Senin, 26 Maret 2012

Oh, Batagor

Aku kangen kamuuuuuuu…!

*nggak bisa tidur*

Minggu, 18 Maret 2012

Cinta Menembus Batas

Burung nuri, kura-kura, dan pohon jati, hidup lebih lama
dibanding manusia. Manusia hidup lebih lama dibanding anjing.
Anjing hidup lebih lama dibanding cinta.
Ovid


Tepi Pantai Malindi, Kenya, 27 Desember 2006.

Sehari sebelumnya, gempa berkekuatan 7 Skala Richter mengguncang tanah bumi, yang melahirkan tsunami dahsyat di Samudera Hindia. Gelombang ombak raksasa itu menghantam Asia dan Afrika—termasuk memporak-porandakan Aceh dan sekitarnya.

Satu hari setelah tragedi itu, wilayah tepi pantai Kenya seperti lautan sampah. Batu-batu dan pasir dan kerikil dan lumpur dan tulang belulang naik ke daratan, bersama mayat-mayat bergelimpangan—sebagian masih berpakaian, sebagian telanjang, sebagian bahkan telah berantakan.

Tugas besar dibebankan ke pundak mereka yang selamat, dan orang-orang yang terlepas dari bencana itu kini berusaha menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan, menguburkan yang harus dikuburkan, membenahi yang harus dibenahi, sementara sebagian yang lain mencari-cari anggota keluarganya yang hilang sambil berurai air mata.

Berpuluh-puluh penduduk desa tepi Pantai Malindi bersama para aparat setempat bekerja bahu-membahu seusai bencana besar itu, mengangkat mayat-mayat, menguburkan anggota keluarga mereka, dan membersihkan lingkungan dari puing-puing, juga mencari-cari anggota keluarga yang hilang.

Di antara rombongan itu terdapat seorang anak muda bernama Owen Saubion. Ia mencari-cari anggota keluarganya yang hilang, dan menyusuri tepian pantai. Pada waktu itulah Owen menyaksikan pemandangan ganjil sekaligus mengenaskan yang membuat hatinya menangis. Di atas sebuah batu karang, seekor bayi kuda nil tengah meringkuk lemas. Usia hewan itu diperkirakan baru satu tahun, dan mungkin ia telah kehilangan induknya akibat bencana tsunami, sebagaimana Owen yang juga kehilangan keluarganya.

Kondisi kuda nil itu sangat memprihatinkan. Sebagai penduduk yang tinggal di desa itu, Owen dapat memastikan, kuda nil itu terjebak di antara gelombang laut dan derasnya air dari muara Sabaki River. Dengan lembut, Owen mengangkat bayi kuda nil itu, dan berusaha menolongnya, merawat luka-lukanya.

Setelah memberikan perawatan secukupnya, Owen membawa bayi kuda nil itu ke Haller Park dekat Mombasa, sebuah taman suaka margasatwa milik Lafarge Eco Systems East African Farm. Di suaka margasatwa Haller Park itulah, kisah cinta yang akan menggetarkan dunia dimulai.

Oleh pengurus suaka margasatwa, bayi kuda nil itu diberi nama Owen, sesuai nama penyelamatnya. Petugas di sana menempatkannya di sebuah area untuk hewan-hewan kecil, karena Owen masih tergolong bayi. Selain itu, jika Owen ditempatkan di lokasi kawanan kuda nil, dikhawatirkan ia akan diserang kawanan kuda nil lain yang tak mengenalnya. Kuda nil sangat agresif dan “fanatik” pada kawanannya, sehingga kuda nil yang dianggap asing bisa terbunuh.

Ketika pertama kali dilepaskan di tempat itu, Owen masih bingung, karena menempati lingkungan baru. Namun, setelah merasa sedikit nyaman, Owen langsung menatap dan tertarik pada seekor kura-kura bernama Mzee.

Mzee adalah spesies kura-kura Aldabran berusia 130 tahun, dengan berat 700 pound (320 kilogram). Dalam bahasa Swahili, Mzee memiliki arti “wise old man” (si tua bijaksana), dan kura-kura itu merupakan penghuni lama sebuah area yang dilengkapi kolam asri serta hutan buatan. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Mzee hidup sendirian. Pada kura-kura tua itulah kuda nil bernama Owen menunjukkan ketertarikannya.

Ketika pertama kali Owen mendekati Mzee, kura-kura itu sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi Owen menunjukkan ketulusan ingin bersahabat dengannya, dan setiap hari Owen terus berusaha mendekatinya. Hari demi hari, Owen selalu mengikuti Mzee ke mana pun ia pergi, meski terus-menerus diacuhkan. Akhirnya, pelan namun pasti, Owen berhasil mengambil hati Mzee. Seiring waktu dan kegigihan Owen mendekatinya, Mzee akhirnya menerima kehadiran kuda nil muda itu.

Berminggu-minggu kemudian, keduanya sudah tampak akrab. Owen menganggap Mzee sebagai induknya, sementara Mzee menganggap Owen sebagai anak asuhnya. Tidak hanya sebatas kiasan, hal itu benar-benar terjadi dalam kenyataan. Mzee selalu menjaga Owen dengan kelembutan, sementara Owen selalu mematuhi dan senang bermain dengan Mzee.

Ikatan persahabatan mereka mengental bagai sebuah keluarga, meski keduanya jelas-jelas berbeda spesies. Para perawat hewan di Haller Park bingung dengan tingkah dua hewan itu, karena mereka benar-benar bagaikan induk dan anak dari satu spesies yang sama. Apa yang disantap Mzee juga disantap Owen, di mana Owen tidur di situ pasti ada Mzee. Mereka selalu bermain air di kolam bersama, makan bersama, tidur bersama, dan berjalan-jalan keliling area taman bersama-sama pula.

