Rabu, 25 Januari 2017

Takdir dan Pilihan

Takdir hidup kita kadang-kadang sangat jelas.
Sebegitu jelas, sampai-sampai kita tidak paham.


Bertahun-tahun lalu, seorang motivator berkata dengan jumawa, “Jika kita mengatakan hidup ini berat, cobalah pikirkan... dibandingkan dengan apa?”

Kalimat itu terdengar hebat, bahkan seperti mengandung kebenaran mutlak. Sang motivator pun tentu menyatakan kalimat tersebut dengan maksud baik, yaitu agar kita tidak mudah mengeluh. Dia memberi motivasi, semangat, agar orang selalu tabah. Jadi, dia menantang setiap orang, “Jika kita mengatakan hidup ini berat, cobalah pikirkan... dibandingkan dengan apa?”

Sampai bertahun-tahun sejak kalimat itu diucapkan, tidak ada orang yang bisa menjawab, “... dibandingkan dengan apa?” Jangankan menjawab, kalimat sang motivator bahkan disebarkan ke mana-mana, viral di berbagai sosial media, dan mungkin telah memotivasi sekian banyak orang, untuk tidak mengeluh. Karena, kalau hidup ini berat... dibandingkan dengan apa?

Benar-benar ajaib, tidak seorang pun bisa menjawab.

Padahal, jawabannya sederhana, bahkan sangat sederhana!

“Jika kita mengatakan hidup ini berat, cobalah pikirkan... dibandingkan dengan apa?”

Ini jawabannya, “Dibandingkan hidup yang mudah!”

Sungguh mengherankan melihat kata-kata yang disusun dengan tepat dan terdengar hebat, bisa membungkam banyak otak untuk berpikir.

Motivasi itu penting, tetapi menatap realitas secara objektif tak kalah penting. Bahwa hidup kadang berat, memang iya! Itu realitas, tidak perlu disangkal. Dan karena ada hidup yang berat, maka tentu ada hidup yang mudah. Karena segala hal dalam kehidupan memang berpasangan. Jadi, tidak apa-apa menyadari bahwa hidup sesekali memang berat. Bahkan, kesadaran itu bisa menuntun kita untuk mengenali, menyadari, hingga menemukan hidup yang (lebih) mudah.

Disadari atau tidak, orang memang kadang memilih hidup yang berat. Orang-orang itu menyadari kehidupan yang dijalani sungguh berat, tapi mereka tidak mau keluar dari hidup yang berat, dan terus menjalani. Bisa jadi, orang-orang itu terpengaruh mantra sang motivator, “Kalau hidup ini berat, dibandingkan dengan apa?” Maka mereka pun tidak berubah, dan tetap menjalani kehidupan yang berat.

Seharusnya, orang menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk memilih. Memilih hidup yang berat, atau memilih hidup yang mudah. Karena hidup adalah soal pilihan. Jika memang saat ini menjalani hidup yang berat, setidaknya mereka akan berusaha keluar dari zona tersebut, untuk kemudian masuk pada hidup yang (lebih) mudah. Tanpa kesadaran semacam itu, orang akan tetap berkubang dalam hidup yang ia anggap berat, tapi tidak mau melakukan apa pun.

Mungkin yang saya ocehkan terdengar absurd dan tidak jelas. Karenanya, untuk lebih menjelaskan yang saya maksud, sekarang saya ingin bercerita tentang tempat-tempat paling berat di dunia, yang mungkin belum pernah kalian dengar, atau bahkan belum pernah kalian bayangkan.

Di Norwegia, ada sebuah kota bernama Longyearbyen. Kemungkinan besar kalian belum pernah mendengar kota ini, karena kenyataannya memang tidak terkenal. Kalau pun pernah mendengar, kemungkinan besar kalian tidak ingin ke sana!

Kota Longyearbyen terletak jauh di bagian utara Norwegia. Jadi, kalau kita ke Norwegia, lalu pergi ke utara hingga paliiiiiiiiiiiiiiiiiing ujung, maka di situlah Kota Longyearbyen. Karena letaknya di ujung dunia, Kota Longyearbyen sangat tidak nyaman dihuni. Di sana sama sekali tidak ada matahari, dari bulan Oktober sampai Februari. Sinar matahari baru muncul pada Maret sampai September, lalu hilang lagi.

Jadi, dalam setahun, Longyearbyen hanya menikmati sinar matahari selama enam bulan. Setelah itu, enam bulan berikutnya, kota gelap gulita, persis seperti malam hari. Keberadaan serta fenomena di Kota Longyearbyen juga secara tak langsung menjelaskan kalau bumi memang berbentuk bulat, bukan datar seperti diklaim sebagian orang.

Meski keadaan di sana sangat tidak nyaman, kota itu dihuni banyak orang. Mereka menyadari kehidupan di sana berat, tapi mereka telah terbiasa. Mungkin mereka mengeluh, tapi mungkin pula mereka mencoba mendamaikan diri, dengan berkata, “Kalau hidup ini berat... dibandingkan dengan apa?” Jadi, mereka pun tetap di sana, dan mungkin tidak menyadari ada banyak tempat lain yang lebih nyaman dihuni.

Dari Norwegia, sekarang kita terbang ke Afrika.

Di Afrika, ada sebuah kota bernama Arica, dan kota ini bersebelahan dengan Gurun Atacama yang tandus. Di seluruh daratan Afrika, Arica adalah kota yang sangat... sangat kering. Sebegitu kering, hingga mayat yang dikubur di sana tidak membusuk. Mayat-mayat itu hanya berubah perlahan menjadi mumi yang keriput.

Sebenarnya, Arica memiliki tingkat kelembapan yang cukup tinggi, dan sering tertutup awan. Namun, meski udara cukup lembap, kelembapan itu tidak cukup untuk sampai ke tanah dalam bentuk hujan. Gurun Atacama yang berada di sekitarnya menghilangkan kelembapan dari udara, dan awan yang ada di sana hanya membawa udara kering ke gurun. Beberapa tempat di gurun ini bahkan tidak pernah menerima hujan selama lebih dari 500 tahun!

Jadi, kita bisa membayangkan sekering apa kawasan itu. Arica jelas bukan tempat yang ramah untuk dihuni. Meski begitu, di sana terdapat setidaknya 200.000 orang yang mendiami tempat tersebut.

Apakah orang-orang Arica mengeluh, karena kotanya sangat panas? Mungkin, ya. Tetapi, mungkin pula, mereka mencoba memotivasi diri, “Kalau hidup di kota ini berat... dibandingkan dengan apa?”

Sebenarnya, jawabannya sangat jelas, kan? Dibandingkan dengan Bandung, misalnya. Atau Bogor. Atau setidaknya Malang, yang tentu jauh lebih adem dibanding di sana. Tapi mungkin orang-orang Arica tidak tahu Bandung, tidak tahu Bogor, apalagi Malang. Karena pengetahuan terbatas, pilihan pun terbatas. Akibatnya, meski tempat tinggal mereka sangat kering dan tidak menyenangkan, mereka bertahan. Meski menyadari hidup sangat berat, mereka merasa tak punya pilihan.

Berkebalikan dengan Arica yang panas dan luar biasa gersang, ada kota di Rusia yang memiliki kondisi sebaliknya. Namanya Kota Archangelsk. (Bahkan menyebut nama kota ini pun rasanya sudah berat!)

Archangelsk adalah kota pelabuhan di bagian utara Rusia, dan merupakan kota yang suangat-suangat dingin. Sebegitu dingin, hingga apa pun nyaris membeku di sana. Yang ajaib, kota ini dihuni oleh sekitar 400.000 orang, dan penduduk yang tinggal di sana bisa dibilang selalu hidup sambil menggigil. Ketika musim dingin tiba, semua sekolah di sana libur. Karena kalau tetap buka, dan anak-anak sekolah tetap berangkat, hampir bisa dipastikan mereka akan mati membeku di jalan.

Ketika musim dingin, udara di Archangelsk begitu menusuk tulang. Sebagai ilustrasi, jika kita memakai kacamata di sana pada musim dingin, kacamata itu akan melekat (membeku) ke wajah, hingga sulit dilepas.

Kalau kita meludah di sana, air ludah kita akan sampai ke tanah dalam bentuk mirip kelereng. Atau kerikil. Atau apalah, yang penting seperti itu. Seorang turis wanita di sana pernah histeris, karena buang air kecil pada musim dingin, dan mendapati selangkangannya menghasilkan es berbentuk kipas pengantin!

Memang, di Archangelsk ada musim panas, tapi sangat singkat. Karenanya, seperti yang disebut tadi, penduduk Archangelsk bisa dibilang menjalani hidup sambil menggigil. Bisakah kita membayangkan kehidupan semacam itu? Mungkin bisa, wong paling membayangkan. Tapi bersediakah kita menjalani kehidupan semacam itu? Kemungkinan besar tidak! Kenapa? Karena berat!

Orang-orang yang tinggal di Archangelsk juga pasti menyadari hidup di sana sungguh berat. Setiap hari, setiap saat, tubuh terus menggigil. Kita yang mendapat hujan sesekali saja sudah meriang, apalagi menggigil kedinginan saban hari? Jadi, jelas kehidupan di Archangelsk sangat berat, dan bukan hanya kita yang menyadari, tapi juga para penduduk di sana.

Tetapi, mungkin, penduduk Archangelsk mencoba tabah, dan membesarkan hati dengan kata-kata penuh motivasi, “Kalau hidup ini berat... dibandingkan dengan apa?” Karena mereka berpikir seperti itu, mereka pun menutup pilihannya sendiri. Mereka tidak menyadari sebenarnya punya pilihan, untuk hidup di tempat yang lebih ramah, dan tidak harus kedinginan setiap saat. Tetapi... “kalau hidup ini berat, dibandingkan dengan apa?”

Orang-orang sering tidak menyadari bahwa mereka diberi karunia agung bernama pilihan. Ketertutupan pikiran pada keberadaan pilihan bisa disebabkan banyak hal. Karena tidak tahu, karena tidak mampu, karena terpengaruh lingkungan, karena doktrinasi, atau karena hal lain. Intinya, pikiran sudah tertutup untuk melihat pilihan, sehingga—mau tidak mau—mereka tetap memilih dan menjalani yang telah ada, tanpa sempat berpikir bahwa mereka sebenarnya bisa pindah.

Orang yang tidak mampu memilih masih lebih baik, karena setidaknya tahu dia bisa memilih. Namun, kondisi atau situasi tertentu menjadikannya tidak mampu memilih. Sekali lagi, itu masih lebih baik, daripada sama sekali tidak tahu bahwa orang bisa memilih.

Ada banyak orang yang menjalani hidup semacam itu—tanpa pilihan, dan tidak tahu bahwa mereka bisa memilih.

