Rabu, 15 November 2017

Hukum Islam Tentang Pernikahan

Aku tidak menentang pernikahan, karena soal pilihan.
Yang kutentang adalah ajaran sesat tentang pernikahan
yang tak bertanggung jawab.
@noffret


Pengantar:

Posting ini sebenarnya transkrip tweet saya di Twitter, yang saya pindahkan ke sini. Namun, agar tidak terjadi kesalahpahaman, saya perlu memberi pengantar.

Selama ini, ada orang-orang yang menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat menikah, dengan dalih bahwa menikah adalah kewajiban agama (Islam). Sekarang saya ingin mengatakan, orang-orang itu telah berdusta!

Jika kita merujuk ke kitab fiqih, khususnya fiqih tentang pernikahan, kita akan diberitahu bahwa hukum menikah ada lima, yaitu wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram. Lima hukum terkait menikah itu tergantung pada orang per orang, dalam arti tidak bisa digeneralisir. Memang ada orang yang wajib menikah, tapi ada pula yang hukumnya sebatas sunah, makruh, mubah, bahkan haram.

Kenyataan itu juga ditegaskan beberapa kitab yang secara spesifik membahas pernikahan, misalnya Qurotul ‘Uyun. Kitab legendaris yang jelas-jelas membahas pernikahan itu dengan gamblang menyatakan bahwa menikah memiliki lima hukum, yang—sekali lagi—tidak bisa digeneralisir pada setiap orang. Terkait menikah, hukumnya bisa wajib bagimu, tapi juga bisa sebatas sunah, makruh, mubah, bahkan haram bagi orang lain.

Sementara itu, Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam hadist, “Menikah adalah sunahku.” Jika merujuk hadist tersebut, maka hukum dasar menikah adalah sunah. Hukum sunah itu lalu berubah pada orang per orang, tergantung kondisi yang dihadapi. Sekali lagi, dalam hal ini kita tidak menggeneralisasi semua orang untuk patuh dan tunduk pada satu hukum, karena nyatanya hukum menikah bisa berubah tergantung kondisi orang per orang.

Contoh kasar. Kalau kau menyuruh atau menasihati seseorang untuk menikah, padahal orang itu—karena kondisinya—dihukumi haram menikah, maka saran atau nasihatmu jelas salah. Dalam ilustrasi lain, memberi nasihat agar makan di jam makan siang itu benar. Tetapi, nasihat itu salah jika disampaikan pada orang yang sedang berpuasa. Makan—sebagaimana menikah—adalah hal baik, tapi makan bagi orang berpuasa justru haram. 

Dalam urusan menikah, hanya orang bersangkutan yang paling tahu apa hukum yang paling tepat untuknya. Penjelasan mengenai hal ini bisa panjang sekali, dan silakan merujuk pada kitab-kitab terkait, untuk uraian lebih lanjut.

Apa? Tidak bisa membaca kitab? Kalau begitu, ora usah kakean cocot kewan-kawin kewan-kawin! Ngaji agama masih nyah-nyih, sudah sok ngurusin selangkangan orang lain dengan dalih agama!

....
....

Ada orang memintaku agar membaca Uqudulujain dan Qurotul 'Uyun. "Biar hatimu terbuka," katanya. Lucu, aku bahkan hafal isi kitab-kitab itu.

Buat yang memintaku membaca Uqudulujain dan Qurotul 'Uyun, silakan baca kitab ini; Al-‘Ulama’ Al-‘Uzzab alladzina Atsarul ‘Ilma ‘alaz Zawaj.

Jika ada yang mengatakan menikah adalah kewajiban, tanyakan kepadanya, "Siapa yang mewajibkan?" | Itu benar-benar kebohongan dan pembodohan.

Tidak ada yang mewajibkan orang menikah. Agama pun tidak! Satu-satunya pihak yang mewajibkan orang menikah hanya masyarakat.

Hadist Nabi, "Menikah adalah sunahku..." | Hukum menikah hanya sunah. Kaulakukan, silakan, itu bagus. Tidak kaulakukan, juga tidak apa-apa.

Jadi, siapa sebenarnya yang selama ini telah melakukan penipuan dan pembodohan massal pada orang-orang bahwa menikah adalah kewajiban?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 November 2017.

 
;