Sabtu, 20 Agustus 2022

Tak Henti Berpikir

Saat-saat yang paling menenangkan adalah saat dini hari.
Hening, tenang, tanpa suara, tanpa kebisingan.
Saat waktu terasa sangat berarti,
saat siapa pun yang terjaga bisa berpikir jernih.
@noffret


Manusia memiliki kelebihan dibanding makhluk hidup lain, yaitu kemampuan berpikir. Sayangnya, kemampuan itu juga menjadikan manusia sebagai makhluk rumit. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, kita selalu berpikir—atau, selalu ada yang kita pikirkan, dan selalu ada sesuatu di pikiran kita. Sangat jarang, bahkan tidak mungkin, kita hidup tanpa isi pikiran apa pun.

Dalam contoh sederhana, saat bangun tidur, kita berpikir untuk mandi atau setidaknya cuci muka, berpikir untuk merebus air buat bikin minum, berpikir untuk olahraga atau tidak, berpikir jam kerja dan menyiapkan keberangkatan ke tempat kerja, serta aneka pikiran lain terkait rutinitas pagi. Bisa jadi, karena sudah sangat rutin, kita melakukan semuanya tanpa harus berpikir lagi. Dan jika itu yang terjadi, hampir bisa dipastikan kita akan memikirkan hal lain!

Itu baru bangun tidur. Seiring waktu yang merangkak siang, dengan aneka aktivitas dan kesibukan, pikiran kita pun terus aktif. Sampai sore, sampai malam, sampai saat akan tidur lagi. Bahkan, orang yang menghabiskan waktu dengan rebahan saja, isi pikirannya biasanya terus aktif—tidak sekosong penampakan fisiknya yang sedang rebahan. Karena manusia memang makhluk-berpikir. 

Kemampuan berpikir adalah berkat sekaligus kutukan. Ia berkat, karena memampukan manusia untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan makhluk hidup lain. Tapi juga kutukan, karena kemampuan itu menjadikan manusia mengenal stres, pusing, insomnia, gelisah, sampai overthinking, karena sepertinya sulit untuk berhenti memikirkan banyak hal.

Dalam hal-hal tertentu, kita bahkan kadang memikirkan sesuatu yang, mungkin, mestinya tidak perlu kita pikirkan. Misalnya, saat melihat video yang memperlihatkan kucing-kucing lucu sedang bermain dengan sesama, saya sering berpikir, “Kira-kira apa yang dipikirkan kucing-kucing itu?” 

Begitu pun saat melihat ikan-ikan asyik berenang di akuarium atau di kolam, saya sering memandangi mereka sambil berpikir, “Apa yang sedang dipikirkan ikan-ikan itu sekarang?”

Ketika sedang makan sesuatu, saya juga sering berpikir, “Siapa penemu makanan ini? Bagaimana sejarah dan asal usulnya? Dari mana ia mendapat ide membuat makanan seperti ini?” Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Di waktu lain, saya bertanya-tanya, kenapa gerobak mi ayam rata-rata berwarna biru? Didorong penasaran, saya pernah menanyakan hal itu ke puluhan penjual mi ayam yang saya datangi, dan rata-rata mereka menjawab, “Wah, nggak tahu, Mas. Saya ngikutin [penjual mi ayam] yang lain aja. Karena yang lain pakai gerobak biru, saya ikut pakai gerobak biru.”

Dalam hal itu, saya sadar kalau saya mungkin terlalu lebay, karena memikirkan hal-hal yang mestinya tidak perlu dipikirkan. Tapi mungkin sudah kebiasaan, dan kebiasaan itu sering berjalan tanpa sadar, hingga kini saya kesulitan untuk menghentikannya.

Mula-mula, saya tidak menyadari kebiasaan itu, sampai sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi. Suatu waktu, saya mendatangi undangan di luar kota, dan pihak yang mengundang saya menyiapkan hotel untuk istirahat. Ketika saya sampai di sana, seseorang menemani saya ke hotel yang telah disiapkan, dan kami pun bercakap-cakap ramah sepanjang perjalanan.

Ketika memasuki kamar hotel, secara spontan pandangan saya mengarah pada perabot di dalam kamar, yang semuanya terbuat dari kayu berpelitur—di mata saya waktu itu, semua tampak tradisional dan artistik. Mungkin hal itu terjadi dalam beberapa detik, dan pikiran saya sedang “menyerap” hal-hal yang saya lihat. Sekali lagi, itu kebiasaan spontan yang sering tidak saya sadari, bahkan tidak saya kendalikan. Jadi, bagi saya, itu hal biasa—sesuatu yang alamiah.

