjadi petarung yang tangguh di atas ring.

Cus D’Amato bukan hanya melatih Tyson dalam urusan bertinju, tapi juga menanamkan kedisiplinan, melatihnya mengendalikan diri, mengajari bagaimana menjadi pemenang.

“Ingatlah ini,” kata D ‘Amato berulang-ulang, “disiplin, kendalikan diri, dan jadilah pemenang!”

Mike Tyson berjanji akan mengingatnya.

Tiga resep itu kelak terbukti mampu mengantarkan Tyson menjadi pemenang sesungguhnya—sang petarung paling ditakuti di dunia—yang bisa menjatuhkan lawan mana pun hanya dalam hitungan detik!

Kelak, bertahun-tahun kemudian, Mike Tyson mengenang D’Amato sebagai guru yang luar biasa. “Dia menghancurkan hidup saya,” ujar Tyson, “tapi juga membangunnya kembali.”

Ketika Tyson sedang berlatih keras di bawah bimbingan D’Amato, ibunya sedang sakit keras. Sejak lama, Lorna Smith berjuang menghadapi kanker yang menggerogoti tubuhnya, dan Tyson selalu berharap ibunya mampu melewati masa-masa berat itu. Ia ingin menunjukkan pada ibunya, bahwa anaknya yang bengal bisa menjadi orang yang patut dibanggakan.

Tetapi, harapan Tyson tak terkabul. Sebelum ia sempat memulai karier sebagai petinju profesional, ibunya meninggal.

Sepeninggal sang ibu, Cus D’Amato menjadi wali bagi Tyson. Ia tidak lagi hanya menjadi pelatih, tapi juga menjadi ayah bagi bocah itu. Sayang, D’Amato meninggal, tak lama setelah ibu Tyson wafat. Setelah D’Amato meninggal, Tyson dilatih Kevin Rooney, yang semula menjadi asisten D’Amato. Sama seperti sebelumnya, Tyson terus berlatih keras di bawah bimbingan Rooney.

Akhirnya, pada 1984, ketika berusia 18 tahun, Mike Tyson memulai debut tinju profesional.

Bocah berandal dari Brooklyn itu menghadapi Hector Mercedes sebagai lawan pertama di ring. Tyson mampu menganvaskan lawannya di ronde pertama. Mengalahkan Hector Mercedes membuka jalan bagi Tyson untuk menghadapi lawan-lawan berikutnya. Dan kemenangan demi kemenangan terus ia raih. Hampir semua lawan tersungkur KO. Mike Tyson, si bocah rumahan, berandal bengal, kini mulai dikenal sebagai juara.

Lalu tiba 1986, dan usia Tyson 20 tahun. Itu menjadi waktu penting bagi Tyson, karena ia harus berhadapan dengan Trevor Berbick, juara kelas berat versi WBC. Waktu itu, Berbick bertubuh lebih besar dari Tyson. Tapi Tyson bisa merobohkan sang juara di ronde kedua, sekaligus mencatatkan diri sebagai petinju termuda dalam sejarah, yang berhasil meraih sabuk juara kelas berat dunia. Ia meraihnya dalam usia 20 tahun, 4 bulan, 22 hari.

Sejak itu, para petinju lain mulai ketakutan.

Pada 1987, Tyson memukul KO James Smith, pemegang sabuk kelas berat WBA. Lima bulan kemudian, Tyson menjadi petinju pertama yang berhasil menyatukan seluruh gelar tinju kelas berat, setelah mengalahkan Tony Tucker, pemegang sabuk IBF. Tyson kemudian dikenal sebagai Raja KO. Selama itu, dia berhasil menang 28 kali, dan 26 di antaranya menang dengan KO atau TKO. Dari sejumlah pertarungan, 16 di antaranya menang KO di ronde pertama.

Setelah mengalahkan semua jawara di kelas berat, Tyson kemudian menghadapi para petinju yang mengincar gelar-gelar miliknya. Dari wajah-wajah baru sampai para jawara tua. Dan mereka semua menghadapi nasib sama; jatuh hanya dalam beberapa detik. Bahkan mantan juara kelas berat dunia, Larry Holmes, tersungkur di ronde keempat. Leonel Spinks jatuh dan tak bangun lagi, hanya dalam tempo 91 detik.

Kegarangan Tyson, yang kini dijuluki Si Leher Beton, terus mendunia. Resep Cus D’ Amato terbukti. “Disiplin, kendalikan diri, dan jadilah juara!”

Tetapi, rupanya, Mike Tyson mulai melupakan wasiat penting pelatihnya. Setelah berhasil mengalahkan para juara—dari yang paling terkenal sampai yang tidak dikenal—Tyson mungkin merasa tak terkalahkan. Disiplin dan pengendalian dirinya mulai mengendur. Hal itu diperparah oleh kedekatannya dengan Don King, promotor flamboyan yang gemar pesta. Sejak itu, banyak kalangan menyebut gaya hidup Tyson berubah.

Mike Tyson, yang semula sangat disiplin berlatih, kini mulai doyan pesta, dan sering tidak datang ke sasana latihan. Hubungannya dengan Kevin Rooney, sang pelatih, menjadi tegang. Rooney, sebagaimana D’Amato, adalah pelatih yang baik, sabar, sekaligus keras. Dia ingin Tyson tetap disiplin berlatih seperti dulu. Tapi rupanya Tyson lebih menyukai berpesta dengan Don King.

