Minggu, 24 April 2016

Terasing Dalam Sunyi

Hanya sunyi yang tak pernah melukai.
@noffret


Di Kepulauan Andaman, tepatnya di Teluk Benggala, India, ada dua pulau yang sangat indah bernama Sentinel. Yang satu disebut Pulau Sentinel Utara, satunya lagi bernama Pulau Sentinel Selatan. Hanya Sentinel Utara yang dihuni manusia, sementara Sentinel Selatan kosong tak berpenghuni.

Sentinel Utara memiliki luas 72 kilometer persegi, kira-kira seukuran Manhattan, New York. Di pulau tersebut, ada sekelompok penghuni yang dianggap masih primitif dan misterius, tapi mereka diyakini telah menghuni Sentinel Utara sejak 60.000 tahun yang lalu. Orang-orang yang menghuni Pulau Sentinel Utara kerap disebut “Suku Senitenelese”.

Yang menarik dari Suku Senitenelese adalah sikap mereka yang benar-benar keras terhadap orang luar, menolak modernisasi, dan menjalani kehidupan yang sangat tertutup. Sejauh ini, berbagai pihak telah mencoba mendekati orang-orang di Sentinel Utara, bermaksud mengenalkan orang-orang di sana dengan peradaban manusia modern, tetapi semuanya gagal.

Ada banyak yang telah mencoba ke sana—termasuk sutradara film dokumenter, orang-orang National Geographic, para wartawan, organisasi-organisasi pencinta alam, bahkan pemerintah Inggris dan India. Tapi tidak ada yang berhasil. Siapa pun yang mencoba mendekati pulau tersebut, disambut lemparan batu dan hujan anak panah. Jangankan manusia, bahkan helikopter yang mencoba mendekati pulau itu pun diserang anak-anak panah dan batu.

Intinya, orang-orang di Sentinel Utara tidak ingin diganggu siapa pun.

Mereka menjalani kehidupan dengan cara mereka sendiri, meski mungkin dianggap primitif oleh peradaban modern. Kenyataannya, mereka tidak mengganggu siapa pun. Setiap hari, mereka mencari ikan di pantai, berburu hewan di sekitar pulau, dan membuat perhiasan dari kepingan-kepingan logam yang terdampar di pantai. Pakaian mereka juga masih primitif—hanya mengenakan dedaunan dan tempurung kelapa untuk menutupi bagian tubuh yang dianggap vital. Dalam keseharian, orang-orang di sana bahkan bicara dengan bahasa yang tidak dipahami siapa pun di dunia luar.

Di masa lalu, ketika Inggris masih menjajah India, kawasan Pulau Sentinel Utara berada di bawah kekuasaan Inggris. Pada masa lalu, pemerintah Inggris mencoba “merayu” Suku Senitenelese, dengan maksud agar orang-orang di pulau itu mau membuka diri terhadap dunia luar. 

Waktu itu, cara yang digunakan pemerintah Inggris adalah “menculik” salah satu anggota suku yang kebetulan sendirian, membawanya pergi dari sana, memperlakukannya dengan baik dan ramah, kemudian mengembalikan orang tersebut ke Sentinel Utara bersama aneka hadiah yang biasanya berupa makanan dan buah-buahan.

Pemerintah Inggris berharap, dengan cara persuasif semacam itu, Suku Senitenelese bersedia membuka diri pada dunia luar. Tapi upaya itu terus menerus gagal. Suku Sentinelese tetap tidak pernah mau menerima pendatang atau orang luar ke dalam komunitas mereka.

Ketika India menjadi negara merdeka setelah lepas dari kekuasaan Inggris, pemerintah India juga berusaha melakukan hal sama. Kali ini, pemerintah India mencoba merayu Suku Senitenelese dengan cara meletakkan aneka makanan dan buah-buahan di pesisir pantai, yang jaraknya cukup jauh dari wilayah mereka. Makanan dan aneka buah itu ditinggalkan di sana, lalu diambil orang-orang dari Suku Senitenelese.

Berkali-kali pemerintah India melakukan hal itu—meletakkan banyak makanan dan buah-buahan di pesisir pantai, meninggalkannya tergeletak di sana, lalu orang-orang Senitenelese mengambil makanan serta buah-buahan yang ditinggalkan untuk mereka. Tetapi, meski hal itu terjadi berulang kali, Suku Senitenelese tetap tidak mau menerima pemerintah India. Orang-orang yang mencoba mendekati wilayah mereka tetap dihujani batu dan anak-anak panah.

Ancaman Suku Senitenelese juga tidak sekadar gertakan. Pada pertengahan 2006, ada dua orang nelayan yang mencari ikan dengan kapal. Semula, jarak kapal nelayan masih jauh dari kawasan Sentinel Utara. Sampai kemudian, mereka nekat memasuki kawasan Sentinel Utara. Apa yang terjadi? Dua nelayan itu tewas dihujani anak panah. 

Setelah menewaskan dua nelayan dan merebut kapal mereka, Suku Senitenelese mengubur keduanya di dalam pasir. Kabar itu sampai ke telinga pemerintah India. Pemerintah mengirimkan tim untuk mengambil dua mayat nelayan tersebut dari Sentinel Utara. Tetapi, ketika helikopter berisi tim kiriman pemerintah datang, seketika anak-anak panah dan batu beterbangan ke arah mereka. Helikopter itu tidak bisa mendarat, meski hanya bertujuan untuk mengambil mayat!

Kita mungkin bertanya-tanya, kenapa Suku Senitenelese terkesan sangat menutup diri, dan antipati terjadap orang luar? Mengapa mereka bersikukuh menolak peradaban modern, dan tetap melestarikan kehidupan mereka yang primitif? 

Jawaban untuk pertanyaan itu, sebenarnya, tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan trauma masa lalu.

Para antropolog percaya, orang-orang yang tinggal di Pulau Sentinel Utara adalah anggota suku pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) yang telah tinggal di pulau tersebut selama 65 ribu tahun. Itu artinya 35 ribu tahun sebelum Zaman Es terakhir, 55 ribu tahun sebelum kepunahan mammoth berbulu di Amerika Utara, dan 62 ribu tahun sebelum bangsa Mesir Kuno membangun piramida. Suku itu dipercaya merupakan keturunan langsung manusia pertama yang keluar dari Afrika.

Selama ribuan tahun, mereka hidup damai di sana, tinggal di pulau tersebut dan menjalani kehidupan yang tenteram, hingga berketurunan. Seiring berlalunya waktu, jumlah mereka pun makin banyak, dan membentuk komunitas atau suku-suku lain, yang kemudian menempati daerah-daerah lain di wilayah Andaman. Selama waktu-waktu itu, mereka menjalani hidup dengan cara mereka sendiri, dan—bisa dibilang—mereka tidak mengalami masalah.

Sampai kemudian, peradaban semakin maju, datang era modern, masa-masa perang, ketika satu negara menyerang negara lain. Inggris menjajah India dan Burma, dan menjadikan dua wilayah itu sebagai pemukiman Eropa permanen pertama. Seiring dengan itu, pemerintah kolonial Inggris juga mendirikan koloni hukuman di Pulau Andaman. Peristiwa itu terjadi pada akhir 1700-an. Pulau Andaman dipilih sebagai tempat pembuangan para tawanan, karena pulau itu dianggap tak berpenghuni.

Yang terjadi kemudian adalah bencana.

Ketika orang-orang hukuman dibuang ke Pulau Andaman, mereka bertemu dengan suku-suku yang telah menetap dan tersebar di sana. Orang-orang pedalaman yang semula primitif, mulai berhubungan dengan orang-orang modern, dan mulai melepaskan isolasi mereka. Sekilas, itu tampak tidak bermasalah. Tapi sebenarnya menyimpan bahaya tersembunyi.

Orang-orang yang dibuang ke sana adalah orang-orang yang berasal dari dunia modern. Karena semula menjalani hidup di dunia modern, tubuh mereka pun telah kebal dengan berbagai virus ringan yang biasa ada di wilayah perkotaan, semisal flu atau semacamnya. Berbeda dengan orang-orang pedalaman yang sama sekali steril dari dunia modern. Tubuh mereka tidak memiliki kekebalan yang sama terhadap virus yang mungkin menyerang.

Ketika orang-orang modern mulai berhubungan dengan suku-suku di pedalaman, tanpa sengaja terjadi penularan virus dari tubuh orang modern ke tubuh orang pedalaman. Karena tubuh orang-orang pedalaman belum memiliki kekebalan dalam menangkal virus itu, terjadi serangan penyakit mematikan bahkan kematian massal. Dalam waktu singkat, suku-suku yang semula hidup di sana punah.

Sejak peristiwa mengerikan itu, hanya tersisa sekitar 400 orang—semuanya tinggal di Pulau Sentinel Utara. Orang-orang itu tahu apa yang terjadi pada saudara-saudara mereka yang ada di tempat lain—yang punah gara-gara berhubungan dengan orang luar—dan mereka pun menutup diri serta mengisolasi kehidupan mereka dari pengaruh dunia luar. Karena itu pula, mereka agresif menyerang siapa pun yang mencoba mendekati wilayah mereka.

Pada 2004, ketika tsunami melanda Samudera Hindia, bencana itu dianggap sebagai bencana paling mematikan sepanjang sejarah. Ada lebih dari 230.000 orang tewas di wilayah sekitar Pulau Andaman, dan waktu itu banyak orang memperkirakan Suku Senitenelese juga telah punah akibat badai tsunami yang datang. Tapi rupanya perkiraan itu keliru.

Tiga hari setelah badai tsunami mereda, helikopter Angkatan Laut India mendekati wilayah Sentinel Utara, untuk memastikan keadaan di sana. Seketika, beberapa orang Suku Senitenelese keluar dan mengancam helikopter dengan panah, sebagai tanda bahwa mereka tidak membutuhkan bantuan dari luar.

Berdasarkan pantauan, Suku Senitenelese tidak mengalami masalah apa pun akibat datangnya tsunami. Tampaknya, orang-orang itu bisa merasakan atau memprediksi datangnya gelombang, dan menghindar ke tempat yang lebih tinggi sebelum gelombang maut itu datang. Kenyataannya, saat tsunami reda, mereka tampak utuh dan baik-baik saja.

Stephen Corry, Direktur Survival International (organisasi yang melakukan advokasi hak suku-suku terasing) menyatakan bahwa Suku Senitenelese punya hak untuk menjalani dan melanjutkan hidup mereka dengan cara mereka sendiri—terasing, dalam sunyi, dan tidak mengganggu siapa pun. Kontak dengan dunia luar hanya akan menjadikan mereka rentan terhadap berbagai virus yang dibawa orang luar, yang dikhawatirkan akan membuat mereka punah seperti suku-suku lain di tempat itu.

“Satu-satunya cara mencegah terjadinya lagi kepunahan suku,” kata Stephen Corry, “adalah memastikan Pulau Sentinel Utara terlindung dari dunia luar.”

Menanggapi hal itu, pemerintah India pun akhirnya mengeluarkan peraturan baru yang isinya larangan mendekati Pulau Sentinel Utara, sebagai upaya untuk menghindari terjadinya masalah apa pun. Pemerintah India menegaskan, orang luar yang mencoba mendekati Sentinel Utara dalam jarak kurang dari tiga mil, akan ditangkap sebagai kriminal. Sejak itu pula, patroli di wilayah perairan di sana diperketat.

Pemerintah India mungkin akhirnya menyadari, bahwa jika Suku Senitenelese dapat hidup baik dengan cara mereka sendiri, dan orang-orang itu juga tidak mengganggu siapa pun, “Kenapa kita harus memaksa mereka mengikuti cara hidup kita? Kenapa tidak kita hormati saja cara mereka hidup, sebagaimana kita ingin menjalani hidup dengan cara kita sendiri?”

Hening Hati

Kalau nafsumu masih lebih besar, daripada akal sehat dan nuranimu,

Kalau hasrat dikenal orang lain masih lebih besar, daripada keinginan untuk mengenali diri sendiri,

Kalau upaya mendapatkan dunia masih lebih besar, daripada keinginan untuk memberi kepada dunia,

Kalau menjadi terkenal masih hasratmu yang paling besar, sehingga memalingkanmu dari keheningan dan kekhusyukan,

Maka tolong tutup mulutmu, dan tidak usah sok suci di hadapan orang lain. Maka jaga sikapmu, dan tidak usah sok alim di hadapan orang lain. Maka benahi saja hidupmu, dan tidak usah sok gaya membenahi hidup orang lain.

Kau bicara tentang kejahatan manusia?

Oh, well, dirimulah sebenarnya akar kejahatannya!

Enam Kotak, Depannya T Belakangnya S

Tungas

Kamis, 21 April 2016

Kisah Cinta, Suatu Siang

Menakjubkan, atau mengerikan, melihat gairah bisa berubah
menjadi amarah, dan cinta di hati berubah menjadi benci
karena sulitnya memahami.
@noffret


“Aku jatuh cinta kepadanya, dan dia pun mungkin begitu. Teman dekatnya mengatakan, dia tidak bisa jatuh cinta lagi pada lelaki lain. Tetapi, bagaimana pun, aku sudah kehilangan ketertarikan kepadanya. Bukan karena apa pun, tapi karena dia telah melukai egoku. Padahal, kalau saja peristiwa dulu itu tidak terjadi, saat ini mungkin kami sudah menikah....”

