Sabtu, 25 Maret 2017

Drama Cinta Sang Miliuner

Kadang-kadang hatiku bisa diajak jatuh cinta.
Tetapi, setiap kali itu terjadi, pikiranku menertawakannya.
@noffret


Elon Musk adalah bocah beruntung. Dia lahir sebagai genius, dan tumbuh dewasa menjadi miliuner. Dia dijuluki “Iron Man di Dunia Nyata”, karena memiliki kekayaan sekaligus kegeniusan seperti Tony Stark dalam film Iron Man. Dan, seperti Tony Stark, Elon Musk juga melakukan “kebodohan” yang sama, yaitu menikah. Padahal, Elon Musk pasti tahu, bahwa ketika seorang “superhero” menikah, kisahnya selesai.

Tetapi, memang, tidak ada manusia yang sempurna. Termasuk genius-miliuner seperti Elon Musk. Sehebat apa pun, orang kadang masih jatuh pada ketololan. Termasuk Elon Musk. Oh, dia bahkan tidak belajar dari kesalahan yang pertama, hingga masih mengulang kesalahan yang sama! Ini adalah kisah ironi yang tersembunyi, menyangkut lelaki yang sangat dikagumi di dunia.

....
....

Pada waktu Elon Musk berusia 9 tahun, orang tuanya bercerai. Elon mengikuti sang ayah. Karenanya pula, sejak kecil dia telah kehilangan kasih ibu. Kelak, hal itu menjadikannya sering merindukan kasih sayang seorang wanita, sesuatu yang amat dirindukannya. Sayang, kerinduan itu harus berbenturan dengan dirinya sendiri, dan kenyataan itu menghadirkan kisah yang rumit sekaligus kompleks.

Sejak kecil, Elon Musk sudah menjadi kutubuku. Dia membaca buku apa pun, dari bangun tidur sampai mau tidur kembali. Pada waktu berusia 10 tahun, ayahnya memberi hadiah komputer. Sejak itu, ketertarikan Elon pada komputer segera tumbuh, dan dia merancang program komputer. Hasil utak-atiknya dengan komputer melahirkan sebuah game bertema antariksa, yang ia beri nama Blastar. Pada waktu berusia 12 tahun, Elon menjual software game tersebut pada sebuah perusahaan game, senilai 500 dolar AS.

Mendapatkan uang dalam jumlah besar dari hasil utak-atik komputer, Elon yang masih 12 tahun seperti melihat sesuatu yang ajaib. Kenyataannya, penjualan game itu merupakan tonggak penting dalam kehidupan Elon, hingga ia kemudian tumbuh menjadi seorang visioner.

Seiring dengan itu, kebiasaannya membaca buku terus berlangsung, kegemarannya belajar terus terjaga, dan ia makin mengenali visinya. Bocah itu tahu apa yang akan dilakukannya untuk dunia, dan ia tahu apa saja yang kelak akan dilakukannya, serta bagaimana cara melakukannya.

Lulus dari highschool (setingkat SMA), Elon mendaftar kuliah di Queen’s University, Kanada. Di kampus itulah jalan hidupnya mengalami “masalah besar”. Dia jatuh cinta pada seorang perempuan, teman sekampus. Elon bahkan jatuh cinta pada pandangan pertama, hingga ia tidak bisa mengendalikan dirinya.

Perempuan yang membuat Elon Musk jatuh cinta bernama Justine. Dia perempuan dengan sikap lembut, yang mengingatkan Elon pada kerinduannya terhadap kasih seorang wanita. Elon pun mendekati Justine, dan berharap perempuan itu menerimanya. Suatu malam, Elon nekat mendatangi apartemen Justine, dan mengajak kencan.

Pada masa itu, Elon Musk belum sekeren sekarang. Seperti umumnya kutubuku kurang gaul, Elon waktu itu terlihat cupu, dengan penampilan lugu. Tapi Justine mungkin terkesan dengan kecerdasan Elon, hingga ia menerima ajakan kencan bocah cupu itu. Singkat cerita, mereka lalu jadian. Elon pun merasa telah menemukan kasih yang selama ini didambakannya.

Dua tahun kuliah di Queen’s University, Elon memutuskan pindah ke University of Pennsylvania. Dia mendaftar di dua fakultas sekaligus, Fisika dan Ekonomi. Dua kuliah itu bisa ia selesaikan sekaligus. Setelah itu, Elon berencana melanjutkan S2, dan mendaftar ke Stanford University. Tetapi, baru dua hari kuliah di sana, dia memutuskan drop out. Waktu itu, Elon menemukan sebuah ide cemerlang, dan tak ingin diganggu aktivitas kuliah.

Ide cemerlang yang ditemukannya waktu itu adalah menciptakan Zip2, sebuah situs yang menyediakan perangkat lunak konten penerbitan online untuk organisasi berita. Seperti yang telah dibayangkannya, Zip2 berkembang pesat, dan mendapatkan investasi dari beberapa perusahaan media besar, termasuk The New York Times, Hearst Corporation, dan Knight Ridder. Pada 1999, Zip2 dibeli oleh Compaq AltaVista seharga 307 juta dolar tunai, dan 34 juta dolar pada opsi saham.

Sukses menciptakan Zip2 yang mendatangkan uang jutaan dolar, Elon Musk kemudian mendirikan X.com, sebuah perusahaan jasa keuangan online. Setahun setelah berdiri, X.com mengakuisisi Confinity, perusahaan yang menyediakan sistem transfer uang antarperangkat mobile yang sedang populer saat itu, yakni Palm Pilot. Setelah akuisisi, pada Februari 2001, nama X.com diubah menjadi PayPal.

PayPal menjadi media layanan online yang berfungsi sebagai sarana transaksi di internet. Sarana transaksi online ini menarik perhatian eBay, situs lelang terbesar di dunia. Pada Oktober 2002, eBay membeli PayPal seharga 1,5 miliar dolar, dan Elon Musk menjadi pemegang saham terbesar PayPal, sebesar 11,7 persen. Sejak itu, Elon Musk menjadi miliuner. Tapi visinya belum selesai, dan impiannya masih panjang.

Dengan uang yang dimilikinya, Elon mengembangkan proyek instalasi teknologi luar angkasa, bernama SpaceX (Space Exploration Technologies). Proyek itu lalu tumbuh menjadi perusahaan manufaktur dan peluncur roket serta transportasi antariksa, yang bertujuan memangkas atau mengurangi harga transportasi antariksa, sehingga siapa pun bisa mudah kalau ingin “jalan-jalan” ke luar angkasa. Sejak itu, Elon Musk memiliki ambisi yang setara dengan ambisi sebuah negara, yaitu menjelajahi antariksa.

Dan Elon Musk tidak main-main dengan ambisinya. Kini, bahkan sejarah telah mencatat bahwa di dunia ini hanya ada empat entitas yang berhasil meluncurkan kapsul antariksa ke orbit, dan sukses membawa kapsul tersebut kembali. Empat entitas itu adalah Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Elon Musk! Itu seperti melihat “perlombaan” negara-negara adidaya, yang ditandingi oleh satu orang!

Secara terang-terangan, Elon Musk bahkan menyatakan akan mengalahkan NASA dalam penjelajahan antariksa. Dan bagaimana tanggapan NASA terhadap ocehan Elon? Menertawakannya? Tidak! Sebaliknya, NASA ketakutan!

NASA, lembaga antariksa yang didanai miliaran dolar oleh pemerintah AS, menyadari kemampuan Elon, dan mereka tahu bocah itu tidak main-main. Karenanya, sebelum Elon benar-benar mewujudkan ucapannya, NASA memilih “mengalah”. Mereka memasukkan investasi dalam jumlah besar ke perusahaan Elon, dengan harapan bocah itu “pekewuh” (tidak enak hati) jika ingin “kurang ajar” terhadap NASA.

Sebelum melanjutkan kisah terkait visi Elon Musk, kita harus kembali menengok Justine, perempuan yang menjadi kekasihnya. Sejak mereka jadian di masa kuliah dulu, keduanya masih menjalin hubungan. Di sela-sela kesibukannya, Elon masih meluangkan waktu untuk menemui Justine, dan mereka memadu kasih seperti layaknya pasangan yang saling jatuh cinta.

Sampai suatu hari, mereka menikah.

Pernikahan itu melahirkan spekulasi dan bisik-bisik di Silicon Valley. Sebagian orang meyakini Elon menikahi Justine karena jatuh cinta pada perempuan itu, dan tidak bisa hidup tanpanya. Sementara sebagian yang lain mengatakan, “Untuk ukuran seorang genius, yang dilakukan Elon benar-benar tolol!”

Mereka memahami, Elon Musk seorang visioner. Dan jika seorang visioner menikah, kisahnya selesai. Kenyataan itu sudah terjadi pada banyak lelaki lain sebelumnya—yang semula hebat, luar biasa, mengagumkan, kemudian berubah menjadi lelaki biasa setelah menikah.

Elon Musk pasti telah melihat dan mengenal orang-orang hebat seperti dirinya, yang kisahnya selesai setelah menikah. Tapi rupanya dia tidak belajar dari hal itu. Dia mengulangi “kesalahan” yang telah dilakukan banyak orang sebelumnya. Karenanya, bocah-bocah di Silicon Valley sampai mengatakan, “Untuk ukuran seorang genius, yang dilakukan Elon benar-benar tolol!”

Dan “ramalan” itu akhirnya terbukti.

Sejak menikah, Elon Musk mulai menyadari kehidupannya tidak sebebas dan seleluasa sebelumnya. Kini ada istri yang juga harus mendapatkan perhatiannya. Dia yang biasa bekerja siang malam dengan konsentrasi penuh, kini terpecah—antara urusan pribadi (visi dan impiannya) dengan urusan pernikahan (istri dan anak-anaknya). Dia tidak bisa lagi memiliki kehidupan sepenuhnya seperti semula.

Awalnya, Elon masih berusaha beradaptasi dengan kenyataan baru itu, dan mati-matian membagi diri, waktu, dan pikirannya secara imbang. Tetapi, bagaimana pun, kemampuannya tetap terbatas. Pertengkaran demi pertengkaran dengan pasangan terus terjadi, dan rumah tangga yang semula diimpikan indah berlangsung memburuk. Pada akhirnya, Elon harus memilih—menyelamatkan perkawinannya, atau berkonsentrasi pada visinya.

Itu jelas berat. Di satu sisi, Elon menganggap keberadaan Justine mampu memberikan kasih sayang dan cinta yang selalu dirindukannya, akibat berpisah dengan sang ibu sejak kecil. Sementara di sisi lain, keberadaan Justine juga menjadi “penghambat” visi dan impiannya.

(Belakangan, Justine sempat curhat dalam wawancara media, bahwa dia juga tertekan selama berumah tangga dengan Elon, karena merasa hanya menjadi istri pajangan. Elon lebih mencurahkan pikiran dan waktunya untuk pekerjaan, dibandingkan untuk keluarga).

Akhirnya, setelah tak mampu lagi mempertahankan hubungan, Elon dan Justine memutuskan bercerai. Justine melanjutkan kehidupannya sendiri, menjadi penulis, sementara Elon kembali sibuk di Silicon Valley, merajut visi dan mimpi-mimpinya. Belakangan, dia menangani perusahaan otomotif bernama Tesla Motors, dan perusahaan penyedia energi bersih bernama SolarCity. Dia mengimpikan dunia yang lebih baik, dengan polusi lebih minim.

Prestasi-prestasi Elon Musk dengan jelas membuktikan kehebatannya. Di dunia internet, dia mengembangkan Zip2 hingga PayPal yang kini digunakan jutaan orang. Di dunia antariksa, dia menciptakan roket berkemampuan hebat. Di dunia otomotif, dia mengembangkan kendaraan-kendaraan listrik dengan energi bersih.

Visi Elon Musk bahkan masuk ke dunia pendidikan. Karena menganggap sekolah anak-anaknya “kurang oke” (tentu menurut standarnya) dia pun mendirikan sekolah sendiri, yang dinamai Ad Astra. Seperti yang diyakini banyak orang, dia seorang visioner sejati. Bahkan, berbeda dengan kebanyakan visioner lain yang umumnya hidup “sederhana”, Elon Musk mampu mengubah visinya menjadi sumber kekayaan, hingga ia menjadi miliuner kaya-raya.