Hubungan Tyson dengan Rooney semakin menegang, dan puncak perseteruan mereka terjadi pada 1988. Tyson memecat Kevin Rooney tanpa sebab, dan pelatih yang telah susah-payah membentuk Tyson menjadi juara itu akhirnya pergi.

Setelah Rooney pergi, kehidupan Tyson makin liar. Tak ada lagi orang sesabar Rooney yang mengingatkan kedisiplinan dalam hidup, juga di atas ring. Sejak itu, Tyson kembali bengal. Rajin mabuk di pesta-pesta, dan melupakan latihan. Selama masa-masa itu pula, Tyson menghambur-hamburkan uangnya yang mungkin ia pikir tak akan habis. Dia membeli permata untuk cewek-ceweknya, semudah orang lain membeli es krim.

Badai kemudian datang melalui pukulan bertubi-tubi yang dilancarkan James Buster Douglas. Februari 1990, James Douglas sebenarnya bukan siapa-siapa, khususnya jika dibandingkan Mike Tyson. Tetapi, dalam pertarungan mereka di Jepang, Douglas mampu menghajar Tyson dengan hook beruntun, hingga Tyson kewalahan.

Douglas memang sempat sempoyongan, dan jatuh ke kanvas, setelah mendapat upper cut kanan Tyson yang mematikan. Tapi dia bangkit lagi. Bahkan, seperti dapat mengukur daya pukulan Tyson, Douglas kemudian tampil lebih impresif. Kali ini dia tahu bagaimana menghadapi Si Leher Beton, dan Douglas melancarkan hook kanan yang tak kalah mematikan, hingga Tyson jatuh mencium kanvas di ronde 10.

Itu menjadi sejarah penting di dunia tinju, bahwa Mike Tyson, Si Leher Beton, bisa dikalahkan.

Memang, dalam pertarungan ulang, Mike Tyson kemudian membalas dendam dengan memukul KO Douglas. Tapi pertarungan melawan Douglas—yang sempat menjatuhkannya—perlahan mulai meruntuhkan kedigdayaan Tyson. Si Raja KO itu bisa tersungkur, bahkan oleh pendatang baru.

Maka para penantang pun mulai berani.

Seharusnya, itu menjadi masa kritis yang membuat Tyson menyadari kesalahannya. Tapi tidak. Dia tidak segera memperbaiki kelemahan utamanya, yaitu kedisiplinan. Tanpa kedisiplinan, seorang juara pun akan kalah. Tapi Tyson sudah melupakan wasiat penting pelatihnya. Bukannya kembali ke sasana latihan untuk membentuk kedisplinan diri, dia malah makin liar di pesta-pesta, dan kehidupannya makin tak terkendali.

Puncaknya terjadi pada 1991, ketika dia ditangkap karena memperkosa ratu kecantikan dari Rhode Island, Desiree Washington. Insiden itu terjadi di Indianapolis. Tyson kemudian dijatuhi hukuman penjara enam tahun.

Di penjara, jauh dari ingar-bingar pesta, Tyson mulai memiliki waktu untuk berpikir, untuk merenung, dan dia mulai mengenali dirinya sendiri yang kini telah jauh berubah. Di penjara itu pula dia mempelajari kehidupan petinju idolanya, Muhammad Ali, hingga terinspirasi memeluk Islam seperti sang idola. Mike Tyson lalu mengubah namanya menjadi Malik Abdul Aziz.

Tiga tahun kemudian, karena dinilai berkelakuan baik, Mike Tyson dibebaskan dari penjara.

Waktu itu, Tyson bertekad untuk kembali menjadi dirinya yang dulu, yang disiplin, yang berlatih keras, dan yang mampu mengendalikan diri. Bersama tekadnya pula, Mike Tyson berhasil merebut gelar WBC dan WBA dengan memukul KO Frank Bruno dan Bruce Seldon. Namanya kembali gemilang di dunia tinju.

Tapi insiden tak terduga muncul, ketika ia berhadapan dengan Evander Holyfield, petinju yang telah lama menunggu giliran bertarung melawan Tyson. Pada 9 November 1996, Evander Holyfield memanfaatkan kesempatannya bertarung dengan Tyson, dan dia melancarkan pukulan bertubi-tubi, nyaris tanpa henti. Dia pasti telah melatih gerakan itu bertahun-tahun.

Menghadapi amukan Holyfield, Tyson seperti orang kebingungan, dan wasit menghentikan pertandingan. Mike Tyson kalah TKO, dan dia kehilangan gelar WBA.

Pertandingan ulang dilakukan, dan Tyson kembali berhadapan dengan Holyfield. Tapi pertandingan itu dinyatakan batal, karena Tyson menggigit telinga Holyfield. Atas perbuatannya, Tyson berdalih kesal karena kepala Holyfield terus membentur dahinya tanpa dihentikan wasit. Apa pun, yang jelas sejak itu Tyson jadi bahan olok-olok di dunia tinju.

