Kamis, 30 Agustus 2012

Lebaran, Mantra Kutukan, dan Cabai Setan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Di menara masjid yang besar dan mewah itu, masing-masing lantainya diperuntukkan untuk hal-hal yang bersifat “wisata”—dari museum, menara pandang, sampai… restoran dengan kursi berputar. Ketika pertama kali tahu lantai 19 menara itu digunakan untuk restoran, saya ingin sekali tahu bagaimana kira-kira komentar Umar bin Khattab atau Bilal bin Rabah jika mengetahuinya.

Nah, nyokap sudah lama ingin melihat-lihat masjid mewah itu. Jadi, seperti yang saya bilang di atas, jam sepuluh pagi itu nyokap serta para famili berangkat ke sana. Tentu saja saya tidak ikut! Menemani para ibu berakhir pekan adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan semasih lajang.

Jadi, ketika mereka pergi, saya pun mulai mikir bikin rencana sendiri. Saya menghubungi seorang teman, bernama Supri, yang kebetulan tinggal di daerah itu. Ketika saya telepon, Supri dengan senang hati mau menemani saya menghabiskan akhir pekan.

Maka jadilah saya dan Supri keluyuran menghabiskan hari Minggu, keluar masuk mall, dari siang sampai malam. Menjelang isya’, kami sama-sama kelaparan. Supri menawari, “Da’, kamu pengin makan apa?”

“Apa aja,” jawab saya, “yang penting enak!”

Supri menawarkan sate kambing. Saya setuju. Maka Supri pun membawa saya mencari penjual sate kambing. Ketika kami melaju di jalanan, saya mendapati beberapa penjual sate kambing di pinggir-pinggir jalan. Tapi Supri cuek saja. Sampai kemudian, saya mulai menyadari kalau kami tengah melaju keluar Semarang.

“Pri,” tegur saya penasaran, “kita mau ke mana, nih?”

“Ke Demak,” jawab Supri kalem.

Saya kaget. “Ke Demak? Kita mau ngapain ke sana?”

“Katanya mau nyari sate kambing?”

Saya tambah kaget. “Lhah, di Semarang juga ada jutaan penjual sate kambing! Kenapa harus ke Demak?” Sambil diam-diam saya membatin, kenapa tidak nyari sate kambing ke Paris sekalian saja?

Tapi Supri masih menjawab kalem, “Kamu perlu ngerasain sate kambing langgananku, Da’. Dibanding sate kambing di tempat lain, yang di Demak ini benar-benar maknyus. Kamu bakal setuju, deh!”

Baiklah, pikir saya. Si Supri ini wartawan yang biasa keluyuran ke pelosok Indonesia. Jadi saya percaya dia bisa menemukan hal-hal hebat yang jarang diketahui orang lain. Maka saya pun anteng saja dibawa Supri ke warung sate yang dikatakannya, bahkan diam-diam penasaran seenak apa sate kambing Demak. Detik itu, saya tidak menyadari bahwa Supri sedang membawa saya menuju malapetaka.

Tidak jauh dari gerbang pintu masuk Demak, ada sebuah warung sate kambing yang tampak sederhana, semi permanen, dan di warung itulah kami berhenti. Supri mengajak saya masuk. Kami memesan 30 tusuk sate, teh hangat, dan, tentu saja, nasi. Untuk meyakinkan saya, Supri berbisik, “Nasi di sini keras, seperti kesukaanmu.”

Dia benar. Ketika nasi kami disajikan bersama dua piring sate, nasinya memang tampak keras, seperti yang saya suka. Tampilan satenya tampak biasa, namun ada daun-daun lembut yang disajikan bersama piring sate. Kalau diperhatikan, mirip daun yang biasa ada di hamburger. Tapi sekarang daun-daun itu diletakkan bersama sate. Jadi, dengan sok tahu, saya pun menyatukannya dengan bumbu sate lainnya bersama kecap.

Lalu kami pun mulai makan… dan malapetaka tak terbayangkan terjadi.

Ketika saya mulai menyantap sate bersaput bumbu kecap itu, seketika mulut saya terasa seperti terbakar. Semula, saya pikir itu efek kaget, dan rasa pedasnya akan berkurang seiring makin banyak sate yang saya makan. Tapi ternyata tidak. Semakin banyak sate yang saya makan, mulut saya rasanya semakin membara.

Berusaha tetap tampil elegan, saya berusaha diam, dan mencoba memisahkan potongan cabai di bumbu kecap, agar sate yang saya makan “steril” dari cabai. Tetapi, meski sudah bersih dari cabai sekalipun, sate sialan itu tetap masih luar biasa pedas, dan mulut saya rasanya semakin terbakar. Setelah menghabiskan delapan tusuk, saya merasa tak kuat lagi. Hidung saya sudah meler, air mata keluar, dan saya hah-huh-hah-huh kepedasan. Seumur hidup, baru kali ini saya merasakan pedas separah itu.

Saya menghabiskan teh di gelas. Tapi pedas dalam mulut tetap tidak hilang. Saya pesan teh segelas lagi, dan menghabiskannya lagi. Tapi efek “kebakaran” dalam mulut terasa masih membara. Ajaibnya, Supri tampak asyik makan dengan tampang cool. Tampak kepedasan, tapi kelihatan masih bisa meneruskan makannya. Apa mungkin karena dia sudah biasa makan sate di sini?

Ketika saya memesan teh untuk ketiga kalinya sambil berurai air mata dan hidung meler, ibu penjual sate itu bertanya, “Kepedasan ya, Mas?”

Saya mengangguk, dan balik bertanya dengan suara tidak jelas, “Kenapa sambalnya pedas banget gitu, Bu?”

Ibu itu menjawab kalem, “Soalnya saya biasa pakai cabai setan.”

Saya nyaris semaput. “Cabai… apa?”

“Cabai setan,” ulangnya menjelaskan. “Itu memang cabai paling pedas, Mas.”

Oh, well, cabai setan? Tiba-tiba saya merasa baru menyantap hidangan dari neraka.

Ketika Supri telah selesai makan, saya langsung noyor pundaknya. “Kenapa kamu jerumusin aku ke sini, Pri?”

Dia langsung ngakak sejadi-jadinya. Tahulah saya, dia telah ngerjain saya habis-habisan. Kemudian, setelah puas menertawakan saya, dia menjelaskan, “Sebenarnya satenya enak, Da’, cuma kamunya aja yang nggak paham gimana cara makannya.”

Cara makan sate…??? Memangnya bagaimana lagi cara makan sate…???

Lalu Supri menjelaskan, “Sambal sate di sini pakai cabai setan, seperti yang dibilang penjualnya tadi. Itu sebutan orang sini buat cabai paling pedas di dunia fana. Nah, kamu tadi lihat daun-daun yang ditaruh di piring sate, kan? Daun-daun itu fungsinya buat menetralisir pedas yang kita rasain. Jadi, kalau kamu kepedasan waktu makan satenya, segera ambil daun itu dan kunyah. Nanti pedasnya hilang. Tapi kamu bego. Bukannya misahin daun itu buat dikunyah, malah digabung sama kecapnya!” Lalu dia ngakak lagi.

Anjrit, pikir saya. Kenapa dia tidak bilang sejak tadi? Sekarang nafsu makan saya sudah hilang, dan sama sekali tak ingin meneruskan. Tapi saya masih penasaran. Jadi saya pun bertanya, “Pri, kalau emang cuma untuk ngerasain sate pedas kayak gini, kenapa harus jauh-jauh ke tempat ini, sih?”

“Karena cuma di sini yang pakai cabai setan,” jawabnya.

“Jadi, kamu jauh-jauh ngajak aku ke sini cuma buat ngerasain cabai setan?”

Supri ngakak lagi. Lalu dia berkata serius, “Kamu akan tahu alasannya kalau udah tahu efek manfaatnya. Tahu nggak, makan sate dengan cabai setan bisa bikin mimpi indah. Percaya deh, kamu pasti bakal nagih!”

Kedengarannya tidak masuk akal blas. Dan saya pun tidak percaya sedikit pun. Pasti itu akal-akalannya si Supri saja biar saya tidak terus marah-marah.

Akhirnya, setelah mulut saya sudah tidak “kebakaran” seperti tadi, kami pun pulang. Sewaktu saya sampai di rumah famili di Ungaran, waktu sudah agak larut malam, dan nyokap beserta lainnya juga sudah pulang sejak tadi sore. Karena capek, saya langsung tidur. Dan, percaya atau tidak, ternyata omongan Supri memang benar. Malam itu, dalam tidur, saya mendapatkan mimpi terindah yang tak terbayangkan.

Mungkin ini terdengar tak masuk akal. Tetapi, yang jelas, saya bermimpi indah sekali. Maksud saya, indaaaaaaaaaaah sekali. Bukan wet dream. Tapi sweet dream. Sepanjang hidup di dunia ini, baru malam itu saya bermimpi indah dengan jelas, sebegitu jelasnya hingga saya masih bisa mengingat detil-detilnya ketika membuka mata dan terbangun dari tidur, dan merasakan bibir yang tersenyum. Itu mimpi terindah yang pernah saya alami, dan… demi Tuhan, saya ingin mengalaminya lagi.

