Rabu, 29 Mei 2013

Terlihat, Tapi Tak Masuk Akal (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Dalam keseharian, saya tentu menyaksikan perputaran bisnis dan peredaran barang-barang tertentu yang jumlahnya sangat banyak, dan terus diserap pasar. Misalnya makanan. Atau barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari. Untuk barang-barang semacam itu, saya tidak heran jika pabriknya terus memproduksi dalam jumlah banyak, dan selalu habis terjual. Karena memang barang-barang itu dibutuhkan setiap hari.

Mie instan, misalnya. Saya tidak akan terkejut kalau mendengar pabriknya memproduksi ribuan bungkus per hari, karena mie semacam itu memang dikonsumsi jutaan orang setiap hari, bahkan kadang satu orang mengonsumsi lebih dari satu bungkus. Begitu pula gandum, atau tepung terigu. Sepertinya wajar kalau pabriknya memproduksi berton-ton gandum dan tepung terigu terus-menerus, karena barang itu memang dibutuhkan banyak orang setiap hari untuk berbagai keperluan.

Tapi pipa…? Khususnya lagi, pipa untuk menguras bak mandi! Siapa yang setiap hari membutuhkan pipa semacam itu terus-menerus? Saya tetap tidak paham.

Ketidakpahaman saya makin menjadi-jadi ketika mengetahui ternyata ada benda lain, yang bagi saya juga tidak masuk akal. Jadi, suatu hari saya membaca majalah, yang menceritakan tentang bisnis penjualan begel.

Bagi yang mungkin belum tahu apa itu begel, coba perhatikan bagian belakang jok sepeda motor. Di bagian belakang jok sepeda motor, ada besi melengkung yang sepertinya ditujukan untuk memudahkan orang memindah-mindahkan motor. Itulah begel. Kadang-kadang orang menyebutnya “bekhel” atau “betel”. Saya tidak tahu apa nama ilmiahnya, tapi bahasa Indonesia menyebutnya “begel”.

Nah, dalam majalah yang saya baca, ada orang yang berbisnis benda itu. Setiap hari orang itu mengambil ribuan unit begel dari pabriknya, dan menyuplai benda itu ke toko-toko yang telah menjadi rekanannya. Bisnis itu telah ditekuninya selama bertahun-tahun, dan terus berlangsung hingga hari ini.

Pertanyaannya, siapa yang membeli begel setiap hari…???

Kalau kita membeli sepeda motor, hampir bisa dipastikan selalu ada begel pada sepeda motor itu. Meski fungsinya bagi motor mungkin tidak vital, namun begel bisa dibilang pelengkap yang wajib. Artinya, bahkan jika kita punya sepeda motor pun, belum tentu kita perlu membeli begel, karena benda itu sudah terdapat pada motor kita. Nah, jika ada pabrik yang secara khusus memproduksi ribuan begel setiap hari, kira-kira siapa yang membelinya…?

Okelah, mungkin ada orang mengalami kecelakaan di jalan raya, yang menyebabkan begel motornya rusak sehingga perlu diganti. Lalu dia pun membeli begel baru. Tapi masak setiap hari ada ribuan orang yang kecelakaan dan membeli begel baru? Bagi saya itu tidak masuk akal, bahkan meski telah saya pikirkan dalam-dalam. Membayangkan ada ribuan orang membeli begel baru setiap hari, sama sulitnya membayangkan ada ribuan orang yang membeli pipa penguras bak mandi setiap hari.

Jadi, saya pun sempat stres memikirkan hal itu, dan terus mencoba mencari jawaban yang sekiranya masuk akal. Saya pernah mengobrolkan hal ini dengan Heri, sohib saya yang bekerja di dealer sepeda motor, dan berharap dia bisa memberikan pencerahan. Kenyataannya Heri juga sama-sama bingung. Malah dia kemudian menceritakan sesuatu yang membuat saya semakin bingung.

Heri bercerita, dulu dia pernah dimintai tolong temannya yang tinggal di Bandung. Ceritanya, teman Heri bermaksud membuka rental DVD baru di kota kami, dan dia meminta Heri untuk mencarikan ruko (rumah toko) yang dikontrakkan. Spesifikasi yang diminta teman Heri adalah ruko yang berada di pinggir jalan raya yang cukup ramai.

Lalu Heri pun mulai mencari informasi mengenai ruko semacam itu yang dikontrakkan. Pencarian itu menemukan sebuah ruko cukup luas, yang berada tepat di depan sebuah hotel. Ketika pemilik ruko itu dihubungi, dia menyebutkan harga kontraknya 650 juta per tahun. Heri menghubungi temannya di Bandung mengenai ruko itu, dan si teman meminta, “Carikan yang lebih murah.”

Heri kembali mencari-cari. Kali ini dia menemukan ruko lain yang lebih kecil, dengan harga kontrak 400 juta per tahun. Temannya setuju. Tidak lama kemudian, ruko itu pun diperbarui dan disulap menjadi sebuah rental DVD. Heri memperkirakan, biaya mengubah ruko itu menjadi rental membutuhkan biaya lebih dari 20 juta. Yang jelas, rental itu benar-benar terwujud, dan mulai melayani member atau konsumennya.

Nah, gara-gara cerita itu, saya dan Heri mengira-ngira dan menghitung-hitung omset rental DVD. Seperti yang disebutkan di atas, rental DVD itu mengontrak sebuah tempat yang biayanya 400 juta per tahun. Artinya, usaha rental itu harus mampu mendatangkan penghasilan netto minimal 400 juta setiap tahun agar bisa membayar kontraknya. Sekarang tambahkan biaya perawatan, gaji karyawan, dan pengeluaran-pengeluaran setiap bulan seperti biaya listrik dan lain-lain.

Jika diakumulasikan, total pengeluaran usaha rental itu mencapai 450 juta per tahun. Artinya, untuk mendapatkan keuntungan, usaha rental itu harus mendatangkan penghasilan bruto setidaknya 500 juta per tahun. Sampai di sini, saya bertanya-tanya, mungkinkah usaha rental DVD mampu mendatangkan penghasilan bruto sebanyak itu?

Tapi Heri menjelaskan, bahwa usaha rental temannya memang mampu mendatangkan pemasukan sebanyak itu. Dia pun mulai menguraikan. Jika harga sewa per keping DVD sebesar Rp. 6.000, dan setiap hari ada 200 orang yang menyewa rata-rata 2 keping, maka pemasukan per hari yang diperoleh adalah 12.000 x 200 = Rp. 2.400.000. Jika jumlah rata-rata setiap hari itu diakumulasikan dalam setahun, maka total pemasukan bruto rental itu mencapai Rp. 876.000.000.

Jumlah itu benar-benar membuat saya takjub. Saya tidak pernah menyangka kalau usaha rental DVD mampu mendatangkan penghasilan hampir 1 milyar per tahun. Kalau memang kenyataannya begitu, pantas saja teman si Heri berani mengontrak tempat yang biaya sewanya mencapai 400 juta per tahun. Dengan penghasilan bruto 800 juta lebih per tahun, tentu dia bisa membayar kontrak, menggaji pegawai, dan menutup semua biaya bulanan, sekaligus mendapatkan keuntungan yang layak.

Saya sempat ngomong pada Heri, “Melihat hitung-hitungan barusan, aku bisa menerima kalau kalkulasinya memang masuk akal. Tapi, Her, masak sih setiap hari ada dua ratus orang yang menyewa DVD?”

“Dulu aku juga pernah kepikiran begitu,” sahut Heri. “Aku malah sempat bilang ke temanku, apa dia nggak takut rugi berbisnis rental dengan menyewa tempat yang biayanya mahal. Tapi kenyataannya usaha itu lancar. Pernah, aku sampai nongkrongin rental itu untuk melihat sendiri berapa banyak orang yang datang. Nyatanya memang banyak sekali yang menyewa DVD di sana, jadi temanku memang bisa untung dari usaha itu.”

Kemudian, dengan nada bijak, Heri berkata, “Kadang-kadang kita kebingungan melihat usaha yang dijalani orang lain. Kita mungkin bertanya-tanya, gimana caranya orang itu bisa dapat rejeki atau keuntungan dari usahanya. Tapi, yeah, seperti yang dibilang orang-orang tua, setiap orang punya jalan rejekinya sendiri. Yang bagi kita mungkin nggak masuk akal, bagi orang lain ternyata jadi jalan rejeki yang menghasilkan. Kita nggak tahu. Karenanya, konon, rejeki—di samping jodoh dan maut—adalah rahasia Tuhan.”

Saya manggut-manggut. Tapi masih mencoba menyangkal, “Tapi, Her, gimana dengan bisnis pipa dan begel? Memangnya siapa yang tiap hari membeli pipa dan begel?”

Kali ini Heri tersenyum. “Kalau boleh terus terang,” katanya, “sebenarnya aku juga bingung dengan pekerjaanmu. Kamu bekerja dalam urusan pembuatan buku. Tentunya kamu tahu, di Indonesia ada ratusan penerbit yang tiap hari memproduksi ribuan buku. Memangnya siapa yang tiap hari membeli buku? Wong aku aja belum tentu sebulan sekali beli buku. Tapi nyatanya kamu tetap bekerja, dan dapat rejeki dari situ.”

Saya tak mampu menjawab. Karena kenyataannya memang begitu. Dan mendengar pernyataan Heri yang terakhir, tiba-tiba saya mulai melihat bagaimana rezeki tiap orang memang memiliki jalannya sendiri-sendiri, yang kadang tak masuk akal bagi orang lain. Saya masih ingat bagaimana teman-teman saya, bahkan orang tua saya sendiri, pernah meragukan saya bisa hidup dari pekerjaan menulis. Tapi nyatanya saya telah menjalani profesi menulis selama bertahun-tahun, dan mendapatkan rezeki yang layak dari pekerjaan itu.

Meminjam ungkapan orang bijak, jika hewan yang tidak dikaruniai akal pikiran saja memiliki rezekinya masing-masing, apalagi manusia yang dibekali akal dan pikiran? Dalam hal rezeki, mungkin, tugas kita yang terutama adalah menemukan jalan yang dipilih, dan tekun menjalaninya.

Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Yang bagus bagi satu orang belum tentu bagus pula bagi orang lain. Yang mustahil bagi satu orang belum tentu mustahil pula bagi orang lain. Karenanya, jika telah menentukan jalan hidup yang dipilih, hal kedua yang dibutuhkan adalah ketekunan untuk tetap mencintai jalan itu sepenuh hati.

Dalam pilihan dan ketekunan yang dijalani dengan sepenuh hati, rezeki biasanya akan datang sendiri. 

Terlihat, Tapi Tak Masuk Akal (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Seperti yang dibilang tukang tadi, di Indonesia memang ada beberapa pabrik pembuat pipa yang ditujukan untuk menguras bak mandi. Biasanya, pabrik-pabrik itu juga memproduksi alat-alat bangunan lain. Ketika saya mulai mencari tahu tentang hal itu, saya menemukan fakta yang benar-benar tidak masuk akal. Pabrik-pabrik itu setiap hari memproduksi ribuan unit pipa semacam itu.

Sudahkah kita melihat letak keanehannya…?

Setiap hari, ada pabrik-pabrik yang memproduksi ribuan pipa untuk menguras bak mandi! Padahal, tidak setiap hari orang butuh pipa semacam itu, kan? Kalau hari ini kita membuat bak mandi baru dan membutuhkan pipa semacam itu, bisa jadi pipa itu akan bertahan di kamar mandi kita sampai bertahun-tahun, atau bahkan sampai seumur hidup. Lalu kenapa pabriknya terus memproduksi pipa semacam itu sampai ribuan unit setiap hari?

Jawaban paling logis untuk pertanyaan itu tentu karena setiap hari ada orang yang membuat rumah baru, atau kamar mandi baru, sehingga mereka menjadi konsumen pipa penguras bak mandi. Tapi benarkah begitu? Benarkah setiap hari ada ribuan orang yang membutuhkan pipa semacam itu? Kemampuan akal saya tidak mampu menjawabnya. Kalau satu dua orang—atau setidaknya puluhan orang—setiap hari membutuhkan pipa semacam itu, mungkin masih terdengar masuk akal. Tapi kalau setiap hari ada ribuan orang membeli pipa semacam itu, terus terang saya kebingungan memahaminya.

Faktanya, pabrik pembuat pipa semacam itu setiap hari terus memproduksi ribuan unit pipa. Artinya, berdasarkan pertimbangan bisnis, tentu ada permintaan pasar yang mengharuskan mereka terus membuat pipa untuk menguras bak mandi. Karena, pabrik-pabrik itu tentunya tidak mau merugi dengan membuat barang yang tak dibutuhkan pasar. Jika setiap hari mereka memproduksi barang itu, artinya pasarnya ada, konsumennya ada, dan setiap hari memang dibutuhkan ribuan orang.

Jadi, setiap hari, di negeri ini ada ribuan orang yang membutuhkan pipa untuk menguras bak mandi! Kenyataan itu, bagi saya, benar-benar fantastis, jika tak mau dibilang tak masuk akal.