Kalimat itu diucapkan Andra, suatu siang, ketika kami sedang berhenti di perjalanan, sambil menikmati es durian.

Pukul 10:00 pagi menjelang siang, Andra dan saya pergi ke suatu tempat untuk suatu urusan. Menjelang pukul 13:00, urusan kami baru selesai, dan kami pun melaju pulang. Di tengah perjalanan, saat melihat penjual es durian di pinggir jalan, Andra menghentikan mobil, dan memesan es. Karena tempat duduk di situ penuh orang, kami pun terpaksa menikmati es durian di dalam mobil.

Penjual es durian itu berada tidak jauh dari sebuah sekolah. Siang itu bertepatan dengan anak-anak berseragam keluar dari sekolah. Tidak lama kemudian, depan gerbang sekolah mulai sepi, lalu muncul beberapa guru, pria maupun wanita. Saya dan Andra masih menikmati es durian dalam mobil, sampai kemudian Andra menunjuk seorang wanita yang sedang berjalan bersama guru-guru lain. Tampaknya, wanita yang ditunjuk Andra juga guru yang mengajar di sekolah itu.

“Aku jatuh cinta pada wanita itu,” ujar Andra sambil menatap wanita yang masih melangkah di trotoar depan sekolah. Wanita yang dibicarakan Andra pasti tidak melihat kami. Dia masih terus melangkah. Dari sekilas lihat, saya sempat menyaksikan sosok wanita itu—berwajah lembut, dengan penampilan bersahaja.

Setelah wanita itu berlalu cukup jauh, Andra menceritakan, “Empat tahun lalu, aku pertama kali melihatnya, dan langsung jatuh cinta. Semula, aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Tetapi, waktu itu, aku benar-benar percaya. Karena aku merasakannya. Saat pertama kali melihat wanita itu, aku tahu telah jatuh cinta kepadanya. Omong-omong, namanya Dian.”

Kisah Andra diawali suatu siang, empat tahun lalu, ketika dia bersama beberapa teman menghadiri acara resepsi perkawinan. Pada saat resepsi itulah, Andra pertama kali melihat Dian. Tampaknya Andra maupun Dian sama-sama orang yang dikenal oleh mempelai wanita yang menikah hari itu. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja si mempelai wanita bernama Rini.

Andra dan Rini berteman dekat. Ketika Rini menikah, Andra pun diundang resepsi perkawinan Rini, beserta teman-teman yang lain. Ketika sedang menikmati resepsi siang itu, Andra melihat Dian yang datang bersama teman-teman perempuan. Sejak pertama kali melihat Dian, ujar Andra, dia langsung jatuh cinta.

“Sebagai lelaki,” ujar Andra, “kita sering kesulitan jika ditanya perempuan seperti apa yang kita inginkan. Tetapi, sebagai lelaki pula, kita langsung tahu begitu kita menemukan perempuan yang benar-benar kita inginkan. Saat melihatnya, kita langsung tahu, dan membatin, inilah perempuan yang kuimpikan. Semacam itulah perasaanku waktu itu, saat pertama kali melihat Dian. Aku langsung jatuh cinta kepadanya, dan tahu dialah yang kuinginkan.”

Karena kesadaran itu pula, Andra memberanikan diri mendekati Dian, dengan maksud mengajaknya berkenalan. Siang itu, di acara resepsi, Andra terus memantau Dian, dan menunggu saat yang tepat untuk menemuinya. Kesempatan yang ditunggu Andra tiba, ketika Dian mendatangi tempat es krim, dan kebetulan tempat itu agak sepi. Seketika, Andra melangkah ke tempat es krim, dan mendekati Dian yang sedang sendirian. Andra menyapanya dengan sopan, dan mengajaknya berkenalan.

“Tapi dia hanya diam,” ujar Andra menceritakan peristiwa itu. “Dia hanya menatapku seolah aku makhluk aneh. Dia tidak mengatakan apa-apa. Setelah mengambil es krim, dia langsung pergi, seolah aku tidak pernah ada di sana.”

Saat acara resepsi selesai, Andra bersama teman-temannya berpamitan pada sepasang mempelai—Rini dan suaminya. Karena Andra akrab dengan Rini, mereka pun sempat bercakap-cakap sambil tertawa-tawa layaknya teman dekat. Hal itu, tampaknya, sempat dilihat oleh Dian yang masih ada di sana. Dan, mungkin, Dian lalu bertanya pada Rini mengenai Andra.

Sekitar sebulan setelah resepsi perkawinan itu, Rini menelepon Andra, dan berkata, “Ada temanku yang tanya-tanya soal kamu.”

“Temanmu siapa?” tanya Andra waktu itu.

“Namanya Dian,” jawab Rini. “Dia perempuan yang kamu ajak kenalan waktu resepsiku. Ingat? Waktu kalian ada di tempat es krim.”

“Tentu saja aku ingat,” sahut Andra. “Dan, seingatku, dia tidak menerima perkenalanku.”

“Dia tidak tahu siapa kamu, Ndra. Waktu melihatmu bercakap-cakap denganku saat kamu pamitan dulu, Dian melihat, lalu tanya-tanya soal kamu. Jadi, aku ceritakan siapa kamu. Sepertinya dia tertarik denganmu.”

“Sayang sekali ketertarikannya terlambat.”

“Bagaimana kalau aku pertemukan kalian di rumahku? Biar kita bisa bercakap-cakap asyik? Pasti menyenangkan melihat kalian—teman-temanku—bisa saling kenal.” Kemudian, sambil tertawa, Rini berujar, “Yeah, siapa tahu kalian berjodoh.”

Andra paham apa yang telah terjadi, dan dia pun memahami ke arah mana percakapan itu. Dengan nada datar, Andra berkata pada Rini, “Sori, Rin. Sekarang, rasanya aku ingin bilang persetan pada temanmu.”

Es durian yang kami nikmati siang itu telah habis, dan gelas-gelas telah kami kembalikan ke penjualnya. Saya menyulut rokok, dan Andra mengikuti. Kami masih berhenti di pinggir jalan, dengan jendela mobil agak terbuka, membiarkan asap rokok mengalir keluar.

“Kamu masih mau mendengarkan?” ujar Andra setelah mengisap rokoknya.

Saya mengangguk. “Aku senang mendengarkan.”

Dalam percakapannya dengan Rini waktu itu, Andra bisa memahami apa yang telah terjadi. Siang itu, di acara resepsi, Dian melihat Andra akrab dengan Rini, lalu mungkin tergelitik untuk menanyakan pada Rini. Lalu Rini menceritakan siapa Andra, dan... well, Dian pun seketika tertarik.

“Menilai buku dari sampulnya itu berbahaya,” ujar Andra kepada saya. “Karena kita tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya.”

Begitu pula yang mungkin terjadi pada Dian. Saat Andra mengajaknya berkenalan dengan sopan, Dian hanya menatap dingin. Lalu ketika mulai tahu siapa Andra, dia langsung tertarik. Sayangnya, itu ketertarikan yang terlambat.

Sejak itu, Andra menceritakan, Rini sering meneleponnya, dan berusaha agar Andra mau menemui Dian. Mula-mula, Rini hanya berusaha dengan persuasif, layaknya teman yang ingin mengakrabkan dua temannya yang belum saling kenal. Tetapi, lama-lama, Rini makin tampak berusaha keras untuk mendekatkan Andra dengan Dian.

Andra tak terpengaruh. Dia sama sekali tidak tertarik dengan semua yang dikatakan Rini. Andra bahkan sudah kehilangan ketertarikan pada Dian. Sampai berbulan-bulan kemudian, Rini masih berupaya, dan Andra masih tetap menolak. Rini baru berhenti berusaha, ketika Andra mengatakan, “Kamu mengenalku, Rin. Aku tidak biasa ditolak, dan aku membenci penolakan. Temanmu telah melukai egoku, dan itu kesalahan terbesar yang dilakukannya.”

Kisah itu terjadi empat tahun yang lalu. Saat ini, Rini telah punya anak berusia 2 tahun. Suatu hari, belum lama, Andra tanpa sengaja bertemu Rini di swalayan. Mereka pun bercakap-cakap, dan Rini sempat menyebut nama Dian. Sebagai sopan santun, Andra pun bertanya, bagaimana kabar Dian. Dengan blak-blakan, Rini menjawab, “Sepertinya dia ingin punya pacar yang sepertimu.”

Andra tersenyum, dan mengatakan, “Kalau begitu, dia tidak akan pernah menemukan.”

....
....

Siang itu, sambil memegangi rokok di sela-sela jari, Andra berkata dengan nada menerawang, “Kalau saja dulu Dian mau menerima uluran tanganku, saat aku mengajaknya kenalan, mungkin saat ini kami sudah menikah, atau bahkan sudah punya anak. Aku jatuh cinta kepadanya, dan tahu bahwa perempuan seperti dialah yang kuinginkan. Tapi tidak—dia menolakku waktu itu—dan itu telah melukai egoku.”

Saya hanya diam, memahami maksud Andra sepenuhnya.

Setelah rokok kami habis, Andra berkata, “Kita pulang sekarang?”

Saya menyahut, “Kita pulang sekarang.”

Kami melaju di jalan raya yang tak pernah sepi, menuju pulang. Satu-satunya tempat yang tak pernah menolak hanyalah rumah tempatmu pulang. Orang-orang yang tak biasa ditolak, orang-orang yang membenci penolakan, selalu memiliki tempat untuk pulang.

Bingung

Kadang-kadang aku bingung, apakah aku benar-benar aku.

Selasa, 19 April 2016

Agar Kita Tidak Sama-sama Gila

Jika diingat-ingat, hidupku di masa lalu jauh lebih damai
dan tenang daripada hidupku sekarang.
Aku benar-benar menyesal telah aktif di internet.
@noffret


Demi Tuhan, saya menyesal telah aktif di internet. Padahal aktivitas saya di internet cuma sebatas menulis di blog dan sesekali ngoceh di Twitter. Tetapi, sekali lagi, dua hal itu saja sudah membuat saya sangat menyesal, akibat kehidupan saya jadi sangat terganggu dan tidak nyaman.

Saya nge-blog bukan karena harapan agar terkenal. Saya nge-tweet di Twitter juga bukan berharap popularitas, atau agar dapat cewek lalu pacaran. Sialnya, kenyataan itulah yang mungkin sekarang terjadi. Dan, gara-gara ini, saya benar-benar frustrasi.

Mari kita mulai dari awal, agar inti masalah yang saya hadapi bisa lebih dipahami. Omong-omong, saya terpaksa mengungkapkan hal ini, karena kepala saya nyaris pecah! Oh, well, akan ada banyak tanda seru (!) dan huruf kapital dalam catatan ini, karena saya menulis dalam keadaan marah.

Sejak pertama kali nge-blog, saya belum pernah—dan tidak akan pernah—memasang foto diri, dalam suasana apa pun, dengan alasan apa pun. Kenyataan itu bukan tanpa alasan. Sebagian orang mungkin mengira saya tidak pede, hingga tidak pernah memasang foto. Salah!

Satu-satunya alasan kenapa saya tidak pernah memasang foto adalah... KARENA SAYA TIDAK BERHARAP ORANG TERTARIK KEPADA SAYA!

Di dunia blog (khususnya blog yang berisi catatan pribadi atau kehidupan sehari-hari), foto adalah hal penting. Salah satu faktor yang membuat orang tertarik membaca blog pribadi adalah adanya foto si pemilik blog. Tanpa foto jelas, blog pribadi sangat tidak menarik untuk dibaca apalagi diikuti!

Nah, saya sengaja “melanggar” aturan itu. Saya tidak pernah memasang foto apa pun, meski blog saya adalah blog pribadi berisi kisah sehari-hari. Kenapa? Karena saya memang berharap tidak ada yang tertarik! Kalau pun ternyata ada orang yang tertarik, saya pikir biarlah mereka tertarik pada tulisan saya, dan bukan tertarik kepada saya. Itu latar belakang penting kenapa saya tidak pernah memasang atau menggunggah foto di mana pun!

Ingat, saya tidak berharap terkenal dan tidak butuh popularitas. Jadi, orang lain mengenal saya atau tidak, sama sekali bukan urusan saya! Saya juga tidak berharap pacar atau pasangan. Jadi, orang tertarik kepada saya atau tidak, sama sekali bukan masalah bagi saya! Sekali lagi, SAYA NGE-BLOG BUKAN KARENA INGIN TERKENAL ATAU KARENA BERHARAP DAPAT PACAR!

Saya nge-blog semata-mata karena ingin menulis, menuangkan beban pikiran, menjaga kewarasan, agar saya bisa melanjutkan hidup dengan baik. Cuma itu. Perkara orang lain mau suka atau tidak, perkara orang lain mau setuju atau tidak, bahkan perkara orang lain mau membaca atau tidak, persetan! Wong umpama tidak ada satu orang pun yang membaca, saya akan tetap menulis.