Saya tidak tahu apakah itu memang benar efek makan sate dengan cabai setan seperti yang dibilang Supri semalam. Tetapi, sambil melangkah ke kamar mandi pagi itu, diam-diam saya berniat menelepon Supri, dan mengajaknya menikmati sate di sana lagi. Sepedas apa pun, saya akan menikmatinya jika bisa kembali mendapat mimpi seindah tadi.

Lebaran, Mantra Kutukan, dan Cabai Setan (1)

Kata orang, semuanya berawal dari mimpi.
@noffret


Kadang-kadang saya berpikir lebaran sering datang pada waktu yang kurang tepat. Ketika lebaran tahun kemarin datang, saya sedang tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang diburu waktu. Begitu pula lebaran tahun kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi.

Tahun ini, jauh-jauh hari saya sudah berharap pekerjaan saya selesai sebelum lebaran, tapi ternyata kisah lama kembali terulang. Lebaran kembali datang, tepat ketika saya sedang berkejaran dengan waktu menyelesaikan pekerjaan. Tentu saja yang salah bukan lebarannya, tapi pekerjaan yang sepertinya tidak ada habisnya. Kadang-kadang saya iri dengan para pekerja kantoran yang bisa libur panjang ketika lebaran datang. Dalam hidup saya seperti tidak ada hari libur, apalagi tanggal merah, apalagi liburan panjang.

Tetapi, bagaimana pun, lebaran akhirnya tetap memaksa saya untuk libur sejenak. Meninggalkan tumpukan berkas kerja, melupakan teriakan deadline, mengucap salam perpisahan pada buku-buku dan makalah, untuk keluar rumah mengunjungi keluarga, menemui sanak famili, beramah tamah dengan para tetangga. Bahkan, kalau dipikir-pikir, seharusnya saya bersyukur karena ada lebaran.

Di tempat saya tinggal, jarang sekali saya bisa beramah tamah dengan para tetangga. Meski kami hidup satu komplek, tapi belum tentu seminggu sekali kami bertemu. Bukan karena lingkungan saya individualis, tapi karena saya jarang sekali keluar rumah. Sebegitu jarangnya, sampai-sampai para tetangga agak “takjub” kalau kebetulan melihat saya duduk santai di teras rumah. Lebaran memberi kesempatan bagi kami untuk beramah tamah.

Di waktu lebaran pula, saya bersama keluarga biasa meluangkan waktu untuk mengunjungi sanak famili, bahkan yang tempatnya relatif jauh. Lebaran memberi alasan bagi siapa pun untuk kembali merekatkan dan mengeratkan hubungan saudara yang mungkin agak renggang, karena hidup berjauhan.

Di antara banyak manfaat lebaran yang saya anggap berguna bagi kemanusiaan, ada sedikit masalah bagi saya pribadi. Seiring rasa senang karena bisa bertemu dan beramah tamah dengan sanak famili, pertemuan dengan mereka juga menciptakan kegalauan dalam hati saya. Pasalnya, dalam setiap pertemuan di hari lebaran, selalu ada pertanyaan wajib yang mereka lontarkan… well, apa lagi kalau bukan pertanyaan “kapan kawin?”

Jadi, setiap kali bertamu ke tempat saudara atau famili mana pun, pada akhirnya saya harus mendengar pertanyaan itu, “Jadi, Hoeda Manis, kapan kamu mau kawin?”

Bagi saya, pertanyaan itu sudah menjadi semacam “mantra kutukan”. Ketika ditodong pertanyaan itu, saya jadi salah tingkah, bingung mau jawab apa lagi (karena berbagai jawaban klise sudah pernah saya gunakan sebelumnya). Kalau ditanya seperti itu, rasanya seperti sedang diacungi tongkat sihir Lord Voldemort, dan dia berteriak, “Avra kedavra!” Untung saya tidak sampai mati gara-gara ditanya kapan kawin.

Nah, hari Sabtu (lebaran hari keenam) kemarin, nyokap mengajak saya silaturrahmi ke famili di Ungaran. Saya tidak punya alasan untuk menolak. Maka saya pun menemani nyokap ke sana pada Sabtu sore, dan rencananya kami akan menginap di sana dua hari. Sama seperti yang sudah-sudah, famili di Ungaran pun kembali menodong pertanyaan yang sama, “Jadi, Hoeda Manis, kapan kamu akan kawin?”

Lebaran, ternyata, bukan hanya kesempatan untuk bersilaturrahmi, tetapi juga kesempatan untuk menanyakan “kapan kawin”. Dan, jujur saja, saya lebih siap ditanya soal-soal fisika, sejarah, atau bahkan filsafat, daripada ditanya kapan kawin. Oh, well, saya tahu kapan teori relativitas dideklarasikan, kapan Jepang menjajah Cina, atau kapan Socrates dihukum mati. Tapi saya benar-benar tidak tahu kapan saya akan kawin.

Lebih dari itu, saya bahkan tidak yakin kalau saya akan kawin.

Mungkin akan mudah menjawab “kapan kawin” jika saya punya niat untuk itu. Misalnya, saya bisa saja menjawab, “Yeah, saya sih udah pengin cepet-cepet kawin. Tapi saya mau kawin sama siapa, wong pacar aja belum punya?” Yang jadi masalah, saya tidak (atau belum) punya niat apalagi rencana untuk kawin. Jadi, setiap kali berhadapan dengan pertanyaan sialan itu, saya benar-benar menghadapi dilema.

Oke, skip.

Minggu pagi, jam sepuluh, nyokap dan para famili di Ungaran berencana jalan-jalan ke Masjid Agung. Seperti kita tahu, Semarang punya “tempat wisata” baru, bernama Masjid Agung. Berbeda dengan masjid umumnya, Masjid Agung memiliki bangunan futuristik, dengan payung-payung mekanik seperti di Masjid Nabawi, bahkan menaranya mencapai 19 lantai, dilengkapi lift. Konon, saat ini, Masjid Agung Semarang adalah masjid terbesar, paling mewah, dan paling megah se-Jawa Tengah—atau se-Indonesia, entahlah.

Lanjut ke sini.

Potensi untuk Tumbuh

Dr. Maxwell Maltz, seorang pakar psikologi, menyatakan, “Penemuan psikologis paling penting abad ini adalah penemuan citra diri.”

Jauh sebelum kata-kata itu diucapkan, Socrates, filsuf besar Yunani, tak henti-hentinya mengeluh tentang kelemahan dirinya sendiri. Namun ia kemudian menyadari bahwa manusia dapat diperbaiki, dapat disempurnakan.

Manusia selalu dapat memperbaiki diri. Demikian juga, kapasitasnya untuk tumbuh menjadi lebih besar, lebih kuat, lebih bijaksana, lebih bahagia, lebih kaya, tak peduli betapa pun kecilnya, selalu dapat ditingkatkan. Dengan iman dan keyakinan, kemampuan manusia untuk mengangkat dirinya dapat tumbuh dan berkembang pada setiap saat dalam hidupnya.

Dari Catatan Diary Honda

Soichiro Honda dikenal sebagai perintis perusahaan sepeda motor di Jepang. Dialah orang yang mewujudkan apa yang dianggap oleh dunia sebagai ‘Keajaiban Jepang’.

Semangat dan keberhasilannya yang luar biasa dalam dunia usaha diilhami oleh tokoh Napoleon yang sangat diidolakannya. Meski dia tidak tahu orang macam apa Napoleon itu, dia sangat mengaguminya karena nama Napoleon diabadikan dalam sejarah sebagai orang besar. Karena itu pulalah kemudian ia mencatat dalam hati dan ingatannya, “Cita-citaku adalah menjadi Napoleon permesinan!”

Sementara dalam biografinya Honda menulis, “Saya membayangkan Napoleon seorang lelaki yang ukuran fisik dan kekuatan tubuhnya sepadan dengan kekuatan dan ketenarannya. Ketika kemudian saya tahu dari buku-buku sejarah bahwa ia berbadan pendek dan gemuk, saya kecewa. Saya sendiri tidak berbadan tinggi, dan tentunya mempunyai keyakinan bahwa orang tidak boleh diukur dari tingginya, melainkan dari tindakan dan jejak yang ditinggalkannya dalam sejarah umat manusia.

“Saya juga mendengar Napoleon berasal dari latar belakang tidak terhormat, dan bahwa keluarganya mungkin miskin… Saya pun kemudian berkesimpulan bahwa untuk mencapai sukses, seseorang tidak perlu dilahirkan dari keluarga kaya atau terhormat. Banyak sifat lain yang membuat orang sukses; keberanian, kegigihan, dan… ambisi!”

