Orang kaya, menurutku, adalah orang yang sehat,
tidak punya utang, dan tidak dikejar cicilan. Itu menurutku.
Kalau menurutmu beda, ya tidak apa-apa.
Di Twitter, berulang kali muncul kasus aneh, yang viral hingga sampai di timeline saya. Kasusnya bisa dibilang serupa, yaitu orang-orang yang berutang pada teman-teman atau orang-orang yang dikenalnya, dengan berbagai alasan, tapi belakangan tidak membayar utangnya, juga dengan berbagai alasan.
Yang geblek, kisah-kisah itu juga mengungkap bahwa orang yang berutang ternyata menggunakan uang hasil ngutangnya untuk hal-hal konsumtif, semisal untuk pelesir ke luar kota atau luar negeri, lalu memosting foto-fotonya di Instagram, dengan penampilan sok kaya.
Yang mengkhawatirkan, kasus semacam itu tidak hanya terjadi satu kali dua kali, tapi berkali-kali, dilakukan oleh banyak orang. Artinya, kasus “orang berusaha sok kaya” sudah semacam wabah.
Utang piutang mungkin hal yang umum terjadi dalam interaksi sosial antarteman, karena kadang kita menghadapi kebutuhan mendadak ketika sedang tidak punya uang. Keberadaan teman yang baik—dan kebetulan punya uang—bisa menjadi penolong, dan kita pun berutang pada mereka. Tentu, setelah itu, kita berusaha membayar utang tersebut secepatnya.
Untuk hal semacam itu tentu wajar, dan kita pun bisa jadi tak terlalu mempermasalahkan. Wong nyatanya lagi butuh, dan nyatanya dia juga bertanggung jawab atas piutang yang kita berikan.
Yang membuat orang-orang murka, hingga menceritakan kisah mereka di Twitter, karena orang yang berutang pada mereka tidak bertanggung jawab. Sewaktu berutang, menggunakan aneka dalih dan alasan, sampai orang yang akan diutangi jadi tidak enak, dan terpaksa memberikan utang yang diminta, meski sebenarnya mereka juga lagi pas-pasan. Eh, giliran utang sudah diberikan, uangnya dipakai untuk bertingkah sok kaya—sambil posting foto-foto hedon di Instagram—sementara utangnya tidak juga dibayar.
Kisah-kisah semacam itu, yang muncul di timeline saya, kadang dilengkapi dengan nama dan foto-foto si pelaku (yang biasanya diambil dari akun Instagram pelaku). Ada yang laki-laki, ada pula perempuan.
Berdasarkan foto-foto yang saya lihat, mereka yang berutang-tapi-tidak-tanggung-jawab itu rata-rata berpenampilan menarik, dengan gaya seperti orang [yang benar-benar] kaya. Tetapi fakta bahwa mereka sampai berutang demi bisa tampak kaya, menunjukkan kalau mereka sebenarnya tidak kaya.
Kebutuhan untuk eksis, di zaman ini, tampaknya memang sudah menjadi semacam kebutuhan primer, selain kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Ada banyak orang yang merasa harus selalu eksis, di mana pun, di semua media sosial. Sebegitu ngebet eksis, sampai mereka—sadar atau tak sadar—melakukan aneka upaya yang kadang konyol dan tak masuk akal.
Sering kali saya tidak paham saat mendapati orang-orang yang melakukan hal-hal tertentu, yang ditujukan untuk “sekadar eksis”. Ada orang lagi makan mi instan, lalu merekam aktivitas makannya, sambil berkata dengan jumawa, “Hei, guys, aku lagi makan mi, nih.”
Apa manfaatnya melakukan hal semacam itu? Lagi pula, apa perlunya dia memberi tahu dunia kalau sedang makan mi instan? Demi Tuhan, mi instan! Memangnya kenapa kalau dia makan mi instan? Apa pentingnya sampai dia merasa perlu memberi tahu siapa pun bahwa dia sedang makan mi instan?
Mungkin saya terlalu lama hidup dalam kesunyian, hingga sering kebingungan dengan tingkah orang-orang di luar sana. Atau mungkin pula karena saya memang kurang gaul, hingga tidak tahu apa itu “eksis”.