Jadi, sekarang kita lihat, bahwa saya nge-blog tanpa harapan apa pun, selain menuangkan beban pikiran dan menjaga kewarasan. Sialnya, aktivitas nge-blog yang saya lakukan justru membuat pikiran saya makin terbebani, dan hidup saya jadi makin tidak nyaman.

Masalahnya sepele. Yaitu perempuan! Tetapi yang sepele itu sudah sampai pada taraf yang sangat... sangat menjengkelkan.

Seperti yang saya ceritakan di sini, ada banyak perempuan yang mengirim “surat cinta” ke saya via e-mail. Tujuan saya menulis kisah itu sebenarnya untuk memberitahu siapa pun, “Hei, tolong tidak usah repot-repot kirim begituan ke saya. Percuma, karena akan saya cueki.”

Sebagian perempuan memang benar-benar perempuan, dalam arti memiliki hati yang peka, perasaan yang lembut, dan pengertian yang layak dipuji. Begitu mereka “dicueki” satu kali, mereka pun berhenti. Itulah perempuan, sebenar-benar perempuan. Kepada sosok semacam itu, saya menaruh hormat, dan saya tetap menghargai mereka sebagaimana mestinya. Karena mereka memang perempuan yang layak dihormati, dengan sikap yang terpuji.

Tetapi, rupanya di dunia ini ada perempuan-perempuan yang mengerikan. Meski sudah dicueki berkali-kali, mereka tetaaaaaaaap saja ndableg. Oh, bukan hanya ndableg, mereka bahkan sangat pede (atau bahkan terlalu pede), dan mengira saya akan tertarik kepada mereka! Yang konyol, perempuan-perempuan “over-pede” itu tidak pernah berani menujukkan identitas. Beberapa dari mereka punya blog, tetapi tidak ada foto mereka di blog!

Lucu, eh? Tidak, itu mengerikan!

Nah, perempuan-perempuan dengan identitas tidak jelas itu terus-terusan mengirim e-mail, yang isinya mengusik ketenteraman saya. Dari rayuan-rayuan tolol sampai hal-hal tidak penting, yang intinya berharap saya tertarik pada mereka. Mungkin masih bisa ditoleransi jika hal-hal tolol itu hanya dilakukan satu dua kali. Tapi jika sudah berkali-kali, siapa yang tahan...???

Jujur saja, saya lebih mudah menghadapi sesama lelaki, daripada menghadapi perempuan. Kalau menghadapi lelaki yang mengganggu, mungkin saya bisa langsung berkata blak-blakan atau bahkan kasar, dan urusan pun selesai. Tapi perempuan...? Kalau dikasari, nanti saya dituduh berbuat kasar pada perempuan. Kalau ditanggapi baik-baik, mereka mengira saya tertarik. Sedangkan kalau dicueki, mereka tidak juga mengerti. Demi Tuhan, apa yang harus saya lakukan...???

Ada perempuan yang pernah berkirim e-mail kepada saya. Karena isi e-mail-nya baik, saya pun membalas dengan baik. Setelah itu, dia berkali-kali mengirim e-mail lagi. Karena e-mail yang masuk sangat banyak, saya pun tidak sempat membalasnya lagi. Sampai akhirnya, di e-mail kesekian kali, perempuan itu menyatakan cinta. Tidak saya tanggapi. Lalu dia terus dan terus dan terus mengirim e-mail. Isinya macam-macam. Intinya sama—rayuan-rayuan tolol.

Nah, perempuan ini rupanya suka stalking timeline saya di Twitter. Jadi, kalau saya nge-tweet sesuatu, dia berkirim e-mail ke saya, membahas tweet tersebut. Lama-lama saya sadar, dia suka stalking timeline saya. Maka saya pun mencari akun perempuan itu. Ketemu. Dia tidak mem-follow akun saya, tapi diam-diam terus stalking timeline saya. Begitu ketemu, saya langsung memblokir akun Twitter-nya.

Tentu dia menyadari saya memblokir akun Twitter-nya. Mungkin dia pun mulai sadar diri. Setelah itu, dia mengirim e-mail ke saya, dan... coba tebak apa isinya. Dalam e-mail itu, dia menyatakan kira-kira seperti ini, “Aku menyatakan cinta kepadamu, karena aku pikir kamu jatuh cinta kepadaku.”

Demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, bagaimana bisa dia berpikir saya jatuh cinta kepadanya?

Mari saya ceritakan sekilas perempuan ini. Dia punya blog, punya akun Facebook, juga punya akun Twitter. Tetapi, di semua tempat itu, tidak ada satu pun foto dirinya. Meski saya tahu dia punya blog, saya tidak pernah membaca blognya. Jangankan membaca, tertarik pun tidak! Dan perempuan ini, yang tidak jelas ini, tiba-tiba berkirim e-mail kepada saya, dengan kata-kata, “Aku menyatakan cinta kepadamu, karena aku pikir kamu jatuh cinta kepadaku.”

Lucu, eh? Tidak, itu mengerikan!

Dan perempuan semacam itu tidak hanya satu. Banyak! Sialnya, yang banyak itulah yang mengusik ketenteraman hidup saya!

Ada perempuan lain yang tak jauh beda. Semula, dia kirim e-mail. Karena isinya baik, saya pun membalasnya secara baik. Lalu dia berkirim e-mail lagi, dan lagi, dan lagi. Selalu saya cueki, tapi dia terus berkirim e-mail. Suatu hari, dia mengatakan dalam e-mail-nya, bahwa ada banyak catatan saya di blog yang ia pikir ditujukan untuknya. Oh, itu saja belum cukup. Karena dia yakin bahwa saya menulis tentang dirinya, maka dia pun menyatakan cinta kepada saya.

Ya Allah, ya Rabbiii... saya ini dosa apa, sampai harus mengalami hal-hal nista seperti ini?

Mari saya ceritakan perempuan tersebut. Dia juga punya blog, dan punya akun Twitter. Sama seperti perempuan sebelumnya, perempuan yang ini juga tidak memasang foto dirinya di mana pun. Saya tidak tahu siapa dia, selain hanya tahu bahwa dia punya blog dan akun Twitter. Bahkan, meski saya tahu dia punya blog, saya tidak pernah membaca isinya. Meski saya tahu dia punya akun Twitter, saya tidak tertarik mem-follow akun miliknya.

Intinya, Tuhan menjadi saksi, saya tidak tahu siapa perempuan ini, tidak mengenalnya, tidak tahu apa pun tentang dirinya, dan—terus terang—saya sama sekali tidak tertarik kepadanya. Wong foto saja tidak ada, bagaimana saya akan tertarik?

Dan, tiba-tiba, perempuan tidak jelas ini mengira saya telah menulis catatan-catatan yang ditujukan kepadanya. Lalu dia menyatakan cinta.

Ya, Tuhan. Saya ini salah apa?

Dan hal-hal tolol sekaligus konyol semacam itu terus menerus saya hadapi. Satu perempuan pergi, perempuan lain menggantikan, dengan hal yang sama, dengan ketololan yang sama, dengan kekonyolan yang sama. Satu perempuan dicueki, perempuan lain hadir. Satu perempuan mulai sadar, perempuan lain datang.

Padahal, sudah jutaan kali saya mengatakan terus terang, bahwa saya tidak butuh pacar, dan tidak ingin pacaran! Tidakkah itu kurang jelas? Bahkan, secara blak-blakan, saya telah menunjukkan ketidaktertarikan pada perkawinan. Tidakkah itu kurang jelas? SAYA TIDAK BERMINAT PACARAN, BAHKAN TIDAK BERMINAT MENIKAH! Apakah masih kurang jelas...???

Saya stres. Dan, terus terang, saya marah.

Kehidupan saya terganggu, ketenteraman saya terusik, kesunyian saya rusak, keheningan saya terbengkalai. Dan semua itu terjadi gara-gara blog ini!

Kadang-kadang, saat sedang frustrasi, saya sangat menyesal telah menulis di blog. Jika saya tahu akibatnya akan seperti ini, saya memilih tidak pernah menulis di internet sama sekali!

Sekarang, untuk menuntaskan kemarahan, saya akan mengatakan beberapa hal, dan sebaiknya kalian perhatikan.

Di awal catatan ini, dengan terus terang saya mengatakan, bahwa satu-satunya alasan kenapa saya tidak pernah memasang foto adalah... KARENA SAYA TIDAK BERHARAP ORANG TERTARIK KEPADA SAYA!

Jadi, saya memang tidak berharap siapa pun tertarik, apalagi sampai menyatakan cinta kepada saya! Sebaliknya, saya juga akan berpikir sama terhadap siapa pun yang tidak memasang foto dan identitas jelas. Jika saya menemui blog pribadi, atau akun Twitter, atau apa pun, yang tidak terdapat foto dan identitas jelas, maka SAYA TIDAK AKAN PERNAH TERTARIK! Begitu pun, kalau saya menerima e-mail, dan si pengirim e-mail tidak memiliki identitas jelas, SAYA JUGA TIDAK AKAN TERTARIK.

Karena saya juga memberlakukan hal itu pada diri sendiri. Saya tidak pernah memasang foto, karena saya memang tidak berharap ada orang tertarik kepada saya. Kalau kau tertarik kepada saya, itu urusanmu! Tetapi, yang jelas, saya tidak akan pernah tertarik kepada siapa pun yang foto dan identitasnya tidak jelas!

Saya merasa perlu menegaskan hal ini, agar tidak ada lagi perempuan tidak jelas yang mengira saya menulis catatan yang ditujukan kepadanya, padahal saya sama sekali tidak kenal apalagi tertarik kepadanya. Wong foto saja tidak ada, identitas tidak ada, lalu mengira saya tertarik. Bukan hanya mengira saya tertarik, mereka bahkan mengira saya telah menulis catatan yang ditujukan kepada mereka, lalu menuduh saya telah jatuh cinta kepada mereka. Itu benar-benar konyol sekaligus gila.

Agar kejadian konyol sekaligus gila seperti itu tidak terjadi lagi, tolong ingat beberapa hal ini, demi kewarasan kita bersama.

Pertama, saya tidak butuh pacar, dan tidak berniat pacaran, apalagi dengan orang tidak jelas di dunia maya. Jadi, tolong, tidak usah repot-repot berkirim e-mail jika isinya terkait hal itu. Jika masih ada e-mail yang masuk dengan isi semacam itu, terpaksa saya akan memblokir alamat e-mail-nya. Jika si pengirim e-mail punya akun Twitter, saya juga akan memblokir akun Twitter-nya. Ini terpaksa saya lakukan, karena sudah sangat bosan campur muak.

Kedua, jika saya menulis sesuatu di blog, dan di dalam tulisan itu tidak terdapat namamu, tolong tidak usah ge-er dan mengira saya menulis tentangmu. Jika saya memang ingin menulis sesuatu yang baik tentangmu, saya akan menyebut namamu dengan jelas, hingga siapa pun akan tahu. Lebih dari itu, jika saya memang tertarik kepadamu, saya akan mengatakannya langsung kepadamu.

Ketiga, ingat sekali lagi, bahwa saya tidak pernah memasang foto dan identitas apa pun, karena saya memang tidak berharap siapa pun tertarik kepada saya. Jadi, kalau kau tidak memasang foto dan identitas jelas, maka saya juga tidak akan pernah tertarik kepadamu. Kalau siapa dirimu tidak jelas, tolong tidak usah memaksa siapa pun tertarik kepadamu! Ini dunia maya, dan kita bukan tetangga!

Terakhir, saya menulis catatan ini dalam keadaan stres dan sangat marah. Jadi tolong maafkan jika ada kata-kata yang mungkin membuatmu tak berkenan.

Don’t Disturb Me!

“Aku ingin sekali bertemu denganmu.” |
Oh, well, siapa yang tidak? Yang masih jadi persoalan,
kenapa aku juga ingin bertemu denganmu?
@noffret


Saya sibuk. Sebegitu sibuk, hingga saya hanya tidur 2 sampai 4 jam setiap hari. Itu pun tidak teratur. Kadang saya tidur pagi hari, sekitar pukul 7 atau 8, lalu bangun tiga atau empat jam kemudian. Kadang saya tidur pukul 2 dini hari, lalu bangun pukul 4 atau 5 pagi. Kadang pula saya bisa tidur agak sore, pukul 23 atau jam sebelas malam, lalu bangun pada pukul 3 atau 4 dini hari.

Intinya, saya hanya tidur jika tubuh sudah sangat lelah, dan pikiran sudah tidak bisa diajak bekerja. Dalam keadaan tertentu, saya bahkan tidak tidur sama sekali sampai dua hari dua malam, atau lebih lama lagi. Kehidupan saya jauh dari kata “teratur”, dan saya menyadari gaya hidup yang saya jalani tidak bisa dibilang sehat.

Di luar tidur, saya nyaris tak pernah berhenti melakukan banyak hal, mengerjakan banyak urusan. Selama sibuk itu, saya sering lupa makan, lupa mandi, lupa banyak hal. Jika pikiran tidak terlalu kusut, saya keluar rumah sehabis maghrib untuk membeli makanan, dan itu satu-satunya waktu ketika saya keluar rumah. Kalau saja bisa, sebenarnya saya tidak ingin keluar rumah sama sekali!