Satu tahun berlalu, dan kedua hewan beda spesies itu semakin lengket, tak terpisahkan lagi, bagaikan anak dengan orangtua kandungnya.

Kenyataan itu mengejutkan sejumlah besar ilmuwan di dunia yang mendengarnya. Bukan saja karena peristiwa seperti itu belum pernah terjadi, tetapi Owen dan Mzee juga telah mengembangkan “bahasa” mereka sendiri sebagai sistem komunikasi di antara keduanya. Bahasa komunikasi lewat suara yang mereka gunakan itu sama sekali belum pernah ditemukan dalam kelompok kuda nil ataupun kura-kura Aldabran.

Suara dalam nada tertentu dari Mzee, akan direspon oleh Owen secara tepat. Begitu pula sebaliknya, suara dalam nada tertentu dari Owen direspon Mzee secara tepat pula. Selain itu, keduanya juga mengembangkan bahasa tubuh yang hanya mereka berdua pahami, seperti gigitan lembut, sentuhan, dorongan, dan belaian, yang masing-masing direspon sebagai suatu kode untuk melakukan sesuatu atau ungkapan kasih sayang di antara keduanya.

Setelah mengejutkan para ilmuwan, keunikan persahabatan Owen dan Mzee pun menjadi fenomena yang menggemparkan dunia. Sepanjang sejarah dunia hewan, belum pernah ada kisah kasih yang begitu tulus di antara dua spesies berbeda, yang berlangsung hingga bertahun-tahun.

Tingkah laku dan komunikasi unik yang sama sekali baru dalam dunia zoologi itu membuat Owen dan Mzee menjadi selebritas dunia. Berbagai majalah meliput mereka, koran-koran memberitakan kisah keduanya, televisi menayangkan keindahan cinta itu, sementara sejumlah besar foto, film, dokumentasi, bahkan buku dan artikel, mengulas teka-teki besar persahabatan mereka.

Owen dan Mzee pun menjadi lambang cinta dan persahabatan yang tidak mengenal batasan fisik, ras, spesies, dan teritori. Owen, yang kehilangan induknya, menemukan pengganti yang bijak dan tulus, sementara Mzee yang sebatangkara menemukan anak asuh yang penuh kasih.

Kedua hewan itu bahkan telah melampaui cinta yang dimiliki manusia, yakni cinta yang menembus batas perbedaan yang terus-menerus menjadi akar peperangan di antara sesama anak manusia. Bagi Owen dan Mzee, ketulusan cinta kasih dan persahabatan tak mengenal perbedaan yang dikenal manusia.

Nota Manusia

Orang yang menganggap dirinya hebat dan kuat, tapi merasa bangga ketika mengalahkan orang lain, seharusnya menghubungi psikiater.

Orang yang merasa dirinya benar dan suci, tapi hobi menyalahkan dan mengkafir-kafirkan orang lain, seharusnya dibawa ke rumah sakit jiwa.

Senin, 12 Maret 2012

Iseng

Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang terjadi
akibat perbuatan kita yang mungkin kecil.


Jadi, malam itu saya lagi malas makan. Seperti biasa, kalau sedang malas makan, capcay adalah alternatif terbaik. So, saya pun keluar rumah dan pergi ke warung capcay Mister X yang dulu pernah saya ceritakan itu.

Seperti sudah saya duga, warung Mister X sedang ramai-ramainya. Demi segala demi, saya benar-benar heran melihat kenyataan ini. Setiap tahun Mister X menaikkan harga capcay-nya, tapi setiap tahun pula pelanggannya makin bertambah. Sehabis lebaran kemarin—seperti sudah saya duga—Mister X kembali menaikkan harga capcay-nya. Tapi sialnya, orang-orang—termasuk saya—tetap saja mau beli capcay ke tempatnya.

Saya mendekati pelayan di sana, dan berkata, “Mbak, capcay satu porsi, ya.”

Si pelayan sudah hafal wajah saya, jadi dia pun menyahut sambil tersenyum manis, “Nggak pedas seperti biasa, Mas?”

“Ya,” saya mengangguk. “Betewe, ini masih lama, ya?”

Si pelayan menengok deretan orang yang sedang ngantri dengan wajah-wajah kelaparan. “Uh, kayaknya sih masih lama, Mas. Kira-kira dua belas orang lagi. Nggak apa-apa, ya.”

Dua belas orang lagi? Dalam hati saya memaki-maki. Mau makan capcay aja kok susah amat, ya?

Akhirnya, meski agak dongkol, saya pun mencari tempat duduk. Hampir bisa dipastikan saya akan duduk di sana setidaknya setengah jam lagi, dan saya mulai tengak-tengok sambil berharap nemu cewek manis, sehingga bisa sedikit cuci mata, hehe….

Karena bosan duduk bengong, akhirnya saya pun iseng. Saya menyulut rokok, lalu mengeluarkan ponsel, dan mulai mengetik apa saja yang terlintas dalam pikiran. Yeah, namanya juga iseng.

….
….

Nikmah—bukan nama sebenarnya—adalah seorang anak SMA yang cantik sekaligus centil. Seperti jutaan cewek remaja zaman sekarang, Nikmah agak-agak alay tapi sangat eksis, baik di dunia nyata apalagi di dunia maya. Dia tidak punya blog, tapi punya setumpuk akun di situs jejaring sosial—Facebook, Twitter, Google+, Hi5, Menggalau, Warsawa, Blablabla—sebut yang lainnya.

Sore itu, dia menghadiri acara ultah temannya yang diadakan di kafe. Menurut undangan, acara itu diadakan jam 4 sore, dan selesai jam 10 malam—entah apa yang dilakukan remaja-remaja zaman sekarang.

Jadi, sore itu Nikmah keluar dari rumahnya, lengkap dengan aksesoris dan gadget wajibnya. Dia dijemput seorang cowok funky bermobil mewah—yang pasti milik bokapnya—dan Nikmah melenggang manja dari pintu rumahnya dengan gaya Cinderella.