Pipa! Demi Tuhan! Pipa untuk menguras bak mandi! Memangnya siapa yang tiap hari membeli benda semacam itu?

Sekarang, ketika saya menulis catatan ini, saya mulai mengira-ngira. Menggunakan estimasi, coba kita perkirakan yang terjadi. Umpamakan saja di Indonesia ada lima pabrik yang masing-masingnya memproduksi empat ribu pipa setiap hari. Ingat, pipa penguras bak mandi itu buatan mesin, bukan buatan tangan. Jadi wajar kalau mereka mampu memproduksi ribuan unit setiap hari.

Nah, jika dalam sehari ada lima pabrik yang masing-masingnya memproduksi 4.000 pipa, maka dalam satu hari ada 20.000 pipa baru. Artinya pula, setiap hari setidaknya ada 20 ribu orang yang membuat rumah baru, bak mandi baru, atau bak mandi lamanya perlu pipa baru untuk menguras bak mandi.

Secara statistik, jumlah 20.000 orang yang membeli pipa untuk kamar mandinya mungkin terdengar absurd. Tetapi, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta lebih, jumlah itu jadi tampak sedikit, dan pembuatan pipa yang mencapai ribuan unit setiap hari jadi mulai tampak wajar. Kenyataan itu pun perlahan-lahan mengendap dalam pikiran saya.

Sesuatu yang semula tampak tidak masuk akal, perlahan-lahan mulai masuk akal sewaktu kita menguraikannya. Tetapi… benarkah di negeri ini ada ribuan orang yang tiap hari memang membeli pipa itu? Benarkah setiap hari ada ribuan orang yang membuat kamar mandi baru? Meski estimasinya tampak wajar dan masuk akal, saya tetap sulit menerima kenyataan bahwa pipa semacam itu setiap hari terjual sampai ribuan unit. Benda itu terlihat, estimasinya juga wajar. Tapi bagi saya tetap tak masuk akal.

Mungkin saya memang cukup tolol untuk memahami hal-hal semacam itu. Kenyataannya saya juga tidak pernah berbisnis pipa, sehingga tidak pernah menyaksikan langsung untuk membuktikannya. Seumur-umur, saya juga belum pernah membeli pipa penguras bak mandi satu kali pun. Jadi, urusan pipa pun mentok sampai di situ. Hanya sebatas perkiraan, yang bagi saya tetap sulit dinalar.

Lanjut ke sini.

Terlihat, Tapi Tak Masuk Akal (1)

Kamar mandi modern biasanya menggunakan shower tanpa bak mandi. Namun, kamar mandi tradisional masih menggunakan bak mandi. Keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, dan pemilihan konsep kamar mandi juga biasanya tergantung pada selera dan kebutuhan masing-masing orang.

Menyangkut kamar mandi, dua minggu lalu saya mengunjungi seorang teman yang sedang membangun rumah baru. Ceritanya, si teman ini akan menikah, dan baru membeli tanah kosong. Di atas tanah itu ia membangun rumah yang ia rencanakan untuk ditinggali bersama istrinya kelak. Sewaktu saya datang ke sana, rumah itu hampir selesai dibangun, dan tinggal menyelesaikan hal-hal kecil. Jadi di sana juga masih banyak tukang yang sedang bekerja.

Teman saya tentu saja sumringah menyaksikan rumah barunya hampir jadi, dan terwujud sesuai bayangannya. Ketika saya mengunjunginya, dia pun dengan gembira mengajak saya berkeliling, melihat-lihat rumah barunya. Saya senang. Oh, well, saya selalu senang setiap kali melihat rumah baru. Rasanya seperti menyaksikan impian yang terwujud—kira-kira begitu. Bau cat rumah baru, bagi saya, adalah bau paling menyenangkan di dunia.

Saat berkeliling, saya mengagumi desainnya. Saya bisa membayangkan rumah itu nantinya benar-benar indah dan asri. Saat kami sampai di bagian kamar mandi, saya mendapati ada beberapa tukang yang masih aktif di situ, sedang memasang porselen dan hal lain. Rupanya rumah teman saya menggunakan konsep kamar mandi basah yang memakai bak mandi.

“Kamar mandinya luas,” komentar saya sambil melihat-lihat.

Pada waktu itu, seorang tukang tampak sedang memasang pipa kecil di bawah bak mandi. Seperti kita tahu, bak air di kamar mandi perlu dikuras secara berkala, agar airnya selalu bersih dan jernih. Untuk memudahkan proses pengurasan, bak mandi pun biasanya dilengkapi pipa kecil yang terletak di bawah bak. Pipa itu dilengkapi tutup. Jika perlu menguras bak, kita tinggal membuka tutup pipa tersebut, dan air dalam bak akan mengalir keluar sehingga kita tidak perlu capek mengurasnya.

Nah, pipa yang ditujukan untuk menguras air bak mandi itulah yang sekarang saya lihat sedang dipasang tukang di rumah teman saya. Tukang itu sedang memasukkan pipa ke dalam lubang kecil di bawah bak yang telah disiapkan untuk dimasuki pipa tersebut.

Ketika melihat pipa itu, saya tertegun. Dan takjub sekaligus bingung.

Saya bilang pada tukang yang sedang memegangi pipa tersebut, “Pak, pipa yang sampeyan pegang itu, apa namanya?”

Si tukang agak bingung. “Pipa ini?” tanyanya sambil menunjuk pipa di tangannya.

“Ya, pipa itu.”

“Ini pipa untuk nguras bak mandi, Mas,” katanya menjelaskan.

“Iya, saya tahu itu pipa untuk nguras bak mandi. Nah, apa namanya pipa itu?”

Tukang itu menatap saya dengan ekspresi makin bingung. “Uhm… saya ndak tahu apa namanya, Mas. Yang saya tahu ya pipa ini namanya pipa untuk nguras bak mandi.”

Sejujurnya saya juga tidak tahu apa nama pipa itu. Sama seperti tukang tersebut, saya hanya tahu bahwa pipa itu ditujukan untuk menguras bak mandi. Tetapi pipa-entah-apa-namanya itu melecutkan suatu pemikiran yang amat rumit, yang tidak dapat saya pahami. Lalu saya bilang pada tukang tersebut, “Pak, kira-kira di mana pabrik yang membuat pipa semacam itu?”

“Pabrik yang bikin pipa kayak gini?” tanyanya.

“Iya, pabrik yang bikin pipa untuk nguras bak mandi kayak gitu, sampeyan tahu di mana?”

“Wah, banyak, Mas. Di Jawa Barat, ada. Di Jakarta juga ada.” Setelah itu dia bertanya dengan bingung, “Jadi, Mas ini mau bikin pabrik pipa, atau gimana?”

Tentu saja saya tidak berniat membangun pabrik pipa. Tapi, saya tertarik pada pipa untuk menguras bak mandi itu, karena benda itu benar-benar tidak masuk akal. Tentu saja tujuannya untuk menguras bak mandi—dan itu masuk akal. Tapi kenyataan bahwa ada pabrik yang memproduksi benda semacam itu, benar-benar sulit dinalar akal sehat.

Lanjut ke sini.

Kidung Kepalsuan

Seseorang menulis sesuatu sesuai pikiran dan kata hatinya. Aku menemukannya tanpa sengaja, dan aku jatuh cinta kepadanya.

Seseorang berusaha menulis sesuatu agar aku berpikir memiliki pikiran yang sama dengannya. Yang terjadi, aku membencinya.

Kamis, 23 Mei 2013

Lonte

Masalah kita, persepsi tidak hanya terbentuk karena
suatu materi atau sistem nilai, tetapi juga dapat dimanipulasi.
@noffret 


Di Twitter, pernah ada twitwar yang berdarah-darah antara seorang cewek dengan seorang cowok. Twitwar itu sangat ramai dan berlangsung sampai berhari-hari, hingga saya—yang bisa dibilang cupu di Twitter—ikut mengetahuinya. Kedua pihak saling menyerang, saling mengumpat, saling mengata-ngatai, sementara “supporter” mereka memberi dukungan lewat mention atau me-retweet umpatan-umpatan mereka.

Sekali lagi, twitwar itu sangat berdarah-darah, hingga umpatan “Dasar lonte!” muncul berkali-kali, yang ditujukan sebagai serangan ke pihak cewek. Sebegitu fasihnya si cowok menyebut kata itu, dan begitu seringnya kata itu muncul dalam makiannya, hingga saya pikir orang yang menjadi follower si cowok akan percaya kalau si cewek yang dimakinya memang pantas disebut begitu.

Karena penasaran, saya pun menelusuri akar peperangan mereka di Twitter, ingin tahu apa penyebab hingga kedua orang itu berperang sampai begitu parah.

Saya membaca timeline si cowok, juga timeline si cewek, berharap bisa menemukan akar masalah mereka. Di timeline si cowok, saya tidak bisa menemukan akar yang saya cari. Di timeline itu buntu—transkripnya tidak lengkap—dan twitwar itu muncul sekonyong-konyong. Artinya, si cowok telah menghapus akar peperangan mereka di timeline-nya, apa pun alasannya. 

Lalu saya beralih ke timeline si cewek. Di timeline si cewek, transkripnya lengkap. Dari awal sebelum twitwar terjadi, sampai twitwar itu meletus, semuanya masih ada, dan siapa pun bisa membacanya untuk mengetahui akar masalah mereka. Bahkan, di timeline si cewek juga ada RT (reply to/retweet yang menggunakan copy-paste dan dilengkapi komentar) terhadap isi tweet si cowok yang telah dihapus dari timeline si cowok.

Jadi, berdasar transkrip di timeline—juga dari cerita yang saya dapat dari para “supporter” twitwar itu—peperangan di Twitter itu dimulai dari pernyataan cinta si cowok kepada si cewek. (Sepertinya mereka telah saling kenal di luar Twitter). Kedengarannya remeh, eh? Tetapi dari hal remeh itulah peperangan yang sangat mengerikan sekaligus memalukan terjadi di Twitter, hingga siapa pun bisa mengetahuinya.

Si cowok menyatakan cinta pada si cewek, namun si cewek tidak menanggapi. Karena si cewek tidak memberi tanggapan, si cowok meminta jawaban via Twitter. Si cewek tetap tidak menanggapi. Si cowok terus meminta, hingga terkesan memaksa. Si cewek jadi terganggu, dan kemudian menulis tweet yang mungkin bikin si cowok tersinggung. Lalu perang dimulai. Dari saling sindir hingga saling maki. Setelah itu, timeline mereka berubah menjadi arena perang yang berdarah-darah.

Orang-orang di Twitter yang mengetahui twitwar itu pun penasaran, dan beberapa ada yang bertanya pada si cowok, “Kenapa, bro?”

Si cowok, dengan gaya tanpa dosa, menjawab, “Dia mencaci maki saya!”

Tetapi dia tidak menjelaskan mengapa si cewek sampai “mencaci maki dirinya” sebagaimana yang dikatakannya. Dengan cara itu, dan dengan segala penjelasan versinya, dia jadi tampak sebagai pihak yang benar, dan si cewek ada di pihak yang salah.

Kalian paham yang saya maksudkan...? Si cowok telah mengorupsi rangkaian peristiwa peperangan mereka. Dengan kata lain, dia tidak menyebutkan awal masalah yang membuat si cewek “mencaci maki dirinya”, dan membuat kesan kalau dirinya hanyalah korban tak bersalah dalam peperangan itu. Hal itu juga terbukti dari rangkaian tweet di timeline-nya yang telah ia hapus, yang merupakan awal peperangan mereka.

Jika dia memang adil, mestinya dia jujur menyebutkan bahwa akar masalah mereka berawal dari pernyataan cintanya yang tidak ditanggapi si cewek. Tapi tidak—dia tidak menyebutkan fakta itu—dia mengorupsi kebenaran yang seharusnya ia katakan, dan menampilkan dirinya seolah korban yang tak bersalah.

Inilah akar segala macam masalah, pertengkaran, kebencian, permusuhan, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Korupsi kebenaran. Karena orang mengorupsi kebenaran, dan tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tapi justru mengesankan dirinya sebagai korban yang tak bersalah. Padahal, setiap kali pertengkaran terjadi di bawah langit, pertengkaran itu terjadi karena sebab, dan kita harus menelusuri akar penyebabnya untuk benar-benar tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Semula, dalam twitwar itu, si cewek lebih memilih diam, tidak menanggapi caci-maki si cowok. Mungkin, pikirnya, orang akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah dengan hanya membaca timeline mereka, sehingga dia tak mau repot-repot menanggapi ajakan twitwar si cowok. Tetapi, setelah si cowok berkali-kali memaki “Lonte!”, si cewek jadi meradang. Dia pun balas memaki, dan twitwar terjadi.

