Senin, 20 Februari 2023

Kenyataan Kadang Tak Sama dengan Doktrin

Sambil nunggu udud habis, aku mau nyambung ocehan ini.


Saat ada yang membicarakan kemungkinan orang tua bisa salah/jahat, khususnya terkait perilaku atau perbuatannya pada anak, biasanya akan muncul ungkapan yang terdengar hebat, misalnya, “Jangankan manusia, hewan saja merawat anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.”

Ooooh, really?

Dalam zoologi, ada fenomena yang disebut infanticide (infantisida), yaitu pembunuhan terhadap anak-anak hewan yang dilakukan induknya sendiri. 

Infantisida berasal dari infant=keturunan/anak; sida=pembasmian. Perilaku itu bisa dilakukan induk jantan maupun betina pada anaknya.

Perilaku infantisida bisa dilakukan dengan pengabaian (membuang anak), dengan kekerasan (penyiksaan), hingga dengan pemangsaan (kanibalisme). Infantisida banyak dilakukan di dunia hewan, termasuk oleh kelompok serangga, ikan, amfibi, burung, hingga mamalia dan primata.

Pada karnivora, singa dan beruang bisa memangsa anaknya sendiri. Begitu pula kuda, kuda nil, dan sebagian spesies kelelawar; mereka memangsa anaknya sendiri. Di kalangan hewan pengerat, tikus dan tupai termasuk yang mempraktikkan infantisida; membunuh anak-anaknya sendiri.

Sementara di kalangan primata, hewan-hewan yang mempraktikkan infantisida termasuk simpanse, gorilla, babun, dan langur. Daftarnya masih panjang. 

Riset yang dilakukan pada 289 spesies mamalia menemukan bahwa pembunuhan bayi dilakukan oleh hampir sepertiga dari seluruh spesies.

Sarah Blaffer Hrdy, pakar antropologi dan primatologi, bahkan menemukan fakta yang sangat mencengangkan, khususnya terkait marmoset, primata di Amerika Selatan. Ketika marmoset betina sedang hamil, saat itu juga akan muncul naluri membunuh anaknya yang masih ada di kandungannya.

Bagaimana dengan simpanse? Oh, mereka sama saja. Dalam kasus pembunuhan anak di kalangan simpanse, induk betina bahkan sering bekerja sama dengan pejantan untuk membunuh anak-anaknya sendiri. Hal itu diduga dilatari alasan agar si betina bisa bebas tanpa harus merawat anaknya.

Uraian ini, kalau kulanjutkan, bisa panjang sekali, dan ada sekian banyak hewan lain yang sama-sama punya naluri buas terhadap anak-anaknya sendiri, apa pun alasan dan latar belakangnya.

So, tesis “bahkan hewan pun merawat anak-anaknya dengan penuh kasih sayang” telah runtuh.

Sampai di sini, para penganut doktrin “orang tua pasti baik/benar” bisa saja ngotot dengan keyakinannya sendiri, dan dengan yakin mengatakan, “Tidak ada orang tua yang ingin mencelakakan anaknya.” Atau, “Orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.” 

Ooooooh, really?

Di Banten, belum lama, ada pasangan suami istri membunuh anak mereka, hanya gara-gara kesal karena si anak tidak mampu belajar online. Pasangan itu lalu mengubur jasad putrinya, dengan pakaian lengkap, sampai kemudian tertangkap. Mungkin kalian juga sudah membaca beritanya?

Di Bandung, seorang wanita bernama Nia Kurniasih melacurkan anaknya sendiri yang berusia 16 tahun. Di Majalengka, juga ada kasus sama. Seorang ibu melacurkan anak perempuannya, bahkan telah berjalan selama 2 tahun, sampai kemudian terungkap. Daftarnya masih panjang.

