Jumat, 23 November 2012

Sekerat Kanker, Sesosok Monster

Kita tersenyum ketika mendapatkan.
Tapi sering tak rela ketika kehilangan. Padahal,
yang hilang adalah yang kita dapatkan.
@noffret 


Beberapa minggu ini saya jarang online. Hal itu sangat tampak pada timeline Twitter saya. Kalau biasanya saya menyempatkan diri untuk menulis sesuatu di timeline, beberapa minggu ini sangat jarang sekali. Rasanya tidak ada waktu untuk ngurusin Twitter, karena seorang teman baik saya sedang di ambang maut karena kanker. Untuk menghormati privasinya, saya akan menyebutnya X.

Saya telah berkawan baik dengan X sejak bertahun-tahun lalu. Karena kami tinggal di kota yang berbeda, kami pun jarang bertemu, kecuali untuk urusan mendesak atau penting. Dia juga jarang di rumah karena pekerjaannya. Kadang-kadang, dia mengirimi saya sesuatu sewaktu ada di negeri lain, dan itu pula yang kadang saya lakukan untuknya. Dia salah satu teman terbaik yang saya miliki.

Lima atau enam bulan yang lalu, kami bertemu di suatu acara, dan kami ngobrol dengan asyik. Dia baru pulang dari Kanada, untuk urusan kerja seperti biasa. Waktu itu dia sempat mengeluh, “Akhir-akhir ini aku jadi mudah capek.”

Saya hanya menyahut sambil tertawa, “Semua orang juga akan capek kalau menjalani hidup sepertimu.”

Detik itu, kami sama-sama tidak tahu bahwa keluhan itu adalah awal kelahiran sesosok monster yang kelak akan membuatnya menderita.

Sejak pertemuan itu, kami kembali pada kehidupan dan kesibukan masing-masing. Beberapa kali kami berhubungan via email, dan dia berada jauh dari Indonesia. Sampai kemudian, sekitar dua bulan lalu, dia mengabarkan sesuatu yang sangat mengejutkan. “Aku kena kanker,” katanya lewat telepon.

Dan ganas. Dan dia sekarat.

Kanker itu ada pada tulang kakinya, sedikit di atas lutut. Diagnosis terakhir menyebutkan bahwa kanker itu sudah stadium akut, dan berbahaya, dan satu-satunya solusi medis yang disarankan adalah amputasi. Jika tidak, katanya, kanker itu dikhawatirkan akan terus berkecambah.

Berita itu sangat mengejutkan. Kanker, kau tahu, adalah hal terakhir yang ingin saya dengar dari siapa pun. Dan amputasi, demi Tuhan, adalah hal yang sama sekali tidak ingin saya dengar menimpa siapa pun—khususnya kawan baik saya. Tetapi kombinasi yang sangat mengerikan itu—kanker dan amputasi—sekarang saya dengar dari mulut kawan yang sangat saya sayangi, bencana yang menimpanya.

Jadi saya pun berangkat menuju tempatnya dirawat, dan mendapatinya terbaring dengan wajah penuh duka. Tidak ada lagi wajah bersemangat yang biasa saya saksikan, tidak ada lagi sosok penuh energi yang biasa saya kenali. Dia sekarat. Dan sekerat kanker sedang mengancam hidupnya.

Saya duduk di sisi pembaringannya waktu itu, menatap matanya, dan bertanya, “Apa yang bisa kubantu?”

Meski tubuhnya digerogoti kanker, kepalanya masih sehat, dan otaknya masih jernih. Dia menyatakan, “Menurut dokter, aku punya waktu tiga minggu untuk memikirkan kanker sialan ini. Setelah itu, aku harus memilih—hidup dengan kaki diamputasi, atau aku akan mati. So, tolong carikan semua informasi yang sekiranya dapat membantuku. Siapa tahu ada alternatif yang belum diketahui dokter di sini. Bagaimana pun, aku tidak ingin kehilangan kaki.”

Saya memahami maksudnya. Maka, sejak itu, saya pun mulai mengumpulkan semua bahan dan informasi yang bisa saya dapatkan tentang kanker, dan saya benar-benar khusyuk mempelajarinya. Selama beberapa minggu terakhir, saya mempelajari semua hal tentang kanker yang ada di planet ini—buku, makalah, paper, CD—dari pagi sampai pagi lagi, dan rasanya saya jadi mahasiswa kedokteran spesialis kanker. Dalam kesibukan urusan kanker itulah, saya jadi terlupa pada Twitter.

Saya mau melakukan semua itu untuk teman saya, karena saya tahu dia juga akan melakukan hal yang sama jika sayalah yang sekarang ada di posisinya. Saya tidak ingin kehilangan dia.

Hasilnya, berdasarkan yang saya pelajari, waktunya tidak cukup. Sementara saya bersetubuh dengan makalah dan buku-buku, kanker itu terus hidup, berdenyut, dan bergerak. Ia seperti monster yang diam-diam menguasaimu, tanpa kau tahu. Memang ada beberapa alternatif untuk dapat mengalahkan kanker itu tanpa amputasi—dari pengobatan herbal atau alternatif lain yang bisa dicoba—tetapi waktunya sudah mendesak dan tidak cukup.

Itu pula yang saya katakan kepadanya. “Kita terlambat mengetahui kanker itu, dan sekarang kita kehabisan waktu.”

Dia memahami maksudnya. Jadi, sebagaimana yang telah disarankan dokternya, dia pun merelakan kakinya diamputasi. Oh, well, ini mungkin kedengarannya ringan, tetapi percayalah saya menulisnya dengan sedih—sangat sedih.

Satu minggu setelah amputasi itu, saya menemuinya. Dia masih sama seperti dulu, hanya kali ini tak lagi memiliki sebelah kaki. “Jadi, bagaimana kabarmu?”

“Pernah lebih baik.” Dia tersenyum lemah. “Kadang-kadang, aku masih merasakan punya kaki, dan ingin menggerakkannya. Tapi lalu sadar, kakiku sudah tak ada.”