Tetapi, rupanya, Elon Musk tetap bocah kesepian yang merindukan kasih seorang wanita. Kehebatan dan kekayaan yang ia miliki tidak mampu menutup lubang di hatinya yang terus menganga, dan ia tetap merindukan kasih seorang wanita. Perceraian dengan Justine menjadikan Elon makin merasakan hal itu, karena kini tidak ada lagi wanita yang dicintai dan mencintainya, yang menjadi tempatnya berlabuh saat membutuhkan kedamaian.

Perasaan itu pula yang tampaknya membuat Elon kembali jatuh cinta, kali ini pada Talulah Riley-Milburn, seorang fotomodel. Setelah menjalin hubungan beberapa lama, Elon menawari, “Kau mau menikah denganku?”

Talulah menjawab, “Ya, aku mau.”

Mereka menikah di Dornoch Cathedral di Skotlandia. Sementara pasangan itu berbulan madu, bocah-bocah di Silicon Valley kembali berbisik-bisik, “Rupanya Elon belum juga belajar dari kesalahannya.”

Yang lain menimpali, “Untuk ukuran seorang genius, yang dia lakukan benar-benar tolol!”

Dan, lagi-lagi, ramalan itu terbukti.

Seperti menjalani perkawinan dengan Justine—istri pertamanya—Elon kembali menghadapi dilema serupa saat menjalani rumah tangga bersama Talulah. Diri dan hidupnya terpecah—antara visinya untuk dunia, dan pernikahan dengan istri keduanya—dan dia kembali gagal.

Elon tidak mampu menghadapi realitas rumit yang hanya ia pahami sendiri. Sebagai visioner, pikirannya memiliki visi dan impian untuk dunia. Tetapi, sebagai bocah, hatinya merindukan kasih seorang wanita. Perang antara pikiran dan hati itu, pada akhirnya, menghasilkan menang-kalah.

Dua tahun setelah menikah dengan Talulah, Elon Musk kembali memutuskan untuk bercerai. Dia tidak mampu terus menerus menghadapi dilema antara pikiran dan hatinya sendiri. Dia harus memutuskan—mengikuti hatinya, atau pikirannya. Dalam hal itu, mungkin Elon menyadari; jika ia mengikuti hatinya, maka kisahnya selesai. Persis seperti Tony Stark. Iron Man tidak memiliki seri keempat.

Jadi begitulah. Setelah bercerai, Elon kembali bisa fokus pada visinya, pada pikirannya, pada mimpi-mimpinya... meski untuk itu dia harus menanggung luka—kerinduan pada kasih sayang wanita—yang terus menganga di kedalaman hatinya.

Hari ini, Elon Musk menjadi salah satu lelaki yang sangat dikagumi di dunia. Tapi mungkin dunia tak tahu, lelaki hebat yang mengagumkan itu menyimpan lara dan kerinduan yang tak pernah terjawab... yang ia simpan sendirian, di lubuk terdalam batinnya.

Noffret’s Note: Nasi

Demi segala keindahan di muka bumi, seperti inilah yang disebut nasi.
—Twitter, 15 Januari 2015


Lapar, galau, pengin makan nasi, tapi kok makin sulit nyari nasi yang keras. Di mana-mana nasi lembek semua. #TweetStres
—Twitter, 1 Mei 2015

Aku hanya menginginkan sesuatu yang sepele, remeh, sederhana. Cuma nasi keras. Tapi yang seremeh dan sederhana itu pun sulit ditemukan.
—Twitter, 10 Juni 2015

Mencari nasi keras yang enak makin lama makin sulit. Sesulit mencari perempuan yang mau berteman tanpa berharap jadian.
—Twitter, 10 Juni 2015

Selalu ada masa ketika aku harus misuh-misuh karena nasi lembek. Damn!
—Twitter, 10 November 2015

Jika diminta memilih makan nasi lembek atau mati, aku tidak akan berpikir dua kali. Aku akan langsung memilih mati.
—Twitter, 2 April 2015

Nasi lembek yang lengket dan menggumpal itu bukan nasi. Itu gumpalan kebodohan yang mengerikan.
—Twitter, 2 April 2015

Frustrasi Mikir Nasi » http://bit.ly/1DN2mmL
—Twitter, 15 Januari 2016

Memasuki waktu Indonesia bagian mendatangi warung nasi harapan terakhir umat manusia di dunia.
—Twitter, 25 Desember 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Panggung Para Pendusta

Dunia maya memang penuh kebohongan, pencitraan palsu, sikap sok alim tapi menipu, hingga praktik-praktik menjijikkan demi keuntungan pribadi.

Di dunia maya, ada orang yang cocotnya sok alim dan sok suci, mencitrakan dirinya orang paling benar, tapi kelakuannya menjijikkan.

Di dunia maya, ada orang yang suka menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah karena katanya akan bahagia, tapi dia sendiri hidup sengsara.

Di dunia maya, ada orang yang mengatakan menikah akan melancarkan rezeki, tapi dia sendiri menghalalkan segala cara demi dapat rezeki.

Di dunia maya, ada orang yang berdalih melakukan hal baik tapi dengan cara mencuri, sok alim dan sok agamis demi memburu keuntungan pribadi.

Dunia maya tampaknya menjadi ladang subur bagi para pecundang di dunia nyata, juga panggung kebohongan dan manipulasi busuk para pendusta.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret,  23 Desember 2016.

Senin, 20 Maret 2017

Pemenang dan Pecundang

Jika ada benda yang harus kuberi ucapan terima kasih setiap hari,
itu adalah obat sakit kepala. Aku tak tahu bagaimana hidupku tanpanya.
@noffret


Dini hari itu saya misuh-misuh. Kepala sangat berat, terasa mau meledak, sementara persediaan obat yang biasa saya minum pas habis.

Setiap hari, saya mengonsumsi 6-8 butir pil sakit kepala, untuk meredakan sakit kepala yang biasa saya alami. Karena kebiasaan itu sudah berlangsung bertahun-tahun, saya pun selalu menyediakan stok obat di rumah. Secara berkala, saya pergi ke apotek membeli satu dus obat sakit kepala, agar bisa mengonsumsi kapan pun perlu. Tetapi, kadang saya lupa membeli ke apotek. Seperti dini hari itu.

Waktu itu pukul satu dini hari, dan kepala terasa sangat sakit. Ketika akan mengambil obat, saya baru menyadari persediaan di rumah pas habis. Sakit kepala dan kehabisan obat pada dini hari adalah kombinasi yang menjengkelkan. Dengan jengkel pula, saya keluar rumah dan pergi ke apotek yang buka 24 jam, sambil menahan kepala yang terasa mau pecah.

Dasar sial, obat yang saya cari pas habis. Apotek yang saya datangi memang masih buka, tapi mereka kehabisan stok. Orang di apotek menawari obat lain, yang juga ditujukan untuk sakit kepala. Saya bertanya, “Apakah rasanya pahit?”

Dia tampak kebingungan. “Maaf?”

Saya menjelaskan, “Itu, obat yang Anda tawarkan, apakah rasanya pahit?”

“Ini pil, Mas,” sahutnya sambil menunjukkan obat yang dimaksud. “Bisa langsung ditelan, jadi tidak akan terasa pahit.”

“Itulah masalahnya. Saya tidak bisa menelan pil!”

Dia menatap seolah saya tidak waras. “Jadi, biasanya kalau minum pil bagaimana?”

“Terpaksa saya kunyah,” jawab saya jujur. “Itulah kenapa saya ngeri, kalau rasanya pahit.”

Sekarang dia menatap saya dengan ngeri. “Lhah, pil yang Anda cari, rasanya juga pahit, kan?”

“Iya.” Saya mengangguk. “Tapi karena sudah biasa mengunyah pil itu bertahun-tahun, lidah saya sudah kebal. Jadi tidak terasa pahit lagi.”

Sekarang dia tampak tertarik, dan berusaha melanjutkan obrolan. Tapi kepala saya makin terasa berat. Lagi pula, kalau obrolan itu dilanjutkan, bisa-bisa akan selesai tahun depan. Jadi, dengan sedikit buru-buru, saya pun pamit untuk mencari obat sakit kepala di tempat lain.

Dini hari itu, sambil melaju di jalanan sepi, saya mengingat-ingat di mana kira-kira toko atau warung atau kedai atau apa pun yang masih buka, yang sekiranya menyediakan obat yang saya cari. Lalu saya ingat, ada warung kecil berupa gerobak yang biasa mangkal di suatu tempat, dekat rel kereta api. Saya pun melaju ke sana, sambil berharap warung gerobak itu benar-benar ada, dan masih buka.

Harapan saya terkabul. Warung itu benar-benar ada, dan masih buka. Saya pun berhenti di sana, dan warung itu menyediakan obat yang saya cari. Saya membeli 1 strip (isi 4 butir pil). Harga 1 strip obat itu sebenarnya cuma Rp2.000. Tetapi, dini hari itu, penjual di warung gerobak mengenakan harga Rp5.000. Dia pasti tahu saya sedang butuh, jadi dia menaikkan harga seenaknya. Dasar memang butuh, saya pun membayar harga yang ia minta. Lalu pergi dari sana. 

Di rumah, saya segera membuat teh hangat, lalu mengunyah dua butir pil yang baru saya beli. Kemudian menyulut rokok, mengisapnya dengan nikmat, sambil merasakan pusing di kepala perlahan-lahan mereda. Terpujilah obat sakit kepala, terpujilah penemunya—siapa pun dia. Dan terpujilah warung gerobak yang masih buka hingga dini hari, saat saya hampir mampus gara-gara sakit kepala.

Teringat warung gerobak tadi, mau tak mau saya tersenyum sendiri. Penjual di warung gerobak tadi pasti paham, saya sedang sangat butuh obat sakit kepala. Buktinya sampai datang ke tempatnya pada dini hari. Karena tahu saya butuh, dia pun sengaja menaikkan harga seenaknya. Mungkin, pikirnya, belum tentu dia akan mendapat peluang semacam itu lagi. Jadi, dia pun mengambil kesempatan.

Tentu saja sikap semacam itu hak dan pilihannya. Bagaimana pun, seorang penjual atau pedagang ingin untung. Kalau bisa, untung sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya. Tetapi, jika dipikir lebih dalam, cara semacam itu adalah pola pikir pecundang. Tampak menguntungkan dalam jangka pendek, tapi merugikan dalam jangka panjang.

Omong-omong, apa perbedaan prinsip antara pecundang dan pemenang?

Pecundang berpikir jangka pendek, sementara pemenang berpikir jangka panjang. Pecundang berharap mendapat keuntungan besar dalam waktu singkat, pemenang berharap mendapat keuntungan wajar tapi terus menerus.

Pecundang mengambil kesempatan dengan memanfaatkan kesempitan orang lain, pemenang mengambil kesempatan dengan memberi manfaat bagi orang lain.

Pecundang mengincar keuntungan dengan cara merugikan orang lain, pemenang mengincar keuntungan dengan memberi keuntungan setara untuk orang lain.

Sudah melihat perbedaan keduanya?

Pemilik warung gerobak tadi adalah contoh orang yang mengincar keuntungan jangka pendek. Dia tahu saya butuh obat sakit kepala, hingga datang ke warungnya dini hari. Karena tahu saya butuh, dia pun menaikkan harga seenaknya, bahkan lebih dari 100 persen dari harga normal. Dia mungkin berpikir, “Tak peduli harga obat ini dinaikkan, dia pasti akan membeli, karena sedang butuh.”

Saya memang membeli, sebagaimana yang ia bayangkan. Tetapi, jika suatu saat saya sakit kepala dan butuh obat lagi, apakah kira-kira saya akan kembali ke warungnya? Kemungkinan besar tidak! Kenapa? Karena saya tahu pemilik warung itu mengambil kesempatan dari kesempitan yang saya hadapi. Dia memang mendapat keuntungan, tapi keuntungan jangka pendek. Itulah pola pikir pecundang. Dia tidak melihat kemungkinan dalam jangka panjang, dan hanya fokus pada keuntungan jangka pendek di depannya.

Sebaliknya, jika pemilik warung itu berpikir jangka panjang, dia akan mengenakan harga wajar, sebagaimana mestinya harga obat itu. Dia bisa saja berpikir, “Orang ini pasti sedang butuh, hingga datang ke sini dini hari. Meski tahu dia sedang butuh, aku tetap akan mengenakan harga normal. Agar jika sewaktu-waktu dia butuh lagi, dia hanya akan datang ke sini.” Itulah pola pikir pemenang. Dia melihat kemungkinan jangka panjang, dan tidak tergoda mengambil keuntungan jangka pendek.

