Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Karena kita hidup di masa sekarang, kita pun tahu dengan pasti bahwa teori yang pernah disambut dengan gegap-gempita oleh masyarakat dunia itu hanya isapan jempol atau teori palsu. Krisis yang digembar-gemborkannya sama sekali tidak pernah ada. Semua langkah dan tindakan yang telah ditempuh dengan mengatasnamakan teori itu—secara moral maupun hukum—tidak bisa dibenarkan. Pendeknya, isu atau teori yang diributkan itu hanya sebentuk kebohongan besar.
Tetapi kebohongan besar itu bukan hanya telah menelan biaya jutaan dolar, bukan hanya menghabiskan waktu setengah abad yang sia-sia. Kebohongan besar itu juga telah menimbulkan pembantaian terbesar sepanjang zaman, karena jutaan manusia tewas dibunuh gara-gara teori Eugenika. Peristiwa holocaust (pembantaian orang Yahudi oleh Nazi Jerman) dalam Perang Dunia II, adalah salah satunya—sebuah realitas yang dengan cerdik telah disembunyikan oleh sejarah dari mata kita.
Jika kita mempelajari dan menelusuri awal mula tragedi kebohongan ini, kita akan sampai pada fakta bahwa semuanya berawal dari ketidaksukaan sebagian kalangan Amerika terhadap kaum imigran. Pada awal abad ke-20, Amerika menjadi tempat imigrasi dari banyak warga asing—di antaranya Yahudi. Sebagian kalangan di Amerika menentang imigrasi tersebut, namun mereka tidak menemukan cara yang efektif.
Ketika kemudian Francis Galton mengemukakan teorinya mengenai Eugenika, sebagian kalangan yang tidak suka itu pun seperti mendapatkan ide cemerlang. Karenanya, meski Francis Galton sendiri tidak yakin dengan teorinya, namun teori itu serta-merta didukung habis-habisan, dipopulerkan dengan gegap-gempita, dan dibiayai besar-besaran. Upaya itu menuai kesuksesan, terbukti dunia waktu itu mempercayainya.
Dengan mengatasnamakan teori tersebut, maka upaya “pembersihan” kaum yang dianggap “gembel” pun dapat dibenarkan. Dan itulah yang kemudian terjadi.
Sejak itu, orang-orang yang dianggap “ras rendah”—mayoritas kaum Yahudi dianggap cocok untuk katagori itu—dikumpulkan untuk disterilisasi. Gerakan itu sangat kental aroma rasisme, salah satunya terbukti dari sebuah esai karya Lothrop Stoddard, yang dianggap sebagai pegangan, berjudul “The Rising Tide of Color Against White World Supremacy”.
Dan sterilisasi atas masyarakat kelas bawah itu disahkan serta dilegalkan dengan undang-undang. Dari 29 negara bagian di Amerika yang meloloskan undang-undang yang melegalkan sterilisasi itu, California adalah yang paling giat melakukannya. Dan, ingat, peristiwa itu terjadi sebelum pecahnya Perang Dunia II, sebelum Hitler dan Nazi-nya aktif melakukan pembantaian besar-besaran terhadap warga Yahudi.
Seperti yang telah disebutkan di atas, riset untuk mendukung teori Eugenika dan upaya-upaya sterilisasi “ras rendah” itu dibiayai oleh—di antaranya—Carnegie Foundation dan Rockefeller Foundation. Dana mereka tidak hanya dikucurkan di Amerika, tetapi juga mengalir ke negara-negara lain, termasuk Jerman. Pada akhirnya, pusat riset dan penelitiannya kemudian dipindahkan ke Jerman… dan selanjutnya adalah sejarah berdarah.
Di Jerman, orang-orang Nazi dengan leluasa menangkapi orang-orang yang dianggap “ras bawah”, dan kemudian melemparkannya ke kamar gas. Fakta itu terdengar oleh pihak yayasan yang mendanai operasi tersebut. Meski pihak yayasan di Amerika tutup mulut, mereka terbukti masih mentransfer uang kepada para peneliti di Jerman pada tahun 1939—itu hanya beberapa bulan sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Orang-orang Jerman sangat giat dan progresif dalam melaksanakan program itu. Mereka membawa orang-orang yang dianggap lemah mental ke dalam bangunan-bangunan yang mirip rumah biasa, lalu mewawancarai orang-orang itu sebelum akhirnya menggiring mereka ke kamar belakang, yang tak lain adalah kamar gas. Di dalam kamar gas itu para korban dieksekusi dengan karbon monooksida, lalu jasadnya dibuang setelah terlebih dulu dikremasi di fasilitas pembakaran mayat yang ada di kompleks yang sama.