Setelah cukup lama menghilang usai kalah dengan Evander Holyfield, Tyson muncul kembali pada 2002, ketika usianya 35. Tidak ada yang tahu apakah selama menghilang itu Tyson kembali berlatih dengan disiplin atau tidak. Yang jelas, saat bertarung melawan Lennox Lewis, Tyson kalah TKO. Empat tahun kemudian, pada 2006, Tyson akhirnya mengundurkan diri dari dunia tinju, setelah kalah KO dari Danny Williams dan Kevin McBride—dua petinju yang tak dikenal dunia.

Apa yang terjadi setelah itu?

Jawabannya ironi. Mike Tyson, yang semula menjadi petinju paling ditakuti di dunia, sang juara tak terkalahkan, berubah menjadi gembel jalanan tanpa uang, tanpa kebanggaan.

Selama berkarier di dunia tinju, Tyson sebenarnya telah mendapatkan uang dalam jumlah luar biasa. Setidaknya, dia telah meraup U$400 juta dolar, atau lebih dari Rp4 triliun. Dia dibayar sangat mahal untuk beraksi di atas ring. Pada masa kejayaannya, dia bahkan dibayar U$30 juta dolar atau sekitar Rp300 miliar untuk satu pertarungan.

Dengan kekayaan yang luar biasa itulah, Tyson terlena dan mabuk dalam banyak pesta, hingga melupakan kedisiplinan—wasiat penting D’Amato—yang menjadi kunci kesuksesannya. Dengan uang berlimpah, Tyson menikmati kehidupan glamor, memanjakan diri dengan pesta dan cewek-cewek. Tidak ada lagi latihan, tidak ada lagi kedisiplinan, tidak ada lagi kemampuan mengendalikan diri.

Saat sang pemenang melepaskan resep kemenangannya, dia sedang mengubah diri menjadi pecundang. Tapi Tyson tidak menyadari. Dan tidak ada yang menyadarkannya. Cus D’Amato, wali sekaligus pelatihnya, telah wafat. Sementara Rooney, pelatihnya yang sabar, telah ia pecat. Sendirian, Mike Tyson terlena oleh uang dan kekayaan, dan pesta, dan para wanita. 

Akhirnya, pada 22 Desember 2003, Mike Tyson menyatakan kebangkrutannya di Pengadilan Kebangkrutan Amerika Serikat, di Manhattan.

The New York Times melaporkan, Tyson memiliki utang U$23 juta dolar (lebih dari Rp200 miliar). Ia juga memiliki utang pajak di Amerika Serikat dan Inggris sebesar U$17 juta dolar (lebih dari Rp170 miliar). Tyson juga punya utang biaya pelayanan limousine, sejumlah U$300 ribu dolar (lebih dari Rp3 miliar), sementara beberapa utang lain mencapai U$750 ribu dolar (lebih dari Rp7 miliar).

“Saya benar-benar sudah melarat,” ujar Tyson kepada Times waktu itu.

Tidak hanya melarat dan kehabisan uang, Mike Tyson juga dikabarkan menjadi gembel. Pada 2004, berbagai forum internet ramai memberitakan Tyson yang hidup luntang-lantung tanpa rumah. Seluruh asetnya habis untuk membayar utang.

Dalam kehidupannya sebagai gembel waktu itu, mungkin sesekali Mike Tyson kembali ke Taman Kota Brownsville, menyaksikan burung-burung merpati di sana, seperti saat ia kecil dulu. Burung-burung merpati itu telah menjadi inspirasinya, jalannya menjadi petinju terkenal dunia, saat ia selalu menepati janji pada sang pelatih untuk disiplin, mengendalikan diri, dan menjadi pemenang.

Tetapi, tak seperti merpati, Tyson lupa memegang janji.

Noffret’s Note: Terhakimi

Ada banyak orang yang mudah menggampangkan persoalan hidup orang lain.

Pada orang yang belum menikah: "Soalnya kamu terlalu pemilih."
Pada orang yang depresi: "Soalnya kamu jauh dari agama."
Contoh ini bisa dilanjut lagi.

Padahal, sering kali, masalahnya tidak sesederhana itu.

Sebagai orang yang merasa sering terhakimi dan sulit menemukan orang lain yang bisa memahami, aku menyadari pelajaran penting dalam hidup:

Kita tidak menjalani kehidupan orang lain. Karenanya, kita tidak bisa merasa lebih tahu tentang kehidupan orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juni 2018.

Seorang Bocah, Minggu Dini Hari

03.22
Terbangun dari tidur.
Mikir sejenak.
Kucek-kucek mata.
Ke dapur.
Bikin kopi.
Nyulut udud.
Mikir umat manusia.
Kangen mbakyu.
Kopi habis.
Udud habis.

03.57
Bertanya-tanya ini hari apa.
Lihat HP, sadar ini hari Minggu.
Well, sepertinya tidur lagi adalah pilihan bagus.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juli 2018.