Tetapi telah terjadi korupsi kebenaran di sini. Si cowok telah menghapus tweet di timeline-nya, yang merupakan asal muasal twitwar mereka. Akibatnya, orang-orang yang tidak tahu (dan tidak mau repot menelusuri akar masalah mereka) akan mengira bahwa si ceweklah yang bersalah, sedang si cowok hanya korban. Hal itu terlihat dari para supporter si cowok (yang jauh lebih banyak) yang ikut memaki si cewek dengan umpatan yang sama, “Yeah, dasar lonte!”

Sekarang, tanpa bermaksud menjadi hakim, mari kita dudukkan persoalan, agar kita sama-sama tahu betapa bahayanya korupsi kebenaran.

Berdasarkan kronologi lengkap di timeline, beginilah yang terjadi. Si cowok menyatakan cinta pada si cewek. Si cewek tidak menanggapi. Tanpa kepekaan, si cowok terus meminta tanggapan, hingga terkesan memaksa.

Karena merasa terganggu, si cewek menyindir perilaku si cowok. Tapi si cowok tak peduli, bahkan makin menjadi-jadi. Si cewek mendiamkan. Karena merasa dicueki, si cowok tersinggung, lalu mulai memaki. Si cewek masih berdiam diri, tak menanggapi. Si cowok mungkin makin panas, hingga keluar umpatan “Lonte!” berkali-kali. Si cewek tak terima diumpat seperti itu, lalu meradang, dan twitwar terjadi.

Berdasarkan kronologi tersebut, siapakah yang bersalah? Mungkin keduanya sama-sama bersalah. Tetapi si cowok jauh lebih bersalah, karena dia mengorupsi kebenaran. Dia menghapus tweet di timeline-nya yang menjadi penyulut pertengkaran mereka, dan—ketika ditanya mengapa pertengkaran itu terjadi—dia tidak menjelaskan masalahnya secara utuh, selain hanya menyebut, “Dia mencaci maki saya!”

Padahal, jika kita mau jujur pada diri sendiri, sebenarnya siapa yang lebih dulu bikin gara-gara? Cowok yang sakit hati karena cintanya ditolak, ataukah cewek yang marah karena dimaki lonte?

Jatuh cinta dan patah hati adalah hal biasa—begitu pula diterima atau sebaliknya. Sakit hati dan bersikap norak karena ditolak adalah perilaku kampungan. Memaki-maki cewek sebagai lonte hanya karena dicueki sungguh keterlaluan. Dan, di atas semuanya itu, mengorupsi kebenaran adalah cara ampuh menyalakan api neraka yang padam.

Oh, well, setiap orang menyimpan api neraka di dalam dirinya, sebagaimana setiap orang menyimpan teduh surga di dalam dirinya. Api itu padam, dan teduh itu tersimpan. Tinggal bagaimana kita memperlakukan orang lain, itu akan menyalakan api neraka miliknya, atau membukakan keteduhan surga di dalam hatinya. Setiap manusia bukan malaikat, meski juga bukan iblis. Tetapi ia bisa lebih mulia dibanding malaikat atau lebih mengerikan dibanding iblis, tergantung sikap dan perilaku kita pada mereka.

Jadi, kawan-kawan, setiap kali kita mendengar orang menjelek-jelekkan orang lain, setiap kali kita melihat orang memburuk-burukkan orang lain, tak perlu buru-buru percaya. Bisa jadi orang yang dijelek-jelekkan dan diburuk-burukkan itulah yang benar, dan yang menjelek-jelekkan itulah yang salah. Bisa jadi orang yang menjelek-jelekkan itu telah mengorupsi kebenaran yang seharusnya kita dengar, dan menampilkan dirinya seolah korban yang tak bersalah.

Setiap kali terjadi pertengkaran dan permusuhan di bawah langit, selalu ada akar penyebab, awal mula pencetusnya. Orang tidak akan membenci tanpa sebab, orang tidak akan mencaci-maki tanpa provokasi. Menjelek-jelekkan dan memburuk-burukkan orang lain dengan cara mengorupsi kebenaran adalah perilaku yang sangat menjijikkan. Lebih menjijikkan lagi jika hal itu dilakukan di belakang punggung orang yang dijelek-jelekkannya. Oh, well, itulah perilaku lonte yang sesungguhnya.

Doa Satu-satunya

Sampai suatu ketika, seorang manusia tiba
pada kesimpulan akhir bahwa doanya hanya meminta
kemampuan untuk dapat terus berdoa.
@noffret


Seorang bocah berkata pada filsuf, “Tuan Filsuf. Jika setiap manusia hanya diberi kesempatan menyampaikan satu doa kepada Tuhan seumur hidupnya, doa apakah yang akan Tuan minta?”

“Aku akan berdoa agar dikaruniai rasa malu,” jawab sang filsuf.

Si bocah mengerutkan kening, tak mengira itu jawabannya. “Rasa malu?”

“Ya, Nak, rasa malu,” tegas sang filsuf. “Aku akan berdoa agar dikaruniai rasa malu. Malu pada diriku sendiri, malu pada orang lain, dan malu pada Tuhan. Aku berdoa agar dikaruniai rasa malu. Malu mengambil hak orang lain, malu melakukan perbuatan salah, malu menjelek-jelekkan orang lain di belakang punggungnya, malu menganggap diri paling benar dan paling suci.

“Aku akan berdoa agar dikaruniai rasa malu. Malu mengganggu hidup orang lain, malu membicarakan keburukan orang lain, malu memuji-muji diri sendiri, malu melakukan hal-hal yang salah dan memalukan, malu menyalah-nyalahkan orang lain. Ah, Nak, jika satu-satunya doa yang dipanjatkan manusia hanya keinginan agar dikaruniai rasa malu, dan masing-masing kita berdoa hal yang sama, rasanya itu sudah cukup bagi dunia.”

Hukum Tak Terlihat

Jika kita berani menanyakan, “Memangnya kenapa?”, maka kita juga harus legawa jika mendengar orang lain mengajukan pertanyaan sama.

Selasa, 21 Mei 2013

Jalan Sunyi Sang Pencari

Malaikat mengepakkan sayap
pada sunyi yang dipeluk para pencari.
@noffret


—Untuk lelaki yang kucintai

Tangis bayi memecah malam di sebuah tempat bernama Asqalan, tidak jauh dari Gaza, Palestina. Kelahirannya hanya berselang beberapa saat setelah kematian orang besar di sana, dan sang bayi kelak menjadi orang besar penerusnya. Bayi itu bernama Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Shafi’i, yang kemudian akrab dipanggil Asy-Syafi’i atau Imam Syafi’i. Kelahirannya menandai jalan panjang dalam sunyi.

Asy-Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriyah, tahun yang sama ketika Imam Abu Hanifah, ulama besar di sana, meninggal dunia. Ia tumbuh dan besar dalam keluarga sederhana. Pada waktu berusia 2 tahun, Asy-Syafi’i diajak sang ayah ke Syam untuk suatu keperluan. Di tengah perjalanan, sang ayah meninggal dunia, dan Asy-Syafi’i pun menjadi yatim. Kemudian, kakeknya, yang ada di Makkah, membawa Asy-Syafi’i ke sana, dan bocah itu pun hidup bersama kakeknya.

Di Makkah, bocah itu mulai menunjukkan kecerdasan sekaligus kecintaannya yang luar biasa pada ilmu pengetahuan. Ketika anak-anak lain asyik bermain dan tertawa-tawa, Asy-Syafi’i duduk di majelis-majelis, mendengarkan para ulama menyampaikan ilmu. Ketika anak-anak lain baru belajar menulis, Asy-Syafi’i telah mampu merangkai syair-syair indah. Bahkan, pada usia 7 tahun, ia telah hafal Al-Qur’an—prestasi yang sulit ditandingi siapa pun.

Sebagai anak yatim, kehidupan Asy-Syafi’i tak bisa dibilang mudah. Kakeknya miskin, sementara ibunya yang janda tidak mampu memberikan penghidupan yang layak. Tetapi bocah itu memiliki kegigihan tak terkalahkan sekaligus kecintaan luar biasa pada ilmu pengetahuan. Mengetahui ibunya tak bisa membelikannya buku, Asy-Syafi’i pun mengumpulkan tembikar, sisa-sisa kulit, pelepah kurma, hingga tulang-tulang yang ia temukan, untuk menuliskan semua ilmu yang diperolehnya.

Setiap hari, ketika waktunya luang, Asy-Syafi’i berkeliling ke sana kemari, mendatangi kantor-kantor, untuk meminta kertas-kertas bekas yang tak dipakai lagi. Pada kertas-kertas yang masih kosong ia menuliskan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, syair-syair gubahannya, juga pemikiran-pemikirannya, yang kelak akan menjadi karya besarnya.

Bocah Asy-Syafi’i tumbuh bersama kecintaan pada ilmu pengetahuan, dan cinta itu pula yang kemudian menjadi cinta terbesarnya dalam hidup. Ia telah merasakan kenikmatan ilmu sejak masih sangat kecil—dan ketika seseorang telah mengecup manisnya rahasia ilmu, dia tak akan sanggup berpaling atau membagi cintanya. Lebih kuat dari candu apa pun, kenikmatan ilmu akan membuatmu rela meninggalkan kenikmatan lain apa pun.

Suatu siang, ketika berusia 12 tahun, Asy-Syafi’i merasa kelaparan, namun tidak ada makanan yang bisa dimakannya. Untuk menghibur diri, ia pun berjalan-jalan sendirian sambil menyenandungkan syair-syair yang diciptakannya sendiri. Pada waktu itulah ia berpapasan dengan seorang juru tulis, yang terpesona pada keindahan syair-syair Asy-Syafi’i.

Si juru tulis menghentikan langkahnya, dan menyapa bocah itu, “Nak, kau masih sangat muda. Dan kau juga pasti sangat cerdas. Kenapa kau sia-siakan bakatmu hanya untuk syair?”

Asy-Syafi’i menyahut dengan sopan, “Apa maksud Anda?”

“Maksudku,” sahut si juru tulis yang bijak, “kenapa kau tidak belajar fiqih?”

Asy-Syafi’i tahu itu nasihat yang baik. Maka ia pun memutuskan untuk belajar fiqih. Pada waktu itu, ulama fiqih yang sangat dihormati (mufti) di Makkah adalah Muslim ibn Khalid Az-Zanji. Asy-Syafi’i mendatangi ulama itu, dan meminta untuk dapat belajar kepadanya. Az-Zanji menerima Asy-Syafi’i, dan segera menyaksikan betapa bocah itu memang tergila-gila pada ilmu.

Dari pagi sampai larut malam, Asy-Syafi’i nyaris tak pernah melepaskan kitab-kitab fiqih yang dipelajarinya di tempat Az-Zanji. Ketika kelelahan di larut malam, kadang bocah itu tertidur sambil mendekap buku-bukunya, lalu telah terbangun dan belajar lagi sementara para santri lain masih pulas mendengkur. Az-Zanji, sang guru, menyaksikan semuanya itu dengan ketakjuban bercampur kebanggaan.

Hasilnya, dalam waktu tiga tahun, Asy-Syafi’i telah menguasai ilmu fiqih secara cumlaude. Sementara orang-orang lain membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa mencapai hal itu, Asy-Syafi’i telah diberi restu oleh gurunya untuk memberikan fatwa, karena ilmunya dinilai telah mencukupi. Maka Asy-Syafi’i pun menjadi ulama paling muda sepanjang sejarah—ia telah mendapat restu untuk berfatwa pada usia 15 tahun.

Tetapi kecintaan pada ilmu menjadikan Asy-Syafi’i tidak puas sampai di situ. Meski gurunya telah memberi restu untuk berfatwa dan menjadi guru, Asy-Syafi’i memilih untuk kembali menimba ilmu. Kali ini, ia berangkat ke Madinah, untuk berguru fiqih pada Imam Malik bin Anas.

Pada waktu itu, Imam Malik adalah ulama terbesar di Madinah, yang memiliki santri tak terhitung banyaknya. Usianya juga sudah sangat renta. Ketika pertama kali mereka berjumpa, Imam Malik sudah merasakan aura kecerdasan anak muda di hadapannya, meski ia tidak tahu siapa bocah itu. Jadi, sebagaimana pada santri-santri baru lainnya, Imam Malik pun berkata pada Asy-Syafi’i, “Datanglah besok pagi ke majelis ini, dan seseorang akan membacakan Al-Muwaththa’ untukmu.”

Al-Muwaththa’ adalah kitab yang merupakan karya besar Imam Malik (ia menulisnya selama 40 tahun), dan kitab tebal itu pula yang diajarkan Imam Malik kepada para muridnya. Biasanya, para murid atau santri baru masih kebingungan membaca dan memahami kitab itu, sehingga ada petugas khusus yang akan mengajarkannya terlebih dulu sebelum kemudian bertemu langsung dan diajar oleh Imam Malik. Hal itu pulalah yang dinyatakan Imam Malik pada Asy-Syafi’i, ketika bocah itu datang pertama kali untuk menjadi muridnya.

Tetapi, di luar dugaan Imam Malik, Asy-Syafi’i berkata dengan sopan, “Maafkan saya, Guru. Saya telah menghafal kitab itu.”

