Rabu, 21 April 2021

Kaya dan Tampak Kaya

Orang kaya, menurutku, adalah orang yang sehat,
tidak punya utang, dan tidak dikejar cicilan. Itu menurutku. 
Kalau menurutmu beda, ya tidak apa-apa.


Di Twitter, berulang kali muncul kasus aneh, yang viral hingga sampai di timeline saya. Kasusnya bisa dibilang serupa, yaitu orang-orang yang berutang pada teman-teman atau orang-orang yang dikenalnya, dengan berbagai alasan, tapi belakangan tidak membayar utangnya, juga dengan berbagai alasan.

Yang geblek, kisah-kisah itu juga mengungkap bahwa orang yang berutang ternyata menggunakan uang hasil ngutangnya untuk hal-hal konsumtif, semisal untuk pelesir ke luar kota atau luar negeri, lalu memosting foto-fotonya di Instagram, dengan penampilan sok kaya. 

Yang mengkhawatirkan, kasus semacam itu tidak hanya terjadi satu kali dua kali, tapi berkali-kali, dilakukan oleh banyak orang. Artinya, kasus “orang berusaha sok kaya” sudah semacam wabah.

Utang piutang mungkin hal yang umum terjadi dalam interaksi sosial antarteman, karena kadang kita menghadapi kebutuhan mendadak ketika sedang tidak punya uang. Keberadaan teman yang baik—dan kebetulan punya uang—bisa menjadi penolong, dan kita pun berutang pada mereka. Tentu, setelah itu, kita berusaha membayar utang tersebut secepatnya.

Untuk hal semacam itu tentu wajar, dan kita pun bisa jadi tak terlalu mempermasalahkan. Wong nyatanya lagi butuh, dan nyatanya dia juga bertanggung jawab atas piutang yang kita berikan. 

Yang membuat orang-orang murka, hingga menceritakan kisah mereka di Twitter, karena orang yang berutang pada mereka tidak bertanggung jawab. Sewaktu berutang, menggunakan aneka dalih dan alasan, sampai orang yang akan diutangi jadi tidak enak, dan terpaksa memberikan utang yang diminta, meski sebenarnya mereka juga lagi pas-pasan. Eh, giliran utang sudah diberikan, uangnya dipakai untuk bertingkah sok kaya—sambil posting foto-foto hedon di Instagram—sementara utangnya tidak juga dibayar.

Kisah-kisah semacam itu, yang muncul di timeline saya, kadang dilengkapi dengan nama dan foto-foto si pelaku (yang biasanya diambil dari akun Instagram pelaku). Ada yang laki-laki, ada pula perempuan. 

Berdasarkan foto-foto yang saya lihat, mereka yang berutang-tapi-tidak-tanggung-jawab itu rata-rata berpenampilan menarik, dengan gaya seperti orang [yang benar-benar] kaya. Tetapi fakta bahwa mereka sampai berutang demi bisa tampak kaya, menunjukkan kalau mereka sebenarnya tidak kaya. 

Kebutuhan untuk eksis, di zaman ini, tampaknya memang sudah menjadi semacam kebutuhan primer, selain kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Ada banyak orang yang merasa harus selalu eksis, di mana pun, di semua media sosial. Sebegitu ngebet eksis, sampai mereka—sadar atau tak sadar—melakukan aneka upaya yang kadang konyol dan tak masuk akal.

Sering kali saya tidak paham saat mendapati orang-orang yang melakukan hal-hal tertentu, yang ditujukan untuk “sekadar eksis”. Ada orang lagi makan mi instan, lalu merekam aktivitas makannya, sambil berkata dengan jumawa, “Hei, guys, aku lagi makan mi, nih.” 

Apa manfaatnya melakukan hal semacam itu? Lagi pula, apa perlunya dia memberi tahu dunia kalau sedang makan mi instan? Demi Tuhan, mi instan! Memangnya kenapa kalau dia makan mi instan? Apa pentingnya sampai dia merasa perlu memberi tahu siapa pun bahwa dia sedang makan mi instan?

Mungkin saya terlalu lama hidup dalam kesunyian, hingga sering kebingungan dengan tingkah orang-orang di luar sana. Atau mungkin pula karena saya memang kurang gaul, hingga tidak tahu apa itu “eksis”. 

Tapi baiklah, saya akan berusaha memaklumi orang yang merekam adegan dirinya sedang makan mi instan, seolah dia satu-satunya orang di dunia yang makan mi instan. Oke, saya tidak akan mempersoalkan, toh pamer atau ingin eksis adalah hak setiap orang. 