Seperti orang-orang di Longyearbyen, Norwegia. Tinggal di tempat yang selalu gelap tanpa matahari tentu bukan kehidupan menyenangkan. Tetapi, bisa jadi, mereka lahir di sana, tumbuh besar di sana, dewasa di sana, dan sepanjang hidup hanya diberitahu bahwa kehidupan memang seperti itu. Gelap, dan hanya ada sedikit cahaya. Tanpa mereka sadari, mereka terdoktrinasi untuk percaya bahwa kehidupan memang seperti itu. Jadi, mereka tidak memilih. Karena, apa yang mau dipilih, kalau mereka tidak pernah diberitahu punya pilihan?

Begitu pula orang-orang yang hidup di Arica yang panas luar biasa, atau di Archangelsk yang dingin membekukan. Kita yang tidak tinggal di sana mungkin berpikir, “Kenapa mereka tidak mencoba pindah ke tempat lain, yang lebih ramah untuk dihuni?”

Kita bisa berpikir seperti itu... kenapa? Karena kita tidak tinggal di sana! Kita ada di luar, memiliki jarak dengan tempat itu, sehingga bisa berpikir lebih baik dan lebih objektif. Tetapi, orang-orang yang tinggal di sana mungkin tidak berpikir seperti kita, karena mereka tinggal di sana! Mereka lahir dan tumbuh besar di sana, dewasa di sana, dan diberitahu bahwa hidup memang seperti itu. Mereka pun lalu percaya bahwa hidup memang seperti itu. Dan kalau mereka sudah percaya, bahkan yakin, apa lagi yang mau dipertanyakan?

Hidup adalah soal pilihan. Tetapi, ada banyak orang yang tidak menyadari punya pilihan, karena mereka tidak pernah diberitahu punya pilihan. Jadi, jika kita berpikir hidup ini berat... dibandingkan dengan apa?

Jawabannya ada di luar sana.

Agama dan Pernikahan

Ada lelaki nyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin, karena katanya rezeki akan lancar. Tapi dia nyuruh-nyuruh istrinya ikut kerja nyari nafkah.

Perilaku orang yang suka menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin itu benar-benar oksimoron yang menggelikan, sekaligus tragis.

Ada lelaki menyuruh orang cepat kawin dengan dalih agama. Tapi dia juga nyuruh istri mencari nafkah. Itu konyol sekaligus seenaknya sendiri.

Giliran nyuruh orang kawin pakai dalih agama. Giliran mencari nafkah tidak pakai dalih agama yang sama. Tolol apa konyol... apa bangsat?

Agama memang mengimbau agar orang menikah. Tapi agama juga MEWAJIBKAN suami mampu memberi nafkah layak. Istri tidak wajib mencari nafkah!

Kalau menggunakan dalih agama untuk menyuruh orang cepat menikah, gunakan pula ajaran agama dalam urusan nafkah. Jangan seenaknya sendiri.

Agama mengimbau agar orang (lelaki) cepat menikah. ITU BELUM TITIK. Lanjutannya, dengan catatan TELAH MAMPU. Jangan dipotong seenaknya!

Agama memang mengimbau agar orang cepat menikah, tapi bukan asal menikah tanpa persiapan! Ada syarat yang harus dipenuhi terlebih dulu.

Menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah tanpa persiapan, dengan dalih ajaran agama. Ngawur! AGAMA MANA PUN TIDAK MENGAJARKAN SEPERTI ITU.

Kalau mau ngemeng agama, menuntut ilmu lebih utama daripada menikah. Ajaran agama MEWAJIBKAN menuntut ilmu, tapi menikah... hanya SUNAH.

Ini ajaran agama, “Menuntut ilmu WAJIB atas muslim lelaki dan muslim perempuan.” Tapi menikah... hanya SUNAH. Siapa yang mewajibkan?

Apa pun alasanmu, agama MEWAJIBKAN untuk menuntut ilmu. Tapi menikah tidak wajib, dan hanya SUNAH. Bahkan hukumnya bisa mubah sampai haram.

Tak peduli apa pun kondisimu, kau tetap WAJIB menuntut ilmu. Tapi menikah... hanya SUNAH. Karena hukum menikah tergantung kondisimu.

Menikah dihukumi SUNAH, jika dengan niat dan persiapan yang baik. Tapi hukumnya bisa HARAM jika dengan niat buruk dan tanpa persiapan.

Orang yang pecicilan kawin tanpa persiapan, sebenarnya bukan sedang mematuhi ajaran AGAMA. Tapi mematuhi ajaran SELANGKANGANNYA.

Agama mengajarkan, “MENIKAHLAH, JIKA TELAH MAMPU.” Selangkangan mengajarkan, “MENIKAH TIDAK PERLU PERSIAPAN, DAN TIDAK PERLU NUNGGU MAMPU!”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Desember 2016.

Wawancara yang Gagal

Dengan antusias, reporter bertanya, “Bisa ceritakan perjalanan intelektual Anda?”

“Tidak bisa,” saya menjawab.

Dia bengong. “Kenapa tidak bisa?”

“Karena saya bukan intelektual. Saya bocah! Saya tidak punya perjalanan intelektual apa pun. Saya hanya sering pusing!”

Jumat, 20 Januari 2017

Salihah di Atas Ranjang

Jika orang mau berpikir sebenar-benar berpikir,
akar kerusakan manusia dan kehidupan dimulai dari perkawinan
tanpa persiapan dan kesadaran.


Apa perbedaan bokep Barat (Amerika/Eropa) dengan bokep Jepang (JAV)? Dalam perspektif saya, wanita dalam bokep Jepang lebih tahu cara menjadi... well, salihah di atas ranjang. Mereka begitu lembut, penuh kasih, dan indah.

Di dunia JAV (Japan Adult Video), ada suatu genre yang disebut “My Wife”. Genre tersebut memperlihatkan bagaimana wanita Jepang bercinta dengan pasangannya, seolah mereka sepasang suami istri. Mereka begitu lembut, penuh kasih, dan indah. Saya tidak bisa menemukan istilah lain yang lebih tepat untuk menggambarkan wanita-wanita itu, selain “salihah di atas ranjang”.

Di luar genre My Wife, ada cukup banyak artis JAV yang saya kagumi, di antaranya Ren Mukai, Yui Tatsumi, dan Risa Kasumi. Di luar tiga nama itu tentu masih ada artis-artis JAV lain yang juga saya suka. Tetapi, tiga nama yang saya sebut barusan, benar-benar merepresentasikan sesuatu yang saya sebut “salihah di atas ranjang”. Khususnya untuk film-film yang masuk kategori soft. Saya tidak pernah bosan melihat mereka.

Oh, jangan salah paham. Menonton JAV memberi manfaat bagi saya. Pertama, menonton JAV membuat saya termotivasi untuk belajar bahasa Jepang. Itu jenis motivasi yang tidak bisa saya dapatkan dari mana pun, selain dari JAV. Bagaimana pun, saya ingin tahu orang-orang yang main di film JAV itu pada ngemeng apa. Soalnya film-film JAV tidak dilengkapi teks!

Manfaat kedua, menonton JAV mengingatkan saya agar tidak lupa menikah, dan punya mbakyu seperti Ren Mukai. Atau Risa Kasumi. Atau Yui Tatsumi. Yaitu mbakyu (iya, maksudnya istri!) yang salihah di atas ranjang.

Mereka—Ren Mukai, Yui Tatsumi, juga Risa Kasumi—dalam bayangan saya, adalah wanita yang menyadari posisi mereka sebagai wanita. Mereka tidak berambisi menjadi politisi apalagi presiden, tidak berniat menjadi tokoh dunia atau semacamnya. Mereka hanya ingin menjadi wanita, dan itulah yang mereka lakukan. Menjadi wanita!

Karena mereka benar-benar menjadi wanita, mereka pun menjelma wanita sesungguhnya. Hingga membuat jutaan lelaki mabuk kepayang. Oh, well, tidak ada yang lebih membuat lelaki mabuk kepayang selain wanita yang sungguh-sungguh wanita. Itulah yang dilakukan Ren Mukai, Yui Tatsumi, juga Risa Kasumi. Mereka tidak peduli dengan emansipasi, atau kesetaraan gender taik kucing, atau apa pun. Mereka hanya menjadi wanita. Dan, dengan itu, mereka menundukkan dunia.

Dulu, di masa lalu, ada istilah yang lekat—atau dilekatkan—dengan wanita, yaitu “dapur, sumur, kasur”. Merujuk istilah itu, tugas wanita adalah memasak di dapur, mencuci baju di sumur, dan melayani suami di kasur. Sekilas, istilah itu mungkin terdengar vulgar atau terkesan merendahkan. Tetapi, jika dipikir-pikir, istilah itu tidak salah-salah amat, selain mungkin hanya terdengar jadul.

Saya kerap bertanya-tanya, apa salahnya jika seorang wanita—seorang istri—memasak di dapur? Bukankah itu pekerjaan mulia? Membuat masakan untuk suami, memastikan pasangan kenyang hingga bisa bekerja dengan baik, hingga suami makin cinta kepadanya. Apa salahnya?

Lalu mencuci pakaian di sumur. Sumur mungkin terdengar jadul, karena kebanyakan orang sekarang mencuci di mesin cuci. Jika seorang wanita—seorang istri—mencuci, apa salahnya? Wong tinggal mengisi mesin cuci dengan air, memasukkan pakaian kotor ke dalamnya, lalu mesin cuci akan membersihkan dan mengeringkan sendiri. Mudah, kan? Jadi, apa salahnya kalau wanita mencuci?

Begitu pula melayani pasangan di kasur. Demi segala demi, bukankah itu memang tugas, tujuan, sekaligus kesenangan, bagi seorang istri—seorang wanita? Jadi, apa salahnya kalau wanita—seorang istri—aktif di kasur? Persetan, saya bahkan ingin istri saya kelak aktif di kasur! Maksud saya, di springbed!

Nah, omong-omong soal kasur atau springbed, saya jadi ingat kembali dengan wanita-wanita di JAV. Mereka begitu indah... dan “salihah”. Mereka tahu bagaimana menjadi wanita, dan membuat lelaki tergila-gila. Mereka tahu cara memuaskan, dan membuat pasangan makin sayang. Mereka tidak macam-macam, tapi bisa membuat mabuk kepayang. Itulah salihah di atas ranjang. Dan jika seorang lelaki memiliki istri yang semacam itu, kehidupan tampaknya akan baik-baik saja.

Kembali ke soal tadi—dapur, sumur, kasur. Istilah itu jadi terdengar “memuakkan”, setelah orang-orang mulai meributkan emansipasi dan kesetaraan gender. Sekarang saya ingin berkata kepada para wanita. Pernahkah kalian menyadari, bahwa isu emansipasi atau kesetaraan gender sebenarnya justru dibuat untuk menyulitkan kalian?