Tetapi, rupanya, tatapan saya pada perabotan kamar itu diartikan lain oleh orang yang mengantar saya. Dengan nada yang terdengar tidak nyaman, dia berkata, “Maaf kalau kamarnya kurang menyenangkan. Kami kemarin buru-buru, dan semua hotel sudah penuh—karena ini akhir pekan—jadi kami terpaksa memilih hotel ini, karena cuma ini yang tersedia, dan tempatnya cukup dekat...” kalimatnya masih panjang.

Saya tercengang. Saya pun berusaha menjelaskan bahwa kamar itu sangat bagus dan nyaman, dan saya jelas menyukainya—tapi mungkin dia tidak percaya.

Sebenarnya, saya tidak mempersoalkan mau tidur atau istirahat di mana, wong saya orang sederhana. Waktu berangkat dari rumah untuk mendatangi undangan itu, sebenarnya bayangan saya akan tidur di kantor mereka, bersama beberapa staf yang memang tidur di sana. Jadi, ketika ternyata saya diberi kamar hotel untuk tidur, saya jelas senang. 

Itu satu di antara peristiwa tidak mengenakkan, yang terjadi gara-gara pikiran saya sering refleks “menyerap” apa pun yang saya lihat. Peristiwa lain terjadi di rumah famili saya, dan gara-garanya sangat sepele—kipas angin!

Waktu itu, famili saya akan berangkat haji, dan ada keramaian di rumahnya. Saya pun di sana untuk membantu-bantu. Bersama anak-anak famili, saya membantu mengerjakan banyak hal, dan mereka meminta saya untuk menginap. Saya pun setuju, dan menginap di sana—tidur di ruang tengah, beralas karpet, dengan beberapa anak famili yang lain.

Di ruang tengah itu ada kipas angin yang berdiri (biasa disebut kipas angin standar), dan boks kipasnya bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mengembuskan angin ke semua bagian ruangan. Tidak ada yang salah dengan kipas angin itu, wong bentuk serta fungsinya memang sesuai kipas angin normal. Orang-orang yang waktu itu ada di sana juga tidak mempedulikan kipas angin tersebut.

Tetapi, entah bagaimana, pikiran saya tertuju pada kipas angin itu, tanpa saya sadari, dan tanpa saya kendalikan. Di telinga saya, kipas angin itu terdengar mengeluarkan suara. Sebenarnya suara lirih, hingga tidak dipedulikan orang lain. Tapi saya tertarik dengan suara itu, dan saya bangkit dari berbaring, lalu memandangi kipas angin itu. 

Saya duduk seperti orang tolol di hadapan kipas angin, dan memandanginya dengan serius. Sekali lagi, saya menganggap yang saya lakukan waktu itu sebagai hal biasa, karena memang biasa melakukannya—saya selalu tertarik pada segala hal, dan pikiran saya berusaha menyerap apa pun. Itu sesuatu yang tidak saya sengaja atau saya kendalikan.

Selama beberapa saat, saya duduk diam di depan kipas angin, memandanginya dari atas sampai bawah, tanpa pikiran apa pun, selain hanya “menyerap” yang saya lihat. Omong-omong, saya kesulitan untuk menjelaskan maksud “menyerap” ini—intinya, saya senang memperhatikan apa saja, khususnya yang menarik perhatian, persis seperti bocah yang melihat mainan baru. Yang jelas, saya tidak punya pikiran buruk apa pun terhadap kipas angin itu.

Ternyata, yang saya lakukan waktu itu dilihat anak famili saya (yang orang tuanya akan berangkat haji). Waktu itu dia diam saja, saya bahkan tidak tahu kalau ternyata dia melihat dan memperhatikan tingkah saya.

Belakangan, ketika famili saya pulang dari ibadah haji, di rumahnya kembali ada keramaian, dan saya pun kembali membantu-bantu di sana. Anak famili saya meminta agar saya menginap, seperti dulu, tapi waktu itu saya tidak punya rencana untuk menginap. Jadi, saya pun menolak tawarannya, dan mengatakan akan pulang.

Di luar dugaan, anak famili saya berkata, “Nggak perlu khawatir, kipas anginnya udah aku ganti, kok. [Kipas angin] yang baru nggak ngeluarin suara.”