Mengapa saya tidak suka keluar rumah? Karena hanya buang-buang waktu! Saat keluar rumah, saya harus melewati jalanan yang sering macet, dan saya harus menghabiskan cukup banyak waktu.

Begitu pun dengan tidur. Saya tidak terlalu suka tidur, karena tidur hanya menghabiskan waktu! Karenanya pula, saya sering menyesali diri sendiri gara-gara terlalu lama tidur—biasanya karena tubuh sangat kelelahan, sehingga tidur terlalu lelap. Intinya, kalau saja bisa, saya tidak ingin tidur sama sekali, karena cuma buang-buang waktu!

Jika untuk tidur saja saya sudah merasa membuang-buang waktu, apalagi untuk hal lain yang sama sekali tidak penting?

Ada banyak hal yang harus saya lakukan, ada banyak hal yang harus saya kerjakan, dan saya tidak sudi membuang-buang waktu untuk hal-hal tidak jelas. Dan hal-hal yang saya kerjakan sangat banyak. Sebegitu banyak, hingga saya tidak punya keinginan apa pun dalam hidup, selain hanya keinginan menyelesaikan yang sedang saya kerjakan. Dalam hal itu, saya bahkan berkejaran dengan waktu.

Sekarang, cobalah letakkan posisimu pada posisi saya. Bayangkan kau menjalani hidup yang terus berpacu, dengan segala kesibukan dan tumpukan pekerjaan yang menggunung, sampai kau tidak punya waktu untuk istirahat, sampai kau lupa makan dan lupa mandi, dan lupa hal lain. Sudah membayangkan semua itu...?

Nah, sekarang bayangkan, suatu hari ada orang tidak jelas yang mengajakmu ketemuan. Kau tidak mengenalnya, selain hanya lewat internet. Dan orang tidak jelas itu mengatakan, “Aku ingin bertemu denganmu.”

Kira-kira, dengan segala kesibukan dan pekerjaanmu yang menggunung, dengan kehidupan yang terus berpacu dengan waktu, bagaimana reaksimu saat mendengar ajakan dari orang tidak jelas semacam itu?

....
....

Saya menulis di blog bukan karena berharap terkenal, atau agar dapat pacar, atau semacamnya. Seperti yang saya katakan dengan jelas di sini, saya menulis di blog untuk menuangkan kegelisahan, untuk menjaga kewarasan. Jadi, kalau kau tertarik pada tulisan saya, cukup sukai tulisan saya, dan tidak usah tertarik kepada saya. Dengan kata lain, TOLONG JANGAN MENGGANGGU SAYA!

Karena itu pula, sebelum mencoba mengusik saya dengan ajakan pertemuan, pikirkan terlebih dulu; kenapa saya mau menemuimu? Kau tertarik kepada saya, hingga ingin ketemu, itu urusanmu. Yang masih jadi persoalan, kenapa saya juga tertarik bertemu denganmu?

....
....

Saya menyadari, catatan ini mungkin cenderung kasar, dan bisa jadi akan menyakiti perasaan orang. Tapi saya benar-benar sudah tidak tahan!

Tweet Orang Stres

Jika diingat-ingat, hidupku di masa lalu jauh lebih damai dan tenang daripada hidupku sekarang. Aku benar-benar menyesal telah aktif di internet.
—Twitter, 16 April 2016

Ada orang tidak jelas yang hobi stalking TL-ku di Twitter, lalu menganggap tweet-tweet-ku ditujukan untuknya. Lalu mengusik ketenanganku.
—Twitter, 16 April 2016

Ada pula orang tidak jelas yang selalu baca blogku, dan mengira tulisan-tulisanku sebagai pernyataan cinta kepadanya. Lalu aktif mengganggu.
—Twitter, 16 April 2016

Ada orang tak kukenal berkata, “Aku menyatakan cinta kepadamu, karena kupikir kamu mencintaiku.” Ya Tuhan, memangnya bagaimana dia berpikir?
—Twitter, 16 April 2016

Identitas tidak jelas, karya tidak jelas, foto diri tidak ada, lalu mengira aku telah jatuh cinta kepadanya? Demi Tuhan, tertarik saja tidak!
—Twitter, 16 April 2016

Aku tidak sedang mencari pacar, tidak berharap pasangan, dan tidak butuh pacaran. Apa itu masih kurang jelas? » http://bit.ly/1Rx2r7F
—Twitter, 16 April 2016

Kadang ada keparat yang ngemeng, “Ah, kamu paling GR.” Aku jadi terpikir untuk membuka semua email di inbox-ku agar dia baca semua isinya.
—Twitter, 16 April 2016

Aku selalu berusaha menghadapi siapa pun dengan sopan. Tapi kalau kau terus menerus menggangguku, aku bisa kehilangan etika dan kesopanan.
—Twitter, 16 April 2016

Aku menulis bukan agar terkenal atau agar dapat pacar. Jadi berhentilah menawariku popularitas bangsat atau pacaran keparat. Aku sudah muak!
—Twitter, 16 April 2016

Aku tidak pernah memasang foto diri di mana pun, karena memang aku tidak ingin dikenali, dan tidak ingin ada orang yang tertarik kepadaku.
—Twitter, 16 April 2016

Jadi, aku juga berpikir, kalau orang lain menyembunyikan identitas dan tak pernah memasang foto jelas, maka aku TIDAK AKAN PERNAH TERTARIK.
—Twitter, 16 April 2016

Jika karyamu tidak jelas dan identitasmu tidak jelas, itu pilihanmu. Pertahankan itu. Tapi tolong tidak usah mengira aku tertarik kepadamu.
—Twitter, 16 April 2016

Demi Tuhan, aku tidak ingin bersikap kasar kepada siapa pun. Tapi aku juga manusia biasa yang punya batas kesabaran dan batas kewarasan.
—Twitter, 16 April 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Jumat, 15 April 2016

Kesunyian Sunyi

Di dasar samudera paling dalam, atau di puncak angkasa 
paling tinggi, yang ada hanya sunyi.


Tidak ada tempat yang lebih terpencil di dunia dibanding Pantai Honopu, yang terletak di Kauai, Hawaii. Pantai itu ada, telah eksis sejak lama, terus tumbuh semakin indah, tapi tidak ada jalan menuju ke sana.

Pantai Honopu terkurung oleh tebing-tebing laut yang megah, setinggi 1.200 kaki (365 meter). Di bagian sudut tebing terdapat air terjun besar, mengalir menuruni tebing laut, melewati ceruk, hingga akhirnya ke laut. Di balik tebing tinggi itulah, Pantai Honopu berada.

Seperti yang disebut tadi, tidak ada jalan yang bisa diakses menuju Pantai Honopu. Jangankan jalan raya, bahkan jalur atau jejak hiking pun tidak ada. Artinya, tidak ada mobil, sepeda motor, atau bahkan sepeda, yang bisa digunakan ke Pantai Honopu. Bahkan umpama kita ingin jalan kaki ke sana, tetap saja tidak ada jalan darat yang bisa digunakan. Mentok-mentoknya, kita akan menabrak dinding tebing.

Mungkin, kita terpikir untuk menggunakan helikopter atau mencarter pesawat untuk sampai ke Pantai Honopu. Tetapi... di sana tidak ada landasan helikopter apalagi bandara untuk parkir pesawat! Jadi, kalau kita nekad datang ke sana menggunakan angkutan udara, maka kita harus nekad terjun dari helikoter atau pesawat untuk sampai di Pantai Honopu.

Secara garis besar, seperti inilah gambaran posisi Pantai Honopu. Pantai ini tidak terlalu luas, terdapat di salah satu pesisir Hawaii. Pada bagian pesisir itu, berdiri tebing-tebing kukuh sekaligus tinggi, mengelilingi Pantai Honopu. Karenanya, seperti yang dibilang tadi, tidak ada akses dari daratan yang sampai ke Pantai Honopu. Bahkan umpama kita nekad jalan kaki pun, langkah kita akan mentok pada tebing tinggi yang menghalangi daratan dari pantai.

Mungkin, orang yang biasa naik gunung terpikir untuk mendaki tebing, lalu masuk ke wilayah Pantai Honopu di seberang tebing. Tetapi, sampai saat ini, belum ada orang waras yang mencoba melakukannya. Tebing-tebing yang mengurung Pantai Honopu tidak hanya curam dan berbahaya, tapi mencapai tinggi 365 meter. Pendaki paling nekad pun akan pikir-pikir jika harus mendaki tebing di sana.

Jadi, sekali lagi, masuk ke Pantai Honopu melalui darat bisa dibilang tidak mungkin dilakukan. Karena itu pula, sampai saat ini, tidak ada jalan raya atau bahkan jejak hiking yang mengarah ke pantai itu.

Bagaimana kalau dari laut? Nah, ada cara untuk sampai di Pantai Honopu, yaitu melalui arah laut, dan itu satu-satunya cara. Pantai Honopu cukup dekat dengan Pantai Kalalu, yang juga ada di Hawaii. Bisa dibilang, Pantai Kalalu adalah satu-satunya “jalan tembus” menuju Pantai Honopu. Tetapi, itu pun sebenarnya tidak bisa dibilang mudah.

Jika kita ingin mendatangi Pantai Honopu melalui Pantai Kalalu, seperti inilah caranya. Mula-mula, dari pesisir Hawaii, kita naik kapal menuju Pantai Kalalu. Kapal tidak bisa lebih jauh lagi, jadi harus berhenti di Pantai Kalalu. Setelah sampai di Pantai Kalalu, kita bisa berjalan kaki di atas bebatuan dan pasir terbuka di sepanjang tebing, kemudian... berenang ke Pantai Honopu!

Terdengar mudah? Tidak! Jarak yang harus ditempuh dengan berenang mencapai 402 meter, sementara arus laut di sana sangat deras. Dibutuhkan energi luar biasa untuk mengarungi jarak 402 meter itu, untuk sampai di Pantai Honopu. Jika kita berhasil selamat menempuh perjalanan sulit itu, dan mampu terus berenang, maka sampailah kita di tempat paling terpencil di dunia, yaitu Pantai Honopu.

Walaupun letaknya sangat terpencil, juga sulit didatangi, tetapi Pantai Honopu sangat terkenal bagi para traveler, petualang, atau wisatawan. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keindahan pantai ini yang sangat menakjubkan. Meski begitu, keindahan pantai Honopu juga sulit diabadikan, karena... kebanyakan kamera rusak saat sampai di sana!

Seperti yang dibilang tadi, satu-satunya cara untuk sampai di Pantai Honopu hanyalah berenang di arus yang sangat deras, yang menuju ke sana. Saat berenang dihantam arus selama perjalanan, orang tidak terpikir untuk menyelamatkan kamera di sakunya. Biasanya, saat sampai di sana, kamera-kamera sudah tak bisa digunakan karena penuh air.

Beberapa orang beruntung, karena datang ke sana dengan kamera tahan-air. Sehingga kamera bisa digunakan meski telah terendam air cukup lama. Biasanya, para fotografer menyimpan kamera mereka di sebuah tas kedap air yang terapung, lalu berenang ke sana sambil “menyeret” tas tersebut. Dengan cara itulah, keindahan Pantai Honopu dapat diabadikan melalui foto, hingga orang-orang di seluruh dunia tahu keberadaan pantai itu.

Apa yang paling terasa saat sampai di Pantai Honopu?

Kesunyian. Kesunyian dengan K besar.

Atau Keheningan. Keheningan dengan K besar.

Pantai itu memiliki air berwarna biru jernih, dengan riak-riak kecil yang nyaris tidak menimbulkan suara. Di sekeliling pantai, berdiri tebing-tebing yang kukuh dan angkuh, tak tertembus apa pun, memisahkan pantai dengan segala hal yang ada di luar. Di antara tebing, terdapat bongkah-bongkah batu cukup luas—sebagian ditumbuhi lumut lembut yang bersih—tempat orang bisa duduk, atau bahkan berbaring. Ke mana pun mata memandang, yang tampak hanyalah air dan dinding tebing. Dan langit. Dan Sunyi.

Meski orang-orang berdatangan ke sana karena penasaran ingin melihat keindahan Pantai Honopu, kebanyakan mereka tidak ingat lagi pada hal itu. Memang, pantai itu sangat indah, dengan tanaman dan bunga yang tumbuh alami, dengan hamparan pasir yang bersih dan murni, dengan udara yang bebas polusi. Tetapi, keheningan luar biasa di sana segera menyergap siapa pun yang datang.

Saat orang sampai di Pantai Honopu, mereka seketika merasakan suasana kehidupan yang benar-benar lain, seperti bukan lagi di bumi yang bising. Tidak ada suara apa pun—tidak ada dering ponsel, tidak ada suara kendaraan, tidak ada suara televisi, tidak ada suara TOA, bahkan tidak ada suara manusia. Di tempat itu, tanpa diminta, orang berbicara dengan perlahan, berbisik, seolah tidak ingin menodai keheningan yang ada di sana.