Puncaknya, program pembersihan itu dikembangkan menjadi jaringan kamp-kamp konsentrasi yang dibangun di sepanjang jalur kereta api, sehingga memudahkan mereka mengangkut dan menghabisi orang-orang yang dianggap sebagai “manusia kelas rendah” secara efektif. Selanjutnya adalah kisah sejarah yang kita sebut holocaust.
Setelah Perang Dunia II usai, dan bajingan-bajingan Jerman diajukan ke Pengadilan Nuremberg, pembantaian yang diperkarakan di pengadilan itu hanya yang dilakukan oleh orang-orang Jerman—karena mereka memang yang paling banyak memakan korban. Sementara kasus sama—yang sebelumnya telah dimulai di Amerika—tidak dipersoalkan, karena dianggap memiliki landasan hukum yang sah.
Yang jelas, setelah terbongkarnya peristiwa pembantaian besar-besaran itu, semua orang tutup mulut tentang teori Eugenika. Setelah Perang Dunia II usai, tidak ada satu orang pun yang mau mengaku sebagai ilmuwan atau pendukung Eugenika. Para penulis biografi tokoh-tokoh sejarah tak berani memasukkan fakta itu ke dalam hidup tokoh yang ditulisnya, dan sejak itu pula Eugenika tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah.
Orang-orang yang tadinya paling keras berteriak mengenai teori itu segera tiarap dan tak pernah lagi membicarakannya. Sementara media massa yang sebelumnya aktif mengkampanyekan isu itu tiba-tiba mengalami amnesia. Jutaan orang yang tewas akibat teori tak berdasar itu telah menjadi aib yang amat memalukan dalam sejarah umat manusia, dan tidak ada satu orang pun yang mau dikait-kaitkan dengan teori itu.
Apabila kita mengkaji kasus di atas, ada tiga hal penting yang layak kita cermati.
Pertama, meski pemerintah dan berbagai yayasan telah mengeluarkan banyak biaya untuk membangun laboratorium dan mendanai riset-risetnya, dan meski banyak tokoh yang begitu gigih memperjuangkan teori itu, namun pada kenyataannya teori Eugenika sama sekali tidak memiliki landasan ilmiah. Bahkan pada waktu itu pun orang belum sepenuhnya memahami arti kata “gen”.
Kedua, gerakan yang mengatasnamakan teori Eugenika sesungguhnya adalah program sosial (dan politik) yang berkedok penelitian ilmiah. Program dan gerakan itu sesungguhnya dipicu oleh kerisauan orang-orang kulit putih dalam menghadapi derasnya arus imigran, serta merebaknya rasisme dan ketikdaksukaan mereka melihat orang-orang yang tidak mereka sukai berdatangan ke wilayah mereka.
Ketiga, dan yang paling menyedihkan, gerakan yang sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah jelas itu nyaris tidak mendapatkan tentangan. Pada waktu itu hampir seluruh dunia berkiblat pada teori tersebut—didukung oleh berbagai media massa yang terus gembar-gembor mengkampanyekan teori itu—sehingga orang-orang yang mencoba menentang akan dianggap “minoritas” atau orang aneh.
Dan akhirnya, fellas, yang paling mengerikan di antara semua yang telah saya tuliskan di atas adalah… saat ini pun kita sedang menghadapi hal yang sama.
Saat ini, ada sebuah isu besar yang juga berawal dengan tidak jelas, namun lagi-lagi didukung secara penuh oleh para pemimpin dunia, para ilmuwan, universitas-universitas, tokoh-tokoh terkenal, hingga para aktivis sosial. Yayasan-yayasan internasional mengucurkan banyak dana demi membiayai “riset-risetnya”, sementara media massa sedunia juga gembar-gembor mengkampayekannya.
Sebagaimana yang terjadi pada zaman dulu, di masa sekarang pun berbagai langkah diusulkan dan ditempuh untuk mengatasi suatu krisis yang dipercayai keberadaannya, meski tidak memiliki landasan fakta atau dasar ilmiah. Sekali lagi berbagai kelompok dengan maksud tersembunyi bergentayangan di balik berbagai gerakan yang kedengarannya mulia. Sekali lagi berbagai keputusan diundangkan, langkah-langkah ekstrim dilakukan, dan berbagai seruan dikumandangkan untuk membenarkan isu itu.
Hari ini, anak-anak SD sampai bocah-bocah di perguruan tinggi mengetahui isu itu, meyakini kebenarannya, sementara segelintir orang yang mencoba menentangnya akan dianggap aneh, tolol, bahkan terus berusaha dibungkam. Isu yang dibangun di atas skandal dan konspirasi kebohongan itu sekarang menjadi isu terbesar abad 21. Kalian tahu apa yang saya maksudkan. Namanya… isu pemanasan global.