See...? Pemenang berpikir jauh ke depan, sementara pecundang hanya melihat yang ada di depan matanya.

Kalau saja pemilik warung tadi menggunakan pola pikir pemenang, yakni mengenakan harga normal atas obat yang saya beli, saya pun akan mengingatnya secara positif. Kapan pun saya butuh obat sakit kepala lagi, saya akan langsung ingat warungnya, dan datang ke sana. Bahkan, bisa jadi, saya akan merekomendasikan warung itu ke teman-teman saya, kalau-kalau mereka butuh sesuatu tengah malam.

Sebaliknya, karena pemilik warung tadi menggunakan pola pikir pecundang, yakni menaikkan harga seenaknya karena tahu saya sedang butuh, saya pun mengingatnya secara negatif. Kapan pun saya butuh obat sakit kepala lagi, saya akan berusaha mencari warung lain, dan tidak akan tertarik kembali ke sana. Bahkan, bisa jadi, saya akan mengingatkan teman-teman saya agar berhati-hati dengan warung itu, kalau-kalau mereka butuh sesuatu tengah malam.

Sekali lagi, bisa melihat perbedaan esensialnya? Pemenang mendapat keuntungan wajar tapi terus menerus, sementara pecundang mendapat keuntungan besar tapi sesaat. Pemenang mengambil kesempatan dengan memberi manfaat kepada orang lain yang membutuhkan, sementara pecundang mengambil manfaat dari orang lain yang membutuhkan. Memberi dan mengambil jelas berbeda, sebagaimana nasib pemenang dan pecundang juga berbeda.

Dalam hidup, apa pun yang kita lakukan, kita selalu diberi kesempatan untuk memilih. Memilih menjadi pemenang, atau memilih menjadi pecundang.

Menjadi pemenang atau menjadi pecundang adalah soal pola pikir. Dan sekali pola pikir itu terbentuk, kita akan terbiasa dengannya, sehingga pola pikir berubah menjadi mental. Ketika itu terjadi, kita pun mewujud sebagai manusia bermental pemenang, atau manusia bermental pecundang. Yang menjadi masalah, mental seseorang akan menentukan seperti apa kehidupannya.

Hati-hati dengan pikiranmu, karena pikiranmu akan menentukan sikapmu. Hati-hati dengan sikapmu, karena sikapmu akan menentukan kebiasaanmu. Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena kebiasaanmu akan menentukan siapa dirimu. Dan siapa dirimu, itulah kehidupanmu. Menjadi pemenang atau pecundang, sepenuhnya menjadi pilihan masing-masing orang.

Penjual yang menaikkan harga barang seenaknya, atau pejabat yang mengorupsi uang negara, adalah contoh orang bermental pecundang. Mereka mengira bisa mengambil keuntungan dengan cara itu. Memang iya, tapi hanya dalam jangka pendek.

Penjual yang menaikkan harga seenaknya akan ditinggalkan pembeli, sementara pejabat yang korup akan masuk penjara dan tidak lagi dipercaya. Mereka sama-sama hanya fokus pada keuntungan jangka pendek, sekaligus menafikan kemungkinan yang akan terjadi pada jangka panjang. Mereka sama-sama mengambil keuntungan dari orang lain, bukan memberi keuntungan bagi orang lain. Padahal, cara terbaik mendapat keuntungan adalah dengan cara memberi keuntungan kepada orang lain!

Sebegitu penting kenyataan ini, hingga saya merasa perlu mengulangi dengan cetakan tebal. Cara terbaik mendapat keuntungan adalah dengan memberi keuntungan kepada orang lain. Mendapat keuntungan dengan cara memberi keuntungan pada orang lain—itulah pola pikir pemenang, mental seorang juara! Orang semacam itu sulit dikalahkan, karena kenyataannya dia memang pemenang.

Orang yang jujur, pedagang yang jujur, pejabat yang jujur, adalah mereka yang bermental pemenang. Mungkin keuntungan yang mereka peroleh sedikit, tapi mereka mendapat keuntungan dalam jangka panjang, dan terus menerus, hingga jumlahnya sangat besar, dan terus membesar. Menggunakan pola pikir pemenang sama artinya mengundang kemenangan.

Sebaliknya, orang yang curang, pedagang yang curang, pejabat yang curang, adalah mereka yang bermental pecundang. Mungkin keuntungan yang mereka peroleh banyak, tapi hanya sesaat, atau bahkan hanya satu kali. Akibatnya, sebanyak apa pun keuntungan yang bisa mereka peroleh, mereka sulit mendapat lagi. Menggunakan pola pikir pecundang adalah mengundang kekalahan.

Hati-hati dengan pikiranmu, karena pikiranmu akan menentukan sikapmu. Hati-hati dengan sikapmu, karena sikapmu akan menentukan kebiasaanmu. Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena kebiasaanmu akan menentukan siapa dirimu. Dan siapa dirimu, itulah kehidupanmu. Menjadi pemenang atau pecundang, sepenuhnya menjadi pilihan masing-masing orang.

Noffret’s Note: Orangtua

“Surga ada di bawah telapak kaki ibu.” Setiap kali mendengarnya, aku jadi memikirkan ibu-ibu yang membunuh dan menyengsarakan anak-anaknya.

“Tidak ada orangtua yang ingin menyengsarakan anaknya.” Tolong katakan itu pada anak-anak yang dibunuh, disiksa, diperkosa, orangtua mereka.

Untuk punya dan memelihara anjing, orang perlu tahu cara merawat yang benar. Untuk punya dan memelihara anak... orang sering tidak belajar.

“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Kenyataannya memang begitu. Bagaimana kau mendidik anakmu, seperti itulah orangtuamu mendidikmu.

Ada banyak orangtua yang merasa, dan yakin, melakukan hal benar pada anak-anak mereka, tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Kalau orangtua mencaci-maki anak, orang-orang diam. Tapi kalau anak mencaci-maki orangtua, langsung jadi trending topic. Tidak adil!

Kalau anak-anak dilarang mencaci-maki orangtua mereka, kenapa orangtua diperbolehkan mencaci-maki anak-anak mereka?

Argumentasi, “orangtua yang melahirkan dan membesarkan anak,” itu argumentasi tolol juga konyol. Memangnya siapa yang minta dilahirkan?

Orangtua sering berpikir keliru dengan menganggap seolah anak minta dilahirkan, lalu mereka merasa bebas sewenang-wenang.

“Hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah” bukan hanya terjadi pada relasi pemerintah dan rakyat, tapi juga pada relasi orangtua dan anak.

Dalam kisah Malin Kundang, si ibu mengutuk anaknya menjadi batu, dan orang-orang membenarkannya. Well, ibu macam apa yang mengutuk anaknya?

Jika Malin Kundang dianggap jahat, ibunya tak kalah jahat. Malin cuma tidak mengakui ibunya, tapi ibunya mengutuk anaknya. Jahat mana?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Januari 2017.

Berdansa dengan Kupu-kupu

Baru sadar kalau ini malam Minggu. Menjadi mbuh itu sederhana.
—Twitter, 5 Desember 2015

Selalu senang melihat orang-orang asyik ngetwit di malam Minggu.
Menunjukkan bahwa kita dapat tetap hidup (dan bahagia) meski tanpa pacar.
—Twitter, 15 Januari 2014

Menikmati malam Minggu adalah membaca tweet cewek-cewek cerdas
di timeline yang tidak peduli malam Minggu. Perfect!
—Twitter, 8 Juni 2014

Ada banyak hal yang lebih penting dan lebih asyik selain kencan
malam Minggu. Misalnya... twitteran di malam Minggu!
—Twitter, 5 Mei 2014

Dunia akan tetap baik-baik saja, tak peduli kau punya pacar, tidak
punya pacar, atau punya pacar segudang. Kenapa harus merisaukannya?
—Twitter, 8 September 2014

Karena punya pacar atau tidak adalah hal wajar dan biasa, marilah kita
berhenti pura-pura menganggapnya hal paling penting di dunia.
—Twitter, 8 September 2014

Sesuatu yang dilakukan jutaan orang bukanlah hal istimewa. Punya pacar
atau tidak juga dilakukan jutaan orang. Oh, well, itu hal biasa!
—Twitter, 8 September 2014

Tidak muncul di timeline pada malam Minggu tidak berarti
dunia percaya kau sedang tersenyum dalam pelukan pacarmu.
—Twitter, 8 September 2014

Malam minggu dan tidak punya pacar, bukan berarti kita harus
bersembunyi dari kehidupan dan menyepi dalam kegelapan.
—Twitter, 8 September 2014

Malam Minggu sepi di timeline-ku.
Saatnya berdansa dengan kupu-kupu.
—Twitter, 8 September 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Selasa, 14 Maret 2017

Kegalauan Seorang Lajang

Aku lebih suka mendapat pertanyaan sulit yang tak bisa kujawab,
daripada pertanyaan tolol yang tak perlu dijawab.
@noffret


Bagi dunia—setidaknya di lingkungan masyarakat—saya dianggap telah melakukan kesalahan besar, dan kesalahan saya adalah belum menikah. Itu ironis, kalau dipikir-pikir. Betapa orang bisa dianggap bersalah hanya karena dinilai berbeda dengan orang kebanyakan. Dalam hal ini menikah. Kenyataan itulah yang sering kali membuat saya marah. Meski dalam diam.

Mari saya ceritakan kehidupan saya sehari-hari.

Sebagian besar waktu hidup saya dihabiskan di dalam rumah. Karena saya tidak bekerja di kantor atau perusahaan mana pun. Saya bekerja di rumah, dan kantor atau tempat kerja saya berada di rumah saya sendiri. Jadi, pagi hari, ketika orang-orang lain umumnya pergi ke kantor atau tempat kerja, saya tetap di rumah. Begitu pula, saat orang-orang pulang kerja sore hari, saya juga tetap di rumah.

Karena bekerja di rumah sendiri, saya pun bebas menentukan jam kerja secara fleksibel. Saya tidak terikat jam kerja, karena saya bebas kerja kapan pun, dan selama apa pun. Biasanya, setelah bangun tidur, saya membaca buku sambil menikmati kopi dan merokok. Setelah itu, baru mulai bekerja. Teruuuuuus bekerja, sampai saya bosan atau lelah. Untungnya, atau sialnya, saya seorang workaholic (gila kerja), jadi saya selalu bekerja dengan asyik.

Seharian penuh, saya hanya ada di dalam rumah. Dan asyik bekerja. Kadang-kadang terpaksa keluar rumah karena ada keperluan, semisal membeli kebutuhan sehari-hari. Jika tidak ada keperluan apa pun, saya tetap di rumah, dan malas keluar. Kenyataannya, saya memang tidak suka keluyuran atau kelayapan ke mana pun.

Seusai magrib, atau seusai isya, saya kadang keluar rumah untuk mencari makan. Setelah makan, saya kadang membaca buku, atau menonton DVD, atau melanjutkan kerja sampai larut malam. Setelah mengantuk, biasanya dini hari, saya baru tidur.

Besoknya, saya mengulangi hal sama, dan terus begitu setiap hari.

Bagi orang lain, mungkin rutinitas semacam itu terkesan monoton dan membosankan. Tapi tidak bagi saya. Setiap hari, meski melakukan hal sama terus menerus, saya tidak pernah bosan. Alasannya sederhana, karena saya mencintai yang saya lakukan!

Bisa dibilang, rutinitas terbesar yang saya lakukan setiap hari adalah membaca buku (atau belajar) dan bekerja. Itu dua hal yang sangat saya cintai dalam hidup. Hanya melakukan itu saja, saya mampu tidak keluar rumah hingga bertahun-tahun—kalau saja tidak perlu mencari makan, atau ada keperluan yang mengharuskan saya keluar rumah.

Saat sedang bekerja, saya tidak merasa sedang bekerja. Karena saya mencintai yang saya lakukan. Karenanya pula, saya merasa asyik dan sering lupa waktu. Bukannya bosan dan capek, saya justru ingin terus bekerja. Begitu pula saat membaca buku, saat belajar, atau saat berpikir dan merenung sendirian. Itu hal-hal yang sangat... sangat saya cintai. Meski melakukannya terus menerus setiap hari, saya tidak pernah bosan, dan terus menikmati.