Rabu, 22 Agustus 2012

Kuasa Memaafkan

Memaafkan diri sendiri kadang-kadang jauh lebih sulit
dibanding memaafkan orang lain. Pun meminta maaf pada diri sendiri.
@noffret


Hanna Hasula adalah janda pekerja keras, yang tinggal di Denver, Colorado. Ia hanya hidup berdua dengan putri tunggalnya, Patricia. Bagi Nyonya Hanna, Patricia adalah cintanya yang terbesar, segalanya baginya dalam hidup. Patricia kuliah di kota mereka sendiri, sambil bekerja paruh waktu sepulang dari kampusnya.

Suatu malam, Patricia tidak pulang dari kerjanya seperti biasa. Sampai larut, Nyonya Hanna menunggu putrinya dengan khawatir, namun Patricia tidak juga muncul atau menelepon untuk mengabarkan keberadaannya. Karena semakin gelisah, Nyonya Hanna lalu mencoba menghubungi kawan-kawan putrinya, dan dalam kebingungan serta kerisauan yang semakin besar ia pun mendatangi rumah sakit dan kantor polisi. Tapi tak seorang pun tahu tentang keberadaan putrinya.

Keesokan harinya, seorang polisi datang menemui Nyonya Hanna, dan mengabarkan bahwa Patricia, putrinya, telah ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya tergeletak di pinggir jalan, sepertinya telah dilempar dari mobil. Ia telah diperkosa, sekaligus ditikam hingga terbunuh. Mendengar kabar itu, Nyonya Hanna langsung pingsan.

Selama acara pemakaman putrinya berlangsung, Nyonya Hanna hanya bergerak seperti robot. Ia merasa kehilangan semua energi, dan napas hidupnya seperti telah berhenti. Kedukaan yang amat sangat karena terbunuhnya putrinya tercinta telah merenggut sinar kehidupan dari dirinya.

Beberapa waktu kemudian, sendirian dalam rumahnya yang kini makin sepi, Nyonya Hanna mulai memikirkan orang tak dikenal yang telah membunuh putrinya. Kebencian pun mulai berkembang dalam hatinya, kebencian yang bertumbuh semakin besar seiring berlalunya hari demi hari. Bahkan saat beribadah sehari-hari pun, pikirannya tetap penuh amarah kebencian serta keinginan membalas dendam.

Setiap kali melihat buku-buku kuliah milik putrinya, Nyonya Hanna menjerit, menangis, bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan hal seperti itu terjadi pada seseorang yang selama ini begitu taat kepada-Nya.

Kehidupan sehari-hari Nyonya Hanna tetap berlangsung seperti semula, ia bisa kembali bekerja keras seperti sebelumnya, namun ada kekosongan yang amat senyap di lubuk terdalam batinnya. Dan didorong obsesi kebencian serta keinginan untuk membalas dendam terhadap pembunuh putrinya, dia pun mempelajari surat-surat kabar, juga selalu berhubungan dengan polisi untuk mengetahui kemajuan kasus tersebut.

Sampai kemudian, si pembunuh kejam itu tertangkap sewaktu akan membunuh wanita lain. Surat kabar menyebut nama si pembunuh sebagai Carlton Moore. Foto sang pembunuh itu termuat di halaman surat kabar. Ketika Nyonya Hanna melihatnya, ia segera mengambil pisau dan menyilangkannya pada wajah di koran tersebut, menyayatnya hingga koyak.

Surat kabar menyebutkan latar belakang Carlton Moore sebagai anak lelaki yang dibesarkan keluarga berantakan. Ayahnya pecandu minuman keras, dan ibunya terganggu jiwanya. Ia memiliki IQ yang tinggi, namun karena sering diabaikan dan dianiaya sewaktu anak-anak, ia pun sering terlibat dalam kesulitan dan berurusan dengan polisi. Atas kasus pembunuhan Patricia, ia pun disidangkan di pengadilan.

Selama persidangan berlangsung, Nyonya Hanna duduk di ruang sidang dan mengamati jalannya persidangan sambil berharap pembunuh putrinya itu dihukum mati, agar dendamnya sedikit terlampiaskan. Ketika hakim ‘hanya’ memutuskan hukuman seumur hidup bagi Carlton Moore, Nyonya Hanna mengamuk tanpa kendali. Mengapa pembunuh yang kejam itu dibiarkan hidup, sementara putrinya mati?

Dan waktu-waktu berlalu, hidup serta hati Nyonya Hanna semakin getir. Ia masih terus menyimpan kebencian serta dendamnya, dan kebencian serta dendam itu makin hari semakin membesar. Hal itu, tanpa disadarinya, menyebabkan dirinya sering kali berperilaku kasar dan berlidah tajam. Karena hal itu pulalah rekan-rekan kerjanya mulai menjauhi, dan para tetangganya mulai menjaga jarak.

Pikiran Nyonya Hannya yang tak pernah bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan membuat kinerjanya menurun drastis, dia pun semakin berpaling ke dalam dirinya dan mulai menolak undangan pertemuan atau acara-acara sosial. Ia terkurung dalam kebenciannya sendiri, terpenjara oleh dendamnya sendiri. Dan penjara yang amat memedihkan itu mengurungnya dalam kesepian, kedukaan, dan kehidupan yang tak pernah tenang.

Bertahun-tahun kemudian, saat Nyonya Hanna mencapai usia 62 tahun, satu-satunya hal yang hidup di dalam dirinya adalah kebencian dan dendam yang tak kunjung padam. Hidupnya, fisiknya, pikiran dan hatinya terus-menerus digerogoti oleh rasa dendam dan kebencian itu, dan Nyonya Hanna pun semakin tersiksa dalam kesendirian.

Sampai suatu hari, ketika tengah khusyuk beribadah, sebuah suara seperti bergema dalam telinganya, “Tuhan saja selalu mau mengampuni hamba-Nya, mengapa kau tidak mau mengampuni sesamamu?”

Semula, Nyonya Hanna mencoba menolak suara hatinya, dan menyatakan, “Tapi bagaimana mungkin aku dapat memaafkan pembunuh putriku, dengan segala kepahitan yang kurasakan selama ini?”

Dan suara itu kembali bergema dalam telinganya, “Kalau kau mau mengampuni sesamamu, maka Tuhanmu pun akan mengampunimu.”

Suara kesadaran itu mengendap cukup lama dalam diri Nyonya Hanna, bertarung dengan perasaan dendam dan kebencian yang selama ini dipupuknya. Ia punya pilihan—hidup dengan terus memendam dendam dan kebencian, atau keluar dari kurungan kesedihannya dengan cara memaafkan.

Akhirnya, dengan perasaan terguncang, Nyonya Hanna mengutus seorang tetangganya untuk menyampaikan sebuah kitab suci ke penjara, dan meminta agar dikirim secara pribadi. Ia berpesan pada si tetangga, “Sampaikan kitab ini kepada seorang tahanan bernama Carlton Moore, dan katakan kepadanya bahwa karena Tuhan memaafkan dia, Nyonya Hanna pun telah memaafkannya.”

Tidak ada yang berubah sejak itu. Nyonya Hanna tetap kehilangan putrinya, dan Carlton Moore tetap mendekam di penjara. Tetapi... Nyonya Hanna menyatakan bahwa ketika ia telah melakukan hal itu, memaafkan dengan sepenuh hati terhadap orang yang semula ia benci mati-matian, ia merasa seolah telah melangkah keluar dari penjara besi, membebaskan dirinya dari sesuatu yang semula begitu kuat mengikat dirinya.

Ketika diwawancarai surat kabar, Nyonya Hanna berkata, “Carlton Moore yang lama sudah mati, begitu pula dengan Hanna Hasula yang lama yang getir. Kini aku bisa hidup dengan hati yang baru, ketika aku menemukan kekuatan ajaib dari tindakan memaafkan.”

....
....

Tindakan memaafkan membebaskan kita dari belenggu tak terlihat yang memberati langkah hidup kita. Rela memaafkan memberikan kedamaian pikiran, dan segala sesuatu yang kita harapkan atau inginkan. Inilah obat dengan daya kerja seperti mukjizat, yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit, memberikan keutuhan diri kita, dan mengarahkan kita memasuki hati Tuhan serta ke dalam kesatuan dengan Sang Pencipta.

Jika kebencian, dendam, dan sikap tak mau memaafkan menjadi bibit-bibit penyakit yang menggerogoti jiwa dan fisik kita, maka jalan penyembuhan yang paling ampuh hanyalah mau memaafkan. Seperti yang tertulis dalam A Course in Miracle, “Rela memaafkan menawarkan segala yang kuinginkan.”

Apa keinginan yang tidak dapat dipenuhi oleh rela memaafkan? Kita menginginkan kedamaian? Rela memaafkan bisa memberikannya. Kita menghendaki kebahagiaan, pikiran yang tenang, kepastian tujuan, dan rasa hormat yang melampaui dunia? Kita menghendaki rasa peduli dan aman, serta kehangatan perlindungan abadi? Kita ingin menikmati ketenteraman yang tak bisa diganggu gugat, kelembutan yang sama sekali tak bisa dilukai, kenyamanan yang mendalam dan abadi, dan suatu keadaan istirahat yang sempurna sehingga tak bisa dikecewakan?

