Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Di menara masjid yang besar dan mewah itu, masing-masing lantainya diperuntukkan untuk hal-hal yang bersifat “wisata”—dari museum, menara pandang, sampai… restoran dengan kursi berputar. Ketika pertama kali tahu lantai 19 menara itu digunakan untuk restoran, saya ingin sekali tahu bagaimana kira-kira komentar Umar bin Khattab atau Bilal bin Rabah jika mengetahuinya.
Nah, nyokap sudah lama ingin melihat-lihat masjid mewah itu. Jadi, seperti yang saya bilang di atas, jam sepuluh pagi itu nyokap serta para famili berangkat ke sana. Tentu saja saya tidak ikut! Menemani para ibu berakhir pekan adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan semasih lajang.
Jadi, ketika mereka pergi, saya pun mulai mikir bikin rencana sendiri. Saya menghubungi seorang teman, bernama Supri, yang kebetulan tinggal di daerah itu. Ketika saya telepon, Supri dengan senang hati mau menemani saya menghabiskan akhir pekan.
Maka jadilah saya dan Supri keluyuran menghabiskan hari Minggu, keluar masuk mall, dari siang sampai malam. Menjelang isya’, kami sama-sama kelaparan. Supri menawari, “Da’, kamu pengin makan apa?”
“Apa aja,” jawab saya, “yang penting enak!”
Supri menawarkan sate kambing. Saya setuju. Maka Supri pun membawa saya mencari penjual sate kambing. Ketika kami melaju di jalanan, saya mendapati beberapa penjual sate kambing di pinggir-pinggir jalan. Tapi Supri cuek saja. Sampai kemudian, saya mulai menyadari kalau kami tengah melaju keluar Semarang.
“Pri,” tegur saya penasaran, “kita mau ke mana, nih?”
“Ke Demak,” jawab Supri kalem.
Saya kaget. “Ke Demak? Kita mau ngapain ke sana?”
“Katanya mau nyari sate kambing?”
Saya tambah kaget. “Lhah, di Semarang juga ada jutaan penjual sate kambing! Kenapa harus ke Demak?” Sambil diam-diam saya membatin, kenapa tidak nyari sate kambing ke Paris sekalian saja?
Tapi Supri masih menjawab kalem, “Kamu perlu ngerasain sate kambing langgananku, Da’. Dibanding sate kambing di tempat lain, yang di Demak ini benar-benar maknyus. Kamu bakal setuju, deh!”
Baiklah, pikir saya. Si Supri ini wartawan yang biasa keluyuran ke pelosok Indonesia. Jadi saya percaya dia bisa menemukan hal-hal hebat yang jarang diketahui orang lain. Maka saya pun anteng saja dibawa Supri ke warung sate yang dikatakannya, bahkan diam-diam penasaran seenak apa sate kambing Demak. Detik itu, saya tidak menyadari bahwa Supri sedang membawa saya menuju malapetaka.
Tidak jauh dari gerbang pintu masuk Demak, ada sebuah warung sate kambing yang tampak sederhana, semi permanen, dan di warung itulah kami berhenti. Supri mengajak saya masuk. Kami memesan 30 tusuk sate, teh hangat, dan, tentu saja, nasi. Untuk meyakinkan saya, Supri berbisik, “Nasi di sini keras, seperti kesukaanmu.”
Dia benar. Ketika nasi kami disajikan bersama dua piring sate, nasinya memang tampak keras, seperti yang saya suka. Tampilan satenya tampak biasa, namun ada daun-daun lembut yang disajikan bersama piring sate. Kalau diperhatikan, mirip daun yang biasa ada di hamburger. Tapi sekarang daun-daun itu diletakkan bersama sate. Jadi, dengan sok tahu, saya pun menyatukannya dengan bumbu sate lainnya bersama kecap.
Lalu kami pun mulai makan… dan malapetaka tak terbayangkan terjadi.
Ketika saya mulai menyantap sate bersaput bumbu kecap itu, seketika mulut saya terasa seperti terbakar. Semula, saya pikir itu efek kaget, dan rasa pedasnya akan berkurang seiring makin banyak sate yang saya makan. Tapi ternyata tidak. Semakin banyak sate yang saya makan, mulut saya rasanya semakin membara.
Berusaha tetap tampil elegan, saya berusaha diam, dan mencoba memisahkan potongan cabai di bumbu kecap, agar sate yang saya makan “steril” dari cabai. Tetapi, meski sudah bersih dari cabai sekalipun, sate sialan itu tetap masih luar biasa pedas, dan mulut saya rasanya semakin terbakar. Setelah menghabiskan delapan tusuk, saya merasa tak kuat lagi. Hidung saya sudah meler, air mata keluar, dan saya hah-huh-hah-huh kepedasan. Seumur hidup, baru kali ini saya merasakan pedas separah itu.
