Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Lokasi kemah itu sangat luas, dan dipenuhi pohon-pohon besar yang tinggi menjulang, layaknya hutan kecil di dataran tinggi. Sekitar seratus meter dari sana ada perkampungan penduduk, namun lampu-lampu pemukiman tidak mencapai tempat kemah kami. Artinya, tempat itu bisa dikatakan gelap. Tapi kami telah membawa bekal patromaks. Dengan tambahan api unggun, kami pun tahu tempat itu tidak akan terlalu gelap.
Larut malam, saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di dekat api unggun. Dalam obrolan itu, seorang dari mereka menyatakan bahwa tempat yang kami gunakan berkemah itu sebenarnya sangat angker. Saya pun bertanya dengan heran, kenapa memilih tempat ini jika tahu angker? Dia menjelaskan, sebenarnya mereka sudah mencari lokasi lain yang lebih baik, tapi tidak menemukan satu pun yang kosong. Waktu itu sedang musim kemah, dan tempat-tempat yang biasa dijadikan “langganan” pecinta alam penuh semua.
Sejujurnya saya tidak terpengaruh dengan cerita itu. Mau angker mau wingit, peduli amat? Toh saya tidak percaya hantu. Jadi, saya pun kemudian enjoy selama di sana. Lagi pula, pikir saya, kalau pun ternyata ada hantu, kami bersama seratusan orang. Masak seratus orang itu akan ketakutan semua kalau kebetulan ada hantu iseng yang ngeluyur ke tempat kami?
Nah, sekitar pukul dua belas malam, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Bukan hantu. Tapi saya kebelet buang air kecil. Cukup jauh dari tempat kami berkemah, ada sebuah mushola yang biasa digunakan orang kampung di sana untuk shalat berjamaah. Bocah-bocah yang berkemah di sana biasa menggunakan toilet mushala itu untuk buang air kecil. Jadi saya pun dengan pede menuju ke sana sendirian.
Perjalanan meninggalkan kemah menuju mushala itu harus melewati bagian kosong lokasi kemah yang rimbun oleh pepohonan. Masih dengan pede, saya asyik melangkah sambil bersenandung, melewati tempat yang cukup luas dan gelap. Di bawah salah satu pohon, saya berhenti, untuk menyulut rokok. Pada waktu menyulut rokok itulah, sesuatu yang akan mengguncang pikiran saya terjadi.
Tepat ketika saya menyalakan korek api untuk menyulut rokok yang terselip di bibir, mata saya melihat sekilas dua titik merah di kejauhan. Mula-mula saya tak peduli, dan terus menyalakan rokok, dan berpikir yang saya lihat hanya efek nyala api dalam kegelapan. Tetapi, setelah korek api mati, dan saya telah mulai mengisap rokok dengan nikmat, dua titik merah tadi masih terlihat.
Saya berdiri dengan penasaran di bawah pohon besar itu, dan menatap ke dua titik merah tadi, ingin memastikan apa sebenarnya yang saya lihat. Tiba-tiba, waktu seolah bergerak dengan cepat. Dua titik merah yang tadinya tampak di kejauhan itu tiba-tiba melesat dengan kecepatan luar biasa... mendekat maju ke arah saya!
“What the hell...” Rasa penasaran, kebingungan, takjub, bercampur takut dan panik, membuat saya terpaku di bawah pohon itu, dengan rokok masih terselip di bibir. Saya merasa tak mampu bergerak, dan dua titik merah tadi kini telah berubah menjadi dua bulatan merah. Dua bulatan merah yang menyala. Dan semakin dekat hal itu ke tempat saya berdiri, pandangan saya semakin jelas. Dua bulatan merah menyala itu adalah sepasang mata!
Sekarang saya benar-benar ketakutan. Tapi tubuh saya seperti terkunci tak mampu bergerak. Sementara mata saya nyalang memperhatikan makhluk paling mengerikan yang pernah saya saksikan. Makhluk itu semakin dekat, semakin mendekat, dan saya semakin bisa melihatnya dengan jelas.
