Kamis, 20 Oktober 2022

Saran Aneh yang Bisa Diikuti

Hal-hal seperti ini mestinya perlu "disosialisasikan"—
untuk tidak menyebut didoktrinkan—pada orang-orang 
yang belum menikah, agar mereka tidak hanya termakan 
doktrin "menikah akan membuatmu tenteram dan 
bahagia dan bla-bla-bla..."
@noffret


Teman saya punya saran yang aneh. Katanya, “Kalau kamu mau menikahi seorang perempuan, pastikan dia punya suara yang bagus.” 

Saya kaget, “Kenapa?” 

Dia menjelaskan, “Saat menikah nanti, kamu akan sering mendengar omelannya. Kalau suaranya bagus, setidaknya bisa dinikmati.”

Belakangan saya menyadari maksudnya. Kenyataannya, perempuan memang suka ngomel, atau minimal suka ngomong. Tanpa sadar, banyak perempuan yang menganggap suami bukan sebagai pasangan, tapi sebagai anaknya—semacam naluri keibuan yang kebablasan. 

Ketika pria menikah, dia tidak ingin berubah, dan tidak ingin pasangannya berubah. Sebaliknya, ketika wanita menikah, dia ingin berubah, sekaligus ingin mengubah pasangannya. [Dalam kondisi semacam itu, saya benar-benar bingung bagaimana orang bisa bahagia dalam pernikahan.]

Latar belakang itu pula yang menjadikan wanita suka ngomel pada pasangannya—itu dorongan bawah sadarnya yang memang ingin berubah, sekaligus ingin mengubah pasangannya. Karena di dunia ini tidak ada orang (pasangan) yang sempurna, wanita pun ngomel sepanjang waktu.

Apakah wanita yang tampak kalem dan pendiam saat di luar rumah, sama kalem dan pendiam saat di dalam rumah? Dulu saya mengira begitu! Tapi ternyata tidak. 

Saya pernah bilang ke seseorang, “Istrimu kalem dan pendiam sekali.” Dan dia langsung ngamuk, “KALEM DAN PENDIAM APAAN?”
 
Lalu dia ngoceh panjang lebar tentang istrinya yang suka ngomel, nyaris setiap hari. “Selalu saja ada yang salah,” dia berkata, “dan dia selalu ngomel.” Karenanya, dengan berat hati, dia mengakui, saat-saat menenangkan baginya adalah ketika istri (atau dirinya) sedang keluar rumah.

....
....

Di warung mi ayam, saya pernah ketiban sial. Tepat di depan saya ada pasangan pria-wanita (entah masih pacaran atau sudah menikah). Si wanita ngomoooooooong terus ke pasangannya, nyaris tanpa henti. Dan saya yang kebetulan ada di depannya ikut capek sekaligus stres mendengarnya. 

Sambil makan mi ayam—yang waktu itu jadi terasa tidak enak—saya membayangkan. Bahkan baru mendengar ocehan si wanita beberapa menit saja, saya sudah frustrasi. Bagaimana rasanya mendengar ocehannya sepanjang hari sepanjang malam? Oh, well, and they life happily ever after. 

Kadang, sewaktu-waktu, nyokap datang ke rumah saya. Dan setiap kali dia datang, rumah yang semula hening dan sunyi berubah ramai. Dia akan ngomooooong nyaris tanpa henti, tentang apa saja, dan saya benar-benar kelelahan menghadapinya. Nyatanya wanita memang suka ngomong. 

Kalau kamu pria dan sudah menikah, dan istrimu suka ngomel karena, misalnya, kamu suka main game, dia akan tetap ngomel umpama kamu berhenti main game sama sekali! Karena intinya bukan apakah kamu main game atau tidak, tapi karena dia memang suka ngomel, itu saja!

Bagi banyak wanita, tidak mengomeli pasangannya artinya ada yang salah—dia akan merasa bahwa ada sesuatu yang mestinya dia omeli. Kadang dia bahkan menganggap ngomel adalah bentuk kasih sayang. Sebaliknya, bagi pria, pasangan ngomel artinya ada yang salah. Ini kan kacau! 

Ketika stres, pria akan lebih banyak diam, karena dengan cara itulah stresnya mereda. Sebaliknya, ketika stres, wanita akan lebih banyak bicara, karena dengan cara itulah stresnya mereda. Jika keduanya sedang stres di waktu bersamaan, bayangkan bagaimana kacau hasilnya.

Hal-hal yang terkesan sepele tapi penting ini, sayangnya, tidak pernah diajarkan pada pasangan-pasangan yang akan menikah. Akibatnya, mereka membayangkan pernikahan akan seindah pacaran, ketika keduanya masih bebas sendiri-sendiri karena belum ada ikatan resmi/legal.