Imam Malik terkejut. Tetapi kemudian berkata, “Baiklah kalau begitu. Besok kau datang langsung ke majelisku.”

Besoknya, seperti yang dijanjikan, Asy-Syafi’i mendatangi majelis Imam Malik, dan dia diminta membaca kitab tersebut. Asy-Syafi’i membaca kitab Al-Muwaththa’ di hadapan Imam Malik, sang penulis kitab tersebut, dan sang guru mendengarkannya dengan khusyuk.

Menyaksikan gurunya tampak memejamkan mata, Asy-Syafi’i khawatir Imam Malik merasa bosan, dan dia pun menghentikan bacaannya. Tetapi Imam Malik segera membuka matanya kembali, dan berkata sungguh-sungguh, “Teruskan bacaanmu, Nak, teruskan. Kau membaca kitab itu dengan fasih sekali!”

Seperti ketika berguru pada Az-Zanji di Makkah, Asy-Syafi’i lagi-lagi lulus cumlaude dalam waktu singkat. Dia segera mendapat restu dari Imam Malik untuk mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya. Pada waktu itu, usia Asy-Syafi’i baru menginjak 25 tahun. Imam Malik sangat mengagumi muridnya yang satu itu, sebagaimana Asy-Syafi’i juga sangat mencintai gurunya. Sebegitu cintanya pada sang guru, Asy-Syafi’i memutuskan untuk tetap tinggal di sana, demi selalu dapat berdekatan dengan Imam Malik.

Akhirnya, ketika Imam Malik meninggal dunia, Asy-Syafi’i pergi ke Yaman. Di Yaman, ia belajar pada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli, dan para ulama lain, sampai kemudian diangkat menjadi Wali Negeri karena kecerdasan dan keluasan ilmunya. Tapi rupanya menjadi pejabat pemerintah tidak cocok bagi seorang idealis seperti Asy-Syafi’i.

Sistem pemerintahan di Yaman pada waktu itu tak jauh beda dengan sistem pemerintahan negara di mana pun. Korupsi, kolusi, suap, dan berbagai kejahatan antara pejabat dan pengusaha, merajalela dari tingkat atas sampai paling bawah. Asy-Syafi’i mampu menjaga dirinya untuk tidak terlibat dalam hal-hal kotor semacam itu, tetapi dia telah terjebak dalam sistemnya.

Di masa itu, ada seorang berpengaruh di Yaman bernama Sofyan ibn Uyainah. Dia semacam kontraktor dan konglomerat yang biasa mendapat banyak proyek dari pemerintah berkat koneksi dan suap. Ketika Asy-Syafi’i menjabat sebagai Wali Negeri di Yaman, Ibn Uyainah seperti membentur dinding. Asy-Syafi’i tidak mempan disuap, tidak bisa diajak kolusi, tidak pernah korupsi, dan tidak bisa diiming-imingi apa pun. Kenyataan itu menjadikan Ibn Uyainah jengkel sekaligus frustrasi.

Akhirnya, demi mendongkel Asy-Syafi’i dari jabatannya, Ibn Uyainah menggunakan cara kotor. Ia memfitnah Asy-Syafi’i dengan tuduhan tasyayyu’, atau subversif, yakni melakukan kegiatan melawan pemerintah. Upaya fitnah itu berjalan lancar, karena uang Ibn Uyainah mengalir ke mana-mana, menyuap siapa pun yang dapat disuap, membungkam siapa pun yang dapat dibungkam, dan hasilnya Asy-Syafi’i pun dipecat dari jabatannya, serta diusir dari Yaman.

Keluar dari Yaman, dengan hati terluka akibat fitnah, Asy-Syafi’i pergi ke Baghdad. Ia bermaksud untuk kembali menjadi sang pengabdi ilmu, dan kali ini ia ingin belajar fiqih Imam Hanafi. Kemewahan menjadi pejabat pemerintah rupanya tidak cocok bagi dirinya, dan dia pun kini tahu bahwa jalan hidupnya ada dalam sunyi. Bersama buku. Bersama ilmu. Bersama para guru.

Jika Imam Malik di Madinah adalah pakar dalam bidang fiqih ahli hadist, maka Imam Hanafi adalah pakar dalam bidang fiqih ahli ra’yu (fiqih yang menitikberatkan pada kekuatan akal atau logika).

Di Baghdad, Asy-Syafi’i tekun mempelajari ilmu tersebut di bawah bimbingan Imam Hanafi, hingga kemudian menjelma menjadi orang pertama yang mampu menguasai dua disiplin ilmu fiqih sekaligus. Karenanya pula, ketika akhirnya Asy-Syafi’i menjadi guru dan mengajarkan ilmunya, para ulama pun menyebut fiqih Asy-Syafi’i sebagai sintesis fiqih Imam Malik dan fiqih Imam Hanafi.

Di Baghdad pula Imam Syafi’i mulai mengajar hingga usianya menanjak tua. Kemudian ia pindah ke Mesir, dan kembali menjadi guru di sana hingga saat kematiannya, pada akhir bulan Rajab, 204 Hijriyah. Ia mati sebagai pecinta ilmu sejati, lelaki yang seumur hidup memeluk sunyi.

Dalam kitab Miftaahus Sa’aadah, Thasy Al-Kubri menyebut Imam Syafi’i sebagai, “Ulama ahli fiqih, ushul, hadist, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya, yang memiliki kredibilitas dalam moral maupun agama, seorang yang penuh kesederhanaan namun menjalani hidup dengan kemuliaan.”

Sementara Imam Tajuddin As-Subkhi mengenang Asy-Syafi’i sebagai, “Lelaki yang ilmunya memenuhi bumi.”

Pengadilan untuk Tukang Nasihat

Ada orang yang menyatakan fakir miskin adalah kekasih Tuhan,
tapi ia sendiri hidup dalam kemewahan. #ironi
@noffret, 14 Mei 2012


….
….

“Siapa namamu?”

“Yang Mulia, saya memiliki banyak nama—masyarakat memanggil saya dengan beragam sebutan dan panggilan.”

“Baiklah, kita lupakan namamu. Apa pekerjaanmu?”

“Sebenarnya, Yang Mulia, saya tidak memiliki pekerjaan. Kegiatan saya sehari-hari berkeliling kesana kemari untuk memberikan nasihat kepada orang-orang, dan dari situlah saya mendapatkan penghasilan untuk hidup.”

“Begitu. Dan apa yang kaunasihatkan?”

“Macam-macam, Yang Mulia—tergantung di mana dan pada siapa saya memberikan nasihat. Ketika berhadapan dengan orang-orang miskin, saya menasihati agar mereka tabah menghadapi kemiskinan. Ketika berhadapan dengan orang-orang jahat, saya menasihati mereka agar segera kembali ke jalan yang benar…”

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Saya harap begitu, Yang Mulia.”

“Jadi, kau menasihati orang-orang miskin agar mereka tabah menghadapi kemiskinan?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Apakah kau pernah merasakan kemiskinan? Pernahkah kau menjalani hidup sebagai orang miskin—sebegitu miskinnya hingga rasanya kau sanggup melakukan apa pun demi bisa mengganjal perut yang kelaparan?”

“Saya… tentu saja saya belum pernah mengalami hal semacam itu.”

“Kalau begitu mengapa kau merasa layak untuk menasihati mereka agar tabah menjalani dan menghadapi kemiskinan? Kau tidak pernah merasakan kemiskinan, kau tidak tahu apa artinya miskin, kau tidak pernah merasakan kelaparan dan kekurangan. Apa yang membuatmu merasa layak untuk tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan? Kalau kau pernah merasakan kemiskinan—sebegitu miskinnya hingga tak ada orang lain yang lebih miskin darimu—dan kau sanggup tabah menghadapi keadaan semacam itu, maka kau layak berdiri di hadapan orang-orang miskin untuk memberikan nasihat semacam itu, karena kau telah melakukannya sendiri.”

“Yang Mulia…”

“Jangan menyelaku, Tukang Nasihat! Kau berkeliling kesana kemari menasihati orang-orang miskin, dan bersamaan dengan itu kau mengumpulkan uang serta kekayaan untuk kemegahanmu sendiri. Apa sebenarnya yang kaulakukan…? Kau menasihati orang-orang miskin agar tabah menghadapi kemiskinannya, dan bersamaan dengan itu kau membangun kekayaanmu sendiri. Apa sebenarnya yang ada dalam otakmu? Atau, yang lebih penting lagi, apa sebenarnya yang ada di hatimu?”

“Yang Mulia, saya…”

“Sekali lagi, jangan menyelaku, Tukang Nasihat!”

“Yang Mulia, Anda tidak paham…”

“Aku tidak paham…?! Jaga bicaramu! Aku bukan bagian kumpulan orang-orang yang biasa kaulempari sampah dari mulutmu! Di hadapanku sekarang ada setumpuk berkas tentangmu, dan aku telah menghabiskan belasan malam untuk mempelajarinya. Di sini, dengan jelas dan gamblang dilaporkan bagaimana kau merintih dan menghiba dan menangis dan meratap di hadapan orang-orang miskin yang sepenuh hati mendengarkan nasihat dan petuah-petuahmu…

“…Mereka mendengarkan nasihatmu, mempercayai nasihatmu, percaya bahwa kau orang baik yang bersatu dalam pelukan mereka. Tetapi, di sini, dalam berkas laporan di hadapanku ini, juga dijelaskan bagaimana kau membangun kekayaanmu, kemegahan dan kemewahanmu, memperbesar imperium bisnismu, dan bagaimana kau memuaskan nafsu duniamu! Kau menasihati orang-orang miskin, tetapi dirimu sendiri tidak ingin menjadi orang miskin, bahkan kau menjauhi orang-orang miskin. Kau tahu, kau tak ubahnya orang yang menasihati orang lain agar menjauhi setan, tetapi dirimu sendiri bersenggama dengan setan setiap malam!”

….
….

“Ehm, selain menasihati orang-orang miskin, kau juga menasihati orang-orang jahat?”

“Be… benar, Yang Mulia.”

“Baik, kita lanjutkan.…”

Noffret’s Note: Insa

Sesuatu membakarmu perlahan-lahan,
diam-diam... dari dalam. Dan kau terbakar penuh sakit,
tanpa api, tanpa asap, tanpa teriakan.
—Twitter, 26 November 2012

Dari jauh, kau mendengar senandung yang
mengundangmu. Kau datang, mendekat, dan terbakar
di antara nada lagu. Perih... tanpa rintih.
—Twitter, 26 November 2012

Ada lagu indah yang dapat kaudendangkan,
ada lagu indah yang dapat kauhayati, ada lagu indah
yang harus kaudengarkan sayup-sayup....
—Twitter, 26 November 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Kamis, 16 Mei 2013

Sayap-sayap Takdir

Selalu ada sepasang sayap yang terkepak,
setelah keluar dari lubang yang gelap.
@noffret 


Di Sulawesi, tepatnya di kabupaten Donggala—desa Pakuli dan sekitarnya, serta kabupaten Luwuk Banggai—ada spesies burung yang oleh masyarakat setempat disebut burung Maleo. Dalam bahasa ilmiah, burung itu mendapat nama Macrocephalon, yang berarti “kepala besar”, karena burung itu memiliki tonjolan besar di atas kepalanya. Tonjolan itu berfungsi bagi Maleo dalam mendeteksi panas Bumi untuk menetaskan telurnya.

Burung ini merupakan endemik (hanya hidup secara alami di suatu kawasan) pulau Sulawesi, tepatnya Sulawesi Tengah. Yang unik, induk betina burung ini akan pingsan setelah mengeluarkan telurnya. Mungkin terdengar aneh, karena sepertinya kita jarang mendengar ada burung yang pingsan gara-gara bertelur. Tapi telur burung Maleo memang istimewa. Ukurannya lima kali besar telur ayam. Karena itu, sang induk harus bersusah payah ketika mengeluarkannya, bahkan sampai pingsan.

Setelah telur dikeluarkan, dan sang induk telah siuman dari pingsannya, Maleo jantan dan betina akan mulai bekerjasama membuat lubang untuk mengubur telurnya. Seperti yang disebutkan di atas, burung ini memiliki kemampuan dalam mendeteksi panas Bumi melalui tonjolan di kepalanya. Karena itu, telur Maleo tidak menetas dengan cara dierami induknya, melainkan dengan mengandalkan panas Bumi.

Jadi, sepasang Maleo jantan dan betina pun bersama-sama menggali lubang untuk telurnya yang besar, kemudian memasukkan telur ke dalamnya. Setelah itu, mereka akan menimbun telur itu dengan tanah, hingga benar-benar tak terlihat. Bukan hanya itu. Setelah telur mereka benar-benar terkubur di dalam tanah, sepasang Maleo akan kembali membuat lubang lain, dan menimbunnya seperti semula, sebagai “tipuan”.

