Kita tersenyum ketika mendapatkan.
Tapi sering tak rela ketika kehilangan. Padahal,
yang hilang adalah yang kita dapatkan.
—@noffret
Tapi sering tak rela ketika kehilangan. Padahal,
yang hilang adalah yang kita dapatkan.
—@noffret
Beberapa minggu ini saya jarang online. Hal itu sangat tampak pada timeline Twitter saya. Kalau biasanya saya menyempatkan diri untuk menulis sesuatu di timeline, beberapa minggu ini sangat jarang sekali. Rasanya tidak ada waktu untuk ngurusin Twitter, karena seorang teman baik saya sedang di ambang maut karena kanker. Untuk menghormati privasinya, saya akan menyebutnya X.
Saya telah berkawan baik dengan X sejak bertahun-tahun lalu. Karena kami tinggal di kota yang berbeda, kami pun jarang bertemu, kecuali untuk urusan mendesak atau penting. Dia juga jarang di rumah karena pekerjaannya. Kadang-kadang, dia mengirimi saya sesuatu sewaktu ada di negeri lain, dan itu pula yang kadang saya lakukan untuknya. Dia salah satu teman terbaik yang saya miliki.
Lima atau enam bulan yang lalu, kami bertemu di suatu acara, dan kami ngobrol dengan asyik. Dia baru pulang dari Kanada, untuk urusan kerja seperti biasa. Waktu itu dia sempat mengeluh, “Akhir-akhir ini aku jadi mudah capek.”
Saya hanya menyahut sambil tertawa, “Semua orang juga akan capek kalau menjalani hidup sepertimu.”
Detik itu, kami sama-sama tidak tahu bahwa keluhan itu adalah awal kelahiran sesosok monster yang kelak akan membuatnya menderita.
Sejak pertemuan itu, kami kembali pada kehidupan dan kesibukan masing-masing. Beberapa kali kami berhubungan via email, dan dia berada jauh dari Indonesia. Sampai kemudian, sekitar dua bulan lalu, dia mengabarkan sesuatu yang sangat mengejutkan. “Aku kena kanker,” katanya lewat telepon.
Dan ganas. Dan dia sekarat.
Kanker itu ada pada tulang kakinya, sedikit di atas lutut. Diagnosis terakhir menyebutkan bahwa kanker itu sudah stadium akut, dan berbahaya, dan satu-satunya solusi medis yang disarankan adalah amputasi. Jika tidak, katanya, kanker itu dikhawatirkan akan terus berkecambah.
Berita itu sangat mengejutkan. Kanker, kau tahu, adalah hal terakhir yang ingin saya dengar dari siapa pun. Dan amputasi, demi Tuhan, adalah hal yang sama sekali tidak ingin saya dengar menimpa siapa pun—khususnya kawan baik saya. Tetapi kombinasi yang sangat mengerikan itu—kanker dan amputasi—sekarang saya dengar dari mulut kawan yang sangat saya sayangi, bencana yang menimpanya.
Jadi saya pun berangkat menuju tempatnya dirawat, dan mendapatinya terbaring dengan wajah penuh duka. Tidak ada lagi wajah bersemangat yang biasa saya saksikan, tidak ada lagi sosok penuh energi yang biasa saya kenali. Dia sekarat. Dan sekerat kanker sedang mengancam hidupnya.
Saya duduk di sisi pembaringannya waktu itu, menatap matanya, dan bertanya, “Apa yang bisa kubantu?”
Meski tubuhnya digerogoti kanker, kepalanya masih sehat, dan otaknya masih jernih. Dia menyatakan, “Menurut dokter, aku punya waktu tiga minggu untuk memikirkan kanker sialan ini. Setelah itu, aku harus memilih—hidup dengan kaki diamputasi, atau aku akan mati. So, tolong carikan semua informasi yang sekiranya dapat membantuku. Siapa tahu ada alternatif yang belum diketahui dokter di sini. Bagaimana pun, aku tidak ingin kehilangan kaki.”
Saya memahami maksudnya. Maka, sejak itu, saya pun mulai mengumpulkan semua bahan dan informasi yang bisa saya dapatkan tentang kanker, dan saya benar-benar khusyuk mempelajarinya. Selama beberapa minggu terakhir, saya mempelajari semua hal tentang kanker yang ada di planet ini—buku, makalah, paper, CD—dari pagi sampai pagi lagi, dan rasanya saya jadi mahasiswa kedokteran spesialis kanker. Dalam kesibukan urusan kanker itulah, saya jadi terlupa pada Twitter.
Saya mau melakukan semua itu untuk teman saya, karena saya tahu dia juga akan melakukan hal yang sama jika sayalah yang sekarang ada di posisinya. Saya tidak ingin kehilangan dia.
Hasilnya, berdasarkan yang saya pelajari, waktunya tidak cukup. Sementara saya bersetubuh dengan makalah dan buku-buku, kanker itu terus hidup, berdenyut, dan bergerak. Ia seperti monster yang diam-diam menguasaimu, tanpa kau tahu. Memang ada beberapa alternatif untuk dapat mengalahkan kanker itu tanpa amputasi—dari pengobatan herbal atau alternatif lain yang bisa dicoba—tetapi waktunya sudah mendesak dan tidak cukup.