Si cowok tentu saja pacar si Nikmah. Sebagai cewek abad 21, Nikmah akan merasa sebagai bocah paling norak sedunia kalau hari gini belum punya pacar. Jadi, menurut Nikmah, punya pacar adalah target yang lebih penting daripada lulus ujian nasional. So, ketika si Bobi—bukan nama sebenarnya—menyatakan cinta kepadanya, Nikmah pun segera menerima. Dan mereka jadian. Semudah itu. Kadang-kadang saya agak bingung memahami ABG zaman sekarang.

Sesampai di kafe, acara ultah itu pun dimulai. Anak muda zaman sekarang, kau tahu, akan merasa kampungan kalau tidak merayakan ultah di kafe. Jadi itulah yang dilakukan kawan si Nikmah—merayakan ultah di kafe, dan kemudian acaranya dibuat semirip mungkin seperti yang ada di sinetron-sinetron unyu. Tidak apa-apa, namanya juga masih remaja. Untung yang ditiru sinetron. Coba kalau mereka meniru film bokep, kan berabe.

Singkat cerita, acara ultah itu pun selesai—tepat jam sepuluh malam. Sebelumnya, ada beberapa orang yang pulang duluan, dengan berbagai alasan. Tadi Bobi—pacar si Nikmah—juga pulang duluan karena mobilnya akan dipakai bokapnya. Si Nikmah tetap tinggal di acara ultah, karena masih asyik dengan teman-temannya. So, ketika Bobi pergi, Nikmah enjoy saja.

Tapi dia benar-benar tidak enjoy ketika acara ultah itu berakhir. Pasalnya, semua temannya telah pulang sendiri-sendiri, dengan berbagai cara. Ada yang dijemput keluarganya, ada yang diantar pacarnya, ada yang naik taksi, dan lain-lain. Pelan namun pasti, teman-temannya pulang satu per satu. Orang terakhir yang masih tinggal cuma Nikmah dan si pemilik hajat yang tadi merayakan ultah. Yang jadi masalah, tempat tinggal mereka tidak satu jurusan, jadi Nikmah tidak bisa nebeng.

It’s okay, pikir Nikmah mencoba tenang. Dia bisa minta orang rumah untuk menjemputnya.

Jadi, Nikmah kemudian mengeluarkan ponselnya, dan menelepon ke rumah, minta dijemput. Nyokapnya menerima telepon si Nikmah, dan menjanjikan akan mengirim kakak si Nikmah untuk menjemputnya. Nikmah pun menyebutkan tempat ia menunggu, dan si nyokap menyatakan, “Ya udah, kamu tunggu di situ, ntar kakakmu ke situ.”

Nikmah pun menunggu di sana—di depan kafe—sambil bermain-main ponselnya yang mahal. Remaja zaman sekarang, kau tahu, lebih akrab dengan ponsel daripada dengan kitab suci. Jari-jari mereka lebih lincah menggerakkan keypad daripada menggerakkan tasbih. Tidak apa-apa, namanya juga masih remaja. Orang menjalani hidup kan sesuai nilai-nilai luhur yang dianutnya. Dan nilai-nilai luhur yang dianut remaja zaman sekarang adalah sinetron. Tapi tidak apa-apa, namanya juga remaja.

Sampai setengah jam Nikmah menunggu kakaknya yang katanya akan menjemput, tapi si kakak tidak juga datang. Ia tahu, kakaknya pasti mampir ke tempat pizza langganannya dulu. Nikmah pun mulai bosan bermain ponselnya. Dia tengak-tengok kesana kemari, berharap mobil si kakak mulai terlihat, tapi yang diharapkannya tidak juga muncul.

Sesuai adab remaja zaman sekarang, Nikmah pun segera pasang status atas nasibnya. Di Facebook dia menulis, “Nunggu kakak sialan yang belum juga datang!” Di Twitter dia menggalau, “Uuuuh, mungkin kakakku baru datang setelah kiamat!” Di Google+ dia mencoba bijak, “Ada yang tahu di mana kakakku sekarang?”

Tentu saja tidak ada yang tahu—wong dia yang adiknya sendiri juga tidak tahu.

Ketika sedang dongkol campur bosan karena kelamaan menunggu itulah, tanpa sengaja Nikmah melihat selebaran yang tertempel di tiang listrik di dekatnya. Selebaran itu adalah promosi perusahaan taksi baru. Di situ tertulis, “Butuh taksi cepat? Hubungi 024-7563xxx.”

Membaca selebaran itu, seketika muncul ide brilian di otak Nikmah. Yeah, daripada boring mendingan iseng, pikirnya. Lalu Nikmah pun menggunakan ponselnya, menghubungi nomor yang tertera di selebaran itu. Rencananya dia mau ngerjain perusahaan taksi tersebut.

Ketika teleponnya diterima, dengan pede Nikmah menyatakan butuh taksi, dan dia memberikan alamat sekenanya. “Komplek Perum Paradise,” ujarnya dengan pede. Si resepsionis di ujung sana tidak tahu kalau dia sedang dikerjain cewek iseng, dan menjanjikan akan segera mengirimkan taksi ke alamat yang diberikan.

Setelah itu, entah kenapa, Nikmah jadi senang dan senyum-senyum sendiri. Kadang-kadang, kau tahu, ada semacam kesenangan kecil kalau kita bisa iseng ngerjain orang. Begitu pula yang dirasakan Nikmah waktu itu. Dia senang karena dapat membunuh waktu dengan ngerjain orang, dan dia lebih senang lagi ketika akhirnya si kakak sialan yang ditunggunya datang mendekat ke tempatnya menunggu.

“Sori kalau kelamaan, soalnya tadi ngantri di tempat pizza,” ujar si kakak tanpa dosa.