Tapi bagaimana dengan orang-orang tadi—yang hobi ngutang ke orang lain, demi eksis dan bertingkah sok kaya?

Akhirnya saya mulai memahami, kenapa ada orang-orang yang segitu ngebetnya ingin tampak kaya. Wong paling makan mi instan saja dipamerkan, tentu lebih menyenangkan kalau bisa pamer sesuatu yang lebih hebat. Dari pamer barang-barang mahal sampai pamer pelesiran. 

Rajin pangkal pandai, dan pamer pangkal eksis. Semakin rajin kita pamer, semakin cepat kita eksis. Orang mungkin tidak peduli kalau kau makan mi instan, tapi orang-orang mungkin akan tertarik kalau kau pamer naik kapal pesiar.

Kalau memang mampu pamer foto di kapal pesiar, tentu tidak masalah. Sekali lagi, pamer adalah hak setiap orang. Kalau kau memang punya uang untuk membiayai aktivitas pamermu, bahkan iblis di neraka tidak berhak meributkan. Tapi jika dalam aktivitas pamer itu ada orang-orang yang merana karena uang yang mereka pinjamkan tidak dikembalikan... itu tentu mengkhawatirkan. 

Orang mungkin memang berbeda-beda. Ada yang tak peduli dengan penampilan, ada pula yang sangat perhatian pada penampilan. Mereka yang suka pamer agar kelihatan kaya—meski untuk itu harus ngutang sana-sini—pasti termasuk orang yang sangat memperhatikan penampilan. Mungkin, bagi mereka, rasanya menyenangkan kalau dianggap sebagai orang kaya.

Orang semacam itu biasanya, dan hampir pasti, bukan orang kaya. Karena orang yang benar-benar kaya justru tidak peduli apakah orang lain menganggapnya kaya atau tidak. Karenanya, lebih banyak orang kaya yang kalem—dalam arti tidak bertingkah macam-macam—daripada orang yang suka pamer apa saja demi tujuan eksis.

Sebagian orang kaya, yang berpikir jauh ke depan, bahkan menyadari bahwa menjadi kaya—dalam hal ini benar-benar telah menjadi orang kaya—membutuhkan biaya yang kadang sangat mahal. Khususnya dalam hal pajak. Orang kaya membayar pajak jauh lebih besar dibanding orang yang tidak kaya.

Tinggal di rumah mewah dan besar, misalnya, harus membayar pajak lebih besar daripada tinggal di rumah sederhana. Mengendarai mobil mahal harus membayar pajak jauh lebih besar, dibanding mengendarai mobil biasa atau bahkan sepeda motor. Apalagi kalau punya mobil banyak. Daftar ini bisa dilanjutkan pada hal-hal lain. Dalam setahun, pajak yang wajib dibayar bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta, bahkan miliaran. Itu adalah “ongkos tampak kaya”.

Sebagian mereka pun kemudian berpikir, “Kenapa aku harus menghambur-hamburkan banyak uang, ratusan juta setiap tahun, demi tampak kaya?”

Latar belakang pikiran semacam itu lalu menuntun sebagian mereka untuk mengubah gaya hidup, dan belakangan banyak orang kaya yang menjalani hidup lebih sederhana. Mereka tinggal di rumah nyaman yang sederhana, mereka mengendarai mobil yang sederhana, dan menjalani gaya hidup bersahaja. Hasilnya, mereka tetap kaya, sekaligus tidak perlu membayar pajak ratusan juta. Uang yang tadinya dipakai untuk bayar pajak bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih produktif.

Mungkin kita berpikir, “Kalau menjalani hidup sederhana, nanti tidak kelihatan kaya, dong?”

Kalau kita berpikir seperti itu, kita pasti tidak/belum kaya! Karena orang yang benar-benar kaya tidak lagi peduli dengan urusan “tampak” seperti yang kita kejar mati-matian. Orang yang benar-benar kaya berpikir lebih simpel, “Pokoknya aku kaya, dan bodo amat dengan penilaian orang lain!”

Buah dari Langit

Tiap lihat Jack Ma muncul di timeline, dengan mukanya yang "innocent" itu, aku seperti diingatkan bahwa "wong bejo ngalahke wong pinter" itu benar-benar nyata, bisa terjadi, bahkan dalam skala spektakuler.