Sosok makhluk itu sangat besar, mungkin seukuran robot Optimus Prime dalam film Transformer, hanya saja bentuknya sangat mengerikan. Seluruh tubuhnya hitam legam, kelihatannya berbulu kasar, sementara kedua matanya merah membara. Dan sepasang mata merah membara itu menatap galak ke arah saya! Omigod, dan sekarang saya bisa melihat dengan jelas, makhluk itu merentangkan kedua tangannya yang besar, dengan sikap seolah akan mencengkeram saya!
Tinggal dua meter lagi makhluk besar mengerikan itu sampai di depan saya, dan akal waras saya mulai bekerja. Lari! Maka saya pun melemparkan rokok ke arah makhluk itu, berharap ia terinjak dan kepanasan oleh apinya, sementara saya lari sekuat tenaga. Jarak dari tempat itu ke lokasi kemah hanya sekitar dua puluh meter, tapi saya merasa tak sampai-sampai.
Akhirnya, dengan napas ngos-ngosan dan tubuh gemetar, saya menjatuhkan diri di sebuah kemah tempat beberapa teman sedang asyik bercakap-cakap. Melihat ekspresi saya yang sangat panik dan takut, mereka pun bertanya ada apa. Dengan jujur saya menjawab barusan melihat hantu. Anjrit, mereka malah tertawa!
Selama ini mereka tahu, saya tidak percaya hantu. Jadi, mendengar saya baru melihat hantu benar-benar mustahil bagi mereka, dan mereka pun menertawakannya. Tetapi, setelah melihat ekspresi saya yang nyaris mampus sewaktu menceritakannya, bocah-bocah kurang ajar itu pun akhirnya percaya kalau saya—ya, saya!—baru melihat hantu, atau entah apa pun itu!
Acara kemah itu rencananya tiga hari dua malam. Saya pun sebelumnya berencana akan mengikuti acara itu sampai selesai. Tapi setelah kejadian itu, pikiran saya terus-menerus tidak enak. Lebih dari itu, saya tidak bisa membayangkan jika besok malam saya masih ada di sana. Makhluk-entah-apa tadi mungkin melepaskan saya malam ini, bagaimana kalau besok dia kembali iseng?
Malam itu pun saya tidak bisa tidur. Sepanjang malam saya gelisah, menunggu pagi, dan bersumpah akan segera meninggalkan tempat itu begitu matahari bersinar. Acara di perkemahan itu pun jadi mencekam, setelah mereka yakin saya benar-benar telah melihat hantu. Akhirnya, sebagian besar dari kami tidak tidur sama sekali malam itu, karena gelisah, juga berjaga-jaga. Berjaga-jaga dari hantu...? Yang benar saja!
Esok paginya, sebelum cabut dari tempat itu, saya mampir ke sebuah warung di kampung sana, untuk sarapan. Di warung itu saya bercakap-cakap dengan pemilik warung, memancing-mancingnya untuk menceritakan lokasi itu sebenarnya. Tepat yang saya duga, si pemilik warung berkata, “Tempat itu memang sangat angker, Mas.” Lalu dia mengisahkan, para penduduk di tempat itu tidak ada yang berani mendekati lokasi tersebut kalau sudah malam.
“Itulah kenapa saya heran, anak-anak kota kok berani membangun kemah di sana,” ujarnya dengan muka benar-benar heran. “Apa mereka belum pernah diganggu makhluk-makhluk halus di sana, ya?”