Orang-orang yang akan menikah mestinya diberi tahu bahwa pernikahan tidak seindah pacaran. Mereka memang bisa ngewe secara legal. Tapi di luar urusan ngewe, mereka akan menghadapi aneka hal menjengkelkan dari pasangannya, dan kali ini tidak bisa lari ke mana pun.

Pernikahan itu paradoks, dan karena itulah ada orang-orang yang sampai tidak percaya bahwa orang bisa bahagia dalam pernikahan. Ketika belum menikah, sepasang pria-wanita mengkhayalkan keindahan karena bisa bersama setiap saat... padahal justru itulah sumber masalahnya!


PS: 

Kadang saya berpikir. Kelak, kalau menikah, saya akan berkata pada pasangan, “Kamu boleh ngomel, tapi tolong ngomellah secara akademis, dengan footnote dan daftar pustaka, agar aku bisa menelitinya secara ilmiah, demi ketenangan hidup kita bersama!”

Mungkin Menikah

Suatu saat, mungkin, aku akan menikah. Di waktu yang tepat, dengan orang yang tepat. Tapi bukan berarti aku ingin buru-buru pacaran.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 November 2012.

Tolol

Tolol adalah orang yang berpikir tak bisa hidup tanpa orang lain. Lebih tolol lagi yang berpikir orang lain tak bisa hidup tanpa dirinya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Cinta Datang Perlahan

Cinta datang perlahan, benci merayap begitu cepat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Maret 2012.

Tantangan LDR

Tantangan LDR, katanya, kau tidak tahu pacarmu sedang apa atau bersama siapa di malam Minggu, di tempat yang jauh darimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2012.

Senin, 10 Oktober 2022

Kegilaan Laki-laki

“Hiburan utama laki-laki adalah kerja.” 
Kadir, Pelawak Indonesia


Di Twitter, saya beberapa kali mendapati tweet terkait fenomena laki-laki yang telah menikah, tapi sepertinya tidak/kurang bertanggung jawab pada keluarganya. Malas kerja, dan asyik dengan kesenangannya sendiri—dari kesenangan mancing sampai main games —hingga melalaikan kewajiban. 

Salah satu video yang pernah viral, terkait hal itu, memperlihatkan seorang laki-laki yang ditelepon istrinya, ketika sedang mancing. Di video, laki-laki itu tampak memegangi joran (alat pancing) di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegangi ponsel yang menempel di telinga. Laki-laki itu terdengar marah campur frustrasi, karena terus menerus ditelepon istrinya saat dia lagi asyik memancing ikan.

Sebenarnya, secara objektif, hampir semua orang—dalam hal ini laki-laki—punya “penyakit” atau kebiasaan buruk masing-masing. Cuma beda kadarnya. Ada yang ringan, ada yang berat. Ada yang masih bisa ditoleransi, ada pula yang sudah tak bisa ditoleransi. Dari suka mancing sampai main games.

Mancing, main games, doyan nongkrong, suka keluyuran tidak jelas, sampai malas kerja, adalah sebagian penyakit atau kebiasaan buruk yang bisa diidap laki-laki mana pun. Tergantung kadarnya ringan atau berat, dan tergantung masih bertanggung jawab atau tidak.

Saya kenal seseorang yang hobinya dolanan merpati balap. Dia sampai menghabiskan uang ratusan juta untuk mengoleksi merpati balap, dan setiap hari selalu meluangkan waktu untuk asyik dengan merpati-merpati peliharaannya. Dia bahkan punya karyawan khusus untuk mengurusi koleksi merpatinya.

Istrinya tidak mempermasalahkan hal itu, dan hanya mengatakan, “Yo wis ben. Lebih baik dia main merpati, daripada main perempuan.” Dia tidak mempermasalahkan, karena suaminya tetap bertanggung jawab; tetap bekerja, tetap membiayai kebutuhan keluarga, dan lain-lain. Dalam arti, keasyikan si laki-laki bermain merpati tidak sampai menelantarkan keluarga.

Tapi istri mana pun tentu bakalan ngamuk kalau—umpama—suaminya dolanan merpati, dan melupakan tanggung jawabnya, hingga keluarga telantar. 

Sebenarnya, setidaknya menurut saya, inti masalahnya cuma di situ. Kita, laki-laki, bisa “segila” apa pun dalam hobi kita, asal bertanggung jawab pada keluarga.

Kalau memang masih asyik dengan kegilaan sendiri—entah kegilaan mancing sampai kegilaan main games—dan belum mampu bertanggung jawab pada pasangan atau keluarga, ya tidak usah buru-buru menikah. Wong tidak menikah juga tidak apa-apa, kalau masih “gila”. 