Dia serius mengatakannya... dan saya tercengang. Kali ini, saya tidak tahu harus menjawab apa atau menjelaskan bagaimana. Waktu itu saya sadar, dia rupanya melihat atau bahkan memperhatikan ketika saya duduk di depan kipas angin, dan mungkin berpikir saya waktu itu terganggu oleh suara kipas angin atau semacamnya. Karena pikiran itu, dia lalu mengganti kipas angin tersebut dengan kipas angin yang baru. (Sekadar catatan, dia benar-benar membeli kipas angin baru!)

Sekali lagi, itu sedikit di antara banyak kisah lain yang—sayangnya—tidak mengenakkan, gara-gara pikiran saya seperti punya refleks untuk memperhatikan banyak hal, tanpa bisa saya kendalikan.

Padahal, selama memperhatikan segala sesuatu, saya hampir tidak pernah berpikiran buruk atau negatif. Saya memperhatikan sesuatu, dan memikirkannya, secara netral—semoga kalian paham yang saya maksud. 

Jadi, saya memperhatikan sesuatu, semata-mata karena tertarik memperhatikannya. Ini mungkin seperti bocah yang melihat mainan baru. Dia akan tertarik, mendekat, atau memperhatikannya, semata-mata karena tertarik, karena itu hal baru baginya!

Sayangnya, orang-orang yang memergoki saya sedang memperhatikan sesuatu sering berpikir bahwa saya memperhatikan dengan penilaian buruk. Seperti orang yang mengantar saya ke kamar hotel—dia mengira saya kecewa dengan kamar yang dia sediakan, padahal saya bahkan merasa senang. Juga seperti anak famili saya, yang mengira saya terganggu suara kipas angin, hingga membeli kipas angin baru—padahal saya memperhatikan kipas angin itu semata-mata karena tertarik memperhatikan!

Well, saya merasa perlu menulis catatan ini, agar jika sewaktu-waktu saya kembali menghadapi masalah seperti tadi, saya bisa menunjukkan catatan ini, dan memintanya untuk [lebih] memahami.

Teratur atau Berantakan

Ada dua tipe orang, khususnya terkait dengan urusan janji.

Tipe pertama:

“Kapan kita mau ketemu?”

“Besok, jam 4 sore, di Tempat X.”

Besoknya dia benar-benar datang, tepat waktu, di tempat yang disepakati.

Aku senang tipe orang semacam ini.


Tipe kedua:

“Kapan kita mau ketemu?”

“Uhmm... kapan, ya? Kalau besok, aku kayaknya bisa nggak. Eh, lusa, gimana? Tapi lusa juga kayaknya aku ada acara. Minggu depan aja, ya.”

“Minggu depan itu tanggal berapa?”

“Umm... ntar aku lihat-lihat dulu.”

Biasanya kami tidak akan bertemu.


Kalau ingin tahu apakah seseorang menjalani kehidupan yang teratur atau berantakan (sekaligus apakah dia berkepribadian teratur atau berantakan), kita bisa melihatnya saat membuat janji, misal janji ketemu—khususnya untuk urusan penting.

Orang yang teratur mungkin tampak berantakan, misal ruang kerjanya kacau, mejanya penuh tumpukan berkas tak rapi. Tapi isi pikirannya teratur. Ketika kita membuat janji dengannya, dia akan langsung tahu kapan punya waktu, dan seketika bisa memutuskan kapan waktu ketemu.

Sebaliknya, orang yang isi pikirannya berantakan kadang tampak rapi, bersih, dan teratur. Kalau ke ruang kerjanya, semua terlihat tanpa cela. Tapi begitu diajak janjian ketemu, dia kebingungan kapan memutuskan waktu yang tepat. Kadang sudah memutuskan, lalu tiba-tiba membatalkan.

Dalam The Magic of Thinking Big, David J. Schwartz mengatakan, “Jauh lebih mudah mengajak orang sibuk untuk janjian ketemu, daripada mengajak seorang pengangguran untuk ketemu.” 

Sekilas, kalimat itu rancu, atau malah keliru. Tapi fakta membuktikan, itu benar.

Jika kita membuat janji dengan orang sibuk—yang benar-benar sibuk, bukan sekadar sok sibuk—dia akan melihat jadwalnya, mencari waktu yang luang, dan seketika bisa memutuskan kapan waktu untuk ketemu. Karena sangat sibuk, dia terbiasa membuat diri dan waktunya efektif.

