Sabtu, 10 April 2021

Jodoh yang Sempurna

Bibiku bilang, "Tak perlu khawatir, di satu sudut bumi,
kamu akan temukan jodohmu." Kedengarannya indah. 
Masalahnya, bumi tidak punya sudut!


Mencari jodoh bisa jadi hal sulit. Dan mencari jodoh yang sempurna bisa sepuluh kali lebih sulit. Mungkin di luar sana ada orang-orang yang sungguh sempurna—secara fisik, psikis, pendidikan, latar belakang, hingga akhlak. Sempurna, luar biasa, tanpa cela. Yang jadi masalah, orang sempurna seperti itu belum tentu berjodoh dengan kita.

Karenanya, dalam urusan perjodohan—dan menentukan seseorang untuk jadi pasangan—kebanyakan kita lebih cenderung realistis daripada idealis. Karena kita sadar tidak mungkin bisa meraih semuanya, kita pun menentukan skala prioritas. Pada akhirnya, jodoh kita biasanya orang yang memenuhi prioritas tertinggi kita... meski mungkin tidak sempurna.

Contohnya seperti ini. Secara idealis, wanita tentu ingin punya pasangan pria yang ganteng, pintar, kaya, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi wanita juga [akhirnya] menyadari bahwa “idealisme” semacam itu bisa membuatnya sulit menemukan pasangan. Akhirnya, wanita pun menentukan skala prioritas, dan pria yang [akhirnya] dipilih adalah yang memenuhi prioritas tertinggi.

Dalam kualitas ganteng, pintar, dan kaya—sebagai misal—ada wanita yang prioritas tertingginya adalah ganteng. Jadi, bagi wanita ini, asal pasangannya ganteng, ya sudah, itu saja sudah cukup. Soal pintar dan kaya bisa diusahakan sambil jalan. Yang penting dapat pasangan ganteng dulu!
 
Ada pula wanita yang prioritas tertingginya adalah pasangan kaya. Wanita seperti itu biasanya berpikir, “Sebagian besar masalah hidup diselesaikan dengan uang! Bodo amat pasangan ganteng, kalau pusing mikir cicilan saban bulan!” Karena prioritas tertingginya adalah pasangan kaya, wanita ini pun tidak terlalu masalah kalau kebetulan pasangannya tidak ganteng-ganteng amat. Yang penting kaya!

Lalu ada wanita yang berpikir untuk mendapat pasangan cerdas. Alasannya, “Orang-orang sukses biasanya orang-orang cerdas. Jadi kalau aku berpasangan dengan pria cerdas, setidaknya bisa berharap memiliki masa depan yang baik.”

Dari perbedaan prioritas semacam itu, manakah yang benar? Tidak ada yang benar atau salah, wong itu hak masing-masing orang dalam menentukan prioritas pasangan bagi dirinya sendiri. Karena hampir tidak ada orang yang sempurna, maka pasangan sempurna bagi orang per orang adalah sosok yang memenuhi kriteria tertingginya. Dan itu sah sekaligus alamiah.

Hal semacam itu pun terjadi pada pria. Kaum pria tentu mengkhayalkan pasangan wanita yang sempurna; cantik, seksi, pintar masak, salihah, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi pada akhirnya, pria juga akan menentukan skala prioritas terkait wanita yang ingin ia jadikan pasangan, karena menyadari sulitnya menemukan wanita yang benar-benar sempurna seperti yang ia khayalkan.

Ada pria yang prioritas tertingginya adalah cantik/seksi. Karena prioritas tertingginya seperti itu, dia pun cenderung tidak terlalu peduli apakah si wanita pintar masak dan sebagainya. Pokoknya cantik dan seksi! Urusan masak bisa belajar lewat YouTube! Atau pesan GoFood! Bodo amat! Intinya, dia sudah bahagia jika pasangannya cantik, dan dia akan menganggapnya sebagai pasangan yang sempurna.

Pria lain, bisa jadi, ingin punya pasangan yang salihah, dan dia menetapkan hal itu sebagai prioritas tertinggi. Bagi dia, sebagaimana yang dilagukan Rhoma Irama, “Istri salihah adalah perhiasan terindah.” Apalah arti memiliki kekayaan dunia dan seisinya jika tidak memiliki istri salihah? Bagi pria ini, tidak cantik tidak apa-apa. Tidak pintar masak juga tidak apa-apa. Yang penting salihah!