Hal semacam itu memang biasa terjadi pada orang yang baru diamputasi—suatu perasaan ingin menggerakkan bagian tubuh yang baru hilang, karena rasanya organ tubuh itu masih ada di sana. Saraf-saraf tubuh terpusat di otak, dan otak butuh waktu untuk menyadari suatu organ tubuh telah hilang. Karenanya, ketika otak memerintahkan untuk menggerakkan suatu organ, dan ternyata organ itu telah tak ada, kesadaran pasien amputasi seperti terlecut cambuk. Kesedihan. Kehilangan. Perasaan terluka.

“Setidaknya kamu tetap hidup,” hibur saya. “Dan kamu tetap dapat keluyuran ke mana-mana seperti biasa.”

Dia tersenyum. Lalu berkata perlahan-lahan, “Kamu tahu aku tidak memerlukan hiburan semacam itu. Tapi, well, kanker keparat ini, kenapa dia tidak memberitahu kalau sedang menyerang tubuhku?”

“Mungkin ada gejala,” sahut saya, “biasanya disebut gejala kanker. Tapi gejala itu biasanya tidak terlalu tampak, dan kita tidak menghiraukannya. Ingat waktu kamu mengeluh mudah capek tempo hari? Sepertinya itu gejala, tapi mungkin kamu tidak akan meributkannya, bahkan tidak percaya kalau itu gejala kanker.”

“Ya, mungkin begitu.”

....
....

Ya, mungkin begitu. Mungkin begitu pula kanker lain yang mulai menggerogoti diri kita perlahan-lahan, tanpa disadari. Bukan hanya kanker dalam tubuh, tetapi juga kanker dalam kehidupan yang lebih luas. Kita tak pernah tahu ketika sesosok monster tak terlihat memasuki hidup kita, kemudian perlahan-lahan berkecambah dan mulai menggerogoti serta mengisap hidup kita. Perlahan-lahan… tanpa suara… dan kita tak menyadarinya.

Sebagaimana kanker dalam tubuh, kehadiran monster dalam hidup kita sering kali terdeteksi setelah terlambat. Setelah semuanya kacau. Semuanya rusak. Lalu kita sekarat. Dan mati.

Kadang-kadang, alam semesta masih memberikan kesempatan hidup, dan dia mengamputasi monster itu dari hidup kita—dengan berbagai cara yang dilakukannya. Pada waktu itu, kita mungkin merasa kehilangan, sedih, tetapi—di luar pengetahuan kita—begitulah cara alam semesta menyingkirkan monster dari kehidupan kita, agar kita tetap hidup sebagaimana mestinya.

Dan kanker berbahaya dalam hidup kita kadang berbentuk pacar, teman, kebiasaan, gaya hidup, atau apa pun. Ketika kanker mulai masuk dan menyatu dengan hidup kita, sering kali kita tidak menyadarinya. Kita masih merasa sehat, masih tetap hidup, masih tetap menjalani hari-hari sebagaimana biasa. Tetapi kanker itu terus berkecambah, dan tanpa kita sadari terus mengisap hidup kita. Beberapa orang mati akibat kanker itu, beberapa yang lain tetap hidup namun merasa kehilangan karena alam semesta melakukan amputasi terhadap kankernya.

Tiba-tiba saya mulai menyadari, bahwa kehilangan sesuatu dalam hidup kadang-kadang menjadi cara alam semesta untuk memberitahu kita, bahwa dia telah menyelamatkan hidup kita. Kehilangan pacar, kehilangan teman, kehilangan sesuatu, mungkin terasa berat dan menyakitkan. Tetapi kita hidup—tetap hidup. Bahkan, kadang kita bisa hidup lebih baik setelah kehilangan itu. Kanker telah pergi. Alam semesta telah melakukan amputasi.

Sekarang, teman saya telah mulai dapat menerima kenyataan kehilangan kakinya, dan tugas saya mempelajari setumpuk makalah tentang kanker telah selesai. Sekarang saya punya waktu lagi untuk menulis ocehan di Twitter. Sewaktu-waktu saya menyadari ada follower yang menghilang, saya tidak akan merisaukannya. Mungkin, sebaiknya saya justru bersyukur karenanya.
 

Mengapa Steven Seagal Tidak Pernah Kalah dalam Film-filmnya, dan Mengapa-mengapa Lain di Kepala Saya

Pertama kali mengenal nama Steven Seagal adalah ketika menonton Undersiege, film yang kemudian membesarkan nama Seagal. Sebagaimana banyak penonton film, saya juga menilai Undersiege sebagai film bagus. So, ketika Undersiege dibuat sekuelnya, saya pun memastikan diri untuk menonton.

Seusai Undersiege, Steven Seagal juga membintangi film-film lain—hingga di masa sekarang. Entah sudah berapa banyak film yang pernah dibintanginya selama masa-masa itu, namun yang jelas saya cukup banyak menonton filmnya, di antaranya Urban Justice, Today You Die, Shadow Man, Ruslan, Pistol Whipped, Kill Switch, Attack Force, dan puluhan lainnya.

Banyaknya film Steven Seagal yang saya tonton, karena saya penasaran ingin menyaksikan dia sekali-sekali kalah. Tetapi rupanya harapan saya tak pernah terkabul. Di antara puluhan film Seagal yang pernah saya tonton, tidak ada satu pun yang memperlihatkan Steven Seagal kalah, apalagi sampai terbunuh. Artinya, dalam setiap pertempuran, Steven Seagal selalu dan pasti menang.

Mengapa Steven Seagal tidak pernah kalah dalam film-film yang dibintanginya? Tentu saja jawabannya mudah, karena dia menjadi tokoh utama, sekaligus protagonis. Kemudian, belakangan saya tahu, dia juga menjadi produser, bahkan penulis skenario sebagian besar film yang dibintanginya. Artinya, dia bisa memerankan apa saja yang diinginkannya, dengan jalan cerita semustahil apa pun yang dibayangkannya—dan dia selalu menang, alias tak pernah kalah.

Setelah yakin Steven Seagal tak pernah kalah sejak film pertama sampai filmnya yang terbaru, saya pun jadi pesimis bahkan apatis untuk dapat melihat Seagal kalah dalam filmnya. So, ketika mendengar film Machette dirilis, dan dalam film itu Seagal tewas, saya pun langsung tertarik.