Tuh kan, pikir Nikmah dengan muka jutek, sambil bergegas masuk mobil. Saat mendudukkan pantatnya di jok, Nikmah lega sekali karena sesaat lagi akan sampai rumah, dan dia bisa segera bersih-bersih, lalu nonton acara teve favoritnya. Kau tahu, nonton teve adalah ibadah wajib kebanyakan manusia abad 21—khususnya bagi Nikmah. Rasanya akan berdosa kalau dalam sehari tidak nonton teve.

So, sesampai di rumah, Nikmah pun segera bersih-bersih dan cuci muka. Setelah itu ia duduk manis di sofa depan teve. Kebetulan, stasiun teve yang ditontonnya sedang menayangkan berita aktual. Kali ini berita tentang kecelakaan yang dialami seorang sopir taksi.

“Pak Winarno, si sopir taksi,” ujar pembawa berita, “sedang memacu taksinya dengan cepat menuju Komplek Perum Paradise, karena mendapatkan panggilan dari pelanggan di alamat tersebut. Di pertigaan jalan dekat perum tersebut, sebuah truk yang melaju cepat menghantam taksi Pak Winarno, dan sopir taksi itu tewas seketika bersama taksinya yang terguling menghantam trotoar. Pihak keluarganya telah dihubungi, dan…”

Dan Nikmah menggigil di sofanya ketika menyaksikan istri si sopir taksi datang ke rumah sakit bersama tiga anaknya yang masih kecil. Mereka tampak menangis histeris, sementara dokter dan beberapa orang di sana berusaha menenangkan. Nikmah membeku. Ia tidak menyangka perbuatan isengnya akan merenggut sebuah nyawa… sebuah nyawa yang menjadi tulang punggung seorang istri dan tiga anak kecil.

….
….

Oh, well, tidak usah tegang begitu—ini cuma kisah fiksi yang saya tulis di ponsel sambil iseng karena lama ngantri di tempat penjual capcay. Terpaksa ceritanya saya hentikan sampai di situ karena capcay pesanan saya sudah jadi. Dan, saya berharap, perbuatan iseng saya ini tidak merenggut nyawa siapa pun.

Sekarang, izinkan saya menikmati capcay.

Cinta (Tidak) Buta

“Aku mencintaimu,” ujar seorang wanita pada seorang laki-laki.

“Maaf,” jawab si laki-laki, “masalah hidupku sudah terlalu banyak, dan aku tidak berminat menambahinya.”

Percaya pada Diri Sendiri

Ketika Condoleezza Rice duduk di bangku sekolah menengah, ia diberitahu bahwa nilai ujiannya menunjukkan ia tidak akan mampu melanjutkan studi ke universitas. Condoleezza Rice tidak menghiraukan itu, dan dia tetap teguh pada keyakinannya sendiri bahwa dia mampu. Dia pun kemudian mulai belajar dengan konsentrasi penuh, sampai kemudian berhasil masuk ke University of Denver pada umur 15 tahun, dan berhasil lulus dengan nilai tinggi pada usia 19 tahun.

Pada usia 41 tahun, Condoleezza Rice merupakan seorang pembantu rektor termuda dalam sejarah Stanford University, sekaligus perempuan pertama dan orang Afrika-Amerika pertama yang menempati posisi bergengsi itu.

....
....

Ketika kita mendengar orang lain mengatakan bahwa kita tidak bisa, bahwa kita tidak mampu, jangan pernah anggap itu sebagai ayat suci yang pasti akan terjadi atau yang harus kita patuhi. Tetapi anggap saja itu sebagai lelucon yang layak ditertawakan.

Jumat, 02 Maret 2012

Kebohongan Paling Mengerikan Sepanjang Zaman (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena kita hidup di masa sekarang, kita pun tahu dengan pasti bahwa teori yang pernah disambut dengan gegap-gempita oleh masyarakat dunia itu hanya isapan jempol atau teori palsu. Krisis yang digembar-gemborkannya sama sekali tidak pernah ada. Semua langkah dan tindakan yang telah ditempuh dengan mengatasnamakan teori itu—secara moral maupun hukum—tidak bisa dibenarkan. Pendeknya, isu atau teori yang diributkan itu hanya sebentuk kebohongan besar.

Tetapi kebohongan besar itu bukan hanya telah menelan biaya jutaan dolar, bukan hanya menghabiskan waktu setengah abad yang sia-sia. Kebohongan besar itu juga telah menimbulkan pembantaian terbesar sepanjang zaman, karena jutaan manusia tewas dibunuh gara-gara teori Eugenika. Peristiwa holocaust (pembantaian orang Yahudi oleh Nazi Jerman) dalam Perang Dunia II, adalah salah satunya—sebuah realitas yang dengan cerdik telah disembunyikan oleh sejarah dari mata kita.

Jika kita mempelajari dan menelusuri awal mula tragedi kebohongan ini, kita akan sampai pada fakta bahwa semuanya berawal dari ketidaksukaan sebagian kalangan Amerika terhadap kaum imigran. Pada awal abad ke-20, Amerika menjadi tempat imigrasi dari banyak warga asing—di antaranya Yahudi. Sebagian kalangan di Amerika menentang imigrasi tersebut, namun mereka tidak menemukan cara yang efektif.

Ketika kemudian Francis Galton mengemukakan teorinya mengenai Eugenika, sebagian kalangan yang tidak suka itu pun seperti mendapatkan ide cemerlang. Karenanya, meski Francis Galton sendiri tidak yakin dengan teorinya, namun teori itu serta-merta didukung habis-habisan, dipopulerkan dengan gegap-gempita, dan dibiayai besar-besaran. Upaya itu menuai kesuksesan, terbukti dunia waktu itu mempercayainya.

Dengan mengatasnamakan teori tersebut, maka upaya “pembersihan” kaum yang dianggap “gembel” pun dapat dibenarkan. Dan itulah yang kemudian terjadi.