Semua yang kita inginkan diberikan oleh sikap rela memaafkan, bahkan lebih. Rela memaafkan terpancar melalui mata begitu kita terbangun dari tidur, serta memberi rasa suka cita untuk menghadapi hari-hari kita. Membuat sejuk kepala kita ketika tidur, serta membuat santai mata kita sehingga tak bermimpi yang menakutkan dan jahat, penuh balas dendam serta serangan kebencian.

Dan ketika kita bangun kembali, rela memaafkan memberi kita hari baru yang penuh kebahagiaan dan damai. Rela memaafkan memberikan lebih dari semua yang kita inginkan.

Tapi memaafkan tidak cukup hanya dengan memaafkan. Memaafkan yang mendatangkan mukjizat bagi diri kita adalah memaafkan dengan sikap tulus, sepenuh hati, dan seutuhnya.

Di dalam The Power of Your Subconcious Mind, Dr. Joseph Murphy menulis bahwa ‘tes yang menentukan’ bagi tindakan memaafkan adalah bagaimana perasaan kita ketika mendengar kabar menggembirakan tentang seseorang yang pernah menyakiti diri kita pada masa lalu.

Jika kita masih merasakan reaksi negatif ketika mendengar berita baik itu, maka kita belum sepenuhnya memaafkan. Jika kita mendengar kabar baik itu dan tidak terpengaruh, baik ‘secara psikologis maupun spiritual’, berarti kita telah sepenuhnya memaafkan orang itu. Pola pikiran seperti itu membebaskan kita untuk menemukan kebahagiaan sejati di dalam diri kita.

Rela memaafkan adalah jembatan menuju Tuhan, cinta, dan kebahagiaan. Inilah jembatan yang memungkinkan kita mengucapkan selamat tinggal kepada rasa bersalah, hujatan, dan aib.

Rela memaafkan menjernihkan udara dan memurnikan hati serta jiwa kita; membuat kita bersentuhan dengan segala sesuatu yang suci. Melalui rela memaafkan, kita terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, sesuatu yang melebihi yang kita bayangkan dan yang dapat kita mengerti. Rela memaafkan memungkinkan kita untuk tenteram di dalam misteri kehidupan, memeluk kebahagiaan, serta menyentuh tangan Tuhan.

Dibakar Rindu

Mbakyu! Mbakyu! Selamatkan aku dari rinduku!

Menjadi Diri Sendiri

Jika Tuhan menginginkan kita menjadi diri sendiri,
mengapa kita harus mati-matian menentangnya?
@noffret


Saya meyakini bahwa sekian milyar manusia yang pernah hidup di bumi ini, yang sedang hidup dan yang akan hidup, tidak ada dan tidak akan pernah ada satu pun yang sama dengan diri kita.

Masing-masing orang memiliki keunikannya sendiri-sendiri, bahkan seumpama sepuluh bayi dilahirkan dalam keadaan kembar pun masing-masing akan memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Padahal, jika Tuhan mau, tentunya Dia bisa menciptakan sekian banyak manusia yang benar-benar serupa, baik fisik maupun psikisnya. Tetapi tidak, Tuhan sengaja menciptakan kita—masing-masing kita—dalam bentuk berbeda-beda.

Inilah modal besar yang telah diberikan Tuhan untuk kita gunakan dalam kehidupan ini. Setiap orang telah diberikan suatu keistimewaan yang tidak diberikan kepada orang lain. Yang perlu kita lakukan, sebenarnya, bukan mengikuti mode atau tren dengan ikut-ikutan menjadi sosok lain, tetapi menjadi diri sendiri dengan menonjolkan keistimewaan yang kita miliki secara unik ini.

Mengikuti budaya konformitas (selalu berupaya untuk sama dengan orang lain) hanya akan menjadikan kita budak lingkungan, serta kehilangan jati diri.

Jadilah diri sendiri, adalah nasihat paling mendasar bagi setiap manusia.

Kamis, 09 Agustus 2012

Cinderella Tidak Memakai Sepatu Kaca

Yang paling merisaukan
adalah keyakinan yang tak pernah diperiksa.
@noffret


Dalam sebuah acara kuis terkenal di televisi, seorang peserta kuis ditanya oleh sang host, “Terbuat dari apa sepatu Cinderella?”

Pertanyaan itu menyediakan empat jawaban: a) kaca, b) tembaga, c) plastik, dan d) kulit. Sebagai hadiah, acara kuis itu akan memberikan uang sebesar 20 juta rupiah jika si peserta kuis bisa menebak jawaban dengan benar.

Tak perlu menunggu lama, si peserta kuis langsung menyatakan dengan percaya diri, “Jawabannya A. Terbuat dari kaca.”

Seperti yang telah ditebak para penonton di rumah, jawaban itu dinyatakan benar. Orang itu mendapatkan hadiah 20 juta rupiah untuk jawaban yang sebenarnya salah. Karena, faktanya, Cinderella tidak memakai sepatu kaca.

Jika kita menelusuri kisah Cinderella, kita akan menemukan fakta bahwa legenda tentang perempuan itu telah lahir jauh-jauh hari sebelum Masehi, dan hadir di berbagai belahan dunia dengan ragam kisah yang berbeda. Meski kisah Cinderella sering diklaim sebagai dongeng rakyat Prancis, Italia, atau bahkan Jerman, tetapi kisah Cinderella telah dituturkan turun temurun berabad-abad lalu di Yunani, Jepang, bahkan di Cina. Peradaban manusia telah mengenal kisah Cinderella, jauh-jauh hari sebelum peradaban kita mengenal kaca.

Di zaman Yunani kuno, atau abad pertama sebelum Masehi, masyarakat Yunani biasa menceritakan tentang seekor elang yang membawa terbang sepatu cantik milik seorang gadis miskin. Sepatu itu kemudian dijatuhkan si elang di pangkuan seorang raja yang tampan. Sang raja terpikat oleh keindahan sepatu tersebut, dan memerintahkan pengawalnya mencari sang pemilik sepatu. Dan kemudian mempersuntingnya. Setelah itu, seperti biasa, mereka pun hidup bahagia selamanya.

Itu kisah Cinderella yang dipercaya sebagai versi orisinal, sebelum kemudian diubah dan dikembangkan oleh banyak penulis di berbagai belahan dunia.

Selain Cinderella versi Yunani, ada pula versi lain yang juga dianggap orisinal, yaitu kisah yang dituturkan turun temurun oleh masyarakat Cina kuno. Di Cina, nama si gadis bukan Cinderella, tetapi Ye Xian (atau kadang pula ditulis Yeh-Shen). Kisah itu pertama kali dituturkan pada masa pemerintahan Dinasti Tang, atau awal abad kesembilan.

Ye Xian atau Yeh-Shen adalah gadis malang yang tinggal bersama ibu tiri serta dua saudara tiri. Mereka memperlakukan Yeh-Shen dengan kejam, bahkan ikan mas kesayangan Yeh-Shen dimasak dan dimakan sebagai santapan.

Yeh-Shen sangat berduka mengetahui ikan mas kesayangannya mati, dan ia menyembunyikan sisa-sisa tulang ikannya di kamar. Arwah ikan mas itu kemudian membantu Yeh-Shen menghadiri pesta di istana raja, dengan cara “mewujudkan” sebuah gaun indah dan sepatu cantik untuknya. Yeh-Shen pun pergi ke istana, bertemu sang raja, saling jatuh cinta, dan... seperti biasa, mereka pun hidup bahagia selamanya.

Dongeng Cinderella versi Cina itu kemudian tersebar ke berbagai daratan Eropa melalui para pedagang dan pengembara, sampai akhirnya menjadi bagian kekayaan khazanah Eropa. Dari situ, berbagai penulis kemudian mengubah, memperbaiki, atau bahkan merombak total kisahnya, hingga akhirnya muncul versi Cinderella yang paling terkenal, yaitu kisah tentang gadis yang diperlakukan kejam oleh ibu dan saudara tirinya, hingga kemudian dipersunting seorang raja gara-gara sepatu yang pas dengan kakinya. Kisah itu mulai populer pada abad pertengahan.

Selain kisah dari Yunani dan Cina, setidaknya ada 340 versi kisah Cinderella lain yang memiliki tema sama, dan tidak ada satu pun dari ratusan versi itu yang menyebutkan sepatunya terbuat dari kaca. Dalam Cinderella versi Cina, disebutkan sepatunya terbuat dari “benang emas dengan sol emas padat”. Dalam versi Skotlandia, sepatu Cinderella disebut terbuat dari “rumpun gelagah”. Sementara dongeng Prancis abad pertengahan, menyebut sepatu Cinderella terbuat dari “bulu bajing” (pantoufles de vair).