Jack Ma adalah contoh nyata "orang beruntung mengalahkan orang pintar".

Jack Ma bisa dibilang orang yang benar-benar sukses tanpa privilese. Latar belakangnya miskin, pendidikannya pas-pasan, penampilannya mungkin tidak meyakinkan, sementara teman-temannya menyepelekan impiannya. Saat membangun Alibaba, dia bahkan tidak bisa bikin alamat e-mail.

Salah satu bacaan favoritku adalah biografi orang-orang sukses, dan aku telah membaca biografi/kisah hampir semua orang yang namanya tercantum di Forbes. Termasuk Jack Ma, tentu saja. Melalui riset dan pembelajaran itu, aku punya gambaran apa penyebab (penting) kesuksesan mereka.

Sebelumnya, mungkin perlu kukatakan. The Conversation pernah merilis artikel ilmiah mengenai penyebab kenapa orang-orang bisa sukses. Yaitu privilese dan kebetulan! Terlepas dari tumpukan buku bisnis dan inspirasional yang pernah kubaca, aku setuju pada isi artikel itu.

Karena nyatanya memang itulah yang terjadi, setidaknya pada daftar orang yang namanya tercantum di Forbes. Tentu saja mereka akan mengatakan bahwa kunci suksesnya adalah kerja keras atau bahkan berdoa. Tapi ujung-ujungnya hanya dua itu tadi; privilese dan/atau kebetulan.

Agar ocehan ini cepat rampung, langsung saja pada Jack Ma, yang sejak tadi ingin kuocehkan.

Jack Ma tidak punya privilese. Aku telah merisetnya habis-habisan, jadi aku tahu betul soal ini. Tapi dia punya satu hal yang mengubah segalanya... kebetulan! Aku menyebutnya "timing".

Timing, waktu yang tepat, itulah "kebetulan luar biasa", hampir menyerupai keajaiban, yang dimiliki Jack Ma, hingga dia menjadi "wong bejo ngalahke wong pinter". Soal kecerdasan, dia bisa dibilang sangat standar, biasa saja. Tapi soal keberuntungan... ya, dia memilikinya.

Dan "kebetulan" yang dialami Jack Ma sebenarnya sangat sederhana. Waktu itu belum ada situs yang membahas produk-produk China di internet, jadi dia membuatnya. Alibaba itulah hasilnya. Sudah, itu saja! Dan hanya "itu saja", dia menjadi miliuner. Karena "timing"-nya sangat tepat.

Jangan salah paham. Ocehan ini tidak bermaksud mengajak siapa pun tidak usah belajar/bekerja/berdoa agar sukses. Tapi menunjukkan sisi lain penyebab kesuksesan yang mungkin belum sempat kita pikirkan. Bagaimana pun, belajar, bekerja, semangat, dan berdoa, tetap saja penting.

Tetapi, sekarang kita tahu, ada 2 hal yang sangat menentukan kesuksesan seseorang. Privilese dan kebetulan. Artinya, kalau memang tidak punya privilese, kita bisa "mengandalkan" kebetulan. Bagaimana caranya?

Menurutku, caranya adalah terus belajar, agar pikiran selalu terbuka.

"Kebetulan" itu "keberuntungan", dan keberuntungan seperti buah dari langit—persis seperti apel Newton.

Saat buah keberuntungan jatuh, hanya pikiran terbuka yang bisa menangkapnya. Tepat sama seperti Newton memahami gravitasi, padahal jutaan orang lain juga kejatuhan apel.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Agustus 2020.

Seminggu Tak Lihat Twitter

Seminggu gak lihat Twitter. Kayaknya aku ketinggalan banyak hal. Mungkin beberapa hari ke depan juga belum tentu bisa masuk Twitter lagi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 September 2020.

Noffret’s Note: Tilik

Dini hari gini orang-orang ternyata lagi ribut film "Tilik", antara yang suka dan gak suka, dengan berbagai alasan panjang lebar.

Sejujurnya, aku termasuk yang gak suka film itu, dan gak tertarik menonton. Alasannya sepele, itu bukan jenis film kesukaanku. Udah, gitu aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Agustus 2020.

Suara Melengking

Suara anak kecil tuh melengking, khas suara anak-anak. Ketika suara mereka dikeraskan toa, hasilnya sangat memekakkan dan menyakiti telinga orang-orang yang mendengarnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Agustus 2020.