Dulu, tugas para wanita sangat mudah, dan mulia. Yaitu menjadi istri, dan menjadi ibu rumah tangga. Mudah, ringan, dan mulia. Dulu, wanita tidak perlu repot-repot mencari nafkah, karena urusan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami. Sekarang...? Karena ada isu kesetaraan gender, wanita harus merangkap jadi istri, jadi ibu rumah tangga, dan masih harus sibuk mencari nafkah. Jika saya wanita, saya tidak sudi melakukannya! Karena itu jelas-jelas berat!

Begitu pun kelak jika punya istri, saya akan lebih suka jika istri saya damai di rumah, dan tidak usah repot mencari nafkah! Bukan karena saya tidak menghormatinya, tetapi justru karena saya ingin menghormatinya!

Kelak, saya akan berkata pada istri, “Kau tentu punya pilihan, untuk bekerja di luar rumah atau tidak. Kalau kau ingin bekerja di luar rumah, dan kau bahagia menjalaninya, aku akan mendukungmu. Tetapi, kalau kau lebih suka tinggal di rumah, aku akan lebih senang. Sejujurnya, aku lebih suka kau tinggal di rumah. Bukan karena ingin mengekangmu, tapi karena aku ingin memuliakanmu. Mencari nafkah adalah tugasku, tanggung jawab suami, dan tugasmu cukup memastikan aku dapat bekerja dengan baik, dengan perut kenyang dan pikiran tenang.”

Ada orang yang mengatakan, “Kalau istri ingin dihormati suami, sebaiknya istri juga bekerja mencari nafkah.”

Saya pikir itu keliru, bahkan kacau. Mencari nafkah adalah tugas suami, bukan tugas istri. Karena tugas istri mengurus rumah, termasuk mengurus anak (kalau punya anak). Karenanya, penghormatan seorang suami terhadap istri tidak bisa disandarkan pada apakah istri bekerja (mencari nafkah) atau tidak, karena—sekali lagi—mencari nafkah adalah tugas suami!

Kalau memang istri juga bekerja, itu adalah hak dan pilihannya, bukan karena dorongan apalagi tekanan suami. Dengan kata lain, seorang istri (seharusnya) boleh bekerja mencari nafkah atau tidak, dan penghormatan suami kepada istrinya tidak bisa disandarkan pada apakah istri bekerja atau tidak. Bahkan, kalau mau jujur dan objektif, seorang suami sama saja tidak menghormati istrinya kalau sampai memaksa si istri ikut bekerja mencari nafkah. Bagi saya pribadi, itu bahkan sama saja merendahkan diri sendiri.

Sekarang, hei para wanita, manakah yang akan kalian pilih: Menjadi istri dan ibu rumah tangga yang damai di rumah, atau menjadi istri dan ibu rumah tangga sambil merangkap mencari nafkah? Jika saya menempati posisi wanita, saya akan memilih yang pertama. Cukup tinggal di rumah, dan semua kebutuhan terpenuhi. Mudah, simpel, tidak repot! Saya pikir, kalian juga akan memilih yang pertama, kan?

(Agar lebih utuh dalam memahami pertanyaan barusan, silakan baca ini: Apa yang Diinginkan Wanita?)

Nah, belum lama, saya mendengar percakapan antarsuami di sebuah rumah makan. Di belakang saya ada dua lelaki yang tampaknya teman dekat, dan masing-masing sudah punya istri. Jadi, mereka pun saling curhat mengenai kehidupan rumah tangga masing-masing. Saya ada di sana. Meski tidak bermaksud menguping, tapi saya bisa mendengar percakapan mereka.

Lelaki pertama menceritakan, dia sering stres karena istrinya hanya mau bercinta dengannya seminggu sekali. Lalu lelaki kedua menimpali, “Kamu masih lumayan. Istriku malah sebulan sekali!”

Dalam hati saya membayangkan betapa ngenes nasib para suami di dunia yang fana ini. Sudah fana, masih dijatah seminggu atau sebulan sekali.

Lalu lelaki pertama menjelaskan, “Aku maklum, sih. Soalnya dia mungkin capek, karena harus kerja seharian, lalu memasak, bersih-bersih rumah, mencuci, dan sekarang juga mengurus anak. Jadi mungkin dia kecapekan, dan hanya mau melayani seminggu sekali. Cuma, akibatnya, aku jadi sering stres.”

Setelah itu, lelaki kedua menimpali dengan penjelasan tak jauh beda.

Percakapan dua lelaki itu membuat saya berpikir, betapa kasihan dan nelangsa nasib para wanita—para istri—zaman sekarang. Mereka harus mencuci, harus memasak, harus bersih-bersih rumah, harus mengurus anak jika telah punya anak, harus melayani suami, dan itu masih ditambah harus mencari nafkah! Sebagai lelaki, jika kelak punya istri, saya tidak akan tega membiarkan istri saya melakukan semua itu!

Karenanya, seperti yang dibilang tadi, saya ingin istri saya damai di rumah. Bukan karena saya ingin mengekang, melainkan untuk menghormati dan memuliakannya. Cukup memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Sudah, hanya itu. Dan, oh ya, menjadi salihah di atas ranjang. Sudah, hanya itu. Tidak perlu repot-repot mencari nafkah dan tetek bengek sampai kelelahan, karena saya akan bertanggung jawab memastikan dia tidak kekurangan apa pun!

Karenanya pula, para wanita seharusnya curiga, bahwa isu kesetaraan gender sebenarnya dibuat untuk memberatkan tugas mereka. Para wanita seharusnya curiga, bahwa isu kesetaraan gender sebenarnya dirancang oleh lelaki-lelaki pemalas yang tidak mau bertanggung jawab menjadi suami.

Wong urusan mencari nafkah itu tugas suami! Kalau memang berani menikah, mestinya para lelaki jangan memaksa istrinya ikut sibuk mencari nafkah! Menikahnya semangat, giliran mencari nafkah ogah-ogahan, lalu berdalih emansipasi dan kesetaraan gender. Taik kucing! Kalau memang belum mampu mencari nafkah yang layak, tidak usah sok-sokan menikah! Kasihan wanita yang jadi istri!

Karena latar belakang itu pulalah, saya tidak punya ekspektasi macam-macam tentang istri—jika kelak menikah. Saya hanya menginginkan wanita bersahaja yang ramah, tahu bersosialisasi dengan tetangga, bisa memasak, bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, dan... salihah di atas ranjang. Sudah. Saya tidak berharap macam-macam. Saya tidak berharap punya istri artis, selebritas, atau semacamnya. Karena saya lelaki sederhana yang menyukai hidup sederhana.

Cukuplah bagi saya seorang wanita seperti Ren Mukai. Atau Risa Kasumi. Atau Yui Tatsumi. Yaitu wanita yang menyadari dirinya wanita, dan benar-benar merepresentasikan kewanitaannya dengan sempurna. Senyum yang mendamaikan. Pelukan yang menenteramkan. Kata-kata lembut yang menenangkan. Dan salihah di atas ranjang. Oh, well, apa yang lebih sempurna dibanding itu?

Para Perusak Manusia

Yang masih suka menyuruh-nyuruh orang lain kawin tanpa persiapan, 
silakan baca ini. Berapa banyak lagi korban yang harus seperti ini?

Alasan Miskin, Pasutri di Bogor Kompak Bunuh Anaknya Dengan 
Gantungan Baju http://obq.li/j5G  #KASKUSNews
@kaskus


Ada banyak email yang mengira aku takut menikah, bahkan mereka sampai mengirimkan link-link video di YouTube tentang ceramah pernikahan.

Aku tidak/belum menikah, bukan karena takut. Sebenarnya, menikah justru hal mudah bagiku. Jika aku menginginkannya sekarang pun, aku bisa.

Aku tidak/belum menikah semata-mata karena pilihan, dan menyadari ada hal lain (yang lebih penting) yang perlu kulakukan dalam hidup.

Aku juga tidak menentang pernikahan, karena soal pilihan. Yang kutentang adalah ajaran sesat tentang pernikahan yang tak bertanggung jawab.

Menyuruh-nyuruh orang menikah secepatnya, tanpa persiapan apa-apa, itu salah satu contoh ajaran sesat (bahkan merusak) terkait pernikahan.

Langkah terbaik tentang menikah adalah melakukannya dengan kesadaran. Setelah itu, diamlah, dan tidak usah mengusik kehidupan orang lain.

Kalau kau menyuruh orang menikah tanpa persiapan, lalu perkawinan mereka rusak dan anaknya telantar, kau ikut menanggung dosa dan kesalahan.

Orang yang suka menyuruh orang lain menikah secepatnya tanpa persiapan, mestinya dihukum rajam. Merekalah sesungguhnya para perusak manusia.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Membaca Satu Buku

Tahu, tidak tahu, tidak tahu tapi tahu, tidak tahu tapi tidak tahu, adalah hal-hal yang sulit dibedakan orang-orang yang merasa tahu.

Yang berbahaya sebenarnya bukan orang yang tidak pernah membaca buku. Yang paling berbahaya justru orang yang hanya membaca satu buku.

Yang banyak membaca, banyak bicara. Yang tidak pernah membaca, banyak bicara. Tapi yang paling banyak bicara adalah yang membaca satu buku.

Yang tidak pernah membaca jelas bodoh. Yang banyak membaca, makin sadar kalau mereka bodoh. Yang membaca satu buku, merasa paling pintar.

Yang paling sulit diberitahu bukan orang bodoh, pun bukan orang pintar. Yang paling sulit diberitahu adalah orang yang membaca satu buku.

Orang bodoh bisa disadarkan. Orang pintar bisa diberitahu. Tapi orang yang hanya membaca satu buku merasa paling pintar dan paling tahu.

Doa para penuntut ilmu, "Tuhan, jauhkanlah aku dari orang-orang yang hanya membaca satu buku."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 November 2016.

Minggu, 15 Januari 2017

Kepercayaan yang Terluka

Ada yang pelan-pelan hilang dari hidup kita, kadang... tanpa disadari. 
Saat kesadaran muncul, dan kita kehilangan, yang hilang telah jauh.


“Mas, mau beli toko?”

Karena tidak menyangka akan disodori pertanyaan itu, saya melongo. “Beli toko?”

Dia mengangguk, lalu melanjutkan dengan antusias, “Ini toko saya mau dijual. Siapa tahu situ punya rencana beli toko. Tidak mahal, kok. Cuma dua miliar.”

Saya makin melongo. Pertama karena baru kali itu ditawari membeli toko, dan kedua karena harga dua miliar ternyata “tidak mahal”. Well, saya sih biasa beli gorengan, beli mie ayam, atau beli nasi, yang harganya paling beberapa ribu perak. Tapi seumur-umur, saya tidak pernah membayangkan beli toko yang harganya “tidak mahal”, senilai dua miliar.