Sebenarnya sih sudah, batin saya. Lalu saya kembali memancingnya, makhluk seperti apa yang sekiranya menjadi penunggu tempat itu. Si pemilik warung menjelaskan bahwa menurut para sesepuh di sana, ada makhluk hitam yang luar biasa besar, bermata merah, yang dipercaya telah ada di sana jauh sebelum para penduduk menempati perkampungan di daerah itu. Karena hal itu pula, menurutnya, sampai saat ini lokasi kosong tersebut tidak dijadikan bagian perkampungan, dan tetap dibiarkan sebagai lahan kosong.
“Kami tidak ingin mengganggu makhluk itu,” katanya dengan khusyuk.
Saya juga tidak ingin, pikir saya sambil membayangkan makhluk-entah-apa yang saya lihat semalam.
Seusai sarapan di sana, saya pulang ke rumah.
Tidak lama setelah kejadian itu, saya membaca majalah yang memberitakan tentang Paul Rowland, si “pemburu hantu” dari Inggris, telah berhasil menciptakan perangkat elektronik untuk “memotret gambar arwah gentayangan”. Perangkat elektronik itu dilengkapi sinar ultraviolet dan inframerah, untuk menangkap gambar yang tidak mampu ditangkap kamera biasa.
Dengan kameranya yang canggih itu, Paul Rowland berhasil memotret arwah seorang anak kecil di salah satu ruang tempatnya bekerja. Sebelumnya, ia telah mendengar keberadaan hantu tersebut, dan kamera canggihnya kemudian membuktikan kalau di tempat itu memang ditunggui hantu. Ia pun akan terus mengembangkan teknologi kameranya, agar lebih canggih dan hasilnya bisa lebih memuaskan.
“Saya menggunakan sinar ultraviolet dan biru, untuk memungkinkan penangkapan gambar di ruang gelap,” ujar Rowland. “Perangkat itu juga dilengkapi kamera digital still dan camcorder, yang mampu menangkap gambar dalam sorotan cahaya ultraviolet. Dengan kamera canggih ini, orang yang selama ini tidak percaya hantu akan melihat sendiri, bahwa hantu memang ada.”
Oh, well... baiklah, Tuan Hantu. Sekarang saya percaya.
***
Lokasi kemah itu sangat luas, dan dipenuhi pohon-pohon besar yang tinggi menjulang, layaknya hutan kecil di dataran tinggi. Sekitar seratus meter dari sana ada perkampungan penduduk, namun lampu-lampu pemukiman tidak mencapai tempat kemah kami. Artinya, tempat itu bisa dikatakan gelap. Tapi kami telah membawa bekal patromaks. Dengan tambahan api unggun, kami pun tahu tempat itu tidak akan terlalu gelap.
Larut malam, saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di dekat api unggun. Dalam obrolan itu, seorang dari mereka menyatakan bahwa tempat yang kami gunakan berkemah itu sebenarnya sangat angker. Saya pun bertanya dengan heran, kenapa memilih tempat ini jika tahu angker? Dia menjelaskan, sebenarnya mereka sudah mencari lokasi lain yang lebih baik, tapi tidak menemukan satu pun yang kosong. Waktu itu sedang musim kemah, dan tempat-tempat yang biasa dijadikan “langganan” pecinta alam penuh semua.
Sejujurnya saya tidak terpengaruh dengan cerita itu. Mau angker mau wingit, peduli amat? Toh saya tidak percaya hantu. Jadi, saya pun kemudian enjoy selama di sana. Lagi pula, pikir saya, kalau pun ternyata ada hantu, kami bersama seratusan orang. Masak seratus orang itu akan ketakutan semua kalau kebetulan ada hantu iseng yang ngeluyur ke tempat kami?
Nah, sekitar pukul dua belas malam, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Bukan hantu. Tapi saya kebelet buang air kecil. Cukup jauh dari tempat kami berkemah, ada sebuah mushola yang biasa digunakan orang kampung di sana untuk shalat berjamaah. Bocah-bocah yang berkemah di sana biasa menggunakan toilet mushala itu untuk buang air kecil. Jadi saya pun dengan pede menuju ke sana sendirian.