Kita lihat...? Rutinitas saya bisa dibilang tidak terkait orang lain, bahkan sebagian besar waktu saya setiap hari dihabiskan dalam kesendirian. Artinya, saya tidak mengganggu atau melakukan kesalahan apa pun pada orang lain. Wong saya cuma sibuk membaca buku, belajar, dan bekerja, bagaimana bisa mengganggu orang lain?

Tetapi, meski begitu, saya dianggap salah!

Dan kesalahan saya cuma satu, yaitu belum menikah!

Benar-benar asu, kalau dipikir-pikir. Dan karena itulah, saya sering marah. Wong saya menjalani kehidupan dengan baik, tidak pernah mengganggu apalagi merusak rumah tangga orang lain, bahkan tidak memacari anak orang, tapi masih juga dianggap salah. Apa yang lebih bangsat dari yang saya alami?

Sebagai lajang, terus terang, saya menghadapi tekanan yang sangat berat. Tekanan itu datang dari mana saja—tetangga, famili, dan orang-orang kurang kerjaan—yang sama-sama punya “kelainan” serupa, yaitu suka menyuruh-nyuruh saya menikah. Susahnya, dalam hal ini, saya kesulitan menjelaskan kepada mereka mengenai kenapa saya tidak atau belum menikah.

Mungkin, kalau saya pengangguran yang menjalani kehidupan suram, saya bisa menggunakan kenyataan itu sebagai alasan kenapa saya belum menikah. Yang jadi “masalah”, orang-orang melihat saya menjalani kehidupan berkecukupan. Karenanya, di mata mereka, saya aneh—bahkan salah—karena belum juga menikah.

Dulu, waktu didorong-dorong untuk segera menikah, saya mencoba bertahan dengan menjawab, “Mau menikah bagaimana, wong aku belum punya calon pasangan?”

Tapi jawaban itu justru menjadi bumerang. Ketika saya menjawab seperti itu, orang-orang yang meminta saya menikah segera menjawab, “Kalau begitu, biar kukenalkan dengan putrinya si Anu, atau keponakan si Anu, atau adik si Anu.”

Saya masih mencoba bertahan, “Ah, apa mungkin mereka mau sama aku?”

Dan mereka langsung menyatakan, “PASTI MAU! TAK JAMIN!”

Kalau sudah begitu, saya bisa apa...?

Sering kali saya berpikir, bahwa berbicara dengan seorang profesor jauh lebih mudah daripada berbicara dengan orang tolol (apalagi orang tolol yang sok pintar). Jika seorang profesor bertanya mengapa saya belum menikah, saya bisa menjelaskan panjang lebar tentang pilihan hidup, tentang visi, dan tentang hal-hal lain, hingga sang profesor paham. Tetapi, saat orang kebanyakan—dalam hal ini orang-orang tolol—yang bertanya, apa iya saya mau menjelaskan tentang visi dan pilihan hidup?

Oh, saya memang pernah mencoba menjelaskan kepada mereka, bahwa hidup adalah soal pilihan, termasuk menikah atau melajang. Saya pernah mencoba menjelaskan kepada mereka tentang visi saya sebagai manusia, dan segala macam. Tetapi, kau tahu, orang-orang tolol sering kali merasa dirinya pintar. Jika orang yang benar-benar pintar senang mendengarkan, orang-orang tolol lebih senang berbicara. Jadi, ketika saya mencoba berbicara dan menjelaskan, mereka tidak mendengarkan. Alih-alih mendengarkan, mereka justru menceramahi saya.

Oh, well, mereka berceramah. Tentang pentingnya menikah. Bahwa orang tidak perlu khawatir menikah. Bahwa orang akan damai dan tenteram setelah menikah. Bahwa rezeki akan lancar setelah menikah. Dan lain-lain. Dan sebagainya. Dan bla-bla-bla.

Sering kali saya tergoda untuk membalas ocehan semacam itu dengan jawaban frontal, yang akan langsung membungkam mulut mereka. Tetapi, bagaimana pun, saya berusaha menjaga etika, khususnya jika yang ngoceh lebih tua dari saya. Sedongkol apa pun, saya berusaha menjaga sikap sopan di depan mereka. Jadi, meski jengkel luar biasa, saya pun biasanya hanya mengangguk, dan diam.

Susahnya, terkait orang-orang semacam itu, mereka merasa diri benar, sehingga sulit untuk menerima jawaban atau penjelasan lain yang tidak sesuai keyakinan mereka.

Orang-orang itu meyakini menikah adalah kewajiban, sehingga sulit diberitahu bahwa menikah adalah soal pilihan. Mereka percaya orang menikah pasti bahagia, hingga tidak mau melihat banyaknya kasus perceraian di KUA. Mereka yakin orang menikah pasti lancar rezeki, hingga mereka buta dan tidak melihat jutaan anak di jalanan yang menyabung nyawa demi bisa makan, sementara orangtuanya menggadaikan harga diri demi bisa berutang.

Masalah terbesar hidup di lingkungan yang buta adalah... kau harus sama-sama buta seperti mereka. Dan kalau kau menunjukkan punya mata, mereka akan mencongkel matamu, hingga sama-sama buta.

Ada orang-orang yang—entah kenapa—setiap kali ketemu saya, yang dibahas dan ditanyakan soal kawiiiiiin melulu. Hari ini bertanya soal kawin, besok ketemu dan kembali bertanya soal kawin, lalu lusa begitu lagi. Orang-orang itu sudah menikah, punya anak-anak, dan saya tahu mereka menjalani kehidupan yang tak bisa dibilang bahagia. Kalau saya mau kejam-kejaman, ingin sekali saya menjawab, “Kamu ingin aku cepat kawin, agar sama-sama susah dan menderita sepertimu?”

Tetapi, seperti yang disebut tadi, saya berusaha menjaga etika. Meski dalam hati dongkol luar biasa, saya tetap berusaha mengendalikan diri, dan tetap berusaha bersikap sopan. Saya berusaha menyadarkan diri sendiri, bahwa mereka melakukan perbuatan tolol semacam itu semata-mata karena tidak tahu. “Maka maklumilah,” kata saya pada diri sendiri.

Itu pula kenapa, saya lebih suka menyendiri, dan berusaha agar tidak sering bersentuhan dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang yang tidak tahu tapi merasa tahu, orang-orang tolol yang merasa pintar, orang-orang buta yang merasa paling benar. Karena sia-sia. Oh, well, sungguh sia-sia berhubungan dengan mereka. Tidak ada manfaat atau kebaikan yang didapat, tapi malah mudarat—khususnya mudarat dalam pikiran.

Padahal, seperti yang disebut di atas, saya tidak pernah mengusik apalagi merugikan orang lain, dan lebih banyak menghabiskan hidup dalam kesendirian, di rumah yang sunyi. Saya tidak berbuat hal-hal jahat, atau membuat keonaran, atau mengganggu masyarakat. Pendeknya, saya tidak melakukan kesalahan kepada sesama manusia, apalagi pada orang-orang di sekitar saya.

Jika sekarang malaikat turun dari langit, dan datang ke tempat saya tinggal, lalu bertanya pada orang-orang, “Apakah Hoeda pernah mengganggu kalian? Apakah dia pernah mengusik kalian? Apakah dia pernah merugikan kalian? Apakah dia pernah sengaja melakukan sesuatu yang membuat kalian tidak senang? Apakah dia pernah sengaja membuat kalian marah?”

Maka saya berani bersumpah demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, mereka akan menjawab “tidak pernah” untuk semua pertanyaan itu. Karena saya menjalani hidup sebagai bocah. Dan, sebagai bocah, saya selalu berusaha menghormati orang-orang lain, sekaligus berusaha untuk tidak mengusik siapa pun. Karenanya, bisa dibilang, saya tidak punya masalah apa pun, dengan siapa pun, khususnya dengan orang-orang di lingkungan tempat saya tinggal.

Jadi, apa salah saya?

Hanya satu. Yaitu belum menikah!

Di dunia nyata maupun di dunia maya, orang-orang sepertinya tidak ingin melihat orang lain menjalani hidup dengan cara mereka sendiri. Orang-orang itu memaksakan pilihan hidupnya agar juga dijalani orang lain, meski untuk itu mereka harus melakukan berbagai daya upaya, berdusta, dan menista.

Di dunia maya, ada keparat sok pintar yang pernah mengatakan bahwa orang yang belum menikah adalah masalah sosial. Itulah kenapa, menurutnya, masyarakat selalu meributkan lajang yang belum menikah, dan menyuruh-nyuruh cepat menikah.

Saya benar-benar tidak paham dengan cara berpikir semacam itu. Masalah sosial bagaimana? Kalau saya memperkosa anakmu, atau berselingkuh dengan istrimu, atau merusak rumah tanggamu, mungkin saya—sebagai lajang—bisa dianggap masalah sosial. Wong saya tidak melakukan apa pun, dan tidak mengganggu siapa pun. Masalah sosial bagaimana...?

Kalau mau ngomong masalah sosial, sebenarnya justru yang kawin dan beranak pinak itulah yang menjadi sumber masalah! Yang suka bertengkar dengan pasangan, siapa? Yang ribut dengan mertua, siapa? Yang anak-anaknya nakal, siapa? Yang sering bertengkar dengan tetangga, siapa? Yang keluarganya kacau dan berantakan, siapa? Yang anak-anaknya tawuran atau ugal-ugalan di jalan, siapa? Yang anak-anaknya tumbuh liar akibat broken home, siapa? Yang suka mengganggu dan mengusik kehidupan orang lain dengan pertanyaan “kapan kawin”, siapa?

Pertanyaan itu bisa terus dilanjutkan sampai kalian bosan. Dan sepanjang apa pun pertanyaan yang diajukan, jawabannya tetap berkutat pada mereka—orang-orang yang telah menikah. Jadi, persetan, siapakah sebenarnya yang menjadi masalah sosial?

Sebagai lajang, saya hidup sendirian. Saya tidak pernah bertengkar dengan pasangan, karena memang tak punya pasangan. Saya tidak pernah ribut dengan mertua, karena memang tak punya mertua. Saya tidak punya anak-anak nakal, karena memang tak punya anak. Saya tidak pernah bertengkar dengan tetangga, karena tidak ada pasangan yang mengompori. Saya juga tidak bercerai dengan siapa pun, karena memang tidak menikah. Saya tidak melahirkan anak-anak korban broken home, karena memang tidak berkeluarga.

Jadi, sekali lagi, siapakah sebenarnya yang menjadi masalah sosial? Saya sebagai lajang, atau mereka yang telah menikah dan beranak pinak?

Karena itulah saya galau. Dan sering sakit hati. Galau, karena saya tidak mengganggu atau melakukan kesalahan apa pun, tapi dianggap bersalah. Juga sakit hati, karena seolah-olah menjadi lajang atau menunda menikah adalah kejahatan, sehingga orang-orang merasa bebas melemparkan cacian dan tuduhan apa pun, seolah menikah menjadikan mereka pasti benar. Itu benar-benar asu seasu-asunya!

....
....

Dalam kisah perjalanan Sang Buddha, kita tahu, Siddharta Gautama semula hidup di lingkungan istana. Karena dikungkungi dinding-dinding istana yang terbatas, pengetahuan dan kesadaran Siddharta pun terbatas. Yang ia lihat dan ia tahu hanya sebatas lingkungannya. Ia tidak tahu dunia luar. Ia bahkan tidak tahu bahwa orang bisa menua, bisa sakit, juga bahwa manusia bisa mati. Jika Siddharta Gautama tidak pernah keluar dari lingkup istananya, kemungkinan besar ia akan tetap seperti itu.

Tetapi, kita tahu, Siddharta Gautama akhirnya keluar dari kungkungan tembok istana, dan melihat dunia luas. Seketika matanya terbuka, kesadarannya bangkit, ia melihat dunia yang seutuhnya, dan memperoleh Pencerahan. Sejak itu, Siddharta Gautama menyadari hakikat manusia.

“Dinding istana” adalah paradigma yang sempit, keyakinan yang picik, tempat orang hanya melihat apa yang memang dilihatnya, atau yang sengaja dihadapkan untuknya, atau yang terus menerus didoktrinkan kepadanya. Kita semua menghadapi “dinding” yang sama, dalam apa pun bentuknya, dalam apa pun namanya. Selama kita tidak menerobos dan keluar dari kungkungan dinding itu, selama itu pula kita tetap ada di dalamnya, dan buta.