Sabtu, 10 April 2021

Jodoh yang Sempurna

Bibiku bilang, "Tak perlu khawatir, di satu sudut bumi,
kamu akan temukan jodohmu." Kedengarannya indah. 
Masalahnya, bumi tidak punya sudut!


Mencari jodoh bisa jadi hal sulit. Dan mencari jodoh yang sempurna bisa sepuluh kali lebih sulit. Mungkin di luar sana ada orang-orang yang sungguh sempurna—secara fisik, psikis, pendidikan, latar belakang, hingga akhlak. Sempurna, luar biasa, tanpa cela. Yang jadi masalah, orang sempurna seperti itu belum tentu berjodoh dengan kita.

Karenanya, dalam urusan perjodohan—dan menentukan seseorang untuk jadi pasangan—kebanyakan kita lebih cenderung realistis daripada idealis. Karena kita sadar tidak mungkin bisa meraih semuanya, kita pun menentukan skala prioritas. Pada akhirnya, jodoh kita biasanya orang yang memenuhi prioritas tertinggi kita... meski mungkin tidak sempurna.

Contohnya seperti ini. Secara idealis, wanita tentu ingin punya pasangan pria yang ganteng, pintar, kaya, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi wanita juga [akhirnya] menyadari bahwa “idealisme” semacam itu bisa membuatnya sulit menemukan pasangan. Akhirnya, wanita pun menentukan skala prioritas, dan pria yang [akhirnya] dipilih adalah yang memenuhi prioritas tertinggi.

Dalam kualitas ganteng, pintar, dan kaya—sebagai misal—ada wanita yang prioritas tertingginya adalah ganteng. Jadi, bagi wanita ini, asal pasangannya ganteng, ya sudah, itu saja sudah cukup. Soal pintar dan kaya bisa diusahakan sambil jalan. Yang penting dapat pasangan ganteng dulu!
 
Ada pula wanita yang prioritas tertingginya adalah pasangan kaya. Wanita seperti itu biasanya berpikir, “Sebagian besar masalah hidup diselesaikan dengan uang! Bodo amat pasangan ganteng, kalau pusing mikir cicilan saban bulan!” Karena prioritas tertingginya adalah pasangan kaya, wanita ini pun tidak terlalu masalah kalau kebetulan pasangannya tidak ganteng-ganteng amat. Yang penting kaya!

Lalu ada wanita yang berpikir untuk mendapat pasangan cerdas. Alasannya, “Orang-orang sukses biasanya orang-orang cerdas. Jadi kalau aku berpasangan dengan pria cerdas, setidaknya bisa berharap memiliki masa depan yang baik.”

Dari perbedaan prioritas semacam itu, manakah yang benar? Tidak ada yang benar atau salah, wong itu hak masing-masing orang dalam menentukan prioritas pasangan bagi dirinya sendiri. Karena hampir tidak ada orang yang sempurna, maka pasangan sempurna bagi orang per orang adalah sosok yang memenuhi kriteria tertingginya. Dan itu sah sekaligus alamiah.

Hal semacam itu pun terjadi pada pria. Kaum pria tentu mengkhayalkan pasangan wanita yang sempurna; cantik, seksi, pintar masak, salihah, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi pada akhirnya, pria juga akan menentukan skala prioritas terkait wanita yang ingin ia jadikan pasangan, karena menyadari sulitnya menemukan wanita yang benar-benar sempurna seperti yang ia khayalkan.

Ada pria yang prioritas tertingginya adalah cantik/seksi. Karena prioritas tertingginya seperti itu, dia pun cenderung tidak terlalu peduli apakah si wanita pintar masak dan sebagainya. Pokoknya cantik dan seksi! Urusan masak bisa belajar lewat YouTube! Atau pesan GoFood! Bodo amat! Intinya, dia sudah bahagia jika pasangannya cantik, dan dia akan menganggapnya sebagai pasangan yang sempurna.

Pria lain, bisa jadi, ingin punya pasangan yang salihah, dan dia menetapkan hal itu sebagai prioritas tertinggi. Bagi dia, sebagaimana yang dilagukan Rhoma Irama, “Istri salihah adalah perhiasan terindah.” Apalah arti memiliki kekayaan dunia dan seisinya jika tidak memiliki istri salihah? Bagi pria ini, tidak cantik tidak apa-apa. Tidak pintar masak juga tidak apa-apa. Yang penting salihah!