Sebaliknya, orang yang tidak sibuk—dalam contoh mudah; pengangguran—justru sering sulit diajak membuat janji ketemu. Besok? Pikir-pikir. Lusa? Pikir-pikir. Bahkan setelah memutuskan waktunya, dia bisa tiba-tiba membatalkan, karena ada “urusan” yang mbuh entah apa.   

Bekerja dalam Hening

Di dunia tempat manusia memuja hiruk-pikuk penuh bising, selalu ada malaikat yang bekerja dalam hening.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2012.

Sesuatu Telah Hilang

"Sesuatu telah hilang hari ini," kata seseorang. "Dan kita takkan pernah melihatnya lagi." | "Apa yang hilang?" tanya temannya. | "Kemarin."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Sambat

Awake kesel, pikirane kesel, pingine turu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 April 2022.

Rabu, 10 Agustus 2022

Sesuatu yang Membuka Mata Saya

Menempuh perjalanan jauh, meninggalkan pekerjaan 
dan kesibukan, menghabiskan waktu, tenaga, biaya, capek, 
lelah, dan “cuma buat ketemu”? Kalau “cuma buat ketemu”, 
aku lebih suka ketemu teman yang jelas kenal dan akrab, 
yang tempatnya dekat.
@noffret


Suatu siang, saya sedang makan mi ayam di warung pinggir jalan, ketika tanpa sengaja mendengar orang berkata, “Wong butuh duit malah diajak ndongeng!”

Saya menengok ke arah suara itu, dan mendapati seorang tukang becak sedang menuntun becaknya melewati warung mi ayam tempat saya makan. Sepertinya dia tadi ngomong pada diri sendiri, semacam kekesalan karena waktu kerjanya terbuang gara-gara diajak ngobrol orang lain. Kalau diterjemahkan, kalimat tadi berbunyi, “Orang butuh uang malah diajak ngobrol!”

Sambil tersenyum sendiri, saya melanjutkan makan, menghabiskan mi ayam dalam mangkuk. Setelah selesai, dan menyeruput teh hangat, saya menyulut rokok, lalu memikirkan ucapan tukang becak tadi. “Wong butuh duit malah diajak ndongeng!”

Kita mungkin jarang terpikir bahwa menyita waktu seseorang, apalagi sampai lama, bisa sangat berdampak bagi kehidupannya. Seperti yang mungkin dialami tukang becak tadi. Dia bekerja sebagai tukang becak, dengan penghasilan yang tak seberapa. Dan penghasilan yang tak seberapa itu harus dibagi-bagi untuk berbagai kebutuhan. Karenanya, dia pun rajin bekerja, mencari penumpang, dengan harapan mendapat penghasilan cukup.

Jika kita menyita waktu tukang becak tadi dengan mengajaknya ngobrol tidak jelas, itu bisa berdampak pada kehidupan dia dan keluarganya. Karena dia ada di sana atau di mana pun untuk bekerja, bukan untuk menghabiskan waktu buat ngobrol ngalor ngidul dengan siapa pun. 

Jangankan tukang becak yang penghasilannya tidak seberapa, sehingga harus memaksimalkan waktunya, bahkan orang-orang yang punya penghasilan besar pun sangat hati-hati menggunakan waktu mereka. Sebenarnya, setidaknya yang saya tahu, orang akan semakin hati-hati menggunakan waktunya, seiring bertambah besar penghasilannya.

Saya mengenal orang yang punya penghasilan Rp3 jutaan per hari, atau sekitar Rp100 jutaan per bulan. Untuk mendapat penghasilan sebesar itu, dia terus bekerja setiap hari, dari pagi sampai sore, dan hanya sedikit punya waktu luang. Suatu waktu, kami (dia dan saya) pernah “terjebak” dalam acara pertemuan tidak jelas, dan dia berkali-kali nggerundel, “Tahu pertemuannya nggak jelas gini, mending kerja!”

Saya setuju dengannya. Daripada membuang-buang waktu untuk orang-orang tak dikenal, untuk acara yang tidak jelas apa manfaatnya, mending mengurusi pekerjaan yang menumpuk! 

Rezeki sudah ada yang mengatur, katanya. Memang! Dan tugas kita adalah bekerja keras, bukan menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak jelas!

Rezeki punya jalan sendiri, katanya. Memang! Dan bekerja adalah upaya membuka jalan rezeki, agar ia datang kepada kita.

Rezeki tidak akan tertukar, katanya. Memang! Karena itulah kita perlu menggunakan waktu sebaik-baiknya, karena rezeki lebih mudah mendekat pada orang yang bekerja keras, daripada yang leyeh-leyeh karena malas!