Itu pula yang saya katakan kepadanya. “Kita terlambat mengetahui kanker itu, dan sekarang kita kehabisan waktu.”
Dia memahami maksudnya. Jadi, sebagaimana yang telah disarankan dokternya, dia pun merelakan kakinya diamputasi. Oh, well, ini mungkin kedengarannya ringan, tetapi percayalah saya menulisnya dengan sedih—sangat sedih.
Satu minggu setelah amputasi itu, saya menemuinya. Dia masih sama seperti dulu, hanya kali ini tak lagi memiliki sebelah kaki. “Jadi, bagaimana kabarmu?”
“Pernah lebih baik.” Dia tersenyum lemah. “Kadang-kadang, aku masih merasakan punya kaki, dan ingin menggerakkannya. Tapi lalu sadar, kakiku sudah tak ada.”
Hal semacam itu memang biasa terjadi pada orang yang baru diamputasi—suatu perasaan ingin menggerakkan bagian tubuh yang baru hilang, karena rasanya organ tubuh itu masih ada di sana. Saraf-saraf tubuh terpusat di otak, dan otak butuh waktu untuk menyadari suatu organ tubuh telah hilang. Karenanya, ketika otak memerintahkan untuk menggerakkan suatu organ, dan ternyata organ itu telah tak ada, kesadaran pasien amputasi seperti terlecut cambuk. Kesedihan. Kehilangan. Perasaan terluka.
“Setidaknya kamu tetap hidup,” hibur saya. “Dan kamu tetap dapat keluyuran ke mana-mana seperti biasa.”
Dia tersenyum. Lalu berkata perlahan-lahan, “Kamu tahu aku tidak memerlukan hiburan semacam itu. Tapi, well, kanker keparat ini, kenapa dia tidak memberitahu kalau sedang menyerang tubuhku?”
“Mungkin ada gejala,” sahut saya, “biasanya disebut gejala kanker. Tapi gejala itu biasanya tidak terlalu tampak, dan kita tidak menghiraukannya. Ingat waktu kamu mengeluh mudah capek tempo hari? Sepertinya itu gejala, tapi mungkin kamu tidak akan meributkannya, bahkan tidak percaya kalau itu gejala kanker.”
“Ya, mungkin begitu.”
....
....
Ya, mungkin begitu. Mungkin begitu pula kanker lain yang mulai menggerogoti diri kita perlahan-lahan, tanpa disadari. Bukan hanya kanker dalam tubuh, tetapi juga kanker dalam kehidupan yang lebih luas. Kita tak pernah tahu ketika sesosok monster tak terlihat memasuki hidup kita, kemudian perlahan-lahan berkecambah dan mulai menggerogoti serta mengisap hidup kita. Perlahan-lahan… tanpa suara… dan kita tak menyadarinya.
Sebagaimana kanker dalam tubuh, kehadiran monster dalam hidup kita sering kali terdeteksi setelah terlambat. Setelah semuanya kacau. Semuanya rusak. Lalu kita sekarat. Dan mati.
Kadang-kadang, alam semesta masih memberikan kesempatan hidup, dan dia mengamputasi monster itu dari hidup kita—dengan berbagai cara yang dilakukannya. Pada waktu itu, kita mungkin merasa kehilangan, sedih, tetapi—di luar pengetahuan kita—begitulah cara alam semesta menyingkirkan monster dari kehidupan kita, agar kita tetap hidup sebagaimana mestinya.
Dan kanker berbahaya dalam hidup kita kadang berbentuk pacar, teman, kebiasaan, gaya hidup, atau apa pun. Ketika kanker mulai masuk dan menyatu dengan hidup kita, sering kali kita tidak menyadarinya. Kita masih merasa sehat, masih tetap hidup, masih tetap menjalani hari-hari sebagaimana biasa. Tetapi kanker itu terus berkecambah, dan tanpa kita sadari terus mengisap hidup kita. Beberapa orang mati akibat kanker itu, beberapa yang lain tetap hidup namun merasa kehilangan karena alam semesta melakukan amputasi terhadap kankernya.
Tiba-tiba saya mulai menyadari, bahwa kehilangan sesuatu dalam hidup kadang-kadang menjadi cara alam semesta untuk memberitahu kita, bahwa dia telah menyelamatkan hidup kita. Kehilangan pacar, kehilangan teman, kehilangan sesuatu, mungkin terasa berat dan menyakitkan. Tetapi kita hidup—tetap hidup. Bahkan, kadang kita bisa hidup lebih baik setelah kehilangan itu. Kanker telah pergi. Alam semesta telah melakukan amputasi.
Sekarang, teman saya telah mulai dapat menerima kenyataan kehilangan kakinya, dan tugas saya mempelajari setumpuk makalah tentang kanker telah selesai. Sekarang saya punya waktu lagi untuk menulis ocehan di Twitter. Sewaktu-waktu saya menyadari ada follower yang menghilang, saya tidak akan merisaukannya. Mungkin, sebaiknya saya justru bersyukur karenanya.