Itu pekerjaan yang sangat berat bagi burung. Karenanya, tidak jarang sepasang burung itu pun bergantian mengerjakan tugas tersebut. Kadang-kadang, si betina kelelahan, dan ia beristirahat sementara si jantan meneruskan pekerjaan. Setelah si betina pulih tenaganya, dia meneruskan pekerjaan si jantan, sementara si jantan akan beristirahat sejenak.

Mengapa sepasang burung itu harus bersusah payah melakukan hal seperti di atas? Mengapa mereka harus mengubur telurnya di dalam lubang, lalu menimbunnya dengan tanah, dan harus bersusah payah lagi membuat timbunan lain yang ditujukan sebagai tipuan?

Ada banyak pihak yang mengincar telur Maleo. Biawak, elang, hewan-hewan pemangsa lain, bahkan manusia. Tidak sedikit pemburu liar di sana yang suka mencuri telur burung Maleo dengan berbagai alasan dan tujuan. Telur itu memiliki ukuran istimewa, sehingga menarik perhatian. Karena itu pula, induk Maleo sengaja tidak mengerami telurnya dan lebih memilih menguburkannya, karena proses pengeraman akan rentan bahaya.

Kemudian, mereka juga merasa perlu membuat timbunan lubang tiruan yang ditujukan untuk “mengecoh” pemangsa. Ketika mereka sedang menggali tanah untuk mengubur telur, selalu ada kemungkinan elang di langit memperhatikan pekerjaan mereka. Begitu sepasang burung Maleo pergi, elang bisa tiba-tiba menukik turun dan merusak timbunan itu untuk memangsa telur di dalamnya. Karena itulah, meski sulit, sepasang Maleo merasa perlu membuat upaya tipuan, demi menyelamatkan calon anaknya.

Maleo adalah sedikit di antara unggas yang tidak mengerami telurnya. Berbeda dengan kebanyakan unggas lain, penetasan telur Maleo dibantu panas Bumi atau sinar Matahari. Keberhasilan penetasan juga akan sangat bergantung pada temperatur/suhu tanah. Umumnya, suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur Maleo berkisar 32-35 derajat Celcius. Sedang lama pengeraman membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari, meski kadang ada telur yang menetas kurang dari kisaran waktu tersebut.

Setelah menguburkan telurnya, dan setelah meyakinkan diri telur itu aman di tempatnya, sepasang Maleo pun kemudian pergi. Mereka harus pergi—karena keberadaan mereka di dekat lubang telur itu justru akan menarik perhatian para pemangsa. Jadi, sepasang induk itu harus merelakan calon anaknya nanti akan lahir sendirian, dan mereka tidak bisa menjaga atau menyaksikan kelahirannya.

Dan jam takdir terus berdetak.

Malam berganti siang, pagi berganti senja, dan kehidupan terus berjalan seperti biasa. Sementara itu, di kedalaman tanah yang gelap, sebuah kehidupan baru sedang dimulai.

Ketika akhirnya waktu menetas tiba, telur Maleo yang istimewa itu pun mulai retak. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang mendengar. Dan retakan di cangkang telur itu semakin memanjang... hingga kemudian pecah. Dari dalam cangkang yang basah muncul sesosok anak Maleo—kecil, sendirian, tak berdaya, di lubang segelap malam. Dan makhluk kecil itu lalu mengangkat tubuhnya, menyibakkan cangkang yang melingkupinya, mengangkat timbunan tanah di atasnya.

Sejak keluar dari cangkang, kemudian berdiri dengan kaki-kakinya yang lemah, lalu menyibak timbunan tanah di atasnya, anak Maleo harus melakukannya sendirian. Itu pekerjaan yang luar biasa berat, khususnya bagi bayi burung yang baru lahir di kegelapan tanah. Karenanya, anak Maleo pun membutuhkan waktu hingga 48 jam untuk bisa berjuang keluar dari lubang gelap tempatnya dilahirkan. Tanpa orang tua, tanpa kawan, tanpa siapa pun yang membantu.

Dan alam semesta menyaksikan. Dengan harap. Cemas.

Tidak jarang, anak Maleo mati kelelahan ketika sedang berusaha menyibak tanah yang menutupi lubangnya. Ketika tanah di atasnya terlalu keras, dan terlalu sulit untuk disibakkan, atau akar-akar pohon yang kuat menghalangi jalannya, anak Maleo pun kehabisan tenaga untuk bisa keluar, lalu mati kelelahan. Sendirian. Ia mati di tempatnya dilahirkan, tanpa sempat mengetahui seperti apa dunia yang seharusnya ia saksikan.

Ketika akhirnya perjuangan anak Maleo untuk keluar dari lubang gelap tercapai, berbagai macam bahaya telah menghadangnya. Karena tubuh dan bulu-bulunya masih basah dan berbau amis telur, sosoknya pun mengundang kedatangan semut. Ketika semut mencium keberadaannya, kemudian memanggil pasukan besar, maka anak Maleo pun sering kali harus mati dengan tubuh dikerumuni semut.

Pemandangan semacam itu sering terlihat di Sulawesi, tempat burung ini hidup. Di permukaan tanah, kadang terlihat seonggok kepala anak Maleo yang terkulai digerogoti semut, sementara sebagian tubuhnya masih terendam tanah. Makhluk itu bahkan telah diserang—dan mati—begitu kepalanya keluar dari lubang. Ia tak memiliki tenaga untuk melawan, karena sebagian tubuhnya masih dalam lubang, dan ia pun masih kelelahan karena berjuang untuk keluar dari kegelapan.

Jika di bawah langit ada takdir yang gelap, takdir itu milik anak Maleo.

Ketika akhirnya anak Maleo berhasil mengeluarkan tubuh seutuhnya dari dasar lubang, mungkin dia telah mampu melawan semut yang mendatanginya. Tetapi pemangsa yang mengincar anak Maleo bukan hanya semut. Tikus-tikus besar yang berkeliaran kadang berpapasan dengannya, dan anak Maleo yang masih lemah sering kali harus terbunuh dimangsa tikus. Selain itu, di Sulawesi ada biawak, yang biasa disebut Soa-soa oleh masyarakat setempat.

Soa-soa adalah musuh paling berbahaya bagi anak Maleo. Selain menjadi pemangsa hewan peliharaan seperti ayam dan unggas lain, Soa-soa juga memiliki indera penciuman yang sangat tajam, sehingga bisa mengenali keberadaan mangsa, bahkan ketika si mangsa masih berupa telur dalam timbunan tanah. Kemudian, elang juga menjadi predator berbahaya bagi anak Maleo. Melawan elang bagi anak Maleo seperti melawan raksasa—sebuah usaha yang jelas sia-sia. Selain elang, ular juga sering mengincar anak Maleo untuk dijadikan santapan.

Jadi, kita lihat, perjuangan yang harus dilakukan anak Maleo luar biasa berat, bahkan  sejak ia dilahirkan. Berbeda dengan anak-anak burung lainnya, anak Maleo lahir tanpa dierami induknya. Ia lahir di kegelapan tanah, menetas sendirian, kemudian berjuang untuk bisa keluar dari tempat kelahirannya yang sempit, gelap, sendirian. Begitu keluar dari tempat kelahirannya, yang ia temui bukan orang tuanya yang segera memeluk dengan hangat, tetapi justru berbagai macam bahaya yang siap menerkamnya.

Jika ada takdir gelap di bawah langit, takdir itu milik anak Maleo.

Tetapi, sang pemilik takdir gelap itu tahu bagaimana mengubah takdirnya. Upayanya yang sangat berat selama keluar dari cangkang dan timbunan tanah menjadikan sayap-sayap anak Maleo sangat kuat. Kerja kerasnya untuk bisa keluar sendirian dari dalam kegelapan menjadikan tubuhnya memompa darah dengan kencang, dan itu menjadikannya sosok yang siap menghadapi apa pun.

Karenanya, begitu tanah di atasnya tersibak, dan tubuhnya telah keluar secara utuh dari dalam lubang gelap, anak Maleo bisa langsung terbang ke langit. Sementara anak-anak burung lainnya butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa terbang, dan mereka harus diajari induknya untuk bisa menggunakan sayap-sayap mereka, anak Maleo telah mampu terbang dan mengepakkan sayap begitu ia dilahirkan. 

Dia yang memikul tanggung jawab dan perjuangan besar sejak dilahirkan, dia yang mampu mengepakkan sayap paling cepat sejak pertama kali mengenal kehidupan.

Anak-anak Maleo, di antara jutaan unggas lainnya, adalah spesies istimewa dalam ruang alam semesta. Telurnya yang besar, proses kelahirannya yang sulit, perjuangan hidupnya yang rumit, serta tanggung jawab dan bahaya yang dihadapinya, menjadikan anak-anak Maleo sebagai makhluk-makhluk langka di muka Bumi. Pada saat ini, diperkirakan hanya ada sepuluh ribu individu Maleo di dunia, dan jumlah yang sedikit itu pun masih harus berperang dengan para pemburu liar.

Karena itu, pemerintah pun kemudian membuat pantai khusus untuk konservasi atau penyelamatan Maleo seluas 14 hektar, yang terletak di Tanjung Binerean, Sulawesi Utara. Maleo layak dilindungi, bukan hanya karena jumlahnya yang langka, tetapi juga karena keberadaan mereka mengingatkan kita pada rahasia takdir yang dimainkan alam semesta. Selalu ada sepasang sayap yang terkepak, setelah keluar dari lubang yang gelap.

Percakapan Orang Terkenal dan Tidak Terkenal yang Membahas Orang Terkenal dan Tidak Terkenal

Di sebuah pertemuan, yang menghidangkan keranjang-keranjang anggur di atas meja....

Seorang bocah yang biasa main sinetron bercerita pada saya, “Da’, minggu lalu kan aku ketemu Ariel, terus kami ngobrol-ngobrol—soal musik, buku, lain-lain. Eh, ternyata Ariel kenal kamu, lho.”

“Hmm...” saya menggumam sambil memungut beberapa butir anggur di atas meja. Lalu mengunyahnya dengan nikmat.

“Kok kamu nggak terkejut?”

Saya masih mengunyah anggur. “Kenapa aku harus terkejut?”

“Uhm... maksudku, kamu nggak terkejut mendengar Ariel kenal kamu?”

Saya menelan anggur dalam mulut, lalu menjawab, “Lha iya, kenapa aku harus terkejut?”

Bocah itu menatap saya, memastikan saya tidak mabuk anggur. “Kamu serius, nggak terkejut?”

“Oh, demi Tuhan, kenapa aku harus terkejut kalau Ariel—atau bocah lain—mengenalku?”

“Jadi, kamu kenal Ariel?”

Saya memungut anggur lagi di meja, dan menjawab, “Kenal.”

“Kamu kenal Ariel?” Dia memastikan.

“Iya, kenal.”

Dia memastikan lagi. “Kamu sungguh-sungguh kenal Ariel?”

Saya menatapnya dengan jengkel. “Oh, sialan, memangnya siapa yang tidak kenal bocah itu? Anak SD yang baru bisa nyanyi juga kenal Ariel.”

“Uhm... maksudku, kalian kenal secara pribadi, gitu?”

“Nggak!”

“Lalu kenapa kamu nggak terkejut kalau Ariel kenal kamu?”

“Oh, hell, memangnya kenapa aku harus terkejut?” Saya menelan anggur dalam mulut. “Dikenal Ariel atau tidak, apa bedanya bagiku? Atau, dikenal aku atau tidak, apa bedanya buat Ariel? Kalau dasarnya tolol, dikenal Ariel atau tidak, aku tetap saja tolol. Dan kalau dasarnya hebat, dikenal aku atau tidak, Ariel tetap hebat. Jadi, pertanyaan sialan kita, kenapa aku harus terkejut kalau Ariel mengenalku?”

“Uhm... iya juga, ya.”

“Kamu sendiri, yang biasa nyangkruk dengan Ariel, emang kamu jadi ngerasa lebih hebat, gitu?”

“Uhm... nggak juga, sih.”

“Nah!” Saya memungut anggur lagi di meja.

Apeu

Sukaaaaaaaaa banget kalau dia ngomong gitu.

Apeu.

Jumat, 10 Mei 2013

Satu-satunya Kepunahan yang Bermanfaat bagi Bumi Hanyalah Kepunahan Manusia (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Jika kepunahan pohon dimulai hari ini, diperkirakan hewan-hewan herbivora akan punah dalam waktu satu tahun mendatang, sementara hewan-hewan karnivora akan punah dalam 4 sampai 5 tahun kemudian. Manusia yang biasa mengonsumsi hasil tanaman mungkin dapat menggunakan hewan sebagai pengganti, tapi persediaan hewan hanya mungkin dapat memenuhi kebutuhan manusia selama 50 tahun.

Tetapi, sekali lagi, masalahnya tidak cuma sebatas itu. Seperti kita tahu, manusia punya ketergantungan penting dengan pohon dalam hal pernapasan. Untuk bertahan hidup, manusia butuh bernapas—menghirup oksigen dan melepaskan karbondioksida. Karbondioksida yang kita lepaskan diserap oleh pohon, dan—setelah melalui proses fotosintesis—diubah menjadi oksigen yang kemudian dihirup manusia.