Sejak itu, orang-orang yang dianggap “ras rendah”—mayoritas kaum Yahudi dianggap cocok untuk katagori itu—dikumpulkan untuk disterilisasi. Gerakan itu sangat kental aroma rasisme, salah satunya terbukti dari sebuah esai karya Lothrop Stoddard, yang dianggap sebagai pegangan, berjudul “The Rising Tide of Color Against White World Supremacy”.

Dan sterilisasi atas masyarakat kelas bawah itu disahkan serta dilegalkan dengan undang-undang. Dari 29 negara bagian di Amerika yang meloloskan undang-undang yang melegalkan sterilisasi itu, California adalah yang paling giat melakukannya. Dan, ingat, peristiwa itu terjadi sebelum pecahnya Perang Dunia II, sebelum Hitler dan Nazi-nya aktif melakukan pembantaian besar-besaran terhadap warga Yahudi.

Seperti yang telah disebutkan di atas, riset untuk mendukung teori Eugenika dan upaya-upaya sterilisasi “ras rendah” itu dibiayai oleh—di antaranya—Carnegie Foundation dan Rockefeller Foundation. Dana mereka tidak hanya dikucurkan di Amerika, tetapi juga mengalir ke negara-negara lain, termasuk Jerman. Pada akhirnya, pusat riset dan penelitiannya kemudian dipindahkan ke Jerman… dan selanjutnya adalah sejarah berdarah.

Di Jerman, orang-orang Nazi dengan leluasa menangkapi orang-orang yang dianggap “ras bawah”, dan kemudian melemparkannya ke kamar gas. Fakta itu terdengar oleh pihak yayasan yang mendanai operasi tersebut. Meski pihak yayasan di Amerika tutup mulut, mereka terbukti masih mentransfer uang kepada para peneliti di Jerman pada tahun 1939—itu hanya beberapa bulan sebelum pecahnya Perang Dunia II.

Orang-orang Jerman sangat giat dan progresif dalam melaksanakan program itu. Mereka membawa orang-orang yang dianggap lemah mental ke dalam bangunan-bangunan yang mirip rumah biasa, lalu mewawancarai orang-orang itu sebelum akhirnya menggiring mereka ke kamar belakang, yang tak lain adalah kamar gas. Di dalam kamar gas itu para korban dieksekusi dengan karbon monooksida, lalu jasadnya dibuang setelah terlebih dulu dikremasi di fasilitas pembakaran mayat yang ada di kompleks yang sama.

Puncaknya, program pembersihan itu dikembangkan menjadi jaringan kamp-kamp konsentrasi yang dibangun di sepanjang jalur kereta api, sehingga memudahkan mereka mengangkut dan menghabisi orang-orang yang dianggap sebagai “manusia kelas rendah” secara efektif. Selanjutnya adalah kisah sejarah yang kita sebut holocaust.

Setelah Perang Dunia II usai, dan bajingan-bajingan Jerman diajukan ke Pengadilan Nuremberg, pembantaian yang diperkarakan di pengadilan itu hanya yang dilakukan oleh orang-orang Jerman—karena mereka memang yang paling banyak memakan korban. Sementara kasus sama—yang sebelumnya telah dimulai di Amerika—tidak dipersoalkan, karena dianggap memiliki landasan hukum yang sah.

Yang jelas, setelah terbongkarnya peristiwa pembantaian besar-besaran itu, semua orang tutup mulut tentang teori Eugenika. Setelah Perang Dunia II usai, tidak ada satu orang pun yang mau mengaku sebagai ilmuwan atau pendukung Eugenika. Para penulis biografi tokoh-tokoh sejarah tak berani memasukkan fakta itu ke dalam hidup tokoh yang ditulisnya, dan sejak itu pula Eugenika tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah.

Orang-orang yang tadinya paling keras berteriak mengenai teori itu segera tiarap dan tak pernah lagi membicarakannya. Sementara media massa yang sebelumnya aktif mengkampanyekan isu itu tiba-tiba mengalami amnesia. Jutaan orang yang tewas akibat teori tak berdasar itu telah menjadi aib yang amat memalukan dalam sejarah umat manusia, dan tidak ada satu orang pun yang mau dikait-kaitkan dengan teori itu.

Apabila kita mengkaji kasus di atas, ada tiga hal penting yang layak kita cermati.

Pertama, meski pemerintah dan berbagai yayasan telah mengeluarkan banyak biaya untuk membangun laboratorium dan mendanai riset-risetnya, dan meski banyak tokoh yang begitu gigih memperjuangkan teori itu, namun pada kenyataannya teori Eugenika sama sekali tidak memiliki landasan ilmiah. Bahkan pada waktu itu pun orang belum sepenuhnya memahami arti kata “gen”.

Kedua, gerakan yang mengatasnamakan teori Eugenika sesungguhnya adalah program sosial (dan politik) yang berkedok penelitian ilmiah. Program dan gerakan itu sesungguhnya dipicu oleh kerisauan orang-orang kulit putih dalam menghadapi derasnya arus imigran, serta merebaknya rasisme dan ketikdaksukaan mereka melihat orang-orang yang tidak mereka sukai berdatangan ke wilayah mereka.

Ketiga, dan yang paling menyedihkan, gerakan yang sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah jelas itu nyaris tidak mendapatkan tentangan. Pada waktu itu hampir seluruh dunia berkiblat pada teori tersebut—didukung oleh berbagai media massa yang terus gembar-gembor mengkampanyekan teori itu—sehingga orang-orang yang mencoba menentang akan dianggap “minoritas” atau orang aneh.

Dan akhirnya, fellas, yang paling mengerikan di antara semua yang telah saya tuliskan di atas adalah… saat ini pun kita sedang menghadapi hal yang sama.