Rabu, 06 Maret 2019

Kepak Sayap Kupu-Kupu

Hidup bisa berantakan, dan upaya memperbaikinya
bisa penuh kekacauan. Tapi bukan berarti kita harus hancur.
@noffret


Kalau kita punya kakak atau adik, atau bahkan saudara kembar sekali pun, kita pasti akan mendapati perbedaan antara diri kita dengan mereka. Entah perbedaan dalam selera musik, gaya hidup, penampilan, kecenderungan-kecenderungan tertentu, dan lain-lain. Tidak ada dua orang—bahkan saudara kembar pun—yang tidak punya perbedaan sama sekali. Semua orang pasti berbeda.

Perbedaan masing-masing orang bisa berupa perbedaan-perbedaan “sepele”, seperti selera musik atau selera bacaan, sampai perbedaan-perbedaan yang bersifat “prinsip” seperti gaya hidup dan cara memandang hidup.

Dalam contoh yang sepele, satu orang bisa menggemari musik jazz, sementara orang lain menggemari rock. Manakah yang lebih baik? Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, wong itu selera. Kita toh tidak bisa memaksa selera setiap orang harus sama. Justru aneh dan gila kalau kita ngotot memaksakan selera kita pada semua orang. Tak peduli kita menganggap jazz adalah genre musik terbaik, misalnya, tidak setiap orang akan bisa menerima.

Begitu pula dalam selera makanan, atau gaya penampilan. Masing-masing orang memilih yang mereka suka, dan masing-masing orang memilih yang membuat mereka nyaman. Masakan rendang mungkin nikmat bagi sebagian orang, tapi ada sebagian lain yang justru tidak doyan atau menjauhi rendang. Celana jins mungkin nyaman dipakai, tapi tidak setiap orang pasti akan sepakat.

Sampai di sini, kita melihat dan memahami bahwa setiap orang—tak peduli siapa pun—pasti punya perbedaan, dan kita bisa memaklumi, serta tidak menganggap mereka salah. Setidaknya, selama ini saya belum pernah mendengar ada orang dikafir-kafirkan hanya karena tidak doyan rendang, atau dianggap sesat hanya karena tidak suka pakai celana jins.

Tetapi, perbedaan masing-masing orang tidak sebatas itu. Ada perbedaan-perbedaan lain yang bisa dibilang lebih penting, karena terkait prinsip hidup, dan biasanya kita gagal untuk bisa menerima perbedaan. Agar yang saya maksud lebih mudah dipahami, mari gunakan contoh nyata.

Saya punya teman bernama Masruri. Dulu, dia senior saya di kampus. Masruri lahir dan tumbuh di keluarga sederhana. Ayahnya seorang guru, dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Dia hidup di lingkungan yang agamis, sehingga juga menjadi orang yang sangat agamis—tak pernah meninggalkan ibadah, hingga dekat dengan para ustaz dan ulama.

Selama bertahun-tahun berteman dengannya, saya melihat Masruri sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik, hingga bisa bergaul dengan siapa pun. Dia dekat dengan sesama mahasiswa, dan akrab dengan para dosen. Dia baik dengan para tetangga, dan sangat menghormati orang tua. Kemampuan (atau kepribadian) itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keluarganya yang memang rukun dan harmonis. Dia dibesarkan dengan baik, hingga tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Bertahun-tahun kemudian, yakni sekarang, Masruri telah menjadi orang sukses. Dia memiliki bisnis properti, dan menjadi direkturnya. Atas kesuksesan tersebut, dia tidak cuma kaya-raya, tapi juga sering menjadi pembicara di acara-acara bisnis. Perjalanan ke arah itu butuh perjuangan dan kerja keras yang luar biasa. Tapi yang jelas, dia sekarang sukses. Dan Masruri masih menjadi pribadi yang sama seperti sekian tahun lalu, yakni ramah pada siapa pun, rajin beribadah, dan sangat menghormati orang tuanya.

Jika kita bertanya kepadanya, apa rahasia suksesnya, Masruri akan menjawab kira-kira begini, “Pertama, dekatkan dirimu pada Tuhan. Rajinlah beribadah dan berdoa, karena kesuksesan datang dari Tuhan. Kedua, dapatkan ridha (restu) orang tuamu, karena ridha orang tua adalah ridha Tuhan. Mendapatkan ridha orang tua akan meluruskan jalanmu menuju kesuksesan.”

Apakah nasihat itu salah? Tentu saja tidak! Yang dikatakan Masruri itu benar. Rajinlah beribadah dan berdoa, karena kesuksesan hakikatnya datang dari Tuhan. Dan hormatilah orang tuamu, dapatkan ridha mereka. Karena ridha orang tua menjadi ridha Tuhan. Itu kebenaran yang sulit disangkal, khususnya bagi orang-orang beragama.

Tetapi, jangan lupa. Masruri bisa memiliki keyakinan semacam itu—dan bisa memberi nasihat semacam itu—karena latar belakangnya membentuknya untuk berpikir begitu. Seperti yang disebut tadi, dia tumbuh dalam keluarga harmonis, dibesarkan orang tua yang baik, dan dia hidup di lingkungan yang agamis. Semua itu, mau tak mau—disadari atau tidak—ikut membentuk dirinya.

Saat saya menulis catatan ini, Masruri sudah menikah dan punya anak-anak. Dia telah—meminjam istilah populer—“menjadi orang”, dalam arti bisa mencapai kesuksesan dan materi, memiliki keluarga yang lengkap, serta terpandang di kalangan masyarakat.

