Rabu, 10 Agustus 2022

Sesuatu yang Membuka Mata Saya

Menempuh perjalanan jauh, meninggalkan pekerjaan 
dan kesibukan, menghabiskan waktu, tenaga, biaya, capek, 
lelah, dan “cuma buat ketemu”? Kalau “cuma buat ketemu”, 
aku lebih suka ketemu teman yang jelas kenal dan akrab, 
yang tempatnya dekat.
@noffret


Suatu siang, saya sedang makan mi ayam di warung pinggir jalan, ketika tanpa sengaja mendengar orang berkata, “Wong butuh duit malah diajak ndongeng!”

Saya menengok ke arah suara itu, dan mendapati seorang tukang becak sedang menuntun becaknya melewati warung mi ayam tempat saya makan. Sepertinya dia tadi ngomong pada diri sendiri, semacam kekesalan karena waktu kerjanya terbuang gara-gara diajak ngobrol orang lain. Kalau diterjemahkan, kalimat tadi berbunyi, “Orang butuh uang malah diajak ngobrol!”

Sambil tersenyum sendiri, saya melanjutkan makan, menghabiskan mi ayam dalam mangkuk. Setelah selesai, dan menyeruput teh hangat, saya menyulut rokok, lalu memikirkan ucapan tukang becak tadi. “Wong butuh duit malah diajak ndongeng!”

Kita mungkin jarang terpikir bahwa menyita waktu seseorang, apalagi sampai lama, bisa sangat berdampak bagi kehidupannya. Seperti yang mungkin dialami tukang becak tadi. Dia bekerja sebagai tukang becak, dengan penghasilan yang tak seberapa. Dan penghasilan yang tak seberapa itu harus dibagi-bagi untuk berbagai kebutuhan. Karenanya, dia pun rajin bekerja, mencari penumpang, dengan harapan mendapat penghasilan cukup.

Jika kita menyita waktu tukang becak tadi dengan mengajaknya ngobrol tidak jelas, itu bisa berdampak pada kehidupan dia dan keluarganya. Karena dia ada di sana atau di mana pun untuk bekerja, bukan untuk menghabiskan waktu buat ngobrol ngalor ngidul dengan siapa pun. 

Jangankan tukang becak yang penghasilannya tidak seberapa, sehingga harus memaksimalkan waktunya, bahkan orang-orang yang punya penghasilan besar pun sangat hati-hati menggunakan waktu mereka. Sebenarnya, setidaknya yang saya tahu, orang akan semakin hati-hati menggunakan waktunya, seiring bertambah besar penghasilannya.

Saya mengenal orang yang punya penghasilan Rp3 jutaan per hari, atau sekitar Rp100 jutaan per bulan. Untuk mendapat penghasilan sebesar itu, dia terus bekerja setiap hari, dari pagi sampai sore, dan hanya sedikit punya waktu luang. Suatu waktu, kami (dia dan saya) pernah “terjebak” dalam acara pertemuan tidak jelas, dan dia berkali-kali nggerundel, “Tahu pertemuannya nggak jelas gini, mending kerja!”

Saya setuju dengannya. Daripada membuang-buang waktu untuk orang-orang tak dikenal, untuk acara yang tidak jelas apa manfaatnya, mending mengurusi pekerjaan yang menumpuk! 

Rezeki sudah ada yang mengatur, katanya. Memang! Dan tugas kita adalah bekerja keras, bukan menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak jelas!

Rezeki punya jalan sendiri, katanya. Memang! Dan bekerja adalah upaya membuka jalan rezeki, agar ia datang kepada kita.

Rezeki tidak akan tertukar, katanya. Memang! Karena itulah kita perlu menggunakan waktu sebaik-baiknya, karena rezeki lebih mudah mendekat pada orang yang bekerja keras, daripada yang leyeh-leyeh karena malas!

Mungkin memang ada orang yang hidup santai, tapi uang terus mengalir kepadanya, dan dia hidup berkelimpahan tanpa kerja keras, bahkan mungkin tanpa bekerja. Mungkin memang ada orang semacam itu. Tapi jujur saja, saya tidak sehebat itu. Saya hanya orang biasa, yang harus bekerja untuk menghasilkan uang.

Nyatanya, saya ingin mengakui dengan sepenuh kejujuran, sesuatu yang jelas dan nyata menolong saya adalah uang. Dan cara saya mendapatkan uang adalah dengan bekerja. Jadi singkirkan saja omong kosong yang terdengar ndakik-ndakik, tapi nyatanya cuma omong kosong!