Karenanya, masing-masing orang selalu punya dua pilihan; tetap berada dalam kungkungan “dinding istana” yang tampak indah tapi menipu, atau keluar dari “dinding istana” dan menghadapi realitas untuk menjemput Pencerahan.

....
....

Hidup adalah soal pilihan. Tetapi, hanya sedikit orang yang mau menyadari kenyataan itu, hingga mereka tidak memilih. Dan ketika kau mencoba memilih, orang-orang di sekelilingmu akan berusaha merenggut pilihanmu... agar kau pun sama tidak memilih seperti mereka.

Kalau kau hidup di tengah masyarakat buta, kau harus sama-sama buta. Kalau kau mencoba memiliki mata, mereka akan mencongkel matamu, hingga sama-sama buta. Dan itu, oh well, asu seasu-asunya!

Modal Selangkangan

“Menikah tidak perlu persiapan, yang penting mantap.” | Oh, well, kau tahu, itulah awal mula istilah MOKONDO.

Beberapa keparat cuma punya selangkangan, lalu menikah, dan merasa hebat. Kemudian sok menilai orang lain rendah cuma karena belum menikah.

Kalau kau menikah hanya dengan modal selangkangan, itu urusanmu. Tapi tidak usah berharap apalagi menyuruh orang lain sama sepertimu.

Tidak ada yang mewajibkan orang menikah, kecuali orang-orang yang menikah lalu menyesal, dan berharap orang-orang lain senasib dengannya.

“Menikah tidak perlu persiapan.” | Itu benar-benar nasihat sesat, bangsat, dan menyesatkan! Kuliah saja perlu persiapan, apalagi menikah?

Hei, para wanita, jangan pernah mau menikah dengan lelaki yang mengatakan, “Menikah tak perlu persiapan.” Karena kau yang akan jadi korban.

Ucapan “menikah tak perlu persiapan” hanya diucapkan lelaki yang memang cuma bermodal selangkangan. Mereka tidak perlu persiapan apa pun.

Lelaki-lelaki yang suka menyuruh atau merayu orang-orang lain cepat menikah, seharusnya berpikir, “Apakah istriku bahagia menikah denganku?”

Tugas penting setiap orang yang menikah adalah MEMASTIKAN PASANGANNYA TENTERAM DAN BAHAGIA, bukan MENYURUH-NYURUH ORANG LAIN CEPAT MENIKAH.

Konyol dan bangsat adalah orang yang suka merayu orang-orang lain cepat menikah, sementara pasangannya sedih dan menyesal diam-diam.

Sebagian orang kawin tanpa persiapan dengan semboyan MOKONDO, lalu berharap orang-orang lain sama seperti dirinya. Benar-benar haram jadah!

“Menikah tidak perlu persiapan.” —semboyan lelaki MOKONDO

Orang butuh kebanggaan. Jika tidak punya apa pun yang bisa dibanggakan kecuali fakta dia telah menikah, itulah kebanggaannya. Menyedihkan...

Aku selalu berusaha menghormati orang lain, KECUALI orang yang suka menyuruh atau merayu orang lain cepat menikah. Dia tak punya kehormatan.

Menikahlah, karena itu baik. Dan karena menikah adalah soal pilihan. Setelah itu, jagalah kehormatanmu, dengan cara menjaga mulutmu.

Yang membabat hutan seenaknya adalah para perusak alam. Yang suka menyuruh orang lain menikah tanpa persiapan adalah para perusak manusia.

“Menikah tidak perlu persiapan. Aku dulu juga menikah tanpa persiapan.” | Wong kayak gitu kok dibanggakan. Coba katakan itu pada istrimu.

Kalau menjadi MOKONDO adalah pilihanmu, lakukan. Tapi tidak usah merayu apalagi berharap orang-orang lain sama menjijikkan seperti dirimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 November 2016

Itu Otak apa Dengkul?

Kok dangkal amat?

Jumat, 10 Maret 2017

Yang Benar Menurutmu Belum Tentu Benar Menurut Setan

Ada sekelompok orang, yang ketika kau berbeda pendapat
dengan mereka, maka mereka menganggapmu menyelisihi Allah
dan Rasul-Nya. Hal semacam itu tentu saja tidak benar.
Syaikh Abdullah bin Bayyah


Grafiti di dinding-dinding pinggir jalan pernah menjadi musim atau tren, khususnya ketika saya masih SMA. Di masa itu, nyaris di mana pun ada dinding kosong di pinggir jalan, selalu terdapat tulisan (grafiti) yang dibuat menggunakan cat semprot. Biasanya, grafiti yang tertulis adalah nama gank, nama perkumpulan sekolah, atau kata-kata mutiara yang nyeleneh.

Sekitar lima puluh meter dari SMA saya, ada dinding di pinggir jalan yang cukup panjang—sekitar 30-35 meter. Dinding itu merupakan sisi samping sebuah ruko. Selain cukup panjang, dinding kosong itu cukup tinggi. Di masa itu, dinding di sana dicat kuning cerah. Ketika grafiti mulai tren, dinding itu menjadi sarana ekspresi bocah-bocah “tukang semprot” grafiti. Dalam waktu singkat, dinding yang semula bersih segera penuh coretan/semprotan aneka tulisan.

Yang masih saya ingat sampai sekarang, salah satu grafiti yang tercetak di sana adalah sebuah “kata mutiara”, berbunyi, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut setan”.

Dulu, ketika masih SMA, saat pertama kali mendapati tulisan itu, saya cuma nyengir, dan berpikir tulisan itu hasil karya orang iseng. Tetapi, ketika dewasa, lama-lama saya berpikir tulisan itu tidak sesederhana yang saya pikirkan. Pembuat tulisan itu—siapa pun dia—bisa jadi tidak sekadar iseng, tapi sengaja menulis kalimat itu sebagai sindiran, atau bahkan mungkin bahan renungan.

“Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut setan.”

Kalau dipikir-pikir, kalimat itu sebenarnya benar. Yang benar menurut kita, kemungkinan besar, belum tentu benar menurut setan. Menurut kita, bersikap jujur itu benar. Tapi setan pasti tidak setuju, karena dia—maksud saya setan—lebih suka kita berbuat curang. Menurut kita, berbuat baik itu benar. Tetapi, lagi-lagi, setan pasti tidak setuju, karena dia lebih suka kita berbuat kejahatan.

Jadi, yang benar menurutmu memang belum tentu benar menurut setan. Lebih dari itu, jika saya pikirkan lebih mendalam, kalimat itu bahkan lebih baik—dan lebih rendah hati—dibanding kalimat populer lain yang berbunyi, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Tuhan.”

Mungkin kita pernah—atau bahkan sering—mendapati orang sok alim atau sok suci, yang suka sekali ngemeng, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”

Saya pernah mendapati orang semacam itu. Orang ini senang sekali menampilkan atau mengesankan dirinya orang yang alim, lalu sangat hobi menyebut-nyebut agama. Dikit-dikit, agama. Dikit-dikit, agama. Ngemeng apa pun, selalu dihubungkan agama. Temannya ngoceh soal bluetooth, dia menghubungkan dengan agama. Kawannya ngemeng soal robot, atau valas, atau dildo, dia menghubungkan dengan agama. Pokoknya, apa pun dihubungkan agama.

Tentu saja itu hak dia. Wong itu cocot, cocotnya sendiri.

Suatu hari, ada orang yang mungkin risih dengan orang tadi (yang hobi ngemeng agama). Agar saya lebih mudah menuliskannya, kita sebut saja si orang tadi—yang hobi ngemeng agama—dengan sebutan Si A. Sementara orang yang menegurnya, kita sebut saja Si B.

Si B mungkin risih dengan ulah Si A yang sangat hobi nyebut-nyebut agama, padahal konteks yang dibicarakan belum tentu terkait agama. Seperti bluetooth, misalnya. Wong kita lagi ngomongin bluetooth, Si A menghubungkan itu dengan agama. Apa hubungannya bluetooth dengan agama? Tentu saja ada hubungannya, kalau memang dipaksa dihubung-hubungkan. Tapi itu kan lebay!

Begitu pula soal robot, atau valas, atau dildo. Apa hubungannya robot atau dildo dengan agama? Oh, mungkin saja ada, tapi mbok dilihat dulu konteksnya! Wong kita lagi membahas kemungkinan robot di masa depan, eh Si A langsung ngemeng agama. Mungkin masih asyik didengarkan, kalau saja ocehan Si A memang bermutu, dalam arti Si A benar-benar orang alim yang sungguh-sungguh tahu soal agama.

Kalau memang seperti itu yang terjadi, orang justru akan senang mendengarkan, karena setidaknya akan bertambah pengetahuan dan wawasan. Misalnya, kalau orang semacam Gus Mus atau Quraish Shihab atau Buya Syafi’i membahas robot dengan perspektif agama, saya pun akan senang hati mendengarkan. Karena tahu kualitas Gus Mus atau Quraish Shihab atau Buya Syafi’i. Bahkan, mereka mau ngomong apa pun, saya akan senang mendengarkan.

Ironisnya, Si A yang hobi ngoceh soal agama tadi sama sekali tidak tahu apa-apa soal agama. Si A ini tipe orang yang baru kemarin sore kenal agama, lalu sedang “kemaruk-kemaruknya” ngomong agama. Kalian tahulah, orang semacam itu.

Balik ke cerita tadi.

Si B, yang mungkin risih dengan Si A, suatu hari menegur Si A agar tidak perlu seagresif itu menghubungkan apa pun dengan agama. “Mbok dilihat dulu sikon atau konteksnya,” ujar Si B. “Tidak semua hal harus dikait-kaitkan dengan agama, karena kenyataannya memang tidak semua hal berkaitan dengan agama.”

Mendapat teguran itu, Si A tidak terima. Si A lalu menyemburkan ceramah panjang lebar, lalu—dengan jumawa—dia menyatakan, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”

Mendengar kalimat itu, Si B terdiam. Saya tahu, dia terdiam bukan karena tidak bisa menjawab atau tidak bisa mendebat, tapi karena Si B menyadari sungguh sia-sia melanjutkan percakapan. Bagaimana pun, Si A yang sok alim itu sebenarnya tidak paham yang diucapkannya sendiri, jadi percuma berbicara dengan orang semacam itu.

Nah, kalimat Si A itulah, yang mengingatkan saya pada grafiti yang tertulis di dinding, yang saya lihat ketika SMA dulu.

Si A mengatakan, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”

Oh, well, kedengarannya hebat. Yang jadi masalah, bagaimana Si A tahu apa menurut Allah? Memangnya siapa Si A, sampai-sampai dia merasa memiliki legitimasi untuk menyatakan bahwa dia paham betul apa pendapat Allah?

Kalimat ini—“Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”—memang terdengar hebat, bahkan terkesan benar. Tetapi, sebenarnya, itu kalimat berbahaya. Sebegitu berbahaya, sampai para wali dan orang-orang yang sangat alim tidak pernah menggunakan kalimat semacam itu. Karena mengatakan kalimat itu sama artinya bersikap kurang ajar kepada Tuhan.

Apakah kita pernah mendengar Gus Dur mengatakan kalimat itu? Tidak! Apakah Gus Mus pernah mengatakan kalimat itu? Juga tidak! Apakah Quraish Shihab pernah mengatakan kalimat itu? Sama, tidak! Begitu pula Buya Syafi’i Ma’arif atau orang-orang alim lain, yang benar-benar memahami agama. Mereka sangat hati-hati dalam menjaga lisan dan perbuatannya, hingga tidak pernah mengucapkan kata-kata tolol dan tinggi hati seperti orang-orang yang baru kenal agama.

Sebaliknya, orang sok alim dan sok suci—yang sebenarnya baru kenal agama—suka sekali menggunakan kalimat itu, yang mengesankan kalau pendapatnya sesuai pendapat Tuhan, sambil berusaha membungkam pendapat orang lain. Yang jadi masalah, memangnya dia siapa, kok sampai sok-sokan merasa Tuhan pasti sependapat dengannya? Lha mbok ngaca dikit, napa? Kenal agama juga baru kemarin sore, sudah sok-sokan merasa Tuhan pasti sependapat dengannya.