Di Magetan, seorang ayah bernama Ahmad Kohir (44) membunuh anak kandungnya, Muhammad Aziz (17). Di Sukabumi, seorang pria bernama Agung mencekik anaknya sendiri yang berusia 2,5 tahun. Di Batam, Yudi Chandra mencekik bayi perempuannya, yang berusia 4 bulan.

Di Palembang, seorang wanita bernama Nurasia membunuh bayinya sendiri dengan menusukkan pisau ke perut si bayi. Di Manado, seorang anak berusia 10 tahun, bernama Jessica Manonahas, tewas akibat luka bakar setelah disiram minyak panas oleh ibu kandungnya sendiri.

Silakan bilang semua peristiwa itu cuma kasuistis. Tapi bahkan seperti itu pun, kita sudah melihat bahwa “tidak ada orang tua yang ingin mencelakakan anaknya” itu cuma klaim dan keyakinan sepihak. Sama seperti keyakinan “orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya”.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Agustus 2021.

Anak yang Menuntut Orang Tuanya ke Pengadilan

Seorang anak menuntut orang tuanya ke pengadilan, karena memusnahkan koleksi pornografi milik si anak (meliputi film, majalah, dan barang lainnya). Pengadilan lalu mengabulkan gugatan si anak, dan si orang tua harus membayar denda sekitar Rp629 juta.

Paul, ayah yang memusnahkan koleksi pornografi milik anaknya, menyatakan bahwa perbuatannya memusnahkan koleksi pornografi itu “demi kebaikan si anak”. 

Alasan itu pula yang dikatakan—atau setidaknya dipikirkan/dibayangkan—banyak orang tua lain saat melakukan apa pun pada anak.

“Demi kebaikan anak” mungkin terdengar mulia. Yang jarang kita pikirkan, “demi kebaikan anak” itu dari sudut pandang siapa? Sering kali hanya dari sudut pandang orang tua. Yang jadi masalah, orang tua tidak terjamin pasti benar; sesuatu yang mestinya cukup membuat mereka sadar.

Ada banyak orang tua menganiaya—bahkan sampai menyiksa, mempermalukan, merendahkan—anak, dengan latar dan alasan apa pun, dan alasannya “demi kebaikan anak”. Seolah anaknya tidak bisa diberi tahu secara baik-baik, hingga sampai dianiaya, disiksa, dan dipermalukan.

Terkait berita tadi—orang tua memusnahkan koleksi pornografi anaknya—kita perlu melihat konteks. Pertama, peristiwa itu terjadi di Amerika, negara yang melegalkan pornografi (misal majalah dan film dewasa). Karenanya, kita tidak bisa memakai kacamata warga Indonesia.

Kedua, “anak” yang ada dalam kisah tadi telah dewasa, sehingga telah memiliki hak untuk memilih sekaligus bertanggung jawab atas pilihannya. Karena dia tinggal di Amerika yang melegalkan pornografi, dia pun punya hak—sekaligus tanggung jawab—untuk memiliki/mengoleksinya.

“Tapi mengoleksi hal-hal begituan kan dosa!”

Dosa itu konsep agama, bukan konsep negara. Kalau kau sudah dewasa dan tinggal di Amerika, dan kebetulan juga ateis/agnostik, kau bisa mengoleksi pornografi, dan terbebas dari hukum negara sekaligus terbebas dari urusan dosa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Agustus 2021.

Padat

Hari yang padat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Desember 2020.

Titik Tertinggi Mencintai

"Titik tertinggi mencintai" versiku adalah, "Aku jatuh cinta kepadamu. Kamu mau jadi pacarku ya ayo, kamu menolak ya persetan denganmu."

Titik tertinggi wuopppooo...

Tapi ya ada masanya aku juga pernah goblok ... yang melakukan glorifikasi perasaan cinta pada seseorang. Menganggap "aku tak bisa hidup tanpanya" dan bla-bla-bla. Geli sendiri kalau ingat masa-masa goblok itu.