Pria lain lagi, menetapkan pintar masak sebagai prioritas tertinggi dalam memilih jodoh atau pasangan. Tidak terlalu cantik, bagi pria ini, tidak apa-apa, toh bisa melakukan perawatan sambil jalan, dan lama-lama pasangannya makin cantik. Yang penting pintar masak!

Sebagai pria, saya juga punya khayalan mengenai pasangan sempurna. Deskripsinya pasti terdengar klise, karena juga ada dalam khayalan jutaan pria lainnya—dari cantik, seksi, cerdas, pintar masak, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi saya juga menyadari, impian mendapat pasangan semacam itu bisa jadi tidak realistis. Karena belum tentu ada wanita yang komplit seperti itu. Dan kalaupun ada, dia belum tentu mau jadi pasangan saya!

Mari membicarakan soal ini secara ilmiah, agar lebih mudah dipahami.

Keindahan fisik, kecerdasan, sampai kemampuan dalam bidang tertentu (misal pintar masak), sering kali merupakan hasil proses panjang campur kerja keras. Dan karena kemampuan serta waktu kita terbatas, sering kali pula kita hanya memiliki satu atau dua dari banyak kualitas manusiawi yang biasanya diimpikan banyak orang.

Misalnya begini. Seorang pria mungkin akan dianggap sempurna, jika dia berwajah ganteng, fisik yang atletis, memiliki kecerdasan mengagumkan, pintar bergaul dengan siapa saja, dan, di atas semuanya, juga kaya-raya. Sosok semacam itu kemungkinan besar akan dinilai sempurna, khususnya di mata wanita.

Persoalannya adalah... sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, untuk memenuhi kriteria sempurna semacam itu. 

Memiliki fisik atletis itu butuh kerja keras dan proses panjang, latihan tanpa henti, menghabiskan jam-jam melelahkan di gym, sampai menjaga makanan sehari-hari, dan sebagainya, dan sebagainya. Kita memang bisa memfokuskan diri pada pembentukan fisik hingga tampak sempurna—kekar, berotot, dengan perut kotak-kotak, dan kondisi ideal semacam itu bisa terus terjaga—tapi biasanya kita akan kesulitan untuk mengembangkan kelebihan lain. Karenanya, banyak pria yang fisiknya sempurna, tapi kecerdasannya biasa-biasa saja.

Sama seperti membentuk keindahan fisik, memiliki kecerdasan—apalagi di atas rata-rata—juga butuh proses panjang yang melelahkan. Ada ribuan buku yang dibaca, ada segunung pengetahuan yang dipelajari, ada ribuan malam penuh kegelisahan, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Dengan segala kerja keras pembelajaran yang melelahkan semacam itu, waktu untuk hal-hal lain jelas akan tersita. Boro-boro meluangkan waktu ke salon atau gym untuk membentuk tubuh, untuk hal-hal lain yang lebih penting semacam makan dan mandi pun kadang sering lupa. Karenanya, orang-orang yang memiliki kecerdasan luar biasa, umumnya memiliki tampilan fisik biasa-biasa saja.

Itu baru dua contoh kelebihan—keindahan fisik atau kecerdasan. Kita bahkan belum membicarakan prestasi atau pencapaian lainnya. Tetapi bahkan untuk memiliki satu kelebihan saja, rata-rata kita sudah kehabisan waktu. Karenanya, secara manusiawi, sangat sulit menemukan orang yang memiliki segalanya—keindahan fisik, kecerdasan otak, serta sederet pencapaian mengagumkan lainnya.

Sebagai pria, saya merefleksikan hal itu pada sosok wanita. Tentu mengagumkan kalau kita—khususnya saya—bisa menemukan wanita yang cantik, cerdas, seksi, dan pintar masak. Tapi masing-masing kelebihan itu—cantik, cerdas, seksi, dan pintar masak—adalah kepemilikan atau pencapaian yang membutuhkan proses panjang. Karenanya sulit—bahkan saya sering skeptis—bisa menemukan wanita yang memiliki semua kualitas/kemampuan tadi.

Di sekitar kita, banyak wanita yang cantik dan seksi, plus berotak cerdas. Tapi mungkin tidak bisa masak. Wajar dan manusiawi. Ada pula yang cerdas dan pintar masak, tapi fisiknya biasa-biasa saja. Sekali lagi, wajar dan manusiawi. Karena setiap kita, nyatanya, tidak bisa memiliki semuanya, karena waktu dan kemampuan kita memang terbatas. 