Sekarang, mari lihat teman saya yang lain.

Iwan adalah teman saya yang kini juga sukses. Iwan menjadi jurnalis internasional, yang tidak hanya membuat dia hidup nyaman, tapi juga memungkinkannya keliling dunia—keluyuran dari satu negara ke negara lain—semudah kita keluar masuk mal. Dia yang sekarang adalah dia yang seratus delapan puluh derajat berbeda, dengan dia yang dulu.

Bertahun-tahun lalu, Iwan bukan siapa-siapa. Dia anak terbuang yang saban hari dianiaya orang tuanya. Lahir dan tumbuh dalam keluarga miskin, membuat Iwan sudah kenyang penderitaan sejak masih dini. Orang tuanya sangat agamis, tapi perilaku mereka terhadap anak-anaknya sangat kejam, karena mungkin frustrasi menghadapi kemiskinan dan beratnya hidup.

Jadi, Iwan tidak hanya menghadapi hidup yang berat, tapi juga perlakuan orang tua yang—meminjam istilah yang digunakannya—“merusak diriku luar dalam”. Pada titik semacam itu, Iwan sejak dulu menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang bisa ia andalkan, selain dirinya sendiri.

“Aku tidak tahu seperti apa wujud iblis,” kata Iwan dengan amarah dan luka. “Tapi aku berpikir bahwa orang tuaku adalah iblis sesungguhnya.”

“Orang-orang mengatakan agar kita menghormati orang tua,” lanjut Iwan, masih dengan amarah dan luka, “tapi bagaimana aku bisa menghormati orang yang telah melahirkanku hanya untuk mengutuki hidup dan menyesali kelahiranku?”

Mendengar seseorang mengatakan kalimat sejujur dan seluka itu, bisakah kita membayangkan perlakuan buruk macam apa yang ia derita, yang ditimpakan orang tua kepadanya?

Iwan tidak percaya pada Tuhan atau agama—juga tidak percaya pada orang tuanya. Ayah-ibunya sangat taat pada Tuhan, tapi mereka menjalani kehidupan miskin yang mengubah mereka menjadi pribadi mengerikan. Orang tuanya sangat agamis, tapi mereka menjadi orang tua yang buruk, yang sering menyiksa anak-anaknya. Sejak dulu, Iwan adalah pribadi murung bermuka serius.

Karena kesadaran bahwa dia tidak bisa mengandalkan siapa pun selain diri sendiri, Iwan pun membentuk dirinya sendiri, dan memacu dirinya sendiri. Dia belajar sangat keras, dan bekerja sangat keras. Hasilnya, dia bisa mendapat beasiswa kuliah sampai S2. Kemampuannya dalam menulis dan presentasi, membuatnya memperoleh pekerjaan yang sampai sekarang ia jalani.

Ketika Iwan mulai kuliah, orang tuanya menentang. Mereka lebih ingin Iwan bekerja di pabrik, agar bisa segera mendapat penghasilan, agar bisa membantu ekonomi keluarga. Ketika Iwan bekerja sebagai jurnalis, lagi-lagi orang tuanya menentang. Mereka lebih ingin Iwan bekerja di kantor, dengan gaji jelas, agar bisa diandalkan dan dibanggakan.

Keinginan orang tuanya, menurut Iwan, “benar-benar khas orang miskin-terbelakang yang memandang anak-anaknya sebagai investasi! Mereka merasa telah melahirkan dan membesarkan, dan sekarang mereka ingin balik modal!”

Bertahun-tahun kemudian, yakni sekarang, kepribadian Iwan tak jauh beda dengan Iwan yang dulu. Bertampang murung dan serius, sangat mandiri, serta berusaha menjauh—atau menjaga jarak—dari orang tuanya. Di luar itu, dia dikagumi teman-temannya, karena dianggap telah mencapai sesuatu yang mustahil bagi kebanyakan orang.

Jika kita bertanya pada Iwan mengenai resep kesuksesan, dia akan menjawab kira-kira begini, “Pertama, pahamilah bahwa satu-satunya orang yang bisa diandalkan di dunia ini adalah dirimu sendiri. Kau tidak bisa mengandalkan siapa pun—termasuk orang tuamu—karena takdirmu ada di tanganmu. Kedua, setelah menyadari bahwa kau hanya bisa mengandalkan diri sendiri, kau harus belajar dan bekerja, jauh lebih keras dari siapa pun.”

Apakah nasihat itu salah? Tentu saja tidak! Yang dikatakan Iwan itu benar. Kita harus membangun hidup dengan usaha dan upaya sendiri, karena nyatanya takdir setiap orang ada di tangannya sendiri. Bahkan jika seseorang ditakdirkan sebagai orang hebat sekali pun, takdir itu akan hilang jika orang bersangkutan tidak melakukan usaha dan upaya apa pun. Itu kebenaran yang sulit disangkal, tak peduli kau orang beragama atau tidak beragama.