Cara kita memahami perasaan cinta pada seseorang mungkin memang berubah seiring usia. Saat remaja, kita masih pemula—belum benar-benar mengenal diri sendiri, dan belum bisa memahami/mengelola perasaan cinta secara bijak. Jadinya ya gitu.

Tapi seiring usia makin matang, kita jadi lebih bijak—biasanya, sih—dan tidak lagi naif serta menggebu-gebu dengan dalih "titik cinta tertinggi" serta omong kosong semacamnya. Cinta mungkin tampak luar biasa bagi remaja, dan jadi biasa-biasa saja saat makin dewasa dan logis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Oktober 2020.

Males

Ingin ngoceh tapi rasanya kok males.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Juni 2020.

Tutup di Hari Senin

Kenapa para penjual sarapan seperti berkomplot untuk tutup semua di hari Senin? Heran!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 November 2020.

Otak Gatal Gara-gara Panti Lansia

Sambil nunggu udud habis...

Sampai sekarang, otakku gatal saat memikirkan kasus anak yang menitipkan ibunya ke panti lansia, yang belakangan heboh karena pihak panti menyebarkan surat serah-terima antara mereka dengan anak si ibu. Ada hal sepele tapi penting yang mungkin terlewat dari pandangan kita.

Kita tahu, ada berbagai alasan dan latar belakang kenapa seorang anak [atau beberapa anak] terpaksa menitipkan orang tuanya ke panti lansia. Dari alasan sederhana [seperti sibuk, hingga tidak bisa mengurus orang tua secara layak], sampai alasan yang rumit [misal ada konflik].

Di sisi lain, ada pihak yang menyediakan panti untuk merawat para lansia, karena menyadari kadangkala ada orang tua yang membutuhkan perawatan di hari senja. 

Jadi, ketika kemudian ada anak yang menitipkan orang tua ke panti lansia, apa pun alasannya, di mana letak kesalahannya?

Tentu saja salah jika anak tidak mau mengurus orang tuanya, lalu meninggalkannya begitu saja di jalan, dan menelantarkannya. Tapi jika anak sampai mengurusnya ke panti lansia, menitipkannya secara baik-baik, bahkan memberikan biaya untuk perawatan, di mana letak salahnya?

Panti lansia didirikan untuk menampung orang-orang lansia yang butuh perawatan. Ketika ada anak menitipkan orang tuanya di sana agar dirawat dengan baik, bukankah itu sesuai tujuan didirikannya panti lansia? 

Jadi, PERTANYAAN KRUSIALNYA, kenapa surat serah-terima bisa bocor?

Ketika anak menitipkan orang tua ke panti lansia, ada surat perjanjian di antara dua pihak—sebut saja surat serah terima—dan surat itu tentu bersifat privat/rahasia. Ketika surat yang mestinya bersifat rahasia itu sampai bocor dan bikin kehebohan, apa motivasi pihak pembocornya?

Orang mau menempuh risiko—misal membocorkan surat rahasia ke media sosial, dan berisiko kena UU ITE—pasti karena adanya motivasi. 

Jadi, mari bertanya, apa motivasi pihak yang mestinya menyimpan surat rahasia dengan tanggung jawab, tapi malah membocorkannya ke media sosial?

And then... jika kita flashback ke belakang, ada kasus serupa, oleh pihak yang sama, dengan modus yang sama. Terlalu kebetulan?

Itulah kenapa otakku gatal memikirkannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 November 2021.

Ngantuk

Aku kalau jam segini sering ngantuk, kenapa ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Juni 2020.

Jumat, 10 Februari 2023

Dari Rachel Vennya Kita Belajar

Dari Rachel Vennya kita belajar bahwa... 

Bahwa apppeeeeuuuhh? 

Well, bahwa di dunia ini tampaknya memang banyak orang “sakit”—orang-orang yang kesibukan utamanya adalah menggunjing orang lain, mengejek dan merendahkan orang lain, dan dengan itu lalu merasa lebih tinggi.