Perjalanan meninggalkan kemah menuju mushala itu harus melewati bagian kosong lokasi kemah yang rimbun oleh pepohonan. Masih dengan pede, saya asyik melangkah sambil bersenandung, melewati tempat yang cukup luas dan gelap. Di bawah salah satu pohon, saya berhenti, untuk menyulut rokok. Pada waktu menyulut rokok itulah, sesuatu yang akan mengguncang pikiran saya terjadi.
Tepat ketika saya menyalakan korek api untuk menyulut rokok yang terselip di bibir, mata saya melihat sekilas dua titik merah di kejauhan. Mula-mula saya tak peduli, dan terus menyalakan rokok, dan berpikir yang saya lihat hanya efek nyala api dalam kegelapan. Tetapi, setelah korek api mati, dan saya telah mulai mengisap rokok dengan nikmat, dua titik merah tadi masih terlihat.
Saya berdiri dengan penasaran di bawah pohon besar itu, dan menatap ke dua titik merah tadi, ingin memastikan apa sebenarnya yang saya lihat. Tiba-tiba, waktu seolah bergerak dengan cepat. Dua titik merah yang tadinya tampak di kejauhan itu tiba-tiba melesat dengan kecepatan luar biasa... mendekat maju ke arah saya!
“What the hell...” Rasa penasaran, kebingungan, takjub, bercampur takut dan panik, membuat saya terpaku di bawah pohon itu, dengan rokok masih terselip di bibir. Saya merasa tak mampu bergerak, dan dua titik merah tadi kini telah berubah menjadi dua bulatan merah. Dua bulatan merah yang menyala. Dan semakin dekat hal itu ke tempat saya berdiri, pandangan saya semakin jelas. Dua bulatan merah menyala itu adalah sepasang mata!
Sekarang saya benar-benar ketakutan. Tapi tubuh saya seperti terkunci tak mampu bergerak. Sementara mata saya nyalang memperhatikan makhluk paling mengerikan yang pernah saya saksikan. Makhluk itu semakin dekat, semakin mendekat, dan saya semakin bisa melihatnya dengan jelas.
Sosok makhluk itu sangat besar, mungkin seukuran robot Optimus Prime dalam film Transformer, hanya saja bentuknya sangat mengerikan. Seluruh tubuhnya hitam legam, kelihatannya berbulu kasar, sementara kedua matanya merah membara. Dan sepasang mata merah membara itu menatap galak ke arah saya! Omigod, dan sekarang saya bisa melihat dengan jelas, makhluk itu merentangkan kedua tangannya yang besar, dengan sikap seolah akan mencengkeram saya!
Tinggal dua meter lagi makhluk besar mengerikan itu sampai di depan saya, dan akal waras saya mulai bekerja. Lari! Maka saya pun melemparkan rokok ke arah makhluk itu, berharap ia terinjak dan kepanasan oleh apinya, sementara saya lari sekuat tenaga. Jarak dari tempat itu ke lokasi kemah hanya sekitar dua puluh meter, tapi saya merasa tak sampai-sampai.
Akhirnya, dengan napas ngos-ngosan dan tubuh gemetar, saya menjatuhkan diri di sebuah kemah tempat beberapa teman sedang asyik bercakap-cakap. Melihat ekspresi saya yang sangat panik dan takut, mereka pun bertanya ada apa. Dengan jujur saya menjawab barusan melihat hantu. Anjrit, mereka malah tertawa!
Selama ini mereka tahu, saya tidak percaya hantu. Jadi, mendengar saya baru melihat hantu benar-benar mustahil bagi mereka, dan mereka pun menertawakannya. Tetapi, setelah melihat ekspresi saya yang nyaris mampus sewaktu menceritakannya, bocah-bocah kurang ajar itu pun akhirnya percaya kalau saya—ya, saya!—baru melihat hantu, atau entah apa pun itu!