Dan, jangan lupa. Iwan bisa memiliki keyakinan semacam itu—dan bisa memberi nasihat semacam itu—karena latar belakangnya membentuknya untuk berpikir begitu. Seperti yang disebut tadi, dia tumbuh dalam keluarga miskin, dibesarkan oleh orang tua yang buruk, hingga dia hidup dengan keyakinan tidak bisa mengandalkan siapa pun selain dirinya. Semua itu, mau tak mau—disadari atau tidak—ikut membentuk dirinya.

Kita lihat? Setiap orang memiliki perbedaan, tidak hanya dalam selera musik atau cara berpenampilan, tapi juga sampai pada prinsip hidup serta hal-hal yang mereka yakini. Karena nyatanya setiap orang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan dan pengalaman hidupnya. Membicarakan prinsip orang per orang, sama artinya membicarakan kehidupan mereka seutuhnya. Kita tidak bisa menilai orang hanya dari hal-hal yang ia percaya, tanpa melihat latar belakang kehidupannya.

Jadi, berdasarkan contoh Masruri dan Iwan yang saya ceritakan, manakah yang lebih baik? Bagi saya, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, karena begitulah manusia tumbuh, seperti itulah kepercayaan terbentuk, dan dengan cara itulah prinsip hidup masing-masing orang terwujud. Sekali lagi, kita tidak bisa melepaskan orang dari pengalaman dan kehidupan yang mereka jalani, karena pengalaman dan kehidupan itulah yang membentuk mereka.

Karenanya, akan sangat bermasalah, kalau kita memaksakan sesuatu kepada orang lain, semata-mata karena kita menganggapnya benar. Karena yang “benar” bagi kita, tidak pernah terjamin benar pula bagi orang lain.

Masruri—atau orang-orang seperti Masruri—benar dengan kepercayaan mereka sendiri, karena kehidupan yang dijalani membentuk mereka untuk berpikir seperti itu. Tapi yang benar menurut mereka bisa menjadi masalah ketika dipaksakan kepada Iwan, atau orang-orang seperti Iwan. Karena nyatanya masing-masing orang punya jalan hidup dan pengalaman berbeda, yang membentuk keyakinan serta cara pandang mereka.

Dalam menjalani kehidupan—termasuk cara memandang hidup, upaya mencapai kesuksesan, sampai perkawinan dan kepemilikan anak—masing-masing orang punya pandangan sendiri, yang dibentuk oleh latar belakang mereka sejak kecil.

Masruri pasti sangat yakin bahwa menikah akan membuat bahagia, dan punya anak-anak akan melancarkan rezeki. Sama yakinnya bahwa kunci sukses adalah menghormati orang tua serta rajin berdoa. Kenapa? Karena jalan hidupnya membentuk dia berpikir seperti itu, dan kenyataannya dia memang menjalani kehidupan semacam itu.

Tapi akan bermasalah, jika—misalnya—Masruri memaksakan kepercayaan pribadinya terhadap Iwan, atau orang-orang semacam Iwan.

Berdasarkan pengakuannya sendiri, Iwan mengatakan, “Setiap kali mendengar kata perkawinan, yang terbayang dalam benakku adalah kehidupan orang tuaku yang menyedihkan. Perkawinan membuat bahagia? Itu benar-benar kebohongan yang mengerikan. Punya anak akan melancarkan rezeki? Orang tuaku punya banyak anak, tapi kehidupan kami keblangsak!”

Begitu pula terkait hal-hal lain. “Menghormati orang tua” mungkin terdengar mudah, bahkan mulia, khususnya bagi orang-orang yang punya orang tua baik, yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih. Sayangnya, tidak semua orang tua pasti baik. Sebagian mereka adalah orang tua buruk, yang membuat anak-anaknya sangat membenci dan berusaha menjauh.

Karenanya, sungguh lucu dan sia-sia memaksakan keyakinan pribadi kepada orang lain, karena nyatanya setiap manusia memang berbeda. Lebih dari itu, masalah kita sebenarnya bukan perbedaan—karena itu mutlak terjadi—melainkan cara kita dalam menghadapi perbedaan. Kita tidak bisa menghilangkan perbedaan, yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki sikap kita dalam menghadapi perbedaan.

Manusia lahir dan tumbuh, untuk kemudian hidup, seperti kupu-kupu. Sama-sama berasal dari ulat, sama-sama tumbuh dalam kepompong, tapi mereka kemudian menjelma dengan sayap warna-warni, dan tidak ada satu pun dari mereka yang serupa.

Dan kupu-kupu tidak pernah mempermasalahkan perbedaan yang ada. Mereka mengepakkan sayap dalam hening, menjalani kehidupan dengan damai... dan menyimpan luka, kesedihan, serta tangis dalam sunyi.

Benci Hal-hal Ribet

Sebagai manusia, saya sama seperti orang lain umumnya. Bedanya, mungkin, saya benci hal-hal ribet.

Orang lain butuh kerja demi mendapat penghasilan, saya juga butuh kerja untuk tujuan yang sama. Bedanya, orang lain mungkin mau ribet mengurus surat lamaran, bikin CV, membuat pasfoto, melegalisir ijazah, dan lain-lain. Sementara saya malas mengurus hal-hal ribet seperti itu. Karena itulah, saya bekerja di rumah sendiri, biar tidak ribet, dan agar bisa bekerja dengan cara saya sendiri.