Numpang curhat; saya sendiri belum berani menikah, karena sadar “masih gila”. Sebagai laki-laki, saya tidak suka mancing, tidak memelihara hewan apa pun, tidak suka main games, tidak suka keluyuran... tapi saya punya penyakit atau kebiasaan buruk lain.

“Penyakit” saya yang pertama; kalau sudah asyik belajar, saya lupa segalanya. 

Dan kebiasaan buruk saya yang sampai sekarang belum sembuh; kalau sudah asyik bekerja, saya lupa waktu. 

Itu sama sekali tidak baik, karena dulu pacar saya sering marah gara-gara kebiasaan itu. Dia merasa diabaikan, karena saya terlalu sibuk dengan diri sendiri.

Kalau mau, saya bisa berdiam di rumah sampai berbulan-bulan, khusyuk belajar atau bekerja, dan tidak ingin diganggu apa pun atau siapa pun. (Omong-omong, belajar dan bekerja itu satu kesatuan dalam hidup saya, karena pekerjaan saya membutuhkan proses belajar tanpa henti).

Saat ini saya masih lajang, tinggal sendirian di rumah, dan saya bisa memuaskan “kegilaan” dalam belajar dan bekerja. No problem. Tapi kalau saya menikah dan punya keluarga, istri dan anak-anak saya bisa menjadi korban. Mereka akan merasa diabaikan, dan itu tentu tidak baik.

Well, yang saya lakukan—asyik belajar dan bekerja—sebenarnya sama dengan laki-laki lain yang suka mancing, suka main games, suka nongkrong dan keluyuran, dan lain-lain. Sebenarnya sama-sama kebiasaan buruk, karena asyik dengan diri sendiri hingga mengabaikan hal-hal lain.

Dan karena kesadaran itulah, saya memutuskan untuk tidak buru-buru menikah, daripada nantinya malah menelantarkan keluarga (istri dan anak-anak). 

Jadi, buat sesama teman laki-laki, kalau memang masih ingin “gila”, ya gila dulu sajalah—gila sendiri, biar tidak ada yang jadi korban. Tak perlu buru-buru menikah, apalagi punya anak, karena kegilaanmu—atau kegilaan kita—akan mengorbankan atau setidaknya menyakiti mereka.

Kelak, kalau sudah menikah, apalagi punya anak, saya memang tetap akan belajar dan bekerja. Tapi tentu tidak akan segila ketika masih lajang. Waktunya belajar, ya belajar. Waktunya kerja, ya kerja. Waktunya menemani istri dan anak-anak, ya menemani. Tapi saat ini saya belum mampu. 

Karenanya, nasihat “menikah akan membuatmu tenteram dan bahagia” itu belum tentu relevan untuk semua orang. Kalau saya nekat menikah sekarang, saya justru akan tertekan, dan pasangan saya akan sama tertekan. Persis seperti laki-laki yang ditelepon istrinya ketika asyik mancing, sementara si istri merasa diabaikan. Tidak ada kebahagiaan, apalagi ketenteraman.

Percaya pada Cinta

Percaya pada cinta yang kita miliki, sepertinya jauh lebih penting daripada memiliki cinta itu sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2012.

Memilih

Memilih adalah soal pilihan. Memilih untuk tidak memilih juga termasuk pilihan. Aku tidak akan memilih, karena aku punya pilihan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Bikin Galau

Gini nih yang bikin galau. Sudah nyaman di kamar, lalu perut tiba-tiba kelaparan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2022.

Kadang

Kadang, jatuh cinta pada seseorang adalah cara menyakiti diri sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Desember 2012.

Sabtu, 01 Oktober 2022

Berhenti Memikirkan Apa Kata Orang Lain

Your boundaries must be stronger than 
your need to be liked by other people.


Kemarin malam, saya berkumpul dengan beberapa teman, dan ada satu orang yang baru saya kenal. Saya mendapat pelajaran penting darinya, dan ingin saya bagikan di sini. Dia mengizinkan saya menceritakannya, tapi tidak mengizinkan saya menyebut namanya. Jadi sebut saja dia X.

Salah satu topik percakapan kami kemarin malam adalah tentang “memikirkan apa kata orang lain”. Ini hal yang sering muncul dalam pikiran banyak orang, termasuk kita. Ketika ingin melakukan sesuatu, kita kadang berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” dan varian semacamnya.

Saya juga dulu sering berpikir begitu. Saat ingin menyampaikan sesuatu, atau ingin melakukan sesuatu, kadang saya terhenti karena berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” 

Belakangan saya mulai belajar untuk tidak lagi berpikir seperti itu, dan tetap melakukan apa pun yang saya yakini benar.