Kerancuan mengenai bahan sepatu Cinderella dimulai pada abad ke-17, gara-gara seorang penulis bernama Charles Perrault salah dengar. Dari situlah kemudian salah kaprah tentang sepatu Cinderella dimulai.

Charles Perrault adalah penulis Paris yang terkenal, dan dia ingin menulis kisah Cinderella versi modern sebagaimana yang biasa dituturkan rakyat Prancis kala itu. Maka ia pun mewawancarai orang-orang tua di Prancis untuk dapat menyusun kisah Cinderella secara urut, detil, serta lengkap. Berdasarkan wawancara-wawancaranya, Charles Perrault mengumpulkan keping-keping kisah Cinderella, dan kemudian menyusunnya. Yang jadi masalah, ia salah dengar mengenai bahan pembuat sepatu Cinderella.

Seperti yang disebutkan di atas, dongeng Prancis menyebutkan sepatu Cinderella terbuat dari bulu bajing, atau disebut pantoufles de vair. Dalam bahasa Prancis, “vair” memiliki arti “bulu bajing”. Sementara yang terdengar Charles Perrault adalah kata “verre” yang artinya “kaca”. Kedua kata itu—vair dan verre—memang terdengar mirip, dan Charles Perrault tidak mengklarifikasinya sebelum mulai menulis kisah Cinderella. Akibatnya, ia pun menulis sepatu Cinderella dengan deskripsi “pantoufles de verre”, atau “sepatu kaca”.

Kisah yang ditulis Charles Perrault menjadi kisah Cinderella pertama yang ditulis, sehingga tentu saja mempengaruhi pemahaman para pembacanya. Kisah itu diberi judul Tales of Mother Goose, dan terbit pada tahun 1697. Segera setelah terbit, kisah itu menjadi sangat populer di berbagai kalangan, dan memunculkan sebuah genre baru dalam dunia penerbitan, yakni dongeng.

Ketika kemudian kisah itu diterjemahkan ke berbagai bahasa, para penerjemah tidak menelusuri bahan pembuat sepatu Cinderella, tetapi langsung menerjemahkan “verre” ke bahasa mereka. Penerjemah Indonesia, misalnya, menerjemahkannya sebagai “sepatu kaca”, dan kita pun kemudian percaya bahwa sepatu Cinderella memang terbuat dari kaca.

Versi tertulis lain yang juga terkenal adalah versi yang ditulis Grimm Bersaudara (Jacob Grimm dan Wilhelm Grimm) dari Jerman. Dalam versi Grimm Bersaudara, sepatu Cinderella terbuat dari bahan emas. Tetapi, meski banyak orang yang membaca kisah Cinderella versi Grimm Bersaudara, pemahaman orang pada sepatu Cinderella tetap terbuat dari kaca, karena tokoh dalam kisah Grimm Bersaudara tidak disebut bernama Cinderella, melainkan Ashputtel (Cinderella versi Jerman).

Yang membuat keyakinan banyak orang semakin menguat bahwa sepatu Cinderella terbuat dari kaca adalah karena film-film yang dibuat Walt Disney juga menggambarkan sepatu gadis itu memang terbuat dari kaca. Tentu saja wajar, karena Disney mengacu kisahnya pada literatur yang ditulis Charles Perrault. Melalui film-film itu pula, “doktrinasi” tentang sepatu kaca Cinderella semakin menguat, hingga peserta kuis di televisi bisa mengantungi dua puluh juta rupiah meski jawabannya salah.

Jadi, terbuat dari apa sepatu Cinderella? Bukan dari kaca, juga bukan dari plastik, atau kulit, ataupun tembaga. Jika kita mau menerima versi aslinya, sepatu Cinderella terbuat dari bahan yang disebut “vair”.

Dalam Oxford English Dictionary, disebutkan bahwa kata “vair” telah digunakan dalam bahasa Inggris dan Prancis sejak sekitar tahun 1300, dan kata itu berasal dari bahasa Latin—“varius”—yang artinya “sebagian-berwarna”, dan merujuk pada bulu spesies bajing yang “banyak digunakan untuk pinggiran pakaian”. Jika disimpulkan dalam satu kata, maka sepatu Cinderella terbuat dari “bulu-bajing”.

Mengapa urusan sepatu ini sepertinya jadi serius? Sepatunya sendiri sebenarnya tidak serius, meski mungkin Freud menganggap sepatu hal serius. Dalam Three Contributions to the Theory of Sex, misalnya, Sigmund Freud menulis bahwa sepatu adalah simbol alat kelamin wanita. Sejak zaman Cinderella sampai zaman modern sekarang ini, kenyataannya wanita selalu tergila-gila pada sepatu.

Tapi saya tidak menganggap hal itu penting. Sepatu, seindah atau semahal apa pun, hanyalah benda, sebuah produk yang menjadi bagian peradaban manusia. Yang membuat saya berpikir serius adalah fakta betapa salah dengar bisa mempengaruhi jutaan orang di dunia, betapa kekeliruan fakta yang tidak diklarifikasi bisa melahirkan doktrinasi.

Hanya karena satu orang bernama Charles Perrault salah dengar, ada jutaan manusia di dunia ini yang sangat meyakini bahwa sepatu Cinderella terbuat dari kaca. Sebegitu yakinnya, hingga mereka sulit untuk menerima kenyataan bahwa sebenarnya Cinderella tidak memakai sepatu kaca.

Sekarang, dengan hati getir, saya membayangkan jika ternyata kita terjebak pada keyakinan lain, yang ternyata juga berasal dan berawal dari salah dengar....

Hotep Temannya Noffret

Aku akan terlahir kembali, Hotep. Dan dalam reinkarnasiku
yang mungkin berabad-abad sejak hari ini, aku akan menuliskan kembali
pesan-pesanmu, agar dunia membacanya, agar aku tak pernah lupa.
Mungkin tidak lagi di lembar-lembar papirus,
tapi di suatu tempat yang tak akan lagi aus dilekang masa.
—Prince Noffret kepada Ptah Hotep


Ptah Hotep adalah wakil Raja Mesir dari Dinasti Kelima (3366-3266 SM). Sepanjang hidupnya, lelaki bijak itu menulis banyak pesan yang masih relevan untuk diterapkan saat ini. Pesan-pesan bernilai tinggi itu ditemukan para arkeolog dalam sebuah gulungan papirus yang sudah sangat tua. Jika bangsa Mesir memiliki peradaban yang tinggi, tercermin dari tulisan-tulisan dalam papirus tersebut, apa salahnya kalau hari ini kita belajar dari mereka?

Di antara banyak tulisan Ptah Hotep, ada tujuh pesan bijak yang masih bisa terbaca dari gulungan papirus itu, sementara lainnya sudah aus, atau tulisannya sudah tak bisa terbaca karena digerogoti usia. Berikut ini tujuh pesan Hotep, yang sekarang ditulis kembali oleh Noffret:

Satu, bekerjalah lebih baik dari yang bisa dikerjakan orang lain.

Dua, siapa yang membuang waktu akan ketinggalan.

Tiga, kalau kita mencintai pekerjaan, tugas yang kita pikul tidak akan pernah membosankan.

Empat, kegagalan bukan untuk orang yang terlambat, tapi untuk orang yang tak pernah mau memulai.

Lima, tenanglah apabila mendapat kesulitan, dan tersenyumlah apabila memperoleh kegagalan.

Enam, siramlah hati dengan ketenteraman, apabila hidup terasa gersang.

Tujuh, jangan sampai kehilangan kegembiraan sewaktu bekerja.

Rabu, 01 Agustus 2012

Ngomongin Hantu (5)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Lokasi kemah itu sangat luas, dan dipenuhi pohon-pohon besar yang tinggi menjulang, layaknya hutan kecil di dataran tinggi. Sekitar seratus meter dari sana ada perkampungan penduduk, namun lampu-lampu pemukiman tidak mencapai tempat kemah kami. Artinya, tempat itu bisa dikatakan gelap. Tapi kami telah membawa bekal patromaks. Dengan tambahan api unggun, kami pun tahu tempat itu tidak akan terlalu gelap.

Larut malam, saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di dekat api unggun. Dalam obrolan itu, seorang dari mereka menyatakan bahwa tempat yang kami gunakan berkemah itu sebenarnya sangat angker. Saya pun bertanya dengan heran, kenapa memilih tempat ini jika tahu angker? Dia menjelaskan, sebenarnya mereka sudah mencari lokasi lain yang lebih baik, tapi tidak menemukan satu pun yang kosong. Waktu itu sedang musim kemah, dan tempat-tempat yang biasa dijadikan “langganan” pecinta alam penuh semua.

Sejujurnya saya tidak terpengaruh dengan cerita itu. Mau angker mau wingit, peduli amat? Toh saya tidak percaya hantu. Jadi, saya pun kemudian enjoy selama di sana. Lagi pula, pikir saya, kalau pun ternyata ada hantu, kami bersama seratusan orang. Masak seratus orang itu akan ketakutan semua kalau kebetulan ada hantu iseng yang ngeluyur ke tempat kami?