Orang lain membutuhkan pasangan, saya juga membutuhkan pasangan. Bedanya, orang lain mungkin mau ribet pedekate sampai mengejar-ngejar, dari aktif menelepon, kirim pesan mesra, hahahihi yang membuang waktu, dan sebagainya. Sementara saya malas mengurus hal-hal ribet semacam itu. Karena itulah, saya memilih menikmati kesendirian tanpa diganggu apa pun, termasuk pasangan.

Karena saya benci hal-hal ribet!

Subjektif

“Kalau kita menghadapi dua hal yang sama-sama subjektif, bagaimana agar kita tetap objektif?”

“Ambil keduanya. Kalau hanya mengambil salah satu, kau lebih subjektif.”

Sabtu, 02 Maret 2019

Kembali ke Twitter dan Sedikit Curhat

Akhirnya bisa masuk ke sini lagi.
@noffret


Setelah sekitar setengah bulan tidak bisa mengakses Twitter karena akun dibatasi, akhirnya saya bisa kembali masuk Twitter dan mengakses akun saya kembali pada 18 Februari kemarin. Senang rasanya bisa kembali menikmati timeline dan mendapati banyak hal seperti biasa, termasuk cekikikan sendiri saat mendapati humor-humor yang bertebaran.

Humor ala Twitter adalah salah satu hal yang membuat saya merasa perlu masuk Twitter. Karena humor-humor para pengguna Twitter biasanya tak terduga, nyeleneh, sinting, absurd, dan sering membuat saya cekikikan. Itu hiburan segar yang mampu mengendurkan kembali syaraf tegang.

Biasanya, saat mendapati suatu humor di timeline, saya akan membuka bagian mention/komentar dari para pengguna Twitter lain. Karena komentar yang bertebaran di sana biasanya juga mengandung kelucuan, meski jika penulisnya tidak bermaksud melucu, dan saya sering cekikikan sendiri saat membacanya.

Selain menikmati humor yang kerap muncul, Twitter juga memungkinkan saya memahami berbagai pikiran orang lain, serta cara mereka berpikir. Itu, bagi saya, semacam pembelajaran yang tidak bisa saya dapatkan di tempat lain.

Kalau banyak orang berkumpul di dunia nyata, biasanya hanya satu dua orang yang berbicara, dan yang lain mendengarkan. Karenanya, kita hanya akan mendengar dari satu dua orang itu saja, karena yang lain diam. Jika banyak orang berkumpul itu sama-sama berbicara, kita justru tidak akan bisa mendengar apa-apa, karena suasana pasti akan sangat bising dan kacau.

Hal semacam itu tidak terjadi di Twitter. Meski semua orang berbicara bersamaan—yang lalu muncul di timeline—kita tetap bisa menikmati satu per satu yang mereka katakan, dan tidak merasa terganggu karena bising atau suasana yang kacau. Twitter memungkinkan kita mendengarkan suara banyak orang di waktu bersamaan, dengan tenang, terlepas apa pun yang mereka ocehkan.

Saya tidak tahu apa motivasi orang-orang lain dalam mem-follow suatu akun. Namun, saya mem-follow suatu akun di Twitter biasanya karena unik, atau karena keunikan pribadi. Yang namanya “unik” tentu bisa macam-macam, dari lucu, serius, berwawasan, bermanfaat, sampai absurd. Suka-suka mereka, lah. Selama mereka tetap menjadi diri sendiri—seabsurd apa pun—saya juga suka-suka aja.

Well, soal upaya peretasan akun yang terjadi tempo hari. Saya sempat berpikir, kenapa ada orang sampai repot-repot berusaha meretas akun Twitter saya?

Di Twitter, akun saya sama sekali bukan akun penting apalagi berpengaruh. Kalau pun bisa menguasai akun itu melalui peretasan—buat apa? Di Twitter, saya juga nyaris tidak pernah ribut soal politik atau terjun dalam kancah peperangan “cebong” dan “kampret”. Jadi, kalau pun bisa menguasai akun saya melalui peretasan, sekali lagi buat apa? Di Twitter, saya bahkan sangat jarang berkomunikasi dengan orang lain, wong saya lebih suka ngoceh sendiri. Jadi, apa kira-kira motivasi orang sampai repot-repot berusaha meretas akun Twitter saya?

Seorang teman mengatakan, “Mungkin ada orang yang penasaran ingin melihat interaksi DM (Direct Message) kamu di Twitter.”

Itu kemungkinan yang sebelumnya tak sempat saya pikirkan. Meski kemungkinan itu terdengar absurd, tapi sepertinya bisa menjadi kemungkinan paling logis kenapa ada orang sampai berusaha meretas akun Twitter saya. Ya, bisa jadi ada keparat kurang kerjaan yang mungkin berpikir, “Kira-kira bocah ini nyepik siapa saja lewat DM?”

Kalau memang itu tujuan si keparat-entah-siapa mencoba meretas akun Twitter saya, sekarang biar saya ceritakan saja—agar dia tidak perlu repot-repot berusaha menjebol akun saya.

Dulu, sekian tahun yang lalu, saya memang pernah terpikir memanfaatkan DM di Twitter untuk berkomunikasi dengan seorang wanita yang membuat saya tertarik.