Saat ini, ada sebuah isu besar yang juga berawal dengan tidak jelas, namun lagi-lagi didukung secara penuh oleh para pemimpin dunia, para ilmuwan, universitas-universitas, tokoh-tokoh terkenal, hingga para aktivis sosial. Yayasan-yayasan internasional mengucurkan banyak dana demi membiayai “riset-risetnya”, sementara media massa sedunia juga gembar-gembor mengkampayekannya.

Sebagaimana yang terjadi pada zaman dulu, di masa sekarang pun berbagai langkah diusulkan dan ditempuh untuk mengatasi suatu krisis yang dipercayai keberadaannya, meski tidak memiliki landasan fakta atau dasar ilmiah. Sekali lagi berbagai kelompok dengan maksud tersembunyi bergentayangan di balik berbagai gerakan yang kedengarannya mulia. Sekali lagi berbagai keputusan diundangkan, langkah-langkah ekstrim dilakukan, dan berbagai seruan dikumandangkan untuk membenarkan isu itu.

Hari ini, anak-anak SD sampai bocah-bocah di perguruan tinggi mengetahui isu itu, meyakini kebenarannya, sementara segelintir orang yang mencoba menentangnya akan dianggap aneh, tolol, bahkan terus berusaha dibungkam. Isu yang dibangun di atas skandal dan konspirasi kebohongan itu sekarang menjadi isu terbesar abad 21. Kalian tahu apa yang saya maksudkan. Namanya… isu pemanasan global.

Kebohongan Paling Mengerikan Sepanjang Zaman (1)

Jika pencarian kebenaran dicemari oleh politik,
maka pencarian itu akan berubah menjadi perebutan kekuasaan.
Alston Chase


Satu abad yang lalu, ada sebuah teori yang sangat terkenal, didukung oleh banyak pihak, disokong yayasan-yayasan internasional dan perguruan-perguruan tinggi, diamini oleh tokoh-tokoh terkenal—dari presiden, ilmuwan, dokter, tokoh masyarakat, sampai para penulis—dan teori mengenai hal itu pun diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Seiring dengan itu, media-media massa begitu gencar memberitakannya.

Teori itu bernama Eugenika.

Isu yang sifatnya masih spekulatif itu pertama kali dilontarkan oleh Francis Galton, ilmuwan terhormat Inggris. Di luar dugaan Galton, isu tersebut ditanggapi secara luar biasa, bahkan tidak proporsional, terutama oleh orang-orang Amerika.

Teori yang sebenarnya masih isu itu langsung didukung oleh para ilmuwan, politisi, dan tokoh-tokoh terkenal. Para dermawan segera menyumbangkan dana dalam jumlah besar untuk mendanai riset-risetnya, dan penelitian atas teori baru itu pun dilaksanakan di perguruan-perguruan tinggi papan atas, sementara mata pelajaran baru tentang teori itu dibuat dan diajarkan di sekolah-sekolah.

Pemimpin dunia yang secara terang-terangan mendukung teori itu adalah Theodore Roosevelt, Woodrow Wilson, dan Winston Churchill. Dua hakim dari Mahkamah Agung Amerika—Louis Brandis dan Oliver Wendell Holmes—membuat putusan untuk menyetujuinya.

Sementara tokoh-tokoh terkenal yang ikut mendukung teori itu di antaranya adalah Alexander Graham Bell (ilmuwan), Margaret Sanger (aktivis), Luther Burbank (ahli botani), Leland Stanford (pendiri Universitas Stanford), H.G. Wells (novelis terkenal), George Bernard Shaw (dramawan), dan ratusan lainnya. Bahkan para ilmuwan pemenang Nobel pun ikut-ikutan mendukungnya.

Riset yang terkait teori itu didukung dana dari Carnegie Foundation dan Rockefeller Foundation. Sebuah laboratorium khusus, yang dinamai Institut Cold Springs Harbor, dibangun untuk melaksanakan riset-risetnya, dibantu oleh berbagai universitas ternama—dari Harvard, Princeton, John Hopkins, sampai Yale University. Seiring dengan itu, beberapa negara mulai menggodok produk hukum berkaitan dengan teori yang waktu itu sedang berkembang pesat.

Pertanyaannya sekarang, apa isi teori Eugenika yang diributkan itu?

Menurut teori itu, dunia membutuhkan semacam kumpulan gen manusia unggulan yang akan menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran. Jadi, menurut teori Eugenika, tingkat perkembangan manusia berkualitas jauh lebih sedikit dibandingkan dengan perkembangan manusia-manusia kelas rendah (semisal orang asing, kaum imigran, orang-orang Yahudi, dan segala jenis manusia berkualitas rendah dari segi fisik maupun kecerdasannya).

Kita yang hidup di masa sekarang mungkin tercengang atau bahkan menertawakan teori yang aneh dan tolol semacam itu. Tapi tidak pada satu abad yang lalu. Ketika teori itu pertama kali dilontarkan, semua pihak setuju. Asosiasi Kedokteran Amerika, Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional, serta Dewan Riset Nasional (ketiganya lembaga profesi dan keilmuwan yang terhormat di Amerika) mendukung dan mempercayai teori itu.

Margaret Sanger waktu itu dengan jumawa menyatakan, “Memelihara sampah masyarakat dengan mengorbankan manusia yang berguna adalah kekejaman. Perbuatan apa yang lebih biadab selain mewariskan orang-orang dungu itu kepada generasi penerus kita?”

Presiden Theodore Roosevelt mengatakan, “Masyarakat tak sudi membiarkan manusia lemah berproduksi.” Luther Burbank menyerukan, “Jangan biarkan kriminal dan manusia lemah berkembang biak.” George Bernard Shaw meyakini, “Hanya ilmu Eugenika yang bisa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.” Sementara H.G. Wells dengan lantang mendukung teori itu melalui tulisan-tulisannya.