Orang yang menawari itu adalah pemilik toko langganan saya di masa lalu. Kita sebut saja Toko X. Toko itu berukuran besar, dan menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari, mulai beras, gandum, tepung, sabun, sampo, sikat dan pasta gigi, sapu, sandal jepit, gula pasir, gula jawa, plastik, isi staples, selotip, sebut apa pun.

Karena barang yang disediakan memang lengkap, orang-orang pun biasa berdatangan ke toko tersebut untuk membeli berbagai kebutuhan sehari-hari, termasuk saya. Sejak pagi sampai sore, bisa dibilang Toko X tidak pernah sepi. Kapan pun datang ke sana, saya harus antre bersama para pembeli lain menunggu dilayani. Di sana ada empat pelayan—plus si pemilik toko—yang terus sibuk melayani pembeli. Jadi, bisa dibilang Toko X sangat laris.

Karena saya sering ke sana, pemilik toko pun mengenal saya. Berdasarkan percakapan yang kadang kami lakukan, dia pun tahu saya lajang yang hidup sendirian. Hal itu sangat tampak dari barang-barang yang biasa saya beli—khas kebutuhan orang yang belum berkeluarga. Sampai beberapa tahun saya menjadi pelanggan di Toko X, hingga sesuatu terjadi, dan mengubah segalanya.

Ceritanya, suatu hari saya butuh membeli barang-barang yang biasa saya butuhkan—gula pasir, teh, kopi, dan semacamnya. Saya pun pergi dari rumah, menuju Toko X. Tetapi, sampai di sana, ternyata Toko X tutup. Padahal saya sangat membutuhkan barang-barang tadi. Gula pas habis, teh pas habis, dan kopi juga pas habis. Maka saya pun pergi ke toko lain, yang juga menyediakan barang kebutuhan sehari-hari, seperti Toko X.

Di sebuah toko yang saya temukan—kita sebut saja Toko Z—saya membeli kopi, gula pasir, teh, dan lain-lain. Lalu saya membawa barang-barang itu pulang. Sesampai di rumah, saya mulai menyadari sesuatu. Harga barang-barang di Toko Z lebih murah dibanding harga barang-barang di Toko X. Misalnya, harga gula pasir selisih Rp200, harga kopi selisih Rp300, harga teh selisih Rp400, semuanya lebih murah di Toko Z daripada di Toko X.

Saya tahu betul hal itu, karena membandingkan dua struk dari dua toko tersebut. Struk-struk belanja dari Toko X masih ada, dan saya bandingkan dengan struk dari Toko Z yang baru saya peroleh. Melalui perbandingan harga itu, saya melihat dengan jelas bahwa harga-harga barang di Toko X semuanya lebih mahal. Memang hanya selisih beberapa ratus perak, tapi tetap lebih mahal.

Sejak itu, saya tidak pernah lagi belanja di Toko X. Setiap kali butuh membeli barang kebutuhan sehari-hari, saya pergi ke Toko Z, yang harganya lebih murah. Jarak kedua toko itu dari rumah saya relatif sama, jadi saya pikir akan lebih baik jika memilih Toko Z. Sejak itu, saya menjadi pelanggan Toko Z.

Selama waktu-waktu itu, saya memang biasa berbelanja di toko atau warung tradisional, dan sengaja tidak pernah berbelanja di mal, swalayan, atau supermarket modern. Waktu itu, saya berprinsip bahwa harus ada orang-orang yang tetap berbelanja di toko atau warung tradisional, agar mereka terus ada, dan tidak hilang karena dikalahkan mal atau swalayan. Karena saya tidak mungkin “mengajarkan” hal itu kepada orang lain, maka saya pun melakukan sendiri prinsip tersebut.

Tapi ternyata saya dikecewakan.

Toko X, yang semula menjadi langganan saya, ternyata diam-diam menaikkan harga seenaknya. Mungkin Toko X berpikir saya butuh belanja di sana, dan saya akan tetap membeli di sana tak peduli harganya dinaikkan seenaknya. Atau mungkin pula Toko X berpikir saya tidak akan tahu hal itu, karena saya pelanggan tetap di sana yang tidak pernah belanja di toko lain. Tapi dugaan itu keliru. Bagaimana pun, akhirnya saya tahu. Dan ketika saya tahu, mau tak mau saya merasa tertipu.

Perlahan-lahan sejak itu, setiap kali lewat di depan Toko X, saya melihat toko itu tidak lagi seramai sebelumnya. Jika sebelumnya pembeli selalu penuh dan berdesak-desakan, sejak itu Toko X mulai sepi. Hanya beberapa pembeli yang terlihat di sana. Lama-lama, Toko X benar-benar sepi.

Jadi, rupanya, yang menyadari “ketidakberesan” harga di Toko X bukan cuma saya. Para pembeli atau pelanggan lain juga menyadari kenyataan itu, dan mereka pun mulai meninggalkan Toko X, persis seperti yang saya lakukan. Padahal, selisih harga di Toko X cuma beberapa ratus rupiah, suatu nilai yang sebenarnya sangat kecil. Tetapi nilai yang kecil itu, ternyata, persis seperti rayap yang menggerogoti kayu. Tampak kecil, tak terlihat, tapi merusak diam-diam.

Suatu hari, saya terpaksa masuk Toko X untuk membeli sesuatu. Saat masuk ke sana, saya mendapati suasana toko yang sepi, tanpa pembeli. Cuma saya satu-satunya pembeli yang ada di sana. Empat pelayan yang dulu selalu sibuk sekarang tidak terlihat. Sekarang, di sana cuma ada satu pelayan, itu pun tampak sedang menyapu, bukan melayani pembeli.

Itu menakjubkan, pikir saya. Betapa sebuah toko yang semula terkenal, didatangi banyak orang, setiap hari selalu disesaki pembeli, sekarang sepi tidak laku. Padahal tokonya masih tetap, pemiliknya masih tetap, barang-barangnya masih tetap, dan tempatnya masih tetap. Tapi orang-orang yang semula menjadi pembeli dan pelanggan sekarang telah hilang. Dan itu terjadi gara-gara selisih harga sekian ratus perak yang dinaikkan seenaknya.

Jika memikirkan kenyataan itu, saya menyadari bahwa inti persoalan yang terjadi bukan sekadar selisih harga yang cuma beberapa ratus perak. Itu, bagaimana pun, nilai yang sangat kecil. Yang menjadikan Toko X sepi adalah karena pembeli/pelanggan merasa “tertipu”, persis seperti yang saya rasakan, terlepas berapa selisih harga yang dinaikkan seenaknya di Toko X.

Dalam pikiran para pembeli dan pelanggan, kami berbelanja di Toko X karena percaya. Percaya bahwa Toko X menyediakan barang-barang yang kami butuhkan, percaya barang-barang di Toko X memang baik, percaya bahwa harga-harga di Toko X memang wajar, percaya bahwa Toko X tidak akan mencurangi kami.

Tetapi ternyata kepercayaan itu dilukai. Alih-alih menjaga kepercayaan pembeli agar tetap menjadi pelanggan, Toko X justru “memanfaatkan” kepercayaan pelanggan demi menaikkan keuntungannya sendiri. Itulah yang kemudian menjadikan para pelanggan menghilang.

Wanita-wanita, atau ibu-ibu, sudah terkenal rela pergi lebih jauh demi mendapat harga yang lebih murah (meski nilainya paling beberapa ratus rupiah), daripada belanja di toko yang lebih dekat yang harganya lebih mahal. Jika kita mau memikirkan kenyataan itu, sebenarnya yang membuat mereka mau pergi jauh bukan karena ingin menghemat uang yang paling seratus atau dua ratus rupiah, melainkan demi menyelamatkan perasaan mereka.

Ketika orang—khususnya ibu-ibu—berbelanja di sebuah toko, dan mendapati harganya lebih mahal (meski cuma beberapa ratus rupiah), yang mereka lihat bukan harga yang lebih mahal, melainkan merasa ditipu.

Wanita atau ibu-ibu itu tahu, bahkan hafal, berapa harga ini atau harga itu. Ketika harga ini atau harga itu dinaikkan seenaknya oleh pemilik toko, mereka merasa sedang ditipu. Itulah kenapa mereka lebih memilih pergi ke tempat yang lebih jauh demi membeli barang yang sama, asal harganya wajar atau lebih murah. Bukan untuk menghemat uang yang paling beberapa ratus rupiah, melainkan untuk menyelamatkan perasaan mereka!

Saya bukan ibu-ibu, tapi saya bisa memahami perasaan itu, karena juga sering berbelanja barang kebutuhan sehari-hari. Bagi saya, uang seratus atau beberapa ratus rupiah sama sekali bukan nilai besar. Itu senilai upil! Oh, well, bahkan lebih kecil dibanding upil!

Tetapi, bagaimana pun, saya tetap jengkel ketika mendapati suatu toko menaikkan harga seenaknya di luar kewajaran, meski nilainya hanya beberapa ratus rupiah. Yang menjadi inti masalah di sini bukan nilai uangnya, melainkan kepercayaan yang terasa dilukai. Saya telah percaya pada suatu toko, dan menjadi pelanggan. Tetapi, pihak toko bukan menjaga kepercayaan saya sebagai pelanggan, tapi justru menyalahgunakan kepercayaan saya. Efeknya dalam pikiran saya bukan kehilangan uang beberapa ratus rupiah, melainkan kehilangan kepercayaan.

Dan, omong-omong, itulah yang terjadi pada Toko X. Saya meninggalkan Toko X dan beralih ke toko lain, terus terang bukan karena alasan penghematan, melainkan karena merasa kepercayaan saya dilukai.

Sepertinya, hal yang sama terjadi pada para pembeli dan pelanggan lain, sehingga mereka pun sama-sama meninggalkan Toko X. Akibatnya, toko yang semula sangat ramai pembeli sekarang sepi. Toko X mungkin bermaksud menambah sedikit keuntungan dengan cara menaikkan harga beberapa ratus rupiah, tapi ternyata itu justru menghancurkan usaha yang telah berdiri bertahun-tahun.

Meraih kepercayaan itu sulit, tetapi menjaga kepercayaan jauh lebih sulit. Sekali orang percaya, ia akan percaya selamanya. Begitu pun, sekali orang menyadari kepercayaannya dilukai, ia akan sulit percaya lagi.

Sejak menyadari pembeli terus berkurang, mungkin Toko X mulai mengevaluasi dan mengoreksi diri, lalu mengembalikan harga-harga ke nominal yang wajar, dengan harapan toko kembali ramai. Tetapi, bagaimana pun, kepercayaan pembeli sudah terluka. Pelanggan sudah telanjur merasa tertipu, dan sulit untuk bisa mengembalikan kepercayaan mereka.

Puncaknya, Toko X benar-benar sepi, pemiliknya mungkin menyadari tak bisa lagi melanjutkan usaha, hingga tokonya ditawarkan kepada saya.