Di zaman kuno, ketika para ulama mulai menuliskan ilmu pengetahuan yang merupakan kristalisasi pemikiran-pemikirannya, mereka akan memulai proses penulisan dengan berdoa, kira-kira seperti ini, “Ya Allah, aku memohon bimbingan-Mu, untuk pengerjaan kitab ini. Bukan hanya bimbingan agar aku bisa menulis dengan benar sesuai kehendak-Mu, namun juga agar aku bisa menulis dengan ikhlas.”

Lalu mereka mulai menulis siang malam, dengan sepenuh hati, dengan segenap keikhlasan. Tak berharap apa pun, selain kesadaran ingin mewariskan ilmu yang mereka miliki dalam bentuk tulisan. Mereka tidak berharap royalti, tidak menginginkan popularitas, tidak mengimpikan tampil di televisi, apalagi berharap diundang ceramah dengan tarif berjuta-juta.

Berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun kemudian, setelah sang ulama selesai menulis hingga menjadi kitab yang utuh, mereka masukkan kitab yang selesai ditulis ke dalam sebuah peti. Peti itu dikunci. Setelah itu, mereka masukkan peti tersebut ke dalam lemari, dan lemarinya kembali dikunci.

Kemudian, ulama yang baru selesai menulis kitab tersebut beribadah siang malam kepada Tuhan, bermunajat dan berdoa, kira-kira seperti ini, “Ya Allah, jika dalam penulisan kitab tadi ada satu huruf saja yang kutulis tidak dengan keikhlasan, jika ada kata atau kalimat yang kutulis bukan karena-Mu tapi karena egoku, bukan karena kehendak-Mu melainkan karena nafsuku, maka hapuskanlah huruf itu, hilangkanlah tulisan itu.”

Berbulan-bulan kemudian, setelah hati merasa mantap, ulama tadi akan membuka lemari yang terkunci, mengeluarkan peti, dan mengambil kitab yang mereka tulis dari dalam peti. Itulah asal usul kitab-kitab salaf yang menjadi warisan abadi dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi. Yaitu kitab-kitab yang ditulis orang yang benar-benar alim, orang-orang yang menulis pengetahuan dengan sepenuh hati, dengan keikhlasan.

Kita tentu bisa menakar kualitas orang-orang semacam itu, yaitu orang-orang alim dengan jiwa yang bersih, sosok-sosok yang dijamin “memiliki derajat lebih tinggi” dibanding orang kebanyakan. Tapi apakah orang-orang yang sungguh alim itu pernah ngoceh, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah”? Tidak! Mereka terlalu mulia untuk mengatakan kalimat yang sombong itu. Mereka terlalu luhur untuk menyatakan kalimat yang angkuh dan tak tahu diri itu!

Kalimat ini—“Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”—mungkin terdengar benar, bahkan terkesan hebat bagi orang-orang sok alim. Karena mereka tidak pernah berpikir bahwa kalimat semacam itu adalah bentuk kekurangajaran kepada Tuhan. Menjalani hidup sebagai manusia saja belum tentu benar, sudah sok-sokan menganggap cocotnya pasti sesuai kehendak Tuhan.

Ketika berdebat, dan terdesak tak bisa menjawab, orang-orang sok alim itu pun menggunakan senjata pamungkas, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”

Lha raimu sopo?

Berbeda dengan orang-orang sok alim yang tinggi hati dan kurang ajar, orang yang sungguh-sungguh alim justru sangat hati-hati dan berbudi. Ketika berdiskusi, atau berdebat dengan sesama orang alim, mereka tidak mengatakan, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut Allah!”

Sebaliknya, mereka mengatakan, “Ini yang sebatas kuketahui. Namun, kita tahu, aku orang daif yang bisa saja keliru. Bagaimana pun, Allah yang lebih tahu.”

Begitulah perbedaan orang alim, dengan bangsat yang sok alim. Begitulah perbedaan manusia luhur dan berbudi, dengan keparat yang sok suci. Yang benar-benar alim sangat berhati-hati, dan menempatkan kebenaran Tuhan di tempat tertinggi. Yang sok alim dan sok suci sangat tinggi hati, dan menempatkan kebenaran Tuhan senilai cocotnya sendiri.

Jadi, saya pun teringat pada grafiti di dinding yang berbunyi, “Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut setan.” Kalimat itu sepertinya memang tidak ditulis secara iseng, melainkan sebagai sindiran bagi orang-orang yang mau menyadari. Dan, tiba-tiba, saya berpikir pembuat grafiti itu mungkin seorang wali.

Fatwa Bocah

Yang benar menurutmu belum tentu benar menurut mbakyuku.

Kebenaran Dalam Hening

Makin hari, makin sulit mendapatkan keheningan. Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Di masa lalu, saya masih dapat mengingat betapa dunia—setidaknya lingkungan saya—begitu hening seusai magrib. Di masa kecil saya, usai magrib adalah saat “sakral”, karena pada waktu itu orang-orang khusyuk beribadah. Seusai shalat magrib, orang-orang membaca Al-Qur’an di rumah masing-masing. Tidak ada kebisingan. Yang terdengar hanya sayup-sayup suara orang mengaji.

Orang-orang di lingkungan saya waktu itu bahkan melarang anak-anaknya keluar rumah seusai magrib. Bukan hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun akan berusaha tetap tinggal di rumah seusai magrib. Karena itu waktu sakral, dan masyarakat di lingkungan saya menggunakannya untuk mengaji atau belajar. Karena itulah, di masa lalu, setiap usai magrib, saya merasakan keheningan yang menenangkan.

Saat tumbuh makin besar, saya masih menganggap usai magrib adalah waktu keheningan, saat orang-orang berdiam di rumah, mengaji, atau belajar. Tidak ada suara apa pun yang mengganggu. Tidak ada televisi yang menyala, apalagi bising TOA dari masjid dan mushala. Karena usai magrib adalah waktu hening.

Tetapi, kini, usai magrib tidak ada bedanya dengan waktu-waktu lain. Selalu terdengar bising. Jika dulu saya bisa menikmati keheningan seusai magrib, sekarang sulit. Karena masjid dan mushala memperdengarkan suara TOA.

Memang suara yang dikeraskan TOA itu suara pengajian. Tetapi telah merenggut keheningan yang biasa saya nikmati usai magrib. TOA di sini saling bersahutan dengan TOA di sana, sama-sama mengeraskan suara pengajian. Usai magrib, yang dulu saya anggap waktu sakral keheningan, sekarang berubah seperti pasar malam.

Tidak ada lagi keheningan... oh, well, tidak ada lagi keheningan.

Saya tidak ingat sejak kapan orang-orang mulai memuja kebisingan, dan saling berebut unjuk suara melalui TOA. Yang jelas, sekarang, masjid dan mushala di sekitar nyaris tak pernah henti memperdengarkan kebisingan melalui TOA. Suara rekaman tilawah dikeraskan melalui TOA. Pengajian yang hanya dihadiri segelintir orang, dikeraskan lewat TOA. Apa saja dikeraskan melalui TOA.

Itu jauh berbeda dengan masa lalu yang saya tahu. Di masa lalu, orang-orang menjalani ibadah dan ritual agama dalam keheningan. Tidak ada yang terganggu. Semua orang tetap nyaman menjalani aktivitas masing-masing. Kini, orang-orang mengaku menjalani ibadah agama dalam kebisingan. Hasilnya, ibadah mereka bisa jadi mengganggu orang-orang lain yang mungkin ingin belajar, atau setidaknya ingin menikmati keheningan.

Aturan mengenai TOA di masjid atau mushala sebenarnya telah ditetapkan oleh pemerintah, yang salah satunya tidak sampai mengganggu lingkungan sekitar. Tapi tampaknya pemerintah tidak (atau tidak bisa) tegas dalam menerapkan aturan tersebut, karena ini persoalan sensitif. Jangankan pemerintah, bahkan orang-orang Islam sendiri pun segan menegur masjid atau mushala di lingkungannya, meski mungkin mereka terganggu.

Selalu ada kemungkinan orang-orang merasa terganggu dengan kebisingan TOA dari masjid atau mushala di lingkungannya. Tapi apakah mereka berani mengatakan terang-terangan? Kemungkinan besar tidak! Karena, sekali lagi, ini persoalan sensitif.

Orang bisa dituduh kafir atau murtad kalau berani memprotes TOA dari mushala, karena kebanyakan orang menganggap apa pun yang keluar dari masjid atau mushala adalah hal benar. Karenanya, bagi mereka, kalau kau terganggu dengan TOA mushala, yang salah bukan mushala, tapi kaulah yang salah!

Sekali lagi, kenyataan yang saya hadapi hari ini jauh berbeda dengan kenyataan yang saya nikmati di masa lalu. Kadang saya khawatir, di masa depan, lingkungan tempat tinggal kita akan jauh lebih bising, akan lebih banyak TOA, karena orang-orang akan semakin memuja kebisingan... hingga makin jauh dari keheningan.

Saya khawatir, di masa depan, orang-orang akan meyakini bahwa yang benar adalah yang paling keras, yang paling bising, hingga mereka makin sulit menerima kebenaran dalam hening.
 
Minggu, 05 Maret 2017

Undangan Perkawinan

Mengubah dunia itu mudah. Yang sulit adalah mengubah manusia.
Mengubah orang lain itu sulit. Karenanya, aku mengubah diriku sendiri.
@noffret


Saya suka mengumpulkan benda-benda memori. Bukan hanya benda memori yang berwujud, tetapi juga benda memori yang tak berwujud. Benda memori yang tak berwujud, misalnya SMS dari pacar.

Dulu, waktu pacaran di zaman kuliah, ponsel belum secanggih sekarang. Belum ada memori ponsel yang mampu menampung banyak data, termasuk SMS, musik, foto, video, dan lain-lain. Di masa itu, SMS di ponsel hanya tersimpan di kartu SIM. Yang jadi masalah, kapasitas penyimpanan kartu SIM sangat terbatas. Waktu itu, kartu SIM yang saya pakai hanya dapat menampung 20 SMS.

Jadi, kalau saya saling kirim SMS dengan teman, dan jumlah SMS yang masuk atau keluar telah mencapai 20, ponsel akan “hang”. SMS-SMS itu harus dihapus dulu, agar bisa kembali mengirim atau menerima SMS baru. Selama itu saya tidak terlalu mempermasalahkan, wong SMS dengan teman-teman paling berisi hal-hal biasa yang bisa dibilang tidak penting. Masalah mulai muncul, ketika saya punya pacar.

Namanya pacar, kami tentu saling kirim SMS kangen-kangenan, sayang-sayangan, dan hal-hal-tolol-tidak-ilmiah-tapi-indah lainnya. Misalnya, suatu malam pacar saya kirim SMS, “Sayang, nggak tahu kenapa tiba-tiba malam ini aku kangeeeeeeen banget.”

Saya paham SMS itu tidak ilmiah. Juga tidak akademis. Dan tidak environmental—apa pun artinya. Tetapi, karena yang ngirim pacar, SMS itu membuat saya berdebar. Rasanya indah sekali, saat mendengar ponsel berbunyi, lalu mendapati kata-kata kangen dari seseorang yang kita cintai di layar ponsel. Dan saya menyayangi SMS-SMS itu, sebagaimana saya menyayangi pengirimnya. Dan di situlah mulai timbul masalah.

Seperti yang dibilang tadi, kapasitas penyimpanan di ponsel cuma 20 SMS. Artinya, jika saya dan pacar sudah saling kirim SMS masing-masing 10 kali, maka kami harus berhenti. Karena ponsel/kartu SIM tidak bisa lagi menampung SMS baru. Jika masih ingin berkirim SMS, saya harus menghapus SMS-SMS yang telah masuk. Di situ saya merasa sedih. Dan dilema.

Sedih, karena rasanya berat sekali jika harus menghapus SMS dari pacar. Juga dilema, karena mau tak mau saya harus menghapusnya, agar bisa kembali ber-SMS. Itu dua pilihan yang sama-sama berat. Bagaimana pun, saya ingin tetap menyimpan SMS-SMS indah itu, agar bisa membacanya saat menjelang tidur. Bagaimana pun, saya tidak ingin kehilangan pesan-pesan indah dari orang yang saya cintai.

Akhirnya, gara-gara dilema itu, saya melakukan sesuatu yang—kalau dipikir sekarang—sangat konyol. Saya menyalin SMS-SMS dari ponsel ke lembar kertas!