Acara kemah itu rencananya tiga hari dua malam. Saya pun sebelumnya berencana akan mengikuti acara itu sampai selesai. Tapi setelah kejadian itu, pikiran saya terus-menerus tidak enak. Lebih dari itu, saya tidak bisa membayangkan jika besok malam saya masih ada di sana. Makhluk-entah-apa tadi mungkin melepaskan saya malam ini, bagaimana kalau besok dia kembali iseng?
Malam itu pun saya tidak bisa tidur. Sepanjang malam saya gelisah, menunggu pagi, dan bersumpah akan segera meninggalkan tempat itu begitu matahari bersinar. Acara di perkemahan itu pun jadi mencekam, setelah mereka yakin saya benar-benar telah melihat hantu. Akhirnya, sebagian besar dari kami tidak tidur sama sekali malam itu, karena gelisah, juga berjaga-jaga. Berjaga-jaga dari hantu...? Yang benar saja!
Esok paginya, sebelum cabut dari tempat itu, saya mampir ke sebuah warung di kampung sana, untuk sarapan. Di warung itu saya bercakap-cakap dengan pemilik warung, memancing-mancingnya untuk menceritakan lokasi itu sebenarnya. Tepat yang saya duga, si pemilik warung berkata, “Tempat itu memang sangat angker, Mas.” Lalu dia mengisahkan, para penduduk di tempat itu tidak ada yang berani mendekati lokasi tersebut kalau sudah malam.
“Itulah kenapa saya heran, anak-anak kota kok berani membangun kemah di sana,” ujarnya dengan muka benar-benar heran. “Apa mereka belum pernah diganggu makhluk-makhluk halus di sana, ya?”
Sebenarnya sih sudah, batin saya. Lalu saya kembali memancingnya, makhluk seperti apa yang sekiranya menjadi penunggu tempat itu. Si pemilik warung menjelaskan bahwa menurut para sesepuh di sana, ada makhluk hitam yang luar biasa besar, bermata merah, yang dipercaya telah ada di sana jauh sebelum para penduduk menempati perkampungan di daerah itu. Karena hal itu pula, menurutnya, sampai saat ini lokasi kosong tersebut tidak dijadikan bagian perkampungan, dan tetap dibiarkan sebagai lahan kosong.
“Kami tidak ingin mengganggu makhluk itu,” katanya dengan khusyuk.
Saya juga tidak ingin, pikir saya sambil membayangkan makhluk-entah-apa yang saya lihat semalam.
Seusai sarapan di sana, saya pulang ke rumah.
Tidak lama setelah kejadian itu, saya membaca majalah yang memberitakan tentang Paul Rowland, si “pemburu hantu” dari Inggris, telah berhasil menciptakan perangkat elektronik untuk “memotret gambar arwah gentayangan”. Perangkat elektronik itu dilengkapi sinar ultraviolet dan inframerah, untuk menangkap gambar yang tidak mampu ditangkap kamera biasa.
Dengan kameranya yang canggih itu, Paul Rowland berhasil memotret arwah seorang anak kecil di salah satu ruang tempatnya bekerja. Sebelumnya, ia telah mendengar keberadaan hantu tersebut, dan kamera canggihnya kemudian membuktikan kalau di tempat itu memang ditunggui hantu. Ia pun akan terus mengembangkan teknologi kameranya, agar lebih canggih dan hasilnya bisa lebih memuaskan.
“Saya menggunakan sinar ultraviolet dan biru, untuk memungkinkan penangkapan gambar di ruang gelap,” ujar Rowland. “Perangkat itu juga dilengkapi kamera digital still dan camcorder, yang mampu menangkap gambar dalam sorotan cahaya ultraviolet. Dengan kamera canggih ini, orang yang selama ini tidak percaya hantu akan melihat sendiri, bahwa hantu memang ada.”
Oh, well... baiklah, Tuan Hantu. Sekarang saya percaya.