“Tidak mahal, Mas,” ujarnya. “Cuma dua miliar.”

Begitu pun kepercayaan para pelanggan, pikir saya. Kepercayaan pelanggan juga tidak mahal, hanya beberapa ratus rupiah. Tapi ketika kepercayaan itu terluka, mereka hilang selamanya.

Saat saya menulis catatan ini, Toko X sudah tidak ada. Pintu besinya selalu tertutup, dan tak pernah tampak orang di sana.

Orang Cina punya pepatah bijak, “Kalau kau tidak bisa tersenyum, jangan membuka toko.” Sekarang, saya ingin menambahi, “Kalau kau tidak bisa berlaku jujur, jangan membuka toko.”

Siapa pun yang punya senyuman dan kejujuran, akan menarik banyak pelanggan. Yang tidak punya, akan kehilangan.

Resolusi Bocah

Seorang bocah bertanya, “Kamu punya resolusi apa tahun ini?”

“Aku tidak punya resolusi apa pun,” saya menjawab. “Kamu punya?”

“Ya, aku punya resolusi penting tahun ini.”

Saya tertarik. “Wah, apa resolusimu?”

“Aku ingin diuyel-uyel sama mbakyuku.”

....
....

Tiba-tiba saya ingin punya resolusi.

Cerpen Berjudul Burung Tekukur Mati Dimakan Asu

Burung tekukur mati dimakan asu.

Sudah, begitu saja.

Tamat.

Selasa, 10 Januari 2017

Panggilan untuk Istri

“Segalanya akan lebih mudah setelah ciuman,”
kata Lois Lane kepada Clark Kent.
Semua pasangan superhero memang selalu mbakyu.


Sebagai bocah, saya kerap bertanya-tanya, kenapa sepasang suami istri kerap memanggil satu sama lain dengan kata ganti yang digunakan anak mereka?

Maksud saya begini. Ada pasangan suami istri yang menggunakan panggilan atau kata ganti “Papa-Mama” untuk anak mereka. Jadi, anak mereka memanggil ayah dengan sebutan “Papa”, dan memanggil ibu mereka dengan sebutan “Mama”. Itu panggilan atau sebutan anak pada orangtuanya.

Yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa pasangan suami istri tersebut juga saling memanggil satu sama lain dengan kata ganti yang sama? Si istri memanggil suaminya dengan sebutan “Papa”, dan si suami memanggil istrinya dengan sebutan “Mama”.

Biasanya, panggilan semacam itu dimulai setelah sepasang suami istri punya anak. Jadi, ada kemungkinan panggilan semacam itu dimaksudkan untuk mengajari si anak tentang “bagaimana cara memanggil ayah atau ibu mereka”.

Jadi, mungkin, di masa sebelum punya anak, sepasang suami istri saling memanggil nama, atau bisa pula si istri memanggil suaminya dengan sebutan “Bang” (atau panggilan lain), sementara si suami memanggil istrinya “Dik” (atau panggilan lain). Lalu, ketika mulai punya anak, mereka pun mengganti kata panggilan dengan kata ganti yang sama dengan panggilan si anak pada mereka.

Mungkin seperti itu.

Jadi, dalam hal ini, berubahnya panggilan antara suami-istri setelah punya anak adalah bagian dari upaya mengajari si anak tentang cara memanggil orangtua. Entah “Mama-Papa”, “Ayah-Ibu”, “Mami-Papi”, atau lainnya.

Tetapi, kalau saya perhatikan, suami-istri yang telah telanjur saling memanggil dengan kata ganti untuk anak, biasanya “keterusan” menggunakan panggilan yang sama, meski tidak di depan anak mereka. Lebih jauh, saya juga memperhatikan, ada semacam “kecanggungan” antara suami-istri untuk memanggil satu sama lain dengan panggilan yang semula mereka gunakan, dan akhirnya saling menggunakan panggilan “Mama-Papa” atau panggilan lain yang biasa digunakan anak mereka.

Di sebuah rumah makan, saya pernah menyaksikan sepasang pria-wanita yang makan berdua. Saya yakin mereka hanya berdua, tanpa anak atau tanpa siapa pun. Karena, sejak mereka duduk sampai selesai makan, mereka tetap berdua. Tetapi, ketika si wanita sedang membayar di kasir, dan mungkin butuh uang kecil, saya mendengar si wanita berkata pada pasangannya, “Pah, ada uang seribuan?”

Si pria mengecek dompetnya, lalu menjawab, “Tidak ada, Mah.”

Jadi, mungkin, pria dan wanita itu sepasang suami istri, dan mereka sudah punya anak yang biasa memanggil mereka “Papa-Mama”. Karena hal itu pula, mereka pun lalu saling memanggil dengan sebutan yang biasa digunakan anak mereka. Tetapi, karena panggilan itu sudah telanjur sering digunakan, mereka pun akhirnya tetap menggunakan panggilan itu, meski tidak ada anak mereka.

Ketika memikirkan kemungkinan itu, saya jadi senyum-senyum sendiri.

Ada pula pemandangan lain yang pernah saya saksikan, yang juga membuat saya senyum-senyum. Ada sekelompok wanita—ibu-ibu rumah tangga—ngerumpi di depan rumah tetangga. Sepertinya mereka ngerumpi dengan seru, hingga suara-suara mereka terdengar dari depan rumah saya.

Waktu itu, terdengar seorang wanita berkata, “Saya terpaksa nurutin, lah. Karena bapaknya anak-anak minta yang warna hijau.”

Lalu wanita lain mengatakan hal lain entah apa, yang redaksi kalimatnya tak jauh beda dengan itu, serta dengan frase, “bapaknya anak-anak”.

Saya bertanya-tanya sendiri, kenapa mereka tidak menggunakan sebutan atau istilah lain yang lebih enak didengar? Sepertinya, sebutan “suamiku” terdengar lebih ilmiah daripada “bapaknya anak-anak”. Begitu pula, sebutan “istriku” terdengar lebih akademis—dan lebih romantis—daripada “ibunya anak-anak”.

Tetapi, entah kenapa, saya lebih sering menemukan para wanita yang merasa canggung menyebut nama suaminya sendiri, sebagaimana halnya banyak pria yang tampaknya canggung menyebut nama istrinya sendiri.

Well, itu urusan mereka, sih, para suami-istri. Saya yang masih bocah ini tahu apa?

Cuma, gara-gara sering menemui fenomena semacam itu, saya jadi berpikir. Kelak, kalau saya punya seorang kekasih, dan kami telah memutuskan untuk menikah, saya akan mengajaknya bersepakat untuk tetap memanggil satu sama lain dengan nama yang biasa kami gunakan, dan tidak mengubah panggilan tersebut meski kami telah punya anak.

Jadi, umpama kami telah punya anak, dan anak kami memanggil orangtua dengan sebutan “Ayah-Ibu”, misalnya, saya akan tetap memanggil istri dengan panggilan sebagaimana yang biasa saya gunakan, begitu pula istri akan tetap menggunakan panggilan kepada saya sebagaimana yang biasa dia gunakan. Saya tidak akan memanggil istri saya dengan panggilan “Bu”, “Ma” atau semacamnya, sebagaimana istri juga tidak memanggil saya dengan sebutan “Yah”, “Pa”, atau semacamnya.

Karena saya khawatir. Jika kami mulai menggunakan panggilan semacam itu, lama-lama kami akan terbiasa. Dan setelah terbiasa, lama-lama kami akan canggung untuk memanggil satu sama lain dengan panggilan yang “normal”. Jika hal semacam itu sampai terjadi, saya pikir sangat aneh. Wong suami-istri kok saling canggung untuk menyebut nama pasangannya.

Dalam bayangan saya, kelak, kalau punya kekasih atau punya istri, saya akan memanggil dia dengan namanya. Terserah, dia mau memanggil saya bagaimana. Yang jelas, saya akan memanggil dia dengan namanya. Karena saya senang menyebut nama orang yang saya cintai. Jadi saya akan sering menyebut namanya, dan hanya akan memanggil dia dengan namanya.

Saat jatuh cinta pada seorang wanita, saya mencintai segala yang ada pada dirinya, termasuk namanya. Dan saat menyebut namanya, saya merasa senang. Bahkan mendengar namanya disebut orang lain saja, saya berdebar. Jadi, saya akan menyebut namanya, berkali-kali, sesering yang saya bisa, untuk menunjukkan perasaan cinta kepadanya.

Kelak, kalau istri saya bernama Stefani, misalnya, saya akan memanggilnya Stefani, bukan yang lain. Meski—umpama—kami telah punya anak sekali pun, saya akan tetap memanggilnya Stefani, bukan “Bu”, bukan “Ma”, juga bukan yang lain!

Tentu saja kami akan saling memanggil dengan tambahan “Sayang” atau semacamnya. Tetapi, yang jelas, kami TIDAK AKAN PERNAH memanggil dengan sebutan “Papa-Mama” atau “Ayah-Ibu” dan semacamnya.

Misalnya, saat kami bangun tidur di pagi hari, dan saya berkata pada istri, “Selamat pagi, Sayang.” Kedengarannya indah. Bahkan umpama saya berkata, “Selamat pagi, Stefani.” Tetap terdengar indah.

Tapi coba ganti kalimat itu menjadi, “Selamat pagi, Ma.” Kedengarannya kok membingungkan. Itu saya tidur dengan nyokap saya atau bagaimana?

Siang hari, saat saya lapar, dan istri tampak sedang sibuk di dapur, saya akan berkata kepadanya, “Stefani, Sayang, masak apa hari ini?” Kedengarannya indah. Dan akademis.

Tapi coba ganti kalimat itu dengan, “Buk, masak apa hari ini?” Kedengarannya seperti bocah pulang sekolah yang kelaparan, dan bertanya pada ibunya. Sama sekali tidak ilmiah!

Lebih parah lagi ketika malam hari.

Malam hari, saya bisa saja berkata kepada istri, “Stefani, aku ingin ndusel.”

Mungkin terdengar tidak ilmiah, dan tidak akademis. Juga tidak environmental—apa pun artinya.

Tapi cobalah ganti kalimat itu menjadi, “Ma (atau Bu), aku ingin ndusel.”

Kedengarannya lebih tidak ilmiah, dan lebih tidak akademis. Juga lebih tidak environmental—apa pun artinya.

Belum lagi kalau adegan itu dilanjutkan... ah, sudahlah. Makin tidak ilmiah dan makin tidak environmental.

Jadi, sebagai bocah, saya kerap bertanya-tanya, apa kira-kira yang dipikirkan atau dirasakan pasangan suami-istri, ketika mereka telah terbiasa memanggil satu sama lain dengan panggilan yang biasa digunakan anak untuk mereka? Apa yang mereka pikirkan dan rasakan, ketika keduanya telah saling canggung memanggil nama pasangan masing-masing? Atau jangan-jangan mereka tak pernah memikirkan hal itu?