Karena Twitter sempat ramai terkait tweet Rachel Vennya dan Detik Forum, aku tergelitik dan penasaran. So, aku pun masuk ke Detik Forum untuk melihat langsung yang ada di sana (lewat cache). Ternyata thread-thread yang ditulis “orang-orang sakit” di sana sudah dihapus oleh Detik.

Lalu ke mana “orang-orang sakit” tadi, setelah thread-thread mereka di Detik Forum dihapus? Apakah mereka lalu sadar bahwa perbuatan mereka tidak baik, dan berhenti melakukannya? Tidak! Setelah thread mereka dihapus di Detik Forum, mereka “menyeberang” ke forum Reddit.

Di Reddit, mereka kembali berkumpul—sesama orang sakit—dan kembali melanjutkan “obrolan sakit” mereka. Salah satu thread yang membuatku tercengang adalah berikut ini, “Kamu bisa menutup 5 thread untuk menghapus jejak kami, tapi tidak bisa menutupi semangat kami untuk bergibah.”

Itu kalimat yang mereka tulis sendiri di Forum Reddit. Dan kalimat itu dengan jelas mendeskripsikan diri mereka, serta apa yang mereka lakukan. Orang-orang itu sadar bahwa yang mereka lakukan adalah ghibah; perbuatan membicarakan orang lain dengan cara menjelek-jelekkan.

Ghibah, akhir-akhir ini, tampaknya telah jadi bagian lifestyle, dan istilah ghibah telah mengalami destruksi makna; tidak lagi dianggap perbuatan buruk atau jahat, tapi telah dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja. Sebegitu biasa, hingga orang bisa enteng ngemeng, “Ghibah, yuk!”

Inti pertanyaan: Kenapa ada orang-orang yang suka berghibah, senang menjelek-jelekkan orang di belakangnya, sampai bikin forum khusus untuk itu?

Kita bisa mendapat jawabannya dengan mudah, melalui pepatah terkenal, “Orang kuat membicarakan ide, orang lemah membicarakan orang.”

“Orang kuat” yang dimaksud dalam pepatah itu adalah “pintar, cerdas, berpendidikan, beradab, bermoral, dan semacamnya”. 

Sementara “orang lemah” yang dimaksud dalam pepatah itu adalah “bodoh, sok pintar, tak berpendidikan, tak beradab, tak bermoral, dan semacamnya.”

Dan “membicarakan orang” yang dimaksud dalam pepatah itu adalah “membicarakan keburukan orang lain, menjelek-jelekkan, dan semacamnya”. 

So, kenapa ada orang-orang yang suka mengejek, menjelek-jelekkan orang lain? Jawabannya sederhana, karena dengan itu mereka merasa lebih baik!

Dalam tataran pikiran waras, kita bisa mengatakan, “Kalau kamu memang tidak suka seseorang, ya sudah, tinggalkan saja. Tidak usah mengikuti akun dia, tidak usah repot-repot membicarakannya.” 

Itu pikiran orang waras. Sayangnya, “orang-orang sakit” tidak berpikir selurus itu.

Kalau kita tidak suka seseorang, kemungkinan besar kita berpikir, “Ah, ngapain ngurusin hidup orang lain. Lebih baik ngurusin hidupku sendiri.”

Kita berpikir seperti itu, kenapa? Karena kita memiliki kehidupan berharga. Kita menghargai hidup, waktu, dan diri kita sepenuhnya.

Sebaliknya, rata-rata “orang sakit” memiliki/menjalani kehidupan menyedihkan—mereka sendiri tidak menghargai diri dan hidupnya. 

Karenanya, alih-alih sibuk mengurusi kehidupan mereka sendiri—yang menyedihkan dan tak berharga—mereka lebih memilih ngerusuhi kehidupan orang lain.