Saya menghabiskan teh di gelas. Tapi pedas dalam mulut tetap tidak hilang. Saya pesan teh segelas lagi, dan menghabiskannya lagi. Tapi efek “kebakaran” dalam mulut terasa masih membara. Ajaibnya, Supri tampak asyik makan dengan tampang cool. Tampak kepedasan, tapi kelihatan masih bisa meneruskan makannya. Apa mungkin karena dia sudah biasa makan sate di sini?
Ketika saya memesan teh untuk ketiga kalinya sambil berurai air mata dan hidung meler, ibu penjual sate itu bertanya, “Kepedasan ya, Mas?”
Saya mengangguk, dan balik bertanya dengan suara tidak jelas, “Kenapa sambalnya pedas banget gitu, Bu?”
Ibu itu menjawab kalem, “Soalnya saya biasa pakai cabai setan.”
Saya nyaris semaput. “Cabai… apa?”
“Cabai setan,” ulangnya menjelaskan. “Itu memang cabai paling pedas, Mas.”
Oh, well, cabai setan? Tiba-tiba saya merasa baru menyantap hidangan dari neraka.
Ketika Supri telah selesai makan, saya langsung noyor pundaknya. “Kenapa kamu jerumusin aku ke sini, Pri?”
Dia langsung ngakak sejadi-jadinya. Tahulah saya, dia telah ngerjain saya habis-habisan. Kemudian, setelah puas menertawakan saya, dia menjelaskan, “Sebenarnya satenya enak, Da’, cuma kamunya aja yang nggak paham gimana cara makannya.”
Cara makan sate…??? Memangnya bagaimana lagi cara makan sate…???
Lalu Supri menjelaskan, “Sambal sate di sini pakai cabai setan, seperti yang dibilang penjualnya tadi. Itu sebutan orang sini buat cabai paling pedas di dunia fana. Nah, kamu tadi lihat daun-daun yang ditaruh di piring sate, kan? Daun-daun itu fungsinya buat menetralisir pedas yang kita rasain. Jadi, kalau kamu kepedasan waktu makan satenya, segera ambil daun itu dan kunyah. Nanti pedasnya hilang. Tapi kamu bego. Bukannya misahin daun itu buat dikunyah, malah digabung sama kecapnya!” Lalu dia ngakak lagi.
Anjrit, pikir saya. Kenapa dia tidak bilang sejak tadi? Sekarang nafsu makan saya sudah hilang, dan sama sekali tak ingin meneruskan. Tapi saya masih penasaran. Jadi saya pun bertanya, “Pri, kalau emang cuma untuk ngerasain sate pedas kayak gini, kenapa harus jauh-jauh ke tempat ini, sih?”
“Karena cuma di sini yang pakai cabai setan,” jawabnya.
“Jadi, kamu jauh-jauh ngajak aku ke sini cuma buat ngerasain cabai setan?”
Supri ngakak lagi. Lalu dia berkata serius, “Kamu akan tahu alasannya kalau udah tahu efek manfaatnya. Tahu nggak, makan sate dengan cabai setan bisa bikin mimpi indah. Percaya deh, kamu pasti bakal nagih!”
Kedengarannya tidak masuk akal blas. Dan saya pun tidak percaya sedikit pun. Pasti itu akal-akalannya si Supri saja biar saya tidak terus marah-marah.
Akhirnya, setelah mulut saya sudah tidak “kebakaran” seperti tadi, kami pun pulang. Sewaktu saya sampai di rumah famili di Ungaran, waktu sudah agak larut malam, dan nyokap beserta lainnya juga sudah pulang sejak tadi sore. Karena capek, saya langsung tidur. Dan, percaya atau tidak, ternyata omongan Supri memang benar. Malam itu, dalam tidur, saya mendapatkan mimpi terindah yang tak terbayangkan.
Mungkin ini terdengar tak masuk akal. Tetapi, yang jelas, saya bermimpi indah sekali. Maksud saya, indaaaaaaaaaaah sekali. Bukan wet dream. Tapi sweet dream. Sepanjang hidup di dunia ini, baru malam itu saya bermimpi indah dengan jelas, sebegitu jelasnya hingga saya masih bisa mengingat detil-detilnya ketika membuka mata dan terbangun dari tidur, dan merasakan bibir yang tersenyum. Itu mimpi terindah yang pernah saya alami, dan… demi Tuhan, saya ingin mengalaminya lagi.
Saya tidak tahu apakah itu memang benar efek makan sate dengan cabai setan seperti yang dibilang Supri semalam. Tetapi, sambil melangkah ke kamar mandi pagi itu, diam-diam saya berniat menelepon Supri, dan mengajaknya menikmati sate di sana lagi. Sepedas apa pun, saya akan menikmatinya jika bisa kembali mendapat mimpi seindah tadi.