Machette adalah film yang dibintangi Danny Trejo, Robert De Niro, Jessica Alba, Don Johnson, Jeff Fahey, Michelle Rodriguez, Lindsay Lohan, dan Steven Seagal. Berbeda dengan film-film Seagal yang lain, dalam film itu ia menjadi penjahat alias antagonis. Dalam film itu memang dikisahkan tokoh yang diperankan Steven Seagal tewas. Tetapi tewasnya benar-benar tidak seperti yang saya harapkan.

Dalam pertempuran hidup-mati antara Danny Trejo dan Steven Seagal, sebilah pedang menusuk perut Seagal. Tapi dia tidak langsung tewas. Sebaliknya, Seagal “mengorek-ngorek” perutnya sendiri dengan pedang itu, alias tidak mau disebut mati terbunuh, dan lebih suka jika orang mengingatnya sebagai “harakiri”. (Untuk lebih memahami maksud saya, ada baiknya untuk menonton filmnya secara langsung).

Ini aneh, pikir saya.

Aneh, karena seolah-olah Steven Seagal memang tidak pernah mau kalah, apa pun dan bagaimana pun kisahnya.

Jadi, mengapa Steven Seagal tidak pernah kalah dalam film-filmnya? Bukan karena ia selalu menjadi protagonis atau sang hero. Bukan karena ia menjadi produser dan penulis skenario filmnya. Bukan pula karena ia tidak ingin mengecewakan para penggemarnya. Steven Seagal tidak pernah kalah dalam film-film yang dibintanginya, karena… itu membuktikan kebenaran teori Freud.

Enough, jawaban itu sudah terlalu panjang, masih banyak pertanyaan lain di kepala saya. So, sekarang tinggalkan Steven Seagal, dan lanjut ke pertanyaan-pertanyaan lain di kepala saya….


Mengapa Saleem Iklim selalu ngotot kalau menyanyi?

Yeah, suka-suka dia, laaah. Orang dia yang nyanyi ini!


Mengapa rambut Leonardo DiCaprio selalu modis?

Dalam film Romeo & Juliet, rambut Leonardo DiCaprio selalu modis, dalam arti terus dalam kondisi enak dilihat (tidak awut-awutan) meski dia jungkir balik tak karuan.

Begitu pun dalam film Titanic. Dalam film itu, Leonardo DiCaprio berdiri di buritan kapal, dan rambutnya tertiup angin. Tapi rambutnya tetap saja modis—enak dilihat, tidak awut-awutan. Dia juga sempat menyelam ke dalam air ketika air laut mulai memasuki Titanic. Tapi meski telah basah kuyup sekali pun, rambutnya tetap saja modis.

Dan saya benar-benar terpesona, sekaligus ingin sekali memiliki rambut seperti itu. Dengan segala kegoblokan, saya menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan dan mencari cara agar bisa memiliki rambut sehebat itu!

Waktu menonton kedua film tersebut, saya masih SMP atau awal SMA. Dan, sebagai cowok culun campur tolol, saya benar-benar tidak paham kalau rambut sialan itu sebenarnya tidak seperti yang saya lihat. Belakangan saya tahu, rambut Leonardo DiCaprio yang selalu modis dalam film itu adalah kerjaan salon. Tiap beberapa menit sekali—selama suting film-film tersebut—rambut Leonardo DiCaprio terus-menerus dibenahi mbak-mbak salon yang telah siap di lokasi suting.

Ketika tahu hal itu, saya misuh-misuh.


Mengapa banyak cewek yang cemburu pada Manohara?

Karena Manohara ada dalam film Titanic. Hingga detik ini saya masih bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Manohara dengan Kate Winslet.


Mengapa cewek-cewek suka Justin Bieber?

Karena ingin punya pacar seperti dia.

Salah! Cewek-cewek suka Justin Bieber, justru karena tidak ingin punya pacar seperti dia!

Kata Lain Dari

Akhirnya, setelah berjam-jam ngoceh membicarakan banyak hal, mengutip puluhan judul buku dan setumpuk nama penulis/pemikir terkenal, si pembicara berkata, “Yah, akhirnya memang kembali pada pribadi masing-masing.”

….
….

Kalau memang begitu kesimpulannya, lalu buat apa kita menghabiskan waktu dan capek membahasnya?

Kamis, 15 November 2012

Kata

Ironi, kau tahu, ketika ketiadaan dianggap ada,
dan kekosongan dianggap makna.
@noffret


Dua lelaki—entah siapa nama mereka—duduk berdampingan di pinggir sungai sambil memancing. Tampaknya mereka sebaya, dan keduanya menikmati keheningan di pinggir sungai sambil mengobrol dengan suara perlahan. Air sungai di hadapan mereka mengalir lembut bersama embusan angin, sementara kedua lelaki itu memegangi tangkai pancingnya, mungkin sambil berharap ada ikan yang cukup apes memakan umpan yang mereka pasang.

“Kadang-kadang aku heran dengan kata,” terdengar suara Lelaki Pertama. “Kau tahu, sebuah kata kadang bisa membunuh atau menghidupkan seseorang.”

“Atau membelah laut?” sahut Lelaki Kedua sambil tersenyum.

“Aku tidak memaksudkannya secara harfiah.” Lelaki Pertama membalas senyum kawannya. “Maksudku, kadang-kadang aku bisa tersenyum, atau tertawa, atau bahkan tercenung, karena sebuah kata. Atau kalimat. Kau tahu bagaimana, misalnya, sebuah kalimat yang ditulis atau diucapkan seseorang mampu mempengaruhi perasaan orang lainnya, kan?”

“Ya, aku juga cukup sering merasakan itu.”

“Yang aneh,” kata Lelaki Pertama, “kadang-kadang sebuah kata yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kita bisa membuat kita sangat terpengaruh. Maksudku, kadang-kadang kita menemukan sebuah kata tertentu, dan kita mempersepsikan kata itu ditujukan untuk kita. Padahal, bisa jadi orang yang menulis kata itu sama sekali tidak mengenal kita, dan sama sekali tak bermaksud menuliskannya untuk kita.”

“Misalnya?”

“Sayap.”

Lelaki Kedua tertawa perlahan. “Coba katakan.”

“Pernah dengar kisah seorang gadis yang terbang di hutan Rusia?”