Dan keheningan itu langsung menyergap siapa pun yang datang. Karenanya, meski di sana ada pemandangan menakjubkan, orang bahkan terlupa pada hal itu. Saat sampai di sana, mereka lebih suka menikmati keheningan dan kesunyian yang jauh lebih indah—sebentuk hening dan sunyi yang tak bisa ditemukan di tempat lain mana pun di bawah langit. Karena kenyataan itu pula, Pantai Honopu terkenal dengan sebutan Pantai Katedral.

Berbeda dengan pantai lain yang biasanya penuh orang-orang berlarian, cekakakan, atau bermain-main di pasir, atau sibuk selfie, di Pantai Honopu tidak ada semua itu.

Di Pantai Honopu memang ada hamparan pasir, yang bahkan sangat indah dan lembut. Tetapi tidak ada orang yang berminat main pasir di sana. Di Pantai Honopu juga ada spot-spot menakjubkan yang sangat cantik untuk ber-selfie. Tetapi tidak ada orang yang sibuk dengan kamera. Bahkan, di Pantai Honopu kerap ada banyak orang yang datang, tetapi nyaris tak terdengar suara manusia.

Saat sampai di Pantai Honopu, orang seperti terperangkap dalam kesunyian yang sangat indah, dan... tiba-tiba, mereka seperti dipaksa untuk mendengarkan dirinya sendiri. Karena itulah, orang-orang yang sampai di sana biasanya cuma duduk-duduk di antara bongkah tebing dengan alas lumut halus, lalu diam... menatap keheningan pantai, dan menikmati kesunyian yang menakjubkan.

Tidak ada tempat yang lebih terpencil di dunia selain Pantai Honopu. Dan dalam keterpencilan itu, sebuah keindahan menakjubkan tersembunyi... dikungkungi tebing-tebing tinggi tak tertembus, dihalangi deras arus laut. Saat orang sampai di sana, dengan perjuangan menempuh perjalanan sulit luar biasa, pemandangan indah segera menyambut... tapi orang tidak menghiraukan pemandangan itu. Keindahan Sunyi ternyata jauh lebih menakjubkan.

Orang-orang yang sampai di Pantai Honopu biasanya mulai menyadari, betapa anehnya kehidupan mereka selama ini. Kehidupan yang bising, pekak, ramai, pikuk, dan menjauhkan manusia dari keheningan. Sebegitu jauh dari keheningan, hingga orang kadang tak mampu mengenal diri sendiri. Sebegitu jauh dari kesunyian, hingga orang terus berpacu, berlari, menuju sesuatu yang tak dipahami.

Orang-orang yang sampai di Pantai Honopu biasanya mulai memahami, bahwa hanya dalam kesunyian kita bisa mulai mengenal diri sendiri. Hanya dalam keheningan kita bisa menatap kehidupan yang sejati. Karena saat tidak ada apa pun selain sunyi, manusia akan mulai mendengarkan diri sendiri. Saat tidak ada apa pun selain hening, manusia akan menyadari apa sesungguhnya yang sejati.

Dibutuhkan perjuangan dan tekad luar biasa untuk sampai di Pantai Honopu. Begitu pun, dibutuhkan kesadaran, kejernihan hati, dan kemampuan memahami, untuk sampai pada Kesunyian Sunyi.

Dunia yang Seharusnya

Dalam dunia “seharusnya”, setiap orang akan mendapatkan yang diinginkan. Tapi tampaknya dunia tidak diciptakan dengan “seharusnya”.
—Twitter, 10 Oktober 2015

“Seharusnya”, setiap orang yang ingin punya pacar mendapatkan pacar, yang tidak ingin pacaran juga dapat menjalani kehidupan dengan tenang.
—Twitter, 10 Oktober 2015

“Seharusnya”, yang mati-matian ingin terkenal mendapat ketenaran, dan yang tidak ingin terkenal juga bisa menikmati hidup dalam kesunyian.
—Twitter, 10 Oktober 2015

“Seharusnya”, yang ingin menikah segera mendapatkan pasangan, dan yang ingin melajang dapat hidup sendirian tanpa diusik gangguan.
—Twitter, 10 Oktober 2015

Dalam dunia ideal yang “seharusnya”, semua hal mungkin akan baik-baik saja. Tapi sayang kita tidak hidup di dunia “seharusnya”.
—Twitter, 10 Oktober 2015

Di dunia yang tidak “seharusnya”, yang ngebet pacaran tidak juga dapat pacar, yang tidak ingin pacaran malah digoda dan dikejar-kejar.
—Twitter, 10 Oktober 2015

Di dunia yang tidak “seharusnya”, yang ingin menikah tidak juga dapat pasangan, yang bertekad hidup melajang malah terus disodori godaan.
—Twitter, 10 Oktober 2015

Di dunia yang tidak “seharusnya”, kesempurnaan memang tidak ada di dalamnya.
—Twitter, 10 Oktober 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Keheningan adalah Rumahku

Aku orang sederhana. Bisa menikmati malam yang tenang dan hening saja, aku sudah bahagia.
—Twitter, 8 September 2015

Ada orang yang ingin menikah, karena katanya ingin asyik berebut remote tivi dengan pasangannya. Demi Tuhan, REBUTAN REMOTE TIVI...!!!
—Twitter, 16 Januari 2016

Aku tidak punya televisi di rumah. Sungguh. Sudah sepuluh tahun lebih aku tak pernah menonton televisi. Alasannya sepele; tidak punya waktu.
—Twitter, 16 Januari 2016

Cuma sedikit acara televisi yang menarikku, dan aku biasa menonton di YouTube. Aku tidak sudi buang-buang waktu untuk menonton televisi.
—Twitter, 16 Januari 2016

Setiap kali datang ke rumah ortu, aku sering sedih. Di sana selalu ada suara televisi yang bising. Jauh beda dengan rumahku yang hening.
—Twitter, 16 Januari 2016

Ibuku berkata, rumah dan keseharian terasa kurang lengkap jika tidak ada suara televisi. Mungkin ibu-ibu lain juga berpikir begitu.
—Twitter, 16 Januari 2016

Aku sering khawatir, kelak jika menikah, istriku akan memasukkan televisi ke rumah, lalu keheningan rumah hilang, berganti kebisingan.
—Twitter, 16 Januari 2016

Keheningan adalah rumahku. Mungkin sederhana, tapi bagiku serasa Surga.
—Twitter, 16 Januari 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 10 April 2016

Hati Nelangsa (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena kondisi itu pula, perlahan-lahan modal yang dimiliki Nizar makin tersedot, dan habis. Saat hal itu terjadi, Nizar bertahan hidup dengan menjual alat-alat tekstil yang dimilikinya, dan menjual apa saja yang masih memiliki nilai jual, termasuk dua motor yang dulu dimilikinya. Ia menceritakan, bungkusan yang tadi dibawanya ke Pasar Senggol adalah salah satu alat tenun miliknya, yang sekarang sudah tak terpakai. “Lumayan, bisa buat makan,” ujarnya.

Saya mengenal Nizar sebagai pribadi ulet yang tidak suka merepotkan orang lain. Selama menjadi temannya, saya juga tahu dia orang baik dan bisa dipercaya. Saya menyayangkan kehancuran usaha yang dulu dimilikinya, dan mencoba membesarkan hatinya agar tidak putus asa. Sejujurnya, saya tidak tahu kondisinya sekarang. Dalam beberapa kali pertemuan, Nizar tidak pernah menceritakan hal itu. Karenanya, semula saya pikir dia masih lancar menjalankan usaha tekstilnya.

“Kenapa kamu tidak cerita dari dulu?” saya bertanya.

Dia mencoba tersenyum. “Orang senang mendengar kabar baik, tapi belum tentu senang mendengar kabar buruk. Beberapa orang, bahkan, tidak peduli dengan masalah kita. Jadi, aku pun tidak merasa perlu menjelaskan keadaanku pada siapa pun.”

Saya mengangguk, memahami sepenuhnya. Hanya sedikit orang yang peduli—benar-benar peduli—dengan orang lain. Kebanyakan orang bahkan lebih peduli denganmu saat kau sukses, dan tiba-tiba menghilang atau berpaling saat kau hancur. Itu pula yang kemudian diceritakan Nizar siang itu.

“Aku pernah jalan kaki ke Pasar Senggol seperti tadi, untuk menjual sesuatu,” Nizar menceritakan. “Waktu itu, ada temanku yang kebetulan melihat. Tapi dia tidak menegur atau menyapa. Sebaliknya, dia malah diam-diam membuntutiku dari belakang dengan motornya. Aku tahu hal itu, ketika dia sendiri menceritakan ulahnya. Suatu waktu, saat kami kebetulan bertemu, dia bercerita bahwa dia pernah melihatku jalan kaki membawa sesuatu, dan dia diam-diam mengikutiku dari belakang, hingga sampai di Pasar Senggol.”

Nizar terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, “Sejujurnya, aku heran mengetahui hal itu. Teman yang kuceritakan ini bukan sekadar kenal. Dia orang yang kuanggap teman dekat. Bahkan, keakrabanku dengannya lebih dekat daripada keakrabanku denganmu. Tapi ketika mengetahui aku hancur, dia mulai jaga jarak. Bahkan saat melihatku jalan kaki menuju Pasar Senggol, dia tidak menyapa atau menegur, atau bertanya, tapi malah diam-diam mengikutiku dari belakang.”

“Kamu akan tahu siapa temanmu, saat kamu hancur,” ujar Nizar dengan pahit. “Seperti teman yang kuceritakan barusan. Dulu, saat aku masih sukses, dia temanku yang paling dekat. Tanpa bermaksud mengungkit kebaikan, dulu aku banyak membantunya. Bahkan, setiap kali kami ke luar, jalan-jalan atau pergi ke mana pun, aku yang selalu mengeluarkan uang. Kupikir, dia temanku yang terbaik dan terdekat. Tapi dia lalu menjauh, saat usahaku mulai hancur dan aku tidak punya apa-apa.”

“Tapi aku tidak menyalahkannya,” ujar Nizar melanjutkan. “Karena teman-temanku yang lain juga begitu. Masing-masing mereka mulai menunjukkan aslinya ketika aku mulai hancur, dan aku kehilangan mereka satu per satu. Tetapi, sekali lagi, aku tidak menyalahkan mereka. Karena jangankan sekadar teman, bahkan orangtua dan para familiku pun berubah sikap terhadapku.”

Saya masih mendengarkan.

“Dulu,” ujar Nizar, “saat aku masih sukses, sikap para familiku sangat manis. Mereka berupaya mendekatiku. Sekarang, setelah aku tidak punya apa-apa, sikap mereka berubah. Jangankan mendekati, bahkan ketika aku datang pun sikap mereka tidak sebaik dulu. Tetapi, sekali lagi, aku tidak menyalahkan mereka. Karena jangankan famili, bahkan orangtuaku pun berubah sikap.”

Nizar anak sulung dari empat bersaudara. Ayah Nizar telah meninggal, tapi dia masih punya ibu. Nizar menceritakan, dulu sikap ibunya sangat baik kepadanya, jauh lebih baik dibanding kepada adik-adiknya. Dulu, saat masih sukses, Nizar rutin menyantuni ibu dan adik-adiknya. Setiap kali dia datang ke rumah orangtua, ibunya selalu menyambut hangat. Tapi semua berubah saat usahanya hancur, dan dia mulai tak punya apa-apa.

“Karena itu pula,” ujar Nizar dengan nelangsa, “aku segan setiap kali mau datang ke rumah orangtua. Niatku tulus mau mengunjungi, tapi sikap yang kudapati tidak mengenakkan. Jadi, seperti yang kubilang tadi, aku tidak heran pada sikap teman-teman atau para familiku yang berubah, karena bahkan ibuku sendiri pun berubah sikap, hanya karena aku sudah tak punya apa-apa.”

Saya mencoba membesarkan hatinya, “Setidaknya, kamu masih punya rumah untuk berteduh.”

“Ya.” Dia mengangguk. “Sebenarnya, dulu aku sempat berniat menjual rumah ini untuk modal usaha lain. Tapi setelah mendapati sikap orangtuaku yang tidak sebaik dulu, aku tidak jadi menjual rumah ini. Kalau rumah ini kujual, dan aku kembali hidup di rumah orangtua, aku pasti akan sering mengalami tekanan batin.”

Kemudian, dengan serbasalah, Nizar berujar, “Sori, seharusnya aku tidak mengatakan semua ini kepadamu. Kita baru saja ketemu, dan aku membebanimu dengan semua cerita ini.”

“Tidak apa-apa,” saya menyahut. “Aku senang mendengarkan.”

“Dan aku sangat berterima kasih, karena kamu mau mendengarkan.”

Lalu kami mengobrolkan hal-hal lain. Tentang beberapa teman yang sama-sama kami kenal, dan lain-lain. Di tengah percakapan, Nizar berujar, “Eh, baru ingat, kadang-kadang aku membaca blogmu. Aku suka tulisanmu yang selalu jujur dan apa adanya.”

Saya tersenyum. “Semoga kamu terhibur.”

Dia ikut tersenyum. “Kamu juga akan menulis pertemuan ini di blogmu?”

“Kalau kamu mengizinkan.”