Sekian tahun yang lalu, pada 2016, orang tua saya menghadapi masalah terkait sengketa tanah, dan urusannya sampai ke pengadilan. Prosesnya butuh waktu lebih dari 5 tahun, dari pengadilan tingkat pertama, pengadilan banding, hingga kasasi ke Mahkamah Agung. 

Itu sebenarnya masalah orang tua, tapi saya yang menghadapi dan mengurusi. Dan selama menghadapi masalah besar itu, saya merasa sendirian. Ayah saya sudah lama meninggal. Sementara ibu saya memasrahkan semua masalah itu kepada saya. Jadi, saya montang-manting ke sana kemari sendirian, menghabiskan waktu, pikiran, energi, dan uang tak terhingga banyaknya.

Ke mana teman-teman saya? Oh, mereka ada. Tapi mereka toh cuma bisa sebatas membantu secara moral, semisal membesarkan hati saya, dan semacamnya. Begitu pula para famili dan saudara-saudara saya—mereka hanya bisa sebatas menghibur. Bagaimana pun, sayalah yang menghadapi masalah itu. Sendirian. Dengan segala daya dan upaya yang saya miliki.

Dan sesuatu yang sangat saya syukuri waktu itu adalah uang! Uanglah yang jelas dan nyata membantu saya! 

Sejujurnya, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, andai saya menghadapi masalah sebesar itu dan tidak punya uang. Kalau kau pernah berurusan dengan pengacara dan pengadilan sampai bertahun-tahun, kau akan benar-benar paham apa yang saya katakan (atau tanyakan pada temanmu yang pernah mengalaminya).

Uang menjadi satu-satunya penolong saya, yang jelas dan nyata, yang juga membuka mata betapa berartinya uang bagi hidup saya. Ketika hidupmu diguncang masalah, teman-temanmu mungkin menghilang, saudara dan familimu mungkin memalingkan muka... tapi uang selalu siap membantu.

Peristiwa itu—kasus sengketa tanah yang menimpa orang tua saya—menjadi semacam titik balik dalam hidup saya, sekaligus yang membuka mata, untuk menyadari nilai uang sesungguhnya. Karena uang, saya menyadari, mirip air. Ia tampak tak berharga, tetapi, ketika benar-benar membutuhkannya, kita baru tahu arti keberadaannya.

Sejak itulah, saya makin mencintai kerja, karena dengan bekerjalah saya mendapatkan uang; sesuatu yang jelas-jelas membantu saya dalam hidup. Seiring dengan itu, saya makin selektif menggunakan waktu. Saya tidak akan lagi menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal tak berguna, yang hanya akan saya sesali. Kebetulan, saya hanya punya sedikit teman. Jadi waktu untuk urusan pertemanan bisa dibilang tidak terlalu banyak. Lagi pula, kami juga sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.

Saat ini, misalnya, saya sering kerepotan meluangkan waktu untuk mengunjungi orang tua, atau menjenguk adik saya yang masih dalam masa pemulihan setelah kecelakaan beberapa waktu lalu. Karenanya, jika kebetulan punya waktu luang, saya lebih memilih melakukan hal itu; mengunjungi orang tua, atau menjenguk adik saya. 

Di Twitter, pernah ada seorang wanita menulis tweet dengan nada tak percaya, “Memangnya ada ya, cowok yang mau menempuh perjalanan jauh cuma buat ketemu seseorang?”

Saya me-retweet tweet itu, dan menambahkan kalimat, “Setuju dengan wanita ini. Menempuh perjalanan jauh, meninggalkan pekerjaan dan kesibukan, menghabiskan waktu, tenaga, biaya, capek, lelah, dan ‘cuma buat ketemu’? Kalau ‘cuma buat ketemu’, aku lebih suka ketemu teman yang jelas kenal dan akrab, yang tempatnya dekat.”

Mungkin memang ada orang-orang yang bersedia meluangkan waktu, menempuh perjalanan jauh, hanya untuk ketemu seseorang yang asing, lalu ngobrol-ngobrol tidak jelas. Mungkin memang ada... tapi jelas bukan saya!

Oh, saya bersedia menemui siapa pun, termasuk orang yang tidak saya kenal, di mana pun tempatnya. Kalau kau ingin bertemu saya, mari ketemu. 

Kalau kau mengenal saya di dunia maya, dan ingin bertemu langsung di dunia nyata, silakan hubungi saya, dan kita akan ketemu. Saya akan menemuimu, di mana pun tempatmu. Tapi jelaskan terlebih dulu... apa yang akan saya dapatkan dari pertemuan itu? Jika yang saya dapatkan sepadan dengan waktu yang saya habiskan, saya akan menemuimu. Tapi kalau pertemuan itu hanya akan membuang-buang waktu saya tanpa guna, mohon maaf, saya lebih suka sendirian, bekerja dan belajar.

 
;