“Ya, itu cerita lama, kan? Dan dia terbang tanpa sayap. Kalau tak salah ingat, kalimat yang mendeskripsikannya berbunyi ‘seorang gadis melayang di hutan Rusia’. Kedengarannya seperti salah satu judul posting bombastis untuk menarik pengunjung internet. Tetapi, omong-omong, apa hubungannya dengan kita? Maksudku, apa hubungannya denganmu?”

“Jadi, kau sudah mengetahui berita itu?”

“Tentu saja. Google menyediakan jutaan halaman web yang berisi berita itu di internet.”

“Dan kau percaya?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Hampir semua ulasan yang memberitakan hal itu menyimpulkannya sebagai rekayasa.”

“Artinya, jika hampir semua ulasan yang kaubaca menyimpulkannya sebagai kebenaran, kau akan percaya?”

Lelaki Kedua tercenung mendengar pertanyaan itu. Kemudian Lelaki Pertama berkata, masih dengan perlahan, “Kalau boleh menyimpulkan, kita hidup di belantara kata, dan kepercayaan atau ketidakpercayaan kita ditentukan oleh kata-kata yang kita baca. Sayangnya, sumber besar kita sekarang dalam memperoleh kata adalah Google, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.”

Lelaki Pertama tertawa perlahan. “Bagaimana kalau kaukatakan itu pada orang-orang yang bekerja di kantor Google?”

Lelaki Kedua membalas tawa temannya. “Sebenarnya, mereka juga tahu bahwa mesin yang mereka ciptakan memang tidak tahu apa-apa.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, Google bukan tuhan—terserah bagaimana kita mendefinisikan makna Tuhan. Google hanyalah mesin yang dikendalikan teknologi manusia, dan mesin itu menghamburkan kata apa saja yang pernah dimasukkan manusia sebelumnya. Tapi pengetahuan manusia selalu terbatas. Karenanya, mesin bernama Google itu juga memiliki pengetahuan terbatas, tak peduli setinggi apa pun manusia menghormatinya.”

“Tetapi,” sahut Lelaki Kedua, “meski pengetahuan manusia terbatas, pengetahuan itu akan menjadi jutaan kali lipat lebih besar ketika ada jutaan manusia yang bergabung mengumpulkan pengetahuannya, kan? Google kemudian mengumpulkan semua pengetahuan itu, dan menyediakannya untuk orang lain. Seiring dengan itu, Google terus mengumpulkan pengetahuan demi pengetahuan lain.”

“Tetap saja terbatas.”

“Aku tidak paham.”

Lelaki Pertama tersenyum. “Kau tahu siapa diriku, dan aku tahu siapa dirimu, benar? Tapi Google tidak tahu siapa kita! Bahkan jika aku memasukkan namamu sebagai kata kunci di Google, mesin yang dianggap mahatahu itu juga tidak bisa menyodorkan apa pun. Dia tidak tahu apa-apa.”

“Tetapi,” sahut Lelaki Kedua, “Google tahu siapa kau. Kalau aku memasukkan namamu sebagai kata kunci, Google dapat mengindeks ribuan link yang terhubung dengan namamu.”

“I know.” Lelaki pertama tersenyum misterius. “Tetapi juga, dari sekian banyak link itu, tidak satu pun yang bisa mengungkapkan identitasku, apalagi menjelaskan siapa aku. Jadi, apa sebenarnya yang diketahui Google? Nothing!”

Lelaki Kedua kini memahami maksud temannya. Di dunia yang begitu sempit sekarang ini, Google memang telah menempati posisi yang amat mulia sebagai sumber pengetahuan berjuta-juta manusia. Tetapi, sekarang, sambil tersenyum ia membayangkan bahwa mesin itu sebenarnya tidak tahu apa-apa. Seperti apa air yang dimasukkan ke dalam botol, air itu pula yang akan dikeluarkannya ketika dituangkan. Dan setiap orang bisa memasukkan air apa pun ke dalamnya.

Lelaki Pertama kembali berkata, “Ironi, kau tahu, adalah ketika ketiadaan dianggap ada, dan kekosongan dianggap makna.” Kemudian, setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Dan kita semua sekarang terperangkap di dalamnya, hidup dengan bernapas melalui keberadaannya. Jika kita butuh sesuatu, kita temui Google. Jika perlu jawaban, kita membuka Google. Kita, tanpa sadar, telah menempatkan Google sebagai semacam tuhan yang selalu dapat menjawab doa-doa.”

“Dan kenyataannya Google tetap bukan tuhan,” lanjut Lelaki Kedua.

“Kau telah terbangun dari tidurmu, Kawan,” senyum Lelaki Pertama. “Sebenarnya, kita tentu bersyukur atas keberadaan Google. Tetapi, yang kadang kusayangkan, kita menggantungkan segalanya pada mesin itu. Keyakinan atau ketidakyakinan kita ditentukan olehnya, seolah kita tak memiliki sumber lain yang dapat digunakan. Akibatnya, seperti yang tadi kaukatakan, kebenaran bisa diragukan, dan kebohongan bisa dipercaya.”

“Aku… aku tak mengatakan begitu, kan?”

“Kau mengatakannya, secara tersirat. Kau menyatakan tak percaya pada gadis yang terbang atau melayang di hutan Rusia. Dan ketidakpercayaanmu karena persentase hasil yang disodorkan Google. Halaman-halaman web yang disodorkan Google mengatakan bahwa itu rekayasa, dan kau mempercayainya. Google telah menjadi tuhanmu, atau agamamu.”

“Jadi, kau percaya tentang gadis di hutan Rusia itu?” tanya Lelaki Kedua dengan heran.

“Aku tidak mengatakan begitu,” sahut Lelaki Pertama sambil menahan senyum. “Yang ingin kukatakan adalah bahwa kita—kau dan aku khususnya—telah begitu terikat oleh ketergantungan pada mesin yang sekarang kita tuhankan. Kita percaya pada yang diperlihatkannya, dan tidak percaya jika Google tidak bisa memperlihatkannya. Tetapi, sekali lagi, ironi kita dimulai. Aku percaya keberadaanmu meski Google tidak tahu siapa dirimu. Kau pun percaya keberadaanku, meski Google tak bisa mengungkap identitasku. Jadi, apa sebenarnya yang Google tahu?”