Nah, sekitar pukul dua belas malam, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Bukan hantu. Tapi saya kebelet buang air kecil. Cukup jauh dari tempat kami berkemah, ada sebuah mushola yang biasa digunakan orang kampung di sana untuk shalat berjamaah. Bocah-bocah yang berkemah di sana biasa menggunakan toilet mushala itu untuk buang air kecil. Jadi saya pun dengan pede menuju ke sana sendirian.

Perjalanan meninggalkan kemah menuju mushala itu harus melewati bagian kosong lokasi kemah yang rimbun oleh pepohonan. Masih dengan pede, saya asyik melangkah sambil bersenandung, melewati tempat yang cukup luas dan gelap. Di bawah salah satu pohon, saya berhenti, untuk menyulut rokok. Pada waktu menyulut rokok itulah, sesuatu yang akan mengguncang pikiran saya terjadi.

Tepat ketika saya menyalakan korek api untuk menyulut rokok yang terselip di bibir, mata saya melihat sekilas dua titik merah di kejauhan. Mula-mula saya tak peduli, dan terus menyalakan rokok, dan berpikir yang saya lihat hanya efek nyala api dalam kegelapan. Tetapi, setelah korek api mati, dan saya telah mulai mengisap rokok dengan nikmat, dua titik merah tadi masih terlihat.

Saya berdiri dengan penasaran di bawah pohon besar itu, dan menatap ke dua titik merah tadi, ingin memastikan apa sebenarnya yang saya lihat. Tiba-tiba, waktu seolah bergerak dengan cepat. Dua titik merah yang tadinya tampak di kejauhan itu tiba-tiba melesat dengan kecepatan luar biasa... mendekat maju ke arah saya!

“What the hell...” Rasa penasaran, kebingungan, takjub, bercampur takut dan panik, membuat saya terpaku di bawah pohon itu, dengan rokok masih terselip di bibir. Saya merasa tak mampu bergerak, dan dua titik merah tadi kini telah berubah menjadi dua bulatan merah. Dua bulatan merah yang menyala. Dan semakin dekat hal itu ke tempat saya berdiri, pandangan saya semakin jelas. Dua bulatan merah menyala itu adalah sepasang mata!

Sekarang saya benar-benar ketakutan. Tapi tubuh saya seperti terkunci tak mampu bergerak. Sementara mata saya nyalang memperhatikan makhluk paling mengerikan yang pernah saya saksikan. Makhluk itu semakin dekat, semakin mendekat, dan saya semakin bisa melihatnya dengan jelas.

Sosok makhluk itu sangat besar, mungkin seukuran robot Optimus Prime dalam film Transformer, hanya saja bentuknya sangat mengerikan. Seluruh tubuhnya hitam legam, kelihatannya berbulu kasar, sementara kedua matanya merah membara. Dan sepasang mata merah membara itu menatap galak ke arah saya! Omigod, dan sekarang saya bisa melihat dengan jelas, makhluk itu merentangkan kedua tangannya yang besar, dengan sikap seolah akan mencengkeram saya!

Tinggal dua meter lagi makhluk besar mengerikan itu sampai di depan saya, dan akal waras saya mulai bekerja. Lari! Maka saya pun melemparkan rokok ke arah makhluk itu, berharap ia terinjak dan kepanasan oleh apinya, sementara saya lari sekuat tenaga. Jarak dari tempat itu ke lokasi kemah hanya sekitar dua puluh meter, tapi saya merasa tak sampai-sampai.

Akhirnya, dengan napas ngos-ngosan dan tubuh gemetar, saya menjatuhkan diri di sebuah kemah tempat beberapa teman sedang asyik bercakap-cakap. Melihat ekspresi saya yang sangat panik dan takut, mereka pun bertanya ada apa. Dengan jujur saya menjawab barusan melihat hantu. Anjrit, mereka malah tertawa!

Selama ini mereka tahu, saya tidak percaya hantu. Jadi, mendengar saya baru melihat hantu benar-benar mustahil bagi mereka, dan mereka pun menertawakannya. Tetapi, setelah melihat ekspresi saya yang nyaris mampus sewaktu menceritakannya, bocah-bocah kurang ajar itu pun akhirnya percaya kalau saya—ya, saya!—baru melihat hantu, atau entah apa pun itu!

Acara kemah itu rencananya tiga hari dua malam. Saya pun sebelumnya berencana akan mengikuti acara itu sampai selesai. Tapi setelah kejadian itu, pikiran saya terus-menerus tidak enak. Lebih dari itu, saya tidak bisa membayangkan jika besok malam saya masih ada di sana. Makhluk-entah-apa tadi mungkin melepaskan saya malam ini, bagaimana kalau besok dia kembali iseng?

Malam itu pun saya tidak bisa tidur. Sepanjang malam saya gelisah, menunggu pagi, dan bersumpah akan segera meninggalkan tempat itu begitu matahari bersinar. Acara di perkemahan itu pun jadi mencekam, setelah mereka yakin saya benar-benar telah melihat hantu. Akhirnya, sebagian besar dari kami tidak tidur sama sekali malam itu, karena gelisah, juga berjaga-jaga. Berjaga-jaga dari hantu...? Yang benar saja!

Esok paginya, sebelum cabut dari tempat itu, saya mampir ke sebuah warung di kampung sana, untuk sarapan. Di warung itu saya bercakap-cakap dengan pemilik warung, memancing-mancingnya untuk menceritakan lokasi itu sebenarnya. Tepat yang saya duga, si pemilik warung berkata, “Tempat itu memang sangat angker, Mas.” Lalu dia mengisahkan, para penduduk di tempat itu tidak ada yang berani mendekati lokasi tersebut kalau sudah malam.

“Itulah kenapa saya heran, anak-anak kota kok berani membangun kemah di sana,” ujarnya dengan muka benar-benar heran. “Apa mereka belum pernah diganggu makhluk-makhluk halus di sana, ya?”

Sebenarnya sih sudah, batin saya. Lalu saya kembali memancingnya, makhluk seperti apa yang sekiranya menjadi penunggu tempat itu. Si pemilik warung menjelaskan bahwa menurut para sesepuh di sana, ada makhluk hitam yang luar biasa besar, bermata merah, yang dipercaya telah ada di sana jauh sebelum para penduduk menempati perkampungan di daerah itu. Karena hal itu pula, menurutnya, sampai saat ini lokasi kosong tersebut tidak dijadikan bagian perkampungan, dan tetap dibiarkan sebagai lahan kosong.

“Kami tidak ingin mengganggu makhluk itu,” katanya dengan khusyuk.

Saya juga tidak ingin, pikir saya sambil membayangkan makhluk-entah-apa yang saya lihat semalam.

Seusai sarapan di sana, saya pulang ke rumah.

Tidak lama setelah kejadian itu, saya membaca majalah yang memberitakan tentang Paul Rowland, si “pemburu hantu” dari Inggris, telah berhasil menciptakan perangkat elektronik untuk “memotret gambar arwah gentayangan”. Perangkat elektronik itu dilengkapi sinar ultraviolet dan inframerah, untuk menangkap gambar yang tidak mampu ditangkap kamera biasa.

Dengan kameranya yang canggih itu, Paul Rowland berhasil memotret arwah seorang anak kecil di salah satu ruang tempatnya bekerja. Sebelumnya, ia telah mendengar keberadaan hantu tersebut, dan kamera canggihnya kemudian membuktikan kalau di tempat itu memang ditunggui hantu. Ia pun akan terus mengembangkan teknologi kameranya, agar lebih canggih dan hasilnya bisa lebih memuaskan.

“Saya menggunakan sinar ultraviolet dan biru, untuk memungkinkan penangkapan gambar di ruang gelap,” ujar Rowland. “Perangkat itu juga dilengkapi kamera digital still dan camcorder, yang mampu menangkap gambar dalam sorotan cahaya ultraviolet. Dengan kamera canggih ini, orang yang selama ini tidak percaya hantu akan melihat sendiri, bahwa hantu memang ada.”

Oh, well... baiklah, Tuan Hantu. Sekarang saya percaya.

Ngomongin Hantu (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Padahal, umumnya, “kesurupan” semacam itu akan berhenti sendiri, yang biasanya diikuti gejala amnesia atau lupa pada semua atau sebagian kejadian yang baru saja dialaminya. Pada waktu itu pula si korban biasanya akan merasa lelah sekali, kadang juga sakit pada seluruh badannya. Rasa sakit itu sebenarnya akibat orang-orang yang menolongnya terlalu menekan, menghimpit, dan menutup jalan napasnya, sebagai upaya “mengusir makhluk halus” agar keluar dari tubuhnya.

Ditinjau dari sistem saraf, kesurupan adalah fenomena serangan terhadap sistem limbic—bagian otak yang sebagian besar mengatur emosi, tindakan, dan perilaku. Sistem limbic sangat luas, dan mencakup banyak bagian pada lobus otak.

