Mengenang mantan, bagiku, adalah cara melembutkan
hati yang membatu. Bahwa aku pernah jatuh cinta,
dan punya kemungkinan mengulangi hal sama.
—@noffret
hati yang membatu. Bahwa aku pernah jatuh cinta,
dan punya kemungkinan mengulangi hal sama.
—@noffret
Bayangkan suatu hari kau membuka koran, dan tanpa sengaja menemukan berita yang dilengkapi sebuah foto. Kau mengenali nama yang tertulis dalam berita, kau bahkan mengenal sosok yang terdapat dalam foto di koran. Dia mantan kekasihmu. Apa yang kaurasakan...?
Itulah yang saya alami. Suatu waktu, saya mengumpulkan koran-koran lama untuk dikilokan, dan memilah-milah mana yang masih penting serta mana yang sudah tidak penting. Dalam proses itu, saya pun sempat membuka-buka isi koran, dan... tanpa sengaja, perhatian saya tertarik pada berita di suatu halaman. Itu berita tentang kontes kecantikan, sekian tahun lalu, yang dilengkapi sebuah foto. Saya mengenali wanita dalam foto tersebut. Dia mantan pacar saya.
....
....
Mantan pacar saya—yang pernah diceritakan di sini—adalah duta pariwisata yang memenangkan kontes kecantikan tingkat provinsi. Ironisnya, atau konyolnya, saya baru tahu kenyataan itu setelah kami lama putus. Jadi, selama menjadi pacarnya, saya sama sekali tidak tahu—dan tidak menyadari—kalau pacar saya adalah perempuan tercantik seprovinsi, setidaknya menurut para juri kontes kecantikan yang diikutinya.
Sejak awal melihat dan mengenalnya di kampus, saya menyadari dia memang cantik. Tetapi, sejujurnya, saya tidak punya perasaan apa pun kepadanya. Saya baru jatuh cinta setelah dua tahun kami saling mengenal, dan merasa nyaman bersamanya.
Hari ini, saya bahkan masih ingat bagaimana kesan saat pertama kali melihatnya di kampus, bertahun lalu. Well, biasa-biasa saja.
Sejak dia masuk kampus, bocah-bocah di kampus memang terdengar ribut menyebut-nyebut namanya. Setelah itu, mereka pun tampak sibuk mencari perhatian atau terang-terangan mendekati. Tetapi, sekali lagi, saya sama sekali tidak tertarik. Di mata saya, dia tak jauh beda dengan perempuan cantik lain. Well, biasa saja.
Lalu kami saling kenal, dan akrab perlahan-lahan. Keakraban itu terjadi secara alami. Dalam arti, kami saling mendekat bukan karena dilandasi saya jatuh cinta kepadanya, atau dia jatuh cinta kepada saya. Yang kami alami adalah keakraban dua orang yang saling kenal, karena kuliah di kampus yang sama. Kalian pasti paham yang saya maksud.
Jadi, waktu itu pula, saya tidak punya perasaan apa pun kepadanya. Bahkan, Tuhan menjadi saksi, sedetik pun saya tidak pernah membayangkan kalau kami kelak akan saling jatuh cinta, hingga menjadi sepasang pacar.
Dan cinta itu tumbuh perlahan-lahan. Seiring keakraban dan kedekatan, saya makin mengenalnya, sebagaimana dia makin mengenal saya. Saya mulai tahu dan menyadari dia perempuan sederhana, jauh beda dengan rata-rata perempuan cantik yang sebelumnya saya kenal. Dan kesederhanaannya, serta sikapnya yang bersahaja, perlahan-lahan membuat saya jatuh cinta. Saya merasa nyaman bersamanya.
Lalu kami saling jatuh cinta, dan menjadi kekasih.
Hari ini, jika saya bertanya pada diri sendiri, “kenapa aku jatuh cinta kepadanya?”, jawabannya “karena sikapnya”.
Bahwa dia cantik, ya. Tetapi, sedari awal, saya tidak jatuh cinta karena hal itu. Apakah dia sangat pintar, hingga membuat saya terkesan? Tidak, dia biasa-biasa saja. Bahkan, dia tidak pernah mencoba apalagi berusaha membuat saya terkesan. Fakta bahwa dia tidak pernah menceritakan prestasinya sebagai duta pariwisata dalam kontes kecantikan yang diikutinya, dengan jelas menunjukkan dia memang tidak pernah berusaha membuat saya terkesan.
Jadi, saya jatuh cinta kepadanya, semata-mata karena sikapnya. Dia tahu cara menghadapi saya, dan tahu bagaimana bersikap hingga membuat saya nyaman bersamanya. Itu sesuatu yang sulit saya temukan pada wanita lain.