Kalau mereka fokus pada diri dan kehidupan mereka sendiri, mereka menghadapi realitas yang pahit. Mereka sadar—meski mereka tidak akan mengakuinya—bahwa diri dan kehidupan mereka sama-sama menyedihkan. Memfokuskan pikiran pada hal itu hanya akan memberi mereka rasa sakit.

Konsekuensinya, mereka pun memilih untuk memfokuskan pikiran pada kehidupan orang lain, untuk mencari cacat celanya. Jika tidak ada cacat cela yang dapat mereka temukan, mereka akan menciptakannya. Dengan cara mengejek dan menjelek-jelekkan orang lain, mereka merasa lebih baik.

Itulah latar belakang kenapa ada orang-orang yang sampai berkumpul dan bikin forum hanya untuk menjelek-jelekkan seseorang yang bahkan sebenarnya tidak mereka kenal, dan sekaligus tidak mengenal mereka. Orang-orang itu butuh merasa lebih baik, dengan cara memburukkan orang lain.

Ini realitas yang menyedihkan—untuk tidak bilang menjijikkan—bahwa di sekitar kita banyak orang semacam itu; orang-orang yang suka ghibah, membicarakan keburukan orang lain, demi merasa lebih baik. Dalam pikiran mereka, “Kalau dia tampak buruk, aku jadi tampak (merasa) baik.”

Kalau kita menghargai diri dan kehidupan kita sendiri, kita akan lebih sibuk dan lebih suka mengurusi diri dan kehidupan kita sendiri. 

Tapi kalau kita tidak menghargai diri dan kehidupan kita sendiri, kita akan lebih sibuk dan lebih suka ngerusuhi kehidupan orang lain.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai bertepatan dengan munculnya Dajjal. Tapi ududku habis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 September 2021.

Footnote untuk Rachel Vennya

Sambil nunggu udud habis, aku terpikir untuk ngasih footnote untuk ocehan kemarin, kalau-kalau ada yang keliru memahami.

Konteks ocehan ini adalah kasus Rachel Vennya tempo hari, dan posisi Rachel dalam kasus itu tidak ngapa-ngapain tapi jadi sasaran perundungan. Karenanya, umpama di waktu lain Rachel “ngapa-ngapain” dan bikin masalah, ocehan ini belum tentu relevan.




Konteks ocehan itu juga hanya relevan untuk kasus-kasus serupa; seseorang yang tidak ngapa-ngapain tapi jadi sasaran perundungan atau semacamnya. 

Jadi kalau seseorang diserang/dirundung netizen karena melakukan sesuatu yang memang salah, ya isi ocehan itu tidak lagi relevan.

Begitu pun, kalau misalnya orang mengkritik kinerja pemerintah yang dianggap bermasalah, atau mengoreksi kebijakan yang dinilai keliru, atau merundung pejabat yang korupsi, atau bahkan mempermasalahkan sikap seseorang yang dinilai salah, itu sudah di luar konteks ocehan kemarin.

Nyatanya pemerintah memang perlu dikritik agar mawas diri, kebijakan yang dinilai keliru perlu dikoreksi, pejabat yang korupsi bahkan layak dihujat. Dalam keseharian, kita juga kadang melakukan kesalahan, dan orang lain menegur kita—it’s okay, itu baik-baik saja dan tak masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 September 2021.

Apa Bahasa Inggrisnya Korek Gas?

Keponakanku membaca tulisan “Ginger Drink” di bungkus jahe. Lalu dia bertanya, “'Ginger' tuh bahasa Inggrisnya ‘jahe’ ya?”

Aku menjawab, “Ya.”

Lalu dia melihat kardus korek gas. Aku bertanya, “Apa bahasa Inggrisnya korek gas?”

Dia menjawab, “Tokai.”

Aku tak bisa menahan tawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2022.

Kelaparan Tengah Malam

Masalah laten; kelaparan tengah malam gini!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 September 2020.

Semrawut

Jalan raya semrawutnya kayak isi pikiranku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 April 2022.