Mereka terdiam sesaat. Masih memegangi tangkai pancing di tangan, sambil menatap air sungai yang masih tampak mengalir perlahan. Kemudian, Lelaki Kedua berkata, “Tetapi, apa hubungan semua yang kita bicarakan ini dengan kata? Kalau tak salah ingat, kau memulai topik pembicaraan kita dengan pengaruh kata, kan?”

“Ya,” sahut Lelaki Pertama. “Karena pada mulanya adalah kata.”

….
….

Sampai hari ini, Google tetap tidak tahu apa-apa tentang mereka.

Drama Cinta Tak Biasa

"Aku mencintaimu," kata si perempuan.

"Apa...?" Si lelaki terkejut. "Kau mau mengutukku?!"

Jumat, 09 November 2012

Surga Ada di Bawah Telapak Kaki Penjual Batagor (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, yang paling membuat hati saya “teriris” adalah ekspresi si anak perempuan, ketika hal semacam di atas terjadi. Sering kali, setelah selesai makan batagor, saya bertanya pada ibu penjualnya, “Berapa, Bu?”

Lalu ibu itu akan menetapkan harga yang “dibulatkan” seperti biasa. Saya tahu sedang dibohongi, dan rupanya si anak perempuan penjual batagor itu juga tahu ibunya sedang berbuat tidak jujur. Saya hanya diam, dan membayar sejumlah yang diminta. Pada waktu itulah saya sering kali mendapati tatapan mata si anak perempuan yang kelihatannya terluka, namun tak berdaya.

Mungkin—dalam bayangan saya—anak perempuan itu tahu ibunya berbuat curang pada pelanggan. Dan dia tidak menyukai hal itu, namun tak bisa berbuat apa-apa—bisa karena tak berani menegur ibunya, bisa pula karena menyadari keluarga mereka memang membutuhkan tambahan pemasukan. Jadi dia pun diam saja, meski tatapannya jelas memperlihatkan tidak menyetujui perbuatan ibunya.

Itu kisah bertahun-tahun lalu, ketika saya masih sering datang ke warung batagor tersebut. Sampai kemudian, ketika aktivitas saya semakin padat dan makin sibuk, waktu untuk datang ke warung itu pun semakin berkurang. Dan makin hari saya makin jarang datang ke sana. Kalau sedang ingin menikmati batagor, saya pun memilih ke warung-warung yang cukup dekat.

Sampai suatu hari, saya membaca sebuah buku yang mengisahkan kejujuran seorang anak perempuan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Kisahnya, Umar bin Khattab—yang waktu itu menjabat sebagai Khalifah—sering menyamar dan jalan-jalan di larut malam untuk mengetahui aktivitas rakyatnya.

Suatu malam, ketika sedang jalan-jalan di pinggiran kota, Umar bin Khattab tanpa sengaja mendengar percakapan seorang ibu penjual susu dengan anak perempuannya. Rupanya, ibu penjual susu itu berencana mencampurkan air ke dalam susu yang akan dijualnya, dengan tujuan agar jumlahnya makin banyak, hingga keuntungan yang didapatkan juga bertambah banyak.

Atas kecurangan ibunya tersebut, anak perempuannya menegur, “Ibu, itu tidak jujur, dan merugikan pembeli kita.”

Si ibu menyahut, “Ah, tidak ada yang tahu ini. Para pembeli tidak akan tahu susu ini bercampur air.”

“Mungkin mereka tidak tahu,” jawab si anak perempuan, “tetapi Tuhan tahu!”

Umar bin Khattab mendengar percakapan itu, dan hatinya bergetar. Ia pulang ke rumah, dan bertekad untuk menikahkan putranya dengan anak perempuan penjual susu tadi. Pada waktu itu Umar bin Khattab memiliki seorang putra, bernama Asim. Jika putra tersayangnya harus menikah dengan seorang perempuan, pikirnya, maka anak perempuan yang jujur tadi pastilah calon istri yang tepat.

Maka begitulah. Asim yang taat memenuhi permintaan ayahnya, dan ia menikah dengan gadis itu. Pernikahan itu kemudian melahirkan seorang anak perempuan bernama Laila, yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Kemudian, Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan, lalu melahirkan putra bernama Umar bin Abdul-Aziz... dan selanjutnya adalah sejarah paling memukau di Tanah Arabia.

Ketika dewasa, Umar bin Abdul Aziz menjadi tokoh terbesar pada zamannya. Ia telah menjadi Khalifah pada usia 36 tahun, dan pemerintahannya yang adil menjadikan Tanah Arabia sebagai negeri yang luar biasa kaya.

Di bawah pemerintahannya, tidak ada satu orang pun yang miskin, sehingga penduduk di sana kebingungan membayar zakat karena tidak ada orang yang layak menerimanya. Harta zakat yang menggunung dan berlimpah itu akhirnya digunakan untuk membiayai pernikahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, sehingga dapat dikatakan semua fasilitas dan kebutuhan rakyat dapat diperoleh secara gratis.

Selain menjadi pemimpin yang sangat hebat, tokoh besar yang merupakan cicit Umar bin Khattab itu juga sangat arif, penuh ketakwaan kepada Tuhan, jujur, rendah hati, menjalani kehidupan yang sangat sederhana, namun pejuang yang pemberani. Ia dihormati para sahabatnya, disegani para musuhnya, dicintai rakyatnya. Dan orang yang luar biasa itu terlahirkan ke dunia gara-gara Umar bin Khattab mendengar kejujuran seorang anak perempuan penjual susu.

….
….

Ketika membaca kisah itu, entah kenapa angan saya melayang kepada anak perempuan penjual batagor yang dulu biasa saya datangi. Maka, suatu siang ketika kebetulan ada waktu luang, saya pun pergi ke warung batagor tersebut. Tidak, saya tidak bermaksud menikahinya, karena belum tentu juga dia mau sama saya.

Warung batagor itu masih ada, tepat di tempat yang sama, seperti bertahun-tahun lalu. Namun, warung itu sekarang jauh lebih besar, lebih bagus, dan sepertinya juga lebih ramai. Saya pun masuk ke sana, dan memesan batagor seperti dulu.

Sambil menikmati batagor yang “maknyus” seperti bertahun-tahun lalu, saya memperhatikan ibu penjual batagor sekarang sudah tidak ada. Yang terlihat di sana adalah anak perempuannya, dan anak lelakinya, serta dua perempuan lain yang membantu melayani.