***
Di menara masjid yang besar dan mewah itu, masing-masing lantainya diperuntukkan untuk hal-hal yang bersifat “wisata”—dari museum, menara pandang, sampai… restoran dengan kursi berputar. Ketika pertama kali tahu lantai 19 menara itu digunakan untuk restoran, saya ingin sekali tahu bagaimana kira-kira komentar Umar bin Khattab atau Bilal bin Rabah jika mengetahuinya.
Nah, nyokap sudah lama ingin melihat-lihat masjid mewah itu. Jadi, seperti yang saya bilang di atas, jam sepuluh pagi itu nyokap serta para famili berangkat ke sana. Tentu saja saya tidak ikut! Menemani para ibu berakhir pekan adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan semasih lajang.
Jadi, ketika mereka pergi, saya pun mulai mikir bikin rencana sendiri. Saya menghubungi seorang teman, bernama Supri, yang kebetulan tinggal di daerah itu. Ketika saya telepon, Supri dengan senang hati mau menemani saya menghabiskan akhir pekan.
Maka jadilah saya dan Supri keluyuran menghabiskan hari Minggu, keluar masuk mall, dari siang sampai malam. Menjelang isya’, kami sama-sama kelaparan. Supri menawari, “Da’, kamu pengin makan apa?”
“Apa aja,” jawab saya, “yang penting enak!”
Supri menawarkan sate kambing. Saya setuju. Maka Supri pun membawa saya mencari penjual sate kambing. Ketika kami melaju di jalanan, saya mendapati beberapa penjual sate kambing di pinggir-pinggir jalan. Tapi Supri cuek saja. Sampai kemudian, saya mulai menyadari kalau kami tengah melaju keluar Semarang.
“Pri,” tegur saya penasaran, “kita mau ke mana, nih?”
“Ke Demak,” jawab Supri kalem.
Saya kaget. “Ke Demak? Kita mau ngapain ke sana?”
“Katanya mau nyari sate kambing?”
Saya tambah kaget. “Lhah, di Semarang juga ada jutaan penjual sate kambing! Kenapa harus ke Demak?” Sambil diam-diam saya membatin, kenapa tidak nyari sate kambing ke Paris sekalian saja?
Tapi Supri masih menjawab kalem, “Kamu perlu ngerasain sate kambing langgananku, Da’. Dibanding sate kambing di tempat lain, yang di Demak ini benar-benar maknyus. Kamu bakal setuju, deh!”
Baiklah, pikir saya. Si Supri ini wartawan yang biasa keluyuran ke pelosok Indonesia. Jadi saya percaya dia bisa menemukan hal-hal hebat yang jarang diketahui orang lain. Maka saya pun anteng saja dibawa Supri ke warung sate yang dikatakannya, bahkan diam-diam penasaran seenak apa sate kambing Demak. Detik itu, saya tidak menyadari bahwa Supri sedang membawa saya menuju malapetaka.
Tidak jauh dari gerbang pintu masuk Demak, ada sebuah warung sate kambing yang tampak sederhana, semi permanen, dan di warung itulah kami berhenti. Supri mengajak saya masuk. Kami memesan 30 tusuk sate, teh hangat, dan, tentu saja, nasi. Untuk meyakinkan saya, Supri berbisik, “Nasi di sini keras, seperti kesukaanmu.”
Dia benar. Ketika nasi kami disajikan bersama dua piring sate, nasinya memang tampak keras, seperti yang saya suka. Tampilan satenya tampak biasa, namun ada daun-daun lembut yang disajikan bersama piring sate. Kalau diperhatikan, mirip daun yang biasa ada di hamburger. Tapi sekarang daun-daun itu diletakkan bersama sate. Jadi, dengan sok tahu, saya pun menyatukannya dengan bumbu sate lainnya bersama kecap.
Lalu kami pun mulai makan… dan malapetaka tak terbayangkan terjadi.
Ketika saya mulai menyantap sate bersaput bumbu kecap itu, seketika mulut saya terasa seperti terbakar. Semula, saya pikir itu efek kaget, dan rasa pedasnya akan berkurang seiring makin banyak sate yang saya makan. Tapi ternyata tidak. Semakin banyak sate yang saya makan, mulut saya rasanya semakin membara.
Berusaha tetap tampil elegan, saya berusaha diam, dan mencoba memisahkan potongan cabai di bumbu kecap, agar sate yang saya makan “steril” dari cabai. Tetapi, meski sudah bersih dari cabai sekalipun, sate sialan itu tetap masih luar biasa pedas, dan mulut saya rasanya semakin terbakar. Setelah menghabiskan delapan tusuk, saya merasa tak kuat lagi. Hidung saya sudah meler, air mata keluar, dan saya hah-huh-hah-huh kepedasan. Seumur hidup, baru kali ini saya merasakan pedas separah itu.