Saya hanya mengenalnya lewat dunia maya, dan dulu kami juga sempat saling berinteraksi lewat mention. Namanya orang tertarik, saya ingin lebih akrab dengannya, dan saya terpikir untuk berkomunikasi lewat DM karena lebih privat. And you know what? Saya tidak tahu bagaimana caranya!

Bukan, saya bukan tidak tahu cara menggunakan DM di Twitter. Yang saya maksud, saya tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya, agar kami lebih akrab dan dekat! Dan sampai kini, yang artinya setelah bertahun-tahun kemudian, di antara kami tetap tidak ada apa-apa!

Kalian yang biasa membaca blog ini, dan mendapati saya biasa ngoceh panjang lebar tentang apa saja, mungkin berpikir kalau saya bisa enjoy berkomunikasi dengan siapa pun. Salah! Faktanya, saya sering kesulitan (mungkin lebih tepat disebut kebingungan) saat harus berkomunikasi dengan orang lain, khususnya orang yang tidak/kurang dikenal, khususnya lagi orang yang tidak/kurang komunikatif.

Di Twitter, konon ada cowok-cowok yang bisa enjoy ngirim DM ke cewek, berisi ajakan ngewe. Kenyataan itu sering terungkap, karena ada cewek-cewek yang meng-capture isi DM mereka. Lha saya? Boro-boro ngajak ngewe, sekadar menyapa “hai” saja sudah membuat saya kebingungan.

Setiap kali ingin menyapa seseorang—khususnya di Twitter—saya biasanya harus melakukan persiapan sampai lama, dan memastikan dia benar-benar orang ramah yang tidak akan terganggu dengan sapaan saya. Jika dalam hal itu saya merasa ragu, saya memilih untuk tidak menyapa sama sekali, meski jika sebenarnya ada hal sangat penting yang ingin saya katakan/tanyakan kepadanya.

Hal semacam itu saya alami saat ingin menyapa siapa saja, baik sesama pria maupun wanita. Kalau sekadar menyapa layaknya manusia normal saja saya sering kebingungan, apalagi saat ingin menyapa seseorang yang—katakanlah—membuat saya naksir? Wong tidak punya perasaan apa pun saja, saya sudah kebingungan. Apalagi kalau harus menyapa seseorang, sementara saya punya “perasaan khusus” kepadanya? 

Bayangkan adegan ini. Umpama—sekali lagi, umpama—saya menyapa “hai” pada seorang wanita, dan dia membalas “hai”, sampai di situ saya akan bingung, bagaimana meneruskannya? Saya kan tidak mungkin tiba-tiba bertanya kepadanya, “Apakah kamu percaya bahwa sebenarnya ada semesta lain di luar semesta kita, dan ada makhluk mirip kita di semesta lain itu?”

Bisa-bisa dia menganggap saya tidak waras. Ya meski sebenarnya saya mungkin memang tidak waras, sih.

Latar belakang itulah yang menjadikan saya tidak/kurang komunikatif di Twitter, karena memang tidak bisa atau sering kebingungan saat ingin berkomunikasi dengan siapa pun. Dalam hal ini, yang bisa saya lakukan hanya membalas/menjawab mention orang lain dengan baik, khususnya jika mention itu bukan basa-basi tidak jelas atau hal-hal yang mestinya tidak perlu dibahas.

Berdasarkan curhat tidak penting ini, kalian bisa mengira isi DM saya? Ya, benar sekali, di boks DM saya tidak ada apa-apa, selain hanya komunikasi biasa dengan beberapa orang.

Jadi, buat keparat-kurang-kerjaan yang mungkin penasaran ingin tahu isi DM saya di Twitter, jauh lebih baik gunakan waktumu untuk hal-hal yang bermanfaat, daripada repot-repot berusaha meretas akun Twitter saya. Karena bahkan umpama kau berhasil, tetap saja usahamu akan sia-sia.

Bocah yang Kangen Mbakyunya tapi Tidak Tahu Gimana Ngomongnya

Seorang bocah curhat, “Aku kangen banget sama mbakyuku.”

Saya sok menasihati, “Kalau kangen tuh ya ditemui.”

Dia menjawab ragu-ragu, “Uhm... itulah masalahnya. Aku tidak tahu gimana ngomongnya. Fu... fu... fu...”

Diam-diam, saya merasa senasib dengannya.

Noffret’s Note: Politisi

Saat melihat para pejabat dan politisi, sering kali aku berpikir, "Apakah mereka bisa mengurus dirinya sendiri?"

Caleg-caleg gagal yang kemudian stres dan gila, sebaiknya memang gagal. Rasanya ngeri membayangkan kalau mereka sampai berhasil.

Terlalu banyak orang di negeri ini yang berambisi mengurus orang lain, padahal mengurus dirinya sendiri saja berantakan.

Kalau dipikir-pikir, cita-cita paling lucu adalah "menjadi pemimpin". Lucu, karena seolah tidak ada cita-cita lain yang lebih normal.

Aku tidak pernah bercita-cita menjadi pemimpin. Tapi aku sering bercita-cita menjadi Magneto. Kupikir itu normal.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Mei 2014.

 
;