Tapi baiklah, saya akan berusaha memaklumi orang yang merekam adegan dirinya sedang makan mi instan, seolah dia satu-satunya orang di dunia yang makan mi instan. Oke, saya tidak akan mempersoalkan, toh pamer atau ingin eksis adalah hak setiap orang.
Tapi bagaimana dengan orang-orang tadi—yang hobi ngutang ke orang lain, demi eksis dan bertingkah sok kaya?
Akhirnya saya mulai memahami, kenapa ada orang-orang yang segitu ngebetnya ingin tampak kaya. Wong paling makan mi instan saja dipamerkan, tentu lebih menyenangkan kalau bisa pamer sesuatu yang lebih hebat. Dari pamer barang-barang mahal sampai pamer pelesiran.
Rajin pangkal pandai, dan pamer pangkal eksis. Semakin rajin kita pamer, semakin cepat kita eksis. Orang mungkin tidak peduli kalau kau makan mi instan, tapi orang-orang mungkin akan tertarik kalau kau pamer naik kapal pesiar.
Kalau memang mampu pamer foto di kapal pesiar, tentu tidak masalah. Sekali lagi, pamer adalah hak setiap orang. Kalau kau memang punya uang untuk membiayai aktivitas pamermu, bahkan iblis di neraka tidak berhak meributkan. Tapi jika dalam aktivitas pamer itu ada orang-orang yang merana karena uang yang mereka pinjamkan tidak dikembalikan... itu tentu mengkhawatirkan.
Orang mungkin memang berbeda-beda. Ada yang tak peduli dengan penampilan, ada pula yang sangat perhatian pada penampilan. Mereka yang suka pamer agar kelihatan kaya—meski untuk itu harus ngutang sana-sini—pasti termasuk orang yang sangat memperhatikan penampilan. Mungkin, bagi mereka, rasanya menyenangkan kalau dianggap sebagai orang kaya.
Orang semacam itu biasanya, dan hampir pasti, bukan orang kaya. Karena orang yang benar-benar kaya justru tidak peduli apakah orang lain menganggapnya kaya atau tidak. Karenanya, lebih banyak orang kaya yang kalem—dalam arti tidak bertingkah macam-macam—daripada orang yang suka pamer apa saja demi tujuan eksis.
Sebagian orang kaya, yang berpikir jauh ke depan, bahkan menyadari bahwa menjadi kaya—dalam hal ini benar-benar telah menjadi orang kaya—membutuhkan biaya yang kadang sangat mahal. Khususnya dalam hal pajak. Orang kaya membayar pajak jauh lebih besar dibanding orang yang tidak kaya.
Tinggal di rumah mewah dan besar, misalnya, harus membayar pajak lebih besar daripada tinggal di rumah sederhana. Mengendarai mobil mahal harus membayar pajak jauh lebih besar, dibanding mengendarai mobil biasa atau bahkan sepeda motor. Apalagi kalau punya mobil banyak. Daftar ini bisa dilanjutkan pada hal-hal lain. Dalam setahun, pajak yang wajib dibayar bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta, bahkan miliaran. Itu adalah “ongkos tampak kaya”.
Sebagian mereka pun kemudian berpikir, “Kenapa aku harus menghambur-hamburkan banyak uang, ratusan juta setiap tahun, demi tampak kaya?”
Latar belakang pikiran semacam itu lalu menuntun sebagian mereka untuk mengubah gaya hidup, dan belakangan banyak orang kaya yang menjalani hidup lebih sederhana. Mereka tinggal di rumah nyaman yang sederhana, mereka mengendarai mobil yang sederhana, dan menjalani gaya hidup bersahaja. Hasilnya, mereka tetap kaya, sekaligus tidak perlu membayar pajak ratusan juta. Uang yang tadinya dipakai untuk bayar pajak bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih produktif.
Mungkin kita berpikir, “Kalau menjalani hidup sederhana, nanti tidak kelihatan kaya, dong?”
Kalau kita berpikir seperti itu, kita pasti tidak/belum kaya! Karena orang yang benar-benar kaya tidak lagi peduli dengan urusan “tampak” seperti yang kita kejar mati-matian. Orang yang benar-benar kaya berpikir lebih simpel, “Pokoknya aku kaya, dan bodo amat dengan penilaian orang lain!”