Hei, kau, lembut napas yang pernah dekat denganku. Tadi malam kau hadir dalam tidurku, tersenyum di mimpiku, dan kita bercakap-cakap seperti dulu.
Kenapa datang malam tadi?
Perjalanan tahun demi tahun telah membawaku sedemikian jauh—meninggalkan apa pun yang berlalu, juga meninggalkan bayang-bayang kenanganmu. Kau mawar rahasiaku, keindahan yang kupendam dalam-dalam di lubuk hati terdalamku, kenapa kauingatkan lagi batinku kepadamu…?
Berapa lamakah tahun yang telah berlalu? Sepuluh? Atau lebih lama dari itu? Sekarang aku jadi ingat kembali tentang pesan yang kautitipkan pada seseorang untukku bertahun-tahun yang lalu. Tetapi pesan itu terlupakan—dan tak tersampaikan. Seseorang yang kautitipi pesan itu bahkan baru teringat kepadamu setelah… ya Tuhan, setelah aku tak mampu lagi menemukanmu, setelah titian kecil yang kita bangun telah runtuh diterjang waktu.
....
....
Hei, kau, binar putih yang pernah lekat di ingatanku. Tadi malam kau memelukku dalam mimpi, dan aku mendengar ucapan lembutmu seperti dulu.
Di manakah kau sekarang…? Bagaimana kabarmu, keadaanmu, hidupmu—hatimu? Aku ingin… oh Tuhan, tiba-tiba sekarang aku ingin kembali melihatmu, seperti dulu. Tiba-tiba aku ingin menjumpaimu, mendengarkan lagi suaramu, menikmati senyumanmu, seperti dulu, seperti yang pernah kauberikan kepadaku, seperti saat kau dan aku tak percaya waktu akan berlalu.
Aku tak tahu apakah jarakku denganmu saat ini dekat atau jauh. Aku bahkan tak tahu di manakah ‘dekat’ atau ‘jauh’ itu. Yang kutahu, kau begitu dekat denganku malam tadi, saat kita berbincang, bercanda, dan aku menikmati suara tawamu, binar matamu—seperti dulu. Masih ingat saat dulu kita duduk berdampingan, malu-malu, dan saling curi pandang? Ya, ya, seperti itulah… seperti itulah yang tetap terlekat di ingatanku saat aku terbangun dari tidurku—dan menyadari bahwa semuanya hanya ada di mimpiku.
....
....
Hei, kau, mawar jernih yang pernah menjadi hasratku. Tolong, tolong jangan datang lagi dalam mimpiku—atau datanglah bila itu keabadianmu.
Kenapa datang malam tadi?
Perjalanan tahun demi tahun telah membawaku sedemikian jauh—meninggalkan apa pun yang berlalu, juga meninggalkan bayang-bayang kenanganmu. Kau mawar rahasiaku, keindahan yang kupendam dalam-dalam di lubuk hati terdalamku, kenapa kauingatkan lagi batinku kepadamu…?
Berapa lamakah tahun yang telah berlalu? Sepuluh? Atau lebih lama dari itu? Sekarang aku jadi ingat kembali tentang pesan yang kautitipkan pada seseorang untukku bertahun-tahun yang lalu. Tetapi pesan itu terlupakan—dan tak tersampaikan. Seseorang yang kautitipi pesan itu bahkan baru teringat kepadamu setelah… ya Tuhan, setelah aku tak mampu lagi menemukanmu, setelah titian kecil yang kita bangun telah runtuh diterjang waktu.
....
....
Hei, kau, binar putih yang pernah lekat di ingatanku. Tadi malam kau memelukku dalam mimpi, dan aku mendengar ucapan lembutmu seperti dulu.
Di manakah kau sekarang…? Bagaimana kabarmu, keadaanmu, hidupmu—hatimu? Aku ingin… oh Tuhan, tiba-tiba sekarang aku ingin kembali melihatmu, seperti dulu. Tiba-tiba aku ingin menjumpaimu, mendengarkan lagi suaramu, menikmati senyumanmu, seperti dulu, seperti yang pernah kauberikan kepadaku, seperti saat kau dan aku tak percaya waktu akan berlalu.
Aku tak tahu apakah jarakku denganmu saat ini dekat atau jauh. Aku bahkan tak tahu di manakah ‘dekat’ atau ‘jauh’ itu. Yang kutahu, kau begitu dekat denganku malam tadi, saat kita berbincang, bercanda, dan aku menikmati suara tawamu, binar matamu—seperti dulu. Masih ingat saat dulu kita duduk berdampingan, malu-malu, dan saling curi pandang? Ya, ya, seperti itulah… seperti itulah yang tetap terlekat di ingatanku saat aku terbangun dari tidurku—dan menyadari bahwa semuanya hanya ada di mimpiku.
....
....
Hei, kau, mawar jernih yang pernah menjadi hasratku. Tolong, tolong jangan datang lagi dalam mimpiku—atau datanglah bila itu keabadianmu.