Si anak perempuan yang dulu saya lihat masih SMA, sekarang sudah dewasa. Cewek yang dulu terlihat unyu dan berseragam SMA itu sekarang telah menjelma menjadi perempuan matang. Dia pula yang sekarang memasak batagor, dan menyajikannya di piring, lalu dua pembantunya akan mengantarkan kepada pembeli yang menunggu.

Ketika saya masuk ke warung itu, sepertinya dia masih mengenali muka saya. Dan tersenyum. Dalam memorinya, mungkin dia masih ingat saya salah satu pelanggannya bertahun-tahun lalu. Kemudian, ketika saya akan membayar, dia pun mendekati tempat saya dan menjelaskan harganya. Dengan ramah dia menyebutkan harga seporsi batagor, harga sebotol minuman, dan total harga yang harus saya bayar. Saya tahu dia jujur.

Ketika perempuan itu kembali untuk menyerahkan uang kembalian, saya bertanya di mana ibunya. Dengan lirih perempuan itu menjawab, “Ibu sudah meninggal.” Kemudian, dengan suara yang makin lirih, ia berkata, “Mohon dimaafkan jika Ibu punya kesalahan.”

Saya tidak menjawab. Saya tidak mampu menjawab.

Ketika melangkah keluar dari warung batagor itu, sesuatu menghangat di dada saya. Bayangan ibu penjual batagor yang dulu sering saya lihat bertahun-tahun lalu berkelebat dalam angan… dan saya berharap, berdoa, untuk memaafkannya. Mungkin dia bukan penjual yang jujur, tapi Tuhan tahu ia pasti ibu yang baik, karena telah melahirkan anak perempuan yang jujur.

Dan jika memang surga ada di bawah telapak kaki ibu, saya pun yakin ibu penjual batagor memiliki karunia itu.  
 

Surga Ada di Bawah Telapak Kaki Penjual Batagor (1)

Kangen batagor.
Hmm… apakah di surga ada batagor?
@noffret


Seperti sudah saya ceritakan di sini, saya sangat suka batagor. Karena itu, “wisata kuliner” saya adalah keluyuran dari satu warung batagor ke warung batagor yang lain. Kadang saya menemukan warung batagor yang benar-benar “maknyus”, dan saya pun biasanya akan sering-sering datang ke warung tersebut.

Nah, salah satu warung batagor “maknyus” itu kebetulan cukup jauh dari rumah saya. Tapi karena memang “maknyus”, saya pun tak peduli—kerap kali datang ke sana meski harus menempuh perjalanan cukup jauh.

Warung itu saya temukan bertahun-tahun lalu, ketika masih kuliah semester awal. Karena batagornya memang enak, warung itu pun selalu ramai pengunjung. Saban kali saya ke sana, hampir bisa dipastikan ada puluhan orang yang sudah ngantri. Penjualnya seorang ibu, yang dibantu anak lelaki dan anak perempuannya. Kalau saya perhatikan, si ibu bertugas memasak dan menyajikan, si anak perempuan mengantarkan batagor ke pembeli yang sudah menunggu, sementara si anak lelaki bertugas mencuci piring kotor.

Dulu, pada awal-awal saya sering ke warung batagor tersebut, si anak perempuan masih SMA. Itu saya tahu karena dia sering terlihat masih berseragam SMA, ketika mengantarkan piring berisi batagor buat saya. Mungkin waktu itu dia baru pulang sekolah, dan tidak sempat berganti baju karena harus buru-buru membantu ibunya di warung batagor. Anak perempuan itu cantik—khususnya di mata saya.

Hingga beberapa tahun saya menjadi pelanggan warung tersebut. Biasanya, saya akan memesan batagor dan minuman botol. Kadang ditambah rokok, kalau kebetulan rokok saya pas habis. Semuanya baik-baik saja—batagornya nikmat, minumannya enak, dan rokoknya sedap. Ditambah pemandangan cewek cantik anak penjual batagor, lengkaplah sudah keindahan hidup ini.

Nah, yang agak menjengkelkan adalah ketika akan membayar. Kita tahu, di warung-warung pinggir jalan semacam itu kita hanya percaya pada si penjual. Artinya, harga yang akhirnya kita bayar baru kita ketahui setelah si penjual menyebutkan angkanya. Dalam hal ini, ibu si penjual batagor itu sering kali “seenaknya sendiri” dalam menetapkan harga pada pelanggannya.

Karena bertahun-tahun jadi pelanggan di sana, saya tahu betul berapa harga seporsi batagor, berapa harga minuman sebotol, dan berapa harga sebatang atau dua batang rokok. Ketika akan membayar, saya sudah tahu berapa yang seharusnya saya bayar, namun sering kali ibu penjual batagor itu “menggenapkan” seenaknya sendiri. Misalnya, total yang harus saya bayar Rp. 8.500 atau Rp. 9.000. Nah, penjual batagor itu akan “membulatkannya” menjadi Rp. 10.000.

Hal itu tidak hanya terjadi pada saya, tapi juga pada para pembeli atau pelanggan lainnya. Kadang-kadang saya ketemu teman di warung batagor tersebut, dan kami pun membincangkan soal harga yang ditetapkan seenaknya sendiri itu. Banyak orang mengeluhkan kasus tersebut, namun kebanyakan memilih diam—mungkin karena tidak mau ribut, mungkin pula karena “terpelet” lezatnya batagor di sana. Akibatnya, meski saya sendiri jengkel atas ulah penjual batagor di atas, saya tetap saja kembali dan kembali lagi ke sana.

Mulanya, jujur saja, saya dongkol. Memang uang seribu rupiah bukan nilai yang besar. Tapi kalau hal itu diminta secara tidak benar—sebagaimana yang dilakukan penjual batagor di atas—saya tentu merasa dongkol. Beda kasus, misalnya, saya dengan ikhlas memberikannya kepada peminta-minta. Meski nilainya sama, saya tidak akan jengkel, karena saya melepaskan uang itu dengan suka rela.