Jika pohon tidak ada, maka proses fotosintesis akan berhenti, dan itu artinya karbondioksida yang kita lepaskan tidak bisa didaur ulang. Artinya pula, cadangan oksigen di Bumi akan menjadi terbatas, dan semakin menyusut hari demi hari. Bumi yang kita tinggali perlahan-lahan akan kehabisan oksigen, dan manusia—demi mempertahankan hidup—pasti akan berebutan mendapatkannya.

Apa yang bisa dilakukan untuk dapat memperoleh oksigen yang terbatas? Tentu saja mengurangi jumlah manusia, agar cadangan oksigen tidak cepat habis. Itu terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

Jika kepunahan pohon dimulai hari ini, diperkirakan umat manusia yang sekarang berjumlah 7 miliar masih memiliki waktu hingga 200 tahun sampai semua oksigen di atmosfer benar-benar lenyap. Artinya, berdasarkan estimasi di atas, punahnya pohon dapat mengakibatkan kepunahan manusia dalam 200 tahun.

Karena keberadaan pohon, abu pabrik, asap kendaraan, dan debu jalanan dapat menempel pada dedaunan, yang akan terbawa air ketika hujan turun. Dengan kata lain, keberadaan pohon mengurangi kotoran di Bumi, serta mengurangi zat pencemar udara.

Selain itu, asap tebal yang berasal dari pembakaran pabrik yang menggunakan bahan bakar minyak juga mengandung sulfurdioksida (SO2), selain karbondioksida. Di udara, SO2 akan bereaksi dengan uap air, membentuk asam sulfat (H2SO4). Jika bercampur air hujan, zat itu akan menghasilkan hujan asam yang membahayakan kesehatan kulit, serta menimbulkan korosi. Namun keberadaan pohon mencegah kemungkinan itu, karena pohon mampu menetralkan kandungan asamnya. Artinya, tanpa pohon, manusia akan menghadapi ancaman lain selain ketersediaan makanan dan oksigen.

Kehancuran yang ditimbulkan dari punahnya pohon tidak berhenti sampai di situ. Karena pelepasan karbon yang begitu banyak—akibat tak bisa diserap pohon—maka perubahan iklim akan terjadi, dan permukaan laut akan naik. Hal itu akan mengakibatkan hilangnya terumbu karang dan ikan, musnahnya mata pencaharian banyak orang, meningkatnya penyakit tropis, dan bertumbuhkembangnya aneka macam bakteri.

Berdasarkan penelitian, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa satu batang pohon dapat menghasilkan 1,2 kg oksigen per hari. Setiap hari, satu orang membutuhkan sekitar 0,5 kg oksigen. Artinya, satu batang pohon menunjang kehidupan dua orang. Jika kita menebang satu batang pohon, sama artinya kita sedang mencekik dua orang sampai mati.

Apa yang akan terjadi jika Bumi kehilangan pohon? Seperti yang telah digambarkan di atas, jawabannya adalah horor. Bumi akan segera menuju kiamat jika pohon telah habis, dan tumbuhan telah punah. Seperti efek mengerikan yang akan timbul jika hewan punah dari Bumi, efek yang sama juga akan terjadi jika pohon atau tumbuhan yang musnah.

Meski hewan dan tumbuhan dapat hidup tanpa manusia, tetapi manusia tidak bisa hidup tanpa hewan dan tumbuhan. Punahnya hewan dan tumbuhan akan berdampak pada punahnya manusia.

Sekarang, apa yang akan terjadi jika manusia yang punah dari muka Bumi?

Jawabannya terdengar indah. Jika manusia punah, maka Bumi akan kembali kosong dan hening seperti jutaan tahun lalu. Tanah akan kembali subur karena kandungan dan kekayaannya tidak terus-menerus dikeruk. Air akan kembali bersih, karena pencemaran akibat manusia telah terhenti. Udara akan kembali murni, karena asap pabrik dan knalpot kendaraan tak ada lagi.

Lalu pohon-pohon akan kembali menjulang ke langit, hutan akan kembali terbentuk, rerimbunan daun akan menjadi baju bagi Bumi. Hewan-hewan akan kembali berkeliaran di lingkungannya tanpa khawatir mendengar letusan senjata, atau suara gergaji mesin yang menumbangkan pohon di alam mereka. Burung-burung akan bernyanyi riang di antara ranting pohon, menggantikan bising perkotaan dan suara ingar-bingar televisi.

Jika manusia punah, Bumi akan menjadi tempat yang sangat indah dan damai. Tidak ada lagi peperangan, tidak ada lagi ledakan bom, tidak ada lagi senjata biologi atau senjata kimia yang diciptakan untuk kejahatan terhadap manusia lainnya. Batas-batas negara yang terus menjadi sumber pertikaian akan hilang, pertentangan keyakinan yang terus menjadi akar masalah dunia akan punah, dan iri hati serta kesombongan yang menjadi sifat khas manusia akan musnah.

Sementara itu, pabrik-pabrik buatan manusia akan runtuh, dan cerobongnya berhenti mengeluarkan asap beracun. Kendaraan-kendaraan yang menjadi sarana gengsi manusia akan aus dan hilang dimakan usia dan cuaca, hingga tak ada lagi kotoran mencemari udara. Benda-benda buatan manusia akan habis perlahan-lahan, dan Bumi akan kembali menjadi tanah yang murni.

Sungai-sungai akan kembali jernih, karena limbah kotor produksi manusia tak lagi mengalir ke sana. Ikan-ikan akan berenang dengan gembira karena dapat hidup di lingkungan sebersih semula. Gajah akan berangkulan dengan sesamanya tanpa ketakutan, cenderawasih akan menari dan bercinta dengan tenang, dan burung-burung perkasa di langit mengepakkan sayapnya dengan hening, menikmati udara yang murni tanpa polusi.

Ketika malam tiba, jangkrik akan bernyanyi memanggil-manggil pasangannya, katak akan bercengkerama dengan kawan-kawan di bawah hujan, dan serigala akan melolong rindu pada rembulan. Kelelawar akan keluar dari gua tempatnya hidup, mencari makan di tengah kegelapan, sementara hewan-hewan lain tertidur dengan tenang bersama anak-anak dan pasangannya di rerimbunan hutan.

Saat pagi menjelang, udara bersih menyapa Bumi seperti biasa, seperti semula, seperti jutaan tahun yang lalu. Pohon-pohon melambaikan daun-daunnya yang hijau, buah-buahnya yang ranum, dahan-dahannya yang kokoh. Dan di antara ranting, burung-burung berkicau menyambut datangnya hari—satu lagi hari indah tanpa makhluk buas perusak segala. Mereka bernyanyi... mungkin bersyukur pada alam semesta yang telah memusnahkan manusia dari Bumi.

....
....

Hewan dan tumbuhan bisa hidup tanpa manusia. Bahkan Bumi menjelma surga yang murni tanpa polusi setelah manusia tak ada lagi. Jika terjadi kepunahan, satu-satunya kepunahan yang memberikan manfaat bagi Bumi hanyalah kepunahan manusia. Punahnya hewan atau tumbuhan mengubah Bumi menjadi neraka. Tapi punahnya manusia justru memberikan manfaat bagi Bumi sebagai planet yang layak huni.

Sampai di sini, saya bertanya-tanya dalam hati, atas dasar apa manusia berani mengklaim diri sebagai pemimpin di muka Bumi...?

Satu-satunya Kepunahan yang Bermanfaat bagi Bumi Hanyalah Kepunahan Manusia (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Itu baru nyamuk. Dan semut. Jika hewan-hewan kecil itu saja bisa menimbulkan malapetaka bagi Bumi jika punah, tidak bisakah kita membayangkan apa yang mungkin akan terjadi jika hewan-hewan lebih besar yang mengalami kepunahan? Pergilah ke perpustakaan, bacalah buku-buku yang menjelaskan tentang itu, dan lihat bagaimana efek mengerikan yang akan terjadi jika hewan-hewan—apa pun—punah dari muka Bumi.

Kemudian pohon. Selain hewan dan manusia, pohon atau tumbuhan adalah makhluk hidup yang juga mendiami planet ini. Apa yang akan terjadi jika pohon dan tumbuhan lainnya musnah dari muka Bumi?

Bayangkanlah suatu hari yang gersang, ketika Bumi yang kita kenal dan tinggali ini kehilangan semua pohon, besar maupun kecil. Tidak ada lagi tumbuhan apalagi bunga dan buah-buahan, sementara burung-burung yang biasa bernyanyi di antara ranting pohon meninggalkan kehampaan.

Hutan punah, dan hewan-hewan liar di sana berlarian di antara sesaknya perkotaan. Hewan-hewan ternak tak bisa lagi merumput, karena rumput telah punah, dan mereka hidup hari demi hari sambil menunggu ajal dengan sekarat. Manusia tak bisa lagi makan dari hasil alam, karena ladang dan persawahan telah punah, dan sebagai gantinya mereka memangsa hewan-hewan.

Bayangan mengerikan semacam itu mungkin tak akan terjadi, tapi siapa yang bisa menjamin jika pembakaran dan pembalakan hutan terus dilakukan, alam liar terus dirusak, sementara sawah dan ladang terus diubah menjadi pabrik dan tempat pemukiman?

Apa yang akan terjadi jika semua pohon di Bumi tak ada lagi? Jawabannya adalah horor!

Bagi Bumi, pohon berfungsi menyerap air. Hutan mampu menyerap air hingga 60 sampai 80 persen ke dalam tanah. Itu menjadikan pohon memiliki cadangan air tanah. Akar pohon juga berfungsi menahan erosi. Ketika hujan turun, tanah yang terkikis akan masuk ke aliran sungai, dan menyebabkan terjadinya endapan. Keberadaan pohon akan menahan hal tersebut, sekaligus mempertahankan kesuburan tanah.

Karena adanya dahan-dahan pohon, butir-butir air tidak langsung terjatuh ke permukaan tanah ketika turun hujan, sehingga efeknya tidak sampai menggerus lapisan tanah bagian atas yang umumnya subur.

Akar pohon menyerap air hujan ke tanah, sehingga tidak mengalir sia-sia. Kemudian, pohon mengikat air di pori tanah, dan menjadikannya sebagai cadangan air di musim kemarau, sehingga ketersediaan air tanah secara berkesinambungan tetap terjaga. Karena keteraturan itu, Bumi mampu bertahan dari kekeringan di musim kemarau, dan musim penghujan tidak sampai menimbulkan ancaman banjir.

Kemudian, akar pohon juga mengikat butir-butir tanah, sehingga dapat mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor. Pohon-pohon di hutan mendaur ulang hujan dan membangun iklim mikro, menguapkan 3/4 air hujan ke atmosfer, sehingga iklim mikro terjaga, kelembapan terkendali, dan curah hujan turun.

Jika tidak ada lagi pohon di Bumi, maka hal di atas tidak akan terjadi. Air di tanah akan menguap. Ketika turun hujan, daya gerus airnya akan membawa endapan lumpur ke sungai, dan mencemari air. Bumi akan kering kerontang ketika kemarau datang, dan longsor serta banjir akan terjadi ketika musim penghujan. Ketika itu terjadi, manusia tetap akan bertahan hidup, tapi kisahnya belum selesai.

Selain menyerap air dan menjaga kesuburan tanah, pohon juga berfungsi dalam mata rantai makanan. Di alam, terjadi proses hubungan timbal balik, dan ketergantungan antarkomponen selalu melibatkan tanaman—langsung maupun tak langsung. Karenanya, jika pohon yang memiliki fungsi penting dalam rantai makanan sampai punah, maka bisa dipastikan kehidupan semua makhluk hidup akan terpengaruh.

Pohon menyediakan habitat bagi ratusan spesies. Kepunahannya akan menyebabkan kepunahan sama pada spesies yang bergantung padanya. Tapi itu bukan hal terburuk yang akan terjadi. Seperti yang disebutkan di atas, punahnya pohon juga akan menghancurkan rantai makanan di planet ini, yang efeknya akan sampai pada manusia.

Lanjut ke sini.

Satu-satunya Kepunahan yang Bermanfaat bagi Bumi Hanyalah Kepunahan Manusia (1)

Hei pemalas, pergilah kepada semut,
perhatikan lakunya, dan jadilah bijak.
Sulaiman


Seperti yang telah saya tulis dalam Nyanyian Bumi, ada tiga makhluk hidup yang mendiami planet ini. Yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan. Tetapi, kalau kita mau jujur, yang paling brengsek di antara ketiga mahluk hidup itu adalah manusia. Manusialah yang mendominasi planet ini, dan mengeksploitasi Bumi sekehendak hati, tanpa memperhitungkan nasib makhluk hidup lainnya—hewan dan tumbuhan.