Pada akhirnya, jodoh atau pasangan sempurna memang bukan sosok sempurna sebagaimana yang kita khayalkan, tapi sosok sempurna sebagaimana yang kita butuhkan. 

Teringat Awkarin

Kemarin diajak teman nonton Hobbs & Shaw. Sepanjang film, selama melihat Hattie Shaw (Vanessa Kirby), aku terus teringat Awkarin, karena menurutku sangat mirip.

Waktu aku bilang ke teman, dia bilang, "Kamu mah lihat siapa pun ingatnya Awkarin."

Ya nggak gitu jugaaaa! Hadeeeeh!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Agustus 2020.

Ndongeng Extraction

Bocah 1: Jaremu, film Extraction kae lakone sopo, bajingane sopo?

Bocah 2: Bajingan kabeh, ora ono lakone!

Percakapan-Percakapan Sederhana

Aku suka menulis percakapan-percakapan sederhana yang menyenangkan, dengan teman atau dengan orang asing. Ini salah satunya.

Catatan baru: Lelaki Tua dan Bocah » https://bit.ly/2KNailt


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 November 2019.

Baru Sadar Malam Minggu

 Baru sadar ini malam Minggu gara-gara masuk Twitter.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Juli 2020.

Kamis, 01 April 2021

Keping-Keping Peristiwa

Sambil nunggu udud habis.

Ada sopir bus di China yang bunuh diri dengan mengajak 20 penumpangnya. Dia ceburkan bus yang dikendarainya ke danau, hingga tenggelam, dan semua orang di dalamnya tewas. Sebelum itu, dia mengirim "pesan terakhir" ke pasangannya, hingga orang-orang pun tahu dia bunuh diri.

Ketika kabar itu masuk media massa, masyarakat mengutuk sopir bus tersebut. Semua caci-maki berhamburan. 

Tetapi, belakangan terungkap kalau sopir bus itu bunuh diri—dan membawa orang lain turut serta—sebagai bentuk protes atas kemalangan yang menimpanya. Dia butuh publisitas!

Pemerintah menggusur rumah sopir bus tadi, untuk suatu keperluan. Sayangnya, ganti rugi yang diberikan tidak cukup bagi si sopir bus untuk membeli rumah baru. Dia stres, merasa tak berdaya, dan memutuskan bunuh diri. 

Seketika, masyarakat berhenti mengutuk, dan jadi bersimpati.

Setiap peristiwa—yang kita saksikan, kita dengar, kita baca di media, kita tonton di televisi, atau bahkan yang kita alami—sering kali bukan gambaran utuh, melainkan hanya sekeping puzzle. Dan kita baru bisa memahami gambaran utuhnya, jika bisa mengumpulkan semua keping yang ada.

Peristiwa per peristiwa cuma sekeping puzzle, sering kali tidak berdiri sendiri, dan sebenarnya tidak memberi tahu apa-apa, selain hanya kilasan peristiwa itu saja. Untuk tahu gambaran utuhnya, kita harus mencari dan mengumpulkan semua keping puzzle, dan menatanya secara rapi.

Sebuah gambaran utuh kadang memiliki sedikit keping puzzle, sementara gambar utuh lain—karena ukurannya besar—memiliki banyak keping puzzle. Intinya, semakin banyak keping puzzle yang bisa kita cari dan temukan, semakin luas pula pemahaman yang kita dapat. Dan itulah perspektif.

Yang jadi masalah, otak manusia tidak (terbiasa) bekerja dengan cara semacam itu. Alih-alih berpikir rapi dan runtut, otak kita cenderung berpikir acak; keping per keping. Karena memang dasarnya otak kita hanya mampu memikirkan satu hal di satu waktu. Ditambah lupa, tentu saja.

Otak (kebanyakan) kita bahkan semakin “kacau” di zaman sekarang, ketika gelontoran berita berdatangan seperti kilat. Kita jadi lebih mudah teralihkan dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Ditambah kemungkinan lupa, kita semakin kesulitan untuk memahami gambar besar peristiwa.

Di antara seribu berita (peristiwa) yang kita baca, misalnya, kemungkinan kita tidak melihat kesalingterkaitannya, karena aneka macam berita bertumpuk di memori kita, untuk kemudian terlupa. Padahal, dari banyak berita yang kita baca, sering kali saling terkait dan terjalin erat.