Nah, X memberi saya ilustrasi yang benar-benar “frontal” tentang bagaimana dia tidak peduli lagi pada apa pun pendapat orang lain, dan dia menjalani hidupnya dengan caranya sendiri. Ia bilang, “Selama tidak mengganggu atau merugikan orang lain, aku akan melakukan, dan persetan dengan mereka.” 

Dulu, X mengakui, dia sama seperti orang lain umumnya, sering berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” Karenanya, dia juga mengakui, dia kadang khawatir saat ingin melakukan sesuatu dalam kehidupannya. Sampai suatu saat, dia jatuh dalam kebangkrutan, dan miskin.

Singkat cerita, X benar-benar miskin saat itu, sampai tidak punya uang untuk makan, sementara kendaraannya tidak bisa dipakai karena kehabisan bensin. Dia tinggal sendirian di rumahnya, barang-barang berharga sudah habis terjual, dan setelah itu satu-satunya cara agar dia bisa makan hanya jalan kaki ke rumah orang tuanya.

Dan itulah yang dilakukan X. Selama waktu-waktu itu, setiap hari dia jalan kaki ke rumah orang tuanya, sekitar 5 km jauhnya, hanya agar bisa makan. Tentu saja dia hanya makan satu kali sehari, agar tidak terus bolak-balik jalan kaki. Kadang-kadang dia menginap di rumah orang tuanya, jika kelelahan, tapi sering kali dia pulang ke rumahnya sendiri. Dan dia menjalani masa pahit itu hingga beberapa bulan.

Kenapa dia tidak menginap terus saja di rumah orang tuanya, agar tidak bolak-balik? Jawabannya sederhana; tidak nyaman.

“Itu fase paling rendah dan menyedihkan dalam hidupku,” curhat X. 

Dan selama dia berjalan kaki setiap hari sejauh 5 km hanya agar bisa makan, X berpikir dan menyadari bahwa tidak ada orang lain yang peduli kepadanya. Tidak ada orang peduli dia jalan kaki sejauh 5 km hanya untuk bisa makan satu kali sehari.

“Dan itu memberiku kesadaran,” ujar X, “bahwa orang-orang di sekitar kita sebenarnya tidak peduli dengan kita. Mereka hanya peduli dengan urusan mereka sendiri, dan mereka sudah terlalu sibuk dengan hidup mereka sendiri. Jadi, persetan, kenapa aku harus mempedulikan mereka?”

PR Terbesar Setiap Startup

Setiap kali pesan makanan lewat layanan pesan antar, termasuk Gofood, saya selalu memberikan tip buat driver. Kalau pesanan saya habis Rp42.000, misalnya, saya kasih Rp50.000. Sisa Rp8.000 (uang kembaliannya) tidak saya minta. Saya kasihkan ke driver, sebagai tip untuknya.

Hal semacam itu saya lakukan bukan sekali dua kali, tapi setiap hari, kapan pun pesan Gofood. Saya ikhlas memberikannya, bahkan terus menerus. Kenapa? Karena itu kehendak saya sendiri!  

Jadi, ketika Gofood menaikkan aneka biaya—dari biaya aplikasi, biaya antar, dan lain-lain—lalu saya kecewa, yang membuat saya kecewa sebenarnya bukan nominal uangnya. Beberapa ribu perak itu cuma receh bagi saya. Yang bikin saya kecewa, karena saya merasa dieksploitasi!

Ini tak jauh beda dengan rata-rata orang lain. Bagi kebanyakan orang, duit seribu rupiah mungkin tidak ada nilainya. Tapi kalau kamu mencuri uang seribu rupiah dari seseorang, dan dia tahu, dia bisa ngamuk! Bukan masalah nominal seribunya, tapi dia merasa dicuri.

Itulah yang saya maksud dalam ocehan tempo hari, bahwa Gojek/Gofood terlalu kasar atau agresif—untuk tidak menyebut eksploitatif—dalam upaya “memanen” bisnis mereka. Padahal, andai mereka bermain lebih cantik, para mitra dan pelanggan tidak akan menjerit.

And know, inilah PR terbesar setiap startup. Bagaimana pun, startup butuh keuntungan—kita tahu. Pertanyaannya, bagaimana cara menghasilkan keuntungan besar, tanpa membuat konsumen merasa “dipaksa” atau dieksploitasi?

Jangan tanya saya. Tanya Rhenald Kasali. 

Percakapan Yika

Seseorang berkata, “Virus yika saja begini begitu.”

Temannya membatin, “Virus yika kok jadi acuan.”

Terlambat

Waktu berjalan cepat. Dan kita tetap saja terlambat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2012.

Kegalauan

Dan kegalauan membunuh perlahan-lahan...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

 
;