Jumat Datang Terasa Cepat

Entah kenapa ya, aku sering merasa Jumat datang terlalu cepat. Rasanya seperti kemarin Jumat, sekarang Jumat, lalu besok sudah Jumat lagi. Padahal hari-hari lain terasa biasa-biasa saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Oktober 2020.

Ajib

Kalau nabung di bank sudah tidak lagi aman, lalu kita harus nabung di mana, ya?

Dan aku baru sadar kalau pajak bunga bank tuh 20% (padahal bunga tabungan di bank cuma nol koma sekian persen), dan catatan pemotongan pajak atas bunga tabungan di bank itu otomatis masuk SPT. Berarti DJP tahu berapa duit kita di rekening bank. Ajib bener kalau dipikir-pikir.

Ya aku gak masalah, sih. Wong selalu taat bayar pajak. Cuma gak nyangka aja kalau sampai segitunya "keusilan" negara.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2022.

Lemot

Internet dari tadi lemot banget.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2022.

Rabu, 01 Februari 2023

Masalah Jurnalisme yang Tak juga Usai

Sambil nunggu udud habis.

Baca berita-berita soal demonstrasi, ada hal sepele tapi mengganggu, yaitu digunakannya istilah “diamankan” untuk menyebut demonstran yang “ditangkap”. 

Ocehan sambil nunggu udud habis.

Sepertinya kita, khususnya para jurnalis yang saban hari menulis berita, perlu membiasakan diri untuk menulis “ditangkap”, alih-alih “diamankan”. Lebih khusus dalam suasana banyak demonstrasi seperti sekarang. Istilah “diamankan” itu rancu, secara hukum maupun linguistik.

Sebelas dua belas dengan istilah “memperkosa/diperkosa” yang diubah jadi “menyetubuhi/disetubuhi”, istilah “diamankan” itu warisan Orde Baru—ketika para wartawan sangat hati-hati memilih diksi. Sekarang era itu telah berlalu, dan istilah “diamankan” mestinya tak usah dipakai.

Ketika seseorang ditangkap polisi, dia “ditangkap”, bukan “diamankan”. 

Penggunaan istilah “diamankan” akan menciptakan jarak dengan realitas. Pembaca akan membayangkan situasi aman (karena “diamankan”), padahal realitasnya tidak mesti begitu. Ini kekacauan linguistik.

Sama halnya ketika seseorang memperkosa, misalnya, penggunaan istilah tegas “memperkosa” atau “diperkosa” akan memberikan gambaran jelas pada pembaca, bahwa hubungan terjadi karena paksaan atau tekanan/ancaman. Tapi ketika diubah jadi “menyetubuhi/disetubuhi”, artinya berubah.

Begitu pula ketika “ditangkap” berubah jadi “diamankan”. Secara linguistik, apa arti “diamankan”—khususnya dalam suasana penuh demonstrasi seperti sekarang? 

Ketika seorang demonstran “diamankan” karena ia ikut berdemo, sebenarnya ia diamankan dari apa atau dari siapa?

Karena ketidakjelasan itu pula, istilah “diamankan” tidak digunakan dalam urusan hukum. Ini kan kacau! Kalau kita ditangkap polisi, artinya berurusan dengan hukum. Dan hukum punya aturan jelas terkait hal tersebut, misal hak-hak orang yang “ditangkap”. Tapi “diamankan”?

Kalau seseorang disebut “diamankan”, dia menempati posisi apa, khususnya secara hukum? Tidak jelas! Karena ketidakjelasan itulah, oknum bisa muncul. Omong-omong, “oknum” ini juga istilah warisan Orde Baru. 

Intinya, istilah “diamankan” menciptakan jarak dengan realitas.

Seperti kuocehkan di sini, sudah saatnya kita tinggalkan penggunaan eufemisme dalam penulisan berita. Selain tidak jujur—karena eufemistik—ia juga mengaburkan realitas. Kalau seorang demonstran ditangkap, tulis saja ditangkap, biar faktanya jelas!