***
Karena kita hidup di masa sekarang, kita pun tahu dengan pasti bahwa teori yang pernah disambut dengan gegap-gempita oleh masyarakat dunia itu hanya isapan jempol atau teori palsu. Krisis yang digembar-gemborkannya sama sekali tidak pernah ada. Semua langkah dan tindakan yang telah ditempuh dengan mengatasnamakan teori itu—secara moral maupun hukum—tidak bisa dibenarkan. Pendeknya, isu atau teori yang diributkan itu hanya sebentuk kebohongan besar.
Tetapi kebohongan besar itu bukan hanya telah menelan biaya jutaan dolar, bukan hanya menghabiskan waktu setengah abad yang sia-sia. Kebohongan besar itu juga telah menimbulkan pembantaian terbesar sepanjang zaman, karena jutaan manusia tewas dibunuh gara-gara teori Eugenika. Peristiwa holocaust (pembantaian orang Yahudi oleh Nazi Jerman) dalam Perang Dunia II, adalah salah satunya—sebuah realitas yang dengan cerdik telah disembunyikan oleh sejarah dari mata kita.
Jika kita mempelajari dan menelusuri awal mula tragedi kebohongan ini, kita akan sampai pada fakta bahwa semuanya berawal dari ketidaksukaan sebagian kalangan Amerika terhadap kaum imigran. Pada awal abad ke-20, Amerika menjadi tempat imigrasi dari banyak warga asing—di antaranya Yahudi. Sebagian kalangan di Amerika menentang imigrasi tersebut, namun mereka tidak menemukan cara yang efektif.
Ketika kemudian Francis Galton mengemukakan teorinya mengenai Eugenika, sebagian kalangan yang tidak suka itu pun seperti mendapatkan ide cemerlang. Karenanya, meski Francis Galton sendiri tidak yakin dengan teorinya, namun teori itu serta-merta didukung habis-habisan, dipopulerkan dengan gegap-gempita, dan dibiayai besar-besaran. Upaya itu menuai kesuksesan, terbukti dunia waktu itu mempercayainya.
Dengan mengatasnamakan teori tersebut, maka upaya “pembersihan” kaum yang dianggap “gembel” pun dapat dibenarkan. Dan itulah yang kemudian terjadi.
Sejak itu, orang-orang yang dianggap “ras rendah”—mayoritas kaum Yahudi dianggap cocok untuk katagori itu—dikumpulkan untuk disterilisasi. Gerakan itu sangat kental aroma rasisme, salah satunya terbukti dari sebuah esai karya Lothrop Stoddard, yang dianggap sebagai pegangan, berjudul “The Rising Tide of Color Against White World Supremacy”.
Dan sterilisasi atas masyarakat kelas bawah itu disahkan serta dilegalkan dengan undang-undang. Dari 29 negara bagian di Amerika yang meloloskan undang-undang yang melegalkan sterilisasi itu, California adalah yang paling giat melakukannya. Dan, ingat, peristiwa itu terjadi sebelum pecahnya Perang Dunia II, sebelum Hitler dan Nazi-nya aktif melakukan pembantaian besar-besaran terhadap warga Yahudi.
Seperti yang telah disebutkan di atas, riset untuk mendukung teori Eugenika dan upaya-upaya sterilisasi “ras rendah” itu dibiayai oleh—di antaranya—Carnegie Foundation dan Rockefeller Foundation. Dana mereka tidak hanya dikucurkan di Amerika, tetapi juga mengalir ke negara-negara lain, termasuk Jerman. Pada akhirnya, pusat riset dan penelitiannya kemudian dipindahkan ke Jerman… dan selanjutnya adalah sejarah berdarah.
Di Jerman, orang-orang Nazi dengan leluasa menangkapi orang-orang yang dianggap “ras bawah”, dan kemudian melemparkannya ke kamar gas. Fakta itu terdengar oleh pihak yayasan yang mendanai operasi tersebut. Meski pihak yayasan di Amerika tutup mulut, mereka terbukti masih mentransfer uang kepada para peneliti di Jerman pada tahun 1939—itu hanya beberapa bulan sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Orang-orang Jerman sangat giat dan progresif dalam melaksanakan program itu. Mereka membawa orang-orang yang dianggap lemah mental ke dalam bangunan-bangunan yang mirip rumah biasa, lalu mewawancarai orang-orang itu sebelum akhirnya menggiring mereka ke kamar belakang, yang tak lain adalah kamar gas. Di dalam kamar gas itu para korban dieksekusi dengan karbon monooksida, lalu jasadnya dibuang setelah terlebih dulu dikremasi di fasilitas pembakaran mayat yang ada di kompleks yang sama.
