Sebenarnya, kita tidak butuh pasangan yang hebat,
pintar, terkenal, atau mengagumkan. Kita hanya butuh
pasangan yang baik dan menenteramkan.
—@noffret
pintar, terkenal, atau mengagumkan. Kita hanya butuh
pasangan yang baik dan menenteramkan.
—@noffret
Ini kisah lama, namun masih relevan untuk diceritakan.
Sepanjang Agustus 2015, setiap akhir pekan, ada pemandangan tak biasa di Taman Rakyat yang ada di Shanghai, Cina. Di taman yang kerap dikunjungi banyak orang itu, terdapat seorang wanita yang sedang mencari pasangan. Namanya—berdasarkan media Cina—Su Jingjing. Dia berusia 30 tahun, asal Hubei, Cina. Bagaimana kita tahu dia sedang mencari pasangan?
Jawabannya mudah, karena dia selalu berada di taman sambil memegangi karton cukup besar, berisi kata-kata ini:
“Aku lahir pada Februari 1985 di Provinsi Hubei. Aku sarjana. Kedua orang tuaku berasal dari Desa Bingcun. Tujuan hidupku adalah mengejar keunggulan. Hobiku membaca, menulis, mendengarkan musik, dan berolah raga. Aku juga bisa mengoperasikan komputer untuk pekerjaan.
“Standar untuk calon pasanganku: Dia mesti tinggal di pusat Kota Shanghai. Dia harus lahir pada 1980, 1981, atau 1982. Dia harus tidak berkaca mata. Dia mesti berkarakter baik. Dia harus punya tinggi di atas 170 cm. Dia juga harus seorang anak tunggal wirausahawan sukses atau pejabat pemerintahan.”
Keberadaan Su Jingjing di taman, yang rutin muncul setiap akhir pekan, menarik perhatian banyak orang, termasuk pers lokal. Beberapa wartawan pun mewawancarai, untuk memastikan yang ia lakukan bukan sekadar main-main. Kepada para wartawan, Su Jingjing mengaku serius dengan yang ia lakukan, bahwa dia benar-benar menginginkan suami.
Bahkan, ketika beberapa wartawan menyatakan kalau standar atau kriteria calon pasangannya terlalu tinggi, Su Jingjing tidak terpengaruh. Dia menekankan tidak akan pernah menurunkan standar yang ia pasang tersebut. “Sebenarnya, aku sudah enggan tinggal di Shanghai. Tapi aku sedang mencari pria dengan banyak uang, kekuasaan, kebajikan, berpenampilan baik, dan dari keluarga Shanghai,” ujarnya kepada wartawan.
Lalu siapakah Su Jingjing?
Su Jingjing lahir di sebuah desa bernama Xishui, Provinsi Hubei, pada 1985. Pada waktu berusia 18 tahun, dia meninggalkan desa, dan menuju kota untuk mencari pekerjaan. Pada 2008, dia datang ke Shanghai, dan sampai saat itu belum pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis. Di Shanghai, Su Jingjing tinggal di rumah petak berukuran 4x4 meter, di sudut utara Shanghai South Railway Station, dan bekerja sebagai pedagang kaki lima di sana.
Yang menyebabkan Su Jingjing nekat “mencari cinta” di Taman Rakyat dengan menenteng poster berisi kriteria calon pasangan yang diinginkan, karena dia merasakan tekanan sangat kuat untuk menikah.
Saat berusia 25, kisahnya pada wartawan, ia mulai mendapat banyak tekanan untuk segera menikah, khususnya dari keluarga. Akibat tekanan tersebut, Su Jingjing pun siap menikah. Yang masih jadi masalah, dia belum juga menemukan apalagi memiliki pasangan yang bisa diajak menikah. Jadi, itulah yang kemudian dia lakukan—datang ke taman setiap akhir pekan, dan menenteng poster berisi kriteria pasangan yang diharapkan.
Dalam kriteria yang ia tetapkan, pria yang dicarinya harus lahir pada 1980, 1981, atau 1982, sementara Su Jingjing lahir pada 1985. Artinya, dia mencari pasangan yang relatif sebaya. Saat ditanya wartawan, kenapa menginginkan pasangan sebaya, Su Jingjing menjelaskan, “Agar dia (pasangannya) patuh kepada saya.” Su Jingjing juga mengatakan, “Jika dia pebisnis atau pejabat pemerintah, saya akan mengajaknya pindah ke Hong Kong. Lalu kami bisa merintis bisnis bersama!”
Ketika wartawan kembali bertanya, apakah ada kemungkinan Su Jingjing mau menurunkan standar atau kriteria bagi calon pasangannya, Su Jingjing menggeleng. Bagaimana pun, calon pasangannya harus memenuhi standar yang ia tulis dalam poster.
Jadi, inilah kriteria pasangan yang diharapkan Su Jingjing untuk menjadi pasangannya: Tinggal di pusat Kota Shanghai; lahir pada 1980, 1981, atau 1982; tidak berkaca mata; berkarakter baik; tinggi badan di atas 170 cm; dan anak tunggal wirausahawan sukses atau pejabat pemerintahan. Oh, ya, satu lagi; juga mesti patuh pada Su Jingjing.
Kabar mengenai Su Jingjing mulai heboh di seluruh dunia, ketika berita itu masuk internet. Berita yang semula ada di media Cina diwartakan ulang dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, dan para pengguna internet di seluruh dunia bisa mengetahuinya. Sejak itu pula, aneka komentar bermunculan, yang semuanya ditujukan kepada Su Jingjing. Namanya internet, orang kadang tidak peduli kalau komentarnya terlalu blak-blakan.