Jadi, sejak itu, saya menyiapkan buku khusus, yang saya gunakan untuk menyalin dan menyimpan SMS-SMS dari pacar. Setiap kali kapasitas SMS mulai penuh, saya memindahkan ke kertas, dan saya transkrip setepat mungkin, sesuai SMS yang ditulis pacar, hingga benar-benar otentik—dari titik koma sampai kesalahan ketik, semuanya saya pindahkan ke kertas secara persis. Dengan cara itu, saya bisa tetap menyimpan dan menikmati SMS-SMS pacar, tanpa khawatir ponsel kelebihan kapasitas. (Kalau dipikir-pikir sekarang, teknologi zaman dulu benar-benar bangsat!)

Selama waktu-waktu itu, kami lebih sering berkomunikasi lewat SMS, karena tarif menelepon waktu itu mahalnya ngujubilah setan! Karena itu pula, hampir setiap hari kami saling berkirim SMS, dan itu artinya “buku catatan” saya makin penuh. Makin hari, SMS-SMS yang saya transkrip ke buku makin banyak.

Ketika akhirnya kami putus, kami pun berhenti saling kirim SMS. Tetapi, “buku catatan SMS” itu tetap saya simpan... sampai lama. Seharusnya saya membuangnya, atau membakarnya, atau menyingkirkannya dari hidup saya. Tapi setiap kali ingin melakukan itu, rasanya berat sekali. Setiap kali ingin membuangnya, saya selalu tergoda membuka dan membaca isinya, lalu terkenang kembali saat-saat manis yang pernah kami jalani.

Buku berisi catatan SMS itu akhirnya benar-benar saya buang, ketika mantan pacar saya menikah. Waktu itu, saya pikir, sudah saatnya saya meninggalkan masa lalu, untuk melanjutkan hidup yang baru. Jadi, segala kenangan bersamanya—termasuk buku catatan SMS—saya singkirkan, meski terasa berat. Bagaimana pun, kami sudah tidak lagi berhubungan, dan dia juga sudah menikah.

Omong-omong soal pernikahan, saya juga suka mengoleksi undangan pernikahan. Apalagi undangan yang memiliki bentuk atau desain cantik dan artistik. Bagi saya, itu karya seni yang unik, dan layak disimpan. Jadi, kalau ada teman menikah, dan saya mendapat undangan, saya pun menyimpan kartu undangan tersebut.

Saya menghargai undangan pernikahan, sebagaimana saya menghormati pernikahan. Sebagian orang—yang sering membaca blog ini—mungkin mengira saya penentang perkawinan. Salah! Sebaliknya, saya sangat menghormati perkawinan. Yang saya tentang adalah orang yang suka menyuruh-nyuruh atau memprovokasi orang lain cepat menikah. Itu dua hal yang berbeda.

Hidup adalah soal pilihan, begitu pula perkawinan. Jika saya mendapat undangan perkawinan dari seseorang, saya akan datang. Bagaimana pun, saya menghormati pilihan orang untuk menikah. Sebagai manusia beradab, saya menyadari setiap orang berhak memilih hidupnya sendiri, dan saya harus menghormati pilihan itu. Termasuk memilih menikah. Jadi, teman-teman saya di dunia nyata banyak yang menikah, dan tidak pernah sekali pun saya menentang pilihan mereka!

Nah, dulu, di zaman kuliah—juga beberapa tahun setelah itu—kadang ada teman yang menikah, lalu bersikap sok-sokan kepada yang belum menikah. Ya sama seperti kebanyakan orang. Mentang-mentang sudah menikah, mereka jadi suka bertanya, “kapan kawin?” dan semacamnya, yang intinya ya... gitu, deh. Biasanya, kami yang belum menikah cengar-cengir kalau ditanya seperti itu.

Lama-lama, karena makin banyak teman yang menikah, kami yang belum menikah jadi makin “terpojok”. Karena makin banyak orang yang bertanya “kapan kawin?”, seolah-olah belum kawin atau belum menikah adalah kejahatan keji. Itu situasi yang tidak enak dan membuat tidak nyaman. Saya bisa saja menjawab pertanyaan itu secara frontal. Tetapi, bagaimana pun, saya tidak ingin menyakiti perasaan teman sendiri.

Akhirnya, semenjak itu, saya menggunakan “taktik” yang halus. Setiap kali ada teman yang menikah, dan memberi kartu undangan, saya akan berkata kepadanya dengan tulus, “Jika kelak kamu bahagia dalam perkawinanmu, tolong ceritakan kebahagiaanmu, agar aku bisa ikut senang. Tetapi, jika ternyata perkawinan tidak seindah yang kamu bayangkan, tolong diam saja, dan jangan katakan apa pun.”

Sejak itu, tidak ada lagi teman yang bertanya-tanya “kapan kawin?” setelah mereka menikah. Karena mereka menyadari, begitu mereka membuka mulut dan bertanya “kapan kawin?”, mereka akan menghadapi pernyataan yang telah saya katakan sebelumnya, saat mereka memberi kartu undangan. Bagaimana pun, mereka akan berpikir seribu kali untuk mengejek saya soal menikah, karena mereka akan menghadapi konsekuensi yang tidak menyenangkan.

Jika mereka masih nekat bertanya “kapan kawin?”, saya akan menjawab, “Dulu, waktu kamu menyerahkan kartu undangan, aku pernah berpesan. Jika perkawinanmu bahagia, ceritakan kepadaku. Tetapi jika tidak, jangan katakan apa pun.”

Kenyataannya, sejak itu, tidak ada yang pernah menyatakan apa pun. Bahkan tidak ada lagi yang berani bertanya “kapan kawin?”

Padahal, sejujurnya, saya ingin sekali mendengar ada teman yang bercerita dengan jujur, bahwa dia menjalani perkawinan yang bahagia, bahwa dia bersyukur telah menikah, bahwa dia menikmati kehidupan yang lebih tenteram, lebih damai, dan lebih indah setelah menikah. Saya ingin... demi Tuhan, saya ingin sekali mendengar cerita semacam itu.

Saya ingin sekali mendengar cerita semacam itu, yang dinyatakan secara jujur... agar hati saya yang membatu dapat mencair... agar saya tergerak untuk menikah... agar saya memiliki kepercayaan kepada sesuatu yang tidak lagi saya percaya.

Tapi tidak ada... tak pernah ada.

Orang-orang mengatakan saya idealis. Tidak! Sebaliknya, saya orang yang sangat realistis, khususnya dalam perkawinan. Saya mendasarkan pikiran pada kenyataan, bukan mengambang di awang-awang. Saya meletakkan teori dan keyakinan dengan memijak bumi, bukan menggantung di langit. Termasuk dalam soal perkawinan. Saya menatap perkawinan dengan sangat realistis. Sebegitu realistis, hingga saya “takjub” pada orang-orang yang menatap perkawinan dengan sangat idealis.

Setiap kali teringat perkawinan, yang ada dalam pikiran saya bukan keindahan idealis sebagaimana yang dibayangkan kebanyakan orang.

Setiap kali teringat perkawinan, yang terbayang dalam pikiran saya adalah pasangan-pasangan yang merasa tertekan, keluarga-keluarga yang rusak, anak-anak telantar, konflik rumah tangga yang mengerikan, hingga orang-orang yang semula hebat kehilangan kehebatannya setelah menikah. Langit menjadi saksi, betapa dulu saya mengenal orang-orang hebat, mengagumkan, istimewa, lalu berubah menjadi “orang biasa” setelah menikah.

Sebagian orang mengatakan bahwa pernikahan akan menjadikanmu bahagia, tapi yang saya lihat adalah kesusahan demi kesusahan, penderitaan demi penderitaan.

Sebagian orang bersumpah bahwa pernikahan akan melancarkan rezeki, tapi yang saya dapati adalah keluarga yang kekurangan, terbelit utang, kebingungan, putus asa.

Sebagian orang ngoceh bahwa anak-anak memiliki rezekinya sendiri, tapi yang saya saksikan adalah anak-anak telantar, terluka, yang bahkan tak bisa lagi menangis karena air mata telah kering.

Karena itulah, saya kehilangan kepercayaan pada perkawinan. Bukan karena saya idealis, tapi sebaliknya... karena saya realistis, dan menyaksikan langsung kebenaran atas apa yang saya pahami, yang kemudian saya yakini. Bahwa perkawinan tak seindah yang diocehkan orang-orang, bahwa perkawinan menyimpan lara... lara... lara...

Bahwa ada perkawinan yang bahagia, tentu saya percaya. Sangat mustahil jika tidak ada satu pun perkawinan yang bahagia. Di luar sana ada banyak orang menikah, dan mereka bahagia—benar-benar bahagia. Tetapi, sayangnya, yang saya saksikan selaluuuuuu perkawinan yang penuh lara. Sebegitu pahit yang saya saksikan, hingga saya sama sekali tak tertarik untuk mencoba.

Karena itu pula, saya sampai menulis tantangan terbuka di sini, bahwa jika ada lelaki yang telah menikah tiga tahun datang kepada saya, dan dia berani bersumpah atas nama Tuhannya, dan atas nama keyakinannya, bahwa hidupnya lebih baik dan lebih bahagia setelah menikah... maka saya akan bersumpah kepadanya demi jiwa-jiwa suci yang saya hormati, bahwa saya akan menikah seperti dirinya.

Tapi tidak ada... tidak ada yang pernah datang dan mengatakan yang ingin saya dengar. Tidak ada... oh, well, tak pernah ada.

Karenanya, saat memandangi kartu-kartu undangan perkawinan yang saya koleksi, sering kali saya merasa getir. Kartu-kartu undangan itu begitu cantik, begitu indah, merefleksikan bayangan, impian, dan khayalan sepasang mempelai.

Tetapi, sayang, bayangan kadang hilang di bawah cahaya terang. Impian runtuh saat mata mulai terbuka. Dan khayalan pudar saat menghadapi kenyataan.

Leonardo, Leonardo!

“Kamu tidak malu, sampai sekarang belum juga menikah?” | “Lha kamu pecicilan menikah, apa tidak malu sama Leonardo DiCaprio?”

Leonardo yang sudah 42 tahun, super kaya, sangat terkenal, pun masih melajang. Apalagi aku yang bukan siapa-siapa. Mbok mikir dikit napa?

Leonardo DiCaprio adalah aktor hebat. Tapi aku mengaguminya bukan karena keaktorannya, melainkan karena visinya untuk kehidupan dunia.

Ada orang-orang yang sebenarnya bisa mendapatkan sesuatu yang enak dengan mudah, tapi menolak. Dan akan selalu ada orang-orang semacam itu.

Ada orang mengatakan, “Cepatlah menikah. Kalau umurmu sudah 40 tahun, memangnya siapa yang mau denganmu?” Coba katakan itu pada Leonardo.

Jika Leonardo mau menikah, dia bisa melakukannya kapan pun, dengan sangat mudah. Tapi dia tahu ada hal lebih penting dari sekadar menikah.

Persoalan umat manusia tidak akan pernah selesai sampai kapan pun... selama hal penting dalam hidup mereka hanya menikah dan beranak-pinak.

Manusia mengutuk dunia yang kian rumit dan makin banyak masalah, tanpa menyadari bahwa inti masalahnya adalah yang ada di kepala mereka.


*) Ditranskrip dari timeline ‏@noffret, 11 November 2016.

Tidak Utuh

Tidak utuh, kata Shakespeare.

Oh, tidak utuh, kataku.

Pantas dia melakukannya.

Oh... pantas dia melakukannya.

Rabu, 01 Maret 2017

Membuka Kembali Catatan Kasus Saut Situmorang

Ada enam orang jujur mengajarkan kebenaran kepadaku.
Mereka adalah ‘Apa’, ‘Siapa’, ‘Kapan’, ‘Di Mana’,
‘Mengapa’, dan ‘Bagaimana’.
Rudyard Kipling

Pada setiap orang yang tidak jujur
terdapat dua penjaga, yaitu air dan lumpur.
Umar bin Khattab


Catatan ini terkait dengan catatan saya sebelumnya (Kasus Bajingan Saut Situmorang), yang sudah terbit di blog ini, dua tahun yang lalu. Catatan ini merupakan jawaban serta klarifikasi atas beberapa hal yang saya nyatakan dalam catatan terdahulu, terkait kasus tersebut. Mungkin catatan ini bisa dibilang terlambat. Tapi terlambat menjelaskan, saya pikir, lebih baik daripada membiarkan banyak orang salah paham.