Dan teori yang tidak masuk akal itu bahkan menyibukkan dunia selama hampir setengah abad dengan berbagai macam riset, pembuatan produk hukum, sampai riuhnya pro-kontra atas isu tersebut. Sebagian besar orang pada masa itu mempercayai isu tersebut, sedangkan orang-orang yang mencoba menentangnya—yang jumlahnya sangat sedikit—dicibir dan dicap sebagai orang kolot atau goblok.

Lanjut ke sini.

Absolute Beauty

Keindahan dilihat dari jauh.

Kamis, 01 Maret 2012

Saya Suka Jupe, tapi Jupe Suka 69

kau elus-elus tubuhku
kau belai-belai rambutku
terpejam-pejam mataku
aduh aduh aduh nikmatnya
duh aduh aduh asiknya
desah indahmu menusuk kalbu

kau elus-elus tubuhku
kau belai-belai rambutku
oh yes sungguh nikmatnya
oh yes sungguh bahagia

suka suka jupe paling suka
kasih sayangmu luar biasa
gairah cinta 69

suka suka jupe paling suka
kau buat aku tak berdaya
gairah cinta pun membara

Jupe Paling Suka 69


Saya jarang menonton televisi, jadi saya telat mengenal Julia Perez a.k.a Jupe beberapa tahun lalu. Koran dan majalah yang biasa saya baca juga tak pernah menampilkan profil atau foto Jupe (karena saya bacanya majalah Trubus). Jadi dulu, ketika kawan-kawan saya ngobrolin Jupe, saya seperti bocah kuper yang baru akil balig.

“Julia Perez siapa?” tanya saya waktu itu. “Aktris baru Hollywood, ya?”

Kemudian saya pun tahu, bahwa Julia Perez yang diobrolkan teman-teman saya itu adalah bintang baru Indonesia yang semlohay (istilah ini mungkin ada hubungannya dengan kamseupay).

Akhirnya, karena penasaran, saya pun mencari-cari sosok perempuan itu di internet. Di sebuah web entertainment, saya mendapati foto-foto Jupe dengan pose-pose yang anggun. Maksud saya, meski posenya dalam foto-foto itu dapat dibilang panas, namun foto-foto itu mengesankan Jupe seorang wanita yang cerdas. Saya tidak tahu kalau lensa kamera ternyata bisa berbohong.

Kesan pertama, kau tahu, begitu menggoda. Dan dari kesan pertama itu pula kemudian saya “terhasut” untuk menonton film Indonesia yang dibintangi Jupe. Saya sudah lupa judul filmnya. Tetapi, yang jelas, film bioskop itu menampilkan adegan Jupe yang sedang mengerang dalam kenikmatan, ketika ia bercumbu sambil berdiri di dekat jendela dengan seorang lelaki yang tidak saya kenal. Saya masih ingat betul bagaimana ekspresi wajahnya ketika itu—terpejam penuh gairah, dengan jemari mencengkeram gorden sambil mendesah. (Kenapa kok kalimat ini seperti pengaduan suami atas perselingkuhan istrinya, ya?).

Saya suka Jupe. Maksud saya, sebagai lelaki, saya suka Jupe. Jika saya perhatikan foto-fotonya yang pernah saya temui, juga menyaksikan film-film yang pernah dibintanginya, Jupe pastilah bukan perempuan munafik yang sok suci. Dan saya suka perempuan seperti itu—yang tidak munafik, juga tidak sok suci.

Sebagai perempuan, Jupe pasti tahu bahwa mata lelaki sangat lapar pada keindahan tubuh lawan jenisnya—dan Jupe memberikannya. Melalui foto-fotonya, Jupe mengumbar keindahan tubuhnya. Melalui filmnya, Jupe melakukan hal yang sama—plus ekspresi dan erangan kenikmatannya. Terlepas apakah itu bermoral atau tidak, saya tidak ingin menghakimi.

Yang jelas, Jupe bukan perempuan munafik yang sok suci, dan saya menghargai kejujurannya. Oh, well, saya lebih menghormati orang rusak yang jujur dan tidak munafik, daripada orang sok alim dan sok suci tapi hatinya penuh iri dan dengki, serta merasa paling benar sendiri. Kejujuran adalah barang langka di negeri ini, karena kemunafikan telah menjadi barang obral paling digemari.

Jadi, saya suka Jupe. Yang jadi masalah, Jupe suka 69.

Dan gara-gara kesukaannya pada 69 itu, Jupe tersandung kasus pencekalan. Seperti yang kita tahu, Jupe punya lagu baru, yang sebagian liriknya saya tampilkan di awal catatan ini. Judul lagu itu aneh, “Jupe Paling Suka 69”. Entah karena judul lagunya atau karena liriknya yang asoy, lagu itu kemudian dicekal oleh Komisi Penyiaran Indonesia.

Kenapa Jupe suka 69?

Ketika ditanya wartawan, Jupe menjawab bahwa angka 69 itu seharusnya tidak diasumsikan negatif, karena, menurutnya, “69 itu kan angka sebelum 70 kalau di angka Romawi.”

Terus-terang, saya sampai guling-guling ketika mendengar jawaban itu. Ketika diwawancarai wartawan menyangkut kasus itu, Jupe menyatakan—eksplisit maupun implisit—bahwa 69 itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan seks.

Kalau kita membaca kitab Kamasutra, kita akan diberitahu bahwa “69” adalah salah satu gaya bercinta di antara 365 gaya yang lain. Kalau kita nonton bokep, kita akan diperlihatkan bahwa “69” adalah… well, orang-orang juga sudah pada tahu! Dan kalau kita perhatikan lirik lagu Jupe, mau tak mau asumsi kita pastilah mengaitkan angka 69 dengan aktivitas itu.