Sebagai pacar, dia memiliki kualitas-kualitas yang saya dambakan. Pertama, kesederhanaan. Dia wanita bersahaja, dengan penampilan sederhana yang tidak menarik perhatian. Memang, ke mana pun kami pergi, selalu ada orang-orang tertarik memperhatikannya. Tetapi, itu semata-mata karena dia cantik. Dalam hal itu, saya bisa apa...?
Kedua, dia begitu dewasa. Sebagai wanita—khususnya sebagai pacar—dia memang memiliki sifat-sifat seperti wanita umumnya. Misal cemburuan, dan suka kangen. Juga lucu kalau sedang salah tingkah. Tetapi, dia juga dewasa—lebih dewasa dari usianya—hingga membuat saya tenteram bersamanya. Kadang-kadang, dalam hal itu, saya benar-benar terkesan dengan kedewasaannya.
Pernah suatu ketika, saat kami bercakap-cakap secara intim, saya bertanya kepadanya, bagaimana dia bisa sedewasa itu. Jawabannya membuat saya tercengang.
Sejak SMA, dia bercerita, ada banyak lelaki yang menyatakan cinta, dan dia harus berkali-kali menolak pernyataan cinta mereka. Kenyataan itu membuatnya harus berpikir keras, bagaimana cara menolak tanpa menyakiti. Seiring waktu, makin sering ia menolak cinta yang dinyatakan kepadanya, semakin banyak pula ia belajar. Hal itu, tanpa ia sadari, ikut mendewasakan dirinya, mendewasakan sikapnya. Dia tahu cara terbaik menghadapi orang lain—bahkan ketika harus menolak, dia mampu melakukannya tanpa melukai.
Dengan kedewasaan pula, dia menghadapi saya, yang kadang kekanakan. Di awal-awal kedekatan kami, mungkin dia tahu, saya tertarik kepadanya. Tapi mungkin dia juga memahami, saya kebingungan mendekati. Jadi, dia pun mempermudah langkah saya mendekati, dan dia tahu cara menjaga komunikasi, hingga kami bisa terus bercakap-cakap asyik, hingga akhirnya saya benar-benar jatuh cinta kepadanya.
Hal ketiga, yang juga menjadi kualitas dirinya sebagai pacar, adalah pengertiannya yang begitu besar. Dia tahu saya sangat sibuk, dan dia berusaha memahami. Kami memang kadang ribut (tidak sampai bertengkar), karena dia menganggap saya lebih mementingkan pekerjaan daripada dirinya. Kenyataannya, intensitas pertemuan kami memang sangat jarang. Tetapi, setelah saya memberi pengertian, dia mau memahami.
Saya tidak tahu apakah dia terpaksa melakukannya atau tidak, yang jelas—akhirnya—dia tidak menuntut macam-macam, seperti harus apel malam Minggu, atau harus kencan di akhir pekan. Jika saya datang menemuinya di malam Minggu, atau mengajaknya kencan di akhir pekan, dia tampak senang. Tapi kalau pun tidak, dia tidak marah (atau mungkin marah, tapi saya tidak tahu.)
Wanita sering mengatakan, mereka menyukai hal-hal kecil yang ditunjukkan atau dilakukan pria kepadanya, semisal membukakan pintu untuknya, menarikkan kursi saat si wanita akan duduk, dan semacamnya. Sebenarnya, pria juga menyukai hal-hal kecil yang ditunjukkan wanita, meski mungkin dalam bentuk berbeda.
Di masa itu, ekonomi saya belum mapan atau belum stabil. Kadang banyak duit, kadang juga bokek. Pacar tahu, saya suka makan enak. Kalau kami makan bersama, saya selalu memilih menu yang enak, yang biasanya juga mahal. Ketika sedang bokek, saya sengaja memilih menu yang lebih murah. Ternyata, pacar saya memperhatikan hal itu. Meski dia menyukai menu tertentu (yang mahal), dia memilih menu lain yang lebih murah, ketika saya tampak memilih menu yang “tidak biasanya”.
Itu hal-hal yang tidak pernah kami percakapkan, tapi kami seperti saling memahami. Dan itu membuat saya makin jatuh cinta kepadanya.
Bagaimana pun, sebagai pacar, saya tentu ingin memanjakannya, ingin memberikan hal-hal indah untuknya, kapan pun saya bisa. Dan saya memang melakukannya. Tetapi, di lain waktu, dia juga tidak keberatan kami hanya jajan batagor, atau hanya menikmati bakso yang kebetulan lewat di depan rumah.