Well, kemarin saya membuka-buka tumpukan e-mail di inbox, dan tanpa sengaja mendapati beberapa e-mail yang mempertanyakan catatan saya mengenai kasus Saut Situmorang. E-mail-e-mail itu sudah dikirim lama sekali, tapi tertumpuk di bawah e-mail-e-mail lain. Seperti yang dulu pernah saya katakan di sini, di inbox saya ada ribuan e-mail yang masuk, dan saya kewalahan menanganinya. Jadi, e-mail yang dikirim dua tahun lalu, baru saya buka dan baca hari ini.

Seperti yang disebut tadi, beberapa e-mail yang tanpa sengaja saya buka itu terkait catatan mengenai kasus Saut Situmorang, yang pernah saya tulis di blog ini. Dalam catatan itu, saya menyatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penyusunan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh—juga tetek bengek terkait buku itu—semuanya dibayar. Dari Ahmadun Yosi Herfanda sampai Maman S. Mahayana, semuanya dibayar.

Nah, rupanya ada orang-orang yang mempertanyakan, kira-kira seperti ini, “Memangnya kenapa kalau mereka dibayar? Mereka melakukan suatu pekerjaan, dan orang-orang itu dibayar untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Jadi, di mana salahnya?”

Sekarang, saya menulis catatan ini untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud dalam catatan terdahulu. Sekali lagi, penjelasan ini mungkin terlambat—karena kasusnya sudah berlalu—tapi terlambat masih lebih baik, daripada membiarkan banyak orang salah paham.

Di catatan terdahulu, saya menulis secara runtut dan sistematis mengenai proses terbitnya buku 33 Tokoh Sastra, dan segala tetek bengek terkait buku itu, hingga munculnya kasus yang menyeret Saut ke pengadilan. Ketika menulis catatan itu, saya mengasumsikan—oke, saya mempersepsikan—bahwa orang-orang yang membaca catatan tersebut bukan anak-anak SD, tapi orang-orang dewasa. Lebih khusus, orang dewasa yang berpendidikan.

Karena orang-orang yang membaca catatan itu adalah orang-orang dewasa yang berpendidikan—buktinya punya interest terhadap dunia sastra—maka saya juga mempersepsikan bahwa para pembaca dapat memahami teks dan konteks. Khususnya teks dan konteks dalam catatan saya.

Terkait teks, saya menyatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penyusunan buku 33 Tokoh Sastra, semuanya dibayar. Akui saja kenyataan itu, karena faktanya memang begitu. Tapi jangan berhenti di situ. Perhatikan konteksnya! Dalam catatan itu, saya membahas buku 33 Tokoh Sastra dan tetek bengeknya. Itulah konteksnya!

Sudah memahami yang saya maksud?

Jika belum, mari kita gunakan analogi yang lebih mudah dan sederhana.

Umpamakan ada sekelompok penulis dan sastrawan yang sama-sama punya niat dan rencana untuk menerbitkan buku khusus, berisi tokoh-tokoh sastra Indonesia yang dianggap paling berpengaruh. Niat dan rencana itu murni lahir dan berasal dari orang-orang tersebut, lalu mereka memulai riset dan penelitian untuk menemukan dan menyusun nama-nama yang mereka anggap bisa dimasukkan dalam daftar yang mereka rencanakan.

Setelah melakukan riset berbulan-bulan, mereka menyusun dan mengumpulkan tokoh-tokoh sastra yang mereka anggap memiliki pengaruh di dunia sastra Indonesia. Dalam proses itu, tidak menutup kemungkinan mereka mencari funding yang bersedia membiayai. Tetapi, karena mereka yang meriset, maka keputusannya pun ada di tangan mereka sepenuhnya, dan pihak funding—atau pihak mana pun di luar mereka—tidak punya hak untuk “ngerusuhi” keputusan mereka.

Sekarang umpamakan saja, hasil diskusi dan riset orang-orang tersebut memutuskan Agus Mulyadi—iya, Agus Mulyadi yang itu—masuk dalam daftar 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Mereka, para peneliti tersebut, bersepakat bulat memasukkan nama Agus Mulyadi di dalam buku, bersama tokoh-tokoh lain yang sudah terkenal sebagai sastrawan. Dari HB Jassin sampai Pramoedya Ananta Toer.

Ketika buku itu terbit, orang-orang kaget, karena mendapati nama Agus Mulyadi ada dalam buku, dan dianggap tokoh sastra paling berpengaruh. Agus Mulyadi juga ikut kaget, karena tidak menyangka tulisan-tulisannya selama ini dianggap sastra, bahkan dinilai berpengaruh.

Sampai di sini, apakah ada yang salah?

Tidak ada! Tidak ada yang salah sama sekali!

Pertama, orang-orang yang menyusun daftar itu murni berniat menerbitkan buku yang mereka inginkan, dan tidak ada pengaruh apalagi intervensi dari pihak mana pun. Memang benar mereka mendapat bayaran—dari funding yang membiayai riset, sampai dari hasil royalti penjualan buku. Tetapi, sekali lagi, tidak ada pengaruh dan intervensi siapa pun, dan buku itu murni pemikiran mereka.

Termasuk nama Agus Mulyadi yang ikut masuk dalam buku, dan dianggap sebagai tokoh sastra paling berpengaruh—itu murni pilihan dan pendapat mereka, tanpa pengaruh dan intervensi dari Agus Mulyadi atau siapa pun. Karenanya, meski mungkin hasilnya aneh atau janggal—akibat masuknya nama Agus Mulyadi—orang-orang tidak bisa marah. Wong itu hasil karya mereka, kok. Jika tidak terima dengan keputusan itu, silakan bikin buku sendiri!

Bahkan, kalau memang seperti itu kenyataannya—bahwa buku itu murni hasil pemikiran jujur para peneliti dan penulisnya—saya yakin Saut Situmorang tidak akan marah, apalagi sampai memaki bajingan pada Agus Mulyadi. Tentu saja Saut (dan orang-orang lain) juga akan bingung, atau bahkan tidak terima, dengan masuknya Agus Mulyadi di dalam daftar. Tapi mereka pasti akan memahami, bahwa masuknya Agus Mulyadi dalam daftar bukan kehendak Agus Mulyadi. Wong nyatanya Agus Mulyadi juga kaget dan bingung mendapati namanya masuk buku itu.

Sampai di sini, sudah memahami yang saya maksud?

Kasus buku 33 Tokoh Sastra itu mirip ilustrasi di atas, tapi “Agus Mulyadi” menempati posisi terbalik. Dia masuk ke dalam daftar bukan karena kehendak para peneliti dan penulis buku, melainkan karena kehendak dan intervensi Agus Mulyadi, agar namanya masuk ke dalam buku!

Dalam kasus yang kemudian menyeret Saut ke pengadilan itu, “Agus Mulyadi”—diyakini banyak orang—telah melakukan intervensi, agar namanya masuk ke dalam buku tersebut. Bahkan, banyak orang meyakini bahwa dialah yang sebenarnya punya ide penerbitan buku tersebut, lalu mengumpulkan orang-orang untuk menulisnya, dan membayari orang-orang itu untuk menjalankan keinginannya (menulis buku tentang tokoh-tokoh sastra, yang di dalamnya ada namanya).

Hasilnya, ketika buku itu terbit, terjadi “komplikasi”—karena pihak yang membayari disinyalir sebagai pemilik ide dan ikut mengintervensi isi buku, dengan tujuan namanya masuk dalam daftar. Di titik krusial itulah, banyak orang—khususnya para sastrawan dan pegiat sastra—menilai penerbitan buku itu memanipulasi sejarah sastra Indonesia, hingga Saut dan orang-orang lain memprotesnya.

Sekali lagi, sudah melihat konteks yang saya maksudkan?

Jadi, yang saya persoalkan sebenarnya bukan bayarannya. Soal bayar membayar itu hal biasa—saya pikir semua orang sudah paham.

Yang saya persoalkan—sebagaimana yang juga dipersoalkan banyak orang lain—praktik “bayar membayar” terkait buku itu melahirkan sesuatu yang berbahaya bagi dunia sastra Indonesia di masa depan. Karena seseorang bisa dianggap sastrawan berpengaruh, hanya karena ia “membayar”.

Untuk kesekian kali, demi Tuhan, sudah memahami yang saya maksudkan?

Itulah titik paling krusial menyangkut buku 33 Tokoh Sastra yang bikin geger dua tahun lalu, hingga banyak sastrawan marah, dan Saut Situmorang mengamuk. Kenapa sesuatu yang sangat jelas dan gamblang seperti ini masih sulit dipahami?

Terus terang saja, terkait bayar membayar, saya juga termasuk penulis yang dibayar, sebagaimana para penulis profesional. Saya menjadi kontributor beberapa situs internasional, dan mendapat bayaran (honor) dari mereka. Itu hal biasa. Dari situs List Verse (listverse.com), misalnya, saya mendapat honor 100 dolar (Rp1,3 juta) per artikel. Di situs lain, honor yang saya terima bahkan lima kali lipat dari itu, per artikel. Sekali lagi, itu hal biasa.

Bahkan, jujur saja, saya tidak sudi menulis di luar blog saya tanpa dibayar! Satu-satunya tempat saya mau menulis tanpa dibayar hanya di blog saya sendiri, atau di proyek amal (charity). Seperti tulisan yang kalian baca ini, saya menulis secara tulus tanpa dibayar. Saya mau melakukannya, karena di blog milik sendiri.

Jadi, sekali lagi, yang saya persoalkan dalam catatan terdahulu bukan bayar membayarnya. Karena penulis mendapat bayaran itu hal biasa—justru aneh kalau mereka tidak mendapat imbalan. Yang saya persoalkan adalah hal di baliknya. Itu pula yang dipersoalkan orang-orang lain, sampai mereka melakukan protes, demo, dan lain-lain, karena sama-sama menyadari bahaya yang kelak mungkin timbul terkait buku itu bagi dunia sastra Indonesia.

Sampai di sini, saya pikir kita semua sudah memahami yang saya maksudkan. Kalau Agus Mulyadi dianggap tokoh sastra paling berpengaruh, dan itu di luar keinginan apalagi intervensinya, kita tentu tidak bisa marah pada Agus Mulyadi. Wong itu bukan keinginannya.

Tetapi, jika Agus Mulyadi menginginkan dirinya dianggap tokoh sastra berpengaruh, dan untuk tujuan itu dia membayar serta melakukan berbagai “konspirasi” demi bisa dianggap tokoh sastra paling berpengaruh, tentu wajar kalau kita marah. Karena bisa dibilang Agus Mulyadi telah mencederai sejarah sastra Indonesia.

Akhirnya, meski kasus terkait buku itu mungkin telah dianggap usai, tetapi hakikatnya belum selesai. Bagaimana pun, generasi zaman kita punya utang penjelasan kepada generasi yang akan datang, terkait isi buku tersebut. Dalam hal itu, mungkin, generasi mendatang bisa mendapat penjelasan dari tulisan dan berita terkait kemarahan dan kemurkaan Saut Situmorang.

Lara Cinta

Satu demi satu, lara.

Satu demi satu, luka.

Tapi manusia masih mencoba, terus mencoba.

....
....

Mereka menyebutnya cinta.

Pesan di Kartu Pos

Nyokap saya menelepon, “Da’, ada kiriman kartu pos buatmu dikirim ke sini.”

Beberapa kiriman memang kadang datang ke alamat ortu. Saya pun bertanya, “Dari siapa?”

“Nama pengirimnya nggak jelas—ditulis pakai tangan.”

“Uhm... isi pesan di kartunya gimana?”

“Pakai bahasa Inggris,” jawab nyokap. “Tulisannya juga nggak jelas—kecil-kecil.” Sesaat nyokap terdiam, mungkin membaca pesan di kartu pos. Setelah itu suaranya kembali terdengar di telepon, “Di pesannya (maksudnya pesan di kartu pos) ada kinda-kinda-nya.”

Saya tersenyum. “Ya udah, nanti kalau ke situ sekalian tak ambil.”

....
....

Setelah menutup telepon, saya berpikir bahwa hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah menerima kartu pos yang isi pesannya ada kinda-kinda-nya.

 
;