Rata-rata, para pengguna internet mengejek Su Jingjing sebagai orang yang “kurang sadar diri”, “mengharapkan yang tak mungkin”, atau “terlalu tinggi dalam menetapkan standar”. Intinya, dari yang sempat saya baca, orang-orang menertawakan Su Jingjing karena menginginkan pasangan sempurna, tanpa melihat dan menyadari dirinya jauh dari sempurna.
Yang mungkin mereka lupa, Su Jingjing tentu berhak menetapkan kriteria seperti apa pun untuk calon pasangannya. Wong itu hidupnya, dan dia yang akan menjalani. Tentu dia punya hak dan kebebasan untuk menetapkan standar setinggi apa pun untuk orang yang akan diajaknya hidup bersama. Soal apakah dia mendapatkan atau tidak, itu urusan lain!
Lagi pula, omong-omong, bukankah kebanyakan kita juga begitu? Kita sangat tahu seperti apa standar atau kriteria menyangkut orang yang kita harapkan menjadi pasangan, seiring lupa siapa dan seperti apa diri kita. Oh, saya tidak menunjuk hidung siapa pun, karena saya sendiri pun begitu.
Kalau saya ditanya, “Kamu ingin pasanganmu kelak seperti apa?” Maka saya pun fasih menjelaskan, dari soal kecantikan, kecerdasan, kepribadian, keramahan, latar belakang, sampai kemampuan memasak, dan lain-lain. Yang saya lupa, saya tidak sempat memikirkan apakah wanita sempurna semacam itu benar-benar ada. Bahkan kalau pun ada, saya juga tidak sempat memikirkan apakah dia mau sama saya.
Jadi, ketika membaca kisah Su Jingjing yang mencari cinta di taman Cina, saya sama sekali tidak menyalahkannya. Sekali lagi, dia berhak menetapkan standar atau kriteria macam apa pun untuk pasangannya sendiri, karena itu hidupnya, dia yang akan menjalani. Dan, sekali lagi, soal apakah dia mendapatkan atau tidak, itu urusan lain.
Karenanya, saya tertampar dengan kisah Su Jingjing, sebab kisah itu seperti cermin yang memaksa saya untuk berkaca. Bahwa saya terlalu tahu seperti apa calon pasangan yang saya impikan, tetapi ternyata belum benar-benar tahu seperti apa diri saya. Bahwa saya sangat tahu standar dan kriteria mengenai pasangan ideal bahkan sempurna, tetapi saya sendiri ternyata jauh dari ideal dan sempurna. Bahwa saya bisa mudah mengimpikan sosok yang ada di luar sana, tapi diam-diam tidak mengenali diri sendiri.
Memang, sungguh mudah membayangkan hal-hal indah. Yang sulit adalah mewujudkannya dalam kenyataan. Padahal, untuk mewujudkan sesuatu, yang dibutuhkan tidak hanya harapan dan sekadar angan-angan, tetapi juga kemampuan. Seperti mencari atau melamar kerja, kita mengharapkan pekerjaan yang kita pikir bagus, ideal, dan tepat untuk kita. Tetapi, yang “bagus, ideal, dan tepat” sering kali tidak mudah diperoleh, karena pekerjaan yang kita lamar pun menetapkan standar serupa.
Bekerja di bank mungkin menyenangkan—duduk di ruangan adem ber-AC, tiap hari mainan uang—dan bisa jadi kita berharap bekerja di bank. Karenanya, saat ada lowongan, kita pun melamar dengan harapan diterima. Tapi ada sedikit masalah di sini. Bagaimana pun, pekerjaan yang kita lamar juga memiliki kriteria dan menetapkan standar kepada para pelamar. Misalnya tingkat pendidikan, kompetensi, pengalaman, dan lain-lain. Artinya, meski telah menemukan lowongan pekerjaan yang tepat pun, kita tidak bisa serta merta mendapatkannya.
Jika ternyata syarat atau kriteria yang ditetapkan lowongan itu tidak bisa kita penuhi, lamaran kita pun sulit diterima, tak peduli sebesar apa pun harapan dan keinginan kita. Sebaliknya, jika kita memiliki semua kriteria yang dipersyaratkan oleh lowongan yang ada, kemungkinan besar kita mendapatkan pekerjaan itu.
Sampai di sini, sepertinya jauh lebih baik meningkatkan standar diri kita, dan bukan sekadar menetapkan standar pekerjaan yang kita inginkan. Karena jika nilai diri kita (pendidikan, pengalaman, kompetensi, dan lain-lain) memang tinggi, melamar pekerjaan yang tepat sering kali lebih mudah.
Sekali lagi, jauh lebih baik meningkatkan standar diri kita, daripada menetapkan standar yang ada di luar kita. Mungkin sulit, tetapi lebih realistis.
Memang, sungguh mudah membayangkan hal-hal indah, bahkan sempurna. Membayangkan punya pacar ideal itu mudah, sama mudah membayangkan punya pasangan sempurna. Tapi kita sering lupa, apakah pacar ideal—seperti dalam bayangan kita—benar-benar ada, ataukah hanya ada dalam bayangan kita? Apakah pasangan sempurna benar-benar ada, ataukah hanya ada dalam khayalan kita?
Akhirnya, kalau memang pacar ideal atau pasangan sempurna benar-benar ada, kita masih menghadapi persoalan lain. Persoalannya sederhana; apakah dia mau sama kita?