Pernah suatu ketika, kami saling mengakui “kenapa aku jatuh cinta kepadamu”. Dia meminta saya memberitahu kenapa jatuh cinta kepadanya, dan saya menyebutkan beberapa hal yang membuatnya tersenyum dan tertawa indah. Lalu saya bertanya, apa yang membuatnya jatuh cinta kepada saya.
“Aku tidak tahu,” jawabnya. “Aku hanya percaya, dan merasa damai bersamamu.”
Sebenarnya, begitu pula yang saya rasakan—damai bersamanya. Selama bersamanya, saya tidak pernah tergoda apalagi tertarik wanita lain. Semua kualitas yang saya harapkan dimiliki wanita, telah ada pada pacar saya. Bagaimana bisa saya tertarik wanita lain?
Karenanya pula, waktu itu, saya telah punya rencana masa depan bersamanya—tentang pernikahan, membangun keluarga, juga anak-anak yang mungkin kami miliki bersama. Kami saling jatuh cinta, saling memahami, saling percaya, dan sama-sama menuju masa depan yang kami inginkan. Semuanya terdengar indah, eh?
Tapi cinta sejati, katanya, tak pernah berakhir indah. Begitu pula cinta saya dengannya.
Beberapa waktu setelah dia lulus kuliah, orang tuanya mulai membicarakan pernikahan dengannya, dan dia membicarakannya dengan saya.
Itu menjadi titik penting dalam kehidupan saya selanjutnya, bahkan ikut mengubah takdir saya. Waktu itu, saya dihadapkan dua pilihan yang sama-sama berat. Menikah dengannya, atau kehilangan dirinya.
Jika saya memilih menikah dengannya, kami pun akan menikah waktu itu, dan mungkin akan membangun keluarga kecil bahagia, dengan anak-anak yang lucu, seperti umumnya orang lain. Mungkin, saat ini, kesibukan dan keseharian saya adalah menjadi suami dan seorang ayah, sementara kehidupan saya berkutat di seputar keluarga kami. Jika menikah, mungkin saya akan bahagia, tetapi... saya akan kehilangan sesuatu yang tak kalah penting. Visi saya.
Bahkan waktu itu, ketika dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit—karena berisiko kehilangan kekasih yang sangat saya cintai—saya tetap tidak kehilangan akal sehat. Saya berpikir sangat lama, menentukan mana yang harus saya pilih. Menikah dengan wanita yang saya cintai, atau kehilangan dirinya demi meneruskan visi yang saya yakini. Saya tidak mungkin merengkuh keduanya sekaligus, waktu itu, jadi saya harus memilih.
Dengan pedih, saya berkata kepadanya, “Kalau kau percaya kepadaku, kita akan menikah, setelah aku menyelesaikan yang harus kuselesaikan.”
“Aku percaya kepadamu,” dia menjawab.
Dia percaya kepada saya, tapi orang tuanya tidak. Dan begitulah yang terjadi. Suatu hari, saat kami akhirnya putus, saya merasakan kehampaan luar biasa—seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari kedalaman hati. Saya merasa kehilangan... oh, well, sangat kehilangan.
Tapi takdir tampaknya tahu yang terbaik untuk saya. Kesedihan dan rasa kehilangan karena putus dengan pacar, waktu itu, ikut membentuk ulang perspektif dan cara saya dalam menatap kehidupan, sekaligus mengasah sesuatu yang tersembunyi jauh di lubuk kesadaran saya, yang sebelumnya tidak pernah saya sadari.
Bertahun-tahun setelah itu, meski dengan pedih, saya akhirnya menyadari bahwa keputusan yang saya ambil sekian tahun lalu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya lakukan dalam hidup. Saya memang kehilangan orang yang saya cintai... tapi tidak kehilangan visi yang saya miliki.
....
....
Sambil menatap foto di koran itu cukup lama, saya membayangkan kembali sosok pacar sekian tahun lalu. Dalam bayangan, saya masih bisa mengenang semua tentang dirinya dengan jelas—senyumnya, tawanya, sikapnya, juga hal-hal lucu serta indah yang pernah kami alami. Saya bahkan masih bisa mengingat sebesar apa cinta yang pernah saya miliki untuknya.
Tapi waktu telah berlalu, seperti kisah yang kami alami. Dia telah memiliki kehidupan sendiri, sebagaimana saya menjalani hidup yang kini saya pilih. Bagaimana pun, dia cinta terindah yang pernah saya miliki, dan saya akan tetap mengenangnya sebagai kekasih yang selalu mampu melembutkan hati.