Namun, lama-lama, akhirnya saya mencoba menyadari. Ketika makan batagor di sana, kadang saya berusaha memaklumi perbuatan si penjual batagor. Mungkin, kehidupan si penjual batagor itu cukup sulit, dan keuntungannya dalam menjual batagor mungkin kurang dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya—dari kebutuhan membeli sembako sampai kebutuhan menyekolahkan anak-anaknya. Dan, karena kesulitan semacam itulah kemudian dia sampai tega “menilep” beberapa rupiah dari pelanggannya.

Ketika menyadari hal semacam itu, saya pun mencoba dan berusaha untuk mengikhlaskan setiap kali saya tahu sedang “ditipu” olehnya. Dan dalam hati diam-diam saya berdoa, semoga sedikit uang yang diambilnya dari saya itu memberikan keberkahan dan manfaat.

Lanjut ke sini.

Huruf Kesepuluh

Juga huruf ketiga. Tetapi, kita sama-sama tahu, yang paling memusingkan adalah huruf kedua puluh. Dan yang paling membuat sinting adalah huruf keenam.

Entah sampai kapan perjalanan ini akan selesai.

Jumat, 02 November 2012

Tangis Tak Terdengar (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Meski cukup tragis, namun Naila Afsar bernasib lebih baik dibanding Ilham Mahdi al-Assi, yang kemudian mati karena kehendak sepihak orang tuanya.

Ilham Mahdi adalah gadis berusia 12 tahun asal provinsi Hajja, Yaman. Ia dipaksa menikah oleh orang tuanya, meski ia sendiri belum memahami sepenuhnya arti pernikahan. Ia tak berani menolak. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara menolak perjodohan itu. Jadi, pada 29 Maret 2010, gadis itu pun menikah dengan seorang lelaki yang dipilihkan keluarganya.

Lalu tragedi tak terbayangkan terjadi. Karena belum memasuki usia pubertas, dan organ-organ reproduksinya belum kuat untuk berhubungan intim atau melahirkan, gadis belia itu mengalami perdarahan hebat ketika berhubungan seksual dengan suaminya, akibat pecahnya pembuluh darah pada organ seksnya.

Karena kondisinya yang memprihatinkan, gadis itu pun dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong. Pada 2 April 2010, Ilham Mahdi meninggal dunia—lima hari setelah perkawinannya. Atas kematian tragis itu, Shaqaeq Arab Forum for Human Rights, organisasi nonpemerintah, menyatakan, “Gadis itu meninggal sebagai korban dari penyalahgunaan kehidupan anak-anak di Yaman.”

Kematian Ilham Mahdi al-Assi menjadi contoh nyata dari hasil pertentangan larangan pernikahan anak di Yaman, yang mengarah ke “pembunuhan anak perempuan”. Tak jauh beda dengan negara berkembang lainnya, pernikahan gadis-gadis muda tersebar luas di Yaman yang memiliki struktur suku yang kuat. Karena banyaknya gadis-gadis belia yang mati di sana akibat perkawinan dini, sampai-sampai muncul istilah “pengantin kematian” yang mengilustrasikan perkawinan sebelum pubertas.

Pernikahan dini telah menjadi kontroversi cukup lama di Yaman, sampai kemudian muncul undang-undang yang melarang pernikahan anak dalam usia dini. Undang-undang baru itu menyebutkan usia minimal perempuan untuk menikah adalah 17 tahun, sedang untuk laki-laki minimal 18 tahun. Meski positif, undang-undang itu mendapatkan banyak tentangan, khususnya dari masyarakat konservatif, meski kematian demi kematian telah berlangsung di depan mata mereka akibat perkawinan yang belum waktunya.

Perkawinan yang dipaksakan—anak-anak perempuan yang dipaksa menikah dengan orang yang tak dicintainya, atau dipaksa menikah sebelum waktunya—seperti yang tergambar dalam dua ilustrasi di atas, mungkin telah sangat klise dalam kehidupan kita. Tapi bukan berarti ia tak lagi ada. Setiap hari, masih ada perempuan yang menangis diam-diam karena menuruti kehendak orang tuanya, menikah dengan seseorang yang tak dikenal apalagi dicintainya.

Dan, kadang, orang tua tidak hanya merasa berhak menentukan siapa jodoh anaknya, tetapi juga untuk hal-hal lain yang mereka anggap sebagai “hal baik” bagi sang anak, meski sebenarnya sangat berbahaya. Fatima Sheriff adalah contoh nyata betapa sesuatu yang dianggap baik oleh orang tuanya ternyata menjadi awal derita seumur hidup baginya.

Fatima Sheriff adalah wanita yang tinggal di wilayah Afrika barat. Sebagaimana umumnya tradisi di sana, Fatima juga menjalani adat mengerikan berupa mutilasi klitoris dan bagian vaginanya. Dalam ingatannya, Fatima menceritakan, ia masih berusia 4 atau 5 tahun ketika peristiwa mengerikan itu terjadi. Ia masih ingat ibunya memegangi dirinya, sementara seseorang tak dikenalnya memegangi silet dan kemudian memangkas kelaminnya.

“Jika orang itu melakukannya hari ini,” kata Fatima yang kini berusia 32 tahun, “saya akan membunuhnya!”

Pernyataan keras Fatima dilatarbelakangi rasa traumanya yang tak pernah hilang, juga karena ia selalu malu akibat cacat alat kelaminnya. Ia cemburu pada perempuan lain yang memiliki alat kelamin utuh, dan merasa dirinya kehilangan identitas sebagai perempuan. Meski telah menikah, Fatima mengaku tak pernah mampu bergairah dalam hubungan seksual dengan suaminya. Berdasarkan penuturannya sendiri, ia tidak pernah mengalami kenikmatan apa pun dalam aktivitas seksualnya, meski sekarang telah memiliki anak.

Fatima adalah satu di antara seratus empat puluh juta perempuan di seluruh dunia yang mengalami mutilasi genital akibat klitoris dan labianya dihilangkan sebagian atau semua. Dan mutilasi itu disebut adat yang baik, suatu hal yang diwariskan turun temurun oleh orang tua kepada anaknya, dan kepada anaknya lagi, dan kepada anaknya lagi. Tetapi para perempuan kini sadar, bahwa “adat yang baik” itu sebenarnya horor mengerikan yang menghantui seumur hidup.