Puncaknya, program pembersihan itu dikembangkan menjadi jaringan kamp-kamp konsentrasi yang dibangun di sepanjang jalur kereta api, sehingga memudahkan mereka mengangkut dan menghabisi orang-orang yang dianggap sebagai “manusia kelas rendah” secara efektif. Selanjutnya adalah kisah sejarah yang kita sebut holocaust.
Setelah Perang Dunia II usai, dan bajingan-bajingan Jerman diajukan ke Pengadilan Nuremberg, pembantaian yang diperkarakan di pengadilan itu hanya yang dilakukan oleh orang-orang Jerman—karena mereka memang yang paling banyak memakan korban. Sementara kasus sama—yang sebelumnya telah dimulai di Amerika—tidak dipersoalkan, karena dianggap memiliki landasan hukum yang sah.
Yang jelas, setelah terbongkarnya peristiwa pembantaian besar-besaran itu, semua orang tutup mulut tentang teori Eugenika. Setelah Perang Dunia II usai, tidak ada satu orang pun yang mau mengaku sebagai ilmuwan atau pendukung Eugenika. Para penulis biografi tokoh-tokoh sejarah tak berani memasukkan fakta itu ke dalam hidup tokoh yang ditulisnya, dan sejak itu pula Eugenika tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah.
Orang-orang yang tadinya paling keras berteriak mengenai teori itu segera tiarap dan tak pernah lagi membicarakannya. Sementara media massa yang sebelumnya aktif mengkampanyekan isu itu tiba-tiba mengalami amnesia. Jutaan orang yang tewas akibat teori tak berdasar itu telah menjadi aib yang amat memalukan dalam sejarah umat manusia, dan tidak ada satu orang pun yang mau dikait-kaitkan dengan teori itu.
Apabila kita mengkaji kasus di atas, ada tiga hal penting yang layak kita cermati.
Pertama, meski pemerintah dan berbagai yayasan telah mengeluarkan banyak biaya untuk membangun laboratorium dan mendanai riset-risetnya, dan meski banyak tokoh yang begitu gigih memperjuangkan teori itu, namun pada kenyataannya teori Eugenika sama sekali tidak memiliki landasan ilmiah. Bahkan pada waktu itu pun orang belum sepenuhnya memahami arti kata “gen”.
Kedua, gerakan yang mengatasnamakan teori Eugenika sesungguhnya adalah program sosial (dan politik) yang berkedok penelitian ilmiah. Program dan gerakan itu sesungguhnya dipicu oleh kerisauan orang-orang kulit putih dalam menghadapi derasnya arus imigran, serta merebaknya rasisme dan ketikdaksukaan mereka melihat orang-orang yang tidak mereka sukai berdatangan ke wilayah mereka.
Ketiga, dan yang paling menyedihkan, gerakan yang sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah jelas itu nyaris tidak mendapatkan tentangan. Pada waktu itu hampir seluruh dunia berkiblat pada teori tersebut—didukung oleh berbagai media massa yang terus gembar-gembor mengkampanyekan teori itu—sehingga orang-orang yang mencoba menentang akan dianggap “minoritas” atau orang aneh.
Dan akhirnya, fellas, yang paling mengerikan di antara semua yang telah saya tuliskan di atas adalah… saat ini pun kita sedang menghadapi hal yang sama.
Saat ini, ada sebuah isu besar yang juga berawal dengan tidak jelas, namun lagi-lagi didukung secara penuh oleh para pemimpin dunia, para ilmuwan, universitas-universitas, tokoh-tokoh terkenal, hingga para aktivis sosial. Yayasan-yayasan internasional mengucurkan banyak dana demi membiayai “riset-risetnya”, sementara media massa sedunia juga gembar-gembor mengkampayekannya.
Sebagaimana yang terjadi pada zaman dulu, di masa sekarang pun berbagai langkah diusulkan dan ditempuh untuk mengatasi suatu krisis yang dipercayai keberadaannya, meski tidak memiliki landasan fakta atau dasar ilmiah. Sekali lagi berbagai kelompok dengan maksud tersembunyi bergentayangan di balik berbagai gerakan yang kedengarannya mulia. Sekali lagi berbagai keputusan diundangkan, langkah-langkah ekstrim dilakukan, dan berbagai seruan dikumandangkan untuk membenarkan isu itu.
Hari ini, anak-anak SD sampai bocah-bocah di perguruan tinggi mengetahui isu itu, meyakini kebenarannya, sementara segelintir orang yang mencoba menentangnya akan dianggap aneh, tolol, bahkan terus berusaha dibungkam. Isu yang dibangun di atas skandal dan konspirasi kebohongan itu sekarang menjadi isu terbesar abad 21. Kalian tahu apa yang saya maksudkan. Namanya… isu pemanasan global.