“Kelemahan manusiawi” semacam itu sebenarnya berkat bagi manusia, karena memungkinkan kita bisa menjalani kehidupan dengan santai. Satu peristiwa datang, satu peristiwa lewat—begitu saja. Minim stres. Tetapi, seiring dengan itu, kita juga mudah naif dalam memahami sesuatu.

Seperti kasus tempo hari, misalnya, saat seorang anak perempuan di Jakarta membunuh bocah tetangganya, dan menyimpan jasad si bocah dalam lemari, lalu menyerahkan diri ke polisi, serta mengakui perbuatannya dengan santai. Seperti kita tahu kemudian, itu cuma sekeping puzzle.

Karena baru melihat keping puzzle tersebut, kita pun mudah menghakimi anak perempuan itu, bahkan menuduhnya psikopat dan aneka tuduhan lain. Apalagi ada gambar-gambar mengerikan yang ia buat di bukunya. Segala caci-maki kita lancarkan kepadanya, bahkan berharap dia dihukum berat.

Tetapi kemudian muncul keping puzzle lain. Ternyata, anak perempuan itu korban kekerasan seksual orang-orang terdekatnya, dan dia sedang hamil akibat perkosaan yang menimpanya. Ketika keping ini muncul, seluruh perspektif kita berubah.

Cuma 2 keping puzzle, tapi efeknya besar.

Hanya dengan dua keping puzzle, sebuah peristiwa bisa terbalik 180 derajat.

Sekarang bayangkan apa yang sekiranya bisa terjadi, jika kita bisa mengumpulkan seratus keping puzzle, misalnya, untuk melihat sebuah gambaran besar... yang mungkin tidak dilihat orang-orang lain.

Kau akan menjadi orang aneh, tentu saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Juli 2020.

Simpanse Bernama Oliver

Bertahun-tahun lalu, tepatnya pada 1960, pasangan Frank dan Janet Berger mengadopsi simpanse, yang belakangan mereka namai Oliver. Simpanse itu mereka temukan di pasar gelap di Kongo. Mereka membawa pulang simpanse itu. Semula tidak ada masalah, tapi Oliver tahu ia "anak adopsi".

Seiring perjalanan waktu, Oliver terus tumbuh, dan menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan. Dia tampak selalu berusaha mendekati Janet—bukan sebagai “ibu”, tapi sebagai “lawan jenis”. Oliver juga menunjukkan tanda “bernafsu” pada Janet, bahkan belakangan berusaha memperkosa Janet.

Akhirnya, dengan maksud agar tidak terjadi hal-hal lebih jauh, pasangan Berger menyerahkan simpanse tersebut kepada Ralp Helfer, yang lalu membawanya ke Discovery Channel. DC meliput simpanse itu hingga terkenal di dunia, dan menarik perhatian para ilmuwan serta peneliti.

Yang menarik, penelitian para ilmuwan menemukan sesuatu yang aneh pada Oliver. Dia tidak seperti simpanse pada umumnya. Selain ciri fisik, seperti bentuk gigi, mereka menemukan "gen yang tidak biasa", hingga berpikir bahwa Oliver adalah anak "blasteran" simpanse dan manusia.

Waktu mempelajari soal itu, aku berpikir dan lebih percaya kalau Oliver benar-benar simpanse (bukan hasil reproduksi simpanse dan manusia). Cuma mungkin dia mengalami deviasi, yang menjadikannya "tidak mirip simpanse seperti umumnya". Apalagi ditambah dia diadopsi manusia.

Ocehan ini kalau kuteruskan bisa panjang sekali, karena harus ngorek-ngorek ilmu genetika era '70-an. Intinya, sebenarnya aku mau ngemeng, "Kalau ingin mengadopsi anak, sebaiknya lakukan ketika ia masih bayi. Agar ketika ia tumbuh besar, ia akan memandangmu sebagai orang tua."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Desember 2019.

Masalah Tak Selesai

Ada kebenaran dan ada kebenaran-mayoritas. Dan itulah masalah-tak-selesai umat manusia.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Juli 2020.

Tebak-tebakan Sama Mbakyu

Aku ingin tebak-tebakan sama mbakyuku tentang organ tubuh manusia. Apppeeeuuuuuh...

Mau tidur, tapi teringat twit kemarin, dan cekikikan sendiri; ingin tebak-tebakan soal organ tubuh manusia. Apppeeeeeuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22-24 November 2019.

Soal Jambu

 Jambu + 1 = apa?

 
;