Mungkin memang ada orang yang hidup santai, tapi uang terus mengalir kepadanya, dan dia hidup berkelimpahan tanpa kerja keras, bahkan mungkin tanpa bekerja. Mungkin memang ada orang semacam itu. Tapi jujur saja, saya tidak sehebat itu. Saya hanya orang biasa, yang harus bekerja untuk menghasilkan uang.

Nyatanya, saya ingin mengakui dengan sepenuh kejujuran, sesuatu yang jelas dan nyata menolong saya adalah uang. Dan cara saya mendapatkan uang adalah dengan bekerja. Jadi singkirkan saja omong kosong yang terdengar ndakik-ndakik, tapi nyatanya cuma omong kosong!

Sekian tahun yang lalu, pada 2016, orang tua saya menghadapi masalah terkait sengketa tanah, dan urusannya sampai ke pengadilan. Prosesnya butuh waktu lebih dari 5 tahun, dari pengadilan tingkat pertama, pengadilan banding, hingga kasasi ke Mahkamah Agung. 

Itu sebenarnya masalah orang tua, tapi saya yang menghadapi dan mengurusi. Dan selama menghadapi masalah besar itu, saya merasa sendirian. Ayah saya sudah lama meninggal. Sementara ibu saya memasrahkan semua masalah itu kepada saya. Jadi, saya montang-manting ke sana kemari sendirian, menghabiskan waktu, pikiran, energi, dan uang tak terhingga banyaknya.

Ke mana teman-teman saya? Oh, mereka ada. Tapi mereka toh cuma bisa sebatas membantu secara moral, semisal membesarkan hati saya, dan semacamnya. Begitu pula para famili dan saudara-saudara saya—mereka hanya bisa sebatas menghibur. Bagaimana pun, sayalah yang menghadapi masalah itu. Sendirian. Dengan segala daya dan upaya yang saya miliki.

Dan sesuatu yang sangat saya syukuri waktu itu adalah uang! Uanglah yang jelas dan nyata membantu saya! 

Sejujurnya, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, andai saya menghadapi masalah sebesar itu dan tidak punya uang. Kalau kau pernah berurusan dengan pengacara dan pengadilan sampai bertahun-tahun, kau akan benar-benar paham apa yang saya katakan (atau tanyakan pada temanmu yang pernah mengalaminya).

Uang menjadi satu-satunya penolong saya, yang jelas dan nyata, yang juga membuka mata betapa berartinya uang bagi hidup saya. Ketika hidupmu diguncang masalah, teman-temanmu mungkin menghilang, saudara dan familimu mungkin memalingkan muka... tapi uang selalu siap membantu.

Peristiwa itu—kasus sengketa tanah yang menimpa orang tua saya—menjadi semacam titik balik dalam hidup saya, sekaligus yang membuka mata, untuk menyadari nilai uang sesungguhnya. Karena uang, saya menyadari, mirip air. Ia tampak tak berharga, tetapi, ketika benar-benar membutuhkannya, kita baru tahu arti keberadaannya.

Sejak itulah, saya makin mencintai kerja, karena dengan bekerjalah saya mendapatkan uang; sesuatu yang jelas-jelas membantu saya dalam hidup. Seiring dengan itu, saya makin selektif menggunakan waktu. Saya tidak akan lagi menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal tak berguna, yang hanya akan saya sesali. Kebetulan, saya hanya punya sedikit teman. Jadi waktu untuk urusan pertemanan bisa dibilang tidak terlalu banyak. Lagi pula, kami juga sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.

Saat ini, misalnya, saya sering kerepotan meluangkan waktu untuk mengunjungi orang tua, atau menjenguk adik saya yang masih dalam masa pemulihan setelah kecelakaan beberapa waktu lalu. Karenanya, jika kebetulan punya waktu luang, saya lebih memilih melakukan hal itu; mengunjungi orang tua, atau menjenguk adik saya. 

Di Twitter, pernah ada seorang wanita menulis tweet dengan nada tak percaya, “Memangnya ada ya, cowok yang mau menempuh perjalanan jauh cuma buat ketemu seseorang?”

Saya me-retweet tweet itu, dan menambahkan kalimat, “Setuju dengan wanita ini. Menempuh perjalanan jauh, meninggalkan pekerjaan dan kesibukan, menghabiskan waktu, tenaga, biaya, capek, lelah, dan ‘cuma buat ketemu’? Kalau ‘cuma buat ketemu’, aku lebih suka ketemu teman yang jelas kenal dan akrab, yang tempatnya dekat.”