Ada pasangan suami istri yang telah tua—mungkin usianya 60-an—bercakap-cakap di teras rumah. Anak-anak mereka sudah dewasa, dan tinggal di rumah sendiri bersama keluarga masing-masing. Pasangan suami-istri yang telah tua itu kini tinggal berdua di rumah. Tetapi, meski begitu, mereka masih memanggil satu sama lain dengan “Ayah-Ibu”, sebagaimana dulu saat anak-anak mereka masih kecil.

Jadi, ketika mereka mengobrol berdua di teras rumah, sang istri memanggil suaminya dengan sebutan “Yah” (maksudnya “Ayah”), sedangkan si suami menyebut istrinya dengan panggilan “Buk” (maksudnya “Ibu”). Itu salah satu contoh bagaimana suami-istri telah kehilangan kemampuan untuk saling memanggil nama masing-masing pasangan, karena telah terbiasa menggunakan panggilan itu, hingga akhirnya telanjur menggunakannya sampai renta.

Saya tidak ingin mengalami hal semacam itu, karena... well, sepertinya tidak environmental. (Sebenarnya saya tidak tahu environmental itu apa!)

Karena itu pula, jika kelak menikah, saya akan membuat perjanjian dengan istri, agar kami tetap memanggil nama masing-masing, terlepas punya anak atau tidak. Jadi, ketika kami telah menjadi kakek-nenek, dan bercakap-cakap di teras rumah menikmati senja, kami akan bercakap-cakap sambil menyebut nama masing-masing.

Mungkin, kelak, saat kami telah sama-sama renta, saya akan berkata kepadanya, “Aku bersyukur telah hidup bersamamu, Stefani. Puluhan tahun bersamamu adalah pengalaman terbaik yang kualami dalam hidup.”

Mungkin kalimat semacam itu tidak terlalu romantis. Tapi setidaknya masih terdengar ilmiah. Coba ganti kalimat itu menjadi, “Aku bersyukur telah hidup bersamamu, Ma. Puluhan tahun bersama Mama adalah pengalaman terbaik yang kualami dalam hidup.”

Kedengarannya seperti ucapan seorang anak yang berbakti kepada ibunya. Tidak ilmiah! Tidak akademis! Dan tidak enviromental!

Jomblo Bukan Aib

Jomblo adalah kekasih yang tertunda. Pacar adalah mantan yang belum waktunya. Selamat malam Minggu.
—Twitter, 23 Agustus 2014

Sesuatu yang dilakukan jutaan orang bukanlah hal istimewa. Punya pacar atau menjomblo juga dilakukan jutaan orang. Oh, well, itu hal biasa!
—Twitter, 8 September 2014

Dua topik tweet yang sudah AMAT SANGAT KLISE SEKALI di Twitter: Mantan dan Jomblo. Ironis, karena sepertinya hidup cuma dari itu ke itu.
—Twitter, 3 Juli 2014

Lebih baik jomblo tapi banyak tertawa, daripada punya pacar tapi banyak nangisnya.
—Twitter, 10 Januari 2014

Siapa pun yang suka mem-bully kaum jomblo seharusnya memperhatikan jebakan tikus. Yang terperangkap tak pernah pulang.
—Twitter, 10 Januari 2014

Aku curiga, saat ini sedang ada gerakan/upaya penghapusan jomblo secara sistematis dan terselubung. Holocaust sedang terulang.
—Twitter, 19 Mei 2014

Aku juga jomblo, lajang, single, whatever. Sini yang mau mem-bully. Sini!
—Twitter, 20 Januari 2015

Aku juga jomblo. Tidak punya pacar. Yang mau mem-bully, silakan mention. Nanti akan kujawab di blog. Tolong CC-kan pada yang suka mem-bully.
—Twitter, 20 Januari 2015

Jomblo bukan aib, punya pacar bukan prestasi. Selamat malam Minggu.
—Twitter, 3 Agustus 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Cangkruk Superhero

Ketika para superhero nyangkruk bareng, apa yang mereka lakukan?

Mereka dolanan palu.

Kamis, 05 Januari 2017

Menghalangi Matahari

Lebih banyak dusta yang kita percaya karena dibungkus dengan indah, 
dibanding kebenaran yang tampak lusuh.


Di antara banyak hal yang pernah saya baca, salah satu yang sangat mengerikan adalah dokumen yang merekam kasus-kasus kejahatan kemanusiaan pada era Soeharto (Orde Baru). Dokumen itu tidak terlalu tebal, tapi detail-detail di dalamnya sangat mengerikan.

Dokumen itu bukan milik saya, dan tidak beredar secara bebas. Saya mendapatkan dokumen itu dari seseorang—dari tangan ke tangan. Setelah selesai membaca, saya harus mengembalikan dokumen tersebut, karena ada orang lain yang akan membaca. Jadi, saya hanya membaca isi dokumen itu satu kali, tapi isinya terekam dalam ingatan. Saya telah membaca dokumen itu bertahun-tahun lalu—tidak lama setelah Soeharto jatuh—tapi masih bisa mengingatnya.

Seperti yang saya sebut di atas, dokumen itu berisi kasus-kasus kejahatan HAM pada era Soeharto, hingga kejatuhannya. Meliputi kasus GPK dan DOM di Aceh, kasus di Tanjung Priok, kasus kekerasan yang kemudian memecah PDI dan melahirkan PDIP, dan lain-lain menjelang masa reformasi serta jatuhnya Soeharto.

Dokumen itu disusun orang-orang yang melakukan berbagai investigasi dengan langsung turun ke lapangan, termasuk para wartawan. Mereka mengumpulkan data dan banyak fakta dari tempat-tempat peristiwa, mewawancarai para saksi dan orang-orang yang relevan, lalu menuliskannya secara runtut, detail, lengkap dengan foto-foto, bahkan bisa ditelusuri untuk dibuktikan. Dengan kata lain, dokumen itu otentik, meski para penulisnya tidak ada yang menyebutkan nama. Jadi, penyusun dokumen itu anonim.

Sebagian orang yang menyusun dokumen itu para wartawan yang bekerja langsung di lapangan. Karenanya, tulisan dalam dokumen itu pun sangat bagus, selayak reportase profesional.

Pertanyaannya, kenapa para wartawan itu tidak menyerahkan reportasenya ke surat kabar tempat mereka bekerja, agar hasil reportase itu diterbitkan surat kabar dan bisa dibaca banyak orang?

Jawaban untuk pertanyaan itu sangat rumit.

Pada masa lalu, khususnya saat Soeharto berkuasa, berbagai media massa—termasuk surat kabar—memang memberitakan banyak hal yang terjadi, termasuk kasus-kasus kekerasan semacam di Aceh, di Tanjung Priok, dan lain-lain. Tetapi, isi pemberitaan masa itu bisa dibilang “tidak jujur”, karena sumber berita yang diperoleh hanya dari pemerintah. Jadi, waktu itu, pemerintah ngomong apa, maka itulah yang muncul di media massa.

Pemerintah Soeharto sangat represif—mereka akan “menggebuk” media mana pun atau siapa pun yang mencoba main-main. Omong-omong, “gebuk” adalah istilah favorit Soeharto dalam mengancam lawan-lawan politiknya.

Sekadar ilustrasi, pada masa Orde Baru, sebuah majalah bisa menghadapi masalah hanya karena memuat kata “Seret” yang ditujukan kepada seorang pejabat (menteri). Ceritanya, waktu itu seorang menteri disinyalir bermasalah, dan sebuah majalah memuat berita berjudul “Seret Menteri Anu, bla-bla-bla...”

Cuma karena itu, si Menteri Anu mengancam akan menuntut majalah yang bikin judul tersebut. Menurutnya, seorang menteri tidak layak dilekati kata “Seret”, karena berkonotasi negatif dan kasar. Akhir cerita, majalah itu memutuskan untuk meminta maaf. Oh, mereka tentu terpaksa meminta maaf, daripada harus bermasalah dengan menteri zaman Orde Baru.

Jadi, kita bisa membayangkan berita-berita yang beredar di masa itu—khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah—hanyalah omong kosong. Koran-koran di masa itu hanya memuat hal-hal yang dikatakan pemerintah. Jadi, kalau pemerintah ngemeng apa, maka itulah yang muncul di media massa. Para wartawan tidak punya kebebasan dalam menulis berita, khususnya yang terkait dengan kebijakan pemerintah.

Yang jadi masalah, tidak semua kebijakan pemerintah di masa itu baik dan positif. Seperti pemberlakuan DOM di Aceh. Ada banyak kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh selama DOM diberlakukan di sana. Selama bertahun-tahun, masyarakat Aceh hidup dalam kondisi ketakutan, bahkan tertindas, akibat wilayah itu dijejali militer yang didatangkan ke sana.

Indonesia tahu kebijakan DOM di Aceh. Jangankan Indonesia, bahkan dunia internasional pun tahu. Karenanya, media massa di Indonesia pun meliput DOM. Tetapi, seperti yang dinyatakan tadi, berita yang terkait dengan kebijakan pemerintah (termasuk DOM di Aceh) harus sesuai konfirmasi pemerintah. Pemerintah bahkan menjadikan ocehannya sebagai sumber resmi—satu-satunya pihak yang boleh dikutip.

Jadi, itulah yang kemudian muncul di media massa waktu itu. Terkait DOM di Aceh, misalnya, rata-rata media massa Indonesia hanya memberitakannya dengan positif, bahwa kebijakan itu “baik-baik saja”. Karena memang yang dimuat hanya sisi baiknya, yang diperoleh dari ocehan pemerintah. Tapi apakah memang kebijakan pemerintah Orde Baru baik-baik saja seperti yang mereka ocehkan?

Bagaimana pun, pada masa itu, ada banyak orang—termasuk wartawan—yang diam-diam turun langsung ke lapangan untuk mengetahui fakta-fakta sebenarnya. Mereka menggali fakta, mengumpulkan data, melakukan wawancara. Dan mereka mendapati bahwa ternyata ocehan pemerintah hanyalah bualan palsu. Kenyataan yang sebenarnya terjadi jauh berbeda dengan yang mereka dengar selama ini.

Saat melakukan investigasi langsung ke lapangan, orang-orang itu mendapati betapa mengerikan yang telah terjadi. Kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di sana tidak pernah muncul di media massa, karena memang dihalangi dan ditutupi pemerintah. Saat fakta-fakta mengerikan itu terkumpul, mereka menghadapi dilema.

Di satu sisi, mereka memiliki kewajiban menyerahkan hasil investigasi kepada koran tempat mereka bekerja, agar bisa diterbitkan dan diketahui dunia. Tetapi, di sisi lain, mereka menghadapi ancaman yang mengerikan kalau sampai kenyataan mengerikan itu terungkap.