Saya menghabiskan teh di gelas. Tapi pedas dalam mulut tetap tidak hilang. Saya pesan teh segelas lagi, dan menghabiskannya lagi. Tapi efek “kebakaran” dalam mulut terasa masih membara. Ajaibnya, Supri tampak asyik makan dengan tampang cool. Tampak kepedasan, tapi kelihatan masih bisa meneruskan makannya. Apa mungkin karena dia sudah biasa makan sate di sini?
Ketika saya memesan teh untuk ketiga kalinya sambil berurai air mata dan hidung meler, ibu penjual sate itu bertanya, “Kepedasan ya, Mas?”
Saya mengangguk, dan balik bertanya dengan suara tidak jelas, “Kenapa sambalnya pedas banget gitu, Bu?”
Ibu itu menjawab kalem, “Soalnya saya biasa pakai cabai setan.”
Saya nyaris semaput. “Cabai… apa?”
“Cabai setan,” ulangnya menjelaskan. “Itu memang cabai paling pedas, Mas.”
Oh, well, cabai setan? Tiba-tiba saya merasa baru menyantap hidangan dari neraka.
Ketika Supri telah selesai makan, saya langsung noyor pundaknya. “Kenapa kamu jerumusin aku ke sini, Pri?”
Dia langsung ngakak sejadi-jadinya. Tahulah saya, dia telah ngerjain saya habis-habisan. Kemudian, setelah puas menertawakan saya, dia menjelaskan, “Sebenarnya satenya enak, Da’, cuma kamunya aja yang nggak paham gimana cara makannya.”
Cara makan sate…??? Memangnya bagaimana lagi cara makan sate…???
Lalu Supri menjelaskan, “Sambal sate di sini pakai cabai setan, seperti yang dibilang penjualnya tadi. Itu sebutan orang sini buat cabai paling pedas di dunia fana. Nah, kamu tadi lihat daun-daun yang ditaruh di piring sate, kan? Daun-daun itu fungsinya buat menetralisir pedas yang kita rasain. Jadi, kalau kamu kepedasan waktu makan satenya, segera ambil daun itu dan kunyah. Nanti pedasnya hilang. Tapi kamu bego. Bukannya misahin daun itu buat dikunyah, malah digabung sama kecapnya!” Lalu dia ngakak lagi.
Anjrit, pikir saya. Kenapa dia tidak bilang sejak tadi? Sekarang nafsu makan saya sudah hilang, dan sama sekali tak ingin meneruskan. Tapi saya masih penasaran. Jadi saya pun bertanya, “Pri, kalau emang cuma untuk ngerasain sate pedas kayak gini, kenapa harus jauh-jauh ke tempat ini, sih?”
“Karena cuma di sini yang pakai cabai setan,” jawabnya.
“Jadi, kamu jauh-jauh ngajak aku ke sini cuma buat ngerasain cabai setan?”
Supri ngakak lagi. Lalu dia berkata serius, “Kamu akan tahu alasannya kalau udah tahu efek manfaatnya. Tahu nggak, makan sate dengan cabai setan bisa bikin mimpi indah. Percaya deh, kamu pasti bakal nagih!”
Kedengarannya tidak masuk akal blas. Dan saya pun tidak percaya sedikit pun. Pasti itu akal-akalannya si Supri saja biar saya tidak terus marah-marah.
Akhirnya, setelah mulut saya sudah tidak “kebakaran” seperti tadi, kami pun pulang. Sewaktu saya sampai di rumah famili di Ungaran, waktu sudah agak larut malam, dan nyokap beserta lainnya juga sudah pulang sejak tadi sore. Karena capek, saya langsung tidur. Dan, percaya atau tidak, ternyata omongan Supri memang benar. Malam itu, dalam tidur, saya mendapatkan mimpi terindah yang tak terbayangkan.
Mungkin ini terdengar tak masuk akal. Tetapi, yang jelas, saya bermimpi indah sekali. Maksud saya, indaaaaaaaaaaah sekali. Bukan wet dream. Tapi sweet dream. Sepanjang hidup di dunia ini, baru malam itu saya bermimpi indah dengan jelas, sebegitu jelasnya hingga saya masih bisa mengingat detil-detilnya ketika membuka mata dan terbangun dari tidur, dan merasakan bibir yang tersenyum. Itu mimpi terindah yang pernah saya alami, dan… demi Tuhan, saya ingin mengalaminya lagi.
Saya tidak tahu apakah itu memang benar efek makan sate dengan cabai setan seperti yang dibilang Supri semalam. Tetapi, sambil melangkah ke kamar mandi pagi itu, diam-diam saya berniat menelepon Supri, dan mengajaknya menikmati sate di sana lagi. Sepedas apa pun, saya akan menikmatinya jika bisa kembali mendapat mimpi seindah tadi.