Padahal, manusia sering mengklaim diri sebagai pemimpin di muka Bumi, yang menentukan nasib planet ini—menjadi lebih baik, atau hancur binasa. Tetapi justru karena klaim sebagai “pemimpin di muka Bumi” itu pulalah, yang menjadikan manusia seenaknya sendiri memperlakukan planet yang menjadi tempat tinggalnya. Ironisnya, meski mengklaim sebagai pemimpin di muka Bumi, kepunahan manusia (jika itu terjadi) justru memberikan efek yang baik bagi Bumi.

Coba kita lihat dari makhluk yang sangat kecil—semut, atau nyamuk. Apa yang akan terjadi jika semut musnah dari Bumi?

Meski tampak kecil dan tak berdaya—karena mudah dibunuh—semut memiliki peran yang amat besar bagi kehidupan Bumi. Semut mencapai dominasi dalam hal jumlah individu dan biomasa hewan daratan. Di habitat alaminya, semut memiliki peran ekologis yang penting. Pada ekosistem daratan, semut adalah pemangsa utama terhadap invertebrata kecil. Setiap hari, semut juga menggali sejumlah besar tanah, sehingga menyebabkan terangkatnya nutrisi tanah.

Kemudian, semut membentuk simbiosis dengan berbagai serangga, tumbuhan, dan fungi. Tanpa bersimbiosis dengan semut, organisme tersebut akan menurun populasinya, hingga punah. Selain sebagai pemangsa, semut juga menjadi mangsa yang penting bagi berbagai serangga, laba-laba, reptil, burung, kodok, bahkan bagi tumbuhan karnivora.

Semut telah menjejakkan kaki-kaki kecilnya di Bumi sejak 90 juta tahun yang lalu, mendahului manusia yang baru muncul sekitar 250.000 tahun lalu. Peran yang dijalankan semut sedemikian penting, sehingga jika semut punah maka ribuan spesies hewan dan tumbuhan akan ikut punah. Bahkan lebih dari itu, hampir semua ekosistem daratan akan melemah, karena berkurangnya kompleksitas ekosistem.

Pendeknya, semut yang tampak kecil dan tak berdaya itu memiliki peran yang amat besar dalam mata rantai kehidupan di Bumi—dari menyuburkan tanah, sampai menjamin kelangsungan ekosistem di alam. Punahnya semut akan berpengaruh bagi kehidupan hewan lain, tumbuhan, dan manusia.

Itu baru semut.

Sekarang kita lihat hewan kecil lainnya. Nyamuk. Pada saat ini, diperkirakan ada 3.500 spesies nyamuk yang ada di Bumi, dan hanya ratusan spesies yang menyerang manusia. Apa yang akan terjadi jika nyamuk musnah dari muka Bumi?

Punahnya satu makhluk pasti berdampak pada ekosistem secara keseluruhan. Jika nyamuk punah, dampak paling besar yang akan segera terjadi ada di habitat tundra (padang es) di Kutub Utara. Tempat itu merupakan sarang terbesar spesies nyamuk Aedes impiger dan Aedes nigripes. Mereka adalah salah satu makanan kesukaan para burung. Jika mereka punah, maka migrasi burung akan berkurang hingga 50 persen—karena berkurangnya makanan.

Migrasi satwa lain juga akan terpengaruh, antara lain karibu (sejenis rusa kutub). Ribuan karibu yang sebelumnya menghindari gigitan nyamuk akan segera menyerbu wilayah tundra, dan hal itu pasti akan diikuti para serigala yang merupakan predator utama para karibu.

Kemudian, spesies ikan pemakan nyamuk, Gambusia affinis, juga akan terancam punah jika nyamuk sudah tidak ada. Punahnya ikan ini sedikit banyak akan berdampak pada rantai makanan yang terjadi di perairan air tawar.

Yang lebih penting lagi, larva atau jentik nyamuk turut berperan dalam penguraian sampah organik. Ketika berada di genangan air, jentik-jentik nyamuk mendapatkan nutrisi untuk tumbuh dari sisa-sisa tanaman yang membusuk. Itu baru sebagian kecil yang mungkin akan terjadi jika nyamuk benar-benar punah dari muka Bumi.

Karena nyamuk, di dunia terjadi korban kematian manusia akibat malaria setiap tahun. Jika tidak ada nyamuk, akan terjadi kekacauan pada ekosistem di planet yang jauh lebih parah, sehingga berpotensi menimbulkan dampak yang lebih buruk, karena rusaknya ekosistem dan kacaunya rantai makanan.

Lanjut ke sini.

Olah

Marilah kita bicara seolah-olah tidak ada seolah-olah.

Oh, oh.

Minggu, 05 Mei 2013

Balada Keponista

Orang kepo sih biasa. Tapi ada orang yang keponya
membuat orang yang dia kepoin sampai ingin
bunuh diri karena sangat terganggu. Ada.
@noffret


“Kepo” berasal dari kata “kaypoh”, bahasa Hokkien yang banyak dipakai di Singapura dan sekitarnya. Di Indonesia, istilah itu juga sering digunakan, dan secara umum diartikan “keinginan mau tahu”, “mencampuri urusan orang lain”, atau “tidak bisa diam”. Meski arti sebenarnya netral, namun istilah ini—khususnya di Indonesia—memiliki konotasi yang cukup negatif. Artinya, orang yang disebut kepo dianggap tidak/kurang baik.

Saya sendiri mengartikan kepo sebagai hal yang netral, selama orang yang kepo tersebut tidak sampai mengganggu orang yang dia kepoin. Para penggemar artis, misalnya, kebanyakan juga kepo. Mereka selalu mencari tahu segala macam berita, kabar, gosip, atau apa pun, yang berhubungan dengan artis pujaannya. Tentu saja tidak masalah, selama mereka tidak sampai mengganggu artis yang mereka puja.

Saya sendiri pun begitu. Saya sering mencari tahu kabar orang-orang yang saya kagumi—di internet, di majalah, atau media lainnya. Saya ingin tahu bagaimana kabar mereka, saya ingin tahu apa kegiatan mereka sekarang, saya ingin tahu karya terbaru mereka, dan lain-lain. Tapi saya tidak pernah mengganggu orang-orang itu sedikit pun. Artinya, orang-orang yang saya kepoin tidak sampai terganggu atau tidak nyaman dengan segala aktivitas kekepoan saya.

Memang, kadang saya menyapa mereka di Twitter, kalau pas ketemu di timeline, tapi hanya sebatas itu. Saya pun menyapanya dengan wajar dan secukupnya (tidak over), menjaga agar mereka tetap nyaman dan tidak merasa terganggu. Lebih dari itu, dalam interaksi dengan orang lain—khususnya dengan orang-orang yang saya hormati—saya menyapa mereka dengan hormat, dengan cara menghormati diri sendiri.

Itu mungkin pelajaran penting bagi siapa pun yang suka kepo pada orang-orang tertentu. Ber-kepo-lah, tapi lakukan dengan cara yang terhormat. Hormati orang yang kita kepoin, dengan cara menghormati diri sendiri. Artinya, silakan saja kita meng-kepo seseorang atau siapa pun, tapi jangan sampai orang yang kita kepo terganggu atau merasa tidak nyaman.

Sebagaimana kita butuh privasi, orang yang kita kepoin juga begitu. Sebagaimana kita mungkin tidak nyaman dengan perbuatan tertentu orang lain, orang lain pun begitu. Kekaguman pada seseorang tidak seharusnya membuat kita melupakan rasa hormat pada diri sendiri. Dengan cara menghormati diri sendiri, kita pun akan bisa memperlakukan orang yang kita kagumi dengan hormat pula. Tidak ada kehormatan bagi orang lain, selama kita belum bisa menghormati diri sendiri.

Nah, untuk orang yang kepo dengan keterlaluan, sampai kehilangan rasa hormat pada diri sendiri, saya menyebutnya keponista. Keponista adalah orang kepo sekepo-keponya, sampai membuat orang yang dikepoin merasa terganggu dan tidak nyaman. Jika si keponista ini mengagumi atau memuja seorang artis, misalnya, maka si keponista akan muncul di mana pun si artis muncul—di dunia nyata maupun di dunia maya.

Di dunia nyata, keponista kadang sampai membuntuti kemana pun si artis pergi, berusaha mencari nomor teleponnya, lalu tanpa risih menelepon serta mengirim SMS berkali-kali. Di dunia maya, keponista tidak boleh melihat G-talk artis pujaannya menyala. Begitu ada tanda si artis sedang online, keponista akan langsung menyambar, tak peduli apakah si artis sedang sibuk atau sedang pusing, atau sedang bercakap-cakap serius dengan sahabatnya.

Tahu tidak, ada banyak orang yang khawatir campur prihatin setiap kali mau menyalakan G-talk atau aplikasi semacamnya, akibat gangguan keponista yang keterlaluan.

Kadang-kadang, gara-gara gangguan yang keterlaluan itu, si artis menulis sindiran di timeline, berharap si keponista (yang tentu menjadi follower-nya di Twitter) menyadari kekeliruannya, agar berhenti mengganggu. Tapi karena tak memiliki rasa hormat pada diri sendiri dan orang lain, keponista biasanya tidak sadar, dan tidak paham bahwa itu sindiran yang ditujukan untuknya. Alih-alih sadar diri, dia justru makin tak tahu diri.

Lalu si artis memproteksi akun Twitter-nya, dan memblokir akun si keponista agar tidak lagi mengganggunya. Lagi-lagi, tanpa sadar diri, si keponista bikin akun Twitter palsu demi bisa kembali mem-follow si artis, dan kembali mengganggu serta bikin tidak nyaman. Keponista adalah orang yang kehilangan rasa hormat—pada diri sendiri, dan pada orang lain.

Dalam film Expendable 2, Jean Vilain—yang diperankan Van Damme—menyatakan, “Respect is everything. Without respect, we’re just people. Common, shitty people.”

Dalam film itu, Vilain adalah antagonis, seorang bajingan keji. Tetapi bahkan seorang bajingan keji pun menyadari bahwa, “Rasa hormat adalah segalanya. Tanpa rasa hormat, kita hanyalah orang. Umum, orang brengsek.”

Yang membedakan seseorang disebut baik atau brengsek adalah rasa hormat. Orang baik memiliki rasa hormat. Rasa hormat kepada dirinya, dan rasa hormat kepada orang lain. Orang brengsek sebaliknya. Orang brengsek tidak tahu cara menghormati diri sendiri. Dan karena dia tidak tahu cara menghormati diri sendiri, maka dia pun tidak tahu cara menghormati orang lain.

Pada tahun 2006, saya mengirim beberapa tulisan romantis ke suatu majalah yang dikonsumsi remaja dan anak muda. Tulisan itu dimuat, saya mendapat honor, juga mendapat majalah yang memuat tulisan tersebut. Itu sebenarnya hal biasa. Yang tidak biasa, majalah itu juga memuat alamat serta nomor ponsel saya—tepat di bawah tulisan yang saya kirim.

Efeknya sangat mengerikan!

Tidak lama setelah majalah itu terbit dan beredar, ponsel saya nyaris tak pernah berhenti berdering. Dari bangun tidur sampai saya mau tidur lagi, bahkan ketika saya sedang tidur, ponsel saya terus bernyanyi, menerima banyak panggilan dan SMS dari orang-orang yang menemukan nomor ponsel saya di majalah itu.

Tentu saja saya sangat terganggu. Ending-nya, saya terpaksa mengganti nomor ponsel, meski nomor itu telah saya gunakan selama enam tahun sejak tahun 2000. Saya menghubungi redaktur majalah itu, memprotes mengapa alamat serta nomor ponsel saya bisa termuat di majalahnya. Si redaktur menjelaskan bahwa itu “kecelakaan”, karena edisi itu kebetulan dikerjakan beberapa magang yang belum berpengalaman. Dia meminta maaf atas hal itu, dan saya tidak bisa apa-apa.

Tapi masalah yang saya hadapi tidak selesai sampai di situ.

Setelah saya mengganti nomor ponsel, orang-orang itu memang tidak bisa lagi menghubungi ponsel saya. Tapi mereka punya alamat saya yang tertera di majalah! Dan malapetaka pun terjadi.

Dalam banyak korespondensi, saya selalu menggunakan alamat orang tua saya. Alamat itu menjadi benteng yang sulit ditembus, untuk menjaga privasi saya. Ketika mengirim tulisan ke majalah tadi, saya pun menggunakan alamat orang tua. Akibatnya, tiap hari ada cewek-cewek berdatangan ke rumah orang tua saya. Nyokap saya panik!

Cewek-cewek itu tidak bisa menemui saya, karena orang di rumah tidak mau menyebutkan alamat saya tinggal. Biasanya, setelah dijelaskan bahwa saya tidak tinggal di sana, mereka pun pergi dengan baik-baik. Tetapi ada beberapa cewek yang terus memaksa orang di rumah agar menyebutkan alamat tinggal saya. Cewek-cewek itu tidak bisa diajak ngomong baik-baik, mereka datang setiap hari, terus memaksa meminta alamat saya—dengan berbagai alasan (yang pastinya ngarang).