“Ya. Tentu aku mengizinkan. Pasti menyenangkan membacanya di blogmu.”

Siang itu, saat saya akan pulang, Nizar berkata, “Kapan-kapan, kalau kamu pas ada waktu, main-mainlah ke sini. Aku akan senang, karena merasa masih memiliki teman.”

Saya mengangguk. “Aku pasti datang.”

Hati Nelangsa (1)

Roda kehidupan terus berputar. Memang.
Tapi kadang ada paku di jalan, dan ban bocor,
lalu roda berhenti berputar. Begitu pun kehidupan.
@noffret


Karena pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi terus menerus, saya sering stres. Stres yang ringan bisa diatasi dengan mudah, semisal menonton film yang bagus, sehingga bisa sejenak melenakan pikiran yang kusut untuk segar kembali. Atau membaca novel yang asyik, sehingga pikiran tersedot ke dalam kisah yang dibaca. Tetapi, stres yang berat sering kali tak bisa diatasi dengan cara semacam itu.

Ketika stres berat, saya membutuhkan hiburan yang lebih dramatis—tidak bisa sekadar duduk menonton film atau membaca novel. Saat stres berat, saya biasa mengobati dengan cara memacu motor gila-gilaan di jalanan. Meski relatif berbahaya, cuma itu satu-satunya cara mengatasi stres berat yang kadang datang. Saat memacu kecepatan di jalan raya, dan mendengarkan suara motor meraung, pikiran saya merasa bebas. Di saat-saat seperti itu, saya benar-benar lupa pada stres yang saya rasakan.

Seperti kemarin siang. Kepala rasanya panas mau meledak. Sejak beberapa hari sebelumnya, saya terus suntuk mengerjakan sesuatu, dan batas kewarasan saya hampir mencapai limit. Sampai akhirnya, ketika merasa tak bisa berpikir jernih lagi, saya pun menyadari harus berhenti. Saya membutuhkan hiburan. Agar pikiran kembali segar.

Waktu itu pukul 11:00 siang, dan cuaca cukup adem. Saya mengeluarkan motor kesayangan, memeriksa dan memastikan semua bagian motor dalam keadaan beres, lalu memacunya ke jalan raya. Di daerah Pantura, aspal jalan raya benar-benar mulus, dan satu arah—tempat yang “ideal” untuk melepaskan ketegangan. Jadi, siang itu, saya melayang dengan kecepatan tinggi, menikmati raungan motor yang membuat pikiran kembali fresh.

Sekitar dua jam saya menikmati “hiburan” itu, dan merasakan pikiran kembali segar. Diam-diam, saya merasakan perut mulai lapar. Diam-diam pula, saya membayangkan mie ayam di tempat langganan. Jadi, saya pun memutuskan untuk menuju warung mie ayam, lalu mengisi perut di sana. Dengan semangkuk mie ayam lezat, segelas teh hangat, dan diakhiri dengan mengisap rokok. Oh, well, stres yang tadi saya rasakan sepertinya sudah hilang.

Saat perjalanan pulang, saya mengendarai motor perlahan-lahan, sambil menghabiskan sisa rokok. Pada waktu itulah, saya melihat seseorang yang saya kenal sedang berjalan sendirian di pinggir jalan, sambil membawa bungkusan cukup besar di tangan. Meski melihatnya dari belakang, saya tahu itu Nizar (bukan nama sebenarnya). Kenapa dia jalan kaki, pikir saya.

Saat jarak kami telah dekat, saya pun menyapa, “Hei, Nizar. Mau ke mana?”

Dia agak kaget melihat saya tiba-tiba muncul di sampingnya. Tapi segera menjawab, “Ke Pasar Senggol.”

Pasar Senggol yang dia maksud adalah tempat jual beli barang bekas dan rongsokan. Saya tidak tahu apa tujuan Nizar ke Pasar Senggol, tapi saya tahu jarak pasar itu dari tempat kami masih lumayan jauh. Jadi, saya pun menawari, “Mari kuantar.”

“Tidak usah,” sahutnya. “Nanti merepotkan.”

“Tidak. Aku tidak sedang buru-buru.”

Akhirnya, Nizar bersedia saya antar. Karena dia tidak pakai helm, kami pun melewati jalan-jalan di perkampungan untuk sampai di Pasar Senggol. Sesampai di sana, saya menghentikan motor di tempat parkir. Agar dia merasa nyaman, saya pun berkata, “Aku tunggu di sini.”

Nizar pergi membawa bungkusan di tangannya. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia sudah kembali, dan bungkusan yang tadi sudah tidak ada. Berarti dia menjual sesuatu, pikir saya.

“Mau pulang?” saya menawari. “Atau masih perlu ke tempat lain?”

“Aku mau makan dulu,” sahutnya.

“Sayang sekali aku barusan makan. Biar kutemani saja.”

Kami masuk warung makan sederhana di tempat itu. Dia makan dengan lahap, dan saya menemaninya sambil merokok. Setelah makan, saya mengantarkannya pulang.

Saat sampai di rumahnya, Nizar menawari saya masuk. Lalu kami mengobrol di ruang tamu.

Nizar adalah teman sejak remaja. Dulu kami sering bermain bersama, saling mengunjungi saat kami masih tinggal bersama orangtua. Ketika saya mulai kuliah dan hidup di rumah sendiri, kami mulai jarang bertemu. Waktu itu kami sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Nizar merintis usaha tekstil ATBM (asli tenun bukan mesin), dan usahanya perlahan-lahan berkembang. Meski begitu, kami tetap berteman, saling menghubungi, dan sesekali bertemu untuk mengobrol.

Ketika tekstil ATBM mengalami booming pada awal 2000-an, usaha Nizar pun berkembang pesat. Meski usaha yang dimilikinya tidak terlalu besar, tapi dia sudah dianggap sukses oleh banyak orang. Dari usaha tersebut, Nizar bahkan bisa membeli rumah sederhana yang kemudian ia tinggali sendirian. Rumah yang siang itu saya masuki adalah miliknya, yang ia beli bertahun-tahun lalu, saat usahanya masih lancar.

Di ruang tamu rumahnya, siang itu, Nizar menceritakan kehidupannya akhir-akhir ini. “Mengherankan, kalau dipikir-pikir,” ujarnya, “hidup bisa membawamu ke atas, lalu menerjunkanmu ke bawah.”

Nizar bercerita, usaha yang dijalankannya mulai runtuh ketika tekstil ATBM mengalami kehancuran pasar pada akhir 2000-an. Karena waktu itu usaha tekstil tumbuh di mana-mana, persaingan pasar pun makin ketat, sementara ceruk yang diisi semakin sempit akibat mulai pudarnya tren. Banyak pengusaha yang terpaksa menurunkan harga demi bisa laku, dan persaingan yang sengit itu menjadi awal hancurnya usaha kecil di mana-mana. Termasuk usaha milik Nizar.

Akhirnya, produksi tekstil Nizar benar-benar berhenti, sama seperti yang dialami pengusaha kecil lain yang juga gulung tikar. “Aku mencoba beberapa usaha lain,” ujar Nizar, “tapi sulit sekali untuk berkembang seperti dulu.”

Lanjut ke sini: Hati Nelangsa (2)

Masyarakat Asu

Yang belum kawin, terus menerus ditanya kapan kawin.

Yang sudah kawin, terus menerus ditanya kapan punya anak.

Yang sudah punya anak, terus menerus ditanya kapan nambah anak.

Giliran anak-anak tampak keblangsak, orangtuanya dinyinyiri.

....
....

Dasar masyarakat asu!

Apa saja digonggong, siapa saja digonggongi.

....
....

Asu!

Wacana

Hidup ini penuh wacana.

Dan wacana tak pernah hidup.

Selasa, 05 April 2016

Kenikmatan yang Berbahaya

Entah bagaimana kalimat awalnya, aku lupa, 
tapi inilah kalimat akhirnya, “Dan kerusakan telah terjadi.”
@noffret


Pernah dengar nama Sons of Maxwell? Sebagian kita mungkin pernah mendengar nama itu, akibat kasus menggemparkan yang bermula di YouTube. Bagi yang mungkin belum tahu, izinkan saya memperkenalkan, sekaligus mengisahkan kasus “menakjubkan” yang pernah mengguncang dunia nyata dan dunia maya.

Sons of Maxwell adalah group musik Kanada. Mereka mirip group musik Air Supply. Jika Air Supply beranggotakan Russell Hitchcock dan Graham Russell, Sons of Maxwell beranggotakan kakak beradik Don Carroll dan Dave Carroll. Jika Air Supply terkenal di seluruh dunia, Sons of Maxwell bisa dibilang “bukan siapa-siapa”. Meski begitu, mereka telah menelurkan beberapa album, serta sering konser di negara-negara bagian AS.

Pada 31 Maret 2008, Sons of Maxwell diundang konser di Nebraska. Karena bukan group musik besar, mereka tidak mampu mencarter pesawat sendiri. Untuk memenuhi undangan konser itu, Don Carroll dan Dave Carroll—beserta anggota band mereka—terbang menggunakan pesawat United Airlines. Rencananya, pesawat penumpang itu akan membawa mereka ke Nebraska, setelah transit di Chicago.

Dalam perjalanan itu, Dave Carroll beserta teman-temannya membawa instrumen musik mereka—layaknya musisi atau anak band yang akan manggung. Karena
menumpang pesawat biasa, mereka pun menghadapi masalah klasik anak band, yaitu peralatan mereka tidak muat saat akan disimpan di rak di atas tempat duduk. Pramugara menyarankan agar mereka memasukkan peralatan musik di bagasi pesawat. Dengan berat hati, Dave Carroll merelakan gitarnya dimasukkan ke bagasi, bersama barang-barang lain.

Lalu mereka terbang menuju Nebraska.

Saat pesawat transit di bandara O’Hare, Chicago, Dave Carroll mendengar seorang wanita berseru, “Hei, lihat, mereka lempar-lemparan gitar di sana!”

Dave Carroll menengok ke arah yang ditunjuk, dan melihat gitar miliknya sedang dioper-oper di udara oleh beberapa pekerja maskapai. Tampaknya, para pekerja itu baru mengeluarkan barang-barang penumpang dari bagasi, dan menemukan gitar Dave Carroll, lalu tergoda untuk menggunakannya bermain-main.

Melihat hal itu, Dave Carroll menemui pramugara, dan meminta agar menghentikan aksi para pekerja maskapai yang sedang bermain-main gitar miliknya. Tetapi, pramugara menjawab itu bukan wewenangnya. Dave Carroll pun turun dari pesawat, dan menemui petugas di bandara, mengadukan hal yang sama. Tetapi, para petugas yang ia temui menjawab itu di luar wewenang mereka. Dave Carroll merasa dioper ke sana kemari.

Setelah transit di bandara O’Hare, Chicago, pesawat kembali terbang, hingga mendarat di Omaha, Nebraska. Buru-buru, Dave Carroll menuju tempat klaim bagasi, dan membuka kotak gitarnya. Seperti yang ia khawatirkan, gitar itu rusak. Sialnya, di bandara Omaha, dia tidak menemukan satu pun pegawai United Airlines.

Singkat cerita, selama berbulan-bulan kemudian, Dave Carroll mencoba menghubungi maskapai United Airlines, dan berharap mereka memberi ganti rugi akibat kerusakan gitarnya. Tapi permintaan Dave Carroll ditolak. Jangankan menerima negosiasi, pihak United Airlines bahkan mengoper Dave Carroll ke sana kemari, dan memberi serentetan dalih yang seolah justru menyalahkan Dave Carroll.

Padahal, permintaan Dave Carroll sederhana. United Airlines cukup memberi ganti rugi sekadarnya, agar dia bisa memperbaiki gitar yang rusak. Bagi perusahaan sebesar United Airlines, permintaan itu seharusnya sangat sepele, bahkan remeh-temeh. Tapi tidak. Mungkin karena merasa besar, United Airlines justru berlaku seenaknya. Dan, oh well, itulah kesalahan terbesar mereka!

Menyadari itikad baiknya tidak diterima oleh United Airlines, Dave Carroll pun membalas perlakuan maskapai itu dengan caranya sendiri. Dia membuat sebuah lagu berjudul “United Breaks Guitars”, dilengkapi video klip pendek, lalu mengunggahnya ke YouTube. Lagu itu berisi kemurkaannya akibat gitar yang rusak, dan betapa United Airlines tidak punya itikad baik menyelesaikan masalah. Peristiwa itu terjadi pada Juli 2009.

Hanya dalam waktu 50 jam sejak diunggah di YouTube, video itu telah mendapatkan 500 komentar—kebanyakan dari orang-orang yang juga memiliki pengalaman serupa dengan United Airlines. Memasuki hari keempat, video itu telah ditonton 1,3 juta orang. Dalam sepuluh hari, video itu telah ditonton tiga juta kali, dan mendapatkan lebih dari empat belas ribu komentar. Pada Desember 2009, majalah TIME memasukkan “United Breaks Guitars” dalam daftar Top 10 Viral Videos of 2009.

Apa yang terjadi kemudian? Oh, well, yang terjadi kemudian sangat mengerikan.