Di bawah represi Orde Baru, koran-koran bahkan tidak akan berani memuat berita berisi fakta-fakta yang telah terkumpul itu. Karena akhirnya bisa ditebak. Begitu berita itu muncul, media mereka akan mampus. Tidak menutup kemungkinan mereka juga akan ikut mampus. Jadi, umpama para wartawan menyerahkan hasil investigasinya kepada koran tempatnya bekerja, hasilnya juga percuma, karena koran mereka tidak akan berani memuat.

Tetapi kebenaran harus disampaikan, kenyataan harus dikatakan. Mereka menghadapi dilema. Mereka telah menemukan kebenaran, tapi tidak bisa mengatakannya.

Kalau saja dilema semacam itu terjadi di zaman sekarang, solusinya tentu sederhana. Unggah saja di internet, dan biarkan dunia membaca isinya.

Tapi waktu itu internet belum ada di Indonesia. Jadi belum ada blog, belum ada YouTube, belum ada sosial media, belum ada tetek bengek seperti yang kita kenal sekarang. Satu-satunya sarana untuk memuat tulisan di masa itu hanyalah kertas!

Karena kenyataan itulah, mereka lalu menuliskan reportasenya diam-diam, hingga terkumpul menjadi satu dokumen utuh. Dibutuhkan nyali luar biasa untuk melakukan hal itu. Karena, jika dokumen itu sampai bocor, nyawa taruhannya. Karena itu pula, orang (atau orang-orang) yang menyusun dokumen tidak ada yang menuliskan nama. Semuanya anonim. Tetapi, seperti yang disebut di atas, isi dokumen itu otentik.

Melalui dokumen itulah, saya tahu seperti apa sebenarnya kenyataan di Aceh, seperti apa sebenarnya kasus di Tanjung Priok, seperti apa sebenarnya kasus yang terjadi ketika Jakarta terbakar menjelang era reformasi, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, hingga rahasia-rahasia. Semuanya jauh berbeda dari yang saya baca di koran-koran. Di dokumen itu, semuanya diungkap secara jelas, gamblang, runtut, detail, dan mengerikan.

Melalui dokumen tersebut, para wartawan yang menulisnya merasa telah “menebus dosa”. Sebagai pencari kebenaran, mereka tidak bisa menyembunyikan kebenaran yang mereka temukan. Mereka memiliki kewajiban untuk mengungkapkan kebenaran itu, agar dunia tahu. Tetapi karena mereka tidak mungkin mengatakan terang-terangan, mereka pun terpaksa melakukannya secara incognito. Mereka tetap menyatakan kebenaran yang mereka tahu, tetapi mereka tidak ingin orang-orang tahu siapa mereka.

Bahkan ketika era reformasi tiba, dan media massa bisa dibilang mendapat kebebasan untuk menulis apa saja, materi-materi dalam dokumen yang pernah saya baca tidak pernah muncul di koran mana pun. Semuanya masih tersembunyi, dan hanya diketahui orang-orang yang pernah membacanya.

Bertahun-tahun kemudian, menggunakan ingatan dalam pikiran, saya mencoba searching di internet, siapa tahu tulisan-tulisan di dokumen itu sekarang telah ada di internet. Sungguh menakjubkan, semua yang ada di dokumen itu tidak ada di internet! Jadi, siapa yang mengatakan internet tahu segalanya?

....
....

Selama berabad-abad, hal-hal semacam itu sebenarnya terus terjadi. Orang-orang menemukan kebenaran, dan memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan, tetapi mereka berhadapan dengan sistem yang tidak memungkinkan mereka untuk mengatakan. Ketika itu terjadi, dilema moral pun dimulai.

Di satu sisi, mereka tahu kebenaran yang mereka temukan adalah kebenaran sejati, kenyataan yang sebenarnya, bukan kebenaran yang hanya berdasarkan satu versi. Tetapi, mereka tidak bisa mengatakan terang-terangan, karena kebenaran lain—dari satu versi—telah menjadi mayoritas, menjadi sistem, bahkan tirani.

Karena tidak mungkin melawan terang-terangan, mereka pun hanya menyampaikan kebenaran itu pada komunitasnya sendiri. Untuk menjaga kerahasiaannya, agar kehidupan mereka tidak terusik, mereka pun menggunakan aneka cara dan sarana yang tidak diketahui orang lain. Dari situlah kemudian muncul berbagai simbol, kode-kode, petunjuk-petunjuk samar, kerahasiaan, dan lain-lain, yang tujuannya hanya untuk menunjukkan sekaligus melindungi kebenaran sejati.

Karena mereka pun menyadari, manusia tak pernah bisa menghalangi matahari.

Kurang Ndusel

Saya sering stres. Kadang, saya curhat ke teman, dengan harapan mereka mendengarkan saya ngoceh, untuk meredakan kadar stres yang saya rasakan. Sialnya, kebanyakan teman biasanya menggampangkan atau menganggap sepele masalah saya. Biasanya pula, mereka ngemeng, “Ah, kamu paling kurang piknik.”

Saya kurang piknik? Mereka salah! Wong saya tidak suka piknik!

Saya sering stres bukan karena kurang piknik!

Yang benar, kurang ndusel!

Kampanye Politik

Ada yang sedang sibuk berkampanye di mana-mana, demi terpilih dalam Pilkada. Aku bersyukur menjadi bocah, tak perlu berkampanye apa pun.
—Twitter, 5 Desember 2015

Kampanye politik, dalam pikiranku, adalah hal-hal yang terdengar hebat, layak dipercaya, tapi sering kali kenyataannya tak bisa dipercaya.
—Twitter, 5 Desember 2015

Ketika mendengar politisi berkampanye sampai berapi-api demi terpilih menjadi pemimpin, aku sering membatin, “Mbuh kabeh, barang gaib.”
—Twitter, 5 Desember 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 01 Januari 2017

Receh Dalam Stoples

Hidup kadang punya selera humor yang aneh. Mendatangkan
senyum dan syukur dengan cara diawali sesal dan kehilangan.


Sudah lama sekali, saya mengumpulkan uang receh. Sebenarnya tidak sengaja mengumpulkan, karena tidak ada niat. Cuma, sejak dulu, tanpa sadar saya menyisihkan uang-uang receh dari dompet, lalu saya kumpulkan di suatu tempat tersendiri. Kadang pas belanja atau beli sesuatu, uang kembalian dalam bentuk receh. Biasanya, sesampai rumah, saya keluarkan uang-uang receh itu dari dompet.

Selama ini pula, saya rutin membeli bawang goreng untuk kebutuhan makan sehari-hari. Bawang goreng itu dikemas dalam stoples berukuran sedang. Biasanya, saat makan, saya menaburi nasi dengan bawang goreng, agar lebih sedap. Ketika kumpulan uang receh di rumah tampak makin banyak, saya terpikir menggunakan stoples bekas bawang goreng untuk mewadahi uang receh yang mblarah-mblarah (tidak terkumpul rapi).

Jadi, sejak itu, saya pun mencuci stoples-stoples bekas bawang goreng, lalu menggunakannya untuk mewadahi uang receh. Ada yang berisi receh 500-an (uang logam 500 rupiah), ada pula yang berisi receh 1.000-an (uang logam 1.000 rupiah). Saya isikan uang receh itu ke dalam stoples-stoples hingga sangat penuh, sampai stoples terasa sangat berat. Setiap kali satu stoples penuh, saya membuka stoples baru. Stoples-stoples itu saya taruh di salah satu rak buku.

Makin hari, receh-receh yang saya miliki semakin banyak, karena selalu ada uang kembalian dari belanja atau beli sesuatu. Seperti sebelumnya, receh-receh itu terus terkumpul, kali ini dalam stoples-stoples bekas bawang goreng. Semula, saya tidak sempat berpikir apa pun terkait uang receh itu. Tidak ada niat menabung, juga tidak ada rencana mengumpulkan. Selama waktu-waktu itu, saya hanya berpikir, “Daripada nyesek-nyesekin dompet!”

Hingga suatu hari, saya mendapati stoples berisi receh-receh itu berjajar sangat banyak di rak buku. Saya tertegun ketika pertama kali menyadari kenyataan itu. Lalu penasaran, kira-kira berapa jumlah semua receh yang telah terkumpul dalam semua stoples? Didorong iseng dan penasaran, saya mengeluarkan semua receh dari stoples, dan menuang semuanya ke dalam ember.

Semalam suntuk saya menghitung, satu per satu, setumpuk demi setumpuk, dan saya takjub. Receh-receh itu rupanya telah mencapai jumlah dua juta rupiah. Tepatnya, dua juta lebih tujuh ribu rupiah! Setelah selesai menghitung semuanya, saya kembalikan receh-receh itu ke dalam stoples-stoples lagi seperti semula, agar kembali rapi. Lalu kembali tertegun. Dua juta, receh semua!

Saya membuat teh hangat, menyulut rokok, lalu berpikir. Receh-receh dalam stoples itu benar-benar persoalan yang perlu saya pikirkan, meski tidak memiliki kaitan dengan nasib umat manusia.

Jadi, malam itu, sambil merasakan jari-jari yang kaku akibat capek menghitung receh, saya duduk dan merokok, memandangi deretan stoples berisi uang receh, dan berpikir. Akan dibawa ke mana receh-receh itu?

Dalam bayangan saya, jika receh-receh itu terus terkumpul, tidak menutup kemungkinan rak-rak buku akan berganti menjadi rak-rak uang receh. Jika itu terjadi, saya khawatir kelak tidak lagi membaca buku, tapi membaca receh. Jadi, saya pikir persoalan receh ini harus segera diantisipasi, agar jumlahnya tidak terus bertambah banyak. Saya harus mulai mengeluarkan receh-receh itu, bagaimana pun caranya.

Sejak itu, setiap kali keluar rumah untuk membeli sesuatu, saya selalu mempersiapkan uang receh di saku. Untuk membayar sesuatu yang nilainya paling seribu atau dua ribu, saya pakai receh. Untuk membayar parkir, saya pakai uang receh. Sejak itu pula, saya bahagia setiap kali melihat pengemis atau peminta-minta, karena menjadi kesempatan untuk memanfaatkan receh yang saya miliki. Itu, jujur saja, sejenis kegembiraan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya—segugus kebahagiaan karena menemukan kesempatan untuk memberi. Meski hanya receh.

Hari demi hari, distribusi receh dalam hidup saya mengalir deras. Kapan pun saya keluar, selalu ada uang receh di saku celana. Untuk beli sesuatu yang remeh, untuk bayar parkir, untuk memberi pengemis, dan lain-lain. Saya pikir, dengan cara itu uang receh di rumah akan segera berkurang, dan lama-lama akan habis.

Ternyata tidak. Dan itulah anehnya!

