Sampai suatu ketika, seorang manusia tiba
pada kesimpulan akhir bahwa doanya hanya meminta
kemampuan untuk dapat terus berdoa.
—@noffret
pada kesimpulan akhir bahwa doanya hanya meminta
kemampuan untuk dapat terus berdoa.
—@noffret
Seorang bocah berkata pada filsuf, “Tuan Filsuf. Jika setiap manusia hanya diberi kesempatan menyampaikan satu doa kepada Tuhan seumur hidupnya, doa apakah yang akan Tuan minta?”
“Aku akan berdoa agar dikaruniai rasa malu,” jawab sang filsuf.
Si bocah mengerutkan kening, tak mengira itu jawabannya. “Rasa malu?”
“Ya, Nak, rasa malu,” tegas sang filsuf. “Aku akan berdoa agar dikaruniai rasa malu. Malu pada diriku sendiri, malu pada orang lain, dan malu pada Tuhan. Aku berdoa agar dikaruniai rasa malu. Malu mengambil hak orang lain, malu melakukan perbuatan salah, malu menjelek-jelekkan orang lain di belakang punggungnya, malu menganggap diri paling benar dan paling suci.
“Aku akan berdoa agar dikaruniai rasa malu. Malu mengganggu hidup orang lain, malu membicarakan keburukan orang lain, malu memuji-muji diri sendiri, malu melakukan hal-hal yang salah dan memalukan, malu menyalah-nyalahkan orang lain. Ah, Nak, jika satu-satunya doa yang dipanjatkan manusia hanya keinginan agar dikaruniai rasa malu, dan masing-masing kita berdoa hal yang sama, rasanya itu sudah cukup bagi dunia.”