Kalau seseorang “ditangkap” polisi, secara hukum jelas, karena ada aturan dan mekanismenya, termasuk hak-hak orang yang ditangkap. Tapi kalau seseorang “diamankan”, posisinya tidak jelas. Mengubah “ditangkap” jadi “diamankan” itu tidak mendidik, sekaligus berbahaya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Oktober 2020.

Belum Tahu

Dia belum tahu cokelat hangat kayaknya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Mei 2022.

Kewajiban Masing-masing Orang

Sering aku berpikir, salah satu kewajiban masing-masing orang adalah memiliki kesibukan atau kegiatan yang positif. Selama orang punya kesibukan atau kegiatan positif, dia akan terus sibuk dengan kegiatannya, dan tak punya waktu mengganggu atau ngerusuhi kehidupan orang lain.

Orang yang sering menimbulkan masalah pada orang lain biasanya orang yang tak punya kesibukan atau kegiatan. Karena tak punya kesibukan, dia jadi punya banyak waktu luang, dan energinya tak terpakai. Hasilnya, dia gunakan waktu dan energinya untuk ngerusuhi kehidupan orang lain.

Kalau orang punya kesibukan atau kegiatan yang bermanfaat, dia pasti eman-eman menggunakan waktunya untuk nongkrong di pinggir jalan sambil memandangi orang-orang lewat. Dia pasti eman-eman energinya cuma dipakai untuk bisik-bisik "nggelendengi" orang lain. Itu menyedihkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Mei 2022.

Etika Caper

Ada jenis orang yang tidak kita tahu, dan kita tidak ingin tahu. Lutfi Agizal termasuk dalam kategori itu.

Caper memang hak setiap orang. Tapi cara dia salah sekaligus menjengkelkan.

Tapi Lutfi Agizal sebenarnya masih "lumayan", karena setidaknya dia tidak menyinggung orang per orang. 

Yang lebih parah, ada jenis orang yang bermaksud menarik perhatianmu, tapi caranya justru menjengkelkanmu. Itu pola pikirnya bagaimana? Bahkan iblis pun tidak akan tertarik!

Jika tujuan kita adalah berharap mendapat perhatian seseorang, tunjukkan bahwa kita memang layak mendapatkannya. Tentu dengan cara yang positif, bukan malah menyinggung perasaan orang yang kita harap memberikan perhatiannya. Anak SD pun mestinya tahu etiket semacam itu.

Di dunia ini, ada orang-orang yang tidak pernah lupa. Kita menyinggung perasaannya sepuluh tahun lalu, dan dia terus ingat sampai sekarang... meski kita lupa. 

Pernah ada kasus seorang aktivis yang mati-matian memoles citranya selama bertahun-tahun, tapi hancur dalam semalam. Dia "berdiri di dua kaki"—terkenal doyan menyerang "produk anu" tapi ternyata diam-diam saling MoU dengan perusahaan "produk anu". Tidak ada yang tahu rahasia itu.

Mungkin rahasia kotor itu akan tersimpan selamanya, dan dunia tidak akan tahu... andai dia tidak menyinggung orang yang salah.

Ceritanya panjang. Intinya, tepat ketika si aktivis itu hampir sampai di puncak kariernya, rahasia kotornya terungkap. Sudah, gitu aja. Kisahnya tamat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 September 2020.

Kagum

Selalu kagum dengan situs yang loading page-nya butuh puluhan menit. Kagum pada orang-orang yang mau membukanya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 September 2012.

Terbitnya Matahari

Akhirnya sadar, janji yang paling sulit kutepati adalah menyaksikan terbitnya matahari.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Jatuh Cinta

Jatuh cinta kadang-kadang membuat kita jadi tuna wicara.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Februari 2012.

Bahkan

Bahkan sudah hujan pun, rasanya masih panas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Oktober 2019.

 
;