Terganggunya emosi akibat tekanan atau kesulitan hidup adalah hal yang sering kali memicu rangsangan hingga mempengaruhi sistem limbic, yang memunculkan gejala “kesurupan”. Setelah itu, terjadi kekacauan pada zat pengantar rangsang saraf atau neurotransmitter. Zat pengantar rangsang saraf yang kemudian keluar mungkin norepinephrin atau juga serotonin, yang menyebabkan perubahan perilaku si orang bersangkutan.

Seperti yang disebutkan di atas, reaksi histeria massal mudah terjadi pada siswi-siswi sekolah, terutama yang bermasalah. Histeria umumnya menimbulkan reaksi ketakutan. Mereka yang mentalnya tidak kuat, dan kebetulan sedang bermasalah, akan terpengaruh dan kemudian akan ikut berteriak-teriak, lalu tubuhnya mengalami kejang dan kaku. Perempuan memang relatif lebih mudah terkena kesurupan dan histeria karena pengaruh emosi dan sistem hormon.

Karenanya, jika kita perhatikan, korban “kesurupan” sering kali adalah orang-orang yang memang rentan menghadapi masalah hidup, dan umumnya perempuan. Orang-orang yang hidupnya relatif tenang dan nyaman—secara sosial dan ekonomi—sangat jarang sekali ditemukan mengalami kesurupan. Apakah hantu sengaja memilih korbannya? Kedengarannya kok tidak masuk akal.

So, jika buruh pabrik sering mengalami kesurupan, dan hal itu diyakini karena diganggu “makhluk halus”, kenapa para manajer, direktur, dan komisarisnya tidak pernah mengalami kesurupan yang sama? Jika para pembantu rumah tangga sering diketahui mengalami kesurupan, mengapa para majikannya jarang mengalami hal yang sama? Jika memang itu perbuatan hantu, sepertinya sangat aneh jika hantu pilah-pilih korban.

Jadi, apakah saya percaya hantu? Oh, well, saya percaya!

Baiklah, sekarang kita akan ngomongin hantu. Seperti pada hal-hal lain yang “meragukan”, hantu adalah salah satu hal yang sebelumnya sulit saya percaya. Seperti pada hal-hal lain yang sama “meragukan”, saya baru akan mempercayainya, jika; a) sesuatu itu bisa dijelaskan secara ilmiah, atau b) sesuatu itu bisa dibuktikan secara empiris.

Secara ilmiah, hantu terbukti omong kosong. Buktinya semua yang telah dipaparkan di atas. Bagaimana secara empiris? Nah, ada sedikit masalah dalam hal ini. Karena, faktanya, saya benar-benar pernah melihat hantu!

Lima tahun yang lalu, saya diajak berkemah oleh teman-teman pecinta alam. Lokasi perkemahan itu di suatu tempat berinisial KA. (Sori, saya terpaksa menyamarkan nama lokasinya, untuk menghindarkan hal-hal tak diinginkan). Yang jelas, tempat itu sudah biasa dijadikan tempat untuk berkemah para pecinta alam. Saya menerima ajakan itu karena kebetulan sedang tidak ada kerjaan, itung-itung sekalian refresing.

Tanpa punya pikiran buruk apa pun, saya ikut bersama rombongan pecinta alam itu, dan kemudian mendirikan kemah di tempat yang telah ditentukan. Rombongan kami ada seratusan orang, dan kami pun tertawa-tawa dan bercanda dengan asyik sebagaimana umumnya orang menikmati acara kemah.

Lanjut ke sini.

Ngomongin Hantu (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Setelah diteliti, Tandy pun menemukan bahwa kipas angin itu mengeluarkan gelombang infrasonik 19 Hz di dalam laboratoriumnya. Dinding laboratorium yang steril menyebabkan gelombang itu memantul dan membesar, kemudian menghasilkan sebuah bidang dengan energi maksimum yang berpusat di tengah ruangan. Energi itulah yang menjadikan pedang anggarnya bergerak dengan liar seolah ada kekuatan tak terlihat yang menggerakkannya.

Untuk membuktikan kesimpulannya sendiri, Tandy kembali membawa pedang anggarnya ke tengah ruang laboratorium. Seperti tadi, pedang anggar itu kembali bergetar dengan liar. Ketika kipas angin tersebut dimatikan, gelombang dan semua fenomena yang terkait dengan itu menghilang. Tandy kembali membawa pedang anggarnya ke tengah ruangan, dan kali ini sama sekali tidak bergerak.

Pengalaman itulah yang kemudian ia tulis dalam makalahnya, The Ghost in the Machine, yang lalu diterbitkan dalam Journal of Society for Psychical Research. Penjelasan dalam makalah itu semakin menguatkan keyakinan segelintir orang, bahwa hantu—atau penampakan, atau kuntilanak keramas sambil ngesot, atau bocah-bocah sejenisnya—hanyalah dongeng konyol.

Lalu bagaimana dengan kesurupan? Jika hantu atau sejenisnya memang tidak ada, bagaimana dengan orang yang “kerasukan” makhluk halus hingga kesurupan?

Ketika seorang penderita epilepsi sedang kambuh, dia bisa mengalami halusinasi melihat hantu, mendengar bisikan, menyaksikan penampakan, atau lainnya, dan kemudian suaranya dapat berubah—sesuatu yang kemudian lazim disebut “kesurupan”. Umumnya, gejala itu terdapat pada orang dengan epilepsy lobus temporalis.

Lalu bagaimana kondisi “kesurupan” semacam itu bisa “menulari” orang lainnya?

Kita pasti pernah membaca, mendengar, atau menonton berita yang mengabarkan serombongan siswi di sebuah sekolah mengalami “kesurupan” yang sama. Awalnya juga dari hal di atas. Ketika seorang penderita epilepsy lobus temporalis kambuh dan mengalami halusinasi hingga ia menampakkan ekspresi kesurupan, gejala itu akan memancing teman-temannya—terutama perempuan yang mengalami banyak masalah atau kesulitan—untuk ikut tertular gejala tersebut.

Dalam istilah medis, “kesurupan” semacam itu disebut possession-trans, atau suatu kondisi trans-pemilikan, yaitu terdapatnya perubahan tunggal atau episodik pada kesadaran seseorang. Kondisi itu bisa diketahui dengan adanya pergantian identitas pribadi dengan identitas baru. Misalnya orang yang kesurupan itu merasa menjadi orang lain yang hidup ratusan tahun yang lalu, atau menyebut dirinya dengan nama lain, atau semacamnya. Akibatnya, tentu, orang itu pun menunjukkan perilaku yang aneh dan tak biasa.

Ketika hal itu terjadi, si korban “kesurupan” bisa saja menampakkan mata yang tajam, menakutkan, atau kosong dan lurus ke depan. Suaranya pun kadang berubah, yang tadinya halus menjadi berat dan kasar, yang aslinya perempuan bisa bersuara laki-laki. Jika kita periksa, tekanan darahnya akan menunjukkan penurunan, kecuali kalau dia meronta-ronta. Suhu tubuhnya juga menurun, dan terasa dingin.

Yang membuat orang-orang lain panik, biasanya, karena korban “kesurupan” akan menunjukkan kekuatan fisik yang lebih kuat dibanding biasanya, dan kadang sampai bertindak kasar, seperti melempar-lempar sesuatu yang membahayakan. Dia juga bisa lari-lari, berteriak, bicara tak karuan, dan kadang bahkan bisa berbicara bahasa lain yang sebelumnya tidak dia pahami atau kuasai. Dalam bahasa ilmiah, kondisi itu disebut xenolalia.

Karena perilakunya yang mungkin dianggap membahayakan, orang-orang pun biasanya akan menangkap dan memegangi si korban “kesurupan”, bahkan kadang sampai menghimpitnya dengan keras.

Lanjut ke sini.

Ngomongin Hantu (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Gelombang infrasonik adalah frekuensi gelombang sangat rendah, antara 0,1-20 Hz. Sebegitu rendahnya gelombang suara infrasonik, hingga manusia tidak akan dapat mendengarnya. Namun, meski kita tidak dapat mendengarnya, tapi ternyata kita tetap bisa “merasakannya”. Bahkan sebagian orang dapat digolongkan hipersensitif (sangat peka) terhadap frekuensi rendah ini.

Infrasonik dapat menyebabkan berbagai efek yang aneh, termasuk di antaranya mual, ketakutan atau kekaguman yang ekstrim, kecemasan, dan merinding. Para ilmuwan juga percaya infrasonik dapat mempengaruhi penglihatan seseorang dengan menyebabkan getaran pada bola mata. Getaran itu dapat menyebabkan kita seolah-olah “melihat sesuatu”. Penampakan, sebagaimana yang biasa diceritakan orang-orang, kemungkinan besar berasal dari situ.