Karena kesadaran itu pula, para dokter dan para ilmuwan pun berupaya mencari cara agar dapat merekonstruksi alat kelamin perempuan—klitoris atau labianya—yang termutilasi. Hasilnya, upaya untuk melakukan rekonstruksi itu berhasil ditemukan, meski prosesnya cukup menyakitkan. Pierre Foldes, seorang ahli bedah di Poissy-Saint Germain Hospital, Paris, adalah 1 di antara 10 dokter di dunia yang terlatih melakukan prosedur itu.

Sepanjang tahun 1998-2009, Pierre Foldes telah menangani ratusan pasien, terutama dari Mali, Senegal, dan Pantai Gading—sebanyak 560 perempuan di antaranya telah mengalami mutilasi di Prancis, dan sebagian besar berusia 5-9 tahun ketika mutilasi itu terjadi. Setelah upaya rekonstruksi alat kelamin dilakukan, para pasien masih harus menjalani terapi seks yang cukup memakan waktu, untuk dapat merasakan orgasme dalam aktivitas seksualnya.

Fatima Sheriff juga menjadi salah satu pasien dokter Pierre Foldes, dan ia menjalani operasi rekonstruksi klitoris untuk memperbaiki kondisinya akibat mutilasi. Setelah beberapa minggu menjalani pemulihan yang menyakitkan, ia masih harus menjalani terapi di bawah bimbingan terapis seks. Hasilnya, seperti yang dikatakannya sendiri, “Saya menangis, ketika akhirnya bisa merasakan orgasme untuk pertama kalinya.”

Ketika diwawancarai surat kabar MedIndia, Sabtu, 16 Juni 2012, dengan berurai air mata Fatima menjelaskan bahwa kebahagiaannya sekarang bukan hanya karena dapat merasakan orgasme dalam hubungan seksual dengan suaminya, tetapi juga karena sekarang ia telah merasa utuh sebagai perempuan.

....
....

Pepatah lama menyatakan, “Tidak ada orang tua yang ingin menyengsarakan anak-anaknya.” Coba katakan itu pada Naila Afsar, Ilham Mahdi al-Assi, atau Fatima Sheriff.

Tangis Tak Terdengar (1)

Sungguh mudah mengubah senyum menjadi murung,
mengubah tawa menjadi tangis.
Sayangnya, tak mudah pula membalikkannya.
@noffret


Pepatah lama menyatakan, “Tidak ada orang tua yang ingin menyengsarakan anak-anaknya.” Coba katakan itu pada Naila Afsar, Ilham Mahdi al-Assi, atau Fatima Sheriff.

Naila Afsar adalah gadis berusia 23 tahun yang tinggal di Bradford, Inggris, anak bungsu dari 8 bersaudara. Ia menjalin hubungan kasih dengan Afsar Saddiq. Tapi hubungan itu tak direstui keluarganya. Ibunya, Shamim Akhtar, menjodohkan Naila Afsar dengan sepupunya sendiri, yang dianggap lebih layak, demi membangun citra keluarga.

Keinginan Shamim Akhtar untuk menjodohkan Naila Afsar dengan sepupunya yang kaya didukung penuh oleh anggota keluarga yang lain, khususnya sang kakak, Shamrez Khan (34 tahun), dan menantunya, Zahid Mahmood (37 tahun). Ayah Naila Afsar sudah meninggal dunia, dan Shamrez Khan—anak sulung lelaki—menjadi semacam kepala keluarga.

Tapi Naila Afsar menolak keinginan perjodohan yang dirancang keluarganya. Ketika mereka semakin memaksa, Naila Afsar memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia pergi ke Newcastle, dan di sana ia menikah dengan kekasihnya, Afsar Saddiq.

Keluarga Naila Afsar pun mencari-cari gadis itu, sampai kemudian mereka menemukan tempat tinggalnya di Newcastle. Shamim Akhtar dan Shamrez Khan memantau kehidupan Naila Afsar. Ketika suami Naila Afsar sedang keluar, mereka mendatangi apartemennya, dan memaksa perempuan itu untuk menuruti keinginan keluarga—menceraikan suaminya, dan menikah dengan sepupunya.

Untuk kesekian kali, Naila Afsar menolak keinginan keluarganya. Penolakan itu disambut tamparan sang kakak lelaki, yang menganggapnya telah mencoreng kehormatan keluarga. Belum cukup, ibu dan anak lelaki itu kemudian menyeret Naila Afsar ke dalam mobil, lalu memaksanya minum susu yang telah dicampur narkoba. Rencananya, setelah perempuan itu tidak sadar, ia akan dipaksa menandatangani surat perceraian, untuk kemudian dinikahkan dengan sepupunya.

Shamrez Khan memaksakan gelas susu bercampur narkoba itu ke mulut Naila Afsar, di bawah tatapan bengis sang ibu. Setelah Naila Afsar mabuk karena meminum susu bercampur narkoba, Shamrez Khan memacu mobil menuju Bradford. Tetapi takdir berkehendak lain. Seorang polisi yang sedang berpatroli mencurigai mobil itu, kemudian menghentikannya... dan terbongkarlah perbuatan itu.

Kasus itu kemudian sampai di Pengadilan Burnley, dan vonisnya dijatuhkan pada 28 Juli 2012. Dalam persidangan terungkap rencana penculikan yang melibatkan narkoba itu dirancang oleh sang ibu, kakak lelaki, dan menantunya. Shamim Akhtar (sang ibu) akhirnya divonis 4 tahun penjara, Shamrez Khan (anak lelaki) divonis 5 tahun penjara, sedang Zahid Mahmood (menantu) mendapatkan ganjaran 4 tahun penjara.

Hakim Simon Newell, yang memimpin persidangan, berkata dengan keras kepada Shamim Akhtar, “Dia anak Anda yang paling bungsu, dan Anda seharusnya merawatnya, mendukungnya, dan memberikan yang terbaik untuknya. Tapi Anda justru memaksakan kehendak kepadanya, memberinya narkoba dan menganiayanya, demi nama baik keluarga.”

Lanjut ke sini.

Distorsi

Dua kata tidak pernah bisa menggambarkan sesuatu, apalagi seseorang, secara utuh. Kita bisa melakukannya untuk diri sendiri, tetapi tidak untuk orang lain. Karena itu sangat tidak adil untuk mereka.

—kepada yang duduk memelototi kata

 
;