Yang jadi pertanyaan, kenapa Jupe tidak mau mengakuinya, dan terus menyangkalnya? Apa salahnya kalau dia jujur menyatakan bahwa 69 dalam lagunya memang berhubungan dengan aktivitas seks? Dan kalau 69 dalam lagunya itu “hanya angka” sebagaimana yang dikatakannya, kenapa harus memilih angka 69? Kenapa tidak memilih angka lain yang lebih netral sehingga tidak menggelincirkan orang dalam asumsi yang keliru?

Bagi saya, jawaban Jupe menyangkut lagunya itu hanyalah apologi—dan saya kecewa dengan jawaban itu. Apologi bukan ilmu tentang cara membuat apolo. Apologi, dalam definisi saya, adalah jawaban untuk mengelak dari tuduhan dengan cara yang tidak elegan. Padahal, saya selalu suka hal-hal yang elegan. Ya, ya, ini memang tidak ada hubungannya, tetapi saya memang suka yang serba elegan.

Dalam film Batman Begins, Rachel Dawes berkata pada Bruce Wayne, “Orang tidak melihat apa yang ada di hatimu. Orang melihat apa yang kaulakukan.”

Tuhan tahu, Rachel Dawes adalah wanita yang elegan! Dan dia benar, bahwa orang lain tidak melihat sebaik apa hati kita, karena mereka tidak bisa melihatnya. Orang lain hanya melihat apa yang kita lakukan, karena perbuatan kitalah yang dapat mereka saksikan. Tak peduli hati kita seputih salju, orang akan ilfil kalau sikap kita sok suci dan sok alim, campur munafik dan tidak jujur.

Dan sekarang, terus terang, saya tidak bisa lagi menyukai Jupe. Caranya menjawab, mengelak, dan menjelaskan perihal lagunya sangat tidak elegan.

Mungkin Jupe seorang wanita alim keturunan bidadari dari langit. Tapi saya manusia biasa. Saya tidak bisa melihat ke dalam hatinya. Saya hanya bisa melihat apa yang telah dilakukannya. Dan yang dilakukannya adalah mengakui kalau dia suka 69.

Saya tidak bisa lagi suka Jupe. Karena Jupe suka 69. Dan membayangkan Jupe menyukai 69, benar-benar membuat saya merasa sangat tidak elegan!

Pelajaran Abadi

Kita tidak tahu bagaimana hari esok. Yang bisa kita lakukan ialah
berbuat sebaik-baiknya, dan berbahagia hari ini.
Samuel Taylor Coleridge


Ada pepatah Inggris yang berbunyi, “Don't put off until tomorrow what you can do today.” Jangan tunda sampai besok apa pun yang bisa kaukerjakan hari ini.

Kalau hari ini kita ingin memulai sesuatu yang baru dalam hidup, segeralah lakukan.

Kalau kita ingin pergi ke suatu tempat, dan situasi memungkinkan, segeralah berangkat.

Kalau kita merasa rindu pada seseorang, dan memiliki waktu untuk menemuinya, segeralah temui.

Kalau hari ini kita tiba-tiba teringat pernah bersalah pada seseorang, segera datangi dan minta maaflah.

Kalau hari ini kita menyadari telah banyak berbuat dosa, segera jumpai Tuhan dalam ibadah, dan minta ampunlah segera.

Karena, sampai hari ini, belum ada yang memberikan jaminan pasti bahwa besok pagi kita masih di sini.

Kata Ajaib untuk Meraih Apa pun

Setiap hari, dan setiap pagi,
saya harus bertambah baik.
Emile Coue


Pengalaman orang-orang besar yang tertulis dalam buku biografi mereka mengajarkan bahwa jika kita menunggu saat yang sempurna untuk melakukan sesuatu, maka pasti saat itu tidak akan pernah tiba. Gunung tidak akan didaki, perlombaan tak pernah dimenangkan, dan kebahagiaan tak pernah dicapai.

Jika kita ingin melakukan sesuatu yang benar dan berharga bagi hidup, lakukanlah sekarang juga. Karena jika kita menunggu “waktu yang sempurna”, maka waktu yang sempurna itu hanya ada dalam angan-angan. Ingatlah selalu bahwa saat yang tepat adalah sekarang, tempat yang tepat adalah di sini, dan waktu yang tepat adalah hari ini.

“Sekarang” adalah kata ajaib untuk sukses. “Besok”, “Minggu depan”, “Nanti”, “Suatu waktu”, “Suatu hari”, semuanya hanyalah sinonim untuk kata kegagalan, yang berarti “Tidak pernah”. Karenanya, “Suatu hari nanti” biasanya hanya berarti “Tidak pernah sama sekali”.

Mungkin ini terkesan sinis, tetapi banyak mimpi yang bagus, banyak cita-cita luhur, dan banyak obsesi mulia, yang tidak pernah terwujud karena kita mengatakan, “Saya akan memulainya suatu hari nanti,” ketika seharusnya mengatakan, “Saya akan memulainya sekarang juga.”

Anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar atau menengah biasanya akan mengatakan, “Nanti bila aku telah dewasa.”

Lalu bila saat dewasa telah tiba, dan ia mengetahui ternyata ada banyak hal yang harus dikerjakan, dia pun menunda lagi dan mengatakan, “Nanti bila aku sudah menikah.”

Tetapi setelah menikah ia menyadari bahwa waktunya semakin sempit, karena beban tanggung jawab yang lebih besar. Maka dia pun menunda sekali lagi, “Nanti bila aku sudah pensiun.”

Dan ketika masa pensiun datang, ketika usianya telah beranjak tua, dan kekuatan fisiknya sudah amat terbatas, dia pun baru akan menyadari ada sekian puluh tahun yang telah hilang dan terbuang dari hidupnya, dan dia tak bisa mengambilnya kembali. Di saat-saat itulah biasanya penyesalan baru datang, dan ia mulai sadar ketika mengangankan, “Kalau saja aku dulu telah melakukannya....”

Kata ajaib untuk meraih dan mencapai apa pun adalah, “Akan kulakukan sekarang!”

 
;