Empat hari sejak video “United Breaks Guitars” diunggah di YouTube, saham United Airlines merosot hingga 10 persen, senilai 180 juta dollar! Seiring video itu makin viral, nilai saham United Airlines makin babak belur.

Mengatasi kehancuran yang terjadi, United Airlines mencoba menarik simpati dengan cara menyumbang The Thelonious Monk Institute of Jazz senilai 3.000 dollar. Tetapi, seperti yang dikatakan pengamat pasar saham, “Kerusakan telah terjadi.”

Banyak pengamat menyatakan, United Airlines akan terkena dampak permanen akibat kejadian itu. Hanya karena meremehkan seseorang, sebuah perusahaan besar harus menghadapi kerugian ratusan juta dollar! Padahal, kalau saja mereka menerima itikad baik Dave Carroll, mereka akan selamat. Dave Carroll tidak menuntut macam-macam, hanya sedikit ganti rugi akibat kerusakan gitar, yang nilainya sangat kecil. Tapi tidak—mereka menantang. Sayangnya, kali ini, mereka menantang orang yang salah!

Orang-orang yang merasa besar, perusahaan-perusahaan yang merasa besar, kadang sewenang-wenang karena merasa besar. Kebesaran mereka menghalangi diri sendiri dari kebesaran abadi, yakni kerendahan hati.

Yang paling tinggi di muka bumi adalah kerendahan hati. Kita tidak bisa lebih tinggi dari itu. Karena setiap kali kita merendahkan diri, orang lain akan meninggikan. Dan yang paling rendah di bawah langit adalah dia yang merasa tinggi. Karena begitu seseorang meninggikan diri, orang lain akan merendahkan.

Merasa besar kemudian bersikap arogan tidak hanya konyol, tapi juga berbahaya. Karena kita tidak pernah tahu siapa yang bermasalah dengan kita. Seperti United Airlines. Mereka mungkin merasa besar, dan menilai Dave Carroll cuma bocah yang bukan siapa-siapa. Ketika Dave Carroll mencoba berbicara baik-baik, United Airlines tidak menggubris. Karena merasa besar. Karena menganggap Dave Carroll bukan siapa-siapa.

Tapi yang “bukan siapa-siapa” itu kemudian tidak hanya mampu mempermalukan United Airlines yang raksasa, tapi juga menghancurkannya dengan kerugian ratusan juta dollar. Butuh waktu bertahun-tahun bagi United Airlines untuk mengembalikan posisi perusahaan mereka di pasar saham. Lebih lagi, butuh waktu bertahun-tahun bagi mereka untuk mengembalikan kepercayaan pelanggan yang telanjur rusak.

Jauh bertahun-tahun sebelum kisah itu terjadi, dunia mengenal Kodak, kamera yang terkenal hebat. Di masa lalu, nyaris semua fotografer menyandang Kodak sebagai kamera andalan. Kodak menyadari posisi mereka yang sangat kuat, yang mendominasi pasar kamera dunia. Di masa itu, sekitar 80-90 persen urusan film dan kamera yang digunakan di dunia adalah produk Kodak. Kenyataan itu rupanya menjadikan mereka angkuh, bahkan arogan.

Keangkuhan Kodak sebenarnya cukup logis, toh nyatanya mereka memang hebat. Perusahaan kamera Konica dan Fuji Film dari Jepang selama bertahun-tahun berusaha menggempur untuk mengalahkan Kodak, tapi Konica dan Fuji Film tak pernah berhasil.

Bahkan ketika Neil Armstrong keluyuran ke Bulan, dia pun dibekali kamera Kodak oleh NASA, agar bisa mengabadikan peristiwa selama di Bulan. Foto-foto hasil nyangkruk Neil Armstrong dan Edwin Aldrin di Bulan, yang beredar dan terkenal di seluruh dunia, adalah hasil produk Kodak. Jadi, kita lihat, Kodak memang benar-benar hebat.

Sampai kemudian, kamera digital lahir ke dunia. Terjadilah peralihan dari kamera seluloid (film) ke kamera silikon (digital).

Ketika kamera digital lahir, dan orang-orang mulai menggunakan, Kodak mencemooh hal itu dengan percaya diri. Dengan angkuh, mereka menyatakan, “Kamera digital cuma tren sesaat. Orang-orang akan tetap menggunakan Kodak sebagai kamera andalan.”

Apakah benar begitu? Kita tahu jawabannya. Setelah 132 tahun berjaya sebagai perusahaan besar dan sulit dikalahkan, Kodak akhirnya hancur digilas modernisasi, dan riwayat mereka tamat digantikan kamera digital yang lebih canggih. Kehancuran Kodak adalah potret nyata betapa keangkuhan bisa menghancurkan raksasa sebesar apa pun.

Hal serupa terjadi pada Nokia, perusahaan raksasa yang pernah mendominasi pasar ponsel dunia. Kehancuran Nokia beriringan dengan populernya Android, pada pertengahan 2000-an. Pada masa itu, Nokia menggunakan platform Symbian. Ponsel dengan platform itu digunakan bahkan disukai jutaan pengguna ponsel. Ketika Android lahir, Nokia meremehkan. Dengan pongah, mereka menyatakan, “Android hanyalah semut kecil. Mungkin menggigit dan meninggalkan gatal, tapi cuma itu.”

Apakah benar begitu? Sekali lagi, kita tahu jawabannya. Setelah 14 tahun menjadi penguasa ponsel dunia, Nokia yang raksasa itu kolaps, dan kehancurannya benar-benar mencengangkan dunia. Platform Symbian yang semula diagung-agungkan berubah tampak kuno, dan orang-orang lebih menyukai Android. Terbukti, kini platform Android digunakan oleh hampir semua ponsel yang ada di dunia. Sementara Nokia—yang semula dipuja jutaan orang—kini mengabur bersama debu-debu sejarah.

Keangkuhan, kesombongan, arogansi, merasa besar, mungkin terasa nikmat, setidaknya bagi sebagian orang. Tetapi, sayangnya, itu kenikmatan yang berbahaya.

Kamu Siapa?

Ooooh, kamu bangsat sombong yang dulu congkak itu, kan? Ya, ya, aku ingat sekarang. Kamu tampak berubah, huh? Tampak menyedihkan.

Well, kenapa kamu tidak sombong dan congkak seperti dulu saja? Karena, aku lebih mudah mengingatmu sebagai bangsat sombong yang congkak!

Rumus Pikiran

Kebenaran bukan garis finish tempat kita berhenti,
tapi lorong panjang yang mengundang perjalanan.


Mendasarkan keyakinan pada premis yang keliru akan melahirkan kesimpulan yang keliru. Begitulah kebodohan dan keras kepala dilahirkan.

Bagaimana kita tahu premis yang kita gunakan benar atau keliru?

Kita tidak tahu, tak pernah tahu, dan karena itulah kita belajar. Dalam proses belajar, setiap orang bisa menemukan kebenaran, namun kadang juga tersandung kesalahan. Kesadaran itulah yang menjadikan pembelajar mau merendahkan hatinya pada kebenaran, dan bukan menganggap diri sang kebenaran.

Orang yang tidak belajar menunjukkan sikap sebaliknya. Mereka menganggap segala hal sudah selesai, dan tinggal mengklaim diri sebagai sang pemilik kebenaran. Karena menganggap diri pemilik kebenaran tunggal, orang semacam itu pun cenderung keras kepala dan mudah menyalahkan. Bagi mereka, yang berbeda dengan dirinya pasti salah. Mereka adalah pemilik kebenaran. Benar, kebenaran yang daif dan dangkal.

Aturannya sederhana. Mendasarkan keyakinan pada premis yang keliru akan melahirkan kesimpulan yang keliru. Begitulah kebodohan dan keras kepala dilahirkan. Sayangnya, para pemilik kebodohan memiliki sifat yang khas—keras kepala, dan pemeluk kesombongan. Naif dan dangkal, tapi merasa paling benar.

Jumat, 01 April 2016

Keajaiban di Bawah Langit (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Saya pernah berkunjung ke rumah famili di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pagi hari, saya duduk-duduk di depan rumah famili, sambil membaca buku berbahasa Inggris yang kebetulan saya temukan di meja teras. Lalu muncul seorang wanita menggendong anaknya yang masih kecil, lewat di depan saya. Ketika melihat wanita bersama anaknya itu, sepupu saya keluar dari rumah, dan memanggil si anak.

“Hei, Henri.”

Bocah yang dipanggil Henri menengok, dan tampak sumringah. Wanita itu pun melepaskan anak lelakinya, yang langsung mendekati sepupu saya. Anak lelaki itu mungkin berusia 4 atau 5 tahun, tampak lucu dan sehat, dan sepertinya telah akrab dengan sepupu saya.

Lalu Henri didudukkan di kursi teras. Sepupu saya berkata, “Bocah ini genius. IQ-nya sangat tinggi.” Lalu dia mengambil buku berbahasa Inggris yang tadi saya baca, dan memberikannya pada Henri. “Baca ini, Henri.”

Henri membaca tulisan di buku yang dipegangi sepupu saya, dan dia membacanya dengan lancar, fasih, bahkan sangat cepat! Mau tak mau saya takjub. Bocah berusia 4 atau 5 tahun bisa membaca buku berbahasa Inggris dengan sangat lancar, cepat, bahkan dengan tingkat kefasihan yang mungkin mengungguli bocah-bocah SMP umumnya.

Perlu saya jelaskan di sini, Henri bukan anak bule! Orangtuanya sama-sama Jawa tulen. Dia anak dari pasangan orangtua asal Tegal, yang mengontrak sebuah rumah di daerah Kebon Jeruk. Sekadar catatan, bahkan orangtua Henry tidak bisa berbahasa Inggris!

Ayah Henri bekerja sebagai tukang batu (buruh bangunan) di Jakarta. Seharusnya, Henri sudah mulai masuk TK. Tetapi, ketika didaftarkan ke TK, guru-guru di sana memberitahu bahwa Henri tidak bisa diterima, karena, “IQ-nya terlalu tinggi untuk ukuran anak TK.”

Lalu guru-guru di sana menyarankan agar Henri disekolahkan di sekolah khusus untuk anak-anak super cerdas. Yang jadi masalah, biaya di sekolah khusus itu sangat mahal, dan orangtua Henri tidak mampu membiayai. Akhirnya, Henri pun terpaksa tidak masuk TK sebagaimana teman-temannya. IQ yang sangat tinggi itu pula yang menjadikan Henri senang bermain-main di rumah sepupu saya, karena ada banyak buku yang bisa dibaca.

Jadi, seperti yang dibilang tadi, saya takjub menyaksikan bocah berusia 4 atau 5 tahun bisa membaca buku berbahasa Inggris dengan sangat lancar, cepat, dan fasih. Jika anak-anak lain seusianya masih kerepotan mengeja A-B-C-D, Henri sudah langsung bisa membaca. Jika anak-anak balita lain masih kebingungan saat harus membaca suatu kalimat, Henri bisa langsung membacanya dengan lancar, cepat, dan fasih. Bukan hanya bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Inggris, Prancis, Jerman, atau bahasa lain.

Apakah itu menakjubkan...?

Tentu saja, ya! Itu sangat menakjubkan. Menyaksikan bocah kecil bisa membaca tulisan dalam berbagai bahasa secara lancar dan fasih, pasti sangat menakjubkan.

Tetapi... Henri tidak paham apa yang dibacanya!

Jadi, sebagai bocah ber-IQ sangat tinggi, Henri bisa membaca apa saja dengan tingkat kelancaran, kecepatan, dan kefasihan, yang mengagumkan—jauh melampaui anak-anak lain seusianya. Tapi hanya sebatas membaca. Dia tidak tahu apa yang dibacanya, tidak memahami arti atau makna yang dibacanya. Jadi, ketika Henri ditanya apa arti atau makna kalimat yang dia baca, misalnya, dia tidak bisa menjawab.

Sudah melihat sesuatu yang sangat penting di sini...?

Tak peduli setinggi apa pun IQ yang dimiliki seseorang, tetap saja dia harus belajar, agar mampu memahami apa yang dibacanya. Karena setiap orang tidak bisa melewati proses. Mungkin Henri beruntung, karena dikaruniai IQ sangat tinggi, sehingga bisa lebih mudah menangkap banyak hal, tanpa harus kerepotan seperti anak lain yang tidak memiliki IQ setinggi dirinya. Tapi dalam hal proses... semuanya sama—masing-masing menjalani prosesnya sendiri.

Sebenarnya, perbedaan antara IQ tinggi dan IQ biasa hanya terletak pada cara berpikir. Orang dengan IQ biasa berpikir secara literal—lurus, dari A ke B, dari B ke C, dari C ke D, dan begitu seterusnya. Sementara orang ber-IQ tinggi berpikir secara melompat—dari A bisa langsung ke D, lalu melompat ke K, kemudian melompat ke N, dan begitu seterusnya. Tetapi, pada akhirnya, masing-masing orang akan sampai pada Z. Tak peduli orang ber-IQ biasa atau ber-IQ tinggi, keduanya tetap akan sampai pada Z, dengan proses belajar masing-masing.