Mungkin memang ada orang-orang yang bersedia meluangkan waktu, menempuh perjalanan jauh, hanya untuk ketemu seseorang yang asing, lalu ngobrol-ngobrol tidak jelas. Mungkin memang ada... tapi jelas bukan saya!

Oh, saya bersedia menemui siapa pun, termasuk orang yang tidak saya kenal, di mana pun tempatnya. Kalau kau ingin bertemu saya, mari ketemu. 

Kalau kau mengenal saya di dunia maya, dan ingin bertemu langsung di dunia nyata, silakan hubungi saya, dan kita akan ketemu. Saya akan menemuimu, di mana pun tempatmu. Tapi jelaskan terlebih dulu... apa yang akan saya dapatkan dari pertemuan itu? Jika yang saya dapatkan sepadan dengan waktu yang saya habiskan, saya akan menemuimu. Tapi kalau pertemuan itu hanya akan membuang-buang waktu saya tanpa guna, mohon maaf, saya lebih suka sendirian, bekerja dan belajar.

Solusi untuk 99 Persen Masalah

Omong-omong soal dompet, aku jadi ingat. Beberapa malam kemarin, aku sering mendapati tweet seputar “self healing”, dari yang serius sampai yang lucu. 

Aku juga punya resep self healing, dan self healing-ku sederhana: Uang! Maksudku, uang yang banyak!

Terdengar naif? Bodo amat!

Mungkin memang benar, uang tidak menjamin kebahagiaan. Banyak uang juga tidak menjamin hidupmu bakal terbebas dari masalah. Tapi uang memungkinkan kita untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah lebih mudah, dan itu memberi kita kebahagiaan, bahkan ketenangan batin.

September kemarin, sebuah rumah sakit di Kendal menelepon ke ponselku, “Adik Anda kecelakaan, dan sudah kami tangani. Harap Anda segera datang ke sini. Secepatnya.” 

Aku panik dan khawatir, tentu saja, tapi setidaknya punya uang untuk pergi secepatnya ke rumah sakit di Kendal.

Di rumah sakit, di Kendal, adikku terbaring penuh luka, dan aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit yang dekat rumah kami, agar aku mudah mengurusnya.

Pihak RS menyodorkan tagihan, dan memintaku membayar di kasir. Aku melihat nominalnya. Cukup untuk beli motor baru.

Waktu itu aku pergi buru-buru, dan di dompetku cuma ada uang cash 1 juta—uang jajan harianku. Jelas tak cukup untuk membayar tagihan RS. Tapi di dompetku ada “kartu sakti” yang bisa digunakan untuk membayar tagihan itu. Debit card!

Dompet tidak penting. Yang penting isinya.

Bayangkan bagaimana bingungnya, andai aku waktu itu tak punya uang untuk membayar tagihan di rumah sakit. Adikku akan tertahan di sana, dan setumpuk persoalan lain akan saling tumpang-tindih.

“Uang tidak menjamin kebahagiaan.” Benar sekali! Katakan itu pada kasir di rumah sakit!

Karenanya, meski mungkin terdengar naif, aku tidak malu mengatakan bahwa self healing-ku adalah uang. Setepatnya, uang yang banyak!

Karena, diakui atau tidak, 90 persen lebih masalah di dunia fana ini membutuhkan uang untuk menghadapi dan menyelesaikannya.

Kalimat “uang tidak menjamin kebahagiaan” atau semacamnya, memang benar, jika—dan hanya jika—dikatakan pada diri sendiri. Jadi, simpan saja omonganmu yang ndakik-ndakik itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 November 2021.

Setiap Orang Punya Masalah

Lihat timeline malam ini, sepertinya ada banyak sekali masalah. Dari masalah keluarga sampai masalah negara. Suami menusuk istrinya sendiri, anak perempuan dianiaya, istri dibunuh suami, pasangan suami-istri ribut di pengadilan, terorisme, sampai utang negara bertumpuk-tumpuk.

Kenyataannya, kehidupan manusia memang penuh masalah. Bahkan jika kita bisa "membersihkan diri" dari masalah, selalu ada kemungkinan kita akan mendapat "limpahan masalah" dari orang lain. Bisa dari keluarga, teman, tetangga, atau bahkan orang asing.