Pria lain lagi, menetapkan pintar masak sebagai prioritas tertinggi dalam memilih jodoh atau pasangan. Tidak terlalu cantik, bagi pria ini, tidak apa-apa, toh bisa melakukan perawatan sambil jalan, dan lama-lama pasangannya makin cantik. Yang penting pintar masak!

Sebagai pria, saya juga punya khayalan mengenai pasangan sempurna. Deskripsinya pasti terdengar klise, karena juga ada dalam khayalan jutaan pria lainnya—dari cantik, seksi, cerdas, pintar masak, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi saya juga menyadari, impian mendapat pasangan semacam itu bisa jadi tidak realistis. Karena belum tentu ada wanita yang komplit seperti itu. Dan kalaupun ada, dia belum tentu mau jadi pasangan saya!

Mari membicarakan soal ini secara ilmiah, agar lebih mudah dipahami.

Keindahan fisik, kecerdasan, sampai kemampuan dalam bidang tertentu (misal pintar masak), sering kali merupakan hasil proses panjang campur kerja keras. Dan karena kemampuan serta waktu kita terbatas, sering kali pula kita hanya memiliki satu atau dua dari banyak kualitas manusiawi yang biasanya diimpikan banyak orang.

Misalnya begini. Seorang pria mungkin akan dianggap sempurna, jika dia berwajah ganteng, fisik yang atletis, memiliki kecerdasan mengagumkan, pintar bergaul dengan siapa saja, dan, di atas semuanya, juga kaya-raya. Sosok semacam itu kemungkinan besar akan dinilai sempurna, khususnya di mata wanita.

Persoalannya adalah... sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, untuk memenuhi kriteria sempurna semacam itu. 

Memiliki fisik atletis itu butuh kerja keras dan proses panjang, latihan tanpa henti, menghabiskan jam-jam melelahkan di gym, sampai menjaga makanan sehari-hari, dan sebagainya, dan sebagainya. Kita memang bisa memfokuskan diri pada pembentukan fisik hingga tampak sempurna—kekar, berotot, dengan perut kotak-kotak, dan kondisi ideal semacam itu bisa terus terjaga—tapi biasanya kita akan kesulitan untuk mengembangkan kelebihan lain. Karenanya, banyak pria yang fisiknya sempurna, tapi kecerdasannya biasa-biasa saja.

Sama seperti membentuk keindahan fisik, memiliki kecerdasan—apalagi di atas rata-rata—juga butuh proses panjang yang melelahkan. Ada ribuan buku yang dibaca, ada segunung pengetahuan yang dipelajari, ada ribuan malam penuh kegelisahan, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Dengan segala kerja keras pembelajaran yang melelahkan semacam itu, waktu untuk hal-hal lain jelas akan tersita. Boro-boro meluangkan waktu ke salon atau gym untuk membentuk tubuh, untuk hal-hal lain yang lebih penting semacam makan dan mandi pun kadang sering lupa. Karenanya, orang-orang yang memiliki kecerdasan luar biasa, umumnya memiliki tampilan fisik biasa-biasa saja.

Itu baru dua contoh kelebihan—keindahan fisik atau kecerdasan. Kita bahkan belum membicarakan prestasi atau pencapaian lainnya. Tetapi bahkan untuk memiliki satu kelebihan saja, rata-rata kita sudah kehabisan waktu. Karenanya, secara manusiawi, sangat sulit menemukan orang yang memiliki segalanya—keindahan fisik, kecerdasan otak, serta sederet pencapaian mengagumkan lainnya.

Sebagai pria, saya merefleksikan hal itu pada sosok wanita. Tentu mengagumkan kalau kita—khususnya saya—bisa menemukan wanita yang cantik, cerdas, seksi, dan pintar masak. Tapi masing-masing kelebihan itu—cantik, cerdas, seksi, dan pintar masak—adalah kepemilikan atau pencapaian yang membutuhkan proses panjang. Karenanya sulit—bahkan saya sering skeptis—bisa menemukan wanita yang memiliki semua kualitas/kemampuan tadi.

Di sekitar kita, banyak wanita yang cantik dan seksi, plus berotak cerdas. Tapi mungkin tidak bisa masak. Wajar dan manusiawi. Ada pula yang cerdas dan pintar masak, tapi fisiknya biasa-biasa saja. Sekali lagi, wajar dan manusiawi. Karena setiap kita, nyatanya, tidak bisa memiliki semuanya, karena waktu dan kemampuan kita memang terbatas. 

Pada akhirnya, jodoh atau pasangan sempurna memang bukan sosok sempurna sebagaimana yang kita khayalkan, tapi sosok sempurna sebagaimana yang kita butuhkan. 

 
;