Jadi, yang paling menentukan dalam pencapaian apa pun sebenarnya bukan IQ atau kemampuan seseorang, melainkan proses yang dijalani. Orang ber-IQ biasa mampu melampaui orang ber-IQ tinggi, jika belajar sangat keras, berusaha sangat keras, jauh lebih keras dari si pemilik IQ tinggi. Karena IQ hanya sekadar pisau. Tak peduli setajam apa pun, ia akan tumpul jika tidak dipakai. Dan pisau setumpul apa pun akan tajam jika terus menerus digunakan.

Karena itulah, Stephen Hawking sampai mengatakan, “Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang.”

Oh, well, IQ...???

Orang menjadi sesuatu, atau tidak menjadi sesuatu, tidak ditentukan oleh IQ-nya. Atau bakatnya. Atau kemampuannya. Atau popularitasnya. Atau apa pun. Orang menjadi sesuatu, atau tidak menjadi sesuatu, tergantung pada proses yang dijalaninya.

Ada banyak orang ber-IQ tinggi tapi tidak menjadi apa-apa, sama banyaknya orang berpendidikan tinggi tapi menjadi pengangguran. Ada banyak orang dikaruniai kemampuan hebat tapi tidak bisa melakukan apa-apa, sama banyaknya orang terkenal yang hanya bisa melakukan perbuatan sia-sia. Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang. Begitu pula orang yang membanggakan pendidikannya, titelnya, gelarnya, popularitasnya, atau bahkan latar belakangnya.

Orang tidak dinilai dari berapa tinggi IQ-nya, sebagaimana orang lain tak peduli berapa banyak titel dan gelarmu. Orang hanya peduli apa yang telah kita lakukan, yang telah kita perbuat, yang telah kita hasilkan, yang telah kita kerjakan, yang telah kita capai. Dan untuk melakukan, membuat, menghasilkan, mengerjakan, dan mencapai apa pun... semuanya membutuhkan proses. Karena satu-satunya cara mencapai apa pun yang hebat adalah melalui proses. Satu-satunya keajaiban yang ada di bawah langit tersembunyi di balik proses.

Hari ini, saat telah dewasa, saya sering takjub menyaksikan bayi-bayi yang baru mulai belajar melangkah. Mereka jatuh dan bangun, jatuh dan bangun, jatuh dan bangun, demi bisa melangkah. Kadang-kadang kepala mereka terbentur sesuatu ketika jatuh, atau kaki mereka terluka, dan bayi-bayi itu pun menangis. Tetapi, mereka kembali bangkit, kembali belajar melangkah. Meski harus jatuh lagi, harus terbentur lagi, harus menangis lagi.

Untung, bayi-bayi itu tidak pernah putus asa. Coba bayangkan kalau seorang bayi belajar melangkah, kemudian jatuh, dan berpikir, “Aku sudah belajar melangkah setiap hari, tapi jatuuuuuh terus. Sepertinya aku tidak punya bakat berjalan. Baiklah, aku akan merangkak saja seumur hidup.”

Untung, tidak ada satu bayi pun yang berpikir begitu. Bersama kemurnian dalam pikiran mereka, bayi-bayi itu menyadari, bahwa semua pencapaian di bawah langit harus ditempuh melalui proses. Jatuh dan bangun. Jatuh dan bangun. Jatuh dan bangun. Dan mereka bangun kembali. Belajar lagi. Sampai kemudian bisa melangkah, berjalan, bahkan berlari.

Pelajaran penting di bawah langit adalah pelajaran memahami proses. Pelajaran itu bahkan telah diajarkan kepada setiap manusia sejak masih bayi. Tidak ada hasil tanpa proses. Tidak ada pencapaian tanpa proses. Tidak ada keberhasilan tanpa proses. Dan masing-masing orang menjalani prosesnya sendiri, dengan segala kesulitan dan pembelajarannya sendiri.

Keajaiban di Bawah Langit (1)

Aku tidak pernah peduli berapa IQ yang mungkin kupunya.
Aku hanya peduli seberapa keras aku belajar dan bekerja.


Seorang bayi lahir, dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanya menangis. Saat lapar, menangis. Saat haus, menangis. Saat bingung, menangis. Saat ngompol, menangis. Saat kedinginan, menangis. Saat kepanasan, menangis. Saat sakit, juga menangis. Dia belum bisa berbicara, bahkan belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan bayi hanya menangis. Dan terbaring rapuh di tempatnya.

Sungguh menakjubkan, saat kita membayangkan betapa sosok bayi mungil yang semula sangat rapuh dan hanya bisa menangis itu... bertahun-tahun kemudian mewujud menjadi sosok manusia utuh yang mampu berjalan, berlari, berbicara, berpikir, bekerja, menyanyi, menari, dan melakukan hal-hal hebat sebagaimana umumnya manusia.

Apa yang terjadi pada bayi yang sekian tahun lalu tampak rapuh dan hanya bisa menangis? Apa yang terjadi dengannya, hingga sosok mungil rapuh yang semula tak bisa apa-apa berubah menjadi sosok manusia utuh yang mampu melakukan banyak hal?

Itulah keajaiban. Keajaiban paling menakjubkan di bawah langit.

Dan keajaiban itu bernama proses.

Tidak ada hal hebat yang instan di muka bumi. Segala yang hebat, mengagumkan, menakjubkan, semuanya menjalani dan melalui proses. Sebagaimana bayi yang tumbuh perlahan-lahan, tahun demi tahun, untuk mewujud menjadi manusia seutuhnya, begitu pula segala pencapaian. Tidak ada pencapaian yang instan, tidak ada kehebatan yang instan, tidak ada satu hal mengagumkan pun yang instan. Semuanya menjalani proses, segalanya harus melalui proses, karena proses adalah jalan menuju keajaiban.

Yang menjadi masalah, tidak setiap orang mampu menjalani proses demi proses yang harus dilalui. Jangankan mampu menjalani, sebagian orang bahkan tampaknya belum mampu menyadari pentingnya proses.

Sehebat apa pun seorang bayi, mau tidak mau dia harus melalui proses—sejak belum bisa melakukan apa pun selain menangis, lalu tumbuh perlahan-lahan hingga mampu tersenyum, dan mulai belajar berkata-kata. Lalu belajar membalik badan di tempat tidur. Kemudian belajar merangkak. Lalu duduk. Berdiri. Belajar melangkah. Berjalan. Jatuh. Bangun. Melangkah lagi. Jatuh lagi. Menangis. Bangkit lagi. Jatuh lagi. Bangkit lagi. Dan jatuh. Menangis lagi. Dan bangkit lagi. Dan begitu seterusnya.

Mungkin dia bayi yang ditakdirkan menjadi orang hebat di masa dewasanya. Tapi sehebat apa pun takdir yang ia miliki, bayi tetap harus melalui dan menjalani proses demi proses untuk sampai pada kehebatan yang telah ditakdirkan untuknya. Sehebat apa pun dia kelak di masa dewasanya, bayi tetap harus jatuh bangun dari belajar merangkak, melangkah, berjalan, sampai berlari. Tidak ada bayi yang baru lahir bisa langsung pecicilan dan keluyuran.

Meski setiap orang menjalani prosesnya masing-masing—dari bayi, anak-anak, sampai remaja, kemudian dewasa—namun tidak setiap orang mampu memahami pentingnya proses. Masih banyak orang yang ingin mencapai sesuatu secara instan, dan menghindari proses. Masih banyak orang yang ingin meraih hal-hal berharga tanpa mau menjalani proses. Bahkan, masih ada orang-orang yang menatap prestasi atau kehebatan orang lain tanpa mengingat proses yang telah dijalani untuk mencapai prestasi atau kehebatan yang diraih.

Padahal tidak ada satu hal pun yang berharga di bawah langit yang dapat diperoleh secara instan. Kecerdasan, kehebatan, prestasi, semuanya diperoleh dengan proses. Proses itu bisa belajar siang malam, bekerja keras penuh semangat, sampai stres dan frustrasi menghadapi kegagalan demi kegagalan. Tapi mereka tidak berhenti berproses. Mereka terus menjalani yang dijalaninya, hingga proses demi proses akhirnya membentuk mereka seperti yang kemudian dikenal orang.

Sebagian orang yang tidak tahu kadang bilang, “Enak ya, orang-orang yang punya IQ tinggi. Tanpa belajar pun bisa langsung pintar.”

Sebenarnya, itu keliru! Oh, well, sangat keliru! Bahkan orang yang memiliki IQ sangat tinggi pun harus tetap belajar untuk menjadi pintar!

Kita pasti sepakat bahwa Stephen Hawking adalah orang yang tidak hanya hebat dan pintar, tapi juga memiliki IQ sangat tinggi. Dia bahkan dianggap sebagai pengganti Albert Einstein, ilmuwan terbesar abad ke-20. Tapi apakah Hawking tiba-tiba jadi pintar tanpa belajar? Tentu saja dia belajar, bahkan belajar sangat keras. Sebegitu keras dia belajar, sampai-sampai Stephen Hawking tidak pernah mempedulikan berapa IQ yang mungkin dimilikinya.

Pada 2004, seorang wartawan pernah bertanya pada Stephen Hawking, mengenai berapa IQ yang dimilikinya. Stephen Hawking menjawab, “Saya tidak tahu. Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang.”

Perhatikan, kalimat itu diucapkan orang yang dianggap paling cerdas di abad modern. Dan orang yang terkenal sangat cerdas itu, dengan jelas dan gamblang, menyatakan, “Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang.”

IQ...???

IQ yang tinggi mungkin hebat. Tapi IQ sehebat apa pun tidak ada gunanya jika tidak diasah melalui proses. Karena IQ tak jauh beda dengan pisau. IQ tinggi mungkin umpama pisau yang sangat tajam. Tetapi, pisau setajam apa pun akan berkarat jika tidak pernah dipakai dan diasah, dipakai dan diasah, dipakai dan diasah. Karenanya, jauh lebih baik memperhatikan sekeras apa kita belajar, daripada meributkan berapa IQ yang kita miliki. Karena pisau setumpul apa pun, perlahan-lahan semakin tajam jika terus berproses—dipakai dan diasah, dipakai dan diasah, dipakai dan diasah.

Lanjut ke sini: Keajaiban di Bawah Langit (2)

Bocah yang Tidak Mau Menikah

Dengan nada frustrasi, seorang ibu bertanya pada anak lelakinya, “Kalau kamu tidak mau menikah, terus kamu mau jadi apa?”

Si anak menjawab, “Aku mau jadi Magneto.”

Noffret’s Note: Ponsel

Makin hari, ukuran ponsel semakin besar. Semakin sulit dikantungi, semakin mudah dipamerkan. Seperti ego kita.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Ukuran layar ponsel ideal bagiku, maksimal 4 inci. Sayangnya, semakin kecil ukuran, semakin rendah spesifikasi. Seperti ego hari ini.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Meski mencari dan menyukai ponsel berlayar maksimal 4 inci, nyatanya layar ponselku lebih dari 4 inci. Kenyataan kadang memang kejam.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Aku mencari ponsel berlayar maksimal 4 inci, dengan kamera minimal 8 MP. Keinginan yang sederhana. Ajaibnya, keinginan itu setara utopia.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Kualitas mengagumkan dan kesederhanaan penampilan, tampaknya, tidak bisa kita temukan pada ponsel. Semakin hebat, ukurannya semakin besar.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Slogan lama Nokia, “Begitu kecil, begitu cerdas.” Slogan itu kini terdengar seperti mitos. Ponsel kini memuja ukuran, menghamba penampilan.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Setiap waktu, aku harus mengantungi ponsel besar yang terus mengganjal di saku celana. Itu seperti mengantungi beban yang tak diinginkan.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Mencari ponsel kecil tapi hebat di zaman sekarang, sama sulitnya mencari kesederhanaan yang agung. Bagi ponsel, kecil sama dengan murahan.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Ponsel ideal bagiku adalah yang nyaman digenggam, mudah dikantungi, tak terlalu terlihat, tapi memiliki semua kualitas yang dibutuhkan.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Kadang aku kangen pada ponsel-ponsel zaman dulu. Kecil, mudah digenggam dan disimpan, bersahaja, tapi memenuhi semua kebutuhan masa itu.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Saat pertama diciptakan, ukuran ponsel sangat besar. Lalu mengecil seiring perkembangan. Dan sekarang membesar lagi. Seperti ego manusia.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Selalu ada tiruan untuk ponsel-ponsel hebat. Memiliki penampilan nyaris sama, tapi kualitasnya jauh berbeda. Seperti hasrat naluri manusia.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Sebagian ponsel kadang menyusahkan. Setiap hari baterainya harus diisi kembali. Dan kita (terpaksa, harus) rela melakukannya. Seperti pacar.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Aku bersyukur ponselku tidak rewel. Mengisi baterai bisa 4 hari sekali. Kalau pun suatu waktu nanti dia rewel, aku akan mencari yang baru.
—Twitter, 31 Agustus 2015

Aku tidak suka dituntut siapa pun, apalagi dituntut sebatang ponsel. Hidup ini terlalu singkat untuk mengisi baterai ponsel setiap hari.
—Twitter, 31 Agustus 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

 
;