Secara pribadi, aku tidak punya masalah. Aku punya semua yang kubutuhkan, dan aku tidak punya utang serupiah pun. Aku hanya punya sedikit teman, dan lebih sering sendirian. Aku tidak punya masalah apa pun! Tapi, seperti yang kusebut tadi, selalu ada kemungkinan limpahan masalah.

Dan limpahan masalah yang kuhadapi benar-benar berat. Ada masalah orang tua yang membuatku harus keluar masuk ruang pengadilan, selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang. Masalahnya mirip dengan kasus yang dialami Nirina Zubir. Itu masalah orang tua, tapi aku yang mengurusi.

Masalah itu belum selesai, adikku kecelakaan, dan aku harus keluar masuk rumah sakit. Seiring itu, aku harus keluar masuk kantor polisi untuk mengurus berbagai hal, dari asuransi, mediasi bersama pihak yang mengalami kecelakaan dengan adikku, sampai urusan pengambilan kendaraan.

You see that? Aku bisa "membersihkan diri" dari masalah, hingga tidak punya masalah sama sekali, bahkan tidak punya utang, tidak punya cicilan apa pun! Kalau boleh sombong, itu "prestasi" yang tak bisa dimiliki setiap orang. Tapi kita sepertinya dikutuk untuk menanggung masalah!

Kita perlu menyadari kenyataan itu, bahwa setiap orang menanggung dan menghadapi masalah hidup sendiri-sendiri, entah mereka mengatakannya atau tidak. Karenanya, jika memang kita tidak bisa membantu masalah mereka, minimal jangan menambahi masalah mereka. Sederhana, kan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 November 2021.

Kebenaran Hening

Doktrin dan propaganda berteriak bising. Fakta dan realitas menunjukkan kebenaran dalam hening.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Maret 2021.

Tidur Agak Sore

Mau tidur agak sore, biar kayak orang-orang yang gak punya masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Maret 2021.

Senin, 01 Agustus 2022

Cara Mengetahui Kepribadian Seseorang

... aku juga punya metode—yang telah lama kupraktikkan—untuk tahu seperti apa orang-orang yang ada di sekeliling kita.

Sebagai individu, kita pasti punya teman, dari teman dekat sampai teman-teman yang sekadar teman. Dalam banyak kesempatan, kita biasanya tidak hanya berinteraksi dengan teman dekat, tapi juga dengan teman-teman di lingkup pertemanan, sampai teman yang sekadar teman.

Jika kita ingin tahu seperti apa sebenarnya mereka—meliputi sifat, kepribadian, dan apa yang mereka katakan di belakang kita—aku punya metode yang bisa digunakan, dan telah lama kugunakan. Melalui metode ini, aku bisa memilah dan memilih mana teman dan mana bukan.

Caranya kira-kira seperti ini. Saat kita sedang mengobrol panjang (intens) dengan seseorang, tanamkan sesuatu ke dalam pikirannya—sesuatu yang bersifat negatif tentang diri kita (contohnya bisa kamu cari sendiri, yang sekiranya pas denganmu). Intinya, biarkan dia ingat.

Seiring berjalannya waktu, cepat atau lambat, kamu akan tahu apakah orang tadi memang teman yang bisa dipercaya, atau sebaliknya. Karena, jika dia memang tidak bisa dipercaya, dia akan mengumbar “hal negatif” yang tadi kita tanamkan ke pikirannya, kepada orang[-orang] lain.

Dan si “orang lain” itu, biasanya, juga akan berinteraksi dengan kita, dan tanpa sadar dia akan mengungkapkan hal itu, hingga kita pun tahu, “Ooh, si anu telah berbicara buruk di belakangku.”

Apakah ini masih terdengar rumit? Sekarang izinkan aku menunjukkan caraku melakukannya.

Andaikan aku punya lima teman, dan aku ingin tahu mana di antara mereka yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Pada masing-masing lima teman tadi, aku akan memberitahukan “hal negatif” tentangku—sesuatu yang hanya kukatakan kepadanya, karena sebenarnya aku bohong.

“Hal negatif” yang kukatakan itu sebenarnya tidak kulakukan, tapi sengaja kutanamkan ke dalam pikirannya. 

Masing-masing lima teman tadi mendapat “hal negatif” yang berbeda-beda, yang hanya kukatakan pada masing-masing mereka. Umpamakan saja hal negatif itu A, B, C, D, dan E.

Seiring berjalannya waktu, dan ini bisa sangat lama, aku akan tahu mana di antara mereka yang bisa dipercaya, dan mana yang sebaliknya. Jika “hal negatif” A ternyata diketahui orang lain—entah di dalam atau di luar lingkup pertemanan—aku akan tahu siapa yang telah mengatakannya.