Meski cewek-cewek itu tidak bisa menemui saya, tapi orang tua saya merasa terganggu, dan saya pun jadi tidak nyaman. Peristiwa itu berlangsung cukup lama, sampai-sampai saya merasa malu sendiri pada para tetangga di sana. Bahkan, selama waktu-waktu itu, saya tidak bisa bebas mengunjungi orang tua karena harus memastikan terlebih dulu para keponista tidak ada di sana.

Itu cerita masa lalu, setidaknya tujuh tahun yang lalu. Tapi para keponista tidak berarti sudah punah. Sekarang, ketika internet telah menjadi bagian keseharian kita, para keponista juga agresif di dunia maya. Sebegitu agresifnya, sampai-sampai tingkah laku mereka juga sama mengganggu seperti yang dulu pernah saya alami.

Oh, well, mengagumi seseorang tentu saja hak setiap kita—apa pun alasannya. Tetapi kekaguman—atau perasaan apa pun—tidak berarti kita bisa bebas mengganggu orang lain, atau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Selalu ada batas untuk hal itu, dan batasnya adalah rasa hormat. Hormat pada orang lain, sebagaimana kita hormat pada diri sendiri. Kepo dan keponista adalah dua hal yang berbeda. Kepo dilakukan tanpa mengganggu, keponista sebaliknya.

Setiap orang tentu senang jika mengetahui orang lain mengaguminya. Bahkan, ungkapan kekaguman seseorang pada orang lainnya tak jauh beda dengan vitamin yang menyehatkan tubuh. Ungkapan kekaguman—yang dilakukan dengan hormat—menyehatkan pikiran dan batin penerimanya. Tetapi, jika ungkapan kekaguman dilakukan tanpa rasa hormat, maka hasilnya tak jauh beda dengan virus. Ia mengganggu, membuat tidak nyaman, setidaknya menimbulkan risih.

“Respect is everything,” kata Vilain. “Without respect, we’re just people. Common, shitty people.” Saya setuju dengannya—meski dia seorang bajingan. Kadang-kadang, bajingan yang tahu menghormati orang lain lebih layak mendapatkan hormat, daripada orang baik yang tak bisa menghormati dirinya sendiri.

Mengapa Beberapa Orang Cepat Tua

Jadi, cewekmu bertanya tentang mantan pacarmu. Kau tak mau menjawab, dan cewekmu marah-marah, menuduhmu tak mau terbuka. Kau pun stres.

Lalu kau mengalah. Kau menceritakan tentang mantan pacarmu. Lalu cewekmu cemburu, dan marah-marah, menuduhmu masih mengingat-ingatnya. Kau pun tambah stres.

Kau mencoba menjelaskan, bahwa kau menceritakan tentang mantanmu karena cewekmu sendiri yang memintanya, tapi dia malah menuduhmu defensif, dan tak mau mendengarkan apa pun yang keluar dari mulutmu. Kau pun stres tingkat dewa.

Kemudian, karena tak kuat menanggung stres, kau bilang pada cewekmu untuk putus. Cewekmu langsung meledak, dan menuduhmu ingin kembali pada mantanmu, meski sudah kaukatakan padanya bahwa mantanmu sudah punya suami dan anak selusin.

Hmm... pantas saja kau cepat tua, dude.

Noffret’s Note: Daftar Cewek Keren

#DaftarCewekKeren Kyle Pratt
dalam Flightplan: Cerdas, keibuan, mempesona.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Clarice Starling
dalam Hannibal: Dewasa, cerdas, tak terprediksi.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Annabeth Chase
dalam The Lightning Thief: Cantik, lucu, mempesona.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Vesper Lynd
dalam Casino Royale: Cantik, cerdas, elegan.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Dr. Samantha Gaines
dalam Cerberus: Lembut, cerdas, seorang mbakyu.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Kate Brewster
dalam Terminator 3: Bersahaja, cewek banget, mandiri.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Alicia Nash
dalam A Beautiful Mind: Cantik, lembut, malaikat.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Millie Harris
dalam Jumper: Sangat cantik, lucu, mempesona.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Dr. Emma Russel
dalam The Saint: Sangat cerdas, elegan, lembut.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Marie Helena Kreutz
dalam Bourne Identity: Mandiri, manis, bersahaja.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Mary Jane Watson
dalam Spiderman Trilogy: Cantik, lembut, sensitif.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Kate Lloyd
dalam The Thing: Cantik, cerdas, mempesona.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Miranda Frost
dalam Die Another Day: Elegan, cerdas, berbahaya.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Rachel Dawes,
dalam Batman Begins: Cantik, bijaksana, mempesona.
—Twitter, 25 September 2012

#DaftarCewekKeren Jenny
dalam Forrest Gump: Manis, lembut, bersahaja.
—Twitter, 25 September 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Rabu, 01 Mei 2013

Nyanyian Bumi

Dasar homosapiens!
Magneto


Ada tiga makhluk hidup di Bumi—setidaknya yang kita tahu—yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan. Ketiganya saling bergantung satu sama lain. Tetapi, kalau kita mau jujur, yang paling brengsek adalah manusia. Bahkan, kalau kita mau lebih jujur lagi, hewan dan tumbuhan bisa hidup tanpa manusia. Tetapi, manusia tidak akan bisa hidup tanpa hewan dan tumbuhan.

Dalam kondisi yang ideal, hewan, tumbuhan, dan manusia saling membentuk mata rantai kesalingtergantungan di alam. Hewan membutuhkan tumbuhan sebagai bahan makanan. Tumbuhan membutuhkan hewan untuk keperluan penyerbukan. Sampai di sini tidak ada masalah. Mereka—hewan dan tumbuhan—bisa hidup tanpa manusia. Ketika kemudian muncul manusia di Bumi, maka manusia mengambil peran dalam ekosistem sebagai penjaga keseimbangan.

Dulu, ribuan tahun yang lalu, manusia purba mengambil peran itu. Mereka memakan hasil alam, memanen tumbuh-tumbuhan, tapi tidak merusak dan menghabiskan. Mereka memburu hewan di hutan untuk keperluan makan, tetapi mereka juga membiarkan hewan-hewan terus hidup dalam kebebasan di alam liar.

Dengan segala kebodohan yang mungkin mereka miliki, manusia purba menyadari bahwa kehidupan manusia sangat tergantung pada hewan dan tumbuhan. Mereka tidak membiarkan hewan dan tumbuhan punah. Karena kepunahan mereka sama dengan kepunahan manusia. Ribuan tahun yang lalu, ketika manusia masa kini menyebut mereka sebagai kehidupan prasejarah, makhluk-makhluk purba itu justru bisa hidup dengan mematuhi hukum keseimbangan. 

Lalu manusia purba semakin pintar, bahkan modern. Taksonomi menyebut mereka homosapiens—spesies yang bijaksana. Dan spesies yang diharapkan menjadi “pemimpin” di muka Bumi itu kemudian menjadi perusak paling menghancurkan di muka Bumi, bahkan efek kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih mengerikan dibanding kehancuran akibat meteor raksasa yang pernah jatuh di Bumi jutaan tahun lalu.

Dan “sang perusak” itu semakin banyak jumlahnya dari tahun ke tahun, hingga populasinya mengalami ledakan. Semakin banyak jumlah manusia, semakin besar kerusakan yang ditimbulkannya.

Manusia butuh tempat tinggal. Karena lahan kosong telah habis akibat ledakan populasi, maka hutan dan alam liar ditebang dan dihancurkan untuk diubah menjadi komplek hunian. Pohon-pohon besar ditumbangkan, tumbuh-tumbuhan liar dibabat dan dihancurkan, sementara hewan-hewan yang hidup di dalamnya terpaksa pergi atau mati karena kehilangan habitat alami.

Kemudian rumah-rumah hunian manusia muncul di atas tanah yang sebelumnya hutan bagi ribuan hewan. Wilayah yang sebelumnya rimbun pepohonan kini berganti kabel-kabel dan antena parabola. Tempat yang semula menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan untuk saling berbagi, kini menjadi tempat bagi manusia yang selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Hutan yang dulu memperdengarkan kicau burung kini menjadi tempat bagi bising televisi.

Setelah mendapatkan tempat tinggal, manusia juga butuh pekerjaan, karena yang membedakan manusia dengan hewan dan tumbuhan adalah keberadaan uang. Satu-satunya makhluk hidup di dunia yang perlu uang hanya manusia. Dan untuk memiliki uang, manusia harus bekerja. Karena ledakan populasi, tempat bekerja semakin sempit. Untuk bisa menampung tenaga kerja yang berlebih, maka dibangunlah pabrik-pabrik baru.

Maka sekali lagi manusia menghancurkan kehidupan makhluk lain. Jika sebelumnya mereka membabat alam liar untuk tempat tinggal, sekarang mereka melakukan hal sama untuk mendirikan pabrik-pabrik demi bisa bekerja dan menghasilkan uang. Hutan-hutan kembali dihancurkan, pohon-pohon kembali ditumbangkan, hewan-hewan kembali terusir, demi memenuhi kebutuhan manusia. Setelah semua tumbuhan dan hewan dimusnahkan, tempat hidup mereka diubah menjadi pabrik-pabrik dan cerobong asap.

Bersamaan dengan itu, manusia terus mengeruk bahkan menguras hasil Bumi. Padi dipanen, jagung dikumpulkan, buah-buahan dipetik, sementara hewan-hewan disembelih untuk dimakan, atau diburu demi kesenangan. Permukaan Bumi dibabat kekayaannya, dan kedalaman Bumi digali untuk dikuras kandungannya. Seiring dengan itu, manusia menimbun sampah dan kotoran yang makin berlimpah dari tahun ke tahun, dan sampah serta kotoran mereka memasuki tanah, menggenangi lautan, mencemari udara.

Tetapi manusia tak pernah kenal kata cukup. Setelah merusak kehidupan makhluk lain untuk tempat tinggal dan membangun pabrik, mereka masih butuh hiburan, atau setidaknya sarana untuk jalan-jalan dan cuci mata. Maka sekian banyak hutan dan lahan kembali dibabat demi memuaskan kerakusan manusia. Hutan diubah menjadi sarana bermain, sawah dan ladang disulap menjadi mall dan swalayan.

Untuk setiap kelahiran manusia, ada banyak kematian bagi makhluk lain. Bumi semakin gersang, dan langit mungkin menangis. Oh, well, itu saja belum cukup. Di tengah sesaknya Bumi, sebagian manusia sibuk memikirkan cara menjarah manusia lainnya, mencari sarana memperbudak sesamanya. Maka senjata pun dibuat, bom dan nuklir dirancang, tank-tank serta pesawat tempur diciptakan, dan seribu alasan perang dilontarkan.

Lalu bom meledak. Di Romawi, Yunani, Mesir, Cina, Soviet, Argentina, Jepang, Iran, Irak, Afghanistan, Lebanon, Suriah, Bosnia, Palestina... sebut lainnya.

Mayat-mayat bergelimpangan. Yang hidup mengucurkan darah dan meneteskan tangis. Waktu, energi, dan biaya terbuang sia-sia demi kerakusan manusia. Dan tahun demi tahun terus berganti, sementara manusia tak pernah belajar dari sejarahnya sendiri. Yang paling mengerikan, perang antarmanusia tidak hanya membunuh manusia, tetapi juga membunuh hewan dan tumbuhan yang tak bersalah. Mereka tak ikut perang, tapi ikut terbunuh, ikut terbakar, ikut musnah.

Kemudian, ketika kehidupan di Bumi makin semrawut, panas, dan tidak nyaman ditinggali, manusia pun sibuk mencari alasan dan kambing hitam untuk disalahkan. Maka lahirlah teori eugenika yang menjadi kebohongan paling mengerikan sepanjang zaman, musim dingin nuklir, sampai pembodohan massal bernama isu pemanasan global.

Manusia mati-matian mempercayai isu-isu tolol itu, demi bisa menemukan kambing hitam untuk dipersalahkan, dan bukannya berkaca pada perbuatan salahnya sendiri. Kemudian, ketika kebohongan mereka terungkap, mereka pun akan mencari dan membuat isu lain, teori lain, kebohongan lain, demi bisa terus membohongi diri sendiri.

Dan... di tengah-tengah kebodohan yang tak kunjung tersembuhkan itu, sebagian manusia masih terus berpikir untuk bisa menjarah dan merampas, mencuri dan membunuh, merampok dan memperkosa Bumi yang menjadi tempat tinggalnya sendiri. Alangkah kelam wajah manusia....

Ehmm...

Jadi, aku sudah mendapatkan perhatianmu?

Bagus!

Tapi yang kaulihat baru pemanasan.

....
....

Oh, well, permainan sesungguhnya akan segera dimulai.

Pesan Seseorang (2)

Jangan menghabiskan waktu untuk melawan sesuatu yang kau tahu tak bisa dikalahkan.

Pesan Seseorang (1)

Jangan menanyakan sesuatu yang tidak ingin kaudengar jawabannya.

 
;