Meski saya sudah mati-matian mengeluarkan dan menggunakan receh-receh itu setiap hari, kumpulan uang receh itu tidak juga habis. Mungkin memang berkurang, tapi yang jelas tidak pernah habis. Karenanya, meski setiap hari saya mengeluarkannya, setiap hari pula saya mendapatkan receh-receh baru. Selalu ada kesempatan saya membeli sesuatu, lalu mendapat uang kembalian dalam bentuk receh. Dan begitu seterusnya.

Sampai sekitar satu tahun hal itu berlangsung. Terus dikeluarkan, tapi receh di rumah tampaknya tidak juga berkurang. Suatu waktu kadang jumlahnya mulai terkikis—satu atau dua stoples mulai kosong—lalu di waktu lain stoples-stoples kosong itu kembali penuh seperti semula. Jadi, receh-receh itu bisa dibilang tidak pernah berkurang sama sekali. Karena setiap kali dikeluarkan, setiap kali pula akan terkumpul kembali. Setiap kali dikosongkan, setiap kali pula akan terisi kembali.

Pasti menyenangkan kalau kondisi semacam itu terkait uang seratus ribuan, misalnya. Ini receh! Pasti menyenangkan kalau misalnya hari ini saya belanja dan habis sepuluh juta, lalu—sim salabim—sepuluh juta itu datang kembali tanpa saya harus bekerja. Kalau seperti itu yang terjadi, saya tidak akan pusing. Lha ini receh!

Saya frustrasi. Merasa berkejaran dengan receh.

Akhirnya, saya menemukan ide brilian. Suatu hari, saat akan pergi ke tempat kulakan untuk membeli barang-barang kebutuhan sebulan, saya menyiapkan sejumlah receh hingga senilai 100 ribu rupiah. Saya hitung receh-receh itu, dan saya masukkan ke dalam plastik. Di tempat kulakan, saya membayar dengan uang kertas, plus receh senilai 100 ribu rupiah. Saya pikir, dengan cara itu, receh di rumah akan segera habis.

Sejak itu, setiap bulan, saat akan belanja kebutuhan rutin, saya mengambil segepok uang receh hingga sebesar 100 ribu rupiah, mengantunginya dalam plastik, dan menggunakannya untuk membayar. Dari bulan ke bulan, receh-receh itu terus berkurang, dan saya merasa menang. Bagaimana pun, dalam sebulan receh yang saya dapat tidak mencapai 100 ribu. Jadi, kalau terus dikeluarkan 100 ribu per bulan, cepat atau lambat receh-receh itu akan habis.

Akhirnya, receh-receh itu memang habis. Tuntas! Dan saya merasa layak mendapat Nobel.

Stoples-stoples yang semula berjajar penuh uang receh di dalamnya, sekarang kosong. Meninggalkan pemandangan yang hampa. Saya pun menyingkirkan stoples-stoples yang sekarang tak berguna, agar rak buku kembali bersih. Misi saya dalam menghabiskan receh telah selesai.

Hingga suatu hari, dalam kondisi hidup tanpa receh, saya bermaksud keluar dari rumah untuk pergi ke suatu tempat. Baru saja membuka pintu, seorang pengemis lewat. Melihat saya nongol dari dalam rumah, pengemis itu berhenti. Dan menengadahkan tangan. Dengan pede, saya berkata kepadanya, “Tunggu sebentar, Pak.”

Saya masuk ke rumah, bermaksud mengambil receh dalam stoples. Tapi kemudian mendapati kehampaan di tempat yang semula berjajar stoples penuh receh. Saya lupa, semua receh di sana telah habis, telah hilang, dan kini saya tidak lagi memiliki persediaan uang kecil untuk dibagikan.

Dengan bingung, saya terpaksa mengambil lembaran uang dari dompet, dan memberikannya pada pengemis yang menunggu di depan rumah. Saat menyerahkan uang itu, jujur saja, saya tidak lagi merasakan kegembiraan seperti yang dulu pernah saya rasakan... ketika masih memiliki banyak receh untuk dibagikan. Saya hanya menyerahkan uang itu dengan perasaan hampa, dan menyadari ada lembaran uang dari dompet yang berkurang.

Betapa berbeda yang saya rasakan.

Dulu, saat masih memiliki banyak receh di stoples, saya bisa memberikannya dengan ringan pada peminta-minta yang menengadahkan tangan, dan saya tidak merasa kehilangan, tidak merasa berkurang apa pun, bahkan merasa gembira saat memberikan. Tetapi, kini, saat tidak lagi memiliki receh, perasaan itu tidak lagi ada. Padahal nilai yang saya berikan tak berbeda, jumlah yang saya keluarkan pun sama. Bedanya, dulu saya gembira saat memberi, namun sekarang perasaan itu tak ada lagi.

Sejak itu pula, saya kembali mengumpulkan receh dalam stoples. Kali ini, saya tidak lagi berusaha menghabiskan seperti dulu, tapi sengaja saya sediakan agar selalu punya receh. Melalui receh-receh itu, saya belajar memberi tanpa merasa kehilangan, dan menikmati kegembiraan saat bisa memberi.

Itu, saya pikir, hal terbaik yang dapat diberikan receh kepada pemiliknya. Kemampuan memberi tanpa merasa berkurang, kegembiraan memberi tanpa merasa kehilangan.

Konsep Kota Terapung

Banyak yang bilang, konsep kota terapung itu utopis dan konyol. Sebenarnya, kota terapung bisa dibuat, bahkan sudah ada di beberapa negara.

Belanda, misalnya, membangun sebuah kota (yang sepenuhnya) terapung di atas air, bernama Naarden. Letaknya tidak jauh dari Amsterdam.

Naarden, kota terapung di Belanda, dikelilingi dua parit besar dan tembok-tembok raksasa, hingga air tidak masuk ke wilayah kota/pemukiman.

Jika dilihat dari angkasa, Naarden (kota terapung di Belanda) mirip kelopak bunga teratai raksasa berwarna hijau yang terapung di atas air.

Jerman juga punya kota terapung bernama Lindau, terletak di bagian timur Danau Konstanz, dan dikelilingi danau air tawar Bodensee.

Lindau, kota terapung di Jerman, bahkan berfungsi (atau difungsikan) sebagai kota pelabuhan. Kota itu sepenuhnya berdiri di atas air.

Di Myanmar, juga ada kota terapung bernama Kay Lar Ywa. Kota itu mengapung di atas permukaan air, dan dihuni banyak sekali penduduk.

Meski Kota Kay Lar Ywa di Myanmar sepenuhnya terapung di atas air, namun para penduduk di sana bisa bercocok tanam, bertani, dan berladang.

Masih ada negara-negara lain yang juga memiliki kota-kota yang sepenuhnya terapung di atas air. Artinya, konsep kota terapung itu realistis.

Artinya pula, Indonesia juga bisa saja membangun kota yang sepenuhnya terapung di atas air. Asal ada sumber daya yang memungkinkan.

Saat ini, Cina bahkan sedang dalam proses membangun sebuah kota besar yang sepenuhnya mengapung di atas laut. Namanya Floating City.

Floating City, kota terapung di Cina, bahkan diproyeksikan menjadi kota paling ramah lingkungan di sana, lengkap dengan mobil-mobil listrik.

Proyek pembangunan Floating City di Cina diperkirakan menghabiskan biaya 20 miliar dolar, dan saat ini proyek itu masih terus berjalan.

Sebenarnya, membangun kota yang terapung di atas laut masih tergolong mudah. Ada yang jauh lebih sulit, yaitu membangun kota di bawah laut.

Jepang, saat ini, sedang membangun sebuah kota bernama Ocean Spiral. Kota itu sedang dibangun... di bawah permukaan laut!

Ocean Spiral adalah proyek konstruksi paling gila di dunia saat ini, dikerjakan oleh Shimizu Corp, dengan anggaran dana 30 miliar dolar.

Jadi, kalau sekadar membangun kota terapung di atas permukaan laut, itu mudah. Setidaknya, lebih mudah dibanding di bawah permukaan laut.

Selain di atas permukaan laut atau di bawah permukaan laut, ada pula negara yang saat ini sedang membangun kota di bawah permukaan tanah.

Kalau kita ke Meksiko sekarang, di sana sedang ada proyek pembangunan sebuah kota, bernama Earth-scraper. Itu proyek ambisius Meksiko.

Earth-scraper adalah kota yang sepenuhnya dibangun di bawah permukaan tanah. Letaknya tepat di bawah alun-alun Mexico City (ibukota Meksiko).

Earth-scraper berdiri di kedalaman 300 meter di bawah tanah, dilengkapi gedung-gedung setinggi 65 lantai yang mampu memuat ribuan orang.

Selain akan menjadi kawasan hunian, Earth-scraper (yang sepenuhnya di bawah tanah) juga akan menjadi komplek perkantoran sampai swalayan.

Jadi, sekali lagi, konsep kota terapung itu realistis, dalam arti bisa diwujudkan, bahkan sudah ada negara-negara yang telah mewujudkannya.

Terkait konsep kota terapung di Indonesia, masalah sebenarnya bukan konsepnya, tapi... apa kita punya daya dan dana yang tersedia untuk itu?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Desember 2016.

Hoax Terbesar Sepanjang 2016

Omong-omong, Uvuvwevwevwe Onyetenyevwe Ugwemubwem Ossas itu HOAX. Nama asli orang itu David Igwe. Hebatnya, hoax itu dipercaya jutaan orang.

David Igwe, alias Uvuvwevwevwe Onyetenyevwe Ugwemubwem Ossas, adalah komedian asal Kongo yang tidak terkenal (dan tidak laku).

Dia lalu bergabung dengan Ossas, sebuah grup yang mewadahi komedian pemula di Kongo, hingga muncul ide bikin video yang (diharapkan) viral.

Hasilnya adalah video wawancara konyol “Uvuvwevwevwe Onyetenyevwe Ugwemubwem Ossas” yang dipercaya sebagai fakta, padahal itu lelucon prank.

Kenyataannya, Uvuvwevwevwe Onyetenyevwe Ugwemubwem Ossas telah menjadi hoax terbesar sepanjang 2016. Lelucon fiktif yang dipercaya fakta.

Ada hal-hal yang tampak futuristik tapi sebenarnya bisa diwujudkan. Ada hal-hal yang tampak realistis, tapi sebenarnya kebohongan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Desember 2016.

Noffret’s Note: Tahun Baru

Setiap tahun baru, aku tidak pernah meniup terompet. Bukan karena apa-apa, selain karena MEMANG AKU TIDAK INGIN MELAKUKAN.

“Kenapa kamu tidak ingin meniup terompet?” | “Pertanyaan tolol. Wong pacaran saja aku tidak ingin, apalagi cuma meniup terompet?”

Terlalu banyak waktu yang dulu pernah kusia-siakan. Aku tidak akan mengulang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Desember 2016.

 
;