Begitu pula jika “hal negatif” yang bocor adalah B, C, D, atau E, aku akan tahu siapa pelakunya—siapa yang telah mengatakannya di belakangku pada orang lain—karena lima orang tadi mendapatkan “hal negatif” berbeda-beda. Itu seperti stempel yang kupasang di jidat mereka.

Mungkin aku berkata pada Si Z bahwa aku suka nyabu (faktanya aku tidak pernah nyabu, tentu saja). Informasi itu hanya kukatakan pada Si Z, untuk menguji kepribadiannya. Jika informasi aku “suka nyabu” bisa diketahui orang lain, aku tahu siapa pelakunya. Kira-kira seperti itu.

Teman yang sebenarnya teman tidak pernah mengatakan hal-hal buruk di belakangmu; teman seperti itulah yang kita percaya, yang benar-benar kita anggap teman. Sementara orang yang mengatakan hal-hal buruk di belakangamu... kamu tentu tak ingin berteman dengannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Agustus 2021.

Teman yang Bisa Dipercaya

Salah satu teman saya adalah Safik. Kami telah berteman bertahun-tahun, dan tetap berteman sampai sekarang.

Bertahun lalu, kami—Safik, saya, dan teman-teman lain—menghadiri suatu acara di sebuah kafe. Banyak orang di acara itu, dan sangat meriah. 

Suatu waktu, saya perlu ke toilet. Jadi, sendirian, saya pun pergi ke belakang kafe. Ketika saya siap membuka pintu toilet, saya mendengar suara percakapan dari dalam—salah satunya suara Safik. 

Safik dan seseorang yang lain ada di toilet, dan saya berdiri di balik pintu—tak terlihat oleh mereka. Tapi saya bisa mendengar percakapan mereka.

Seseorang terdengar bertanya pada Safik, tentang hal-hal terkait saya. Sepertinya orang itu ingin tahu tentang saya dari seseorang yang benar-benar kenal saya.

Dan saya mendengar Safik menjawab, “Kalau kamu berpikir aku mau membicarakan dia di belakangnya, kamu keliru. Kalau memang ingin mengenalnya, silakan kenalan sendiri.”

Safik tidak pernah tahu kalau saya mendengar percakapan mereka di balik pintu, bertahun-tahun lalu. Tapi sekarang dia tahu kenapa saya mempercayainya sebagai teman, sampai bertahun-tahun kemudian.

Tagihan Listrik yang Tak Wajar

Kenaikan tagihan listrik, yang beberapa waktu terakhir dikeluhkan banyak orang, sepertinya memang tidak wajar. Angka kasusnya terlalu banyak untuk ditoleransi sebagai "kewajaran". Terlepas apa pun dalih PLN, kenaikan tagihan yang tiba-tiba melonjak ini memang sangat janggal.

Dulu, waktu yang mengeluhkan hal ini baru satu dua orang, kita bisa menganggapnya "kasuistis". Tapi makin ke sini makin banyak yang mengalami hal serupa; sama-sama kaget mendapati lonjakan tagihan listrik, padahal penggunaannya tidak terlalu berbeda dibanding sebelum-sebelumnya.

Omong-omong, bahkan Raffi Ahmad kaget mendapati tagihan listriknya bulan kemarin yang melonjak gila-gilaan (kalian bisa cek vlognya). Kalau Raffi Ahmad yang duitnya jelas banyak saja "kaget", apalagi rata-rata kita yang duitnya gak banyak-banyak amat? Kalau orang resah, ya wajar.

Ada cara cukup mudah untuk tahu sekaligus membuktikan apakah "kenaikan yang tiba-tiba" ini wajar atau tidak. Cari rumah kosong yang hanya menyalakan 1 atau 2 lampu, dan coba cek berapa tagihan listriknya. Aku agak yakin, tagihan listrik untuk rumah kosong itu juga ikut melonjak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juni 2020.

Panas Hujan

Dari tadi puanasnya luar biasa. Ternyata sekarang hujan deras banget.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2020.

Satu Lembar Buat Apa?

Uang pecahan edisi khusus yang Rp75.000 itu ternyata satu orang (satu KTP) cuma bisa punya satu lembar. Kirain bebas didapatkan sebanyak apa pun. Padahal aku sudah bayangin punya satu ikat (isi 100 lembar), dengan nomor seri berurutan, buat koleksi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Agustus 2020.

 
;