Gelombang infrasonik dapat terjadi karena berbagai macam fenomena yang berbeda, seperti badai, angin musim, pola cuaca, dan beberapa jenis gempa bumi. Hewan seperti gajah juga diketahui menggunakan infrasonik untuk berkomunikasi melalui jarak jauh, atau sebagai pertahanan terhadap ancaman, melalui injakan kaki mereka pada bumi. Ketika seekor gajah sengaja menginjakkan kaki ke bumi untuk “berkomunikasi” dengan sesamanya, gajah yang jauhnya berkilo-kilo meter dapat memahami maksud “komunikasi” itu karena efek infrasonik, meski kita—manusia—tidak mendengar apalagi memahaminya.

Nah, ceritanya, Vic Tandy sedang meneliti sesuatu di sebuah laboratorium. Selama bekerja di laboratorium, rekan sekerjanya sering mengeluh akibat perasaannya yang terus-menerus tidak enak. Sebenarnya, ruang laboratorium itu tidak seram, bahkan bersih dan steril seperti umumnya laboratorium lain. Namun, si rekan kerja terus-menerus merasa merinding, menganggap tempat itu menyeramkan, dan dia merasa ngeri.

Ternyata, yang merasakan perasaan ngeri semacam itu bukan hanya rekan kerja Vic Tandy. Petugas kebersihan di sana bahkan sampai mengundurkan diri karena tidak tahan merasakan perasaan merindingnya selama bekerja di laboratorium. Si petugas kebersihan itu menyatakan telah “melihat sesuatu” di sana, dan ia benar-benar ketakutan.

Sampai kemudian, suatu malam, Vic Tandy bekerja di laboratorium itu sendirian. Seperti umumnya ilmuwan, dia lupa waktu karena keasyikan bekerja. Lewat tengah malam, tiba-tiba ia merasa sedang diawasi. Dia duduk diam, agak ketakutan, dan dengan kaku mencoba melirik melalui sudut matanya. Tepat seperti yang ia bayangkan, sesosok bayangan tampak di sudut penglihatannya. Ketika ia memberanikan diri menengok, sosok itu menghilang.

(Anjrit! Saya menulis catatan ini jam dua pagi, dan sekarang saya merinding!).

Dasar ilmuwan, Vic Tandy tidak kapok dengan “penampakan” itu. Besok malamnya, dia kembali bekerja sendirian sampai larut malam di laboratorium. Tapi kali ini ia membawa sebilah pedang anggar untuk “jaga-jaga”. Lewat tengah malam, perasaan “merinding” seperti sebelumnya kembali terjadi, dan Vic Tandy segera mengambil anggar yang disiapkannya. Di luar dugaan, anggar itu bergetar dengan liar.

Meski agak ketakutan, Vic Tandy tahu getaran pada anggar di tangannya tidak terjadi karena ia gemetar. Pedang anggar itu benar-benar bergetar dengan liar, seolah ada kekuatan tak kasatmata yang menggerakkannya.

Karena penasaran, Tandy kemudian membawa pedang anggar itu mengelilingi ruangan. Anggar di tangannya terus bergetar tak terkendali. Tepat di tengah-tengah laboratorium, getaran anggar itu semakin liar. Tandy tengak-tengok, tapi tak melihat apa pun. Ia kembali berkeliling, mungkin sambil misuh-misuh. Ketika ia sampai di salah satu ujung ruang laboratorium, tiba-tiba pedang anggar itu berhenti bergetar, dan benar-benar diam.

Dengan perasaan sangat penasaran, Tandy membongkar bagian ujung ruangan laboratorium, dan mendapati sebuah kipas angin besar yang belum lama dipasang di sana. Dia pun segera menepuk jidat. Sebelumnya, laboratorium itu menggunakan AC (air conditioner). Tapi karena beberapa ilmuwan sering merokok di sana, AC itu kemudian diganti kipas angin besar yang diletakkan di sudut ruangan. Meski tak terlihat, keberadaannya mampu memberikan efek sejuk seperti AC.

Lanjut ke sini.

Ngomongin Hantu (1)

Masalah kebanyakan kita adalah menuntut bukti sebelum percaya.
Sayangnya, kadang-kadang, beberapa hal sulit dibuktikan secara kasatmata.
@noffret


Salah satu pertanyaan yang sering saya dapatkan, “Apakah kamu percaya hantu?” Well, lebih dari sembilan puluh persen orang di dunia ini percaya hantu—kenapa saya tidak? Oh ya, saya percaya hantu. Saya percaya eksistensi makhluk itu. Tapi yang jelas, saya tidak percaya pada hantu-hantu konyol yang biasa muncul di layar bioskop kita.

Sejujurnya, dulu saya tidak percaya hantu sama sekali, bahkan menganggapnya lelucon konyol. Karenanya, saya tidak pernah takut sama sekali masuk ke tempat mana pun, meski orang-orang yang saya kenal memberitahu tempat itu angker atau berhantu. Kenyataannya, selama bertahun-tahun, saya tak pernah berurusan dengan hantu, meski berkali-kali keluar-masuk tempat-tempat yang dipercaya berhantu.

Dulu, di televisi ada acara “hantu-hantuan” seperti uji nyali, dan lain-lain. Kadang saya menontonnya, dan sedetik pun saya tidak percaya! Logikanya sangat mudah untuk menjelaskan mengapa orang-orang tertentu benar-benar “merasa” atau “yakin” telah diganggu makhluk halus, lalu ketakutan, padahal kenyataannya tidak ada apa-apa sama sekali yang mengganggunya.

Coba kita bayangkan ini. Seseorang diminta masuk ke sebuah ruangan kosong, dan sebelumnya diberi sugesti bahwa ruangan itu berhantu. Orang itu harus masuk sendirian. Tidak boleh membawa apa pun. Artinya, selama di dalam ruangan itu, dia tidak bisa melakukan aktivitas apa pun.

Jadi, orang itu pun masuk ke ruangan, lalu bengong sendirian. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam saja di sana. Sementara tempat itu sudah diset seseram mungkin. Ketika seseorang diam tidak melakukan apa pun, maka pikirannya akan aktif. Sementara panca indranya menyaksikan ruangan yang seram. Dalam kondisi semacam itu, kira-kira apa yang akan dipikirkannya? Jawabannya jelas, dia akan memikirkan hantu—tepat seperti yang telah disugestikan dan dikondisikan untuknya!

Pikiran manusia bekerja dengan cara yang aneh. Pikiran pertama sering kali menjadi pikiran dominan. Dan ketika sesuatu telah menjadi pikiran dominan, kita akan kesulitan menepiskannya.

Jika saya masuk ke sebuah ruangan kosong, dan sebelumnya telah dikondisikan untuk percaya bahwa ruangan itu berhantu, maka hantu akan menjadi pikiran dominan saya. Selama berada di ruangan itu, saya akan terus berpikir tentang hantu, dan sulit menghapus atau menepiskannya. Semakin lama saya berada di sana, semakin kuat pikiran saya pada hantu. Akhirnya, saya pun tidak tahan sendiri, dan melambaikan tangan... minta dikeluarkan dari tempat seram itu.

Hantu, pikir saya waktu itu, adalah konsep absurd yang kita percayai sendiri, untuk kemudian kita ketakutan sendiri. Bahkan Einstein pun menyatakan, “Imajinasi lebih kuat dibanding intelektual.” Artinya, sesuatu yang kita imajinasikan, yang kita bayangkan, akan mampu mengalahkan logika kita sendiri. Meski secara logika dan akal waras kita mungkin tidak percaya hantu, tetapi kita akan percaya jika imajinasi kita membayangkan keberadaannya.

Karena pemikiran itu pula, saya tertawa kalau mendengar orang telah melihat penampakan, kuntilanak, suster konyol, pocong keramas, genderuwo ngesot, sundel bolong minta pulsa, ataupun bocah-bocah lucu yang lain. Saya tidak bermaksud sok jagoan atau sok ilmiah. Saya hanya berpikir sederhana, “Kenapa kita harus takut pada sesuatu yang eksistensinya kita ragukan?”

Semut mungkin tidak ada apa-apanya dibanding sundel bolong. Tapi saya lebih percaya keberadaan semut dibanding keberadaan sundel bolong. Kenapa? Jawabannya mudah. Semut bisa kita lihat. Sundel bolong, suster ngesot, atau pun bocah-bocah sepermainannya, tidak bisa dilihat. Lebih dari itu, mereka juga sulit dinalar akal sehat. Jadi kenapa saya harus takut pada mereka?

Dalam salah satu edisinya, Journal of Society for Psychical Research menerbitkan sebuah makalah berjudul The Ghost in the Machine. Makalah itu ditulis Vic Tandy, dosen Coventry University. Di dalam makalah itu, Profesor Tandy menggambarkan pengalamannya “dikerjain hantu”, yang ternyata hanya gelombang infrasonik.

Lanjut ke sini.

Heran Lagi

Ya ampuuuuuuuunn!

Padahal dulu saya sudah pernah heran di sini. Tapi sekarang heran lagi. Oh, benar-benar mengherankan!

 
;